72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok...
Transcript of 72 36’ BT dan 6 55’ LSa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_045313_bab_iv.pdf · a. Blok...
71
BAB IV
MOBILITAS SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR
KAWASAN WISATA TAHURA IR. H. DJUANDA (1985-2007)
Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian di Tahura Ir. H.
Djuanda untuk memberikan gambaran umum mengenai masyarakat sekitar
kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yaitu tentang “Kawasan Wisata Taman Hutan
Raya Ir. H. Djuanda 1985-2007 (Suatu Kajian Tentang Mobilitas Sosial
Masyarakat Sekitarnya)” sesuai dengan fakta-fakta dari sumber tertulis berupa
buku-buku, dokumen dan arsip-arsip yang relevan dengan kajian yang peneliti
lakukan. Peneliti juga melakukan teknik wawancara terhadap para pelaku atau
narasumber yang benar-benar mengetahui dan mengalami peristiwa yang peneliti
kaji.
Pembahasan pada bab ini dikembangkan menjadi tiga sub bab, yaitu
pertama, Gambaran umum Tahura Ir. H. Djuanda, yang dapat dilihat dari
kondisi geografi dan lingkungan fisik, kondisi demografi. Kedua, sejarah dan
perkembangan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (1985-2007). Ketiga, dampak
keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda terhadap mobilitas sosial masyarakat
sekitarnya (1985-2007).
A. Gambaran Umum Tahura Ir. H. Djuanda
1. Kondisi Geografi dan Lingkungan Fisik
Taman Hutan Raya Ir. H. merupakan suatu kawasan hutan lindung yang
secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung dan Kota
72
Bandung. Kota Bandung secara geografis berada antara 107o36’ BT dan 6o55’ LS
dengan batas-batas sebelah Utara, Selatan, Timur, dan Barat berbatasan dengan
Kabupaten Bandung. Berdasarkan Hasil Registrasi Penduduk 2002 di Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Bandung, wilayah Kota Bandung terbagi dalam 26
kecamatan, yaitu Kecamatan Andir, Arcamanik, Astanaanyar, Babakanciparay,
Bandung Kidul, Bandung Kulon, Bandung Wetan, Batununggal, Bojongloa Kaler,
Bojongloa Kidul, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul, Cibiru, Cicadas, Cicendo,
Cidadap, Coblong, Kiaracondong, Lengkong, Margacinta, Rancasari, Regol,
Sukajadi, Sukasari, Sumur Bandung, dan Ujungberung.
Kabupaten Bandung secara geografis berada antara 6°41`-7°19` LS;
107°22`-108°5` BT dengan batas-batas wilayahnya yaitu berbatasan dengan
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sumedang di utara,
Kabupaten Garut di timur dan selatan, serta Kabupaten Cianjur di barat dan
selatan. Kabupaten Bandung terdiri atas 43 kecamatan , yaitu Kecamatan Arjasari,
Baleendah, Banjaran, Batujajar, Bojongsoang, Cicalengka, Cikalong Wetan,
Cikancung, Cileungkrang, Cileunyi, Cililin, Cimaung, Cimenyan, Ciparay,
Cipatat, Cipeundeuy, Cipongkor, Cisarua, Ciwidey, Dayeuhkolot, Gununghalu,
Ibun, Kertasari, Ketapang, Lembang, Majalaya, Margaasih, Margahayu, Nagreg,
Ngamprah, Pacet, Padalarang, Pameungpeuk, Pangalengan, Parongpong, Paseh,
Pasirjambu, Rancabali, Rancaekek, Rongga, Sindangkerta, Solokan Jaya, dan
Soreang.
73
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Bandung
Sumber: BPS Kabupaten Bandung Luas areal kawasan hutan berdasarkan Hasil Rekonstruksi Tata Batas
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda pada tahun 2003 luasnya adalah 527,03 ha
termasuk DAS Citarum dan Sub DAS Cikapundung yang terdiri dari:
a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk
wilayah Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong Kota Bandung)
b. Blok Pakar seluas +/- 530,70 ha (secara administratif termasuk wilayah
Desa Ciburial, Kec amatan Cimenyan, Kabupaten Bandung).
c. Blok Maribaya seluas +/- 17,20 Ha (secara administratif termasuk
wilayah Desa Mekarsari, Langensari, Wangunharja, dan Cibodas,
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung)
Pada umumnya kondisi lapangan Tahura Ir. H. Djuanda miring, dengan
kelerengan (slope) agak curam sampai dengan terjal, dengan ketinggian +/- 770 m
74
dpl sampai dengan +/- 1350 m di atas permukaan laut. Adapun unsur tanah yang
terkandung di areal ini didominasi andosol dan sebagian kecil gramosol yang peka
terhadap erosi. Sedangkan, kondisi iklim menurut klasifikasi Schmidt Ferguson
termasuk Type B, kelembaban nisbi udara berkisar antara 70% (siang hari) dan
90% (malam dan pagi hari), suhu berkisar antara 2200C-2400C (di lembah) dan
berkisar 1800C-2200C (di puncak). Curah hujan rata-rata pertahun 2.500-
4.500mm/tahun.
Gambar 4.2 Peta Tahura Ir. H. Djuanda
Sumber: Balai Pengelola Tahura Ir. H. Djuanda. (2006). Peta Lampiran Rencana Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda Di Kecamatan Lembang, Kecamatan Cimenyan, dan Kecamatan Coblong Kabupaten Bandung dan Kota Bandung Provinsi Jawa Barat. Bandung: Balai Pengelola Tahura Ir. H. Djuanda.
