89658846 SOP Neurologi

download 89658846 SOP Neurologi

of 42

Transcript of 89658846 SOP Neurologi

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    1/42

    BAB 1

    PEMERIKSAAN FISIK DAN PENGKAJIAN PADA SISTEM PERSYARAFAN

    1.1 Pengertian Pemeriksaan Fisik Persyarafan

    Tubuh manusia akan berada dalam kondisi sehat jika mampu berespon dengan tepat

    terhadap perubahan-perubahan lingkungan secara terkoordinasi. Tubuh memerlukan

    koordinasi yang baik. Salah satu sistem komunikasi dalam tubuh adalah sistem saraf.

    Pengkajian system persarafan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk

    dilakukan dalam rangka menentukan diagnosa keperawatan tepat dan melakukan tindakan

    perawatan yang sesuai. Pada akhirnya perawat dapat mempertahankan dan meningkatkan

    status kesehatan klien.

    Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan penting yaitu pengkajian yang

    berupa wawancara yang berhubungan dengan riwayat kesehatan klien yang berhubungan

    dengan system persarafan seperti riwayat hipertensi, stroke, radang otak, atau selaput otak,

    penggunaan obat-obatan dan alcohol, dan penggunaan obat yang diminum secara teratur.

    Tahapan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status mental,

    pemeriksaan saraf cranial, pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan

    reflex. Dalam melakukan pemeriksaan fisik diperhatikan prinsip-prinsip head to toe,

    chepalocaudal dan proximodistal. Harus pula diperhatikan keamanan klien dan privacy klien.

    1.2 Tujuan Pemeriksaan Fisik Persyarafan

    Pada pemeriksaan fisik klien dengan gangguan sistem persarafan secara umum

    biasanya menggunakan teknik pengkajian persistem sama seperti pemeriksaan medikal

    bedah lainnya. Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebagaimana pemeriksaan fisik lainnya dan

    bertujuan untuk mengevaluasi keadaan fisik klien secara umum dan juga menilai apakah ada

    indikasi penyakit lainnya selain kelainan neurologis. Dalam melakukan pemeriksaan fisik

    sistem persyarafan seorang perawat memerlukan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi, dan

    patofisiologi dari sistem persyarafan. Pengalaman dan keterampilan perawat diperlukan

    dalam pengkajian dasar kemampuan fungsional sampai manuver pemeriksaan diagnostik

    cangih yang dapat menegakkan diagnosis kelainan pada sistem persyarafan.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 1

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    2/42

    Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan

    1.3.1 Siapkan peralatan yang diperlukan

    1. Refleks hammer

    2. Garputala

    3. Kapas dan lidi

    4. Penlight atau senter kecil

    5. Opthalmoskop

    6. Jarum steril

    7. Spatel tongue

    8. 2 tabung berisi air hangat dan air dingin

    9. Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh

    10.Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum

    11.Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula, atau cuka

    12. Baju periksa

    13. Sarung tangan

    1.3.2 Untuk Pemeriksa

    Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan, sesuaikan urutan pemeriksaan dengan

    keadaan umum klien, mulailah pemeriksaan fisik sejak awal kontak dengan klien dan

    gunakan general precaution, metode yang digunakan cepalo kadral atau distal ke proksimal.

    1.3 Prosedur Pemeriksaan Fisik Persyarafan

    Atur posisi klien, mintalah klien untuk duduk disisi tempat tidur. Amati cara

    berpakaian klien, postur tubuh klien, ekspresi wajah dan kemampuan bicara, intonasi, keras

    lembut, pemilihan kata dan kemudahan berespon terhadap pertanyaan. Nilai kesadara dengan

    menggunakan patokan Glasgow Coma Scale (GCS). Tanyakan waktu, tanggal, tempat dan

    alasan berkunjung, kaji kemampuan klien dalam berhitung dan mulailah dengan perhitungan

    yang sederhana. Kaji kemampuan klien untuk berfikir abstrak.

    1.4.1 Saraf Kranial

    1. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)

    Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih. Lakukan

    pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 2

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    3/42

    seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk

    lubang hidung yang satunya.

    2. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)

    a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan. Periksa

    ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart

    untuk jarak jauh.

    b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta

    untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata

    yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari arah luar klien

    dank lien diminta , mengucapkan ya bila pertama melihat benda tersebut. Ulangi

    pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat

    kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk

    melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)

    3. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)

    a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan ptosis

    kelopak mata

    b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya perdarahan

    pupil

    c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal) yaitu

    lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien

    mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya

    4. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)

    a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla, mandibula

    dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan ya bila

    merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.

    b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di ketiga

    area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.

    c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga area

    wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana yang merasakan sentuhan.

    Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 3

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    4/42

    d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang

    digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien mengatakan

    getaran tersebut terasa atau tidak

    e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke depan,

    dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat refleks menutup

    mata.

    f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa otot

    maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien

    melakukan gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.

    5. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)

    a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke ujung

    lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam

    b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua al;is

    berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa

    kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata kuat-kuat dan

    coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan

    dengan kedua jari.

    6. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)

    a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber test

    dan rhinne test

    b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri tegak,

    kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh,

    minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat

    mempertahankan posisi

    7. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)

    a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila uvula

    terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.

    b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring menggunakan

    aplikator dan observasi gerakan faring.

    c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air sedikit, observasi

    gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat klien

    berbicara.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 4

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    5/42

    8. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)

    a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu secara

    bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.

    b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke kanan

    dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian tanpa

    mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi

    c. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan kedua

    telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya

    ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.

    d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk menoleh

    kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya

    dorong

    9. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)

    a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi

    kesimetrisan gerakan lidah

    b. Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi dengan

    ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan

    kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain

    1.4.2 Fungsi Motorik

    Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri,

    impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis

    dan bersinaps dengan lower motor neuron.

    Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.

    1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi

    2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai

    persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan

    berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan

    pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.

    a. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku.

    Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap

    gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak

    tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 5

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    6/42

    b. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan

    terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.

    c. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.

    3. Kekuatan otot :

    Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan

    tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan

    diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovetts (memiliki nilai 0

    5)

    0 = tidak ada kontraksi sama sekali.

    1 = gerakan kontraksi.

    2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau

    gravitasi.

    3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

    4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

    5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

    1.4.3 Fungsi Sensorik

    Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan

    sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya

    dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang

    menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih

    bisa konsentrasi dengan baik).

    Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap beberapa

    stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis stimulus.

    Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli

    (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau

    perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan

    otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai

    keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:

    1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan

    refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.

    2. Kapas untuk rasa raba.

    3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 6

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    7/42

    4. Garpu tala, untuk rasa getar.

    5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :

    a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.

    b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk

    pemeriksaan stereognosis

    c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

    1.4.4 Fungsi Refleks

    Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks

    hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

    0 = tidak ada respon

    1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)

    2 = normal (++)

    3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)

    4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)

    Refleks-refleks yang diperiksa adalah :

    1. Refleks patella

    Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300.

    Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks

    hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.

    2. Refleks biceps

    Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah

    ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m.

    biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.

    Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian

    dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada

    lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

    3. Refleks triceps

    Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok dengan refleks

    hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).

    Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan

    dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-otot bahu

    atau mungkin ada klonus yang sementara.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 7

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    8/42

    4. Refleks achilles

    Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang

    diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.

    Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar

    fleksi kaki.

    5. Refleks abdominal

    Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores

    seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.

