9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota ...
-
Upload
vuongkhanh -
Category
Documents
-
view
222 -
download
1
Transcript of 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota ...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota
Aspek yang mempengaruhi bentuk fisik suatu kota menurut teori Shirvani
Hamid adalah tata guna lahan, bentuk dan massa bangunan, sirkulasi dan parkir,
pedestrian, activity support, preservasi, open space dan signage.
2.1.1 Tata guna lahan
Pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam
mengalokasikan fungsi tertentu sehingga secara umum dapat memberikan gambaran
keseluruhan bagaimana daerah pada suatu kawasan tertentu. Penggunaan lahan
merupakan salah satu elemen kunci dalam perancangan kota yang menjabarkan
rencana dua dimensi menjadi tiga dimensi.
Penetapan land use pada lingkup urban design menentukan hubungan antara
sirkulasi/parkir dengan intensitas kegiatan dalam urban area. Ada beberapa area yang
memiliki intensitas, pencapaian, parkir, sistem transportasi yang membutuhkan
penggunaan tersendiri.
Beberapa masalah yang terjadi pada masa lalu hingga masa kini antara lain:
1. Kurangnya variasi penggunaan lahan, kompartementalisasi dan segregasi
penggunaan lahan.
2. Kurang memperhitungkan faktor lingkungan dan kondisi fisik alamiah.
Universitas Sumatera Utara
10
3. Tidak memperhitungkan infrastruktur, misalnya kawasan industri tua
membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan.
4. Bagaimana mengalokasikan penggunaan campuran (mixed use) untuk
menghidupkan vitalitas kota selama 24 jam, melalui peningkatan
sirkulasi, sistem infrastruktur, analisa lingkungan alami, dan kemudahan
pemeliharaan.
5. Pengembangan floor area ratio untuk mengendalikan coverage dan
ketinggian bangunan di kawasan pusat kota.
2.1.2 Bentuk dan massa bangunan
Bentuk dan massa bangunan harus mencakup ketinggian, blok massa,
koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, garis sempadan bangunan, gaya
atau langgam, skala, material, tekstur, warna. Studi mengenai bentuk terbangun dan
jaringan fisik tidak boleh semata-mata hanya menitikberatkan pada ketinggian, blok
massa, set-back, dan sebagainya (Spreiregen; 1965).
Prinsip-prinsip dasar rancang kota dan teknik dasar yang disajikan Spreiregen
(1965) menetapkan beberapa isu penting mengenai bentuk dan massa yang
mencakup:
1. Skala; yang berkaitan dengan pengamatan visual manusia, sirkulasi,
bangunan, dan ukuran lingkungan permukiman.
2. Ruang luar kota; sebagai sebuah elemen utama rancangan kota dan
pentingnya artikulasi oleh bentuk, skala urban, enclosure, serta tipe ruang
Universitas Sumatera Utara
11
luar urban.
3. Massa; yang meliputi bangunan-bangunan, permukaan tanah, serta obyek
lain di dalam ruang yang dapat diatur.
Bentuk dan massa bangunan tidak semata-mata ditentukan oleh ketinggian
atau besarnya bangunan, penampilan bentuk maupun konfigurasi dari massa
bangunan akan tetapi ditentukan juga oleh besaran selubung bangunan (building
envelope), koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, ketinggian
bangunan, sempadan bangunan, ragam arsitektur, skala, material yang digunakan,
warna yang terdapat pada bangunan dan sebagainya. Semua faktor di atas akan
menciptakan penampilan dan konfigurasi bangunan yang membentuk kota tersebut.
2.1.3 Sirkulasi dan parkir
Elemen parkir mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas lingkungan,
yaitu kelangsungan kegiatan komersial pusat kota, kesan visual terhadap wujud fisik
dan bentuk kota. Ada beberapa cara untuk menangani parkir:
1. Membuat bangunan parkir
Lantai dasar bangunan parkir dapat dirancang untuk perdagangan eceran
agar mendapatkan kesinambungan visual dengan jalan.
2. Program multiguna
Dengan memaksimalkan tempat parkir untuk digunakan bersama oleh
berbagai penggunaan berbeda yang dapat menarik pengunjung berbeda
pada saat yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
12
3. Package-plan parking
Beberapa kegiatan bisnis yang mempunyai banyak pegawai membentuk
distrik parkir atau menyediakan beberapa blok untuk kegiatan parkir
sehari penuh.
4. Urban-edge parking
Developer bekerjasama dengan pemerintah kota mengembangkan area
parkir pada periferi wilayah kota yang padat.
Sirkulasi merupakan salah satu elemen pembentuk struktur lingkungan kota.
Bisa berupa arah, kontrol aktivitas, sistem jalan umum, pedestrian ways, transit dan
sistem hubungan.
2.1.4 Pedestrian ways
Pedestrian berasal dari bahasa Yunani, di mana berasal dari kata pedos yang
berarti kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagi pejalan kaki atau orang yang
berjalan kaki, sedangkan jalan merupakan media di atas bumi yang memudahkan
manusia dalam tujuan berjalan, maka pedestrian dalam hal ini memiliki arti
pergerakan atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat sebagai titik tolak
ke tempat lain sebagai tujuan dengan menggunakan moda jalan kaki.
Pedestrian juga berarti “person walking in the street“, yang berarti orang
yang berjalan di jalan. Namun jalur pedestrian dalam konteks perkotaan biasanya
dimaksudkan sebagai ruang khusus untuk pejalan kaki yang berfungsi sebagai sarana
pencapaian yang dapat melindungi pejalan kaki dari bahaya yang datang dari
Universitas Sumatera Utara
13
kendaraan bermotor.
Beberapa pengertian dasar pedestrian menurut:
1. John Fruin (1979); berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan
internal kota, satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap
muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan
kehidupan kota.
2. Amos Rapoport (1977); dilihat dari kecepatannya moda jalan kaki
memiliki kelebihan yakni kecepatan rendah sehingga menguntungkan
karena dapat mengamati lingkungan sekitar dan mengamati objek secara
detail serta mudah menyadari lingkungan sekitarnya.