75
2. Kondisi Demografi
Tahura Ir. H. Djuanda berada pada lintas Kabupaten Bandung dan Kota
Bandung. Wilayah yang termasuk Kabupaten Bandung, yaitu pertama, Desa
Ciburial Kecamatan Cimenyan. Kedua, Desa Mekarsari, Langensari,
Wangunharja, dan Cibodas Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Adapun
yang termasuk Kota Bandung hanya Kelurahan Dago yang termasuk wilayah
administrastif Kecamatan Coblong.
Berdasarkan letak kawasan ini yang berbatasan langsung dengan Kota
Bandung dan sarana transportasi yang demikian lancar menyebabkan luas
pemukiman di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda menjadi bertambah. Pertambahan
luas pemukiman dikarenakan adanya pertambahan jumlah penduduk, baik
penduduk asli maupun penduduk pendatang. Wilayah ini juga merupakan salah
satu tempat yang memiliki pemandangan yang indah, sehingga banyak didirikan
resort, restoran, dan villa.
Jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2002 adalah sebanyak 1.868.542
jiwa. Pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 1997 sampai tahun 2002 adalah
1,65% (BPS Kota Bandung. Hasil Registrasi Penduduk Tahun 2002). Sedangkan
jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2002 mencapai 3,9 juta jiwa
yang terdiri dari 1.976.473 laki-laki dan 1.924.455 perempuan. Hal ini berarti
mengalami peningkatan sebesar 3,5% (BPS Kab. Bandung. Kabupaten Bandung
Dalam Angka Tahun 2002 ).
Pertumbuhan jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda dari tahun
1998 sampai 2006 yaitu rata-rata perkembangan 0,19 %. Pada tabel berikut ini
76
akan diuraikan mengenai jumlah penduduk di sekitar Kawasan Tahura Ir. H.
Djuanda pada kurun waktu 1998-2006:
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Tahun 1998-2006
Tahun 1998 1999 2003 2004 2006
Ciburial 8.538 8.538 10.214 10.221 10.239
Cibodas 7.770 7.945 8.562 8.569 8.569
Langensari 8.907 7.726 8.472 8.457 8.458
Mekarwangi 3.973 4.975 4.625 4.641 4.653
Wangunharja 5.546 5.255 6.042 6.379 6.109
Dago 24.636 25.332 32.988 33.082 33.541
Jumlah 59.370 59.771 70.903 71.349 71.569
Sumber: Kecamatan Lembang. 1998-2006. Arsip Laporan Penduduk Kecamatan Lembang. Bandung: Kantor Kecamatan Lembang. Pemerintahan Desa Ciburial.1997-2007. Profil Desa Ciburial. Bandung: Kantor Desa Ciburial.
Data yang disajikan pada tabel di atas tidak berurutan berdasarkan tahun
kajian yaitu dari tahun 1985-2007 karena keterbatasan sumber. Adapun jumlah
penduduk yang bertempat tinggal di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yang
tercantum dalam tabel diatas merupakan jumlah secara keseluruhan penduduk
yang termasuk ke dalam orang-orang produktif (produktif dalam bekerja) dan
penduduk tidak produktif seperti anak-anak dan manula.
Berdasarkan data penduduk pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa
jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda mengalami peningkatan setiap
tahunnya. pada tahun 1998 jumlah penduduk adalah sebesar 59.370 jiwa,
77
kemudian pada tahun 1999 mengalami peningkatan sebesar 0,18% yaitu mencapai
59.771 jiwa dan pada tahun 2006 meningkat sebesar 0,21% yaitu mencapai
71.569 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan karena adanya
pertambahan angka kelahiran dan bertambahnya jumlah pendatang yang menetap
di daerah sekitar Tahura Ir. H. Djuanda.
Upaya untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan akan terhambat
dengan meningkatnya jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Hal ini
dikarenakan kebutuhan untuk tempat tinggal akan bertambah. Dengan demikian,
diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk mendirikan rumah susun.
Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan
lapangan pekerjaan. Oleh karena itu sebagian masyarakat ada yang mencari
nafkah di kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di
dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan demikian
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan
pemerintah.
Keberhasilan pembangunan mensyaratkan kualitas sumber daya manusia
(SDM). Adapun kualitas SDM yang tinggi hanya dapat dicapai melalui
pendidikan. Peningkatan SDM lebih diutamakan oleh pemerintah. Melalui
pemberian kesempatan kepada semua lapisan masyarakat untuk mengecap
pendidikan.
