72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok...

56
71 BAB IV MOBILITAS SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN WISATA TAHURA IR. H. DJUANDA (1985-2007) Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian di Tahura Ir. H. Djuanda untuk memberikan gambaran umum mengenai masyarakat sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yaitu tentang “Kawasan Wisata Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda 1985-2007 (Suatu Kajian Tentang Mobilitas Sosial Masyarakat Sekitarnya)sesuai dengan fakta-fakta dari sumber tertulis berupa buku-buku, dokumen dan arsip-arsip yang relevan dengan kajian yang peneliti lakukan. Peneliti juga melakukan teknik wawancara terhadap para pelaku atau narasumber yang benar-benar mengetahui dan mengalami peristiwa yang peneliti kaji. Pembahasan pada bab ini dikembangkan menjadi tiga sub bab, yaitu pertama, Gambaran umum Tahura Ir. H. Djuanda, yang dapat dilihat dari kondisi geografi dan lingkungan fisik, kondisi demografi. Kedua, sejarah dan perkembangan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (1985-2007). Ketiga, dampak keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda terhadap mobilitas sosial masyarakat sekitarnya (1985-2007). A. Gambaran Umum Tahura Ir. H. Djuanda 1. Kondisi Geografi dan Lingkungan Fisik Taman Hutan Raya Ir. H. merupakan suatu kawasan hutan lindung yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung dan Kota

Transcript of 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok...

Page 1: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

71

BAB IV

MOBILITAS SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR

KAWASAN WISATA TAHURA IR. H. DJUANDA (1985-2007)

Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian di Tahura Ir. H.

Djuanda untuk memberikan gambaran umum mengenai masyarakat sekitar

kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yaitu tentang “Kawasan Wisata Taman Hutan

Raya Ir. H. Djuanda 1985-2007 (Suatu Kajian Tentang Mobilitas Sosial

Masyarakat Sekitarnya)” sesuai dengan fakta-fakta dari sumber tertulis berupa

buku-buku, dokumen dan arsip-arsip yang relevan dengan kajian yang peneliti

lakukan. Peneliti juga melakukan teknik wawancara terhadap para pelaku atau

narasumber yang benar-benar mengetahui dan mengalami peristiwa yang peneliti

kaji.

Pembahasan pada bab ini dikembangkan menjadi tiga sub bab, yaitu

pertama, Gambaran umum Tahura Ir. H. Djuanda, yang dapat dilihat dari

kondisi geografi dan lingkungan fisik, kondisi demografi. Kedua, sejarah dan

perkembangan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (1985-2007). Ketiga, dampak

keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda terhadap mobilitas sosial masyarakat

sekitarnya (1985-2007).

A. Gambaran Umum Tahura Ir. H. Djuanda

1. Kondisi Geografi dan Lingkungan Fisik

Taman Hutan Raya Ir. H. merupakan suatu kawasan hutan lindung yang

secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung dan Kota

Page 2: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

72

Bandung. Kota Bandung secara geografis berada antara 107o36’ BT dan 6o55’ LS

dengan batas-batas sebelah Utara, Selatan, Timur, dan Barat berbatasan dengan

Kabupaten Bandung. Berdasarkan Hasil Registrasi Penduduk 2002 di Badan Pusat

Statistik (BPS) Kota Bandung, wilayah Kota Bandung terbagi dalam 26

kecamatan, yaitu Kecamatan Andir, Arcamanik, Astanaanyar, Babakanciparay,

Bandung Kidul, Bandung Kulon, Bandung Wetan, Batununggal, Bojongloa Kaler,

Bojongloa Kidul, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul, Cibiru, Cicadas, Cicendo,

Cidadap, Coblong, Kiaracondong, Lengkong, Margacinta, Rancasari, Regol,

Sukajadi, Sukasari, Sumur Bandung, dan Ujungberung.

Kabupaten Bandung secara geografis berada antara 6°41`-7°19` LS;

107°22`-108°5` BT dengan batas-batas wilayahnya yaitu berbatasan dengan

Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sumedang di utara,

Kabupaten Garut di timur dan selatan, serta Kabupaten Cianjur di barat dan

selatan. Kabupaten Bandung terdiri atas 43 kecamatan , yaitu Kecamatan Arjasari,

Baleendah, Banjaran, Batujajar, Bojongsoang, Cicalengka, Cikalong Wetan,

Cikancung, Cileungkrang, Cileunyi, Cililin, Cimaung, Cimenyan, Ciparay,

Cipatat, Cipeundeuy, Cipongkor, Cisarua, Ciwidey, Dayeuhkolot, Gununghalu,

Ibun, Kertasari, Ketapang, Lembang, Majalaya, Margaasih, Margahayu, Nagreg,

Ngamprah, Pacet, Padalarang, Pameungpeuk, Pangalengan, Parongpong, Paseh,

Pasirjambu, Rancabali, Rancaekek, Rongga, Sindangkerta, Solokan Jaya, dan

Soreang.

Page 3: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

73

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Bandung

Sumber: BPS Kabupaten Bandung Luas areal kawasan hutan berdasarkan Hasil Rekonstruksi Tata Batas

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda pada tahun 2003 luasnya adalah 527,03 ha

termasuk DAS Citarum dan Sub DAS Cikapundung yang terdiri dari:

a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk

wilayah Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong Kota Bandung)

b. Blok Pakar seluas +/- 530,70 ha (secara administratif termasuk wilayah

Desa Ciburial, Kec amatan Cimenyan, Kabupaten Bandung).

c. Blok Maribaya seluas +/- 17,20 Ha (secara administratif termasuk

wilayah Desa Mekarsari, Langensari, Wangunharja, dan Cibodas,

Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung)

Pada umumnya kondisi lapangan Tahura Ir. H. Djuanda miring, dengan

kelerengan (slope) agak curam sampai dengan terjal, dengan ketinggian +/- 770 m

Page 4: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

74

dpl sampai dengan +/- 1350 m di atas permukaan laut. Adapun unsur tanah yang

terkandung di areal ini didominasi andosol dan sebagian kecil gramosol yang peka

terhadap erosi. Sedangkan, kondisi iklim menurut klasifikasi Schmidt Ferguson

termasuk Type B, kelembaban nisbi udara berkisar antara 70% (siang hari) dan

90% (malam dan pagi hari), suhu berkisar antara 2200C-2400C (di lembah) dan

berkisar 1800C-2200C (di puncak). Curah hujan rata-rata pertahun 2.500-

4.500mm/tahun.

Gambar 4.2 Peta Tahura Ir. H. Djuanda

Sumber: Balai Pengelola Tahura Ir. H. Djuanda. (2006). Peta Lampiran Rencana Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda Di Kecamatan Lembang, Kecamatan Cimenyan, dan Kecamatan Coblong Kabupaten Bandung dan Kota Bandung Provinsi Jawa Barat. Bandung: Balai Pengelola Tahura Ir. H. Djuanda.

Page 5: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

75

2. Kondisi Demografi

Tahura Ir. H. Djuanda berada pada lintas Kabupaten Bandung dan Kota

Bandung. Wilayah yang termasuk Kabupaten Bandung, yaitu pertama, Desa

Ciburial Kecamatan Cimenyan. Kedua, Desa Mekarsari, Langensari,

Wangunharja, dan Cibodas Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Adapun

yang termasuk Kota Bandung hanya Kelurahan Dago yang termasuk wilayah

administrastif Kecamatan Coblong.

Berdasarkan letak kawasan ini yang berbatasan langsung dengan Kota

Bandung dan sarana transportasi yang demikian lancar menyebabkan luas

pemukiman di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda menjadi bertambah. Pertambahan

luas pemukiman dikarenakan adanya pertambahan jumlah penduduk, baik

penduduk asli maupun penduduk pendatang. Wilayah ini juga merupakan salah

satu tempat yang memiliki pemandangan yang indah, sehingga banyak didirikan

resort, restoran, dan villa.

Jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2002 adalah sebanyak 1.868.542

jiwa. Pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 1997 sampai tahun 2002 adalah

1,65% (BPS Kota Bandung. Hasil Registrasi Penduduk Tahun 2002). Sedangkan

jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2002 mencapai 3,9 juta jiwa

yang terdiri dari 1.976.473 laki-laki dan 1.924.455 perempuan. Hal ini berarti

mengalami peningkatan sebesar 3,5% (BPS Kab. Bandung. Kabupaten Bandung

Dalam Angka Tahun 2002 ).

Pertumbuhan jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda dari tahun

1998 sampai 2006 yaitu rata-rata perkembangan 0,19 %. Pada tabel berikut ini

Page 6: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

76

akan diuraikan mengenai jumlah penduduk di sekitar Kawasan Tahura Ir. H.

Djuanda pada kurun waktu 1998-2006:

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Tahun 1998-2006

Tahun 1998 1999 2003 2004 2006

Ciburial 8.538 8.538 10.214 10.221 10.239

Cibodas 7.770 7.945 8.562 8.569 8.569

Langensari 8.907 7.726 8.472 8.457 8.458

Mekarwangi 3.973 4.975 4.625 4.641 4.653

Wangunharja 5.546 5.255 6.042 6.379 6.109

Dago 24.636 25.332 32.988 33.082 33.541

Jumlah 59.370 59.771 70.903 71.349 71.569

Sumber: Kecamatan Lembang. 1998-2006. Arsip Laporan Penduduk Kecamatan Lembang. Bandung: Kantor Kecamatan Lembang. Pemerintahan Desa Ciburial.1997-2007. Profil Desa Ciburial. Bandung: Kantor Desa Ciburial.

Data yang disajikan pada tabel di atas tidak berurutan berdasarkan tahun

kajian yaitu dari tahun 1985-2007 karena keterbatasan sumber. Adapun jumlah

penduduk yang bertempat tinggal di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yang

tercantum dalam tabel diatas merupakan jumlah secara keseluruhan penduduk

yang termasuk ke dalam orang-orang produktif (produktif dalam bekerja) dan

penduduk tidak produktif seperti anak-anak dan manula.

Berdasarkan data penduduk pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa

jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda mengalami peningkatan setiap

tahunnya. pada tahun 1998 jumlah penduduk adalah sebesar 59.370 jiwa,

Page 7: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

77

kemudian pada tahun 1999 mengalami peningkatan sebesar 0,18% yaitu mencapai

59.771 jiwa dan pada tahun 2006 meningkat sebesar 0,21% yaitu mencapai

71.569 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan karena adanya

pertambahan angka kelahiran dan bertambahnya jumlah pendatang yang menetap

di daerah sekitar Tahura Ir. H. Djuanda.

Upaya untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan akan terhambat

dengan meningkatnya jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Hal ini

dikarenakan kebutuhan untuk tempat tinggal akan bertambah. Dengan demikian,

diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk mendirikan rumah susun.

Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan

lapangan pekerjaan. Oleh karena itu sebagian masyarakat ada yang mencari

nafkah di kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda.

Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan

martabat manusia. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di

dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan demikian

pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan

pemerintah.

Keberhasilan pembangunan mensyaratkan kualitas sumber daya manusia

(SDM). Adapun kualitas SDM yang tinggi hanya dapat dicapai melalui

pendidikan. Peningkatan SDM lebih diutamakan oleh pemerintah. Melalui

pemberian kesempatan kepada semua lapisan masyarakat untuk mengecap

pendidikan.