    6. Refleks Babinski

    Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus

    kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki

    dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon

    Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar.

    Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.

    Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan selaput otak

    (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :

    1. Kaku kuduk

    Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel

    pada dada, kaku kuduk positif (+).

    2. Tanda Brudzinski I

    Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien untuk

    mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif.

    Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan

    sendi lutut.

    3. Tanda Brudzinski II

    Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara pasif

    akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.

    4. Tanda Kernig

    Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.

    Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.

    Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.

    5. Test Laseque

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 8

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    9/42

    Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m.

    ischiadicus.

    Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 9

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    10/42

    1. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.

    Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua pergelangan tangan

    dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.

    2. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau diencephalon.

    Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi dan menutup

    kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.

    1.4 Indikasi Pemeriksaan GCS dan Refleks

    Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap

    rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :

    1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab

    semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..

    2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,

    sikapnya acuh tak acuh.

    3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-

    teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

    4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang

    lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah

    dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

    5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap

    nyeri.

    6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan

    apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon

    pupil terhadap cahaya).

    Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk

    perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena

    berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.

    Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau

    sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan

    dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).

    1.5 Tujuan Pemeriksaan GCS dan Refleks

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 10

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    11/42

    Pemeriksaan GCS dan Refleks ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.

    1.6.1 Penyebab Penurunan Kesadaran

    Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran

    dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran

    darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma

    ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis;

    pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan

    intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.

    1.6.2 Mengukur Tingkat Kesadaran

    Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin

    adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat

    cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil

    pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera

    kepala, yang menunjukan adanya penurunan kesadaran. Metoda lain adalah menggunakan

    sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata

    (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak

    berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).

    Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang

    kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik

    (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon

    (unresponsiveness).

    1.6 Persiapan Alat Pemeriksaan GCS dan Refleks

    1. Tahap Pra Interaksi

    a. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada

    b. Mencuci tangan

    c. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar

    2. Tahap Orientasi

    a. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik

    b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/pasien

    c. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan

    d. Tahap Kerja

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 11

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    12/42

    e. Mengatur posisi pasien: supinasi

    f. Menempatkan diri di sebelah kanan pasien, bila mungkin

    g. GCS (Glasgow Coma Scale)

    h. Memeriksa reflex membuka mata dengan benar

    i. Memeriksa reflex verbal dengan benar

    j. Memeriksa reflex motorik dengan benar

    k. Menilai hasil pemeriksaan

    3. Tahap Terminasi

    a. Melakukan evaluasi tindakan

    b. Berpamitan dengan klien

    c. Membereskan alat-alat

    d. Mencuci tangan

    e. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

    1.7 Prosedur Pemeriksaan GCS

    GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat

    kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon

    pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

    Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata,

    bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang

    angka 1 6 tergantung responnya.

    Pengkajian tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS, rea pengkajian meliputi :

    respon mata, respon motorik dan respon verbal. Total pengkajian bernilai 15, kondisi koma

    apabila bernilai kurang dari 7

    Kriteria Nilai

    Eye1. Spontan 4

    2. Terhadap stimulus verbal 3

    3. Terhadap stimulus nyeri 2

    4. Tidak ada respon 1

    Verbal

    1. Orientasi waktu, tempat, dan orang baik 5

    2. Berbicara dengan bingung 4

    3. Berkata-kata dengan tidak jelas 3

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 12

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    13/42

    4. Bergumam 2

    5. Tidak ada respon 1

    Motorik

    1. Mengikuti perintah 6

    2. Dapat melokalisasi nyeri 53. Fleksi (menarik) 4

    4. Postur dekortikasi; bahu abduksi dan Rotasi interna, fleksi pergelangan Tangan

    dan tinju mengepal3

    5. Postur deserabrasi; bahu abduksi dan Rotasi interna, ekstensi lengan bawah,

    fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal2

    6. Tidak berespon 1

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 13

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    14/42

    BAB 2

    KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KEGAWATAN SISTEM PERSYARAFAN

    2.1Cedera Kulit Kepala

    Kulit kepala mengandung banyak vaskularisasi/pembuluh darah. Bila mengalami

    trauma kecil saja akan mengeluarkan darah. Trauma akan menyebabkan abrasi, kontusio,

    laserasi, avulsi. Penanganan: irigasi, keluarkan benda asing, heacting, tutup luka.

    2.2 Cedera Kepala

    Yaitu trauma yang meliputi kulit kepala, tengkorak dan otak, mengakibatkan

    penyakit neurologik yang serius

    2.3Fraktur Tulang Tengkorak

    Tulang tengkorak terdiri dari Os calvaria dan Os basis cranii. Fraktur Tulang

    tengkorak adalah rusaknya kontinuitas Tulang tengkorak diseb oleh trauma, dapat terjadi

    dengan atau tanpa kerusakan otak

    1. Fraktur os calvaria berbentuk garis (linier): impresi dan non impresi

    2. Fraktur terbuka : mengakibatkan kerusakan duramater, harus lgsg dilakukan pembedahan

    3. Fraktur basis cranii : fraktur di sinus paranasalis pada Tulang frontal dan atau lokasi

    tengah telinga di Tulang temporal.

    Menimbulkan hemoraghi dari hidung, faring atau telinga dan perdarahan dibawah

    konjungtiva. Waspada pemasangan NGT, penderita tidak sadar (obstruksi jalan nafas).

    Fraktur basis cranii dicurigai saat CSS keluar dari telinga (otorea cerebrospinalis) dan

    hidung (rhinorea cerebrospinalis)

    2.4Cedera Otak

    Cedera minor dapat menyebabkan kerusaan bermakna. Otak tidak dapat menyimpan

    nutrisi (Glukosa dan O2). Sel-sel cerebral membutuhkan suplai darah terus menerus untuk

    regenerasi. Kerusakan otak bersifat ireversibel, cedera otak serius dapat terjadi dengan atau

    tanpa fraktur tengkorak. Cedera otak dapat terjadi setelah mengalami trauma yang

    menimbulkan kontusio, laserasi, dan hemoragi otak. Cedera otak akibat trauma dapat

    disebabkan:

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 14

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    15/42

    1. Cedera langsung (primer): kontusio cerebri, laserasi cerebri, perdarahan karena

    terputisnya pembuluh darah

    2. Cedera tidak langsung (sekunder)

    Cedera sekunder dapat disebabkan oleh:

    a. Hipovolemia : aliran darah ke otak berkurang, yang dapat menyebabkan iskemik otak

    bahkan infark otak

    b. Hipoksia

    c. Hiperkarbia dan hipokarbia.

    Pengaruh CO2 sangat penting pada trauma capitis. CO2 dapat menyebabkan

    vasokonstriksi pembuluh darah otak, iskemia dan infark sebaliknya jika CO2 menyebabkan

    vasodilatasi pembuluh darah otak, yang akan menyebabkan edema cerebri

    Normal kadar CO2 darah pada trauma capitis 26-32mmHg

    2.5Komosio Cerebri

    Komosio cerebri setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara

    tanpa kerusakan struktur, meliputi periode tidak sadarkan diri selama beberapa detik-menit

    atau komplet sewaktu (< 15 menit). Jika trauma melibatkan lobus frontal dan temporal

    pasien akan menunjukkan perilaku irasional yang aneh, amnesia atau disorientasi

    1. Observasi adanya sakit kepala, pusing, peka rangsang, ansietas (sindroma pasca

    komosio)

    2. Intervensi: beri penjelasan, informasi dan dukungan sehingga dapat mengurangi

    syndroma pasca komosio, lakukan aktivitas fisik dengan lmbt

    3. Keluarga dianjurkan untuk mengobservasi adanya; Sukar bangun, sukar bicara, konfusi,

    sakit kepala berat, muntah, kelemahan salah satu sisi tubuh, kembali ke RS

    2.6Kontusio Cerebri

    Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar bahkan

    dimungkinkan terjadi hemoraghi. Kehilangan kesadaran lebih lama, dikenal dengan DAI

    (difuse axonal injury), memiliki prognosis yang lebih buruk.