3. Giovany Gideon (1977); berjalan kaki merupakan sarana transportasi
yang menghubungkan antara fungsi kawasan satu dengan yang lain
terutama kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan
permukiman, dengan berjalan kaki menjadikan suatu kota menjadi lebih
manusiawi.
Dengan demikian jalur pedestrian merupakan sebuah sarana untuk melakukan
kegiatan, terutama untuk melakukan aktivitas di kawasan perdagangan di mana
pejalan kaki memerlukan ruang yang cukup untuk dapat melihat-lihat, sebelum
menentukan untuk memasuki salah satu pertokoan di kawasan perdagangan tersebut.
Jalur pejalan kaki merupakan salah satu unsur penting dalam perancangan kota, dan
bukan sekedar bagian dari program untuk mempercantik kota. Jalur pejalan kaki
Universitas Sumatera Utara
14
cenderung merupakan suatu sistem pemberian kenyamananan, di samping unsur
penunjang bagi pedagang eceran. Sebuah sistem pedestrian yang baik dapat
mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor di kawasan pusat kota, dan
menambah kegiatan “cuci mata”, meningkatkan kualitas lingkungan, menciptakan
lebih banyak kegiatan penjualan eceran, dan menunjang perbaikan kualitas udara.
2.1.5 Kegiatan pendukung (Activity Support)
Merupakan salah satu bangunan yang mendukung kegiatan yang ada di sekitar
lingkungan. Penunjang aktivitas (acitivity support) mencakup semua penggunaan dan
kegiatan yang memperkuat ruang publik, yang saling melengkapi satu sama lain
yaitu:
1. Membuat pedestrian plaza atau bangunan korporasi tanpa toko-toko,
merupakan salah satu contoh tidak efisiennya urban desain, karena tidak
mempertimbangkan acitivity support di dalam maupun di dekat bangunan.
2. Demikian pula, suatu wilayah yang tidak memasukkan penunjang aktivitas
dalam rancangannya, akan menyebabkan wilayah tersebut secara gradual
mengalami kemerosotan lingkungan.
Penunjang aktivitas tidak hanya berupa penyediaan pedestrian way atau plaza,
tetapi juga mempertimbangkan perlunya fungsi utama untuk membangkitkan dan
menghidupkan kegiatan kota. Wujudnya bisa berupa pusat perdagangan, taman
rekreasi, pusat kegiatan lingkungan, perpustakaan umum dan lainnya. Penempatan
penunjang kegiatan yang tidak tepat akan berimplikasi buruk pada lingkungan
Universitas Sumatera Utara
15
sekitarnya. Misalnya, sebuah mall menjadi kurang berhasil dan kurang hidup karena
tidak menghubungkan dua pusat kegiatan.
Menurut Long Beach (1980) kegiatan belanja, makan-makan, menunggu,
istirahat, kegiatan pulang dan pergi ke tempat kerja, merupakan tanda-tanda vital
sehatnya pusat kota dan untuk menjamin berlangsungnya kegiatan tersebut
dibutuhkan penyediaan penunjang aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat penggunanya.
2.1.6 Signage
Branch (1995) dalam bukunya ”Comprehensive City Planning: Introduction
and Explanation”, mengatakan bahwa perancangan kota berkaitan dengan tanggapan
inderawi manusia terhadap lingkungan fisik kota, yaitu penampilan visual, kualitas
estetika dan karakter kota. Shirvani (1985) dalam ”The Urban Design Process”,
bahwa ada 8 (delapan) unsur yang mempengaruhi bentuk fisik kota yaitu tata guna
lahan, bentuk bangunan, sirkulasi dan perparkiran, ruang terbuka, jalan dan
pedestrian, pendukung kegiatan, perpapanan nama dan preservasi.
Papan nama/reklame adalah merupakan unsur tampilan visual yang cukup
penting dalam membentuk karakter kota. Sehingga dari sisi perancangan
kota/arsitektur kota, papan nama/reklame dengan berbagai bentuknya perlu diatur dan
ditata agar terjalin kecocokan lingkungan, pengurangan dampak visual negatif,
mengurangi kompetisi antara reklame dan juga mencegah kebisingan masyarakat atau
warga kota akan tampilan visual kotanya.
Universitas Sumatera Utara
16
Charlotte Design Guideline menyusun panduan penempatan signage pada tiga
zona, yaitu:
1. Private information zone; ditempatkan sampai batas proyeksi teritis
kanopi bangunan, small sign, orientasi untuk pejalan kaki.
2. Pedestrian zone; ditempatkan dalam batas persil bangunan, untuk
informasi lokasi, historis, nama kios, orientasi pejalan kaki.
3. Traffic zone; ditempatkan di dalam ROW, hanya diijinkan untuk rambu-
rambu lalu lintas.
2.1.7 Preservasi
Pelestarian tidak hanya berkenaan dengan kepentingan bangunan dan tempat
bersejarah, tetapi juga semua tempat dan bangunan yang ada sepanjang mereka secara
ekonomi adalah vital dan secara budaya mempunyai arti penting. Di dalam rancangan
kota pelestarian harus ditujukan untuk melindungi atau mempertahankan lingkungan
dan juga diarahkan pada pelestarian suatu kegiatan.
2.1.8 Ruang Terbuka Hijau (Open Space)
Pada elemen perancangan kota ruang terbuka didefinisikan sebagai lansekap,
hardscape (jalan, jalur pejalan kaki, dan sejenisnya), park, dan rekreasi terbuka di
dalam kota. Lahan kosong di dalam kota yang lazim disebut “super hole” pada masa
peremajaan kota tidak termasuk ruang terbuka karena ruang tersebut terbentuk secara
organis.
Universitas Sumatera Utara
17
2.2 Teori Pendekatan dalam Perancangan Kota
Menurut Roger Trancik, pendekatan figure/gound, linkage and place,
merupakan landasan yang dapat digunakan untuk melakukan perancangan kota, baik
secara historis maupun modern.