Page 8: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

78

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah berusaha menyediakan sarana dan

prasarana pendukung pendidikan dengan memperbanyak pembangunan sekolah-

sekolah di daerah. Dengan demikian, pemerintah berharap kualitas SDM akan

meningkat sehingga peluang masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan akan lebih

besar. Berikut ini merupakan data sekolah tahun 1996-2006:

Tabel 4.2

Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid Semu a Jenjang Sekolah di Kecamatan Coblong, Cimenyan, dan Lembang

Tahun 1993-2006

Tahun Kecamatan Jumlah Sekolah Jumlah Murid SD SMP SMA SD SMP SMA

1993 1. Coblong 75 11 15 11.181 2.079 8.979 2. Cimenyan 51 2 - 9.105 616 - 3. Lembang 71 7 4 17.416 3.671 1.275

Jumlah 197 20 19 37.702 6.366 10.254 1998 1. Coblong 71 14 14 10.414 5.134 9.051

2. Cimenyan 50 2 1 8.010 1.104 63 3. Lembang 71 7 4 15.724 4.308 1.693

Jumlah 192 23 19 26.939 10.546 10.807 1999 1. Coblong 70 14 14 922 5.381 9.240

2. Cimenyan 50 4 1 8.443 1.106 52 3. Lembang 72 7 4 15.996 4.618 1.673

Jumlah 192 25 19 25.361 11.105 10.965 2000 1. Coblong 70 14 14 10.374 5.381 9.240

2. Cimenyan 51 4 1 8.935 486 53 3. Lembang 70 7 4 17.607 3.911 1.605

Jumlah 191 25 19 36.916 9.778 10.898 2006 1. Coblong 45 14 16 10.117 5.013 8.138

2. Cimenyan 49 7 1 9.598 1.480 65 3. Lembang 66 8 5 17.616 5.501 1.685

Jumlah 160 29 22 37.331 10.662 9.888

Ket: (-) tidak ada Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Bandung. Bandung Dalam Angka Tahun

1993-2006. Bandung: BPS Kab. Bandung. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. Bandung Dalam Angka Tahun 1993-2006. Bandung: BPS Kota Bandung

Page 9: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

79

Berdasarkan tabel di atas peneliti menggunakan data jumlah sekolah dan

siswa yang ada di Kecamatan Coblong, Cimenyan, dan Lembang karena data

khusus mengenai sekolah yang ada di setiap desa tidak dapat peneliti temukan.

Namun tabel di atas memperlihatkan terjadinya fluktuasi jumlah sekolah dan

murid pada kurun waktu 1993-2006. Hal ini disebabkan oleh beberapa

kemungkinan, yaitu pertama, terdapat beberapa sekolah baik SD, SMP, dan SMA

yang ditutup karena mengalami kekurangan jumlah siswa. Adapun faktor yang

menyebabkan hal tersebut terjadi diantaranya faktor ekonomi penduduk. Sebagian

besar penduduk di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda bermata pencaharian

sebagai petani yang terkategorikan penduduk miskin, sehingga mereka tidak

mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Selain

ekonomi, faktor jarak juga mempengaruhi berkurangnya jumlah sekolah dan

murid yang ada di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Sebagian besar sekolah berada di

kota Bandung atau di ibu kota kecamatan dengan jarak tempuh yang cukup jauh

disebabkan tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai dari rumah siswa

ke sekolah.

Kedua, adanya penggabungan sekolah karena beberapa sekolah terutama

yang berada di daerah-daerah kecamatan kekurangan jumlah siswa dan guru.

Tujuan dari penggabungan ini yaitu untuk mengefisienkan dan mengefektifkan

sekolah yang berkenaan dengan biaya.

Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa pembangunan sarana sekolah di

daerah tidak merata, khususnya untuk sekolah lanjutan, seperti SMP dan SMA.

Jumlah sekolah di Kecamatan Cimenyan pada tahun 1993 yaitu dua buah SMP

Page 10: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

80

dan tidak memiliki SMA. Sedangkan di Kecamatan Coblong dan Lembang sarana

sekolah untuk SMP dan SMA sudah lebih banyak dari Kecamatan Cimenyan.

Jumlah sekolah lanjutan di Kecamatan Lembang pada tahun 1993 yaitu tujuh buah

SMP dan empat SMA.

Sekolah Lanjutan sangat penting bagi masyarakat yang berada di daerah,

khususnya daerah terpencil. Namun sebagian masyarakat lebih memilih untuk

tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti yang terjadi di

Kecamatan Cimenyan, jumlah murid SMA pada tahun 1999 hanya 52 orang,

sedangkan di Kecamatan Lembang dan Coblong sudah melebihi angka seribu

orang.

Faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu pertama, pembangunan

sarana pendidikan, khususnya SMA di setiap daerah tidak merata, khususnya

untuk sekolah lanjutan seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah

Menengah Atas (SMA). Kedua, faktor kemiskinan mengakibatkan sebagian

masyarakat lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya daripada

melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA apalagi perguruan tinggi. Ketiga,

faktor jarak tempuh antara sekolah dengan tempat tinggal karena lokasi sekolah

lanjutan SMP dan SMA biasanya berada di kota kecamatan dan Kota Bandung.

Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan lapangan

pekerjaan sangat diperlukan dan meningkat setiap tahunnya. Pendidikan

merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan pekerjaan

yang baik, semakin tinggi tingkat pendidikan dan kemampuan seseorang, maka

semakin lebih baik pula pekerjaan yang didapatkan, begitu pula sebaliknya,

Page 11: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

81

dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka pekerjaan yang didapat sama

dengan tingkat pendidikannya.

Mata pencaharian atau pekerjaan penduduk sekitar kawasan Tahura Ir. H.

Djuanda, sebagian besar sebagai petani yaitu sebesar 8.336 jiwa. Sebagian lain

bekerja sebagai karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, buruh,

pertukangan, pensiunan, dan jasa (Kantor Kecamatan Lembang dan Kantor Desa

Ciburial, 2004. Profil Desa Ciburial, Cibodas, Langensari, Mekarwangi, dan

Wangunharja).

Alternatif untuk memperoleh penghasilan bagi sebagian masyarakat

sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai

banyak keahlian adalah bekerja di Kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Mereka

bekerja sebagai penyewa senter, tukang parkir, berjualan, pemandu wisata, tukang

ojeg, dan petugas kebersihan Tahura Ir. H. Djuanda. Mereka tidak memerlukan

status pendidikan yang tinggi, akan tetapi mereka hanya perlu keterampilan dan

keahlian tertentu sesuai dengan pekerjaan tersebut.

Stratifikasi sosial merupakan satu kondisi yang hampir selalu ada dalam

setiap masyarakat di seluruh dunia. Secara umum konsep tersebut

menggambarkan keadaan suatu masyarakat yang memiliki pembedaan kedudukan

secara hierarkis didalamnya. Pelapisan sosial tersebut ada yang tampak tegas

dengan berbagai norma yang mengaturnya, ada juga yang samar-samar, namun

dapat dirasakan oleh anggota masyarakatnya. Gambaran mengenai hal tersebut

juga terjadi pada masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda.

Page 12: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

82

Kehidupan masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda

memang tidak menggambarkan adanya pelapisan sosial yang tegas, seperti

layaknya masyarakat yang berkasta, namun bukan berarti tidak ada pelapisan

sosial di sana. Sebagai buktinya, mereka masih membedakan kalau seseorang itu

dapat dikatakan sebagai orang biasa dan orang terhormat. Kondisi tersebut

menggambarkan adanya gejala penempatan status seseorang ke dalam kedudukan

yang tinggi dan yang lebih rendah dari itu. Dengan kata lain, pelapisan sosial yang

terdapat pada kehidupan masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H.

Djuanda tampak samar. Meskipun demikian mereka dapat merasakan perbedaan

tersebut.

Adanya kedudukan yang tinggi dan yang lebih rendah dalam kehidupan

masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda membuat masyarakat

membedakan sikap dan perilakunya terhadap kedua kedudukan tersebut. Pada

umumnya, mereka yang menempati kedudukan tinggi senantiasa lebih dihormati

dan disegani oleh mereka yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah. Akan

tetapi, apabila individu yang memiliki banyak harta dan berpendidikan tinggi

tidak dapat memberikan teladan dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, maka

individu tersebut tidak akan terlalu dihormati oleh masyarakat sekitar. Aktualisasi

penghormatan bisa berupa perilaku, sikap, dan penggunaan bahasa yang lebih

sopan; menyapa lebih dulu kalau bertemu, senantiasa diundang dalam setiap acara

kemasyarakatan dan lain-lain.

Page 13: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

83

Meskipun pelapisan sosial pada masyarakat ini tampak samar, tetap saja

dapat ditelusuri dasarnya. Tolak ukur yang menjadi dasar dalam pelapisan tersebut

tentu saja status yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.

Stratifikasi sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda terbagi

menjadi tiga, yaitu jalma beunghar, jalma cukup, jalma miskin. Hal ini sama

seperti yang dipaparkan Ekadjati (1995) mengenai stratifikasi sosial dalam

masyarakat desa terbagi menjadi pertama, jalma beunghar, jalma jegud atau

jalma sugih merupakan kelompok pertama dalam masyarakat yang semakin lama

kekayaannya semakin banyak. Kedua, jalma cukup yaitu kelompok menengah,

dimana masyarakat yang tingkat kekayaannya tidak menonjol, kaya sekali tidak,

namun miskin pun tidak. Ketiga, jalma miskin, jalma masakat, jalma malarat atau

jalma leutik yaitu kelompok masyarakat yang semakin lama kekayaannya

berkurang bahkan tidak sedikit yang habis dan terbelit hutang.

Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan

anggota-anggota masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda ke dalam suatu lapisan,

yaitu:

a. Ukuran kekayaan, misalnya bentuk rumah, mobil pribadi, kepemilikan

tanah.

b. Ukuran kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang

mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan.

c. Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas

dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling

Page 14: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

84

disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Biasanya

mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

d. Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai

oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.

Samiati Alisjahbana (1995) dalam Ekadjati (1995: 185) juga memaparkan

bahwa kriteria bagi pelapisan sosial masyarakat desa di wilayah Priangan

didasarkan pada:

1) Pemilikan tanah yang berkaitan dengan pelaksanaan tanam paksa 2) Pemilik tanah luas, tanah sempit, dan penyewa tanah. 3) Pendidikan 4) Kedudukan dalam pemerintahan desa 5) Agama Hubungan sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda terjalin secara

harmonis. Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu masyarakat

yang homogen dengan hubungan sosial yang lebih bersifat intim dan awet (Hasil

Wawancara 6 Desember 2008). Seperti yang diungkapkan Pitirim A. Sorokin dan

Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P. E. Zop, 1970) mengemukakan

bahwa “… sebagian besar dari hubungan yang ada di kalangan masyarakat

pedesaan lebih bersifat permanen, kuat, dan awet …” (Raharjo, 1999: 44).

Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda juga sering melaksanakan

gotong royong. Kegiatan yang dilakukan antara lain aktivitas tolong menolong

antara tetangga yang tinggal berdekatan, aktivitas antara kaum kerabat (dan

kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan

pesta, aktivitas spontan tanpa pamrih dan permintaan untuk membantu secara

spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana,

Page 15: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

85

serta pengerahan tenaga bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk

umum, misalnya pembangunan masjid dan pembangunan kantor desa.

B. Perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda

Pemaparan mengenai perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda dibagi ke

dalam dua sub-bab pembahasan, pertama membahas kondisi perbukitan Dago

Pakar dimulai dari masa Prasejarah, Pendudukan Belanda, Pendudukan Jepang,

Perang Kemeredekaan RI (1945-1949), dan perkembangannya sampai pada tahun

1985. Kedua, membahas perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda dari tahun 1985-

2007.

1. Perkembangan Awal Tahura Ir. H. Djuanda

Bentang alam spesifik kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

merupakan sebagian daerah Cekungan Bandung yang sangat khas keberadaan

rupa buminya dibanding daerah lainnya. Cekungan Bandung ini terjadi karena

adanya gejolak alam dengan periode tertentu dalam era pembentukan alam

semesta ini.