78
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah berusaha menyediakan sarana dan
prasarana pendukung pendidikan dengan memperbanyak pembangunan sekolah-
sekolah di daerah. Dengan demikian, pemerintah berharap kualitas SDM akan
meningkat sehingga peluang masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan akan lebih
besar. Berikut ini merupakan data sekolah tahun 1996-2006:
Tabel 4.2
Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid Semu a Jenjang Sekolah di Kecamatan Coblong, Cimenyan, dan Lembang
Tahun 1993-2006
Tahun Kecamatan Jumlah Sekolah Jumlah Murid SD SMP SMA SD SMP SMA
1993 1. Coblong 75 11 15 11.181 2.079 8.979 2. Cimenyan 51 2 - 9.105 616 - 3. Lembang 71 7 4 17.416 3.671 1.275
Jumlah 197 20 19 37.702 6.366 10.254 1998 1. Coblong 71 14 14 10.414 5.134 9.051
2. Cimenyan 50 2 1 8.010 1.104 63 3. Lembang 71 7 4 15.724 4.308 1.693
Jumlah 192 23 19 26.939 10.546 10.807 1999 1. Coblong 70 14 14 922 5.381 9.240
2. Cimenyan 50 4 1 8.443 1.106 52 3. Lembang 72 7 4 15.996 4.618 1.673
Jumlah 192 25 19 25.361 11.105 10.965 2000 1. Coblong 70 14 14 10.374 5.381 9.240
2. Cimenyan 51 4 1 8.935 486 53 3. Lembang 70 7 4 17.607 3.911 1.605
Jumlah 191 25 19 36.916 9.778 10.898 2006 1. Coblong 45 14 16 10.117 5.013 8.138
2. Cimenyan 49 7 1 9.598 1.480 65 3. Lembang 66 8 5 17.616 5.501 1.685
Jumlah 160 29 22 37.331 10.662 9.888
Ket: (-) tidak ada Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Bandung. Bandung Dalam Angka Tahun
1993-2006. Bandung: BPS Kab. Bandung. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. Bandung Dalam Angka Tahun 1993-2006. Bandung: BPS Kota Bandung
79
Berdasarkan tabel di atas peneliti menggunakan data jumlah sekolah dan
siswa yang ada di Kecamatan Coblong, Cimenyan, dan Lembang karena data
khusus mengenai sekolah yang ada di setiap desa tidak dapat peneliti temukan.
Namun tabel di atas memperlihatkan terjadinya fluktuasi jumlah sekolah dan
murid pada kurun waktu 1993-2006. Hal ini disebabkan oleh beberapa
kemungkinan, yaitu pertama, terdapat beberapa sekolah baik SD, SMP, dan SMA
yang ditutup karena mengalami kekurangan jumlah siswa. Adapun faktor yang
menyebabkan hal tersebut terjadi diantaranya faktor ekonomi penduduk. Sebagian
besar penduduk di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda bermata pencaharian
sebagai petani yang terkategorikan penduduk miskin, sehingga mereka tidak
mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Selain
ekonomi, faktor jarak juga mempengaruhi berkurangnya jumlah sekolah dan
murid yang ada di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Sebagian besar sekolah berada di
kota Bandung atau di ibu kota kecamatan dengan jarak tempuh yang cukup jauh
disebabkan tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai dari rumah siswa
ke sekolah.
Kedua, adanya penggabungan sekolah karena beberapa sekolah terutama
yang berada di daerah-daerah kecamatan kekurangan jumlah siswa dan guru.
Tujuan dari penggabungan ini yaitu untuk mengefisienkan dan mengefektifkan
sekolah yang berkenaan dengan biaya.
Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa pembangunan sarana sekolah di
daerah tidak merata, khususnya untuk sekolah lanjutan, seperti SMP dan SMA.
Jumlah sekolah di Kecamatan Cimenyan pada tahun 1993 yaitu dua buah SMP
80
dan tidak memiliki SMA. Sedangkan di Kecamatan Coblong dan Lembang sarana
sekolah untuk SMP dan SMA sudah lebih banyak dari Kecamatan Cimenyan.
Jumlah sekolah lanjutan di Kecamatan Lembang pada tahun 1993 yaitu tujuh buah
SMP dan empat SMA.
Sekolah Lanjutan sangat penting bagi masyarakat yang berada di daerah,
khususnya daerah terpencil. Namun sebagian masyarakat lebih memilih untuk
tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti yang terjadi di
Kecamatan Cimenyan, jumlah murid SMA pada tahun 1999 hanya 52 orang,
sedangkan di Kecamatan Lembang dan Coblong sudah melebihi angka seribu
orang.
Faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu pertama, pembangunan
sarana pendidikan, khususnya SMA di setiap daerah tidak merata, khususnya
untuk sekolah lanjutan seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Kedua, faktor kemiskinan mengakibatkan sebagian
masyarakat lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya daripada
melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA apalagi perguruan tinggi. Ketiga,
faktor jarak tempuh antara sekolah dengan tempat tinggal karena lokasi sekolah
lanjutan SMP dan SMA biasanya berada di kota kecamatan dan Kota Bandung.
Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan lapangan
pekerjaan sangat diperlukan dan meningkat setiap tahunnya. Pendidikan
merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan pekerjaan
yang baik, semakin tinggi tingkat pendidikan dan kemampuan seseorang, maka
semakin lebih baik pula pekerjaan yang didapatkan, begitu pula sebaliknya,
81
dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka pekerjaan yang didapat sama
dengan tingkat pendidikannya.
Mata pencaharian atau pekerjaan penduduk sekitar kawasan Tahura Ir. H.
Djuanda, sebagian besar sebagai petani yaitu sebesar 8.336 jiwa. Sebagian lain
bekerja sebagai karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, buruh,
pertukangan, pensiunan, dan jasa (Kantor Kecamatan Lembang dan Kantor Desa
Ciburial, 2004. Profil Desa Ciburial, Cibodas, Langensari, Mekarwangi, dan
Wangunharja).
