7680-13403-1-PB

10
452 Prevalensi dan Faktor Resiko Kawin Berulang pada Sapi Perah pada Tingkat Peternak (PREVALENCE AND RISK FACTORS OF REPEAT BREEDING IN DAIRY COWS AT THE FARMER LEVEL) Surya Agus Prihatno 1 , Asmarani Kusumawati 1, , Ni Wayan Kurniani Karja 2 , Bambang Sumiarto 3 1 Bagian Reproduksi dan Obstetri, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada 2 Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, FKH, Institut Pertanian Bogor 3 Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, FKH, UGM, Jl. Fauna 2, Karangmalang, Yogyakarta 55281, Telepon 0274-560863, Fax. 0274-560863, Email: [email protected] ABSTRAK Kawin berulang merupakan suatu gejala klinis yang dapat menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi dan produktifitas. Salah satu penyebabnya diduga faktor peternak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dan faktor risiko kawin berulang pada tingkat peternak sapi perah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebanyak 922 ekor sapi perah milik 401 peternak yang sudah pernah beranak minimal satu kali, mempunyai siklus estrus normal, berumur 2,5-8 tahun, kondisi tubuh sehat, dikelola secara tradisional baik secara mandiri atau kelompok digunakan dalam penelitian ini. Teknik tahapan ganda dan klaster digunakan untuk pengambilan sampel. Penentuan besaran sampel setiap strata menggunakan metode proporsional, sedangkan untuk menentukan besaran sampel peternak menggunakan sampel rambang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara peternak dan pengamatan langsung di peternakan. Data yang dikumpulkan adalah pendidikan peternak, lama beternak, kondisi kandang, jarak dengan inseminator, kemampuan deteksi estrus, kemampuan deteksi siklus estrus, pengamatan estrus, kebersihan kandang dan hewan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Uji Chi Square (X 2 ) digunakan untuk mengetahui asosiasi antara faktor-faktor penyebab, sedangkan Odds Ratio (OR) digunakan untuk menghitung kekuatan asosiasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi kejadian kawin berulang pada tingkat peternak sebesar 29,4%. Faktor yang berasosiasi terhadap kawin berulang pada tingkat peternak adalah kandang lantai tanah (OR = 2,6) dan lantai semen (OR = 0,4), kebersihan lingkungan kandang (OR = 4,6), pengetahuan siklus estrus (OR = 0,04), pengetahuan estrus (OR = 0,1), deteksi estrus satu kali per-hari (OR = 17,8), deteksi estrus dua kali per- hari (OR = 7,9) dan deteksi estrus tiga kali per-hari (OR = 0,1), saluran pembuangan (OR = 10,0) dan sumber air dari sumur (OR = 2,1), sumber air dari sungai (OR = 1,8) dan sumber air dari mata air (tuk) (OR = 0,4). Penelitian ini dapat disimpulkan prevalensi kawin berulang pada tingkat peternak di DIY sebesar 29,4%. Faktor resiko yang berpengaruh adalah kandang lantai tanah, pengamatan estrus satu kali dan dua kali per-hari, lingkungan kandang yang kotor, saluran pembuangan yang jelek serta sumber air yang berasal dari sumur dan sungai. Kata kunci: prevalensi, kawin berulang, sapi perah, odds ratio ABSTRACT Repeat breeding is a syndrome which affected the reproduction and production efficacy of dairy cattle. The cause of this syndrome may be a herd problem or a variety of individual cow problems. This study aimed to determine the prevalence and factors which contributed in the repeat breeding syndrome in dairy cattle farms in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). A total of 922 dairy cows which owned by 401 farmers were used in this study. The cows had a normal estrus cycle, have had at least once calved, age 2.5-8 years old, in good health condition, raised traditionally by a farmer or communal system. Multistage and cluster sampling method were used in this study. The total numbers of sample at each stage was determined by Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol. 14 No. 4: 452-461 ISSN : 1411 - 8327

description

Asal upload aja

Transcript of 7680-13403-1-PB

452

Prevalensi dan Faktor Resiko Kawin Berulangpada Sapi Perah pada Tingkat Peternak

(PREVALENCE AND RISK FACTORS OF REPEAT BREEDINGIN DAIRY COWS AT THE FARMER LEVEL)

Surya Agus Prihatno1, Asmarani Kusumawati1,,Ni Wayan Kurniani Karja2, Bambang Sumiarto3

1Bagian Reproduksi dan Obstetri, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada

2Bagian Reproduksi dan Kebidanan,Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, FKH, Institut Pertanian Bogor

3Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, FKH, UGM,Jl. Fauna 2, Karangmalang, Yogyakarta 55281,

Telepon 0274-560863, Fax. 0274-560863, Email: [email protected]

ABSTRAK

Kawin berulang merupakan suatu gejala klinis yang dapat menyebabkan rendahnya efisiensireproduksi dan produktifitas. Salah satu penyebabnya diduga faktor peternak. Tujuan penelitian iniadalah mengetahui prevalensi dan faktor risiko kawin berulang pada tingkat peternak sapi perah diDaerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebanyak 922 ekor sapi perah milik 401 peternak yang sudah pernahberanak minimal satu kali, mempunyai siklus estrus normal, berumur 2,5-8 tahun, kondisi tubuh sehat,dikelola secara tradisional baik secara mandiri atau kelompok digunakan dalam penelitian ini. Tekniktahapan ganda dan klaster digunakan untuk pengambilan sampel. Penentuan besaran sampel setiapstrata menggunakan metode proporsional, sedangkan untuk menentukan besaran sampel peternakmenggunakan sampel rambang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara peternak danpengamatan langsung di peternakan. Data yang dikumpulkan adalah pendidikan peternak, lama beternak,kondisi kandang, jarak dengan inseminator, kemampuan deteksi estrus, kemampuan deteksi siklusestrus, pengamatan estrus, kebersihan kandang dan hewan. Data yang terkumpul dianalisis secaradeskriptif. Uji Chi Square (X2) digunakan untuk mengetahui asosiasi antara faktor-faktor penyebab,sedangkan Odds Ratio (OR) digunakan untuk menghitung kekuatan asosiasi. Hasil penelitian menunjukkanbahwa prevalensi kejadian kawin berulang pada tingkat peternak sebesar 29,4%. Faktor yang berasosiasiterhadap kawin berulang pada tingkat peternak adalah kandang lantai tanah (OR = 2,6) dan lantaisemen (OR = 0,4), kebersihan lingkungan kandang (OR = 4,6), pengetahuan siklus estrus (OR = 0,04),pengetahuan estrus (OR = 0,1), deteksi estrus satu kali per-hari (OR = 17,8), deteksi estrus dua kali per-hari (OR = 7,9) dan deteksi estrus tiga kali per-hari (OR = 0,1), saluran pembuangan (OR = 10,0) dansumber air dari sumur (OR = 2,1), sumber air dari sungai (OR = 1,8) dan sumber air dari mata air (tuk)(OR = 0,4). Penelitian ini dapat disimpulkan prevalensi kawin berulang pada tingkat peternak di DIYsebesar 29,4%. Faktor resiko yang berpengaruh adalah kandang lantai tanah, pengamatan estrus satukali dan dua kali per-hari, lingkungan kandang yang kotor, saluran pembuangan yang jelek serta sumberair yang berasal dari sumur dan sungai.