Pada permulaan Periode Plestosen (satu juta tahun yang lalu) daerah

Priangan memiliki sebuah gunung yang sangat besar dengan dasar piramidanya

+/- 20 Km2 dan ketinggiannya variable antara 3.000 m dpl sampai dengan 5.000 m

dpl yang bernama Gunung Sunda. Gunung tersebut pada periode Helosen (sebelas

ribu tahun yang lalu) mengalami erupsi/meletus yang pertama kalinya sehingga

membentuk telaga besar Situ Hyang atau Danau Bandung serta muncul anak

gunung yang diberi nama oleh orang-orang daerah tersebut dengan nama Gunung

Tangkuban Perahu. Pada kurun waktu Periode Purba (4000 – 3000 tahun lalu)

Page 16: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

86

Situ Hyang atau Danau Purba mengalami penyusutan air melewati Aliran Sungai

Cikapundung dan Citarum dengan pintu alirannya terdapat di Sanghyang Tikoro.

Susutnya air di kaldera Situ Hyang menyebabkan terbentuknya Dataran Tinggi

Bandung yang membentang dari Cicalengka (di sebelah Timur) sampai dengan

Padalarang (di sebelah Barat) sejauh +/- 50 Km dan batas sebelah Utaranya Bukit

Dago sampai dengan Soreang (sebelah Selatan) sejauh +/- 30 Km.

Dataran Tinggi Bandung yang terbentuk secara geologi akibat adanya

endapan batuan gunung api yang sudah lapuk juga menyebabkan pendangkalan

danau purba sehingga menjadi kering. Dataran tinggi yang berada di sebelah utara

yaitu bukit Dago atau Dago Pakar ternyata menjadi salah satu pemukiman yang

memadai bagi manusia prasejarah. Soewarno (2004: 9) memaparkan bahwa:

...dari beberapa lokasi di kawasan pegunungan Bandung Utara, rupanya hanya di daerah Dago Pakar yang paling memadai, sebab pencapaiannya dari tepi danau topografi medannya landai, dan lagi dekat alur Sungai Cikapundung. Demikian pula tepi danau yang terdekat terletak di Jalan Dipenogoro sekarang, sedang muara Sungai Cikapundung ini tidak terlalu jauh letaknya. Analisis ini dilakukan berdasarkan interpretasi peta topografi dan endapan danau yang membentuk struktur yang disebut kipas aluvium. Melalui kedua lokasi inilah kemungkinan para nelayan prasejarah mencari ikan di danau dan juga menyebranginya untuk menjelajah alam mencari sumber daya lainnya. Hal ini didasarkan pada berbagai piranti kebutuhan hidup yang terbuat dari beberapa bentuk dan jenis batuan untuk pembuatan piranti prasejarah seperti kapak, pisau, mata anak panah, dan sebagainya. Tersebarnya batuan hasil kegiatan gunung api yang disebut batu pasir

tufaan (Batu pasir yang mudah diresapi bisa memelihara kelembaban lapisan

tanah, sedangkan tufa atau abu gunung api menjadi penyubur tanah) di bukit Dago

menyebabkan tanahnya sangat subur untuk pertanian dan bentangan pegunungan

dari barat sampai ke timur di kawasan ini merupakan “tangki air raksasa alamiah”

Page 17: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

87

untuk cadangan air di musim kemarau. Tataan alam yang penuh fasilitas alam

inilah yang menjadi daya tarik manusia prasejarah untuk memanfaatkan

kawasan ini untuk dijadikan sebagai tempat bermukim, bermasyarakat, serta

mengembangkan kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya. Kegiatan manusia

prasejarah masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, karena

keterbatasan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia

prasejarah hanya meninggalkan piranti sejarah berupa artefak. Berikut adalah

daftar artefak yang ditemukan di Bukit Dago, yaitu:

Tabel 4.3 Daftar Artefak di Bukit Dago KO 380

Jenis Artefak Keterangan

Obsidian Melimpah Batu Asah/Poles pecahan kapak batu terpoles Ada Bentuk Cetakan/Coran Logam Melimpah Serpihan/pecahan tembikar Melimpah Keramik setempat Ada Guci-guci Melimpah Manik-manik gelas dan kenergi Melimpah Siang besi Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-9 sampai 12 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-9 sampai 12 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-13 sampai 14 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-15 sampai 16 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-17 sampai 18 Ada

Sumber: Prof. Dr. R. P. Koesoemadinata dalam Suganda, 2007: 36

Perbukitan Pakar pernah menjadi tempat yang sangat menarik untuk

strategi militer, karena lokasinya yang terlindungi dan begitu dekat dengan pusat

Kota Bandung yang memiliki berbagai fasilitas militer. Daerah ini pernah

digunakan oleh kegiatan militer Belanda dan Jepang.

Pada masa pendudukan Belanda, kawasan Tahura Ir. H. Djuanda

merupakan kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari berdasarkan proses Verbal

Page 18: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

88

tanggal 27 September 1922 yang dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda

melalui Bosche Wezen. Pada awal tahun 1941 tentara militer Hindia Belanda

membangun jaringan gua di dalam perbukitan batu pasir Tufaan. Pada mulanya,

gua ini digunakan untuk terowongan PLTA Bengkok, kemudian pada suasana

Perang Dunia II berfungsi sebagai pusat Stasiun Radio Telekomunikasi Militer

Hindia Belanda. Pendirian stasion radio ini dikarenakan stasion radio di Gunung

Malabar tidak mungkin untuk dilindungi dan dipertahan dari serangan udara

karena tempatnya yang terbuka dari udara. Stasion radio dan telekomunikasi ini

belum terpakai secara optimal, tapi pernah digunakan Panglima Angkatan Perang

Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten melalui Laksamada Mayda Helfrich

untuk berhubungan dengan Panglima Armada Sekutu Laksamana Muda Karel

Doorman agar mencegah masuknya Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang

mengangkut pasukan mendarat di Pulau Jawa. Namun usaha ini gagal dan seluruh

pasukan pendarat berhasil mendarat dengan selamat di bawah komando Letnan

Jenderal Hitoshi Imamura.

Pada tanggal 10 Maret 1942 dengan resmi angkatan perang Hindia

Belanda menyerah tanpa syarat kepada Bala Tentara Jepang dengan upacara

sederhana di Balai Kota Bandung. Penyerahan tanpa syarat ini mengakibatkan

semua instalasi militer Hindia Belanda dikuasai seluruhnya oleh Jepang. Dengan

berkuasanya Jepang, maka tentara Jepang membangun jaringan gua tambahan

untuk kepentingan pertahanan di Pakar, tidak jauh dari Gua Belanda.

Pembangunan ini dilakukan oleh para tenaga kerja secara paksa yang pada saat itu

disebut “Romusha” atau “nala karya”. Selama pendudukan Jepang di Indonesia,

Page 19: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

89

daerah Pakar yang sekarang ini menjadi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

digunakan untuk kepentingan pertahanan militer Jepang dan tertutup bagi

masyarakat. Gua Jepang digunakan sebagai tempat radio komunikasi Tentara

Jepang dan sebagai tempat pertahanan, sedangkan Gua Belanda digunakan

sebagai gudang Mesiu.

Pada masa Kemerdekaan RI (1945-1949), Pakar dan daerah di sekitarnya

dijadikan lintasan para pejuang gerilya yang masuk ke kota Bandung dari arah

utara pada malam hari. Daerah ini menjadi sangat strategis sebagai jalur lintasan

pejuang gerilya karena daerah ini sepi dan masih penuh dengan semak belukar

serta patroli tentara Belanda dilakukan pada siang hari. Di sekitar daerah ini juga

sudah ada perkampungan penduduk yang juga dipenuhi oleh semak belukar.

Penduduk di perkampungan itu membantu para pejuang gerilya dengan menjadi

petunjuk jalan, informan, penyedia tempat untuk berkumpul, pemberi bekal

makanan dan tugas logistik lainnya.

Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 kawasan

Tahura Ir. H. Djuanda secara resmi menjadi kawasan hutan milik negara yang

dikelola oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Jawatan kehutanan. Pada

tahun 1960 Bapak Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir. Sambas Wirakusumah

(Adm. Bandung Utara) serta dukungan dari Bapak Ismail Saleh (Menkeh RI) dan

Bapak Soejarwo (Menhut RI) merintis untuk melaksanakan pembangunan agar

terjaga dari perambahan tanah kehutanan oleh mereka yang tidak bertanggung

jawab. Pada tahun 1963 bersamaan dengan meninggalnya Ir. H. Djuanda, hutan

lindung tersebut diabadikan namanya menjadi Kebun Raya Rekreasi Ir. H.

Page 20: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

90

Djuanda oleh Bapak Mashudi. Nama Ir. H. Djuanda diambil untuk menghargai

dan mengabadikan pahlawan nasional dari Tatar Sunda yang diharapkan

semangat nasionalismenya akan menjadi suri tauladan bagi generasi yang akan

datang. Pada tahun ini juga jalan Dago dinamakan jalan Ir. H. Djuanda.

Pembangunan Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda dilakukan dengan

mengadakan kerjasama dengan Botanical Garden Bogor, dengan penanaman

koleksi tanaman yang terdapat di Bogor serta penanaman jenis tumbuhan kayu

asing berasal dari luar negeri di lahan seluas 30 ha yang terletak di sekitar Plaza

dan Gua Jepang.

Pada 23 Agustus 1965 Bapak Mashudi meresmikan Kebun Raya Rekreasi

Ir. H. Djuanda menjadi Kebun Raya Hutan Rekreasi Ir. H. Djuanda sebagai

Embrio Tahura seluas +/- 30 ha dan dikelola oleh Jawatan Kehutanan Provinsi

Jawa Barat.

Pada tahun 1978-1985 terjadi pergantian pengelola. Dinas Kehutanan

(2007: 5) memaparkan bahwa:

Pada tahun 1978 dari Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat diserahkan ke Unit III Perum Perhutani Jawa Barat. Pada 6 Agustus 1980 dengan SK Mentan diserahkan dari Perum Perhutani ke Dirjen PHPA, Balai KSDA 1 Jabar bersama Curug Dago (SK. Mentan No. 575/kpts/UM/8/1980) seluas 590 ha. Dengan SK. MENHUT tanggal 12 November 1984 beralih dari Taman Wisata Arboretum Nasional dengan nama Tahura Ir. H. Djuanda. Berdasarkan Kepres No. 3/1985 tanggal 14 Januari 1985 ditetapkan sebagai Tahura Ir. H. Djuanda seluas 590 ha dan pengelolaanya diserahkan kepada Perum Perhutani yang dibina oleh Dirjen PHPA berdasarkan SK. Menhut No. 192/kpts-2/1985, tanggal 30 Juli 1985 sampai dengan tahun 2003. Tahura Ir. H. Djuanda diserahkan ke Pemprov Jabar cq. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK. Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003.