Alternatif untuk memperoleh penghasilan bagi sebagian masyarakat
sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai
banyak keahlian adalah bekerja di Kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Mereka
bekerja sebagai penyewa senter, tukang parkir, berjualan, pemandu wisata, tukang
ojeg, dan petugas kebersihan Tahura Ir. H. Djuanda. Mereka tidak memerlukan
status pendidikan yang tinggi, akan tetapi mereka hanya perlu keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan pekerjaan tersebut.
Stratifikasi sosial merupakan satu kondisi yang hampir selalu ada dalam
setiap masyarakat di seluruh dunia. Secara umum konsep tersebut
menggambarkan keadaan suatu masyarakat yang memiliki pembedaan kedudukan
secara hierarkis didalamnya. Pelapisan sosial tersebut ada yang tampak tegas
dengan berbagai norma yang mengaturnya, ada juga yang samar-samar, namun
dapat dirasakan oleh anggota masyarakatnya. Gambaran mengenai hal tersebut
juga terjadi pada masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda.
82
Kehidupan masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda
memang tidak menggambarkan adanya pelapisan sosial yang tegas, seperti
layaknya masyarakat yang berkasta, namun bukan berarti tidak ada pelapisan
sosial di sana. Sebagai buktinya, mereka masih membedakan kalau seseorang itu
dapat dikatakan sebagai orang biasa dan orang terhormat. Kondisi tersebut
menggambarkan adanya gejala penempatan status seseorang ke dalam kedudukan
yang tinggi dan yang lebih rendah dari itu. Dengan kata lain, pelapisan sosial yang
terdapat pada kehidupan masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H.
Djuanda tampak samar. Meskipun demikian mereka dapat merasakan perbedaan
tersebut.
Adanya kedudukan yang tinggi dan yang lebih rendah dalam kehidupan
masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda membuat masyarakat
membedakan sikap dan perilakunya terhadap kedua kedudukan tersebut. Pada
umumnya, mereka yang menempati kedudukan tinggi senantiasa lebih dihormati
dan disegani oleh mereka yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah. Akan
tetapi, apabila individu yang memiliki banyak harta dan berpendidikan tinggi
tidak dapat memberikan teladan dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, maka
individu tersebut tidak akan terlalu dihormati oleh masyarakat sekitar. Aktualisasi
penghormatan bisa berupa perilaku, sikap, dan penggunaan bahasa yang lebih
sopan; menyapa lebih dulu kalau bertemu, senantiasa diundang dalam setiap acara
kemasyarakatan dan lain-lain.
83
Meskipun pelapisan sosial pada masyarakat ini tampak samar, tetap saja
dapat ditelusuri dasarnya. Tolak ukur yang menjadi dasar dalam pelapisan tersebut
tentu saja status yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
Stratifikasi sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda terbagi
menjadi tiga, yaitu jalma beunghar, jalma cukup, jalma miskin. Hal ini sama
seperti yang dipaparkan Ekadjati (1995) mengenai stratifikasi sosial dalam
masyarakat desa terbagi menjadi pertama, jalma beunghar, jalma jegud atau
jalma sugih merupakan kelompok pertama dalam masyarakat yang semakin lama
kekayaannya semakin banyak. Kedua, jalma cukup yaitu kelompok menengah,
dimana masyarakat yang tingkat kekayaannya tidak menonjol, kaya sekali tidak,
namun miskin pun tidak. Ketiga, jalma miskin, jalma masakat, jalma malarat atau
jalma leutik yaitu kelompok masyarakat yang semakin lama kekayaannya
berkurang bahkan tidak sedikit yang habis dan terbelit hutang.
Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan
anggota-anggota masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda ke dalam suatu lapisan,
yaitu:
a. Ukuran kekayaan, misalnya bentuk rumah, mobil pribadi, kepemilikan
tanah.
b. Ukuran kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang
mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan.
c. Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas
dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling
84
disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Biasanya
mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
d. Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai
oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Samiati Alisjahbana (1995) dalam Ekadjati (1995: 185) juga memaparkan
bahwa kriteria bagi pelapisan sosial masyarakat desa di wilayah Priangan
didasarkan pada:
1) Pemilikan tanah yang berkaitan dengan pelaksanaan tanam paksa 2) Pemilik tanah luas, tanah sempit, dan penyewa tanah. 3) Pendidikan 4) Kedudukan dalam pemerintahan desa 5) Agama Hubungan sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda terjalin secara
harmonis. Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu masyarakat
yang homogen dengan hubungan sosial yang lebih bersifat intim dan awet (Hasil
Wawancara 6 Desember 2008). Seperti yang diungkapkan Pitirim A. Sorokin dan
Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P. E. Zop, 1970) mengemukakan
bahwa “… sebagian besar dari hubungan yang ada di kalangan masyarakat
pedesaan lebih bersifat permanen, kuat, dan awet …” (Raharjo, 1999: 44).
Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda juga sering melaksanakan
gotong royong. Kegiatan yang dilakukan antara lain aktivitas tolong menolong
antara tetangga yang tinggal berdekatan, aktivitas antara kaum kerabat (dan
kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan
pesta, aktivitas spontan tanpa pamrih dan permintaan untuk membantu secara
spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana,
85
serta pengerahan tenaga bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk
umum, misalnya pembangunan masjid dan pembangunan kantor desa.
B. Perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda
Pemaparan mengenai perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda dibagi ke
dalam dua sub-bab pembahasan, pertama membahas kondisi perbukitan Dago
Pakar dimulai dari masa Prasejarah, Pendudukan Belanda, Pendudukan Jepang,
Perang Kemeredekaan RI (1945-1949), dan perkembangannya sampai pada tahun
1985. Kedua, membahas perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda dari tahun 1985-
2007.