Kata kunci: prevalensi, kawin berulang, sapi perah, odds ratio

ABSTRACT

Repeat breeding is a syndrome which affected the reproduction and production efficacy of dairy cattle.The cause of this syndrome may be a herd problem or a variety of individual cow problems. This studyaimed to determine the prevalence and factors which contributed in the repeat breeding syndrome in dairycattle farms in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). A total of 922 dairy cows which owned by 401 farmerswere used in this study. The cows had a normal estrus cycle, have had at least once calved, age 2.5-8 yearsold, in good health condition, raised traditionally by a farmer or communal system. Multistage and clustersampling method were used in this study. The total numbers of sample at each stage was determined by

Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol. 14 No. 4: 452-461ISSN : 1411 - 8327

453

PENDAHULUAN

Permasalahan rendahnya efisiensireproduksi sering terjadi pada sapi perah diIndonesia. Rendahnya efisiensi reproduksi padasapi perah mengindikasikan terjadinyagangguan reproduksi yaitu kawin berulang. Sapiyang mengalami kawin berulang padaumumnya ditandai dengan panjangnya calvinginterval (18-24 bulan), rendahnya angka kosepsi(< 40%), dan tingginya service per conception(>3) (Rustamaji et al., 2007). Kawin berulangmerupakan suatu keadaan sapi betina yangmengalami kegagalan untuk bunting setelahdikawinkan tiga kali atau lebih dengan pejantanfertil tanpa adanya abnormalitas yang teramati(Amiridis et al., 2009).

Kejadian kawin berulang melanda hampirdi seluruh dunia, yaitu berkisar antara 5,5-33,3% (Gustafsson dan Emanuelsson, 2002; Yusufet al., 2010). Tingginya kejadian kawin berulangmerupakan permasalahan dunia peternakanyang harus segera diatasi karena sangatmerugikan peternak.

Penyebab kawin berulang pada dasarnyadisebabkan karena kegagalan fertilisasi danakibat kematian embrio dini (Linares et al.,1980; Gustafsson, 1985). Kegagalan fertilisasidan kematian embrio dini pada umumnyadisebabkan karena faktor infeksi, gangguanhormonal, lingkungan, nutrisi, dan manajemen(Robert, 1986; Copelin et al.,1988). Faktorkesalahan manajemen (peternak) seperti jenislantai kandang (Britt et al.,1986) dankebersihan lingkungan kandang (Robert, 1986),rendahnya pemahaman siklus estrus dan estrus,tidak akuratnya deteksi estrus, ketepatanperkawinan, rendahnya nutrisi, dan lingkungan(Windig et al., 2005) dapat menyebabkankegagalan kebuntingan yang ditandai denganadanya gejala kawin berulang.

Kegagalan dalam mendeteksi estrusmerupakan salah satu faktor yang dapatmenyebabkan problem reproduksi danrendahnya angka kebuntingan pada kelompokternak sapi perah (Thatcher et al., 2006).

Kebersihan kandang dan sapi merupakansyarat yang harus dipenuhi agar terhindar darigangguan reproduksi terutama infeksireproduksi. Salah satu gangguan reproduksiyang ditandai dengan gejala kawin berulangadalah endometritis (Gilbert et al., 2005; Noakeset al., 2009). Pengetahuan peternak tentangsiklus estrus dan estrus merupakan salah satufaktor penting terhadap keberhasilanperkawinan. Peternak yang mengetahui tentangsiklus estrus dan estrus akan mengawinkan sapiperah mereka dalam waktu yang tepat.

Penyebab utama kawin berulang(infertilitas) pada tingkat peternak di Indonesiabelum diketahui dan diduga karena faktormanajemen. Sistem manajemen peternak sapiperah Indonesia pada umumnya masih bersifattradisional sehingga dalam mengelolanyamungkin masih kurang maksimal. Kajianfaktor manajemen tehadap kejadian kawinberulang pada tingkat peternak di Indonesiamasih terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukanpenelitian faktor penyebab terjadinya kawinberulang pada tingkat peternak secarakomprehensif. Tujuan penelitian ini adalahmengetahui prevalensi dan faktor risiko yangmemengaruhi kejadian kawin berulang padatingkat peternak sapi perah sehinggadiharapkan dapat meningkatkan efisiensireproduksi dan produktivitas sapi perah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan individu dankelompok peternak sapi perah di DaerahIstimewa Yogjakarta (DIY). Lama peternakbeternak minimal tiga tahun, mempunyai lebihdari satu ekor sapi perah, umur sapi 3–8 tahun,kondisi sapi sehat, sudah pernah beranakminimal satu kali, dan sudah dikawinkan lebihdari tiga kali namun belum bunting.

Rancangan penelitian yang digunakanadalah kajian lintas seksional untuk mengetahuiprevalensi, serta mengidentifikasi dan menyidikfaktor-faktor risiko tertentu yang berpengaruh

proportional, whereas the total numbers of farmer was determined using “sampel rambang” Data werecollected by interviewing farmers and direct observation at the farm. Data collected were farmer’s education,length of having farm, farm condition, distance from inseminator, farmer’s ability to detect estrus andestrus cycle, the farm and cow’s hygiene. Data were analyzed by descriptive statistics then followed by ChiSquare and Odds Ratio. The results showed that the prevalence of repeat breeder at the dairy farms was29.4%. Risk factors at the herd level were the most common i.e.: estrus detection once per-day (OR = 17.8);estrus detection twice per-day (OR = 7.9); unsightly sewer (OR = 10.0); soil floor of enclosure (OR = 2.6); andthe use of wells or rivers as source of water (OR = 2.0 and OR = 1.8, respectively.

