82308513
-
Upload
arii-kurniawan -
Category
Documents
-
view
76 -
download
10
description
Transcript of 82308513
PERUBAHAN TEKANAN INTRAOKULER SEBELUM DAN PERUBAHAN TEKANAN INTRAOKULER SEBELUM DAN PERUBAHAN TEKANAN INTRAOKULER SEBELUM DAN PERUBAHAN TEKANAN INTRAOKULER SEBELUM DAN SESUDAH INJEKSI BEVACIZUMAB SESUDAH INJEKSI BEVACIZUMAB SESUDAH INJEKSI BEVACIZUMAB SESUDAH INJEKSI BEVACIZUMAB INTRAVITREAL INTRAVITREAL INTRAVITREAL INTRAVITREAL
PADA PENDERITA RETINOPATI DIABETIKAPADA PENDERITA RETINOPATI DIABETIKAPADA PENDERITA RETINOPATI DIABETIKAPADA PENDERITA RETINOPATI DIABETIKA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran
Univeritas Gadjah Mada
Disusun oleh : Prakoso Adhi Wibowo 05 /187423/ KU/ 11499
Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah MadaUniversitas Gadjah MadaUniversitas Gadjah MadaUniversitas Gadjah Mada
Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta Yogyakarta 2008200820082008
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam
daftar pustaka.
Yogyakarta, Desember 2008
Prakoso Adhi Wibowo
PRAKATA
Alhamdulilah, segala puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, karunia, dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
tulis ini yang berjudul “PERUBAHAN TEKANAN INTRAOKULER
SEBELUM DAN SESUDAH INJEKSI BEVACIZUMAB INTRAVITREAL PADA
PENDERITA RETINOPATI DIABETIKA” disusun untuk memenuhi
sebagian syarat memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penulis mengharapkan
bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi
dalam terapi retinopati diabetika dikemudian hari.
Penulis menyadari bahwa selesainya karya tulis ini
tidak lepas dari dukungan moral dan material dari banyak
pihak. Pada kesempatan ini penulis hendak meyampaikan
penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
atas kesempatan yang diberikan
2. Direktur RS Dr. Yap Yogyakarta yang memberikan ijin
dan berbagai fasilitas penelitian
3. dr, Angela Nurini Agni, Sp.M, M.Kes selaku dosen
pembimbing materi yang telah membimbing dalam
menyusun materi skripsi ini
4. dr. Hartono, Sp.M (K) selaku dosen pembimbing
Metodologi
5. dr. Retno Ekantini, Sp.M, M.Kes selaku dosen penguji
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji
karya tulis ini
6. Pasien dan perawat RS Mata dr. Yap Yogyakarta yang
telah membantu terlaksananya penelitian ini
7. Ayahanda dr.H.Muhrodji,Sp.A dan ibunda Siti
Maryanti,Amd tercinta yang selalu memberikan
dorongan semangat dan nasehat serta doa restu yang
diberikan terus menerus kepada penulis
8. Mbak Lia dan Mas Izik yang selalu memberikan semangat
luar biasa kepada penulis
9. Dila, reiza yang telah bahu membahu bekerjasama
dengan penulis untuk menyelesaikan karya ini.
10.Sahabat penulis, Whisnu, Rio, Chandra, Ega, dan
Indri. Terima kasih atas persahabatan yang hebat ini.
11.Teman- teman kelompok 19 yang unik dan penuh dengan
intrik, terima kasih kalian telah menjadi bagian yang
tak terlupakan
12.Teman dekat penulis, yang selalu merindukan penulis.
13.Teman teman angkatan 2005, dan pihak – pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sebagai karya tulis, tentu skripsi memliki banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan segala saran dan kritik untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
rekan- rekan pada khususnya dan semua pihak yang
berkepentingan bagi pegembangan ilmu kedokteran serta
berguna bagi nusa dan bangsa. Amin.
Yogyakarta, Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN
HALAMAN JUDUL I LEMBAR PENGESAHAN II PERNYATAAN III PRAKATA IV DAFTAR ISI VII DAFTAR TABEL DAN GAMBAR VIII INTISARI IX ABSTRACT X BAB I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 I.2 Perumusan Masalah 5 I.3 Tujuan Penelitian 5 I.4 Manfaat Penelitian 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Humor Akuos 6 II.2 Tekanan Intraokuler 7 II.3 Retinopati Diabetika 12 II.4 Bevacizumab 16 II.5 Kerangka Teori 18 II.6 Landasan Teori 19 II.7 Hipotesis 19 BAB III. METODE PENELITIAN III.1 Desain Penelitian 20
III.2 Populasi Penelitian 20 III.3 Teknik Pengambilan Sampel 21
III.4 Besar Sampel 21 III.5 Variabel yang diukur 22 III.6 Definisi Operasional 22 III.7 Sarana & Instrumen 22 III.8 Jalan Penelitian 23 III.9 Analisis Data 24 III.10 Kerangka Penelitian 25 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Deskripsi Data 26 IV.2 Perubahan TIO 28
IV.3 Pengaruh Sejumlah Faktor 31 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 35 DAFTAR PUSTAKA 36
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
HALAMAN
Tabel 1. Karakteristik pasien 26 Tabel 2. Distribusi rerata tekanan intraokuler 28
pre injeksi dan post injeksi
Tabel 3. Pengaruh karakteristik pasien terhadap 31 rerata selisih (perubahan) tekanan intraokuler
Grafik 1. Distribusi pasien menurut umur 27
INTISARIINTISARIINTISARIINTISARI Latar BelakangLatar BelakangLatar BelakangLatar Belakang: Retinopati diabetika merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama pada usia kerja. Berbagai pendekatan terapi telah dilakukan untuk mengontrol progresi penyakit ini. Bevacizumab intravitreal sebagai anti-VEGF memiliki prospek yang menjajikan dalam penanganan retinopati diabetika. Tetapi pemberian penyuntikan obat intravitreal dapat menyebabkan kenaikan tekanan intraokuler. Tujuan:Tujuan:Tujuan:Tujuan: Mengetahui perubahan tekanan intraokular sebelum dan sesudah injeksi bevacizumab intravitreal pada penderita retinopati diabetika. Metode:Metode:Metode:Metode: 41 pasien retinopati diabetika menjalani terapi injeksi bevacizumab intravitreal. Seluruh pasien mendapatkan dosis tunggal sebesar 1,25mg. Tekanan intraokuler diukur sebelum mendapatkan injeksi dan segera setelah injeksi dilakukan (maksimal 5menit). Dilakukan analisis statistik. Hasil:Hasil:Hasil:Hasil: Rerata tekanan intraokuler sebelum dilakukan injeksi sebesar 16,27±1,68mmHg dan sesaat setelah injeksi diperoleh rerata tekanan intraokuler sebesar 20,22±4,23 mmHg. Kenaikan sebesar 3,96±2,55mmHg tersebut secara klinis maupun secara statistik tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Kesimpulan:Kesimpulan:Kesimpulan:Kesimpulan: Injeksi bevacizumab intravitreal sebesar 1,25mg tidak menimbulkan kenaikan tekanan intraokuler yang signifikan pada pasien dengan retinopati diabetika Kata kunci:Kata kunci:Kata kunci:Kata kunci: Tekanan intraokuler – Retinopati Diabetika – Vascular Endothelial Growth Factor – Bevacizumab
ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT Background:Background:Background:Background: Diabetic retinopati is one of leading cause of blindness in working age population. Many approaches in diabetic retinopathy treatments have been performed to control disease progession. Bevacizumab intravitreal as an anti-VEGF has promising chance in intervention of diabetic retinopathy.Altough this injection could increase the intraocular pressure. Objective:Objective:Objective:Objective: To determine changes of intraocular pressure before and after intravitreal injection of bevacizumab on diabetic retinopathy patients. Method:Method:Method:Method: 41 people with diabetic retinopathy underwent an intravitreal injection of bevacizumab. All of those people had single dose injection in the amount of 1,25mg. Intraocular pressure was measured before and just after bevacizumab injection (max 5 minutes). Statistical analysis was performed. Result:Result:Result:Result: Mean of intraocular pressure before injection was 16,27±1,68mmHg and after injection performed, the mean was 20,22±4,23 mmHg. The mean difference was 3,96±2,55mmHg. This difference was not showed significant changes clinically or statistically. Conclusion:Conclusion:Conclusion:Conclusion: Intravitreal injection of 1,25mg bevacizumab has no significant raised on patient with diabetic retinopathy. KKKKeywordeywordeywordeyword:::: Intraocular Pressure – Diabtic Retinopathy – Vascular Endothelial Growth Factor – Bevacizumab
BAB IBAB IBAB IBAB I
PENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUAN
I. 1. LATAR BELAKANGI. 1. LATAR BELAKANGI. 1. LATAR BELAKANGI. 1. LATAR BELAKANG
Retinopati diabetika merupakan salah satu penyebab
utama kebutaan pada usia antara 30 tahun hingga 69 tahun
(Vishnawath & Gravin, 2003). Sebagian besar kebutaan di
Amreika Serikat, Inggris dan negara- negara barat lainya
disebabkan retinopati diabetika (Malley, 1990; Benson et
al., 1987). Di Negara berkembang, retinopati diabetika
merupakan penyebab utama kebutaan pada usia kerja dan
merupakan 12% dari kasus kebutaan baru setiap tahun
(Centers for Disease Control and Prevention, 1996).