    Tanda gejala: penurunan kesadaran, nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan

    pucat, sering tdapat defekasi dan miksi tanpa disadari. Umumnya mengalami cedera luas,

    fungsi motorik abnormal, peningkatan TIK, pemulihan lambat

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 15

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    16/42

    2.7Hemoragi Intrakranial(Perdarahan di Dalam Otak)

    1. Klasifikasi :

    a. Epidural hematom (perdarahan terletak diantara tengkorak dan duramater)

    b. Subdural hematom (perdarahan diantara duramater dan dasar otak)

    c. Intracerebral hematom (perdarahan didalam jaringan otak)

    2. Manifestasi klinis

    a. Gangguan kesadaran

    b. Konfusi

    c. Abnormalitas pupil

    d. Defisit neurologik

    e. Perub tanda vital

    f. Disfungsi sensori

    g. Kejang otot

    h. Sakit kepala

    i. Vertigo

    j. Gangguan pergerakan

    k. Kejang

    l. Syok hipovolumik

    m. Tanda lateralisasi

    n. Anisokor

    3. Penatalaksanaan

    a. Selalu waspada terhadap adanya fraktur cervical, traksi ringan pada kepala dengan

    neck collar/colar cervical

    b. Airway dan breathing. Semua trauma capitis dapat menyebabkan gangguan ventilasi,

    hipoksia dan hiperkarbia.

    c. Circulation. Cedera kepala pasti menyebabkan gangguan perfusi darah ke otak.

    Kontrol hemorhagi, perbaiki hipovolemia.

    d. Disability, dilakukan dengan penilaian GCS, pupil dan tanda lateralisasi.patau ketat

    terhadap PTIK (oksigenasi adekuat, peningkatan kepala tt), pemberian manitol untuk

    mengurangi edema cerebral dan dehidrasi osmotik. Penurunan GCS > 1sgera

    konsultasi Dr SpBs.

    Semua terapi adalah untukmempertahankan homeostasis otak dan mencegah

    kerusakan otak sekunder.

    2.8 Penurunan tingkat kesadaran

    2.8.1 Gangguan Kesadaran Neurologis

    1. Gangguan kesadaran dalam dan menetap

    2. Gerakan bola mata fixed

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 16

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    17/42

    3. Motorik lateralisasi

    4. Reflek pathologis unilateral

    5. Perjalanan penyakit mendadak

    2.8.2 Gangguan Kesadaran Non Neurologis

    1. Gangguan kesadaran delirium dan berubah(-)ubah

    2. Gerakan bola mata bergerak terus

    3. Motorik simetris

    4. Reflek pathologis bilateral

    5. Perjalanan penyakit perlahan(-)lahan

    2.8.3 Yang perlu diperhatikan gangguan kesadaran

    1. Perhatikan T, N, RR

    2. Riwayat penyakit dahulu seperti DM, ginjal paru dan febris

    3. Cyto lab gula darah, ureum (), kreatinin

    4. Pasang infus

    5. Pasang kateter

    6. Pasang mag slang

    2.8.4 Tatalaksana Penurunan Kesadaran

    Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat, pengobatan

    dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua komponen utama

    yaitu umum dan khusus.

    1. Umum

    a. Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi bila

    tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial yang

    meningkat.

    b. Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial, pastikan

    jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di daerah

    nasofaring jika diduga ada cairan.

    c. Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai dengan

    kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.

    d. Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan

    elektrokardiogram (EKG).

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 17

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    18/42

    e. Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah aspirasi,

    lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan tiamin 100 mg iv, berikan

    destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis opium/ morfin, berikan

    nalokson 0, 01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai kesadaran pulih (maksimal 2 mg).

    2. Khusus

    a. Pada herniasi

    1) Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2: 25- 30 mmHg.

    2) Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama 10-20

    menit kemudian dilanjutkan 0, 25-0, 5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6 jam.

    3) Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10 mg iv

    lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.

    4) Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti epidural

    hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.

    b. Pengobatan khusus tanpa herniasi

    1) Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.

    2) Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan pungsi

    lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi berikan antibiotik yang sesuai. Jika

    LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan pengobatan perdarahan

    subarakhnoid.

    2.9Kejang / Seizures

    2.9.1 Caveats

    1. Penyebab umum kejang :

    a. Epilepsi idiopatik

    b. Epilepsi Jaringan parut/scar (sekunder akibat stroke sebelumnya atau trauma kepala)

    c. Meningitis atau ensefalitis

    d. Tumor otak (primer atau sekunder)

    e. Ketidakseimbangan elektrolit seperti hipoglikemi, hipokalemi, hipomagnesemia

    f. Obat-obatan atau alcohol

    g. Convulsive syncope karena disritmia jantung (ventricular fibrilasi/takikardi, torsades

    de pointes)

    h. Kejang demam (pada anak kecil usia 6 bulan sampai 5 tahun)

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 18

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    19/42

    2. Riwayat yang didapat dari saksi sangat penting untuk diagnosa

    3. Tanya riwayat medikasi bila pasien telah diketahui memiliki epilepsy

    2.9.2 Manajemen

    1. Isolated Seizure pada sebuah keadaan Epileptik

    a. Ambil darah untuk mengetahui kadar antikonvulsan

    1) Jika rendah, berikan obat dengan dosis dua kali lipat

    2) Jika pasien non-compliance, maka buat keadaan menjadi compliance.

    3) Jika keadaan pasien telah compliance terhadap obat, maka tingkatkan dosis jika

    dosis maksimum belum tercapai.

    4) Jika dosis maksimum telah tercapai, maka konsul neurologist untuk pemeberian

    antikonvulsan yang lain.

    b. Penempatan : Observasi di ED selama 2-3 jam; KRS bila sudah tidak ada kejang.

    Rujuk ke klinik neurology.

    2. Kejang pertama pada pasien yang tidak diketahui memiliki riwayat epilepsy

    Catatan : kejang dengan tidak adanya pulsasi utama harus diasumsikan disebabkan

    karena ventricular fibrilasi sampai terbukti bukan.

    a. Dengan demam

    1) Periksa GDA

    2) Lab: FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium

    3) Penempatan :

    a) Meningitis

    b) Ensefalitis

    c) Abses serebral

    d) Subarachnoid hemorrhage

    b. Tanpa demam : eksklusi penyebab yang mungkin:

    1) Cek GDA

    2) Lab : urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium

    3) EKG pada pasien tua untuk mencari tanda iskemik atau disritmia

    4) Pertimbangkan foto polos kepala jika terdapat riwayat trauma

    5) Penempatan :

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 19

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    20/42

    a) Observasi pada ED selama 2-3 jam. Jika pasien baik, dan tidak ada

    abnormalitas pada hasil laboratorium, KRS-kan pasien untuk control ke poli

    neurology.

    b) Tidak perlu untuk memulai pemberian antiepilepsi

    c) Peringatkan pasien agar tidak mengemudi, mengendarai sepeda, minum

    alcohol, berenang atau kegiatan memanjat.

    d) MRS jika (1) penyebab ditemukan, contoh : factor resiko positif untuk

    abnormalitas intra cranial seperti trauma, alkoholisme, malignansi, shunts,

    HIV positif, CVA lama; (2) ada abnormalitas neurologik; (3) pasien tidak

    bisa melakukan control untuk follow up; atau (4) pasien atau keluarga pasien

    memaksa untuk dirawat.