Keywords: repeat breeder, dairy cows, prevalence, odds ratio

Prihatno et al Jurnal Veteriner

454

terhadap kejadian kawin berulang (repeatbreeding). Penelitian ini merupakan kajianobservasional. Besarnya sampel dihitung denganmenggunakan rumus n = 4PQ/L2 (Martin etal., 1987). Tingkat konfidensi 95% dan galatyang diinginkan 5% dengan menggunakanapparent prevalensi kawin berulang 20% (Barlettet al., 1986). Besaran sampel yang diperolehadalah n = 4 x 0,20x0,80 = 256 ekor. Untukmengoreksi agar tidak timbul bias yang besarmaka jumlah sapi perah tersebut dilipatkanlima. Dari hasil perhitungan sampling diperolehjumlah sampel sapi perah adalah 922 ekor, yangdimiliki 100 kelompok ternak dari 401 sampelpeternak. Pengambilan sampel dilakukandengan tahapan ganda dengan memberikanbobot kesebandingan populasi (probabiltyproportional to size) dengan kabupaten sebagaiunit sampling primer dan kelompok sebagai unitsekunder. Masing-masing kabupaten dankelompok populasi sapi perah diberi nilaiproporsi yang menunjukkan jumlah sampelternak yang akan diambil. Selanjutnyapemilihan peternak menggunakan sampelsistematik.

Data peternak yang diambil meliputi datajumlah sapi perah yang mengalami kawinberulang sebagai variabel dependen (Y),sedangkan variabel independen adalahpendidikan peternak, lama beternak, kondisikandang, jarak dengan inseminator,kemampuan melacak estrus, kemampuanmelacak siklus estrus, pengamatan estrus,kebersihan kandang, kebersihan sapi, danjumlah produksi susu. Pengumpulan variabelindependen dilakukan dengan pengamatanlangsung dan wawancara melalui kuisionerterhadap peternak dan inseminator. Seluruhdata yang diperoleh dikumpulkan dan diolahdengan program statistix analyticalsoftwere,version 7

Analisis deskriptif, Chisquare (X2 ) dan oddratio / OR digunakan pada penelitian ini. UjiChisquare (X2 ) dipakai untuk mengetahuiasosiasi antara faktor-faktor penyebab dengantingkat kejadian penyakit sedangkan ORdigunakan untuk menghitung kekuatanasosiasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawin BerulangHasil penelitian menunjukkan bahwa

faktor-faktor penyebab kejadian kawin berulangpada tingkat peternak di DIY disajikan padaTabel 1.

Hasil penelitian pada tingkat peternakmenunjukkan prevalensi kawin berulang atau

repeat breeding (rebreed) sebesar 29,4% sepertiyang disajikan pada Tabel 1. Hasil yangdiperoleh dalam penelitian ini ternyata lebihrendah dibandingkan kajian yang dilaporkanYusuf et al., (2012), bahwa kejadian kawinberulang di daerah tropis bisa mencapai 62%.Kejadian kawin berulang di Swedia 10%(Gustafsson dan Emanuelsson, 2002). Kejadiankawin berulang di Jepang sekitar 5-24%,bervariasi tergantung faktor wilayah,lingkungan dan manajemen (Yusuf et al., 2010).Faktor risiko yang berperan terhadap kawinberulang pada tingkat peternak pada penelitianini kemungkinannya adalah karena pengamatandeteksi estrus (detrus) yang rendah sekitar 2,5kali per hari, jarak antara estrus denganperkawinan yang terlalu cepat (jaiblapes)sekitar 4,6 jam, saluran pembuangan (salpem)buruk 59,6%, serta kebersihan lingkungankandang dan sapi (keblikan) buruk 65,1% (Tabel1). Manajemen yang kurang baik ini terjadisaling terkait di antara faktor. Misalnya,peternakan yang mempunyai saluranpembuangan limbah yang buruk cenderungkebersihan lingkungan kandang dan sapi kotor.Saluran pembuangan yang buruk dapatmenyebabkan terkumpulnya feses dan urinedalam kandang, lantai kandang menjadi licin,sapi yang berbaring menjadi kotor danmemungkinkan uterus terkena kontaminasibakteri lewat vulva, terutama pada saat atausesudah inseminasi. Hal ini sesuai denganpendapat Robert (1986), yang menyatakankebersihan kandang dan sapi merupakanprasyarat yang harus dipenuhi agar terhindardari gangguan reproduksi terutama infeksireproduksi. Terlalu cepatnya sapi estrusdikawinkan (rataan 4,6 jam) oleh inseminator,menandakan ketidaktahuan peternak atauinseminator terhadap waktu yang ideal untukperkawinan pada sapi. Kemungkinan lainkarena banyaknya sapi yang akan dilayaniinseminator sehingga mengabaikan waktuoptimum untuk melakukan IB. MenurutDransfield et al., ( 1998) kondisi ini yang harusdibenahi agar kejadian kawin berulang pada sapiperah dapat turunkan.

Pendidikan dan Pengalaman Peternak Peternak yang mengenyam pendidikan

(ppdk) Taman Kanak-kanak (TK) atau tidaksekolah sebanyak 12,0%, pendidikan SekolahDasar (SD) 32,7%, pendidikan SekolahMenengah Pertama (SMP) 23,9%, SekolahMenengah Atas (SMA) 14%, pendidikan Akademi13,7%, dan Perguruan Tinggi terdapat 3,5%.Peternak yang sudah mempunyai pengalaman

Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol. 14 No. 4: 452-461

455

beternak (pengaten) 1-5 tahun ada 21,4%, 6-10tahun sebanyak 29,5%, 11-15 tahun berjumlah21,7%, 16-20 tahun sebanyak 15,2% dan di atas20 tahun terdapat 12,2%. Hasil penelitianmenunjukkan tingkat pendidikan peternak diDIY begitu beragam, mulai yang terbanyakberpendidikan SD sebanyak 32% dan terkecilberpendidikan Sarjana sebanyak 3,5%.Pendidikan peternak yang terbanyak adalah SD,disusul SMP, SMA, dan sarjana muda, denganrataan pengalaman beternak selama 13 tahun.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwatingkat pendidikan dan pengalaman peternaktidak berbanding lurus dengan kejadian kawinberulang. Hal ini sesuai dengan pendapat Robert(1986) bahwa, pendidikan dan pengalamanpeternak tidak menjamin terhadap keberhasilanpengelolaan (manajemen) peternakan.