Prevalensi retinopati diabetika yang didapat dari
penelitian di Indonesia berkisar antara 7,8% hingga 28,9%.
Prevalensi retinopati diabetika di DIY sekitar 8%, dan 0,2%
hingga 0,5% penduduk DIY menderita retinopati diabetika
(Agni & Sudarto, 2005).
Pada retinopati diabetik, terjadi mikroangiopati
pada pembuluh-pembuluh darah retina. Mikroangiopati
ditandai dengan penyumbatan vasa-vasa, baik sementara
atau menetap, yang menimbulkan daerah-daerah iskemik atau
infark pada retina. Keadaan iskemi ini selain karena
penyumbatan vasa, juga disebabkan dinamika aliran darah
yang berubah (Guyton and Hall, 1997).
Pada stadium yang lebih berat, yaitu retinopati
diabetika proliferatif, terjadi pembentukan pembuluh
darah baru yang diinduksi oleh iskemia retina. Pembentukan
pembuluh darah baru ini sangat dipengaruhi oleh adanya
faktor angiogenesis. Faktor angiogenesis yang dimaksud
adalah factor pertumbuhan endothel vascular atau Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang kadarnya meningkat
pada keadaan iskemia retina (Aiello et al., 1994; Leung et
al., 1989 cit Aiello, 2004). Pembuluh darah baru yang
tumbuh ke dalam vitreus dapat menyebabkan perdarahan
vitreus dan ablasio retina yang mengakibatkan hilangnya
penglihatan.
Kondisi yang berpotensi terhadap hilangnya
penglihatan pada retinopati diabetika antara lain adalah :
(1.) sekuel dari pembentukan pembuluh darah baru yang
diinduksi iskemia; (2.) edema makula diabetika; dan (3.)
perubahan makula karena iskemia (AAO, 2004).
Penelitian- penelitian yang telah dilakukan
melaporkan bahwa fotokoagulasi panretina dapat mengurangi
50% hilangnya penglihatan yang berat pada Non Proliferatif
Diabetic Retinopati berat dan memperbaiki visus (Diabetic
Retinopathy Study, 1997). Fotokoagulasi laser juga
dilaporkan menyebabkan resolusi neovaskuler parsial pada
33% pasien. Disamping resolusi dari neovaskuler, 35%
pasien mengalami perbaikan visus hingga tiga tingkat (Wei
et al., 2004). Penelitian lain melaporkan bahwa
fotokoagulasi panretina menggunakan argon efektif
meningkatkan visus pada 23% pasien dan pada 61% pasien
(ETDRS, 1985).
Treatment fotokoagulasi ini tidak menjamin kualitas
lapang pandangan penderita retinopati diabetika. Seperti
kita ketahui prinsip dari terapi laser ini adalah
mematikan jaringan hidup di retina agar jaringan tersebut
tidak menghasilkan VEGF, sehingga neovaskularisasi dapat
dikendalikan (Aiello et al.,2004). Dengan matinya
sebagian jaringan di retina maka lapang pandangan
penderita retinopati diabetika otomatis berkurang dengan
banyaknya bintik buta yang muncul. Semakin banyak bintik
buta yang timbul semakin buruk pula lapang padangannya
(Diabetic Retinopathy Study, 1987).
Dewasa ini digunakan terapi baru yaitu bevacizumab
yang diberikan secara injeksi intravitreal. Bevacizumab
merupakan terapi farmakologis yang merupakan suatu
antibodi monoklonal yang melekat pada reseptor VEGF yaitu
VEGFR-1 dan VEGFR-2 (Manzano et al., 2006). Penggunaannya
secara sistemik dapat memperbaiki visus dan mengurangi
edema makula secara signifikan (Michels et al.,2005).
Bevacizumab diberikan 1,25 mg secara intravitreal,
dan karena bilik mata sangat rentan terhadap kenaikan
tekanan intraokuler (TIO), maka salah satu efek sebuah
injeksi pada mata adalah meningkatnya TIO. Meningkatnya
TIO yang tidak terkontrol akan mengganggu fungsi
fisiologis mata (Spaide & Fisher., 2006).
Dilaporkan penelitian dengan injeksi obat
intravitreal meningkat hingga 30mmHg pada 122 pasien
(Falkenstein, et al.,2007). Dalam penelitian lain juga
dilaporkan bahwa injeksi bevacizumab intravitreal
menyebabkan peningkatan pada 87% kasus dengan nilai yang
cukup tinggi (Bakri, et al., 2007).
Tekanan yang meningkat diatas 20 mmHg sampai 30mmHg
dapat menyebabkan hilangnya penglihatan bila dibiarkan
dalam jangka waktu yang lama (Minckler, et al., 1992).
Berdasarkan kenyataan diatas, menunjukan adanya
kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian obat tetes
mata ataupun injeksi intravitreal, tetapi seberapa tinggi
kenaikan TIO setelah injeksi bevacizumab intravitreal,
dan apakah kenaikan tersebut akan bermakna secara klinis,
masih jarang diteliti.
I. 2. PERUMUSAN MASALAHI. 2. PERUMUSAN MASALAHI. 2. PERUMUSAN MASALAHI. 2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas bahwa bilik mata
sangat rentan terhadap kenaikan volume maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut : apakah terjadi
kenaikan TIO sesaat setelah injeksi bevacizumab
intravitreal dan apakah kenaikan itu akan bermakna secara
klinis.
I. 3. TUJUANI. 3. TUJUANI. 3. TUJUANI. 3. TUJUAN
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
perubahan tekanan intraokular sebelum dan sesudah injeksi
bevacizumab intravitreal pada penderita retinopati
diabetika.
I. 4. MANFAAT PENELITIANI. 4. MANFAAT PENELITIANI. 4. MANFAAT PENELITIANI. 4. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan wawasan
mengenai TIO dan perubahannya selama terapi
bevacizumab berlangsung dan sesudahnya.
2. Dengan diketahuinya perubahan TIO sebagai efek
terapi, maka dapat diketahui perlu tidaknya
penggunaan obat penurun tekanan inrtaokuler
setelah injeksi bevacizumab intravitreal.
BAB IIBAB IIBAB IIBAB II
TINJAUAN PUSTAKATINJAUAN PUSTAKATINJAUAN PUSTAKATINJAUAN PUSTAKA
IIIII. I. I. I. 1.1.1.1. HumorHumorHumorHumor AkuosAkuosAkuosAkuos
a. Fisiologi Humor Akuos
Humor akuos diproduksi oleh korpus siliare, berkumpul
di dalam kamera okuli posterior menuju kamera okuli
anterior melalui pupil. Humor akuos masuk kedalam vena -
vena episkleral menuju aliran darah sistemik (Kauffman,
1986).