Ketiga pendekatan tersebut sama-sama memiliki potensi sebagai salah satu
strategi perancangan kota yang menekankan produk rancang kota secara terpadu.
Ketidakpahaman terhadap tiga pendekatan ini (Zahnd; 1999) seringkali menyebabkan
kegagalan dalam mendesain kawasan kota dengan baik, terutama terhadap hubungan-
hubungan antara tiga pendekatan tersebut.
2.2.1 Teori figure ground
Teori ini dapat dipahami melalui pola tatanan kota sebagai hubungan tekstural
antara bentuk yang akan dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space).
Figure adalah istilah untuk massa yang dibangun (biasanya di dalam gambar
ditunjukkan dengan warna hitam) dan ground adalah istilah untuk semua ruang di
luar massa tersebut (biasanya ditunjukkan dengan warna putih). Figure juga dimaknai
sebagai solid (blok massa) dan ground dimaknai sebagai void (ruang). Figure/ground
dapat digambarkan dalam skala makro dan mikro yaitu:
1. Dalam skala makro, figure/ground memperhatikan kota atau bagian kota
keseluruhannya.
2. Dalam skala mikro, figure/ground difokuskan pada satu kawasan saja.
Pada Gambar 2.1 dapat dilihat bentuk figure ground dari beberapa kota
Universitas Sumatera Utara
18
yang menunjukkan kepadatan yang berbeda.
Gambar 2.1 Contoh Figure GroundSumber: Markus Zahnd, 1999
Figure/ground pada skala ini berfokus pada ciri khas tekstur dan
permasalahan tekstur secara mendalam.
Analisa figure/gound adalah alat yang sangat baik untuk:
a. Mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola tata ruang perkotaan
(urban fabric).
Universitas Sumatera Utara
19
b. Mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang.
Kelemahan analisis figure/gound adalah:
a. Perhatiannya hanya mengarah pada gagasan-gagasan ruang perkotaan
yang bersifat dua dimensi saja.
b. Perhatiannya sering dianggap terlalu statis.
2.2.2 Teori linkage
Teori ini dapat dipahami dari segi dinamika rupa perkotaan yang dianggap
baik sebagai generator penggerak kegiatan kota dan antar bagian kota. Penjelasan
mengenai teori figure/ground belum memberikan gambaran mengenai hubungan
pergerakan kegiatan di antara keduanya, karena itu perlu dipertegas dengan
hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan pada sebuah tata ruang kota, yang disebut
dengan istilah linkage (penghubung).
a. Linkage Visual
Linkage visual menghasilkan hubungan visual berupa garis, koridor, sisi,
sumbu dan irama dengan elemen-elemen sebagai berikut:
1. Elemen garis menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu
deretan massa, baik berupa bangunan maupun deretan pepohonan yang
memiliki massivitas dan membentuk garis lurus atau linear dengan
elemen pengakhiran pada kedua ujung garis linear tersebut seperti pada
Gambar 2.2. Garis linear yang terbentuk menimbulkan efek
keterhubungan/linkage yang kuat antara elemen pembentuk ruang kota.
Universitas Sumatera Utara
20
Gambar 2.2 Elemen GarisSumber: Markus Zahnd, 1999
2. Elemen koridor dibentuk oleh dua deretan massa yang membentuk
sebuah ruang seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Elemen KoridorSumber: Markus Zahnd, 1999
3. Elemen sisi menghubungkan suatu kawasan dengan satu massa, tetapi
tidak perlu diwujudkan dalam bentuk massa yang tipis elemen garis
seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Elemen SisiSumber: Markus Zahnd, 1999
4. Elemen sumbu mirip dengan koridor tetapi lebih banyak menggunakan
akses untuk menonjolkan bagian yang dianggap penting dan membentuk
konfigurasi dua dimensi seperti pada Gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.5 Elemen SumbuSumber: Markus Zahnd, 1999
5. Irama menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang
(ulang, varian, kontras, dan lainnya) seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 IramaSumber: Markus Zahnd, 1999
b. Linkage Struktural
Linkage struktural digunakan untuk menyatukan kawasan-kawasan kota
melalui bentuk jaringan struktural yang disebut collase (Colin Rowe dalam
Zahnd) atau disebut dengan istilah pattern atau pola struktur kota.
Linkage struktural pada dasarnya bertujuan:
1. Menggabungkan dua atau lebih kawasan sesuai dengan pola yang
diinginkan.
2. Menggabungkan dua kawasan dengan menonjolkan suatu kawasan
tertentu.
Universitas Sumatera Utara
22
Dalam penataan ruang kota, linkage sruktural yang baik menggunakan pola
kota dan bangunan sebagai stabilisator dan koordinator. Tanpa adanya koordinasi
dalam pembetukan struktur ini maka akan muncul tatanan ruang dan bangunan kota
yang berkesan kacau. Penerapan elemen linkage struktural dapat dilakukan dengan
cara:
1. Menambahkan atau melanjutkan pola yang sudah ada. Bentuk massa dan
ruang boleh berbeda tetapi harus tetap dipahami sebagai bagian dari
kawasan tersebut.
2. Menyambung elemen dengan memasukkan unsur-unsur baru dari elemen-
elemen di sekitar atau di luar kawasan.
3. Menembus sedikit mirip dengan elemen tambahan tetapi lebih rumit
karena polanya merupakan penggabungan dari pola-pola yang ada di
sekitarnya sehingga memberikan kesan sebagai campuran dari wujud
lingkungan di sekitarnya.
c. Linkage Kolektif
Linkage kolektif menunjukkan hubungan menyeluruh yang bersifat kolektif
dari ciri khas dan organisasi wujud fisik (spatial) kota. Ini disebabkan karena
sebuah kota memiliki banyak wilayah yang mempunyai makna terhadap
hubungan dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal), yaitu dari dirinya
sendiri maupun dari lingkungannya. Dalam tipe ini, linkage dikembangkan
secara organis di mana pola keterhubungan yang terbentuk cenderung pola
Universitas Sumatera Utara
23
yang tidak teratur namun tetap memiliki keterhubungan yang cukup kuat
secara visual.