Pengetahuan Siklus Estrus dan EstrusJumlah peternak yang mengetahui siklus

estrus (pengse) mencapai 96,3% dan yang tidakmengetahui siklus estrus berkisar 3,7%.Peternak yang mengetahui tentang estrus(pengest) sebanyak 98,8% dan sisanya 1,2% tidakmengetahui tanda-tanda estrus. Hasil penelitianini menunjukkan bahwa peternak sapi perah diDIY secara umum sudah mengetahui tentangsiklus estrus dan gejala estrus pada sapi.Pentingnya pengetahuan siklus estrus danestrus pada sapi berpengaruh terhadapkeberhasilan manajemen reproduksi. Peternakyang mengetahui siklus estrus dan estrusdengan baik bisa memperkirakan estrusberikutnya, sehingga pengamatan estrus bisadilakukan lebih intensif dan waktu perkawinanlebih tepat. Hal ini sesuai dengan pendapat VanEerdenburg et al., (2002) yang melaporkan

Tabel 1. Data deskripsi faktor resiko kejadian kawin berulang pada sapi perah pada tingkat peternakdi Daerah Istimewa Yogyakarta

No

1

2

3

4

56

7

8

9

10

11

12

1314

Variabel

Kawin Berulang/Repeatbreeding (rebreed)Pendidikan terakhir (pddk)

Pengalaman beternak(pengabten)

Pengetahuan siklus estrus(pengse)Pengetahuan estrus (pengest)Pengamatan estrus/hari(detrus)

Pelaporan estrus (pelapes)

Jarak IB sejak lapor estrus(jaiblapes)

Jarak lokasi kandang denganinseminator (jalokdin)Jenis lantai kandang (jlk)

Kebersihan lingkungankandang (keblikan)Saluran pembuangan(salpem)Sumber air (sumair)Tempat pakan dan Minum(tpm)

Hasil

Normal= 70,6% (283/401) Repeat breeding= 29,4% (118/401)TK= 12,0% (48/401), SD= 32,7% (131/401) SMP= 23,9%(96/401), SMA= 14,0% (56/401), Akademi= 13,7% (55/401),PT= 3,5% (14/401)1-5 th= 21,4% (86/401), (6-10 th= 29,5% (108/401), 11-15=21,7% (87/401), 16-20= 15,2% (61/401), >20 th= 12,2%(49/401). Rataan = 12,89Tahu= 96,3% (386/401), Tidak tahu = 3,7% (15/401)

Tahu= 98,8% (396/401), Tidak tahu= 1,2% (5/401)Tidak diamati= 1,5% (6/401), 1x/hr= 2% (8/401), 2x/hr=48,9% (197/401), 3x/hr= 41,7 % (168/401), 4x/hr=4 % (16/401), 5x/hr= 1,5 % (6/401). Rataan =2,501-2 jam= 83,8% (336/401), 3-4 jam= 11,7% (37/401), 5-6jam= 4,4% (18/401). Rataan = 1,20 jam1-2 jam= 14,5% (58/401),3–4 jam= 36,6% (146/401), 5-6jam= 32,6% (130/401), > 7 jam= 15,3% (66/401)Rataan =4,67 jam1 km= 17,7% (71/401), 2-3 km= 40,9% (164/401), 4-5 km=40,6% (163/401), >5 km= 0,7% (3/401). Rataan =2,83Tanah= 46,1% (185/401), semen= 50,4% (202/401),karpet= 3,5% (14/401)Baik= 34,9% (140/401), Buruk= 65,1% (261/40)

Baik= 40,4% (162/401), Buruk= 59,6% (239/401)

Sumur= 13,0% (52/401), sungai= 31,9% (128/401), Tuk=55,1% (221/401).Ada= 92,75% (371/401), Tidak ada= 7,5% (30/401)

Prihatno et al Jurnal Veteriner

456

bahwa persyaratan utama dalam pengelolaanpeternakan sapi perah adalah pengetahuantentang siklus estrus dan estrus. Ketidaktahuanpeternak tentang siklus estrus dan estrus dapatmeningkatkan angka infertilitas dan kegagalankebuntingan yang ditandai dengan kawinberulang (Noakes et al., 2009).

Pengamatan Estrus per HariJumlah peternak yang melakukan

pengamatan terhadap adanya estrus (detrus)dalam sehari sebanyak lima kali ada 1,5%,pengamatan empat kali sehari 4,0%, tiga kalisehari 41,9%, dua kali sehari 49,1%, dan satkali sehari 2,0%, sedangkan jumlah peternakyang tidak pernah melakukan deteksi estrussebanyak 1,5%. Rataan pengamatan deteksiestrus yang dilakukan oleh peternak adalah 2,5kali sehari (Tabel 1). Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa rataan lamanya deteksiestrus tersebut sangat minim untukkeberhasilan deteksi estrus yang akurat, sebabjumlah pengamatan deteksi estrus yang idealadalah empat kali sehari. Pada tingkatpeternak, deteksi estrus oleh para peternakdiduga merupakan salah satu faktor penyebabrendahnya angka kebuntingan, hal ini sesuaidengan yang dikemukakan oleh Van Eerdenburget al., (2002), bahwa deteksi estrus yang jelekmemberikan kontribusi utama terhadaprendahnya fertilitas, sedangkan López-Gatius(2011) berpendapat, kesalahan dalammendeteksi estrus dapat menyebabkankegagalan program inseminasi buatan.Intensitas deteksi estrus yang rendah padaumumnya disebabkan peternak kurangmemiliki komitmen atau karena kesibukanpeternak, sehingga prioritas deteksi estrusterabaikan.

Pelaporan Estrus dan Jarak IBPascaestrus

Variabel lain yang diteliti adalah jarakwaktu antara penemuan dan pelaporan estrus(pelapes). Waktu yang diperlukan untukmelaporkan sapi yang estrus (pelapes) kepadainseminator adalah 1-2 jam sebanyak 83,8%, 3-4 jam 11,7%, 5-6 jam 4,4%, dan rataan waktupelaporan sapi yang estrus kepada insemintorsekitar 1,2 jam setelah timbulnya estrus.Kecepatan pelaporan sapi yang estrus padapenelitian ini sudah cukup baik yaitu sekitar1.2 jam. Kecepatan pelaporan tersebutdisebabkan karena hampir semua peternakmempunyai alat komunikasi seluler berupatelepon genggam dengan cara mengirim sortmassage servise atau telepon langsung. Jarak

inseminasi buatan (IB) dengan pelaporan estrus(jaiblapes) adalah 1-2 jam sebanyak 14,5%, 3-4jam 36,6 %, 5-6 jam 32,6 %, sedangkan jarakwaktu lebih dari 7 jam 15,3 %. Rataan jarakwaktu inseminasi buatan (IB) dengan pelaporanestrus adalah 4,6 jam.