Terdapat 3 teori utama yang berhubungan dengan
pembentukan humor akuos yaitu: difusi, ultrafiltrasi dan
sekresi aktif. Difusi merupakan proses pasif cairan serta
zat yang terkandung didalamnya melintasi membran sel
akibat perbedaan gradien konsentrasi. Ultrafiltrasi
merupakan proses pasif air serta zat yang larut melintasi
membran sel. Akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara
darah dan korpus siliare. Proses ultrafiltrasi ini
dipengaruhi oleh keadaan tekanan intraokuler (TIO)
terhadap aliran darah didalam badan silier dan
permeabilitas mikrovasanya. Apabila TIO meningkat, maka
aliran darah ke badan silier berkurang, sehingga produksi
akuos humor menjadi berkurang. Teori ketiga pembentukan
akuos humor adalah sekresi aktif, yaitu adanya sekresi
glanduler (Kaufmann, 1986). Pada sekresi aktif, produksi
humor akuos tidak dipengaruhi oleh perubahan TIO. Sekresi
aktif terjadi karena proses aktif ion Na+ didalam sel
epitel pigmen badan silier. Proses aktif ini dibantu oleh
enzim sodium potasium activated adenosin triphosphatase
dan anhidrase karbonat (Kaufman, 1986 ; Kolker &
Hetherington, 1976).
b. Pengeluaran Humor Akuos
Humor akuos yang terbentuk akan mengalir dari kamera
okuli posterior melalui pupil ke kamera okuli anterior, dan
setelah itu dikeluarkan melalui dua jalur , yaitu jalur
direk dan indirek. Pengeluaran humor akuos sebagian besar,
yaitu 80% dari total outflow, terjadi langsung melalui
trabekular meshwork kanalis Schlemm lalu sistem vena, dan
secara tidak langsung melalui jalur uveosklera yaitu 20%
dari total outflow, melaui permukaan interstitial m.
siliaris dan koroid.
II. II. II. II. 2. Tekanan Intraokuler2. Tekanan Intraokuler2. Tekanan Intraokuler2. Tekanan Intraokuler
Tekanan intraokuler merupakan keseimbangan antara
pembentukan akuos humor (inflow), outflow dan tekanan vena
episklera. Tekanan intraokuler normal adalah 10-20mmHg
(Epstein, 1986) dengan rerata 15,4mmHg (Kolker &
Hetheringson, 1976; Oka, 1985), dengan amplitudo
bervariasi antara 3-6 mmHg dengan angka tertinggi dicapai
waktu bangun pagi dan terendah pada malam hari. Amplitudo
lebih dari 10mmHg merupakan keadaan patologis. Pada
glaukoma rata- rata variasi TIO 10mmHg, sedangkan pada
hipertensi okuler 8mmHg. Penyebab pasti dari variasi
diurnal TIO tidak jelas, diperkirakan adanya hubungan
antara adenokortikoid dengan variasi diurnal TIO, dengan
adanya kenaikan kortisol plasma yang paralel dengan TIO,
dengan puncaknya 3-4 jam lebih awal.
Secara umum besarnya TIO dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain tekanan darah, tekanan vena episklera,
proses senilitas pada mata, pengerasan dan pembesaran
lensa, lensa yang mencembung akan mendorong iris kedepan
sehingga terjadi penyempitan sudut bilik mata depan yang
menghambat aliran akuos humor dan menyebabkan peningkatan
TIO. Pada lansia terjadi perubahan kekakuan sklera
sehingga akan menurunkan rigiditas sklera dan menyebabkan
peningkatan TIO.
Faktor- faktor yang mempengaruhi tekanan intraokular
secara umum dibagi menjadi :
a. Faktor lokal, meliputi :
1. Kekakuan sklera mempengaruhi TIO. Makin kaku
sklera makin tinggi TIO. Proses senilitas pada mata
akan meningkatkan kekakuan sklera (Kolker &
Hetherington, 2000; Budiardjo, 2002). Pada usia
tua lensa mata akan mengalami pengerasan, dimana
lensa tersebut mencembung ke depan sehingga
mendorong iris ke depan dan menyebabkan sudut bilik
mata depan menyempit. Akibat selanjutnya, aliran
humor akuos ke jaringan trabekula terhambat.
2. Perubahan isi bola mata. Tumor intraokuler atau
katarak traumatika dapat menaikan TIO. Pada
perubahan isi bola mata yang lambat akan terjadi
kompensasi pengeluaran humor akuos, menyebabkan
TIO tetap normal.
3. Penekanan bola mata dari luar yang mendadak akan
meninggikan TIO dengan rerata kenaikan 5mmHg.
Namun sebaliknya pada penekanan bola mata yang
berlangsung lama dapat menurunkan TIO oleh karena
volume dan tekanan badan kaca berkurang, misal
dengan penekanan secara manual atau dengan
menggunakan balon Honan atau dengan BTMMS
(Budhiastra & Suhendro, 1998).
4. Hambatan pengeluaran akuos humor pada sudut kamera
okuli anterior dan pupil oleh faktor lokal lainya
yang biasa meningkatkan TIO.
b. Faktor umum, meliputi :
1. Peninggian tekanan darah yang mendadak dapat
menyebabkan sedikit kenaikan TIO dan akan normal
kembali dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh
mekanisme kompensasi produksi akuos humor dan
penurunan aliran ke badan silier (Kolker &
Hetherington, 2000; Budiardjo, 2002). Perubahahan
tekanan darah karena perubahan mikrovasa. Outflow
yang berkurang atau adanya arteriosklerosis akan
menyebabkan kenaikan TIO. Kenaikan TIO karena
arteriosklerosis lebih tinggi dibanding karena
outflow yang bertambah.
2. Perubahan- perubahan tekanan pada vena episklera
yang berhubungan dengan bendungan dalam sistem
vena orbita dapat menyebabkan kenaikan TIO (Macri,
1991; Seal, 2002). Bendungan pembuluh darah
intraokular pada koroid misalnya, karena batuk,
mual dan muntah bisa menyebabkan naiknya TIO yang
besar secara cepat, kadang- kadang bisa mencapai
35mmHg (Kolker & Hetherington, 2000; Budiardjo,
2002).
3. Perubahan mikrovasa akibat vasokonstriksi atau
vasodilatasi mengakibatkan penurunan atau
kenaikan TIO. Hal ini karena pada vasokonstriksi
aliran darah ke mikrovasa berkurang, dan pada
vasodilatasi terjadi kenaikan permeabilitas
dinding mikrovasa.
4. Perubahan pH darah. Di dalam percobaan penurunan pH
darah berakibat penurunan TIO, kenaikan pH darah
menikan TIO.
5. Obat-obatan yang mempengaruhi TIO, meliputi :
a. Adrenalin. Efek vasokonstriktor pada dosis
kecil adrenalin akan meningkatkan TIO, dan efek
vasodilator pada dosis besar menurunkan TIO
(Lewis & Philips, 1996; Stur et al., 1996; Seal,
1997). Atropin menyebabkan vasodilatasi
sehingga menyebabkan turunya TIO, sedangkan
mata glaukoma atropin meningkatkan TIO oleh
karena tertutupnya sudut filtrasi.
b. Obat- obat penghambat anhidrase karbonat dan
penghambat beta adrenergik akan menghambat
produksi akuos humor sehingga menurunkan TIO
(Hanever, 1978 ; Fridenwall, 1995). Namun
demikian, pemberian acetazolamid prabedah
katarak masih diragukan perananya di dalam
menurunkan TIO (Jaffe, 1993; Husin, 1998).
c. Pemberian gliserol per oral dan pemberian urea
atau manitol per infus menurunkan TIO karena
meninggikan tekanan osmotik plasma (Kolker &
Hetherington, 2000; Budiardjo, 2002). Perubahan
tekanan osmotik darah berakibat perubahan TIO
meskipun hanya sementara, karena adanya
mekanisme kompensasi transport aktif dari Na+
dan Cl- antara lumen mikrovasa dengan jaringan
disekitarnya.