    3. Status epileptikus

    Didefinisikan sebagai kejang 2 kali tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan atau

    kejang yang terus-menerus 30 menit.

    Status epileptikus ialah suatu bangkitan kejang yang berlangsung cukup lama atau

    berulang dengan antara cukup pendek, tanpa diselingi keadaan sadar, bisa bersifat umum

    atau fokal.

    Status epileptikus merupakan keadaan darurat dan memerlukan tindakan segera sebab

    bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan neuron dan dapat berakibat

    kematian.

    Penatalaksanaanpada anak-anak

    a. Perawatan

    1) Jalan nafas harus dijaga supaya tetap bebas.

    2) Antara kedua rahang diletakkan karet agar lidah jangan tergigit.

    3) Baju yang ketat harus dilonggarkan

    4) Penderita ditempatkan sedemikian agar jangan terjadi cedera.

    b. Membrantas kejang secepatnya

    1) Diberi diazepam (valium) i.v. perlahan-lahan dengan dosis:

    Berat badan sampai 10 kg : 0,5 0,75mg/kg BB, minimal 2,5 mg

    Berat badan 10 20 kg : 0,5 mg/kg BB, minimal 7,5 mg

    Berat badan lebih dari 20 kg : 0,5 mg/kg BB.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 20

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    21/42

    Bila dalam 20 menit setelah suntikan kedua masih kejang, dilakukan suntikan

    ketiga dengan dosis yang sama i.m. penyuntikan diazepam i.v adalah perlahan-

    lahan dalam 2-3 menit dan apabila sebelum obat habis penderita sudah sadar

    kembali maka suntikan dihentikan. Karena masa kerja diazepam singkat, maka

    perlu diberi obat anti konvulsan lain, misalnya fenobarbital (Luminal) i.m.

    Fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti i.m., dengan dosis awal,

    yaitu :

    - Neonatus : 30 mg

    - 1 bulan-1 tahun : 50 mg

    - Diatas 1 tahun : 75 mg

    Selanjutnya fenobarbital diberikan sebagai dosis penunjang yaitu untuk hari

    pertama dan kedua 8-10 mg / BB/tamhari yang terbagi dalam 2 dosis.

    Pemberian obat antikonvulsan secara suntikan sampai keadaan anak membaik

    dan anak bisa makan per oral.

    2) Bila tidak ada diazepam dapat diberikan fenobarbitali.m atau i.v dengan dosis 5

    mg/kg BB atau dibawah 1 tahun diberi 50mg dan diatas 1 tahun diberi 75 mg.

    bila dalam 15 menit setelah pemberian tersebut kejang tidak dapat berhenti dapat

    diulang lagi i.m / i.v dengan dosis 3 mg dan diatas 1 tahun diberi 50 mg. Harus

    diperhatikan apakah ada depresi dari fungsi vital.

    c. Pengobatan penunjang

    Fenobarbital dengan dosis 3-5 mg/kg BB/hari i.m. oral, atau difenilhidantoin dengan

    dosis 5-10mg/kg/BB/hari i.m/i.v./oral. Pengobatan penunjang diteruskan, sedikitnya

    selama masih ada kenaikan suhu.

    d. Pengobatan tambahan

    1) Terhadap penderita dengan kesadaran menurun, diberikan cairan intravena yaitu

    2A-KCl dalam kebutuhan penunjang sesuai dengan prinsip-prinsip rehidrasi.

    Sebaiknya dengan monitoring dari elektrolit darah.

    2) Terhadap infeksi diberi antibiotik yang sesuai.

    3) Untuk mencegah terjadinya odem otak diberikan kortikostreroid, sebaiknya

    glukokortikoid, misalnya dexametason - 1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan

    membaik. Kortison dapat juga diberikan dengan dosis 20-30 mg/kg/BB/hari yang

    terbagi dalam 3 dosis.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 21

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    22/42

    4) Bila suhu meninggi dilakukan hibernasi dengan kompres es atau alkohol. Obat-

    obatan untuk hibernasi ialah prometazin 4-6 mg/kg BB/hari.

    Penatalaksanaan pada orang dewasa :

    Prinsip penatalaksaan adalah sama pada anak, hanya ada perbedaan dosis obat, yaitu :

    a. Diazepam diberikan 10-20 mg i.v. perlahan-lahan. Bila kejang masih timbul,

    dosis tersebut dapat diulang sampai 3 kali setelah 30-60 menit suntikan

    sebelumnya.

    Bila tidak ada diazepam, dapat diberikan dapat diberikan fenobarbital i.m.

    sebanyak 100mg dan dapat diulang 2-3 kali.

    b. Untuk hibernasi diberi klorpromazin (Largactil) dengan dosis 50-100 mg i.m i.v.,

    atau perinfus sebagai LyticCoctail (50mg Largactil 75mg pethidin dan 40mgphenergan) dalam larutan glukosa 5% sebanyak 500cc.

    2.10 Stroke

    2.10.1Infark cerebri

    1. Tanda dan gejala

    a. Gangguan kesadaran (-)/ sedikit menurun

    b. Sakit kepala ()

    c. Muntah ()

    d. Kejang ()

    e. Kaku kuduk ()

    f. Tekanan darah meningkat/ menurun/ normal

    g. Lateralisasi (+)

    h. Aktivitas pasif

    2. Penatalaksanaan

    a. Perhatikan T, N, RR

    b. Infus larutan 2 A (dekstrosa 2, 5 % , Na Cl 0, 45 %) 15 tetes/menit

    c. Nicholin 2 x 250 mg iv

    d. Trental drips 2 x 300 mg 30 tetes/ menit

    e. Tekanan darah sistole > 200 mm Hg baru bisa diturunkan sampai sistole 180 200

    mm Hg

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 22

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    23/42

    f. Bila ada tanda/ gejala herniasi otak berikan manitol 20 %, awas kontra indikasi

    pemberian manitol yaitu gangguan fungsi ginjal, gagal jantung

    g. Cara Pemberian Manitol 20 %

    1) Diguyur 200 cc stop tunggu 6 jam

    2) Diguyur 150 cc stop tunggu 6 jam

    3) Diguyur 150 cc stop tunggu 6 jam

    4) Diguyur 200 cc stop tunggu 6 jam dan seterusnya

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 23

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    24/42

    2.10.2Perdarahan Intraserebral

    1. Tanda dan gejala

    a. Gangguan kesadaran (+)

    b. Sakit kepala (+)

    c. Muntah (+)

    d. Kejang (+)

    e. Kaku kuduk (+)

    f. Tekanan darah meningkat/ menurun/ normal

    g. Lateraliasi ()

    h. Aktivitas aktif

    2. Penatalaksanaan

    a. Perhatikan T, N, RR

    b. Infus larutan 2 A 15 tetes/ menit

    c. Lasik 1x1 ampul iv

    d. Vitamin K 1 x 2 ampul im

    e. Cyclocapron 3 x 500 mg iv

    f. Nimotop drips dengan nimotop pump 2, 5 cc/ jam

    g. Bila ada tanda dan gejala herniasi otak berikan manitol 20 %

    2.10.3 Perdarahan Sub Arachnoid

    1. Tanda dan gejala

    a. Gangguan kesadaran (+)

    b. Sakit kepala (+)

    c. Muntah (+)/(-)

    d. Kejang (+)

    e. Kaku kuduk (+)

    f. Tekanan darah normal

    g. Lateralisasi

    h. Aktivitas aktif

    2. Penatalaksanaan

    a. Nimotop drip

    b. Cyclocapron 3 x 500 mg iv

    c. Mefenamic acid 3 x 500 mg peros

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 24

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    25/42

    d. Codein 2 x 20 mg peros

    e. Laxadin 3 x c

    2.11 Akut Polineuropathy (Gulian Bare Syndrome)

    Adalah tetraparese flaksid / LMN (lower motor neuron) . Sensorik subyektif rasa baal