Jarak Kandang dengan InseminatorJarak lokasi kandang dengan inseminator

(jalokdin) yaitu di atas 5 km sebanyak 0,7%,antara 4-5 km 40,6%, 2-3 km 40,9%, sedangkankurang dari 1 km 17,7%. Rataan jarak lokasikandang dengan inseminator adalah 2,8 km.Hasil penelitian di lapangan menunjukkan jarakwaktu antara pelaporan estrus denganpelaksanaan IB dilakukan terlalu cepat yaitusekitar 4,6 jam dan ini memungkinkan gagalnyafertilisasi yang ditandai dengan kawin berulang.Terlalu cepatnya jarak pelaporan estrus denganpelaksanaan IB pada penelitian ini mungkindisebabkan karena waktu pelaporan yang cepat(1,2 jam) dan jarak lokasi peternak denganinseminator yang dekat (2,8 km). Secara umumjarak lokasi kandang dengan inseminator tidakterlalu jauh apalagi ditunjang dengan alatkomunikasi, maka sangat wajar jika peternakdengan cepat bisa melaporkan sapinya yangsedang estrus kepada inseminator. Idealnyaperkawinan yang optimal dilakukan 8-12 jamsetelah timbul estrus (Dransfield et al., 1998),13-18 jam sebelum terjadi ovulasi (Nebel et al.,2000). Perkawinan yang dilakukan terlalu cepatatau terlambat dapat menurunkan angkakebuntingan. Perkawinan yang terlalu cepatdapat menyebabkan terlalu lamanyaspermatozoa menunggu sehingga spermatozoamenjadi tua dan kemampuannya rendah untukmembuahi (Noakes et al., 2009). Para penelitisepakat bahwa perkawinan yang dilakukan diatas 12 jam setelah timbulnya estrusmempunyai tingkat fertilitas lebih besar dengankualitas embrio yang rendah dibandingkandengan yang dikawinkan lebih awal (Saacke,2008). Schenk et al., (2009) dalam penelitianlapangan melaporkan bahwa tingkatkebuntingan pada sapi dara yang dikawinkanantara 18-24 jam, lebih tinggi dibandingkandengan yang dikawinkan antara 0-12 jamsetelah timbul estrus.

Jenis Lantai, Kebersihan Lingkungan, danSaluran Pembuangan Kandang

Jenis lantai kandang (JLK), jenis lantaikandang berupa tanah 46,1%, berupa lantaisemen 50,4% dan jenis lantai kandang yangdilapisi karet 3,5%. Masih cukup tingginya jenislantai kandang berupa tanah (46,1%) padapeternakan sapi perah di DIY menggambarkan

Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol. 14 No. 4: 452-461

457

masih rendahnya sistem manajemen sapi. Halini mungkin peternak belum mengerti artipenting lantai kandang, karena kondisi ekonomipeternak yang lemah, ketidakpedulian dalampemeliharaan sapi atau karena kesibukan yanglain. Kondisi ini merupakan ciri dari kondisipeternakan yang dikelola secara tradisional,sehingga wajar kalau kejadian kawin berulangpada tingkat peternak cukup tinggi (29,4%).

Kebersihan lingkungan kandang (keblikan)adalah baik 34,9% dan jelek 65,1%. Saluranpembuangan (salpem) dikelompokkan baik40,4% dan jelek 59,6%. Kualitas saluranpembuangan berbanding lurus dengankebersihan lingkungan kandang. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa kebersihanlingkungan kandang dan saluran pembuanganadalah buruk, yang menandakan buruknyamanajemen. Buruknya lingkungan kandangdan saluran pembuangan, karena peternakkurang menyadari atau tidak tahu akan artipentingnya kebersihan kandang dan sapi sertasaluran pembuangan dan dampak yang

ditimbulkannya terutama pada sistemreproduksi. Hal ini sesuai dengan pendapatNoakes et al., (2009) bahwa, lingkungankandang yang kotor, terutama pada saatinseminator merupakan predisposisi terjadipenyakit pada organ reproduksi (endometritis).

Sumber Air Minum, Tempat Pakan, danAir Minum

Peternak yang mengandalkan sumber air(sumair) mata air menunjukkan 55,1%, 31,9%memanfaatkan air sungai, dan 13,0%mempergunakan air sumur. Peternak yangmempunyai kelengkapan kandang sepertiadanya tempat pakan dan minum (TPM)menunjukkan 92,75% peternak dan yang tidakada 7,5% peternak. Pentingnya ketersediaan airminum juga diungkapkan oleh Looper danWaldner (2002) bawa fungsi air penting untukmemelihara cairan tubuh, menjagakeseimbangan ion, digesti, abrsorbsi,metabolisme nutrisi, mengeluarkan zat yangtidak diperlukan, mengurangi ekses panas,

Prihatno et al Jurnal Veteriner

Tabel. 2. Analisis Chi square (X2), P value dan Odds ratio kejadian kawin berulang tingkatpeternak dan faktor risiko

Variabel X2 p-value OR

Jenis Lantai Kandang (JLK)1. Lantai tanah 18,49 P=0,0000** 2,62. Lantai semen 20,07 P=0,0000** 0,43. Lantai karet 0,28 P=0,5992ns 1,3

Kebersihan Lingkungan kandang 30,94 P= 0,000** 4,61. Baik2. Buruk

Saluran Pembuangan 63,46 P=0,000** 10,01. Baik2. Buruk

Sumber Air1. Sumur 6,31 P=0,0120* 2,12. Sungai 7,10 P=0,0077** 1,83. Tuk 17,58 P=0,0000** 0,4

Pengetahuan Estrus 24,59 P=0,0000** 0,11. Tahu2. Tidak tahu

Deteksi estrus1. Satu kali/hari 13,26 P=0,0003** 17,82. Dua kali/hari 69,49 P=0,0000** 7,93. Tiga kali/hari 80,66 P=0,0000** 0,14. Empat kali/hari 2,30 P=0,1295ns 0,3

Keterangan : * nyata (P<0,05), ** sangat nyata (P<0,01), dan ns= tidak nyata

458

menjaga lingkungan cairan fetus, dan sebagaitranspor nutrien menuju atau dari jaringantubuh.