Ada tiga tipe bentuk kolektif (Fumihiko Maki; 1964):
1. Bentuk komposisi (compositional form)
Merancang obyek-obyek seperti komposisi dua dimensi seperti pada
Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Bentuk KomposisiSumber: Markus Zahnd, 1999
2. Bentuk mega (mega form)
Menghubungkan struktur seperti bingkai yang linier atau sebagai grid
(pola spatial kota). Linkage dicapai melalui hirarki yang bersifat open
ended (masih terbuka untuk berkembang) seperti pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Bentuk MegaSumber: Markus Zahnd, 1999
Universitas Sumatera Utara
24
3. Bentuk kelompok (group form)
Muncul dari penambahan akumulasi bentuk dan struktur yang biasanya
berada di sekitar ruang terbuka publik. Pola yang terbentuk cenderung
lebih fleksibel dan tidak kaku namun tetap menunjukkan keterhubungan
yang kuat seperti pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Bentuk KelompokSumber: Markus Zahnd, 1999
2.2.3 Teori place
Pendekatan ini dipahami dari segi seberapa besar pentingnya ruang-ruang kota
dikaitkan dengan nilai kesejarahan, kehidupan budaya dan kehidupan sosial
masyarakatnya.
Pendekatan ini adalah alat yang baik untuk:
1. Memberikan makna pada ruang kota melalui tanda kehidupan kota yang
dicerminkan pada aktivitas masyarakatnya.
2. Memberikan makna pada ruang kota secara kontenkstual.
Kelemahan pendekatan ini adalah perhatiannya hanya difokuskan pada satu
Universitas Sumatera Utara
25
tempat saja. Teori place (dapat) merujuk pada pemahaman pembentukan identitas
lingkungan berdasarkan teori Kevin Lynch yaitu:
1. Paht (jalur)
2. Edge
3. Landmark
4. Node
5. District
Gagasan Lynch dalam Image of Environment mengenai pembentukan
identitas lingkungan dapat dimaknai sebagai berikut:
1. Identitas lingkungan merupakan karakter spesifik yang tidak dimiliki
wilayah lain.
2. Identitas lingkungan ditempatkan pada unsur-unsur lingkungan yang
mudah diamati dan dikenali.
3. Identitas lingkungan ditampilkan dalam wujud yang bersifat inderawi.
Ketiganya merupakan rangkaian proses yang berkesinambungan, bahkan
menghubungkan konsep yang bersifat transenden sampai ke wujud fisik yang mudah
dipahami.
2.3 Aspek Psikologi Arsitektur
Dalam menterjemahkan dimensi manusia ke dalam urban desain harus
banyak memperhatikan hakikat manusia seperti yang dikaji dalam ilmu-ilmu
perilaku/ behavioural science yaitu psikologi, perseptual, kultural dan data sosial.
Universitas Sumatera Utara
26
Namun tidak boleh dilupakan bahwa seorang perancang kota membutuhkan data-data
dan konsep tentang bentuk fisik di samping konsep-konsep tentang manusia dan
perilakunya.
Bentuk dan massa bangunan terdiri dari elemen-elemen antara lain ketinggian,
kepejalan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar bangunan, penutupan
(coverage), garis sempadan, langgam/gaya arsitektur, skala, material, tekstur dan
warna. Semua elemen ini menimbulkan pengaruh atau kesan secara psikologis
terhadap manusia. Kesan psikologis ini ditimbulkan terutama oleh “stimulus” visual
yang diterima oleh pengamat.
Menurut Proshansky bahwa kini perhatian utama dalam perancangan urban
adalah “the study of human behavior and experience in relation to the urban setting“3
dan memang psikologi lingkungan berpengaruh langsung ketimbang ilmu-ilmu sosial
lainnya.4 Proses interaksi lingkungan ini dapat dilihat seperti pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Bagan proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objekSumber: Prohansky, 1976
3 Proshansky, Environmental Psychology, 1976 dalam Rudyanto Soesilo dan Agus Zulkarnaen ( Eds ),Teori Perancangan Kota AR-741 Perancangan Urban ( hal. II-38 ), Teknik Arsitektur Fakultas PascaSarjana ITB 1990/1991.4 The Essential point is that the city dweller is socialized not justby people, personalities and socialgroups but by spaces and places.
INFORMASI
KOGNISI
SIKAPPERSEPSI
MOTIVASI
PERILAKU
PENGALAMAN
ALATINDERA
Universitas Sumatera Utara
27
Bagan di atas menerangkan bahwa informasi yang diterima oleh indera visual
manusia yang berupa komposisi dari elemen-elemen bentuk dan massa bangunan
kemudian diserap oleh otak pengamat dan terjadi dinamika penyerapan dari informasi
tersebut. Selanjutnya adalah proses pemaknaan atau persepsi yang akan sangat
tergantung pada tingkat pengetahuan dan pengalaman (kognisi) yang dimiliki oleh
pengamat, kemudian timbul motivasi untuk bersikap dengan perilaku.
Pertimbangan tentang hubungan antara konfigurasi pola jalan dan bangunan
dengan aspek ingatan peta kognitif (cognitive map) telah banyak menyumbang pada
pembentukan konsep-konsep perancangan urban. Pengaruh struktur kota pada kognisi
lingkungan (environmental cognition) juga menjadi pertimbangan penting dalam
perancangan lingkungan urban. Sebagai contoh perencanaan kota baru Ciudad
Guyana di Venezuela oleh Aplleyard 1976 yang banyak menggunakan hasil riset
Kevin Lynch menunjukkan bahwa kawasan urban dapat diorganisasikan secara
maksimal dengan pola jalan kota yang regular, distrik yang dibatasi dengan jelas dan
landmark yang mudah terlihat dan hasilnya sangat memuaskan secara psikologis.