d. Obat- obat lainya seperti, amil nitrit
menyebabkan turunya tekanan darah sistemik
sehingga menurunkan TIO; histamin mengakibatkan
turunya TIO; dan eserin menyebabkan kenaikan
permeabilitas mikrovasa sehingga juga
menyebabkan penurunan TIO
II. II. II. II. 3. Retinopati Diabetika3. Retinopati Diabetika3. Retinopati Diabetika3. Retinopati Diabetika
Komplikasi Diabetes Melitus(DM) dapat terjadi
dibeberapa alat tubuh yaitu dijaringan saraf, di sistem
kardiovaskuler, di jaringan mata/ otot. Ujud penyulit
umumnya degenerasi jaringan. Khusus di jaringan mata dapat
terjadi di lensa menjadi katarak dan di retina sebagai
retinopati diabetik (RD). RD akan menyebabkan kebutaan,
yang sampai sekarang masih sulit pengobatanya. Prevalensi
DM di Indonesia sebesar 2,3%- 6,1% dengan insidensi RD
sebesar 22,5%- 65% dari penderita DM. Prevalensi RD
berhubungan dengan lamanya menderita DM. Setelah 10 tahun
menderita DM hampir semua tipe I DM dan lebih dari 60% tipe
II DM menderita retinopati. RD dapat menyebabkan penurunan
visus dan kebutaan (Adam, 1984).
Retinopati diabetika adalah komplikasi vaskuler pada
retina karena DM (Benson, 1987). Vaghan dan Asbury (2000)
menyatakan bahwa RD adalah mikroangiopati progresif
dengan karakteristik gangguan dan oklusi pembuluh darah
kecil pada retina. Doyle dan Kemp (1998) mendefinisikan
retinopati sebagai suatu keadaan laju dari DM yang ditandai
dengan degenerasi alamiah pada retina. Beberapa ahli lain
mendefinisikan RD sebagai penyulit vaskuler menahun dari
penyakit DM dengan gambaran mikroangiopati retina yang
diduga sebagai gangguan metabolik yaitu kurang insulin dan
hiperglikemia (Michelson, 1980)
Berdasarkan patogenesisnya, retinopati diabetika
dibagi menjadi 2 jenis besar yaitu retinopati diabetika non
proliferatif (NPDR) dan retinopati diabetika proliferatif
(PDR) (Malley, 1990; Kanski et al., 2003). Gambaran klinis
dari NPDR antara lain adalah mikroaneurisme yang merupakan
tanda pertama dari retinopati diabetika dan biasanya
terletak pada lapisan inti dalam retina. Selain itu
terdapat eksudat keras, edema retina dan perdarahan.
Perdarahan dapat terjadi intraretina dengan gambaran red
dot blot atau pada lapisan serabut saraf retina dengan
gambaran flame. Pembentukan pembuluh darah baru atau
neovaskularisasi merupakan tanda utama terjadinya
retinopati diabetika proliferatif. Neovaskularisasi
dapat terjadi pada diskus optikus (New Vessel of the Optic
Disc, NVD) atau pada daerah lain di retina (New Vessel
Elsewhere, NVE) (Kanski et al., 2003)
Retinopati diabetika saat ini diterapi dengan
berbagai jenis modalitas terapi seperti pengendalian
faktor sistemik, fotokoagulasi laser, dan terapi
farmakologi. Pengendalian faktor- faktor sistemik yang
berpengaruh terhadap progesifitas RD terbukti mempunyai
efek besar terhadap perkembangan komplikasu mikrovaskuler
dari RD (Aiello et al., 2001). Diabetes Control and
Complications Trial dan United Kingdom Prospective Study
menunjukan bahwa pengendalian faktor- faktor sistemik
seperti pengendalian glukosa darah, tekanan darah, dan
lemak darah (DCCT, 1993; UKPDS, 1998). Ketika
fotokoagulasi mengancam penglihatan, fotokoagulasi laser
digunakan untuk mencegah hilangnya penglihatan (Yam &
Kwok, 2007)
Fotokoagulasi laser digunakan sebagai terapi RD dan
edema makula diabetika. Terdapat beberapa jenis
fotokoagulasi laser yang digunakan dalam terapi RD ini.
Fotokoagulasi panretinal diindikasikan untuk terapi PDR
risiko tinggi (ETDRS, 1985; ETDRS, 1987). Tujuan dari
terapi ini adalah mencegah kebocoran vaskuler dengan
membakar kapiler yang mengalami kebocoran vaskuler atau
dengan membakar area retina yang mengalami iskemia
sehingga mengurangi faktor angiogenesis. Fotokoagulasi
panretina dilakukan dengan membakar retina secara cukup
luas di polus posterior dengan tidak melukai retina sentral
(Aiello, 2005), seluas 45 derajat hingga 60 derajat
(Visnawath et al., 2003). Wei et al. (2004), mendapatkan
hasil bahwa 67% mata pasien dengan PDR mengalami resolusi
komplit, sedangkan 33% mata pasien mengalami resolusi
parsial, dan terdapat perdarahan pada 9% pasien. Study
ETDRS menyimpulkan bahwa fotokoagulasi laser dapat
mengurangi risiko hilangnya penglihatan hingga 50% pada
pasien RD.
Penelitian- penelitian diatas memang menunjukan
bahwa fotokoagulasi laser ini berhasil dalam mencegegah
proliferasi pembuluh darah baru, mengurangi edema makula
dan mengurangi risiko penurunan penglihatan, namun
tindakan ini menyebabkan berkurangnya penglihatan
perifer, penglihatan warna, dan penglihatan malam (AAO,
2004; Aiello et al., 1998) karena tembakan menyebar pada
polus posterior retina perifer akan menghancurkan banyak
sel batang yang peka cahaya. Efek samping lain dari terapi
fotokoagulasi laser antara lain silau, ablasi retina
eksudatif, efusi sliokoroid, kenaikan tekanan
intraokular, glaukoma sudut tertutup, dan fibrosis
subretinal.
II. II. II. II. 4. Bevacizumab4. Bevacizumab4. Bevacizumab4. Bevacizumab
Bevacizumab (Avastin) merupakan obat baru yang
didesain untuk menghambat angiogenesis atau pembentukan
pembuluh darah baru. FAD (Food and Drug Administration) di
Amerika membuktikan bevacizumab sebagai terapi pada
kanker kolon maupun rektum. Bevacizumab bukan merupakan
kemoterapi, tetapi dapat diberikan sebagai kombinasi
dengan kemoterapi. Kemoterapi langsung menyerang tumor
secara langsung, sedangkan bevacizumab menyerang pembuluh
darah-pembuluh darah yang berada di sekitar tumor
(Genentech, Inc., 2004).
Pada retinopati diabetika proliferatif juga terdapat
pembentukan pembuluh darah baru yang berkembang dari
sirkulasi retina. Bila tidak ditangani, proses tersebut
akan mengakibatkan prognosis yang buruk pada penglihatan.
Pembuluh darah baru dapat meluas hingga cavitas vitreus
pada mata dan dapat menyebabkan perdarahan vitreus. Hal ini
mengakibatkan hilangnya penglihatan dan dapat menyebabkan
tractional retinal detachments akibat adanya jaringan
fibrosa kontraktil. Terlambatnya penanganan pada penyakit
ini dapat mengakibatkan pembentukan pembuluh darah baru
dalam stroma iris dan mungkin meluas dengan adanya fibrosis
ke dalam struktur yang melakukan drainase sudut bilik depan
mata (Frank,2004).
Bevacizumab berikatan dengan Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF) dan mencegah interaksi VEGF dengan
reseptornya (Flt-1 dan KDR) pada permukaan sel
endothelial. Interaksi VEGF dengan reseptornya
mengakibatkan sel endothelial berproliferasi dan
membentuk pembuluh darah baru (angiogenesis). Bevacizumab
berikatan dengan VEGF dengan afinitas tinggi sehingga
meminimalisir jumlah sirkulasi VEGF untuk dapat berikatan
degan reseptornya dan mengaktifkan proses angiogenesis
(Genentech BioOncology, 2004; Muehlbauer, 2003).