Perhitungan asosiasi dan kekuatan asosiasiantara kejadian kawin berulang dengan faktorrisiko disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis Chisquare (X2), menunjukkan bahwa variabel yangmempunyai asosiasi secara nyata (P < 0,05)terhadap kejadian kawin berulang pada tingkatpeternak adalah kandang lantai tanah (JLK1)dan lantai semen (JLK2), kebersihan lingkungankandang (keblikan), pengetahuan silkus estrus(pengse), pengetahuan estrus (pengest), deteksiestrus satu kali perhari (detrus-1), dua kaliperhari (detrus-2) dan tiga kali perhari (detrus-3), saluran pembuangan (salpem), dan sumberair dari sumur (sumair-1), sumber air darisungai (sumair-2) dan sumber ari dari mata air(tuk). Jenis lantai kandang tanah memilikiasosiasi yang sangat nyata dengan kawinberulang (P = 0,000) dengan OR = 2,6.Peternakan yang memiliki jenis lantai kandangtanah akan berpeluang mengalami kawinberulang 2,6 kali lebih besar dibandingkanbukan lantai tanah. Peternakan yang memilikijenis lantai kandang semen memiliki asosiasiyang sangat nyata dengan kawin berulang (P =0,000) dengan nilai OR = 0,4. Peternakan yangmemiliki jenis lantai kandang semen, angkaberpeluang mengalami kawin berulang 0,4 kalilebih kecil dibanding bukan lantai semen,sedangkan peternakan yang memiliki jenislantai kandang yang dilapisi karet tidakmemiliki asosiasi dengan kawin berulang (P =0,5992). Meningkatnya kejadian kawin berulangpada sapi perah yang dipelihara di kandanglantai tanah sebesar 2,6 kali disebabkankandang lantai tanah selain sulit dibersihkanjuga sulit menghilangkan sisa faeses dan urinyang sudah meresap dan tercampur dengantanah, lantai kandang menjadi becek dan kotor,dan timbulnya bau yang mengganggupernafasan. Keadaan ini memungkinkankontaminan (mikrob) masuk ke dalam uteruslewat vulva yang kotor, terutama pada sapi saatatau sesudah inseminator, menyebabkantimbulnya kejadian endometritis dan kawinberulang.

Peternakan yang memiliki kandang lantaisemen pada penelitian ini dapat mengurangikejadian kawin berulang. Berkurangnyakejadian kawin berulang pada sapi yangdipelihara di kandang lantai semen mungkindisebabkan karena, kandang lantai semenmudah dibersihkan dan cepat kering. Sisinegatif kandang lantai semen adalah mudahterkena kepincangan (lamenes) akibat lantai

kandang yang keras dan kasar, sehingga dapatmengurangi akurasi deteksi estrus,menyebabkan waktu perkawinan yang kurangtepat dan diakhiri dengan kegagalankebuntingan yang ditandai dengan kejadiankawin berulang. Hal ini sesuai dengan pendapatBritt et al., (1986) bahwa kondisi lantai kandangyang keras dan kasar selain menurunkanaktivitas saling menaiki juga menurunkan lamaestrus sampai 25%, sedangkan Salem et al.,(2006) menyatakan bahwa kondisi kandanglantai yang keras, tanpa alas jerami dan ruanggerak sapi yang sempit dapat menyebabkanmenurunnya deteksi estrus dan fertilitas.Kelebihan jenis lantai kandang yang dilapisikaret adalah kebersihan kandang dan kesehatanternaknya lebih terjamin, mencegah sapiterpeleset karena lantai licin, mengurangikejadian mastitis, mudah dilakukanpembersihan serta memberikan keempukan danrasa nyaman pada temak (Komarudin danWijono, 1990).

Peternakan yang memiliki kebersihanlingkungan kandang yang jelek dan kotorberasosiasi positif secara sangat nyata (P =0,000) dengan kejadian kawin berulang denganOR = 4,6. Kebersihan lingkungan kandang sapiyang jelek dan kotor berpotensi meningkatkankawin berulang 4,6 kali lebih besar dibandinglingkungan kandang yang baik dan bersih.Saluran pembuangan berasosiasi positif sangatnyata (P = 0,000) dengan OR = 10,0 terhadapkawin berulang. Sapi-sapi yang dipelihara padakandang dengan saluran pembuangan yangjelek berpotensi terkena kawin berulang 10 kalilebih besar dibanding dengan saluranpembuangan yang baik. Hasil penelitian inimenunjukkan buruknya kebersihan lingkungankandang dan saluran pembuangan. Buruknyalingkungan kandang dan saluran pembuanganmerupakan tempat yang subur bagiberkembangnya mikrob. Mikrob pada umumnyamasuk ke dalam uterus terutama pada waktusapi partus atau setelah partus. Keberadaanmikrob dalam uterus pada hari pertama postpartum sekitar 99%, dan kemudian menurunpada hari ke 10-14 post partum sekitar 90%,dan hari ke 40-60 sekitar 9% (Sheldon danDobson, 2004). Waktu yang diperlukan untukmengeluarkan bakteri kontaminan tergantungproses involusi uterus, regenerasi endometrium,dan efektivitas pertahanan tubuh (Sheldon etal., 2006). Keberadaan mikrob dalam uterussetelah partus tidak selalu menimbulkan infeksipada uterus (Foldi et al., 2006), namun juga bisamenimbulkan infeksi endometrium yang ringanatau endometritis subklinis (Noakes et al.,

Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol. 14 No. 4: 452-461

459

2009). Sapi yang terkena endometritis subklinispada umumnya mempunyai siklus estrusnormal namun jika dikawinkan sulit buntingdan cenderung mengalami kawin berulang.

Peternakan yang memiliki ketersediaansumber air dari sumur berasosiasi positif secaranyata (P = 0,01) terhadap kawin berulangdengan OR = 2,1. Ketersediaan sumber air darisumur berpotensi terkena kawin berulang 2,1kali lebih besar. Ketersediaan sumber air darisungai juga berasosiasi positif secara nyata (P= 0,007) terhadap kawin berulang dengan OR =1,8. Ketersediaan sumber air dari sungaiberpotensi terkena kawin berulang 1,8 kali lebihbesar. Ketersediaan sumber air dari mata air(tuk) berasosiasi negatif secara sangat nyata (P= 0,000) terhadap kawin berulang dengan OR =0,4. Ketersediaan sumber air dari mata air (tuk)berpotensi terkena kawin berulang 0,4 kali lebihkecil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwapeternak yang mengandalkan sumber air darisumur dan sungai secara faktual di lapangantidak selalu tersedia, umumnya air diberikanhanya pada saat setelah merumput. Lain halnyadengan air yang bersumber dari mata air, airselalu mengalir ke tempat minum sapi, sehinggaair selalu ada (ad libitum). Ketiadaan air ditempat minum atau sapi yang kekurangan airminum akan memengaruhi kondisi tubuh,sebab air merupakan nutrien yang palingpenting dan kekurangan air minum dapatmenyebabkan kematian yang lebih cepatdibandingkan kekurangan nutrien lain.Menurut Aminuddin (1998), kekurangan airakan mengganggu fungsi air yang merupakankomponen jaringan fisik atau mekanik, sebagaipengantar zat makanan, mengatur fungsiosmosis dalam sel, dan sebagai pereaksi(reagent).