1. Perkembangan Awal Tahura Ir. H. Djuanda
Bentang alam spesifik kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
merupakan sebagian daerah Cekungan Bandung yang sangat khas keberadaan
rupa buminya dibanding daerah lainnya. Cekungan Bandung ini terjadi karena
adanya gejolak alam dengan periode tertentu dalam era pembentukan alam
semesta ini.
Pada permulaan Periode Plestosen (satu juta tahun yang lalu) daerah
Priangan memiliki sebuah gunung yang sangat besar dengan dasar piramidanya
+/- 20 Km2 dan ketinggiannya variable antara 3.000 m dpl sampai dengan 5.000 m
dpl yang bernama Gunung Sunda. Gunung tersebut pada periode Helosen (sebelas
ribu tahun yang lalu) mengalami erupsi/meletus yang pertama kalinya sehingga
membentuk telaga besar Situ Hyang atau Danau Bandung serta muncul anak
gunung yang diberi nama oleh orang-orang daerah tersebut dengan nama Gunung
Tangkuban Perahu. Pada kurun waktu Periode Purba (4000 – 3000 tahun lalu)
86
Situ Hyang atau Danau Purba mengalami penyusutan air melewati Aliran Sungai
Cikapundung dan Citarum dengan pintu alirannya terdapat di Sanghyang Tikoro.
Susutnya air di kaldera Situ Hyang menyebabkan terbentuknya Dataran Tinggi
Bandung yang membentang dari Cicalengka (di sebelah Timur) sampai dengan
Padalarang (di sebelah Barat) sejauh +/- 50 Km dan batas sebelah Utaranya Bukit
Dago sampai dengan Soreang (sebelah Selatan) sejauh +/- 30 Km.
Dataran Tinggi Bandung yang terbentuk secara geologi akibat adanya
endapan batuan gunung api yang sudah lapuk juga menyebabkan pendangkalan
danau purba sehingga menjadi kering. Dataran tinggi yang berada di sebelah utara
yaitu bukit Dago atau Dago Pakar ternyata menjadi salah satu pemukiman yang
memadai bagi manusia prasejarah. Soewarno (2004: 9) memaparkan bahwa:
...dari beberapa lokasi di kawasan pegunungan Bandung Utara, rupanya hanya di daerah Dago Pakar yang paling memadai, sebab pencapaiannya dari tepi danau topografi medannya landai, dan lagi dekat alur Sungai Cikapundung. Demikian pula tepi danau yang terdekat terletak di Jalan Dipenogoro sekarang, sedang muara Sungai Cikapundung ini tidak terlalu jauh letaknya. Analisis ini dilakukan berdasarkan interpretasi peta topografi dan endapan danau yang membentuk struktur yang disebut kipas aluvium. Melalui kedua lokasi inilah kemungkinan para nelayan prasejarah mencari ikan di danau dan juga menyebranginya untuk menjelajah alam mencari sumber daya lainnya. Hal ini didasarkan pada berbagai piranti kebutuhan hidup yang terbuat dari beberapa bentuk dan jenis batuan untuk pembuatan piranti prasejarah seperti kapak, pisau, mata anak panah, dan sebagainya. Tersebarnya batuan hasil kegiatan gunung api yang disebut batu pasir
tufaan (Batu pasir yang mudah diresapi bisa memelihara kelembaban lapisan
tanah, sedangkan tufa atau abu gunung api menjadi penyubur tanah) di bukit Dago
menyebabkan tanahnya sangat subur untuk pertanian dan bentangan pegunungan
dari barat sampai ke timur di kawasan ini merupakan “tangki air raksasa alamiah”
87
untuk cadangan air di musim kemarau. Tataan alam yang penuh fasilitas alam
inilah yang menjadi daya tarik manusia prasejarah untuk memanfaatkan
kawasan ini untuk dijadikan sebagai tempat bermukim, bermasyarakat, serta
mengembangkan kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya. Kegiatan manusia
prasejarah masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, karena
keterbatasan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia
prasejarah hanya meninggalkan piranti sejarah berupa artefak. Berikut adalah
daftar artefak yang ditemukan di Bukit Dago, yaitu:
Tabel 4.3 Daftar Artefak di Bukit Dago KO 380
Jenis Artefak Keterangan
Obsidian Melimpah Batu Asah/Poles pecahan kapak batu terpoles Ada Bentuk Cetakan/Coran Logam Melimpah Serpihan/pecahan tembikar Melimpah Keramik setempat Ada Guci-guci Melimpah Manik-manik gelas dan kenergi Melimpah Siang besi Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-9 sampai 12 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-9 sampai 12 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-13 sampai 14 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-15 sampai 16 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-17 sampai 18 Ada
Sumber: Prof. Dr. R. P. Koesoemadinata dalam Suganda, 2007: 36
Perbukitan Pakar pernah menjadi tempat yang sangat menarik untuk
strategi militer, karena lokasinya yang terlindungi dan begitu dekat dengan pusat
Kota Bandung yang memiliki berbagai fasilitas militer. Daerah ini pernah
digunakan oleh kegiatan militer Belanda dan Jepang.