    (Kurang merasa/ rasa tebal/ numbness) pada tangan dan kaki

    1. Didahului infeksi viral 1(-)2 hari

    2. Perhatikan komplikasi yang fatal yaitu : takikardi dengan denyut nadi lebih 120 kali/

    menit, miokarditis, paralise otot pernafasan

    3. Kalmethason 4 x 1 ampul IV

    4. Alinamin F 1x 1 ampul

    5. Takikardi inderal 2 x 10 mg

    6. Paralise otot pernafasan pasang respirator

    2.12 Tetanus

    2.12.1 Definisi

    Tetanus merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin kuman

    clostridium tetani yang sifatnya neurotropik. Setiap defek tubuh yang dapat menimbulkan

    keadaan anerobik akan menjadi tempat masuknya kuman, misalnya luka tusuk, luka bakar,

    patah tulang terbuka, otitis media akut, luka tali pusat.

    Faktor-faktor yang memperburuk prognosa ialah :

    1. Stadium yang tinggi

    2. Masa tunas yang pendek

    3. Usia neonatus dan usia lanjut

    4. Kenaikan suhu yang tinggi

    5. Pengobatan yang lambat

    6. Adanya komplikasi : status konvulsivus, pneumoni, dekompensasi jantung.

    2.12.2 Gejala Dan Tanda

    Gejala khas yaitu kejang tanpa disertai penurunan kesadaran dan kekakuan otot

    skelet. Terdapat kejang rangsang maupun kejang spontan yang sifatnya tonik dan umum.

    Kekakuan otot skelet dapat berupa trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut

    papan. Berdasarkan gejala klinik tersebut, tetanus dibagi menjadi beberapa stadium, yaitu :

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 25

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    26/42

    Pada anak-anak :

    1. Stadium I : trismus (3cm) tanpa adanya kejang rangsang ataupun kejang spontan

    2. Stadium II : trismus (3cm lebih) dengan kejang tonik umum bila dirangsang

    3. Stadium III : trismus dengan kejang tonik umum spontan

    Pada orang dewasa :

    1. Stadium I : trismus

    2. Stadium II : opistotonus

    3. Stadium III: kejang rangsang

    4. Stadium IV: kejang spontan

    2.12.3 Penatalaksanaan

    1. Perawatan

    a. Isolasi pada ruang tenang dengan mengurangi sebanyak mungkin rangsang cahaya,

    suara dan tindakan.

    b. Posisi kepala sebaiknya miring untuk menghindari aspirasi

    c. Bila penderita kejang-kejang terus, tempatkan karet atau tongue spatel yang

    dibungkus kasa diantara kedua rahang untuk mencegah tergigitnya lidah.

    d. Bila perlu berikan oksigen, pernafasan buatan atau trakeostomi.

    e. Pemberian makanan disesuaikan dengan hebatnya trismus. Bila perlu pemberian

    sonde atau perinfus. Hati-hati pada pemberian personde karena dapat merupakan

    rangsangan timbulnya kejang.

    f. Pada luka dilakukan eksisi dengan anastesi local, kemudian dibersihkan larutan H2O2

    dan kompres juga dengan H2O2

    2. Pengobatan

    a. Skin test : suntikan 0,1ml cairan serum 1/10 intrakutan. Tunggu 15 menit. Reaksi

    positif bila terjadi infiltrat dengan diameter lebih dari 10 mm.

    b. Eye test : 1 tetes cairan serum diatas diteteskan pada mata. Tunggu 15 menit. Reaksi

    positif bila mata menjadi merah dan bengkak.

    c. Bila skin dan / atau eye test positif, penyuntikan serum harus menurut cara Besredka,

    yaitu 0,1 ml serum dalam 1 ml cairan garam fisiologik secara subkutan. Tunggu

    jam. Kemudian sisa serum disuntikkan secara i.m.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 26

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    27/42

    d. Cara Besredka berarti desensitisasi yang bertahan 2-3 minggu. Jadi bila hari

    berikutnya setelah penyuntikan diatas masih juga dibutuhkan, maka cara besredka

    tidak perlu diulang.

    2.13 Fraktur Dan Dislokasi Tulang Belakang

    2.13.1 Daerah servikal

    Ttrauma di daerah servikal biasanya merupakan trauma ekstensi-fleksi yaitu keadaan

    dimana kepala tiba-tiba bergerak ke belakang, kenudian fleksi ke depan ataupun sebaliknya.

    Gejala dan Tanda :

    1. Timbul nyeri di daerah tengkuk. Dapat disertai tatraplegi yaitu kelumpuhan keempat

    anggota gerak.

    2. Foto Ro daerah servikal dibuat antero posterior dan lateral, foto lateral untuk melihat

    adanya kompresi korpus vertebra.

    Penatalaksanaan :

    1. Pada saat mengangkat atau memindahkan penderita, diusahakan agar tidak banyak

    dilakukan gerakan, sebab dapat memperberat trauma pada sumsum tulang belakang.

    Usahakan supaya kepala tidak berputar dan dipertahankan dalam posisi lurus terhadap

    tulang belakang atau lebih baik penderita dibaringkan telungkup diusungan. Penderita

    dibaringkan pada alas yang datar dan keras. Hal serupa dilakukan pula pada saat dibuat

    foto Ro.

    2. terhadap fraktur yang tidak memerlukan reposisi, dipasang gipskraagatau kerah kapur

    tahu untuk fiksasi.

    3. Terhadap fraktur yang perlu reposisi, dilakukan traksi pada kepala mulai dengan beban

    5kg bila lesi pada atas, dan selanjutnya untuk tiap sesi di korpus vertebra dibawahnya

    diberi tambahan beban 2 kg.

    4. pengobatan untuk mengurangi edem dengan menggunakan kortikosteroid.

    2.13.2 Daerah Torakal

    Fraktur di daerah torakal biasanya terjadi dalam sikap penderita membungkuk

    kedepan sehingga bagian vetebra kopus vertebra diatas dan dibawahnya. Gejala dan tanda

    dapat timbul paraplegia, yaitu kelumpuhan kedua tungkai.

    Penatalaksanaan dengan istirahat ditempat tidur dalam sikap hiperekstensi selama +/-

    8 minggu.

    2.13.3 Daerah Lumbosakral

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 27

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    28/42

    Fraktur di daerah lumbosakral biasanya terjadi akibat jatuh dari tempat yang tinggi.