Peternak yang mempunyai pengetahuansiklus estrus memiliki asosiasi secara nyata (P= 0,013) dengan OR = 0,04. Peternak yangmengetahui tentang siklus estrus sapi-sapipeliharaannya terkena kawin berulang 0,04 kalilebih kecil dibanding yang tidak mengetahui.Peternak yang mengetahui tentang estrusmemiliki asosiasi secara nyata (P = 0,000)dengan OR = 0,1. Peternak yang mengetahuitentang estrus sapi-sapinya terkena kawinberulang 0,1 kali lebih kecil dibanding yangtidak mengetahui. Pengetahuan peternakterhadap siklus estrus dan estrus merupakansyarat yang wajib diketahui. Ketidaktahuanpeternak tentang siklus estrus dan estrus selaindapat menyebabkan gagalnya pengamatanestrus juga berdampak pada pelaksanaan IByang kurang tepat, sehingga kemungkinan

kegagalan kebuntingan menjadi lebih tinggi.Perry et al., (2004), menyatakan bahwapengetahuan siklus estrus dan estrus itu pentingagar manajemen reproduksi dan kontrol siklusestrus menjadi lebih baik, sedangkan Roelofs etal., (2010) berpendapat bahwa sapi yang salahdideteksi estrusnya dan dilakukan inseminasibuatan, akan mengalami kegagalankebuntingan

Deteksi estrus yang dilakukan peternaksatu kali per hari berasosiasi positif sangat nyata(P = 0,000) dengan kawin berulang, dengan OR= 17,8. Deteksi estrus yang dilakukan peternaksatu kali per hari berpotensi terkena kawinberulang 17,8 kali lebih besar. Deteksi estrusyang dilakukan peternak dua kali per hariberasosiasi positif sangat nyata (P = 0,000)dengan kawin berulang dengan OR = 7,9. Deteksiestrus yang dilakukan peternak dua kali per hariberpotensi terkena kawin berulang 7,9 kali lebihbesar. Peternak yang melakukan deteksi estrustiga kali per hari akan berasosiasi negatif yangsangat nyata (P = 0,000) dengan OR = 0,06.Peternak yang melakukan deteksi estrus tigakali sehari kemungkinan terkena kawinberulang sebesar 0,06 lebih kecil. Idealnyapeternak mengamati estrus sebanyak empat kalisehari yaitu pagi, siang, sore, dan malam hari,dengan lama pengamatan sekitar 5-10 menit.Namun, kenyataaannya banyak peternak yangkurang peduli terhadap arti pentingpengamatan estrus, sehingga pengamatannyadilakukan saat melakukan pemerahan yaitu duakali sehari (48,9%). Pengamatan estrus yangtidak cermat dapat menyebabkan kegagalankebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapatHeersche and Nebel (1994), bahwa akurasi danefisiensi deteksi estrus merupakan kuncikeberhasilan manajemen untuk suksesnyainseminasi buatan. Yang dimaksud denganakurasi deteksi estrus adalah persentase sapiestrus yang teramati dan benar-benar estrus,sedangkan efisiensi deteksi estrus adalahpersentase sapi estrus yang teramati pada satuperiode estrus.

Tingginya temperatur di negara tropis,seperti halnya di DIY ini dapat menggangguefisiensi deteksi estrus. Temperatur tinggi dapatmenyebabkan stres, berdampak pada kelesuanfisik dan mengurangi efisiensi deteksi estruspada sapi (Peralta et al.,2005). Denganpengamatan estrus 3-4 kali sehari, seluruhkasus estrus dapat diamati dengan baik sehinggaIB dapat dilakukan tepat pada waktunya.Kesalahan dan rendahnya kemampuanmendeteksi estrus merupakan salah satupenyebab utama rendahnya angka kebuntingan

Prihatno et al Jurnal Veteriner

460

(Heuwieser et al., 1997: Pursley et al., 1998),dan Thatcher et al., (2006), melaporkan bahwadeteksi estrus yang dilakukan tiga atau empatkali sehari, akan meningkatkan angkafertilitas.

Dari uraian tersebut di atas menunjukkanbahwa kejadian kawin berulang sapi perah padatingkat peternak di DIY dipengaruhi oleh multifaktor yang saling memengaruhi. Faktor risikoyang berpengaruh terhadap kawin berulangadalah kandang lantai terbuat dari tanah,kebersihan lingkungan kandang, saluranpembuangan yang buruk, deteksi estrus satuatau dua kali per hari, sumber air dari sumurdan sungai. Faktor risiko yang memperkecilkejadian kawin berulang adalah kandang lantaiterbuat dari semen atau kandang lantai semenyang dilapisi karet, pengetahuan peternaktentang siklus estrus dan estrus yang baik.

SIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkanbahwa prevalensi kawin berulang pada sapiperah di DIY pada tingkat peternak sebesar29,4%. Faktor peternak yang berisiko terhadapprevalensi kawin berulang adalah kondisi lantaikandang terbuat dari tanah, kebersihanlingkungan kandang yang jelek, deteksi estrussatu atau dua kali perhari, saluran pembuanganyang jelek, dan ketersediaan air dari sumberair sumur dan sungai.

DAFTAR PUSTAKA

Amiridis GS, Tsiligianni TH, Dovolou E, RekkasC, Vouzaras D, Menegatos I. 2009.Combined administration of gonadotropin-releasing hormone, progesterone, andmeloxicam is an effective treatment for therepeat-breeder cow. Theriogenology 72:542–548.

Aminuddin P. 1999. Ilmu Nutrisi dan MakananTernak Ruminan. Jakarta. PenerbitUniversitas Indonesia. Hal : 354-362.

Barlett P C, Kirk JH, Mather EC. 1986.Repeated insemination in Michigan Holstein-Friesian cattle: Incidence, descriptiveepidemiology and estimated economicimpact. Theriogenology 26: 309 – 322

Britt JH, Schott RG, Armstrong JD, WhitacreMD. 1986. Determinants of estrous behaviorin lactating Holstein cows. J Dairy Science69: 2195-2202.