Pada masa pendudukan Belanda, kawasan Tahura Ir. H. Djuanda
merupakan kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari berdasarkan proses Verbal
88
tanggal 27 September 1922 yang dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda
melalui Bosche Wezen. Pada awal tahun 1941 tentara militer Hindia Belanda
membangun jaringan gua di dalam perbukitan batu pasir Tufaan. Pada mulanya,
gua ini digunakan untuk terowongan PLTA Bengkok, kemudian pada suasana
Perang Dunia II berfungsi sebagai pusat Stasiun Radio Telekomunikasi Militer
Hindia Belanda. Pendirian stasion radio ini dikarenakan stasion radio di Gunung
Malabar tidak mungkin untuk dilindungi dan dipertahan dari serangan udara
karena tempatnya yang terbuka dari udara. Stasion radio dan telekomunikasi ini
belum terpakai secara optimal, tapi pernah digunakan Panglima Angkatan Perang
Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten melalui Laksamada Mayda Helfrich
untuk berhubungan dengan Panglima Armada Sekutu Laksamana Muda Karel
Doorman agar mencegah masuknya Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang
mengangkut pasukan mendarat di Pulau Jawa. Namun usaha ini gagal dan seluruh
pasukan pendarat berhasil mendarat dengan selamat di bawah komando Letnan
Jenderal Hitoshi Imamura.
Pada tanggal 10 Maret 1942 dengan resmi angkatan perang Hindia
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Bala Tentara Jepang dengan upacara
sederhana di Balai Kota Bandung. Penyerahan tanpa syarat ini mengakibatkan
semua instalasi militer Hindia Belanda dikuasai seluruhnya oleh Jepang. Dengan
berkuasanya Jepang, maka tentara Jepang membangun jaringan gua tambahan
untuk kepentingan pertahanan di Pakar, tidak jauh dari Gua Belanda.
Pembangunan ini dilakukan oleh para tenaga kerja secara paksa yang pada saat itu
disebut “Romusha” atau “nala karya”. Selama pendudukan Jepang di Indonesia,
89
daerah Pakar yang sekarang ini menjadi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
digunakan untuk kepentingan pertahanan militer Jepang dan tertutup bagi
masyarakat. Gua Jepang digunakan sebagai tempat radio komunikasi Tentara
Jepang dan sebagai tempat pertahanan, sedangkan Gua Belanda digunakan
sebagai gudang Mesiu.
Pada masa Kemerdekaan RI (1945-1949), Pakar dan daerah di sekitarnya
dijadikan lintasan para pejuang gerilya yang masuk ke kota Bandung dari arah
utara pada malam hari. Daerah ini menjadi sangat strategis sebagai jalur lintasan
pejuang gerilya karena daerah ini sepi dan masih penuh dengan semak belukar
serta patroli tentara Belanda dilakukan pada siang hari. Di sekitar daerah ini juga
sudah ada perkampungan penduduk yang juga dipenuhi oleh semak belukar.
Penduduk di perkampungan itu membantu para pejuang gerilya dengan menjadi
petunjuk jalan, informan, penyedia tempat untuk berkumpul, pemberi bekal
makanan dan tugas logistik lainnya.
Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 kawasan
Tahura Ir. H. Djuanda secara resmi menjadi kawasan hutan milik negara yang
dikelola oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Jawatan kehutanan. Pada
tahun 1960 Bapak Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir. Sambas Wirakusumah
(Adm. Bandung Utara) serta dukungan dari Bapak Ismail Saleh (Menkeh RI) dan
Bapak Soejarwo (Menhut RI) merintis untuk melaksanakan pembangunan agar
terjaga dari perambahan tanah kehutanan oleh mereka yang tidak bertanggung
jawab. Pada tahun 1963 bersamaan dengan meninggalnya Ir. H. Djuanda, hutan
lindung tersebut diabadikan namanya menjadi Kebun Raya Rekreasi Ir. H.
90
Djuanda oleh Bapak Mashudi. Nama Ir. H. Djuanda diambil untuk menghargai
dan mengabadikan pahlawan nasional dari Tatar Sunda yang diharapkan
semangat nasionalismenya akan menjadi suri tauladan bagi generasi yang akan
datang. Pada tahun ini juga jalan Dago dinamakan jalan Ir. H. Djuanda.
Pembangunan Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda dilakukan dengan
mengadakan kerjasama dengan Botanical Garden Bogor, dengan penanaman
koleksi tanaman yang terdapat di Bogor serta penanaman jenis tumbuhan kayu
asing berasal dari luar negeri di lahan seluas 30 ha yang terletak di sekitar Plaza
dan Gua Jepang.
Pada 23 Agustus 1965 Bapak Mashudi meresmikan Kebun Raya Rekreasi
Ir. H. Djuanda menjadi Kebun Raya Hutan Rekreasi Ir. H. Djuanda sebagai
Embrio Tahura seluas +/- 30 ha dan dikelola oleh Jawatan Kehutanan Provinsi
Jawa Barat.