    Pada kerusakan cauda equina dijumpai gejala-gejala kerusakan saraf spinal segmen

    lumbal I ke bawah. Gangguan motorik berupa kelumpuhan perifer satu atau kedua tungkai.

    Gangguan sensorik berupa daerah hipestesi atau anastesi sesuai dengan distribusi saraf yang

    terganggu. Gejala-gejala pada tungkai biasanya tidak setangkup. Pada kerusakan konus

    medularis dijumpai gejala-gejala kerusakan segmen sacral kebawah. Timbul vesika urinaria

    otonom (outonomik bladder) yaitu keadaan dimana urine menetes keluar tetapi tidak dapat

    keluar secara keseluruhan. Juga terdapat anastesi di daerah sekitar anus dan paha bagian

    dalam, mungkin pula terdapat gangguan ereksi penis.

    Penatalaksanaan dengan berbaring lurus di tempat tidur yang datar. Jika terdapat

    fraktur di daerah lumbal dipasang korset gips.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 28

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    29/42

    BAB 3

    KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KEGAWATANDARURATAN BEDAH

    SISTEM SARAF PUSAT

    3.1Peninggian Tekanan Intrakranial dan Iskemi Otak

    3.1.1 Pengertian

    Peninggian tekanan intrakranial merupakan penyebab kematian tersering pasien

    bedah saraf. Peninggian tekanan intrakranial menyebabkan iskemia otak dan sebaliknya.

    Iskemia otak bisa juga sebagai kelainan primer seperti pada pada trombosis pembuluh darah

    otak.

    3.1.2 Patofisiologi

    Kranium merupakan kompartemen yang kaku kecuali pada bayi, hingga setiap

    penambahan massa didalamnya akan berakibat peningkatan tekanan intrakranial bila

    kemampuan kompensasi sudah terlampaui. Didalamnya berisi jaringan otak, cairan

    serebrospinal serta darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Terdapat satu lubang

    utama yaitu foramen magnum, hingga bila terjadi peingkatan tekanan intrakranial jaringan

    otak akan mencari jalan keluar melalui lubang ini. Disamping itu pada tentorium yang

    memisahkan otak besar dan otak kecil terdapat lubang yang disebut hiatus yang mana disana

    terletak batang otak, sehingga apabila terjadi peninggian tekanan intrakranial pada daerah

    otak besar, akan terjadi pergeseran jaringan otak besar kedalam hiatus ini hingga akan

    menekan batang otak yang merupakan pusat dari fungsi vital.

    Untuk memahami patofisiologi peninggian tekanan intrakranial, harus difahami

    perubahan yang terjadi pada :

    1. Sirkulasi cairan serebrospinal :

    CSS bersirkulasi pada sistema ventrikel dan ruang subarakhnoid. Produksinya (sekitar

    500 ml sehari) sebanding dengan resorbsinya. Volumenya sekitar 100-150 ml.

    Produksinya berkurang pada peninggian tekanan intrakranial.

    2. Volume darah otak :

    Paling labil disaat peninggian tekanan intrakranial. Volumenya sekitar 100 ml dan 70%

    merupakan darah vena. Volume bertambah pada dilatasi arteria atau pada obstruksi vena.

    Pada hipotermia terjadi vasokonstriksi hingga menurunkan tekanan intrakranial.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 29

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    30/42

    Arteriola sangat reaktif terhadap perubahan CO2 dimana setiap peninggian 1 mmHg

    PCO2 berakibat peningkatan aliran darah sebesar 2-4% yang berakibat bertambahnya

    volume darah otak. Sebaliknya aliran darah akan bertambah pada pengurangan PaO2

    ( 20 mmHg, dan meningkat berat bila > 40

    mmHg.

    2. Doktrin Monro-Kellie :

    Pada tahap terkompensasi :

    V. otak + V. CSS + V. darah + V. massa = Konstan (TIK normal).

    3. Hubungan TIK dengan kegagalan fungsi otak :

    TIK akan mempengaruhi aliran darah keotak. Dengan sendirinya bila aliran darah

    terganggu, fungsi otakpun akan terganggu. Disamping itu adanya massa pada satu bagian

    otak akan berakibat bergesernya daerah tsb. kearah jaringan yang tekanannya lebih

    rendah dengan segala akibat yang ditimbulkannya seperti penekanan jaringan tertentu

    atau putusnya pembuluh darah.

    4. Hubungan TIK dengan aliran darah otak :

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 30

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    31/42

    Adanya daerah dengan TIK tinggi akibat adanya massa akan menyebabkan penekanan

    terhadap arteri atau vena hingga akan merusak daerah yang bersangkutan. Akibat lain

    adalah peregangan atau perobekan arteria atau vena batang otak yang berakibat

    mematikan. Gangguan pada aliran darah tentu akan mempengaruhi tingkat perfusi

    jaringan otak. Ingat bahwa jaringan otak yang hanya 2% dari berat tubuh mengambil

    15% dari curah jantung dan 20% dari kebutuhan gula tubuh.

    Total aliran darah otak adalah konstan 40 ml/100 gr jaringan otak dan tergantung tekanan

    arterial sistemik, tekanan sinus sagittal dan tahanan serebrovaskuler.

    5. Hubungan aliran darah dan metabolisme otak :

    Aliran darah otak tergantung tekanan darah arterial sistemik, TIK, autoregulasi, stimulasi

    metabolik serta adanya distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi

    jaringan otak.

    6. Hubungan TIK dengan pergeseran / herniasi otak :

    a. Transtentorial lateral, dengan gejala midriasis pupil ipsilateral, hemiparesis kontra

    lateral dan gangguan lapang pandang.

    b. Transtentorial sentral, dengan gejala serupa dengan yang lateral, tapi bilateral disertai

    gangguan melirik keatas dan ptosis bilateral.

    c. Tonsiler, dengan gejala gangguan respirasi mendahului penurunan kesadaran.

    Biasanya tahap akhir dari proses pada otak besar atau karena adanya massa pada otak

    kecil

    d. Subfalsin, dengan gejala kelumpuhan ekstremitas kontralateral. Jarang berdiri

    sendiri.

    7. Hubungan perbedaan tekanan dengan herniasi :

    Dalam keadaan normal, CSS bebas sehingga tekanan ekual pada semua tempat. Bila ada

    bagian yang tersumbat, akan terjadi perbedaan tekanan antar kompartemen sehingga

    terjadi herniasi.

    8. Edema otak :

    Iskemia menyebabkan terjadinya edema otak. Sebaliknya edema otak menyebabkan

    iskemia. Akumulasi air menyebabkan tahanan serebrovaskuler meningkat dengan akibat

    penurunan aliran darah otak regional. Efek massanya sendiri berakibat penambahan

    distorsi atau pergeseran jaringan.

    3.1.3 Gambaran klinis

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 31

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    32/42

    Trias edema papil, nyeri kepala dan muntah. Ketiga hal ini hanya dijumpai pada 2/3

    penderita, sedang sisanya hanya memiliki 2 gejala. Edema papil tidak dijumpai pada usia

    ekstrim sangat muda atau sangat tua.

    Nyeri kepala sifatnya tumpul dan tidak terlalu parah dan diperberat oleh kegiatan

    yang meninggikan TIK. Terjadi pada pagi hari. Muntah merupakan gejala yang timbul

    lambat kecuali pada anak-anak dengan tumor sekitar pusat saraf vagus. Juga terjadi saat

    bangun tidur pagi.

    Gejala lain yang khas adalah bradikardia, hipertensi dan gangguan respirasi.