Copelin JP, Smith MF, Garverick HA,Youngguist RS, Vey Mc, Inskeep EK. 1988.Rensponsivenes of bobine korpus luteum toPGF 2á: Composition of corpora luteaanticipated to have short or normallifesspans. J Anim Sci 26, 1236–1246

Dransfield MGB, Nebel RL, Pearson RE,Warnick LD. 1998. Timing of inseminationfor dairy cows identified in estrus by aradiotelemetric estrus detection system. JDairy Sci 81: 1874–82.

Foldi J, Kulcsar M, Pecsi A, Huygheb B, de SaC, Lohuis JACM, Cox P, Huszenicza Gy.2006. Bacterial complications of postpartumuterine involution in cattle. Animal ReprodSci 96: 265–281.

Gilbert RO, Shin ST, Guard CL, Erb HN,Frajblat M. 2005. Prevalence of endometritisand its effect on reproductive performanceof dairy cows. Theriogenology 64: 1879–1888

Gustafsson H. 1985. Characteristics of embryosfrom repeat breeder and virgin heifers.Theriogenology 23: 487- 498

Gustafsson H, Emanuelsson U. 2002.Characterisation of the repeat breedingsyndrome in Swedish dairy cattle. J ActaVet Scand 43:115-125.

Heersche G, Nebel RL. 1994. Measuringefficiency and accuracy of detection of estrus.J Dairy Sci 77: 2754-2761.

Heuwieser W, Oltenacu PA, Lednor AJ, FooteRH. 1997. Evaluation of different protocolsfor prostaglandin synchronization to improvereproductive performance in dairy herdswith low estrus detection efficiency. J DairySci 80: 2766–2774.

Komarudin, Wijono DB, 1990. Penggunaankaret karpet sebagai alas lantai kandangsapi. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak SapiGrati. Vol 1, No 1 Hal: 21-23

Linares T, King WA, Larsson K, Gustavsson I,Bane A. 1980. Successful, repeated non-surgical collection of blastocysts from virginand repeat breeder heifers. Vet Res Comm4:113-118.

Looper ML, Waldner DN. 2002. Water for DairyCattle. The College of Agriculture andHome Economics, at www.cahe.nmsu.edu.Tanggal akses 16 Desember 2012

López-Gatius F. 2011. Factors of a noninfectiousnature affecting fertility after artificialinsemination in lactating dairy cows. Areview. Theriogenology 77: 1029-1041

Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987.Veterinary Epidemiology Principles andM ethods. Ioawa. Ioawa States UniversityPress. 23 – 40.

Jurnal Veteriner Desember 2013 Vol. 14 No. 4: 452-461

461

Nebel RL, Dransfield MG, Jobst SM, Bame JH.2000. Automated electronic systems forthe detection of oestrus and timing of AI incattle. Anim Reprod Sci 60–61,713–723.

Noakes DE, Parkinson TJ, England GCW. 2009.Veterinary Reproduction and Obstetrics,ninth ed. Edinburgh London Elsevier Sci :399–408.

Peralta OA, Pearson RE, Nebel RL. 2005.Comparison of three estrus detection stemsduring summer in a large commercial dairyherd. Anim Reprod Sci 87: 59-72.

Perry GA, Smith MF, Roberts AJ, MacNeil MD,Geary TW. 2004. Effect of ovulatoryfollicle size on pregnancy rates and fetalmortality in beef heifers. J Anim Sci82(Suppl. 2):101 Abstr. 99.

Pursley JR, Silcox RW, Wiltbank MC. 1998.Effect of time of artificial insemination onpregnancy rates, calving rates, pregnancyloss, and gender ratio after synchronizationof ovulation in lactating dairy cows. J DairySci 81: 39–44

Robert SJ. 1986. Infertility in the cows. InVeterinary Obstetric and Genital Disease(Theriogenology). 3rd edition Published bythe author, Woodstock, VT 05091 Ithaca.New York. 434 – 475.

Roelofs J, López-Gatius F, Hunter RHF, vanEerdenburg FJCM, Hanzen CH. 2010. Whenis a cow in estrus? Clinical and practicalaspects. Theriogenology. 74: 327– 44.

Rustamadji. B, Ahmadi, Kustono, Sutarno,T.2007. Kinerja usaha peternakan sapi perahrakyat sebagai tulang punggungpembangunan persusuan nasional.Paper.Disampaikan pada LokakaryaPersusuan Nasional. Yogyakarta. Dies 38Fapet UGM.

Saacke RG. 2008. Insemination factors relatedto timed AI in cattle. Theriogenology 70:479–484.

Salem MB, Djemali M, Kayouli C, Majdoub A.2006. A review of environmental andmanagement factors affecting thereproductive performance of Holstein-Friesian dairy herds in Tunisia. LivestockResearch for Rural Development 18 (4):h t t p : / / w w w . l r r d . o r g / l r r d 1 8 / 4 /sale18053.htm. Tanggal akses 20 Desember2012.

Schenk JL, Cran DG, Everett RW, Seidel GEJr. 2009. Pregnancy rates in heifers andcows with cryopreserved sexed sperm:Effects of sperm numbers per inseminate,sorting pressure and sperm storage beforesorting. Theriogenology. 71:717–28.

Sheldon IM, Dobson H. 2004. Postpartumuterine health in cattle. Anim Reprod Sci82/83: 295–306.

Sheldon IM, Lewis GS, Le Blanc JS, GiltbertRO. 2006. Defining post partum uterinedisease in cattle. Theriogenology 65: 1516–1530

Thatcher WW, Bilby TR, Bartolome JA,Silvestre F, Staples CR, Santos JEP. 2006.Strategies for improving fertility inthemodern dairy cow. Theriogenology 65:30–44

Van Eerdenburg FJCM, Karthaus MAD,Taverne M, Merics I, Szenci O. 2002. Therelationship between estrous behavioralscore and time of ovulation in dairy cattle.J Dairy Sci 85:1150–1156.

Windig JJ, Calus MP, Veerkamp RF. 2005.Influence of herd environment on health andfertility and their relationship with milkproduction. J Dairy Sci 88:335–47.

Yusuf M, Nakao T, Ranasinghe BMK, GautamG, Long ST, Yoshida C1, Koike K,HayashiA. 2010. Reproductive performance of repeatbreeders in dairy herds.Theriogenology. 73: 1220–1229

Yusuf M, Rahim L, Asja MA,Wahyudi A. 2012.The incidence of repeat breeding in dairycows under tropical condition. J MediaPeternakan April : 28-31

Prihatno et al Jurnal Veteriner