Penyajian informasi yang baik akan menimbulkan kesan yang baik pula pada
pengamat demikian juga sebaliknya bila informasi yang disajikan tidak baik maka
akan menimbulkan kesan yang tidak baik pula bagi pengamat yang akhirnya
membentuk persepsi manusia sebagai akibat kondisi lingkungan yang ada. Dengan
demikian jelas bahwa proses perancangan arsitektur terlebih lagi menyangkut suatu
kawasan urban harus dapat menghasilkan penyajian informasi yang baik secara
Universitas Sumatera Utara
28
visual kepada pengamat dengan mempertimbangkan seluruh elemen yang
mempengaruhi bentuk dan massa bangunan agar dapat mencapai kesan yang baik
berupa visual comfort dan psychology comfort.
Smardon (1986) mengatakan bahwa nilai visual suatu kawasan ditunjukkan
oleh adanya kualitas fisik yang terbentuk oleh hubungan atau interelasi antar elemen
elemen visual pada suatu lansekap kota dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
1. Dominasi; berkaitan dengan peraturan pemerintah, sesuatu yang
berpengaruh terhadap pengalaman seseorang, ditimbulkan oleh satu atau
dua elemen yang sangat kontras, yang secara visual sangat menonjol.
2. Keragaman; perbedaan pola-pola elemen yang bervariasi dan hubungan
jalan dengan elemen-elemen tersebut.
3. Kesesuaian; kesesuaian elemen visual dengan fungsi.
4. Keharmonisan; keselarasan elemen-elemen visual.
5. Kesatuan; harmoni secara keseluruhan elemen visual dengan lingkungan
sekitar.
6. Keunikan; karakter visual, sumber visual, kualitas visual yang aneh, atau
jarang ditemukan.
7. Kontinuitas; suatu kesinambungan secara visual, keterhubungan yang
tidak terpisahkan, rangkaian, perpaduan.
8. Keistimewaan; kesan visual yang tidak terlupakan, dibentuk oleh adanya
elemen atau unit visual yang menonjol dan menarik.
Universitas Sumatera Utara
29
Penilaian aspek visual merupakan hasil interaksi antara masyarakat terhadap
lingkungan kota dalam persepsi mengenai town image atau karakter dalam pemikiran
(in mind), merupakan perpaduan (composite) dari aspek natural dan cultural
landscape (Garnham, 1985). Persepsi sebagai tanggapan interaksi oleh pengamat
dapat berbeda-beda, dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang, keadaan cahaya,
jarak amatan, serta bidang pandang yang mengelilingi objek (Betchel dalam Naupan
2007).
Persepsi yang ditimbulkan akibat interaksi antara pengamat dan objek
dipengaruhi oleh jarak amatan dalam skala ruang (Garnham, 1985). Posisi amatan
mempengaruhi penentuan persepsi dalam hal sudut pandangan dan atitude (Smardon,
1986). Amatan akan dirasakan optimal bila jarak dalam keadaan seimbang (balance).
Jarak amatan yang terlalu besar akan menghasilkan persepsi monumental dan dalam
jarak amatan yang terlalu dekat akan merasakan skala ruang yang lebih intim
sehingga dapat menggambarkan persepsi pada tekstur objek amatan (Ashihara, 1970).
Persepsi visual yang terbentuk adalah suatu media komunikasi yang dapat mudah
untuk diterima oleh para pengamat. Tujuan dari persepsi visual adalah untuk
mengidentifikasi variasi pengalaman untuk memperoleh respon terhadap lingkungan
terbangun melalui media stimulasi fotografi, setting lingkungan dan bangunan
(Alexander, 1977; Purcel, 1995; Betchel, 1987 dalam Naupan, 2007). Persepsi visual
memberikan gambaran penilaian terhadap kualitas visual. Kontekstual penilaian
kualitas visual dipengaruhi oleh konteks lingkungan dan derajat kelangkaan. Objek
Universitas Sumatera Utara
30
visual tidak dapat dinikmati secara tunggal tanpa memperhatikan kesatuan pandangan
dengan lingkungannya (Cullen, 1961). Penilaian kualitas visual pada awalnya
ditujukan untuk ruang terbuka/lansekap dan area jalur pedestrian (Smardon, 1986).
P Penilaian kualitas ruang di perkotaan perlu adanya penyesuaian skala berdasar
kan pada cultural landscape bangunan fisik kota yang mendominasi suatu kota
(Kristiadi dalam Naupan, 2007).5
Berkaitan dengan itu Asihara (1974) menjelaskan bahwa manusia dalam
mengamati suatu objek visual, sudut pandangan mata manusia secara normal pada
bidang vertikal adalah 60o, tetapi bila melihat secara intensif maka sudut pandangan
berkurang menjadi 1o seperti pada Gambar 2.11. Sudut pandang terhadap objek juga
dipengaruhi oleh jarak manusia terhadap objek yang diamati. Semakin jauh jaraknya
semakin besar sudut amatan sebaliknya semakin dekat jaraknya semakin kecil sudut
amatan terhadap objek yang diamati.
pengamatan pengamatan
normal 60o intensif 1o
Gambar 2.11 Sudut pandang mata manusiaSumber: Data sekunder yang diolah, 2012
5 Kristiadi. dalam Naupan, 2007 dalam Femy Kartika K.D. Felisia. Tesis Pengaruh Activity SupportTerhadap Penurunan Kualitas Visual Pada Kawasan Kampus UNDIP Semarang, 2008
Universitas Sumatera Utara
31
Mata memandang bangunan memiliki 2/3 bidang penglihatan di atas bidang
ketinggian mata. Jika bagian langit harus dimasukkan ke dalam bidang pandangan
maka penglihatan seseorang dapat melihat sebuah bangunan sebagai keseluruhan
pada sudut 27o atau D/H = 2 (D: jarak bangunan ke pengamat, H: tinggi bangunan).