    Gangguan kesadaran dinilai dengan GCS.

    3.1.4 Pengendalian TIK yang tinggi

    Bila dilakukan dini, dapat mencegah peninggian tekanan intrakranial yang tidak

    terkontrol pada peninggian tekanan intrakranial sedang. Pada fase akut cedera kepala dan

    stroke, harus dianggap peninggian tekanan intrakranial sampai terbukti tidak. Hindari

    tindakan yang meninggikan TIK dan gunakan barbiturat aksi pendek secara berulang bila

    akan melakukan tindakan yang akan meninggikan TIK.

    Tindakan primer bila telah atau akan terjadi peninggian tekanan intrakranial adalah

    dengan meninggikan kepala 20-30 dengan mencegah teganggunya perfusi, mencegah

    konstriksi leher, normotermia serta pembunuh nyeri.

    Tindakan aktif bila diperkirakan adanya lessi massa (perdarahan, tumor, abses dll.),

    peningkatan volume darah otak, edema otak serta bertambahnya CSS.

    Hiperventilasi dengan menjaga PCO2 tidak kurang dari 25 mmHg. Efeknya akan

    berakhir dalam 8-20 jam. Drainase CSS dilakukan pada daerah yang tidak dengan ancaman

    pergeseran garis tengah. Manitol 20% hanya diberikan dalam usaha mengulur waktu saat

    mempersiapkan tindakan operasi, diberikan bersama dengan furosemid. Steroid tidak

    diberikan pada trauma kecuali mungkin metil prednisolon yang masih dalam penelitian.

    Barbiturat diberikan untuk mengurangi tingkat metabolisme jaringan otak hingga

    secara tidak langsung mengurangi aliran darah otak hingga tekanan intrakranial berkurang,

    disamping efek vasokonstriksinya yang juga akan mengurangi volume darah otak sehingga

    tekanan intrakranial juga berkurang. Hati-hati efek hipotensi dan gagal nafas yang bisa

    ditimbulkannya.

    Salin hioertonik, 5 mmol/ml, mengurangi tekanan intrakranial tanpa diuresis. Bila

    diberikan setelah manitol akan memperbaiki sodium serum dan volume darah.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 32

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    33/42

    3.1.5 Pengelolaan TIK tinggi

    Mulai bila simptomatik atau bila TIK 25 mmHg. Periksa jalan nafas dan posisi

    kepala. Berikan oksigen atau respirator bila ada indikasi. Jaga tekanan darah normotensif

    kecuali pada kasus hipertensi jangan tergesa-gesa menurunkan tekanan darah.

    1. Terapi jalur pertama :

    Hiperventilasi, drainase CSS, manitol dan furosemid saat mempersiapkan operasi,

    periksa gas darah arterial dan pikirkan CT ulang.

    2. Terapi jalur kedua :

    Hiperventilasi manual, barbiturat, salin hipertonik.

    3.2 Cedera Kepala

    3.2.1 Survei primer sistem saraf

    D = Disability : Penilaian neurologis cepat :

    1. Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :

    A = alert.

    V = respon terhadap rangsangan verbal.

    P = respon terhadap rangsangan nyeri.

    U = tidak ada respon.

    2. Pupil :

    a. Ukuran.

    b. Reaksi cahaya.

    3.2.2 Resusitasi

    1. Atur posisi kepala / rahang sambil mengontrol posisi tulang belakang leher. Bersihkan

    jalan nafas. Pasang kanul naso / orofaring. Intubasi bila GCS 8 atau kurang.

    2. Oksigen 10 L/menit melalui masker O2. Kontrol respirator bila GCS 8 atau kurang.

    3. Kontrol tekanan darah / perfusi. Monitor EKG. Kontrol tekanan vena sentral.

    4. Pemeliharaan kebutuhan metabolik otak :

    a. Hb

    b. PO2 : Pertahankan > 80 mmHg.

    c. Tekanan darah sistemik sesuai kasus.

    d. PaCO2 : 26 - 28 mmHg.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 33

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    34/42

    5. Cegah / atasi peninggian TIK :

    a. Induksi hipokapnia : Hiperventilasi hingga PCO2 = 26 -28 mmHg.

    b. Kontrol cairan : NaCl 0.9%. Cegah overhidrasi.

    c. Diuretik : Pasang kateter urin. Berikan saat persiapan operasi : Manitol 20%,

    1gr/kgBB/IV guyur. Furosemid 40 -80 mg/IV

    d. (dewasa). Awasi tekanan darah. Ganti volume urin.

    6. Bila kesadaran memburuk, segera nilai lagi :

    a. Ventilasi.

    b. Oksigenisasi.

    c. Perfusi / hipotensi relatif.

    3.2.3 Survei Sekunder

    1. Ambil riwayat.

    2. Pemeriksaan neurologis : GCS, pupil, motorik, dll.

    3. Pemeriksaan khusus :

    a. CT semua kasus tersangka atau GCS 13 atau disertai komplikasi.

    b. Angiografi cerebral bila CT negatif pada PSA.

    c. Lab, foto torax.

    4. Tentukan jenis CVD / cedera kepala dll.

    5. Tentukan jenis spesifik CVD / cedera kepala dll.

    3.2.4 Tindakan Definitif atau Rujukan

    Filosofi pengelolaan pasien PIS pertama harus ditujukan pada tindakan medik gawat-

    darurat dan diikuti kemudian dengan keputusan apakah hematoma atau massa akan dirawat

    konservatif atau akan dibuang secara bedah.

    Dua hal utama yang menentukan bahwa operasi akan bermanfaat bagi pasien :

    1. Effek massa dari hematoma mengancam jiwa.

    2. Kehidupan jaringan sekeliling massa dapat dipertahankan.

    3.3Perdarahan Intraserebral Nontraumatika (Stroke Hemorrhagic)

    3.3.1 Protokol gawat darurat

    1. Ventrikulostomi bila GCS 8 : Drainase CSS.

    2. Tentukan etiologi.

    3. Hipertensif : Sistol 160 mmHg pada pasien sadar, 180 mmHg pada pasien tidak sadar.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 34

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    35/42

    4. Nifedipin sl, hidralazin iv, labetalol iv, nitroprusid iv.

    5. Kelainan vaskuler : angiografi.

    3.3.2 Cegah perdarahan ulang

    1. Ruptur aneurisma : Sistol 10-20% diatas normotensif.

    2. Kelainan koagulasi bawaan / didapat : koreksi.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 35

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    36/42

    3.3.3 Kurangi efek massa / TIK = Protokol

    1. Retriksi cairan : 75% rumatan. Koloid bila perlu.

    2. Tekanan perfusi minimal : 70 mmHg. Dopamin atau fenilefrin.

    3. Deksametason tidak dianjurkan, kecuali perdarahan berasal dari tumor disertai edema

    berat.

    Perawatan umum

    1. Nimodipin (?) hanya pada perdarahan aneurismal (?) : 1-2 mg/jam/ infus atau 60 mg/4

    jam/po.

    2. Status cairan, elektro;it, ginjal, paru-paru, nutrisi.

    3. Terapi fisik dan bidai dini.

    4. Anti kejang :perdarahan otak besar, kecuali terbatas talamus atau ganglia basal.

    a. Fenitoin : 1 gr IV (50 mg /), LALU 300 mg/HARI /

    b. Fenobarbital : 2 X 60 mg PO /

    c. Karbamazepin : 3-4 X 200 mg PO.