Page 21: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

91

2. Perkembangan Kawasan Wisata Tahura Ir. Djuanda (1985-2007)

Presiden Soeharto pada 14 Januari 1985 meresmikan TWA Curug Dago

sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Peresmian ini diharapkan berfungsi

sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman

jenis tumbuhan, satwa asli atau bukan asli. Keunikan dan keindahan panorama

alamnya dapat dimanfaatkan secara lestari untuk konservasi, koleksi, edukasi,

rekreasi serta secara tidak langsung dapat meningkatkan sosial ekonomi

masyarakat sekitarnya dan PAD Provinsi Jawa Barat. Undang-Undang Nomor 5

tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

memaparkan bahwa:

“Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai koleksi tumbuhan dan satwa, baik jenis asli maupun bukan asli untuk dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi” (Dinas Kehutanan, 2007: 02). Berkembangnya suatu daerah menjadi tempat wisata, sehingga menarik

wisatawan untuk berkunjung dapat dilihat dari aksesbilitas, hal-hal yang dapat

dilihat dan dinikmati, wisatawan dapat beraktivitas dan membeli makanan atau

cinderamata, serta tempat tinggal sementara. Maryani (1991: 11) juga

menambahkan bahwa berkembangnya suatu daerah untuk menjadi suatu daerah

wisata agar dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan dapat dilihat dari:

1. How to arrive 2. Something to see 3. Something to do 4. Something to buy 5. How to stay

Page 22: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

92

Berdasarkan pendapat di atas, maka pemaparan selanjutnya akan

dipaparkan mengenai objek daya tarik wisata, sarana dan prasarana, dan

pengelolaan kawasan wisata.

a. Objek Daya Tarik Wisata

Objek dan daya tarik wisata merupakan dasar bagi kepariwisataan. Objek

dan daya tarik wisata adalah suatu bentuk dasar aktivitas dan fasilitas yang saling

berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang

ke suatu daerah tertentu.

Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu kawasan yang bisa dijadikan

tempat untuk berwisata. Objek daya tarik wisata di Tahura Ir. H. Djuanda yaitu:

1) Plaza Monumen Ir. H. Djuanda, sesuai dengan salah satu tujuan dan

pembangunan Taman Hutan Raya ialah untuk menghormati

perjuangan Ir. H. Djuanda, maka di Tahura Ir. H. Djuanda terdapat

patung Ir. H. Djuanda yang terletak pada suatu pelataran/plaza yang

relatif Iebih tinggi dari tempat sekitarnya.

2) Kolam Pakar merupakan kolam buatan dengan luas 115 Ha berfungsi

sebagai tempat penarnpungan air dan Sungai untuk PLTA Bengkok.

3) Curug Dago merupakan sebuah pemandangan alam ekosistem hutan

dan perkampungan pada kiri kanan aliran sungai Cikapundung,

terdapat air terjun sungai Cikapundung setinggi ± 15 M. Tempat

istirahat yang sejuk dibawah pohon-pohon hutan. Terletak dekat

Page 23: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

93

terminal Dago berjarak ± 1 Km ke arah barat, hanya dapat dicapai

dengan jalan kaki.

4) Prasasti Thailand merupakan batu prasasti berbahasa dan beraksara

Thailand peninggalan Raja Thaland Chulalongkorn II (Rama V) untuk

monjelaskan kunjungan peziarahannya ke Bandung beserta rombongan

pada 1896 M.

5) Goa Belanda merupakan goa peninggalan Belanda yang memiliki nilai

historis. Dibangun pada awal tahun 1941, dahulu digunakan untuk

terowongan PLTA Bengkok, kemudian pada suasana perang

kemerdekaan berfunngsi sebagai pusat Stasiun Radio Telekomunikasi

Militer Hindia Belanda. OIeh Jepang digunakan sebagai gudang mesiu.

Dipakai sebagai penyelusuran goa, karena memiliki nilai historis dan

dapat dimasuki dengan aman.

6) Goa Jepang merupakan goa tambahan yang dibangun oleh tentara

Jepang pada tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah

sebelumnya Pemerintah Sipil Hindia Belanda menyerah tanpa syarat

kepada tentara Jepang. Pembangunan Goa ini dilakukan oleh tenaga

kerja pribumi secara paksa yang dikenal dengan “romusha”. Tempat

radio komunikasi Tentara Jepang tempo dulu. Saat ini dipakai sebagai

penyelusuran goa karena memiliki nilai historis dan dapat dimasuki

dengan aman.

7) Curug Omas merupakan fenomena air terjun Cikapundung setinggi ±

30 M. Berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Hawanya

Page 24: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

94

sejuk dan masih asri Lingkungannya. Aliran sungai Cikapundung

dapat digunakan untuk kegiatan olah raga menyusuri sungai.

8) Curug Lalay merupakan fenomena goa dengan bebatuan yang terjal

yang ditempati burung dan kelelawar. Ditengahnya mengalir Sungai

Cikapundung. Lokasi antara Pakar dan Maribaya.

9) Patahan Lembang merupakan fenomena alam yang dikenal dengan

(Lembang Fault) Seluruh kawasan Tahura Ir. H. Djuanda memiliki

satu jenis batuan, yaitu batuan vulkanik yang berkembang dari jaman

kwarter tua. Salah satu fenomena geomorphologi yang paling khas di

wilayah ini adalah Patahan Lembang (Lembang Fault). Letak patahan

ini berada di Maribaya yang Sekaligus merupakan batas bawah dari

Sub DAS Cikapundung Hulu. Fenomena Patahan Lembang ini apabila

diamati akan nampak berupa lineament, yaitu struktur geologi yang

membentuk garis lurus membujur arah Barat Laut-Tenggara. Secara

fisik di lapangan patahan ini berupa punggung bukit atau ngarai terjal

(escarpment) yang membujur Iurus, struktur geologi ini, mengontrol

aliran sungai, sehingga aliran sungai Sub DAS Cikapundung HuIu

berbelok dan mengalir mengikuti arah patahan.

10) Koleksi flora yang beraneka ragam, seperti Sosis (Kegelia aethiopica)

yang berasal dari Afrika, Jacaranda filicifolia yang berasal dari

Amerika Selatan Mahoni Uganda (Khaya anthotheca) berasal dari

Afrika, Pinus Meksiko (Pinus montecumae), Cengal Pasir (Hopea

odorata) dari Burma, Cedar Hodura (Cadrela mexicum M Roam) dari

Page 25: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

95

Amerika Tengah, Cemara Sumatera (Casuarina sumatrana), Bayur

Sulawesi (Pterospermum celebicum), Ampupu atau Kayu Putih

(Eucalyptus alba), Mangga (Mangifera indica) dari Jawa, Ki Bima

(Podocarpusblume).

11) Koleksi fauna yang bisa dinikmati yaitu Kera Ekor Panjang (Macaca

fascicularis), Burung Kacamata (Zoeterops palpebrosus), Perenjak

Jawa (Prinia flaviventris), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides),

Burung Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), Kepodang (Oriolus

chinensis), Kutilang (Plenonotus caferaurigaster), Ayam Hutan

(Galus-galus banriva), Musang (Paradoxurus hermaproditus),

Sero/Linsang Air (Amblonix Cinerea), Tupai (Collosciurus notatus),

capung dan kupu-kupu.

Pada tahun 1985 dibangun sebuah Plaza Monumen yang merupakan

sebuah plaza yang relatif lebih tinggi dari tempat sekitarnya, terdapat sebuah

patung Ir. H. Djuanda untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda. Selama

kurun waktu 1985-2007, pihak pengelola melakukan pemeliharaan objek wisata

yang sudah ada pada tahun-tahun sebelumnya, seperti Gua Jepang, Gua Belanda,

Koleksi Flora dan Fauna.

Pada tahun 2006 dilakukan penambahan atraksi wisata yaitu Rumah Flora

atau Rumah Aklimatisasi. Tujuan pembangunan Rumah Aklimatisasi ini yaitu

untuk mengadaptasikan spesimen hidup yang diambil dari lokasi eksplorasi

ditempat yang baru. Jenis tumbuhan yang terdapat di rumah tersebut berasal dan

eksplorasi tumbuhan dari daerah Bengkulu (Begonia isoptera, Eria sp., Gunnera

Page 26: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

96

macrophylla, Sellaginella sp., Dillenia sp. Amorphophallus sp., dll) dan dari

daerah Jambi (Bulbophyllum sp., Appendicula sp., Corimborkis sp., Polyalthia

sp., Garcinia spp. dll).

Renovasi Jogging-Track dengan memakai paving block juga dilakukan di

tahun 2006. Jogging-track ini merupakan jalan setapak menyusuri pinggiran

sungai yang berhutan menuju ke puncak Bukit Pakar, sejauh ± 5 km Pakar –

Maribaya. Jalan setapak ini juga bisa digunakan untuk tempat olah raga jogging di

pagi hari karena udaranya yang bersih dan dapat digunakan untuk melihat

panorama Tahura serta pemandangan Kota Bandung.

Berdasarkan pemaparan objek daya tarik wisata di atas, selama kurun

waktu 1985-2007 hal-hal yang bisa dilihat (something to see) di Tahura Ir. H.

Djuanda yaitu Curug Omas, Gua Jepang dan Gua Belanda, Curug Dago,

Monumen Ir. H. Djuanda, keindahan alam, serta berbagai jenis tumbuhan yang

berasal dari berbagai daerah yang tersusun dengan rapi. Adapun kegiatan wisata

alam yang dapat dilakukan (something to do) seperti, bersantai sambil menikmati

keindahan alam, lintas alam, penelusuran gua, memotret, dan wisata ilmiah

berupa identifikasi jenis pohon.

Selama kurun waktu 1985-2007 objek daya tarik wisata tidak terlalu

banyak. Padahal beberapa tahun terakhir ini, di wilayah Bandung khususnya

sudah mulai bermunculan objek wisata baru yang lebih menarik wisatawan untuk

berkunjung, misalnya out bond center. Tahura Ir. H. Djuanda yang merupakan

tempat yang sangat strategis digunakan untuk out bond lengkap dengan arung

jeram menyusuri sungai Cikapundung. Selain itu, masyarakat sekitar yang

Page 27: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

97

merupakan asli masyarakat sunda dapat dibina untuk menampilkan pagelaran

seni, seperti angklung, jaipongan, dan gamelan. Hal ini dapat dilakukan karena

Tahura Ir. H. Djuanda memiliki sebuah Open Stage.

b. Sarana dan Prasarana

Suatu objek wisata harus memiliki sarana dan prasarana wisata agar

kebutuhan wisatawan dapat terpenuhi. Kenyamanan dan kelengkapan sarana dan

prasarana akan mempengaruhi perkembangan suatu objek wisata.

Pihak pengelola Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda selama kurun waktu

1985-2007 telah membangun beberapa fasilitas sebagai upaya untuk

meningkatkan kunjungan wisatawan, berupa: pusat informasi, mushola, lokasi

parkir, jalan, warung makan, toilet, shelter, tempat bermain anak, lapangan tenis,

papan penunjuk arah, sarana olahraga pull up, jogging track. Selain itu, Pihak

pengelola bekerjasama dengan masyarakat sekitar membangun sebuah lapak

dagang, sehingga wisatawan dapat memenuhi kebutuhannya.

Peningkatan pengunjung pada tahun 1987, mengakibatkan pihak pengelola

menambah satu buah pos dengan membangun sebuah pos besar lengkap dengan

tempat parkir yang sangat luas, shelter-shelter atau gazebo, serta sebuah areal

taman bermain yang merupakan tempat bermain anak-anak di bawah pohon

rindang yang sejuk lengkap dengan ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan lain-

lain (Hasil Wawancara 16 Oktober 2008).

Pada tahun 2006, pengelola membangun sebuah mushola di dekat Curug

Omas dan melakukan perbaikan jalan dengan mengaspal jalan utama menuju ke

Page 28: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

98

Tahura Ir. H. Djuanda. Pada tahun 2007 dibangun Open Stage (panggung terbuka)

yang berupa panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat atau

pengunjung dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi yang mampu

menampung berkisar kurang lebih 200 orang.