Dalam keadaan ini bangunan akan mengisi seluruh bidang penglihatan
pengamat. Jika pengamat ingin mengamati deretan bangunan/sekelompok bangunan
maka harus pada sudut 18o atau D/H = 3 (Ashihara, 1970). Menurut Ashihara skala
eksterior cenderung samar dan mendua, apabila ruang itu kekurangan suatu gaya
yang melingkupi. Jika bangunan berdiri sendiri maka bangunan cenderung bersifat
sculptural atau monumental karakternya. Bila D/H = 1, maka merupakan titik genting
(nisbi normal) di mana kualitas ruang eksterior dirasakan kehilangan keseimbangan
antara tinggi bangunan dan ruang antara bangunan. Perletakan D/H = 1,2,3 paling
sering digunakan (Norman, 1983).
Jika D/H>4 maka interaksi bersama mulai menghilang dan interaksi antar
bangunan sukar dirasakan. Sedangkan bila D/H < 1 maka bentuk dan raut bangunan,
tekstur dinding, ukuran dan lokasi, pembukaan-pembukaan dan sudut masuknya
cahaya kedalam bangunan menjadi persoalan utama. Namun tata letak D/H < 1 dapat
dicapai jika suatu keseimbangan yang memadai dijaga dan hubungan antara
bangunan dan ruang sebaiknya distabilkan.
Meskipun pandangan ideal D/H = 2, namun untuk menciptakan skala kawasan
yang lebih intim seperti kawasan komersial, rasio perbandingan yang cocok adalah
Universitas Sumatera Utara
32
Batas normal H
Jarak komersil
berada pada rasio perbandingan D/H = 1 bahkan dapat mencapai D/H = 0,6
(Ashihara, 1970) seperti pada Gambar 2.12. Hal ini dimungkinkan terjadi pada ruang-
ruang kota mengingat nilai komersial yang tinggi sehingga ruang yang ada selalu
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk dapat menampung kebutuhan aktifitas yang
ada.
Gambar 2.12Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
D
HD/H>4
Interaksi mulai hilang
Pengamat Bangunan
Pengamatan kelompok bangunan
D/H=3H
DPengamat Bangunan
Bangunan
Jarak pandang ideal
D/H=2H
DPengamat
DPengamat Bangunan
D/H=3
H
Pengamat Bangunan
D/H<1
D
Universitas Sumatera Utara
33
2.4 Teori Persepsi
Persepsi pada dasarnya adalah proses aktif untuk menghasilkan informasi dari
lingkungannya yang dibimbing oleh motivasi dan kebutuhan seseorang. Pada
umumnya manusia memberikan perhatian pada sesuatu secara bertahap dan semakin
detail sehingga membentuk klasifikasi pengalaman pada dirinya. Gerakan
(movement) menurut Gibson (1979) merupakan aspek penting dalam persepsi,
gerakan badan yang dilakukan manusia adalah salah satu cara manusia untuk
mendapatkan informasi dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan menurut Sarlito
(1992) pengertian persepsi dalam pandangan kontruktivisme adalah kumpulan
penginderaan yang diorganisasikan secara tertentu yang dikaitkan dengan
pengalaman masa lalu dan dikaitkan pada makna tertentu. Persepsi manusia dapat
berubah-ubah karena adanya proses fisiologis dan ruang mempunyai atribut yang
dapat mempengaruhi persepsi seseorang.
Faktor-faktor pemahaman ruang (tingkah laku) menyangkut hal-hal yang
lebih dalam mengenai aspek psikologi dari pemakai, bagaimana persepsinya
mengenai suatu ruang/bangunan, bagaimana kebutuhan interaksi sosial antara
pemakai dan bagaimana arti simbolis suatu ruang/bangunan. Menurut Hall.E, (1966)
pengalaman ruang dapat dibentuk melalui:
1. Visual space, terbentuk dari persepsi indera penglihatan.
2. Audial space, terbentuk dari persepsi indera pendengaran.
3. Obsticel space, terbentuk dari persepsi indera penciuman.
Universitas Sumatera Utara
34
4. Thermal space, terbentuk dari persepsi terhadap temperatur lingkungan.
5. Testicle space, terbentuk dari persepsi indera peraba.
6. Kinesthetic space, terbentuk dari persepsi keterbatasan gerak manusia.
2.4.1 Persepsi sebagai produk interaksi individu dan setting
Penghuni dalam ruang, mendapat stimulus dari susunan objek fisik (properti)
dalam suatu setting melaui proses penginderaan untuk dimengerti dan dimaknai
berdasarkan pengalaman individu. Hasil proses penginderaan tadi berupa makna dari
interaksi individu terhadap properti yang dapat mempengaruhi individu tersebut yang
dinamakan persepsi individu terhadap properti. Persepsi inilah yang selanjutnya
menghasilkan reaksi yang berwujud sikap terhadap lingkungannya.
2.4.2 Atribut sebagai produk interaksi individu dalam setting
Menurut Weissman (1981) fenomena perilaku merupakan bentuk interaksi
individu maupun organisasi dengan setting lingkungan (properti dan komponen
lingkungan), fenomena perilaku ini disebut ”atribut” manusia. Lebih lanjut Weissman
(1981) menyebutkan fenomena perilaku berupa atribut tersebut diantaranya:
1. Kenyamananan, adalah lingkungan yang memberi rasa nyaman sesuai
tuntutan panca indera dan antropometrik, serta dapat memfasilitasi
kegiatan untuk mendapatkan efisiensi ruang. Dalam hal ini
kenyamananan memiliki ambang batas ”mutlak” panca indera (Atkinson
dkk, 1983) seperti penglihatan dalam melihat lilin menyala jarak 30 mil di
Universitas Sumatera Utara
35
malam yang gelap, pendengaran dalam mendengar detak jam jarak 20
kaki disuasana tenang, perasa dalam sesendok teh gula dalam satu galon
air, penciuman dalam setetes parfum yang menguap ke dalam ruangan,
dan sayap lalat yang jatuh 1 cm dari pipi.