    5. Tentukan indikasi operasi.

    3.3.4 Perburukan neurologis sekunder

    1. Edema jaringan sekitar.

    2. Nekrosis iskemik jaringan sekitar.

    3. Hidrosefalus.

    3.3.5 Indikasi operasi

    1. Diameter massa 3 cm.

    2. Pergeseran garis tengah 5 mm.

    3. Perburukan neurologis.

    4. Ventrikulostomi bila hidrosefalus atau perdarahan ventrikuler.

    3.4 Perdarahan Subarakhnoid.

    3.4.1 Protokol gawat darurat

    1. Sistole 150 : Nitropruida 1-6/kg/menit.

    2. LP bila CT negatif.

    3. Hidrosefalus akut : Ventrikulostomi segera.

    4. Angiografi 4 pembuluh.

    5. Operasi dalam 24 jam. Bila vasospasme, tunda 10-12 hari.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 36

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    37/42

    3.4.2 Perawatan intensif

    Perawatan intensif pada SAH berperan lebih penting dibanding semua kelainan

    bedah saraf lain.

    1. Ekspansi volume : Albumin 5%, 4 X 250 ml.

    2. Dilantin 1000 mg. Lanjutkan 300 mg / hari.

    3. Nimodipin (?) 1-2 mg/jam/infus atau 60 mg / PO / 4jam.

    4. Pemantauan klinis.

    5. Pemantauan fisiologis.

    3.4.3 Pemantauan fisiologis

    1. Tekanan darah.

    2. Tekanan vena sentral.

    3. T.I.K. : Bila ventrikulostomi terpasang.

    4. Dopler transkranial.

    5. Aliran darah serebral.

    3.4.4 Vasospasme

    Terapi triple H :

    1. Hipervolemi :

    a. ALBUMIN 5%, 4x250 ml. CVP 10 mmHg.

    b. PCWP 15 mmHg.

    2. Hemodilusi : HT 33 - 37 %.

    3. Hipertensi : Sistol 170 - 220 mmHg.

    Gagal : Angioplasti transluminal.

    3.5Kelainan Serebrovaskuler Oklusif (Stroke Trombo-Embolik)

    1. Euvolemik : Hidrasi dengan NaCl 0.9 / 0.45%.

    2. Obat-obat protektif serebral :

    a. Nimodipin dan pembersih radikal bebas lain.

    b. Ketamin.

    3. Tindakan bedah : Sebelum 4-6 jam sejak serangan :

    a. Serebral Medial : Pintas A. Temporal superfisial, atau Embolektomi.

    b. PICA/AICA/SCA/PCA : Pintas A. Oksipital.

    c. A. Karotis : Endarterektomi Karotid.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 37

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    38/42

    d. Arteria lain : tPA : 10mg/2'-30mg/60'-40mg/120' IV.

    3.6 Pengelolaan Gawat Darurat Cedera Kepala

    3.6.1 Kejang

    1. Saat atau segera post trauma : tanpa terapi.

    2. Kejang lama atau berulang :

    a. Diazepam 10 mg/bolus/IV. Bila kejang lagi, ulang satu kali.

    b. Fenitoin diberikan sesegera mungkin : 1 gr/IV (50 mg/menit) dengan monitor

    tekanan darah dan EKG.

    c. Bila gagal : Fenobarbital atau anestetik.

    d. Dosis anak-anak sesuaikan.

    3.6.2 Gelisah

    1. Cari dan atasi hipoksia dan sumber nyeri.

    2. Klorpromazin 10 - 25 mg/IV. Awasi hipotensi.

    3.6.3 Hipertermia

    Menggigil : berikan Klorpromazine.

    3.6.4 Luka skalp

    1. Perdarahan : Hemostat, ligasi, ban elastik.

    2. Inspeksi luka :

    a. Penglihatan langsung.

    b. Tidak boleh eksplorasi dengan alat atau jari.

    c. Cari CSF.

    3.6.5 Perawatan luka

    1. Irigasi debris.

    2. Jangan angkat fragmen tulang.

    3.6.6 Tindakan bedah definitif

    Tidak berlaku bila mati batang otak

    1. Interval lucid (Bila CT tak tersedia segera).

    2. Herniasi Unkal (pupil / motor tidak ekual).

    3. Fraktura depress terbuka.

    4. Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm.

    5. Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm.

    6. Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 38

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    39/42

    7. Massa lobus temporal 30 ml.

    3.7 Cedera Medulla Spinal dan Tulang Belakang

    3.7.1 Survei Primer dan Resusitasi

    1. Sesuai protokol trauma.

    2. Hipotensi atasi dengan : Dopamin atau nimodipin

    3. Hati-hati ekspansi cairan bila syok spinal.

    4. Kateter indwelling hanya sampai sirkulasi stabil (1 - 2 hari). Selanjutnya intermitten.

    3.7.2 Survei Sekunder

    1. Ambil riwayat trauma.

    2. Pemeriksaan : CS, pupil, motorik, sensorik, sacral sparing, refleks.

    3. Tentukan level cedera kord spinal.

    4. Pemeriksaan khusus pada level cedera :

    a. X-ray tulang belakang : AP/lateral.

    b. Bila indikasi operasi : Myelografi AP/lateral atau CT-MM.

    5. Tentukan jenis cedera :

    a. Cedera tulang stabil, defisit neurologis (-).

    b. Cedera tulang stabil, defisit neurologis (+).

    c. Cedera tulang tidak stabil, defisit neurologis (-).

    d. Cedera tulang tidak stabil, defisit neurologis (+).

    3.7.3 Tindakan

    1. Semua kasus dengan defisit neurologis :

    Berikan Metilprednisolon :

    30 mg/kg dalam 15 menit. 45 menit kemudian :

    5.4 mg/kg/jam untuk 23 jam selanjutnya.

    2. Kaliper Gardner-Wells/Crutchfields untuk cedera tulang belakang

    3. leher.

    4. Operasi dekompresi gawat darurat.

    3.7.4 Indikasi pemasangan kaliper pada cedera tulang leher

    1. Immobilisasi fraktur tidak stabil.

    2. Reduksi dislokasi atau subluksasi.

    3. Distraksi foramina intervertebral pada kompressi radikuler.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 39

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    40/42

    4. Mengurangi nyeri akibat cedera jaringan lunak leher.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 40

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    41/42

    3.7.5 Indikasi operasi dekompresi gawat darurat

    Mielografi atau CT-MM : Kompressi kord spinal oleh sebab apapun dan pada level

    manapun disertai :

    1. Defisit neurologis progresif.

    2. Cedera kord spinal (defisit neurologis) tidak total.

    Fb: Danas berkarakter

    Twitter: @Dann_berR Page 41

  • 8/2/2019 89658846 SOP Neurologi

    42/42

    DAFTAR PUSTAKA

    Hendarto, S.K. & Ismael, S. 1979. Kejang Pada Anak.Jakarta : Yayasan Dharma Graha.

    Jevon Philip, dkk. 2008. Pemantauan Pasien Kritis. Edisi : 2. Jakarta : Erlangga.

    Oen, L.H. dkk. 1978. Simposium Ilmu Kedokteran Darurat. Surabaya : Bina Pustaka

    Purwanto Agus. 2000. Kedaruratan Medik. Jakarta. Bina Rupa Aksara.

    Saifuddin, A.B. & Hudono,S.T. 1976. Konsep Baru Mengenai Gangguan Serebrovaskular.

    Jakarta : KPPIK-IX .FKUI.