Pada studi preklinik, 8 non-human primates yang
menjalani laser karena okluisi vena retina untuk membuat
iskemi retina, secara random menerima terapi dengan
injeksi bevacizumab intravitreal atau control monoclonal
antibody. Neovaskularisasi iris tidak terjadi pada
delapan mata yang menerima terapi bevacizumab, tetapi
terjadi pada 5/8 control treated eyes (p<0,05).
Bevacizumab secara spesifik menghambat VEGF yang dapat
mengakibatkan proliferasi sel kapiler endothel in vitro
(Tolentino, et al.1996).
Penggunaan bevacizumab secara sistemik mampu
memperbaiki visus dan mengurangi penebalan retina
(Michels et al., 2005; Rosenfeld et al., 2005). Terdapat
laporan mengenai efek samping sistemik bevacizumab berupa
hipertensi (Rosiak dan Sadowski, 2005). Salah satu cara
untuk mengurangi efek samping ini dengan mengurangi dosis
bevacizumab dengan cara menginjeksikan obat dosis rendah
lengsung ke bola mata.
II. 5. KERANGKA TEORIII. 5. KERANGKA TEORIII. 5. KERANGKA TEORIII. 5. KERANGKA TEORI
Obat - obatan
Inflamasi
Tekanan darah
TEKANAN TEKANAN TEKANAN TEKANAN INTRAOKULARINTRAOKULARINTRAOKULARINTRAOKULAR
Outflow
Sudut iridokorneal tertutup
Kelainan trabekulum
Kenaikan volume
Massa
Injeksi intravitreal
II. II. II. II. 6. LANDASAN TEORI6. LANDASAN TEORI6. LANDASAN TEORI6. LANDASAN TEORI
Besar tekanan intra okular ditentukan terutama oleh
tahanan aliran keluar akuos dari ruang anterior ke dalam
kanalis Schlemm. Tahanan aliran keluar ini dihasilkan dari
tautan trabekula yang dilewati, dimana cairan tersaring
pada jalan dari sudut lateral ruang anterior ke dinding
kanalis Schlemm. Dengan tekanan kurang dari 15mmHg pada
mata normal, jumlah cairan yang meninggalkan melalui
kanalis Schlemm rata-rata 2,5um/menit dan begitu juga
dengan jumlah aliran masuk cairan dari badan siliaris. Oleh
karena itu secara normal tekanan menetap pada tingkat
sekitar 15mmHg
Injeksi obat intravitreal jelas mengakibatkan
peningkatan TIO, namun jika kondisi homeostasis seseorang
masih baik maka kenaikan TIO ini dapat segera diturunkan,
yaitu dengan cara mengurangi produksi humor akuos dan
mempercepat aliran ke vena akueus
II. 7. HIPOTESISII. 7. HIPOTESISII. 7. HIPOTESISII. 7. HIPOTESIS
Terdapat kenaikan Tekanan Intraokuler setelah
injeksi bevacizumab intravitreal pada pasien dengan
retinopati diabetika
BAB IIIBAB IIIBAB IIIBAB III
METODE PENELITIANMETODE PENELITIANMETODE PENELITIANMETODE PENELITIAN
III.III.III.III. 1. Desain penelitian1. Desain penelitian1. Desain penelitian1. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian one-
group pretest - posttest design, dengan
menggunakan data sekunder yang diambil dari data
rekam medis pasien di RS Mata dr.YAP Yogyakarta.
III. III. III. III. 2. 2. 2. 2. Populasi PenelitianPopulasi PenelitianPopulasi PenelitianPopulasi Penelitian
Populasi yang ditargetkan adalah seluruh
pasien yang mendapatkan injeksi Bevacizumab
1,25mg intravitreal di RS Mata dr.Yap Yogyakarta
periode Mei - September 2007.
Kriteria inklusi :
1. Pasien dengan diagnosis retinopati diabetika
yang mendapat injeksi bevacizumab 1,25 mg
intravitreal.
Kriteria ekslusi :
1.Pasien dengan data rekam medis yang tidak
lengkap
2.Pasien yang menderita penyakit mata selain
retinopati diabetika dan memiliki TIO yang
sangat tinggi
III. 3. III. 3. III. 3. III. 3. Teknik Pengambilan SampelTeknik Pengambilan SampelTeknik Pengambilan SampelTeknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini kita memilih pasien yang
berkunjung di RS Mata dr.Yap Yogyakarta, berumur
18tahun keatas dan menderita Retinopati Diabetik yang
diinjeksi bevacizumab periode Mei – September 2007.
teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
consecutive sampling
III. 4. III. 4. III. 4. III. 4. Besar SampelBesar SampelBesar SampelBesar Sampel
Besar sampel yang dipergunakan adalah dengan
rumus uji hipotesis terhadap rerata :
n = 2 SD(z1-α /2 + z1-β)
(µo -µa)
N = jumlah sampel
Z1- α = 1,960 (α = 0,05)
Z1- β = 0,842 (Power 80%)
SD = Standar Deviasi = 2,4 mmHg
µo - µa = selisisih rerata TIO sebelum dan
sesudah injeksi yang dianggap bermakana ≥ 5mmHg
Dari hasil perhitungan diatas diperoleh jumlah
sample 46. diperkirakan sample DO 10% jadi jumlah
sample 50.
III. 5.III. 5.III. 5.III. 5. Variabel yang diukurVariabel yang diukurVariabel yang diukurVariabel yang diukur
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
Variabel terikat: TIO sebelum dan sesudah injeksi
dalam mmHg
Variabel bebas : Injeksi bevacizumab intravitreal
III.6.III.6.III.6.III.6. Definisi OperasionalDefinisi OperasionalDefinisi OperasionalDefinisi Operasional
1. TIO awal adalah tekanan intraokuler yang diukur
pada mata penderita retinopati diabetika yang
diukur dengan tonometri non kontak sebelum
pemberian injeksi bevacizumab intravitreal
2. TIO akhir adalah tekanan intraokuler yang diukur
sesaat setelah injeksi bevacizumab intravitreal
3. Injeksi bevacizumab 1,25 mg intravitreal : injeksi
bevacizumab sebanyak 1,25 mg ke dalam cavitas
vitreus dengan menggunakan jarum 30 G, dimasukkan
melalui inferotemporal pars plana 3,0 – 3,5 mm
posterior dari limbus ( Jorge et al., 2006)
III. 7III. 7III. 7III. 7. . . . Sarana dan Instrumen PenelitianSarana dan Instrumen PenelitianSarana dan Instrumen PenelitianSarana dan Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan data rekam medis
pasien yang menjalani injeksi bevacizumab
intravitreal di RS Mata dr. Yap Yogyakarta.
Alat yang digunakan dalam penelitian Adalah :
Tonometer non-kontak dengan menggunakan alat
yaitu CT-80 non contact tonometry.
III.III.III.III. 8888. Jalan Penelitian. Jalan Penelitian. Jalan Penelitian. Jalan Penelitian
a. Perekrutan subjek
Pasien yang datang ke RS Mata dr.Yap
terdiagnosis retinopati diabetik akan diberi
penjelasan tentang adanya penelitian ini. Kemudian
pasien tersebut akan ditanyai apakah bersedia
untuk ikut serta sebagai subyek. Untuk memperjelas
informasi, kandidat akan diberikan selebaran
mengenai garis besar penelitian ini yang ditulis
dalam bahasa yang bisa dimengerti khalayak umum.
Setelah itu apabila tertarik, pasien akan dimintai
persetujuannya dengan menandatangani surat
persetujan yang menyatakan bahwa pasien telah
dijelaskan dan paham mengenai penelitian ini dan
bersedia mengikutinya.
Subyek berhak menarik diri dari penelitian
kapan saja dan keterlibatan subyek dalam
penelitian ini mutlak bersifat sukarela, oleh
karena itu subyek juga tidak mendapat kompensasi
apapun dalam bentuk materi.
b. Pelaksanaan penelitian
Mula- mula sebelum injeksi intravitreal
pasien dengan RD diukur tekanan intraokularnya
dengan menggunakan CT-80 atau tonometri non kontak
oleh perawat setempat. Lalu setelah injeksi,
kurang lebih 5menit dilakukan kita kembali
mengukur tekanan intraoukular pasien. Setelah
didapat hasilnya lalu data kita catat pada status
pasien dan kita analasis setelah mencapai target
jumlah yang kita inginkan.