Hasil penelitian menunjukkan penyediaan sarana dan prasarana di

kawasan wisata Tahura sudah bisa menyediakan kebutuhan wisatawan, seperti

adanya mushola, toilet, open stage, shelter, dan taman bermain. Seiring dengan

perkembangan teknologi, seharusnya penyediaan sarana dan prasarana harus lebih

ditingkatkan dan disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku serta tidak

merusak lingkungan. Peningkatan ini bertujuan agar Tahura Ir. H. Djuanda bisa

bersaing dengan kawasan wisata lain. Dengan demikian wisatawan akan lebih

tertarik untuk berkunjung ke Tahura Ir. H. Djuanda.

c. Aksesbilitas

Kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda terletak ± 7 km di sebelah utara

Kota Bandung dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi dan

angkutan umum. Pada tahun 1985 angkutan umum hanya sampai terminal Dago,

dari terminal Dago, bagi pengunjung yang menggunakan angkutan umum harus

berjalan kaki. Seiring dengan program pemerintah, maka pada perkembangannya

untuk mencapai Tahura Ir. H. Djuanda bisa ditempuh dengan menggunakan

Angkot jurusan Ciburial-Ciroyom, Caringin-Dago, dan ojeg.

Page 29: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

99

Kawasan ini dapat dimasuki dari berbagai jurusan yaitu:

1) Melalui Terminal Dago Bandung berkisar 2 Km dengan kondisi jalan

telah dihotmix, dapat ditempuh memakai kendaraan roda dua, roda

empat, dan bis.

2) Melalui jalan Ciumbuleuit-Punclut berkisar 6 Km. Pada tahun 1985-

2004 kondisi jalan kampung masih tanah, dapat ditempuh dengan

kendaraan roda dua trail, akan tetapi setelah tahun 2005 kondisi jalan

sudah membaik dan bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat.

3) Melalui Lembang-Maribaya berkisar 4 Km dengan kondisi jalan telah

dihotmix dapat ditempuh memakai kendaraan roda dua, roda empat

dan bis.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa kemudahan akses menuju

kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda menjadi salah satu faktor

berkembangannya kawasan ini. Aksesbilitas penting diperhatikan, karena dapat

memberikan pengaruh yang besar bagi wisatawan. Jaringan transportasi, kondisi

jalan, jenis angkutan, waktu tempuh, dan tarif angkutan merupakan beberapa hal

yang dapat mempengaruhi aksesbilitas. Suatu objek wisata yang memiliki akses

yang baik, maka jumlah wisawatawan yang berkunjung akan semakin banyak.

Sebaliknya, jika aksesnya kurang baik, berbagai hambatan dalam kunjungan dapat

dirasakan oleh wisatawam, sehingga berdampak pada berkurangnya jumlah

pengunjung.

Page 30: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

100

d. Pengelolaan

Perencanaan dan pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda bertujuan untuk

meningkatkan kemakmuran secara serasi dan seimbang, serta optimalisasi potensi

yang ada. Peran pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan ini sangat

menentukan keberhasilannya, secara garis besar penyediaan infra struktur dan

memperluas jaringan kerja aparatur pemerintah dengan pihak swasta, pengaturan

dan promosi umum ke dalam negeri dan luar negeri, serta dalam hal pengaturan

kebijakan dan pengambilan keputusan.

Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda pada tahun 1985 sampai 2003 dikelola

oleh Perum Perhutani dibina oleh Dirjen PHPA berdasarkan Kepres No. 3/1985

tanggal 14 Januari 1985 dan SK. Menhut No. 192/kpts-2/1985, tanggal 30 Juli

1985. Perum Perhutani merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang melaksanakan kegiatan perencanaan, pembinaan dan

pengembangan sumber daya hutan, produksi, industri, pemasaran dan lebih

meningkatkan kegiatan sosial berupa pemberdayaan sumber daya masyarakat,

khususnya masyarakat desa hutan melalui kelembagaan.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda selama

kurun waktu 1985-2002 lebih melibatkan masyarakat sekitar. Masyarakat diajak

berdiskusi untuk menyelesaikan masalah Tahura Ir. H. Djuanda, seperti

peningkatan pengunjung, kebersihan dan keamanan hutan, dan pembangunan

sarana dan prasarana.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah pengunjung,

yaitu mengadakan promosi melalui pamflet, brosur, leaflet, dan siaran TV. Pada

Page 31: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

101

tanggal 14 Januari 1985 bertepatan dengan peresmian Tahura Ir. H. Djuanda oleh

Presiden Soeharto, Stasiun TVRI menyiarkan siaran langsung dan tunda

peresmian tersebut. Promosi ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah

pengunjung (Hasil Wawancara 8 November 2008).

Pihak pengelola juga mengadakan kerjasama dengan Dinas Pariwisata

Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Provinsi Jawa Barat. Bentuk

kerjasamanya berupa promosi melalui berbagai kegiatan promosi. Selama kurun

waktu 1985-2007 belum ada kerjasama dalam hal penyediaan sarana dan

prasarana.

Pada tahun 2000, kawasan ini pernah diusulkan menjadi Budaya Lembur

Sunda, namun usulan ini ditentang karena fungsinya harus tetap dijaga sebagai

kawasan hutan lindung, seperti yang diungkapkan oleh Suganda (2007: 35) yaitu

Kawasan seluas 60 hektar itu diharapkan menjadi model pemberdayaan dan pembangunan lingkungan masyarakat yang mengacu pada tradisi masyarakat Sunda. Namun rencana tersebut ditentang karena fungsinya harus tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung. Pada tahun 2003 berdasarkan SK. Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24

Maret 2003, pengelolaan diserahkan kepada Dinas Kehutanan melalui UPTD

Tahura Ir. H. Djuanda. Dinas Kehutanan lebih mengutamakan kawasan tahura

sebagai kawasan konservasi alam yang harus dijaga kelestariannya, karena Tahura

Ir. H. Djuanda merupakan suatu hutan lindung yang berfungsi sebagai paru-paru

Kota Bandung (wawancara 27 Agustus 2008). Adapun tujuan pengelolaan

kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yaitu:

1. Terjaminnya kelestarian kawasan hutan dan ekosistemnya 2. Terbinanya koleksi tumbuhan dan satwa serta potensi sumber daya

alam kawasan Taman Hutan Raya.

Page 32: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

102

3. Optimalnya manfaat Taman Hutan Raya untuk wisata alam, penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, adat istiadat/budaya bagi kesejahteraan masyarakat.

4. Terbentuknya Taman Hutan Raya Provinsi yang menjadi kebanggaan provinsi Jawa Barat. (Dinas Kehutanan, 2007: 11)

Perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda selama kurun waktu 1985-2007

mengalami pasang surut. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah

pengunjung selama kurun waktu 1985-2007 juga mengalami kenaikan dan

penurunan. Berikut ini merupakan perkembangan jumlah pengunjung tahun 2003-

2007:

Tabel 4.4 Perkembangan Jumlah Pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda

Tahun 2003-2007

Sumber: UPTD Tahura Ir. H. Djuanda. 2007. Laporan Jumlah Wisatawan Tahura Ir. H. Djuanda. Bandung: UPTD Tahura Ir. H. Djuanda.

Data yang disajikan pada tabel di atas tidak berurutan berdasarkan tahun

kajian yaitu dari tahun 1985-2007 karena keterbatasan sumber. Adapun jumlah

pengunjung dari tahun 2003-2007 mengalami kenaikan dan penurunan. Pada

tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 0,26% dan pada tahun 2005 mengalami

penurunan sebesar 0,96%. Pada tahun 2006 dan 2007 jumlah pengunjung mulai

mengalami kenaikan kembali. Kenaikan pada tahun 2007 sebesar 0,28%.

Page 33: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

103

Kenaikan jumlah wisatawan biasanya terjadi bulan Juni, Juli, Oktober, dan

November. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut merupakan musim liburan

sekolah, sehingga masyarakat pada umumnya berrekreasi untuk mengisi liburan

sekolah. Lain halnya pada bulan- bulan lain yang merupakan bulan sibuk untuk

sekolah dan bekerja, sehingga waktu untuk berrekreasi pun sedikit.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan jumlah pengunjung,

apabila dilakukan perbandingan antara kurun waktu setelah diresmikan pada tahun

1985 dengan tahun 2007. Pada tahun 2007 memang mengalami kenaikan jumlah

pengunjung, namun jumlah pengunjung pada tahun ini merupakan jumlah yang

sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pengunjung pada awal-awal peresmian

Tahura Ir. H. Djuanda. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Asep dan

beberapa pedagang di Tahura Ir. H. Djuanda. Pak Asep memaparkan bahwa:

Jumlah pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda setelah diresmikan oleh Presiden Soeharto mengalami peningkatan. Antrian pengunjung sampai ke terminal dago. Karena pengunjung yang sangat banyak, maka banyak dari pengunjung yang memarkirkan kendaraannya di wilayah Tegalega sekarang (Hasil Wawancara 16 Oktober 2008). Pak Irawan juga menjelaskan bahwa:

Lima tahun terakhir ini pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda mengalami penurunan pengunjung, apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah bosan dengan objek daya tarik wisata yang ada, seperi gua, kolam, air terjun, dan koleksi flora dan fauna (Hasil Wawancara 10 Juni 2008). Faktor penyebab penurunan ini diakibatkan oleh beberapa faktor, antara

lain, pertama kurang adanya penambahan objek daya tarik wisata. Objek daya

tarik wisata ini menjadi hal yang sangat penting, karena minat wisatawan

dipengaruhi oleh daya tarik wisata.

Page 34: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

104

Seiring dengan bermunculannya objek wisata lain di berbagai daerah

khususnya di Bandung, seharusnya Tahura Ir. H. Djuanda lebih ditingkatkan lagi

dalam hal sarana dan prasarana wisata alam di Tahura Ir. H. Djuanda,

peningkatan peran Komisi Kerjasama Pemanfaatan Obyek Wisata Alam Daerah,

intensifikasi pemungutan retribusi karcis masuk Tahura, pengembangan daya tarik

wisata alam Tahura, pengendalian penerimaan kehutanan dari wisata alam,

pembinaan dan pengembangan usaha wisata alam, pembinaan dan pengelolaan

pengunjung wisata. Tujuan peningkatan ini agar tidak terjadi penurunan minat

wisatawan untuk berkunjung. Dalam hal ini M. J. Prajogo menyatakan bahwa:

“Pengembangan pariwisata merupakan usaha yang terus menerus. Pengembangan itu harus mampu memberikan daya saing terhadap daerah tujuan wisata lain, baik dari segi pelayanan, atraksi, maupun objek wisata, dan lain sebagainya sehingga dapat menyesuaikan dengan selera wisatawan” (Spillane, 1987: 130). Kedua, perbedaan tujuan pengelolaan. Pada kurun waktu 1985-2003 pihak

pengelola yaitu Perum Perhutani berusaha keras untuk melakukan peningkatan

jumlah pengunjung. Hal ini dilakukan karena biaya perawatan dan gaji pegawai

berasal dari hasil tiket masuk pengunjung. Selain itu Perum Perhutani merupakan

perusahaan umum yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya alam hutan.

Berbeda halnya pada kurun waktu 2003-2007 yang dikelola oleh Dinas

Kehutanan. Dinas Kehutanan lebih memfokuskan pada usaha untuk melindungi

kawasan Tahura Ir. H. Djuanda sebagai konservasi yang harus dilindungi. Hal ini

menyebabkan terjadinya pembatasan jumlah pengunjung.

Page 35: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

105

Perkembangan kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda juga dilihat dari

berbagai usaha yang dilakukan oleh pengelola. Dalam hal ini Spillane (1987:

129-130) berpendapat bahwa:

“Kemajuan pengembangan pariwisata sebagai industri, ditunjang oleh bermacam-macam usaha yang perlu dikelola secara terpadu dan baik, diantaranya ialah: (1) promosi untuk memperkenalkan objek wisata; (2) transportasi yang lancar; (3) kemudahan keimigrasian atau birokrasi; (4) akomodasi yang terjamin penginapan yang nyaman; (5) pemandu wisata yang cakap; (6) penawaran barang dan jasa dengan mutu terjamin dan harga yang wajar; (7) pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik; (8) kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup”. Berdasarkan pendapat di atas, usaha yang belum dilakukan selama kurun

waktu 1985-2007 antara lain penyediaan penginapan, pengisian waktu dengan

atraksi-atraksi yang menarik. Adanya dua unsur dalam mata rantai kegiatan

pariwisata yang belum digarap secara sempurna mengakibatkan Tahura Ir. H.