Pada tahun 1978-1985 terjadi pergantian pengelola. Dinas Kehutanan
(2007: 5) memaparkan bahwa:
Pada tahun 1978 dari Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat diserahkan ke Unit III Perum Perhutani Jawa Barat. Pada 6 Agustus 1980 dengan SK Mentan diserahkan dari Perum Perhutani ke Dirjen PHPA, Balai KSDA 1 Jabar bersama Curug Dago (SK. Mentan No. 575/kpts/UM/8/1980) seluas 590 ha. Dengan SK. MENHUT tanggal 12 November 1984 beralih dari Taman Wisata Arboretum Nasional dengan nama Tahura Ir. H. Djuanda. Berdasarkan Kepres No. 3/1985 tanggal 14 Januari 1985 ditetapkan sebagai Tahura Ir. H. Djuanda seluas 590 ha dan pengelolaanya diserahkan kepada Perum Perhutani yang dibina oleh Dirjen PHPA berdasarkan SK. Menhut No. 192/kpts-2/1985, tanggal 30 Juli 1985 sampai dengan tahun 2003. Tahura Ir. H. Djuanda diserahkan ke Pemprov Jabar cq. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK. Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003.
91
2. Perkembangan Kawasan Wisata Tahura Ir. Djuanda (1985-2007)
Presiden Soeharto pada 14 Januari 1985 meresmikan TWA Curug Dago
sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Peresmian ini diharapkan berfungsi
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan, satwa asli atau bukan asli. Keunikan dan keindahan panorama
alamnya dapat dimanfaatkan secara lestari untuk konservasi, koleksi, edukasi,
rekreasi serta secara tidak langsung dapat meningkatkan sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya dan PAD Provinsi Jawa Barat. Undang-Undang Nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
memaparkan bahwa:
“Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai koleksi tumbuhan dan satwa, baik jenis asli maupun bukan asli untuk dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi” (Dinas Kehutanan, 2007: 02). Berkembangnya suatu daerah menjadi tempat wisata, sehingga menarik
wisatawan untuk berkunjung dapat dilihat dari aksesbilitas, hal-hal yang dapat
dilihat dan dinikmati, wisatawan dapat beraktivitas dan membeli makanan atau
cinderamata, serta tempat tinggal sementara. Maryani (1991: 11) juga
menambahkan bahwa berkembangnya suatu daerah untuk menjadi suatu daerah
wisata agar dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan dapat dilihat dari:
1. How to arrive 2. Something to see 3. Something to do 4. Something to buy 5. How to stay
92
Berdasarkan pendapat di atas, maka pemaparan selanjutnya akan
dipaparkan mengenai objek daya tarik wisata, sarana dan prasarana, dan
pengelolaan kawasan wisata.
a. Objek Daya Tarik Wisata
Objek dan daya tarik wisata merupakan dasar bagi kepariwisataan. Objek
dan daya tarik wisata adalah suatu bentuk dasar aktivitas dan fasilitas yang saling
berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang
ke suatu daerah tertentu.
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu kawasan yang bisa dijadikan
tempat untuk berwisata. Objek daya tarik wisata di Tahura Ir. H. Djuanda yaitu:
1) Plaza Monumen Ir. H. Djuanda, sesuai dengan salah satu tujuan dan
pembangunan Taman Hutan Raya ialah untuk menghormati
perjuangan Ir. H. Djuanda, maka di Tahura Ir. H. Djuanda terdapat
patung Ir. H. Djuanda yang terletak pada suatu pelataran/plaza yang
relatif Iebih tinggi dari tempat sekitarnya.
2) Kolam Pakar merupakan kolam buatan dengan luas 115 Ha berfungsi
sebagai tempat penarnpungan air dan Sungai untuk PLTA Bengkok.
3) Curug Dago merupakan sebuah pemandangan alam ekosistem hutan
dan perkampungan pada kiri kanan aliran sungai Cikapundung,
terdapat air terjun sungai Cikapundung setinggi ± 15 M. Tempat
istirahat yang sejuk dibawah pohon-pohon hutan. Terletak dekat
93
terminal Dago berjarak ± 1 Km ke arah barat, hanya dapat dicapai
dengan jalan kaki.
4) Prasasti Thailand merupakan batu prasasti berbahasa dan beraksara
Thailand peninggalan Raja Thaland Chulalongkorn II (Rama V) untuk
monjelaskan kunjungan peziarahannya ke Bandung beserta rombongan
pada 1896 M.
5) Goa Belanda merupakan goa peninggalan Belanda yang memiliki nilai
historis. Dibangun pada awal tahun 1941, dahulu digunakan untuk
terowongan PLTA Bengkok, kemudian pada suasana perang
kemerdekaan berfunngsi sebagai pusat Stasiun Radio Telekomunikasi
Militer Hindia Belanda. OIeh Jepang digunakan sebagai gudang mesiu.
Dipakai sebagai penyelusuran goa, karena memiliki nilai historis dan
dapat dimasuki dengan aman.
6) Goa Jepang merupakan goa tambahan yang dibangun oleh tentara
Jepang pada tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah
sebelumnya Pemerintah Sipil Hindia Belanda menyerah tanpa syarat
kepada tentara Jepang. Pembangunan Goa ini dilakukan oleh tenaga
kerja pribumi secara paksa yang dikenal dengan “romusha”. Tempat
radio komunikasi Tentara Jepang tempo dulu. Saat ini dipakai sebagai
penyelusuran goa karena memiliki nilai historis dan dapat dimasuki
dengan aman.
7) Curug Omas merupakan fenomena air terjun Cikapundung setinggi ±
30 M. Berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Hawanya
94
sejuk dan masih asri Lingkungannya. Aliran sungai Cikapundung
dapat digunakan untuk kegiatan olah raga menyusuri sungai.
8) Curug Lalay merupakan fenomena goa dengan bebatuan yang terjal
yang ditempati burung dan kelelawar. Ditengahnya mengalir Sungai
Cikapundung. Lokasi antara Pakar dan Maribaya.