III.III.III.III. 9999. Analisis Data. Analisis Data. Analisis Data. Analisis Data
Data hasil rerata pengukuran TIO pre injeksi dan TIO
post injeksi dibandingkan dengan menggunakan student
’t-test.
III. 10. Kerangka PenelitianIII. 10. Kerangka PenelitianIII. 10. Kerangka PenelitianIII. 10. Kerangka Penelitian
Retinopati Diabetika
⇓
Pemeriksaan TIO dengan tonometri
⇓
Injeksi bevacizumab intravitreal 1,25mg
⇓
Pemeriksaan TIO sesaat setelah injeksi
⇓
Perbedaan rerata TIO sebelum dan segera setelah
injeksi
Dihitung menggunakan Paired T-test
Kriteria inklusi Kriteria ekslusi
BAB IVBAB IVBAB IVBAB IV
HASIL DAN PEMBAHASANHASIL DAN PEMBAHASANHASIL DAN PEMBAHASANHASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan terhadap 41 mata penderita
retinopati diabetika yang memenuhi kriteria penelitian.
Sampel adalah penderita yang akan dilakukan injeksi obat
bevacizumab intravitreal di RS Mata dr.Yap Yogyakarta dari
bulan Mei 2007 sampai dengan bulan september 2007.
Penderita retinopati diabetika yang diperiksa dan
memenuhi kriteria, sehingga diikutsertakan dalam
penelitian ini berjumlah 41 orang.
Dari hasil penelitian tersebut data yang diperoleh
dikumpulkan dan dicatat dalam tabel, kemudian data
dianalisis secara statitisk.
IV.1. Deskripsi DataIV.1. Deskripsi DataIV.1. Deskripsi DataIV.1. Deskripsi Data
Tabel 1. Karakteristik pasien
Karakteristik Jumlah Prosentase
Jenis Kelamin -Lakilaki - Perempuan
23 18
56,1%
43,9%
Lateralisasi - Mata Kanan - Mata Kiri
19
22
46,3% 53,7%
CSME 14 30,4%
Non-CSME 27 58,7%
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa pasien laki –
laki (56,1%) lebih banyak dibandingkan dengan pasien
wanita (43,9%). Mata yang mendapatkan injeksi lebih banyak
pada mata kiri (53,7%) dibanding dengan mata kanan (46,3%).
Sedangkan pasien retinopati diabetik tanpa CSME (53,7%)
lebih banyak dibanding dengan pasien dengan CSME (30,4%).
Grafik 1. Distribusi pasien menurut umur
40 50 60
Umur
0%
5%
10%
15%
20%
Percent
Dari grafik diatas terlihat bahwa distribusi umur
terbanyak adalah pada usia 50 tahun sedangkan yang paling
sedikit pada usia 45 tahun.
IV.2.Perubahan tekanan intraokulerIV.2.Perubahan tekanan intraokulerIV.2.Perubahan tekanan intraokulerIV.2.Perubahan tekanan intraokuler
Tabel 2.Distribusi rerata tekanan intraokuler pre injeksi
dan post injeksi
Tabel diatas menunjukan rerata tekanan intraokuler
mean(±SD) sebelum dan setelah injeksi bevacizumab 1,25 mg
intravitreal. Pada saat pre injeksi rerata tekanan
intraokuler adalah 16,27 ±1,689, sedangkan setelah
bevacizumab di injeksikan (post injeksi) rerata tekanan
intraokuler adalah 20,22 ±4,234. Setelah dilakukan t’test
terhadap rerata tekanan intraokuler sebelum dan sesudah
injeksi didapatkan hasil yang tidak signifikan p=0,18 (p >
0,05). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap rerata tekanan intraokuler pada
saat sebelum (TIO pre injeksi) dan sesudah (TIO post
injeksi) disuntikan bevacizumab intravitreal.
Dari perhitungan awal penelitian diasumsikan bahwa
perubahan kenaikan TIO pre injeksi dengan TIO post injeksi
yang dianggap bermakna jika terdapat perbedaan ≥ 5mmHg.
Hasil penelitian ini menunjukan perbedaaan rerata
Injeksi bevacizumab
intravitreal Nilai p Pre injeksi Post injeksi
Rerata TIO(±SD) 16,27±1,68 20,22±4,23 0,18 (dalam mmHg)
kenaikan TIO pre injeksi dengan TIO post injeksi sebesar
3,96mmHg. Hasil diatas membuktikan bahwa kenaikan
tersebut tidak bermakna secara klinis, sehingga dapat
disimpulkan bahwa injeksi bevacizumab intravitreal tidak
menimbulkan kenaikan TIO yang bermakna secara klinis. Hal
ini sejalan dengan hipotesis penulis yang menyatakan
adanya kenaikan tekanan intraokuler setelah injeksi
bevacizumab intravitreal pada pasien retinopati
diabetika, namun kenaikan tersebut tidak bermakna secara
klinis, sehingga obat penurun TIO tidak diperlukan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Prasad (2000)
dilaporkan bahwa rerata TIO pada onset maturitas diabetes
adalah 19,26mmHg yang mana lebih tinggi dibanding dengan
rerata pada populasi bukan penderita diabetes (orang
normal) yaitu sebesar 16,1mmHg. Dalam penelitian ini juga
dilaporkan bahwa rerata TIO pada mata diabetik tanpa
retinopati adalah 19,99mmHg, namun pada pasien retinopati
diabetik proliferatif didapatkan rerata TIO yang lebih
rendah yaitu 15,98mmHg. Penelitian ini juga melaporkan
bahwa penderita retinopati diabetik proliferatif memiliki
TIO yang rendah.
Ozkiris dan Erkilic (2005) pada penelitiannya
menemukan adanya peningkatan TIO yang signifikan secara
statistik pada 1,3,6 bulan setelah injeksi obat
intravitreal. Adanya peningkatan TIO setelah injeksi
intravitreal dilakukan oleh dkk Jonas dkk (2005), dalam
penelitianya menemukan adanya peningkatan TIO pada 1
minggu setelah injeksi dan berangsur – angsur turun seperti
semula setelah 8 – 9 bulan berikutnya. Penelitian yang
melibatkan 528 mata yang menerima injeksi tersebut
menyimpulkan 53,2% mengalami kenaikan TIO, 45% pasien
meningkat 5mmHg dan 14,2% pasien mengalami peningkatan
10mmHg.
Dalam penelitian lain dilaporkan bahwa dari 104
pasien yang mendapatkan injeksi bevacizumab intravitreal
(0,5mg) diukur TIOnya pada saat sebelum injeksi (pre
injeksi), lalu 2,5, dan 30 menit setelah injeksi. Hasilnya
diperoleh rerata 14mmHg saat preinjeksi, 36mmHg pada 2
menit, 25,7mmHg pada 3 menit, dan 15,5mmHg pada 30 menit
setelah injeksi. Dari hasil tersebut bisa disimpulkan
bahwa pasien yang mendapatkan injeksi bevacizumab
intravitreal mengalami perubahan (kenaikan) TIO
sementara, dan akan kembali dalam kisaran normal dalam 30
menit (Hollands, 2007)
Dari data umur, jenis kelamin, lateralisasi, serta
ada tidaknya CSME dilakukan uji statistik yang melihat
pengaruh terhadap rerata selisih TIO menggunakan regresi
inier multivariat. Hasil yang didapatkan ternyata
memiliki nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa
faktor umur, jenis kelamin, lateralisasi, serta ada
tidaknya CSME tidak berpengaruh terhadap perubahan
(kenaikan) TIO pasien dengan retinopati diabetika. Hasil
ini mungkin dikarenakan jumlah sampel yang kurang.