2. Aktivitas, adalah perilaku dalam suatu ruangan secara terus menerus.
3. Kesesakan, perasaan individu tentang kepadatan (density) suatu
lingkungan. Meskipun tidak selalu berkaitan tetapi kesesakan dan
kepadatan ruang sering saling mempengaruhi.
4. Sosiabilitas, adalah kemampuan individu melakukan hubungan sosial
dalam suatu setting, dalam hal ini menyangkut pola kedekatan hubungan
antar individu dalam setting konteks keruangan.
5. Privasi, merupakan keinginan atau kecenderungan pada diri manusia
untuk tidak diganggu. Dalam konteks keruangan lebih ke arah
teritorialitas suatu individu.
6. Aksesbilitas, merupakan kemudahan untuk bergerak dalam rangka
melalui maupun menggunakan lingkungan. Dalam konteks ini kelancaran
sirkulasi menuju suatu tujuan yang menjadi konsep utama.
7. Kemampuan beradaptasi, merupakan kemampuan lingkungan untuk
menampung perilaku-perilaku yang berbeda dalam suatu setting. Menurut
Woodwart dalam Gerungan (2000), ada empat kemungkinan.
8. Makna, adalah kemampuan lingkungan menyajikan makna-makna indivi
Universitas Sumatera Utara
36
dual atau budaya bagi penghuni.
9. Legalibilitas, kemampuan lingkungan memudahkan manusia untuk
memahami lingkungan tersebut.
10. Kontrol adalah kondisi suatu ruang mewujudkan personalitas maupun
teritori yang digunakan untuk mengendalikan teritorial personal mereka.
11. Visibilitas, kemampuan ruang untuk dapat terlihat dengan mudah pada
jarak tertentu hal ini termasuk segala hal yang dilakukan supaya terlihat
dari daerah tertentu.
Konsep mengenai ruang (space), selama ini dikembangkan malalui beberapa
pendekatan, yang paling dominan menurut Friedman dan Harvey dalam Hariyadi
(1995) adalah:
1. Pendekatan ekologis
Dari pendekatan ini, ruang dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem, di
mana komponen-komponen pembentuk ruang saling berhubungan,
berpengaruh dan terkait secara mekanis.
2. Pendekatan ekonomi-fungsional
Dari pendekatan ini, ruang dipandang sebagai komoditi, di mana secara
natural, dinamika pasar akan membentuk keseimbangan antara
permintaan dan penawaran ruang, sehingga kriteria pemanfaatan ruang
menjadi pertimbangan utama pendekatan ini.
3. Pendekatan sosial-politik
Universitas Sumatera Utara
37
Dari pendekatan ini, ruang digunakan untuk menunjukan power
seseorang atau kelompok tertentu dengan tujuan untuk menguasai ruang
tersebut.
Dari ketiga pendekatan tersebut pola ruang publik terkait kegiatan komersial
adalah susunan posisi dari ruang yang dapat diakses oleh publik yang dimanfaatkan
oleh seseorang atau sekelompok orang untuk dapat melakukan kegiatan komersial di
ruang tersebut.
2.5 Teori Aktivitas Pendukung
2.5.1 Definisi aktivitas pendukung
Kota merupakan suatu ruang atau wadah yang di dalamnya terkait dengan
manusia dan kehidupannya. Kota akan terus berkembang dan seiring dengan
perkembangan pada suatu kawasan akan menarik tumbuhnya aktivitas-aktivitas yang
mendukung perkembangan kawasan tersebut yaitu elemen aktivitas pendukung.
Menurut Shirvani (1985) aktivitas pendukung termasuk di dalamnya semua
fungsi dan kegiatan yang memperkuat ruang-ruang publik kota, antara aktivitas dan
ruang fisik selalu saling melengkapi. Bentuk, lokasi, dan karakter suatu tempat
spesifik akan menarik munculnya fungsi, penggunaan ruang dan aktivitas yang
spesifik pula. Sebaliknya suatu kegiatan cenderung memperhatikan lokasi yang layak
dan baik untuk mendukung kegiatan itu sendiri. Dalam hubungannya dengan
perancangan kota, aktivitas pendukung ini berarti suatu elemen kota yang mendukung
dua atau lebih pusat kegiatan umum yang berada di kawasan pusat kota yang
Universitas Sumatera Utara
38
mempunyai konsentrasi pelayanan yang cukup besar.
Aktivitas pendukung tidak hanya menyediakan jalan pedestrian atau plaza
tetapi juga mempertimbangkan fungsi utama dan penggunaan elemen-elemen kota
yang dapat menggerakkan aktivitas (Darmawan, 2003). Karakteristik suatu ruang
publik akan terbentuk karena adanya aktivitas-aktivitas yang tumbuh dan berkembang
sehingga memperkuat imej ruang publik tersebut (Lynch, 1969).
2.5.2. Fungsi aktivitas pendukung
Menurut Krier (1979) aktivitas pada sebuah kota akan muncul pada area-area
publik seperti square dan jalan. Jalan merupakan penghubung antar bagian dalam
sebuah kota memiliki potensi untuk munculnya fungsi dan aktivitas lain. Aktivitas
komersil tersebut menjadi generator yang dapat menghidupkan ruang publik. Adapun
fungsi utama aktivitas pendukung adalah menghubungkan dua atau lebih pusat-pusat
kegiatan umum dan menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup,
menerus, dan ramai (Danisworo dalam Suntoro, 2002).
Tujuannya adalah untuk menciptakan kehidupan kota yang sempurna/lebih
baik yang dengan mudah mengakomodasikan kebutuhan atau barang keperluan
sehari-hari kepada masyarakat kota, di samping memberikan pengalaman-
pengalaman yang memperkaya pemakai (urban experience) dan memberikan peluang
bagi tumbuh berkembangnya budaya urban melalui lingkungan binaan yang baik dan
bersifat mendidik. Kemudahan akses dan kenyamanan fasilitas pada lingkungan
binaan tersebutlah yang pada akhirnya akan mewujudkan kota yang manusiawi.