Djuanda dapat kalah bersaing dengan objek wisata lain. Keseluruhan delapan

unsur di atas menjadi pertimbangan bagi wisatawan untuk berkunjung. Hal ini

berarti, jika salah satu dari mata rantai itu lemah, maka mengakibatkan kegagalan

dalam upaya pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda.

Ndaru Mursito dalam Spillane (1987: 130) menekankan bahwa:

“…menelantarkan pembenahan bagian tertentu akan dapat menghambat perkembangan industri pariwisata pada umumnya. Jadi terjaminnya peningkatan pariwisata mutlak membutuhkan mantapnya koordinasi dan kerja sama yang saling bahu-membahu diantara pelbagai pihak yang menunjang pariwisata”. Kerjasama merupakan kunci keberhasilan perkembangan Tahura Ir. H.

Djuanda selama kurun waktu 1985-2007. Kerja sama tersebut dilakukan dalam

berbagai cara, misalnya kerja sama dalam pembinaan produk wisata, pemasaran,

dan kerja sama dalam usaha-usaha pembinaan masyarakat.

Page 36: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

106

C. Dampak Keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda Terhadap Mobilitas

Sosial Masyarakat Sekitar (1985-2007)

Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu kawasan konservasi hutan yang

dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, budaya, dan

pariwisata. Peningkatan jumlah pengunjung setelah tahun 1985 mengakibatkan

masyarakat tertarik untuk bekerja di sekitar kawasan ini.

Pada awal tahun 1985 masyarakat sekitar hanya diperbolehkan untuk

berjualan di luar kawasan Tahura. Namun pada pertengahan tahun 1985, pihak

pengelola mulai melakukan relokasi pedagang di dalam kawasan Tahura. Pada

pertengahan tahun ini juga masyarakat sekitar mulai bekerja dalam bidang yang

beragam di Tahura Ir. H. Djuanda. Pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat

sekitar, seperti pedagang, pemandu, tukang ojeg, tukang senter, dan pengelola

Tahura Ir. H. Djuanda sebagai penjaga keamanan serta penjaga kebersihan

(Wawancara 27 Agustus 2008).

Masyarakat bekerja sebagai apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Alasan mereka tetap bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda selama 22 tahun

yaitu, pertama, pendidikan dan keahlian yang rendah. Kedua, jarak yang dekat

dengan tempat tinggal mereka, sehingga tidak memerlukan biaya transportasi.

Ketiga, sulit mencari tempat untuk berjualan, sehingga mereka tetap bertahan

berjualan di Tahura Ir. H. Djuanda.

Sebelum mengkaji tentang mobilitas sosial, dibawah ini akan dipaparkan

dampak Tahura Ir. H. Djuanda terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat

Page 37: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

107

sekitar. Adapun pemaparannya terdiri dari etos kerja, hubungan sosial, stratifikasi

sosial, kesejahteraan sosial, dan pendidikan.

1. Etos kerja

Selama kurun waktu 1985-2007 etos kerja masyarakat sekitar yang bekerja

mengalami turun naik. Arep dan Tanjung (2003: 156) menjelaskan bahwa “etos

kerja (Ing: ethos) adalah jiwa atau watak seseorang dalam melaksanakan tugasnya

yang dipancarkan ke luar, sehingga memancarkan citra positif atau negatif kepada

orang luar orang bersangkutan.”

Pada awal tahun 1985 masyarakat sekitar Tahura Ir. Djuanda mulai

merintis usaha untuk berjualan. Semangat untuk memperbaiki kehidupan menjadi

lebih baik merupakan motivasi utama mereka bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda.

Ada juga dari masyarakat yang memberanikan diri untuk berjualan asongan di

dalam kawasan Tahura. Mereka sembunyi-sembunyi dari pihak pengelola karena

diawal tahun 1985 pedagang dilarang masuk ke kawasan ini.

Berly memaparkan bahwa:

Saya mulai mencari uang di Tahura ini sejak diresmikannya tempat ini oleh Presiden Soeharto. Ketika itu saya masih SD dan menjadi pedagang asongan. Saya bersama pedagang lain sering berjualan di dalam kawasan Tahura. Kita sering ucing sumput dengan pengelola. Hal ini kita lakukan agar kami bisa mendapatkan penghasilan.(Hasil Wawancara 22 Desember 2008) Kebijakan pengelola dipertengahan tahun 1985 untuk merelokasi

pedagang ke dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda memberikan semangat yang

luar biasa kepada masyarakat sekitar. Kerjasama pengelola dengan masyarakat

menghasilkan suatu lapak-lapak dagang tempat mereka mencari nafkah.

Page 38: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

108

Masyarakat sekitar mulai memanfaatkan kebijakan pengelola ini. Mereka

mulai mendirikan warung-warung dengan bahan dasar kayu dan bahan-bahan lain

yang ramah lingkungan. Setiap hari mereka giat bekerja dari jam 8 pagi sampai

jam 4 sore. Khusus hari libur mereka bekerja lebih awal dan pulang lebih akhir.

Hal ini mereka lakukan karena pada hari libur pengunjung yang datang akan

meningkat dibandingkan hari biasa. Dengan demikian diharapkan penghasilan

mereka pun akan bertambah dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pada awal tahun 1985

masyarakat sekitar memiliki etos kerja yang tinggi. Dikatakan demikian karena

mereka disiplin, kerja keras, dan memiliki persepsi untuk memiliki kehidupan

yang lebih baik.

Herell dalam Setiawan (2007) mengungkapkan bahwa etos kerja itu

adalah:

1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat.

2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dengan jaminan masa depan.

3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan keturunan.

Seiring dengan menurunnya jumlah pengunjung dan pergantian pengelola

pada tahun 2003, etos kerja pun semakin menurun. Hal ini terlihat dari motivasi

kerja mereka. Kerja bagi mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

saja. Penghasilan mereka digunakan untuk menunjang kebutuhan hidup anak dan

istri. Mereka tidak mencoba bekerja di tempat lain padahal jumlah pengunjung

semakin menurun dan pihak pengelola sudah tidak mengizinkan mereka berjualan

Page 39: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

109

di Tahura Ir. H. Djuanda. Meskipun ada keinginan untuk memiliki kehidupan

yang lebih baik yang serba kecukupan, namun mereka kurang berusaha untuk

mewujudkannya. Bagi mereka asal kebutuhan sehari-hari terpenuhi itu sudah

cukup.

Penurunan etos kerja ini seharusnya dapat diperbaiki dengan berbagai

upaya. Upaya untuk mengubah sistem nilai dan orientasi budaya yang telah

mengakar memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Sistem nilai selalu

berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri.

Kalau masyarakat sudah sepakat dan bertekad untuk mengubah sistem nilai itu,

tentu saja sistem nilai itu akan berubah. Memang mekanisme untuk melakukan

perubahan itu tidak sederhana, tapi bukan tertutup jalan sama sekali.

Upaya untuk meningkatkan etos kerja masyarakat sekitar Tahura Ir. H.

Djuanda dapat dilakukan dengan cara yaitu pertama, membangkitkan kerja keras

dengan mengambil nilai kerja keras itu dari ajaran-ajaran agama. Masyarakat

sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang pada umumnya beragama Islam. Diketahui

bahwa Islam mengajarkan untuk bekerja keras dalam hidupnya, karena kerja keras

di dunia merupakan ibadah. Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah

kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi

orang yang berkemampuan untuk bekerja. Sebagaimana dinyatakan dalam

Alquran surat Al-Jumu’ah (62) ayat 10 bahwa “Apabila shalat telah dilaksanakan,

maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah

banyak-banyak agar kamu beruntung”.

Page 40: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

110

Demikian juga dalam surat At-Taubah (9) ayat 105 bahwa:

“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha di muka bumi ini agar

dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan untuk mereka. Ini dikarenakan

Allah telah mengatur sebab seseorang memperoleh rezeki adalah melalui usaha

dan kerja keras. Untuk mewujudkan ini tentunya diperlukan partisipasi dan

bantuan dari para ulama untuk menyampaikannya kepada umatnya, khususnya

yang ada di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda tentang pentingnya kerja keras dalam

kehidupan manusia di muka bumi ini.

Kedua, sistem nilai paternalistik dapat digunakan untuk meningkatkan etos

kerja masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Perubahan dimulai oleh patron

yang menjadi panutan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Seperti yang

diungkapkan oleh Sjafri (2002: 329) bahwa dalam kehidupan masyarakat model-

model kehidupan pada dasarnya adalah tiruan dari model-model kehidupan para

pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal. Dengan demikian para

pemimpin masyarakat di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda, baik pemimpin tingkat

rendah maupun tingkat tinggi, dapat menjadikan dirinya sebagai “alat” tiruan bagi

peningkatan etos kerja masyarakat, dengan memberikan keteladanan etos kerja

yang tinggi dalam menjalani kehidupannya.

Ketiga, menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang menjadi

terdorong secara gradual untuk mempunyai etos kerja yang tinggi. Lingkungan ini

Page 41: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

111

tidak hanya menyangkut masyarakat yang terlibat didalamnya, tetapi terkait

lingkungan fisik di mana masyarakat itu berada. Kedua sistem lingkungan itu

saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam sistem

manajemen yang dikembangkan dalam rangka upaya peningkatan etos kerja itu

diperlukan sistem manajemen yang memperhatikan kedua sistem manajemen

yang memperhatikan kedua sistem itu secara kesatuan yang tidak terpisahkan.

Keempat, memberikan pelatihan-pelatihan mengenai etos kerja ke

berbagai lapisan masyarakat, seperti karang taruna, pedagang, pemandu,

pengelola, dan semua masyarakat yang terlibat di Tahura Ir. H. Djuanda. Seperti

konsep dan pendekatan yang dikembangkan oleh Mr Ethos, Jansen Sinamo, Guru

Etos Indonesia, yang di ujungnya memperkuat karakter, kompetensi, konfidensi,

dan kinerja tinggi yaitu Pelatihan 8 Etos Kerja dilaksanakan secara berimbang.

Delapan etos kerja itu antara lain:

1. Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Rasa Syukur 2. Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab 3. Kerja adalah Panggilan; Aku Bekerja Tuntas Penuh Integritas 4. Kerja adalah Aktualisasi; Aku Bekerja Keras Penuh Semangat 5. Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan 6. Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas 7. Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Tekun Penuh Keunggulan 8. Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Paripurna Penuh Kerendahan hati

Dengan beberapa upaya di atas, diharapkan etos kerja masyarakat sekitar

Tahura Ir. H. Djuanda akan meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini juga akan

berdampak pada peningkatan sumber daya manusia itu sendiri, sebagai subjek dan

objek dari pembangunan masyarakat.

Page 42: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

112

2. Hubungan Sosial

Selama kurun waktu 1985-2003 pihak pengelola melakukan kerjasama

dengan masyarakat sekitar. Hubungan baik pun dilakukan agar tercipta keamanan

dan kebersihan di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Hubungan sosial antar

masyarakat juga terjalin dengan baik. Hal ini mengakibatkan Tahura Ir. H.

Djuanda mengalami perkembangan yang baik.

Pihak pengelola dari kepala balai sampai petugas keamanan selalu

melakukan silaturahmi kepada semua pedagang. Hubungan yang terjalin tidak lagi

hubungan antara pedagang dan pengelola, akan tetapi menjadi hubungan saudara

yang saling menghormati, menghargai dan menjaga.