IV.IV.IV.IV.3 Pengaruh sejumlah faktor3 Pengaruh sejumlah faktor3 Pengaruh sejumlah faktor3 Pengaruh sejumlah faktor
Tabel 3. Pengaruh karakteristik pasien terhadap rerata
selisih (perubahan) TIO
Sejumlah faktor diatas diuji secara statistik dengan
menggunakan independen t-test untuk mengetahui pengaruh
terhadap perubahan (kenaikan) TIO. Dari hasil diatas dapat
disimpulkan bahwa terdapat perubahan (kenaikan) TIO pada
laki - laki sebesar 5,65 ±4,51 dan wanita sebesar 4,16
±3,73. Dari data diatas juga dapat kita lihat nilai p
Karakteristik
Rerata Selisih TIO
Nilai p
Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan
5,65±4,51
4,16±3,73
0,29
Lateralisasi - Mata Kanan - Mata Kiri
4,47±4,47 5,36±4,12
0,28
CSME 5,16±3,63
0,34 Non-CSME 4,88±4,36
selisih didapatkan p = 0,28 (p>0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa jenis kelamin pasien tidak berpengaruh
terhadap kenaikan tekanan intraokuler.
Dari data yang didapatkan, pasien yang dinjeksi
bevacizumab dengan lateralisasi OD sejumlah 19 mata
sedangkan jumlah lateralisasi OS berjumlah 22 mata.
Setelah itu kita uji hubungan lateralisasi terhadap rerata
selisih TIO, dan didapatkan perubahan kenaikan TIO pada OD
dengan rerata 4,47±4,47; sedangkan pada OS dengan rerata
5,36±4,12; serta nilai p = 0,28 (p>0,05). Sehinggga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lateralisasi
dengan perubahan kenaikan TIO, namun perubahan tersebut
tidak bermakna secara klinis. Dengan kata lain
lateralisasi tidak berpengaruh terhadap perubahan
kenaikan TIO.
Tabel 3 menunjukan bahwa pasien retinopati diabetika
dengan CSME mengalami perubahan (kenaikan) TIO dengan
rerata sebesar 5,16±3,63; sedangkan pasien retinopati
diabetika tanpa CSME mengalami perubahan (kenaikan) TIO
dengan rerata sebesar 4,88±4,36. dari tabel diatas dapat
kita lihat nilai p adalah 0,34 (p>0,05) sehingga perubahan
tersebut tidak bermakna secara klinis, sehingga dapat kita
simpulkan bahwa perubahan (kenaikan) TIO tidak
dipengaruhi oleh ada tidaknya CSME.
Sebuah studi kontrol mengenai hubungan antara umur
dengan kenaikan TIO melaporkan bahwa wanita memiliki
rerata TIO yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria,
namun pada penelitian lainnya gagal membandingkan
hubungan antara keduanya.
Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahawa TIO
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Usia lebih
dari 40 tahun memiliki faktor risiko yang lebih tinggi
terkena hipertensi okuler.
Faktor – faktor yang mungkin dapat mempengaruhi yang
tidak dapat dijelaskan oleh analisis diatas antara lain
tekanan darah, diabetes melitus, glaukoma, katarak dan
proses inflamasi (Netland et al., 2001). Seperti pada
penelitian yang dilakukan oleh West et al.(1988) bahwa
kenaikan TIO disebabkan oleh banyak faktor, tetapi
penurunan fasilitasi aliran keluar merupakan penyebab
paling pokok. Adanya peradangan menimbulkan flare dan sel
akan menghambat aliran humor akuos dan mengakibatkan
peningkatan TIO pasca bedah.
Pada kondisi glaukoma, katarak, penderita diabetes
melitus kadar Transforming Growth Factor β (TGF β) pada
humor akuos meningkat. Telah diketahui bahwa TGF β bekerja
pada proses proliferasi, migrasi, diferensiasi, apoptosis
sel dan akumulasi matriks ekstra seluler pada anyaman
trabekulum (Ralph et al., 1987). Penumpukan matriks ekrta
sel pada lapisan kribiformis menyebabkan peningkatan
resistensi aliran keluar humor akuos yang pada akhirnya
akan mengakibatkan peningkatan TIO.
Hal diatas telah dibuktikan oleh banyak
penelitian. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh
Tripathi dkk (1994) yang hasilnya adalah TGF β pada humor
akuos mata glaukomatous lebih tinggi dibandingkan mata
normal. Kadar TGF β tidak dipengaruhi oleh umur dan
konsentrasi protein dalam humor akuos. Dari hasil
penelitian yang lain didapatkan bahwa kadar TGF β pada
humor akuos mata normal berbeda pada masing – masing
populasi.
BAB VBAB VBAB VBAB V
KESIMPULAN DAN SARANKESIMPULAN DAN SARANKESIMPULAN DAN SARANKESIMPULAN DAN SARAN
Pengukuran tekanan intraokuler dilakukan sebelum
injeksi dan didapatkan rerata 16,27mmHg dan sesaat setelah
injeksi diukur kembali dan diperoleh rerata 20,22mmHg
dengan nlai p=0,18(p>0,05). Peningkatan tekanan
intraokuler dengan rerata sebesar 3,39mmHg diperoleh dari
selisih rerata pre injeksi dan post injeksi. Kenaikan
tersebut tidak bermakna secara statistik maupun secara
klinis.
Sejumlah faktor yang tidak terdapat dalam data
tersebut bisa mengganggu hasil penelitian, maka dari itu
disarankan agar pada penelitian selanjutnya data – data
yang mencakup faktor tersebut harus dicari lalu diuji
secara statistik. Perlu juga diperhatikan jumlah
kelengkapan data pasien, agar hasil yang di dapatkan tidak
bias dan dapat mewakili populasi dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini jeda waktu pemberian injeksi
tidak di perhitungkan, sehingga perkiraan waktu penurunan
TIO tidak bisa diukur secara tepat. Sebaiknya dalam
penelitian selanjutnya perlu dicantumkan data jeda waktu
pemberian injeksi yang merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi penurunan TIO.
DAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKA
Adam, J.M.H., Sampelan, M.J. 1984. Retinopati Diabetika pada Penderita Diabetes Melitus, dalam : Kumpulan Makalah Kongres Nasional V PERDAMI. Yogyakarta.
Agni, A.N., Sudarto, A.N. 2005. Perbedaan Prevalensi Retinopati Diabetika di Perkotaan dan Pedesaan Propinsi DIY. Bagian Ilmu Penyakit Mata. Yogyakarta: FK UGM.
Aiello, L.P., Avery, R.L., Arrigg, P.G. 1994. Vascular Endothelial Growth Factor In Ocular Fluid of Patients with Diabetic Retinopathy and Other Retinal Disorders. N Engl J Med. 331:1480-7. Cit Aiello, L.P. 2005. Angiogenic Pathways In Diabetic Retinopathy.
Aiello, L.P. 2005. Angiogenic Pathways in Diabetic Retinopathy. N Engl J Med. 353 (8): 839-841.
Aiello, L.P., Cahill, M.T., Wong, J.S.2001. Systemic Considerations in The Management of Diabetic Retinopathy. N Engl J Med. 353(8): 839-841.
American academic of Ophthalmology Staff, 2003-2004. Basic and Clinical Science Course, Section 12. Retina and Vitreus: Aquired Disease Affecting the Makula. San Fransisco: The Foundation of the American Academy of Ophthalmology.
Bakri, S.J., et al.2007. Immediate intraocular pressure changes following intravitreal injections of triamcinolone, pegaptanib, and bevacizumab.USA : Mayoclinic, Department of Ophthalmology.
Benson, W.E., Tasman, W., Duane, T.D. 1987. Diabetic Retinopathy. Dalam: Duane, Visnawath, K., Mc Gravin, D.D.M., 2003. Diabetic Retinopathy: Clinical Findings and Management. Community Eye Health Vol 16 No. 46.
Budhiastra, P., dan Suhendro, G. 1998. Pemakaian Bantal Tekan Mata Modifikasi Sidarta Sebelum Ekstraksi Katarak di RSUP DR Soetomo Surabaya, dalam Kumpulan Makalah Kongres Nasional VI PERDAMI, hal. 505-17. Semarang.
Budihardjo. 2002. Glaukoma Dalam Ilmu Penyakit Mata. Yogyakarta: Laboratorium Ilmu Penyakit Mata FK UGM.