Universitas Sumatera Utara
39
2.5.3 Bentuk aktivitas pendukung
Bentuk aktivitas pendukung yaitu:
1. Ruang terbuka, bentuk fisiknya dapat berupa taman rekreasi, taman kota,
plaza-plaza, taman budaya, kawasan pedagang kaki lima, jalur pedestrian,
kumpulan pedagang makanan kecil, penjual barang-barang seni/antik,
kumpulan pedagang makanan kecil, penjual barang-barang seni/antik atau
merupakan kelompok hiburan tradisional/lokal.
2. Bangunan diperuntukkan bagi kepentingan umum/ruang tertutup adalah
kelompok pertokoan eceran (grosir), pusat pemerintahan, pusat jasa dan
kantor, department store, perpustakaan umum, dan sebagainya.
2.5.4 Kriteria perancangan aktivitas pendukung
Menurut Brolin dalam Suntoro (2002) untuk menghadirkan ciri lingkungan
kota yang ada hendaknya kriteria desain dari bentuk dan fungsi aktivitas pendukung
ini juga melihat aspek kontekstual dan serasi dengan lingkungannya. Di sini
dibutuhkan kejelian seorang perancang kota (arsitek) untuk menangkap nuansa
lingkungan yang ada dan mengekspresikannya lewat kreativitas yang hasilnya selaras
dengan lingkungannya. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam perancangan
aktivitas pendukung antara lain:
1. Untuk terciptanya dialog yang menerus dan memiliki karakter lokal perlu
adanya keragaman dan intensitas kegiatan yang dihadirkan dalam ruang
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
40
2. Perlu adanya koordinasi antara kegiatan dengan lingkungan binaan yang
dirancang.
3. Dengan memperhatikan kultur dan pola kehidupan sosial kota merupakan
suatu sistem dari bentuk kegiatan yang memperhatikan aspek kontekstual
terhadap lingkungannya.
4. Untuk dapat menampung aktivitas pada elemen aktivitas pendukung perlu
adanya bentuk dan lokasi yang terukur dari ruang/fasilitas yang
menampung dan bertitik tolak dari skala manusia, agar tidak terjadi
konflik kepentingan antara pengguna tanah di kota.
5. Dalam penggunaan ruang-ruang umum kota seperti taman kota perlu
adanya tempat duduk yang memenuhi persyaratan desain sehingga para
pemakai dapat menikmati lingkungan sekelilingnya.
Keberadaan aktivitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi
kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang publik kota, sehingga semakin
dekat dengan pusat kota semakin tinggi intensitas dan beragam kegiatannya.
Keberadaan elemen aktivitas pendukung diharapkan dapat mengintegrasikan dan
menjadi penghubung antar kegiatan yang terjadi. Kenyataan yang menunjukkan
ruang publik banyak dipadati dan dimanfaatkan oleh masyarakat menunjukkan tanda
sebuah kota yang sehat dan hidup.
2.6 Teori Pertumbuhan Koridor
Salah satu bentuk dasar street adalah koridor, yang merupakan ruang pergerak
Universitas Sumatera Utara
41
an linear, sebagai sarana untuk sirkulasi. Karakteristiknya ditentukan oleh bangunan
yang melingkupinya dan aktifitas yang ada pada koridor tersebut (Krier, 1979). Selain
itu, pembangunan yang terkontrol dengan koridor jalan untuk kendaraan yang
mempunyai kontribusi yang besar bagi pergerakan dan bentuk trafik dalam suatu
perkotaan (Bishop, 1989). Dalam buku Designing Urban Coridor (Bishop, 1989)
terdapat 2 macam urban koridor, yaitu:
1. Komersial koridor, urban komersial koridor termasuk didalamnya.
Beberapa dari jalan untuk kendaraan utama yang melewati kota. Biasanya
dimulai dari area-area komersial menuju pusat sub-urban yang baru di
mana padat dengan kompleks perkantoran dan pusat layanan.
2. Scenic koridor, memang kurang umum jika dibandingkan dengan
komersial koridor, tetapi scenic koridor memberikan pemandangan yang
unik dan terkenal bagi pengendara saat melewati jalan tersebut. Walaupun
scenic koridor kebanyakan berada di area pedesaan, beberapa komunitas
masyarakat mengenali keunikan urban koridor tersebut karena
memberikan kesempatan bagi mereka dalam perjalanan.
Pendekatan lokal dalam desain dan kontrol dari komersial koridor tergantung
dari fungsi jalan dan lingkungan komunitas masyarakat di mana jalan tersebut berada.
Jumlah, ukuran, dan kondisi dari koridor yang penting akan bervariasi tergantung dari
komunitas tersebut. Pemeliharaan dari keberadaan koridor akan memecahkan
beberapa problem utama kecepatan pertumbuhan suatu kota. Koridor sebagai ruang
Universitas Sumatera Utara
42
pergerakan, memiliki 2 pengaruh langsung pada kualitas lingkungan, yaitu
kelangsungan aktivitas komersial dan kualitas visual yang kuat terhadap struktur dan
bentuk fisik kota. Elemen sirkulasi urban design merupakan peralatan yang
bermanfaat dalam menyusun lingkungan kota karena dapat
membentuk, mengarahkan, dan mengontrol pola aktifitas dan pengembangan suatu
kota (Shirvani, 1985).
Keberadaan suatu koridor sebagai pembentuk elemen kota tidak akan terlepas
dari faktor yang ada dalam koridor tersebut yaitu:
1. Fasade
2. Figure Ground
3. Pedestrian Ways
4. Street Furniture;xx
Bentuk koridor menurut Rob Kryer adalah ruang terbuka dengan bentuk
memanjang yang memiliki batas-batas di sisinya. Menurut Edmund Bacon, koridor
berbentuk deretan massa yang menciptakan linkage visual antara 2 tempat. Roger
Trancik (1986) menyebutkan bahwa pola massa dalam sebuah koridor adalah suatu
figure ground yang dapat membantu mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola tata
ruang, selain itu juga masalah pembentukan dinding koridor.
Universitas Sumatera Utara