Pada akhirnya, kerjasama ini memberikan keuntungan kepada kedua belah

pihak. Masyarakat sekitar yang berdagang di kawasan ini dapat memperoleh

pendapatan. Sedangkan bagi pengelola, tugasnya dalam menjaga kebersihan dan

keamanan dibantu oleh masyarakat sekitar.

Hubungan sesama pedagang juga terjalin dengan harmonis dan rukun.

persaingan dalam berdagang dilakukan secara sehat. Hal ini terlihat dari adanya

penentuan harga, jarak antara lapak, dan jenis barang dagangan yang berbeda.

Selain itu pada tahun 1987 pernah didirikan sebuah koperasi pedagang. Namun

pada tahun 1992 koperasi ini bubar.

Keharmonisan hubungan antara masyarakat yang bekerja di kawasan

wisata Tahura Ir. H. Djuanda dengan pengelola mulai berkurang ketika pergantian

pengelola oleh UPTD Tahura Ir. H. Djuanda Dinas Kehutanan Prov. Jawa Barat.

Hal ini disebabkan oleh perbedaan tugas antara Perum Perhutani dengan Dinas

Page 43: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

113

Kehutanan. Perum Perhutani merupakan suatu perusahaan umum milik

pemerintah yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya alam di hutan. Selain

itu biaya perawatan dan gaji pegawai berasal dari tiket masuk Tahura, sehingga

mereka melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan jumlah pengunjung

dengan bekerja sama dengan masyarakat sekitar.

Berbeda halnya dengan Dinas Kehutanan, pengelola lebih mengutamakan

keaslian alam hutan yang harus dilindungi. Menurut pihak pengelola, Tahura Ir.

H. Djuanda merupakan kawasan hutan lindung yang harus dijaga, lapak-lapak

pedagang dapat menganggu keaslian hutan. Meskipun demikian, pihak pengelola

masih memberikan izin kepada mereka untuk tetap bekerja di Tahura Ir. H.

Djuanda.

Berdasarkan hal itu, maka hubungan antara pengelola dan pedagang mulai

kurang harmonis. Akan tetapi pihak pengelola masih tetap menjalin hubungan

baik dan memberikan ijin masyarakat untuk tetap bekerja di Tahura Ir. H.

Djuanda.

Berbanding terbalik dengan hubungan keduanya, hubungan antara

pedagang bertambah kuat. Para pedagang yang sudah tidak dikelola oleh pihak

pengelola, akhirnya membentuk suatu persatuan pedagang. Pada tahun 2003 atas

inisiatif para pedagang dibentuk sebuah perkumpulan pedagang yang ingin

memberikan perubahan bagi para pedagang dan diharapkan dapat mengalami

perkembangan yang lebih baik yang didukung oleh pihak pengelola melalui

pembinaan kepariwisataan. Namun perkumpulan pedagang ini tidak dapat

bertahan lama dikarenakan ada permasalahan intern yang tidak bisa diselesaikan.

Page 44: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

114

Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penduduk di sekitar objek

wisata sangat menunjang perkembangan suatu kawasan wisata, karena para

wisatawan akan bertemu dan bersosialisasi dengan penduduk setempat, oleh

karena itu diperlukan suasana yang mendukung supaya wisatawan senang untuk

mengunjungi objek wisata tersebut, sehingga mereka akan lebih sering untuk

mengunjungi tempat tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Oka A. Yoeti (1993:

2) bahwa:

... perlu diperhatikan bagaimana kesan masyarakat tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya, keramahtamahan penduduk, suka menolak pendatang baru, bersikap permusuhan dan bagaimana pula bentuk perjalanan yang akan diselenggarakan. Semua ini akan sangat mempengaruhi pikiran diantara beberapa alternative dari kesempatan melakukan perjalanan. Berdasarkan hasil uraian di atas, maka diperlukan suatu pembinaan dan

pelatihan untuk masyarakat sekitar mengenai kepariwisataan. Kerjasama antara

masyarakat dan pengelola juga perlu ditingkatkan dalam rangka mengembangkan

Tahura Ir. H. Djuanda menjadi lebih baik.

3. Stratifikasi Sosial

Masyarakat yang bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda menempati pelapisan

sosial yang beragam. Pitirim Sorokin (1954: 11) dalam Sajogyo (1985: 61)

menyatakan bahwa “social stratification adalah pembedaan penduduk atau

masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).” Perwujudan dari

stratifikasi sosial tersebut adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.

Masyarakat yang awalnya pengangguran bisa naik derajat sosialnya

dengan bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda. Namun tidak semua pekerjaan tersebut

Page 45: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

115

dapat menjadikan mereka berada dalam lapisan sosial atas. Bagi masyarakat yang

bekerja sebagai pengelola dan diangkat menjadi pegawai BUMN atau PNS maka

akan berada dalam lapisan sosial menengah. Para pedagang, tukang parkir, dan

penyewa senter menempati lapisan sosial bawah. Hal ini didasarkan pada

penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut.

Kamanto Sunarto (2004) memaparkan pendapat dari sejumlah ahli yang

melihat bahwa, stratifikasi sosial ini timbul karena dalam masyarakat berkembang

terdapat pembagian kerja, sehingga dapat memungkinkan terjadinya pembedaan

kekayaan, kekuasaan dan prestise. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan

bahwa pengelola memiliki kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang lebih besar

dibandingkan dengan yang lainnya. Masyarakat lain akan memberikan

penghargaan dan penilaian yang lebih besar kepada pekerjaan atau hasil usaha

menjadi pengelola daripada pedagang atau tukang senter dan tukang parkir.

Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Rusli Karim (1998) bahwa

...munculnya pembedaan-pembedaan lapisan dalam masyarakat, membuktikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk memberikan penghargaan serta penilaian kepada pekerjaan atau hasil usaha seseorang. Maka dari itu stratifikasi sosial terbentuk karena berdasarkan pada keahlian serta pengakuan individu dari masyarakat. Bagi para pedagang yang sudah bekerja selama 22 tahun status sosial

mereka di masyarakat tidak mengalami perubahan. Hal ini dilihat dari kekayaan,

kekuasaan, dan prestise yang mereka dapatkan dengan berjualan di Tahura Ir. H.

Djuanda hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadinya transformasi pekerjaan

dari petani ke pedagang atau pemandu, buruh ke penyewa senter, dan buruh ke

Page 46: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

116

pegawai sehingga terjadinya stratifikasi sosial. Semula pekerjaan yang dikenal

oleh masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda adalah buruh, petani, dan pegawai

Tahura Ir. H. Djuanda. Kemudian setelah peresmian Tahura Ir. H. Djuanda

muncul adanya kelompok sosial lain yaitu pedagang, pemandu, dan penyewa

senter. Ini merupakan proses diferensiasi sosial. Proses ini terjadi karena adanya

perbedaan kekayaan atau pemilikan barang, harga diri, dan pekerjaan, yang

kemudian mempertajam stratifikasi sosial.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pegawai BUMN Tahura Ir. H.

Djuanda secara keseluruhan lebih tinggi status sosialnya dibandingkan pedagang,

pemandu, dan penyewa senter. Kepemilikan barang seperti mobil, sepeda motor,

TV, rumah yang permanen, dan lainnya yang lebih banyak dimiliki oleh pegawai

BUMN Tahura Ir. H. Djuanda.

Transformasi pekerjaan yang terjadi di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda telah

memperjelas munculnya stratifikasi sosial, yaitu adanya kelas pegawai BUMN

atau PNS Tahura Ir. H. Djuanda, kelas pedagang, serta kelas penyewa senter dan

pemandu. Ketiga pelapisan tersebut sekaligus membedakan status sosial diantara

mereka.

Status sosial seseorang di masyarakat tidak dapat berubah dengan cepat,

karena hal ini harus melalui proses. Perubahan status sosial dapat dirubah salah

satunya melalui pendidikan. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan untuk

menaikkan status sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yaitu

meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan.

Page 47: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

117

4. Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial,

material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, serta ketentraman

lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap masyarakat untuk mengadakan

usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan demikian kesejahteraan sosial

masyarakat merupakan keberhasilan hidup secara material, mental, dan spiritual

dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya dan dalam hubungannya dengan

lingkungan sosial yang mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan

bermasyarakat.

Keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda sebagai tempat yang dapat dijadikan

objek wisata mempengaruhi tingkat kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya.

Jusman Aputra, Sans Hutabarat, dan Andarus Darahim (1989: 88) memaparkan

bahwa tingkat kesejahteraan keluarga dapat diukur dari tingkat pemenuhan

kebutuhan hidup keluarga yang meliputi kebutuhan sandang, pangan, perumahan,

kesehatan, keselamatan, dan kebutuhan sosial.

Adapun tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang bekerja di kawasan

wisata Tahura Ir. H. Djuanda dapat dikategorikan sebagai keluarga sejahtera. Hal

ini didasarkan pada terpenuhinya semua aspek-aspek kebutuhan hidup yaitu

pertama, pemenuhan kebutuhan jasmani; makan tiga kali dalam sehari,

pemenuhan kebutuhan makan sudah dapat mengandung gizi, memiliki pakaian

lebih dari lima stel, serta memiliki rumah sendiri dengan ruangan yang terpisah

dan mempunyai ventilasi udara yang cukup. Kedua, pemenuhan kebutuhan rohani

meliputi keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan di masyarakat dan pada

Page 48: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

118

umumnya masyarakat pernah berrekreasi. Ketiga, hubungan sosial antar

masyarakat juga terjalin secara harmonis.

Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar

Tahura Ir. H. Djuanda perlu segera dilakukan, karena apabila tidak, maka kondisi

demikian akan diturunkan kepada generasi selanjutnya, dalam hal ini anak-anak

mereka. Berdasarkan hal ini, maka peningkatan kesejahteraan masyarakat

hendaknya dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi-instansi yang

terkait dengan seluruh masyarakat.

Pemecahan masalah kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat sekitar

Tahura Ir. H. Djuanda salah satunya dapat melalui program pembinaan

Keterampilan Usaha Ekonomi Produktif, yaitu dengan membuat kerajinan dan

jajanan khas Sunda. Program ini dapat menambah pengetahuan dan keterampilan

sehingga masyarakat dapat mempunyai tambahan pekerjaan. Dengan demikian,

hal ini akan menambah pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarganya dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga masyarakat sekitar

Tahura Ir. H. Djuanda.

5. Pendidikan

Pada umumnya tingkat pendidikan masyarakat yang berjualan di Tahura

Ir. H. Djuanda yaitu tingkat SD. Dengan pendidikan yang rendah tentu saja

kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik menjadi sulit.

Pengalaman hidup para pedagang ini memberikan pengaruh kepada anak-anak

mereka. Pada akhirnya masyarakat memiliki harapan yaitu pendidikan anak-anak

Page 49: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

119

harus lebih tinggi dari orang tuanya. Hal ini diharapkan kehidupannya pun akan

lebih baik dari orang tuanya.

Usaha dan kerja keras yang dilakukan menyebabkan anak-anak mereka

bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan

tinggi. Namun kebanyakan mereka hanya bisa menyekolahkan anaknya sampai

tingkat SMP.

Tingkat pendidikan SMA tidak menjadikan kehidupan anak-anak mereka

menjadi lebih baik dari orang tuanya. Mereka mendapatkan pekerjaan yang tidak

jauh berbeda dengan orang tua mereka.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan beberapa upaya untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan

merupakan salah satu saluran penting dalam proses mobilitas sosial. Upaya yang

dapat dilakukan yaitu pertama, memberikan penyuluhan kepada masyarakat

mengenai pentingnya pendidikan. Kedua, penambahan SMP dan SMA gratis bagi

masyarakat yang tidak mampu, serta pemberian beasiswa bagi mereka yang ingin

melanjutkan ke perguruan tinggi. Program beasiswa ini harus disosialisasikan

kepada masyarakat agar informasi ini sampai kepada mereka yang membutuhkan.