Centers for Disease Control and Prevention, 1996. Blindness Caused By Diabetes: Massachusetts, 1987-1994. MMWR.45:937-941.
Diabetes Control and Complications Trial Research Group. 1993. The Effect of Intensive Treatment of Diabetes on the Development and Progression of Long- Term
Complications in Insulin-dependent Diabetes Melitus. N Eng J Med. 329: 977-986.
Diabetic Retinopathy Study (DRS) Research Group 1997. Indications for Photocoagulation in Diabetic Retinopathy. DRS report No. 14. Int Ophthalmol Clin.27:239-253.
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group 1985. Photocoagulation for Diabetic Macular Edema: Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Report No. 1. Arch Ophtslmol. 103: 1796-774.
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group. 1987. Treatment Techniques and Clinical Guidelines for Photocoagulation of Diabetic Macular Edema: Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Report No. 2. Ophthalmology. 94:761-774.
Epstein. 1986. Chandler & Grant’s Glaucoma, 3rd ed. Philadelphia: Lea & Febiger.
Falkenstein, et al.2007. Changes of intraocular pressure after intravitreal injection of bevacizumab.USA : University of California.
Friedenwald, J.S., & Becker, B. 1995. Aqueus Himor Dynamics. Arch. Ophthalmol, 54: 799-815.
Genentech BioOncology. 2004. Avastin™ (bevacizumab) full prescribing information. South San Francisco, CA: Genentech, Inc. Retrieved September 8, 2004, from http://www.gene. com/gene/products/information/pdf/avastinprescribing. pdf
Genentech, Inc. 2004. Starting therapy with bevacizumab: Information patients, families and caregivers need to know [Brochure]. South San Francisco, CA: Author. Available at http://www.avastin.com/avastin/resources/startingTherapyWithAvastin. pdf
Guyton, A.C., Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hanever, W.H. 1978. Ocular Pharmacology, 4th.ed. London: The C.V. Mosby Company.
Husin, S. 1998. Pengaruh Alat Honan dan Carbonic Anhydrase Inhibitor Pada Tekanan Bola Mata, dalam Kumpulan Makalah Kongres Nasional VI PERDAMI, hal. 489-493. Semarang.
Hollands, H., Wong, J., Bruen, R., Campbell, R.J., Sharma, S., Galle, J.2007. Short-Term Intraocular Pressure Changes After Injection of Intravitreal Bevacizumab. Can J Ophthalmol. 42:807-11.
Jaffe, N.S. 1993. Cataract Surgery and Its Complications. St Louis: The C.V. Mosby Company.
Jonas, J.B., Akkoyun, I., Kreissig, I., Degenring, R.P.,2005. Diffuse Diabetic Macular Edema by IVTA: a Comparative Non Randomised Study. Br J. Ophthalmol. 89:321-326.
Kanski, J.J., 2003. Clinical Ophthalmology. Philadelphia: Elsevier Science.
Kauffman, P.L. 1986. Aqueus Humor Dinamics, dalam T.D. Duane and E.A. Jaeger (eds): Clinical Ophthalmology, vol. III, rev.ed., chap.45. Philadelphia: Harper & Row Publisher.
Kolker, A.E., & Hetherington, J.J. 1976. Becker-Shaefer’s Diagnosis and Theraphy of the Glaucoma, 4th ed. Toronto: The CV Mosby Company.
Leung, D.W., Cachianes, G., Kuang, W.J., Goeddel, D.V., ferrara, N. 1989. Vascular Endothelial Growth Factor is a Secreted Angiogenic Mitogen. Science. 246:1306-9. Cit Aiello, L.P., 2005. Angiogenic Pahways in Diabetic Retinopathy. N Engl J Med. 353-8.
Lewis, R.L., Philips, C.D. 1996. Medical Therapy of Glaucoma dalam T.D. Duane & E.A. Jaeger (eds): Clinical Ophthalmology, Vol. III. Rev. ed., Chap.56. Calcuta: Harper & Row Publisher.
Macri, F.J. 1991. Vascular Pressure Relationships and the Intraocular Pressure. Arch. Ophthalmol. 65:571-4.
Manzano, R.P.A., Peyman, G.A., Khan, P., Kivilcim, M., 2006. Testing Intravitreal Toxicity of Bevacizumab (Avastin). Retina. 26:257-261.
Michaelson, I.C., Benezra, P. 1980. Textbook of the Fundus of The Eye, 3rd ed. London: Chronic Livingstone.
Michels, S., Rosenfeld, P.J., Puliafito, C.A. 2005. Systemic Bevacizumab (Avastin) Therapy for Neovascular Age-Related Macular Degeneration: Twelve Week Results of an Uncontrolled Open-Label Clinical Study.
Minckler, D.S., et al.1992. Glaukoma. Philadelphia, J.B. Lippincott.
Muehlbauer, P.M. (2003). Anti-angiogenesis in cancer therapy. Seminars in Oncology Nursing, 19(3), 180–192.
Netland, P et al.2001. Travoprost Compared with Latanoprost and Timolol in Patients with Open Angle Glaucoma or Ocular Hypertension. American J. of Ophthalmol. 132:472-484.
O’Malley, P.1990. Retina and Intraokular Tumors. In : Vughan, D., Asbury, T., Tabbara, K.F., F.A. : General
Ophthalmology. Pp: 165-170, 12th edition. Connecticut: Lange.
Oka, P.N. 1985. Dinamika Akuos Humor dan Tekanan Intraokuler, dalam J. Kadi, E.A. Gumansalangi dan W. Soewono (eds): Naskah Lengkap Diskusi Ilmiah Perdami X Glaukoma, hal. 1-3. Surabaya: Perdami.
Ozkiris,A., Erkilic, K.,2005. Complications of IVTA. Can J Ophthalmol, 40:63-68.
Prasad, V., N., Arora, V.,K.,1989. The intraocular pressure and diabetes-A correlative study. Dept. of Ophthalmology, B.R.D. Medical College, Gorakhpur - 273 013, India.
Ralph, A., Bradshaw, Steve, P.,1987. Ocogenes and GF Elsevier Science Publisher Amsterdam. New York: Oxford.
Rosenfeld, P.J., Fung, A.E., Puliafito, C.A. 2005. OCT Finding After an Intravitreal Injection of Bevacizumab for Macular Edema from Central Retinal Vein Occlusion. Ophthal surg Lasers Imaging. 36:336-339.
Rosiak, J., Sadowski, L.2004. Hipertension Associated with Bevacizumab.CJON. 407-411.
Seal, G.N. 2002. Textbook of Ophthalmology, 1st ed. Calcuta: Current Book International.
Spaide, R.F., Fisher, Y.L. 2006. Intravitreal Bevacizumab (Avastin) Treatment of Proliferative Diabetic Retinopathy Complicated with Vitreous Hemorrhage. Retina. 26:275-278.
Stur, M., Grabner, G., Spitzy, W.H., Schreiner, J., & Haddad, R. 1996. Effect of Timolol on Aqueus Humor Protein Concentration in Human Eye. Arch. Ophthalmol. 104: 899-900.
T.D., Jaeger, E.A. (editors). Clinical Ophthalmology, vol III, Chap 30, pp 1-24. Philadelphia:P Harper and Row Publisher.
UK Prospective Disease Prevalence Research Group, 1998. Intensive Blood-Glucose Control with Conventional Treatment and Risk of Complications in Patients with Type 2 Diabetes. UKDPS 33. Lancet 352:837-853.
Viswanath, K., Mc Gravin, D.D.M., 2003. Diabetic Retinopathy: Clinical Findings And Management.Community Eye Health Vol 16 No. 46.
Wei, Z.Y., Hu, S.X., Tang, N., Wu, J., Wang, J. 2004. Effect of Argon Laser Fotokoagulation on Diabetic Retinopathy. Ci Yi Jun Yi Da Xue Bao. 12:1313-1315.
Yam, J.C.S., Kwok, A.K.H. 2007. Update on the Treatment of Diabetic Retinopathy. Hongkong Med J. 13:46-60.