Ketiga, didirikan sekolah Paket B dan C, sehingga masyarakat yang putus sekolah

bisa melanjutkan pendidikannya.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pekerjaan yang ditekuni

masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda selama 22 tahun nampaknya telah

membawa perubahan bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Mobilitas

sosial horizontal merupakan suatu istilah yang tepat untuk menggambarkan

Page 50: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

120

perubahan ini. Soekanto (2005: 219) berpendapat bahwa “gerak sosial horizontal

merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok

sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat”.

Terbukanya lapangan kerja menyebabkan terjadinya perpindahan struktur

pekerjaan dan penghasilan masyarakat. Masyarakat sekitar mengalami

perpindahan pekerjaan yang sederajat, seperti petani menjadi pedagang, buruh tani

menjadi tukang senter, dan tukang foto menjadi pedagang. Selain itu, hasil kerja

mereka tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak-anak mereka.

Perpindahan ini tidak mempengaruhi status sosial mereka di masyarakat,

meskipun kesejahteraan sosialnya mengalami perubahan. Seperti yang

diungkapkan oleh Cohen (1992: 269) bahwa mobilitas horizontal ialah

perpindahan sosial pada tingkat yang sama. Individu yang berganti pekerjaan

menunjukkan mobilitas horizontal apabila pergantian tersebut tidak

mempengaruhi status sosial.

Sebagian masyarakat juga ada yang mengalami mobilitas vertikal turun,

hal ini dilihat dari tingkat kesejahteraanya menurun. Seorang pedagang yang

awalnya berjualan makanan (baso, lotek, rujak) karena kekurangan modal,

sekarang hanya berjualan makanan dan minuman yang bisa bertahan lebih dari

satu minggu, seperti Pop Mie, makanan ringan, dan minuman berkemasan.

Tentunya yang tidak memerlukan modal yang besar.

Walaupun terdapat banyak contoh mobilitas sosial horizontal, namun

dalam kenyataan di lapangan ada sebagian masyarakat yang mengalami mobilitas

Page 51: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

121

sosial vertikal baik mobilitas antar generasi, dan mobilitas intra generasi. Mereka

mengalami perubahan ekonomi dan sosial yang lebih baik.

Masyarakat yang awalnya hanya pengangguran kemudian memiliki

pekerjaan dengan bekerja di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda atau yang

awalnya buruh menjadi pengelola Tahura bisa menaikkan derajat sosial di

masyarakat. Meskipun awalnya mereka hanya bekerja sebagai keamanan dan

kebersihan, namun karena kerja keras, ketekunan, rajin, dan sabar mereka

diangkat menjadi pegawai BUMN Perum Perhutani atau PNS Dinas Kehutanan.

Seperti yang dialami oleh Pak Asep.

Kasus lain yaitu keluarga Ibu Tutih, meskipun hanya seorang petani dan

penjual jagung bakar di Tahura Ir. H. Djuanda, namun dengan kerja keras,

ketekunan, kesederhanaan dan kepiawaian dalam mengatur waktu kerja dapat

mendidik anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Keberhasilan anak-anak

mereka menjadi kebanggaan orang tua, sehingga secara tidak langsung menaikkan

derajat sosial mereka di masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, faktor terjadinya mobilitas sosial

masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yaitu pertama, struktur pekerjaan.

Seseorang yang bekerja sebagai pegawai Tahura Ir. H. Djuanda akan

mendapatkan penghasilan yang tetap dan lebih besar dibandingkan bekerja

sebagai tukang senter atau pedagang di Tahura Ir. H. Djuanda. Adapun

pengaruhnya terhadap kehidupan sosial yaitu naiknya derajat sosial di masyarakat.

Kedua, faktor individu. Faktor ini adalah faktor yang banyak

mempengaruhi dalam menentukan siapa yang mencapai kedudukan tinggi di

Page 52: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

122

masyarakat. Meskipun seseorang telah bekerja sebagai pegawai Tahura Ir. H.

Djuanda, namun apabila tidak didukung oleh faktor individu maka tidak akan

terjadi mobilitas vertikal, seperti:

a) Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memiliki kecakapan lebih

banyak dari pada yang lain, tentu kehidupannya akan lebih berhasil

daripada yang lain. Seperti yang dialami oleh Pak Asep dan Ibu Tutih.

Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 44) menegaskan bahwa “ … meskipun

tidak mungkin untuk dapat mengukur kemampuan secara memuaskan,

namun kita berpendapat bahwa faktor penting yang menentukan

keberhasilan hidup dan mobilitas”. Berdasarkan pendapat tersebut,

seseorang yang cakap (mempunyai kemampuan/keahlian) yang akan

memperoleh penghasilan lebih besar dan kedudukan yang tinggi

dibandingkan yang lain.

b) Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memiliki orientasi sikap

untuk berhasil, maka akan berusaha lebih keras untuk mewujudkannya.

Berbeda dengan yang tidak memiliki orientasi, maka mereka akan pasrah

kepada takdir.

Ada beberapa hal yang dilakukan masyarakat sekitar Tahura Ir. H.

Djuanda untuk meningkatkan prospek mobilitas, yaitu pertama, pendidikan.

masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memprioritaskan pendidikan bagi

anak-anaknya menyebabkan mobilitas antargenerasi. Seperti Ibu Tutih dan Pak

Asep yang mengutamakan pendidikan anak-anak mereka, sehingga dengan

pendidikan yang mereka miliki, kehidupan sosial ekonomi menjadi lebih baik dari

Page 53: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

123

orang tua. Berbeda halnya dengan pendidikan anak-anak Pak Abdul Rachmat, Ibu

Alih, Ibu Natin, dan Pak Ibro. Bahkan ada yang kehidupan anak-anaknya lebih

buruk dari orang tuanya.

Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 44) memaparkan bahwa pendidikan

merupakan anak tangga mobilitas yang penting. Bahkan jenis pekerjaan kasar

yang berpenghasilan baik pun sukar diperoleh, kecuali jika seseorang mampu

membaca petunjuk dan mengerjakan soal hitungan sederhana. Cohen (1992: 273)

juga menegaskan bahwa:

Pada umumnya, frekwensi pendidikan formal yang dimiliki oleh seseorang sangat berkaitan dengan besarnya pendapatan yang digunakan untuk membiayai orang tersebut. Fungsi pokok pendidikan formal dalam hubungannya dengan mobilitas vertikal adalah membekali individu dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memasuki pasaran kerja. Tingkat pendidikan yang memadai akan menempatkan seseorang pada posisi yang menguntungkan bilamana ia harus bersaing dengan orang lain untuk jabatan tertentu. Kedua, etos kerja. Herell dalam Setiawan (2007) mengungkapkan bahwa

etos kerja itu adalah:

1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat.

2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dengan jaminan masa depan.

3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan keturunan.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, kebiasaan kerja sebagian

masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang selalu kerja keras, tekun, disiplin,

piawai dalam mengatur waktu kerja menentukan keberhasilan dan mobilitas

vertikal naik. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan kerja yang

Page 54: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

124

baik, maka kehidupannya pun cenderung tidak berubah, bahkan turun. Hal ini

didukung oleh pendapat Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 46) bahwa meskipun

kerja keras tidaklah menjamin adanya mobilitas-naik, namun tidak banyak orang

dapat mengalami mobilitas naik tanpa bekerja keras.

Ketiga, Pola penundaan kesenangan adalah penangguhan hasil langsung

untuk dipetik di masa yang akan datang dengan hasil yang lebih besar. Cohen

(1992: 274) berpendapat bahwa individu-individu yang menunda untuk sementara

jangka pendek lebih besar kemungkinannya untuk menanjak dibandingkan dengan

individu-individu yang menyenangi hasil langsung. Seperti halnya ketiga anak

Pak Asep dan keempat anak Ibu Tutih. Mereka lebih mengutamakan kuliah

daripada langsung bekerja setelah menamatkan SMA.

Mereka harus mencurahkan segenap waktu, tenaga, dan kemampuannya

untuk menekuni kuliah. Akan tetapi, setelah mereka menyelesaikan

pendidikannya, mereka mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik

dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki gelar sarjana.

Berbeda halnya dengan keluarga Pak Abdul Rachmat, meskipun Pak

Rachmat sudah diangkat menjadi pegawai BUMN Perum Perhutani, akan tetapi

anak-anaknya hanya mengenyam pendidikan sampai SMA dan SMP. Kehidupan

sosial ekonomi anak-anaknya pun tidak lebih baik dari orang tua mereka.

Selain faktor individu dan struktur pekerjaan, ada satu faktor yang

mempengaruhi rendahnya tingkat mobilitas sosial masyarakat sekitar kawasan

wisata Tahura Ir. H. Djuanda, yaitu letak kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda

adalah di desa. Karakteristik desa dan masyarakatnya pun mempengaruhi

Page 55: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

125

terjadinya mobilitas sosial vertikal yang kurang intensif yaitu pertama, lembaga-

lembaga yang memungkinkan terjadinya sirkulasi kelas atau menjadi turun

naiknya status (seperti misalnya lembaga pendidikan, pelbagai instansi, dan

lainnya) umumnya terkonsentrasi di Kota Bandung. Kedua, sehubungan dengan

sedikitnya lapisan sosial yang ada pada masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda,

maka mobilitas sosial juga menjadi kurang terlihat. Ketiga, peristiwa “differential

fertility” yang biasa terjadi di kota, yakni peristiwa “lenyapnya” lapisan atas yang

secara demikian memberi peluang bagi kenaikan status dari lapisan bawahnya

adalah merupakan gejala yang kurang terlihat di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda.

Keempat, ketidaksamaan elemen biologic dan psikososial antara orang tua dan

anak yang merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal

cenderung terdapat di perkotaan yang penduduknya heterogen dibanding dengan

di pedesaan homogen. Kelima, setiap perubahan terhadap lingkungan sosial dan

kebudayaan akan meningkatkan terjadinya mobilitas vertikal. Gejala ini kurang

terlihat di lingkungan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Keenam, “prinsip

kekastaan” yakni mendasari jarak sosial antara lapisan pada masyarakat pedesaan

lebih kaku disbanding dengan pada masyarakat kota.

Berdasarkan pemaparan di atas, mobilitas sosial yang terjadi di kawasan

wisata Tahura Ir. H. Djuanda tidak hanya dipengaruhi oleh struktur pekerjaan dan

faktor individu saja. Akan tetapi karakteristik masyarakat sekitar kawasan Tahura

Ir. H. Djuanda yang merupakan masyarakat pedesaan juga sangat berpengaruh

terhadap terjadinya mobilitas sosial masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir.

H. Djuanda.

Page 56: 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago,

126

Proses mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran dalam

masyarakat. Saluran yang terpenting yaitu angkatan bersenjata, lembaga-lembaga

keagamaan, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi politik, ekonomi, dan keahlian

(Saripudin, 2005: 4).

Pada umumnya lembaga pendidikan seperti sekolah merupakan solusi

konkrit dalam mempercepat terjadinya mobilitas sosial vertikal di masyarakat

sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Pendidikan berfungsi sebagai sebuah proses

penyeleksian untuk menempatkan orang pada masyarakat sesuai dengan

kemampuan dan keahliannya. Dengan demikian, pendidikan menjadi sinkron

dengan tujuan mobilitas sosial, karena kemampuan dan keahlian seseorang

merupakan faktor penting dalam mobilitas sosial.