9) Patahan Lembang merupakan fenomena alam yang dikenal dengan
(Lembang Fault) Seluruh kawasan Tahura Ir. H. Djuanda memiliki
satu jenis batuan, yaitu batuan vulkanik yang berkembang dari jaman
kwarter tua. Salah satu fenomena geomorphologi yang paling khas di
wilayah ini adalah Patahan Lembang (Lembang Fault). Letak patahan
ini berada di Maribaya yang Sekaligus merupakan batas bawah dari
Sub DAS Cikapundung Hulu. Fenomena Patahan Lembang ini apabila
diamati akan nampak berupa lineament, yaitu struktur geologi yang
membentuk garis lurus membujur arah Barat Laut-Tenggara. Secara
fisik di lapangan patahan ini berupa punggung bukit atau ngarai terjal
(escarpment) yang membujur Iurus, struktur geologi ini, mengontrol
aliran sungai, sehingga aliran sungai Sub DAS Cikapundung HuIu
berbelok dan mengalir mengikuti arah patahan.
10) Koleksi flora yang beraneka ragam, seperti Sosis (Kegelia aethiopica)
yang berasal dari Afrika, Jacaranda filicifolia yang berasal dari
Amerika Selatan Mahoni Uganda (Khaya anthotheca) berasal dari
Afrika, Pinus Meksiko (Pinus montecumae), Cengal Pasir (Hopea
odorata) dari Burma, Cedar Hodura (Cadrela mexicum M Roam) dari
95
Amerika Tengah, Cemara Sumatera (Casuarina sumatrana), Bayur
Sulawesi (Pterospermum celebicum), Ampupu atau Kayu Putih
(Eucalyptus alba), Mangga (Mangifera indica) dari Jawa, Ki Bima
(Podocarpusblume).
11) Koleksi fauna yang bisa dinikmati yaitu Kera Ekor Panjang (Macaca
fascicularis), Burung Kacamata (Zoeterops palpebrosus), Perenjak
Jawa (Prinia flaviventris), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides),
Burung Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), Kepodang (Oriolus
chinensis), Kutilang (Plenonotus caferaurigaster), Ayam Hutan
(Galus-galus banriva), Musang (Paradoxurus hermaproditus),
Sero/Linsang Air (Amblonix Cinerea), Tupai (Collosciurus notatus),
capung dan kupu-kupu.
Pada tahun 1985 dibangun sebuah Plaza Monumen yang merupakan
sebuah plaza yang relatif lebih tinggi dari tempat sekitarnya, terdapat sebuah
patung Ir. H. Djuanda untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda. Selama
kurun waktu 1985-2007, pihak pengelola melakukan pemeliharaan objek wisata
yang sudah ada pada tahun-tahun sebelumnya, seperti Gua Jepang, Gua Belanda,
Koleksi Flora dan Fauna.
Pada tahun 2006 dilakukan penambahan atraksi wisata yaitu Rumah Flora
atau Rumah Aklimatisasi. Tujuan pembangunan Rumah Aklimatisasi ini yaitu
untuk mengadaptasikan spesimen hidup yang diambil dari lokasi eksplorasi
ditempat yang baru. Jenis tumbuhan yang terdapat di rumah tersebut berasal dan
eksplorasi tumbuhan dari daerah Bengkulu (Begonia isoptera, Eria sp., Gunnera
96
macrophylla, Sellaginella sp., Dillenia sp. Amorphophallus sp., dll) dan dari
daerah Jambi (Bulbophyllum sp., Appendicula sp., Corimborkis sp., Polyalthia
sp., Garcinia spp. dll).
Renovasi Jogging-Track dengan memakai paving block juga dilakukan di
tahun 2006. Jogging-track ini merupakan jalan setapak menyusuri pinggiran
sungai yang berhutan menuju ke puncak Bukit Pakar, sejauh ± 5 km Pakar –
Maribaya. Jalan setapak ini juga bisa digunakan untuk tempat olah raga jogging di
pagi hari karena udaranya yang bersih dan dapat digunakan untuk melihat
panorama Tahura serta pemandangan Kota Bandung.
Berdasarkan pemaparan objek daya tarik wisata di atas, selama kurun
waktu 1985-2007 hal-hal yang bisa dilihat (something to see) di Tahura Ir. H.
Djuanda yaitu Curug Omas, Gua Jepang dan Gua Belanda, Curug Dago,
Monumen Ir. H. Djuanda, keindahan alam, serta berbagai jenis tumbuhan yang
berasal dari berbagai daerah yang tersusun dengan rapi. Adapun kegiatan wisata
alam yang dapat dilakukan (something to do) seperti, bersantai sambil menikmati
keindahan alam, lintas alam, penelusuran gua, memotret, dan wisata ilmiah
berupa identifikasi jenis pohon.
Selama kurun waktu 1985-2007 objek daya tarik wisata tidak terlalu
banyak. Padahal beberapa tahun terakhir ini, di wilayah Bandung khususnya
sudah mulai bermunculan objek wisata baru yang lebih menarik wisatawan untuk
berkunjung, misalnya out bond center. Tahura Ir. H. Djuanda yang merupakan
tempat yang sangat strategis digunakan untuk out bond lengkap dengan arung
jeram menyusuri sungai Cikapundung. Selain itu, masyarakat sekitar yang
97
merupakan asli masyarakat sunda dapat dibina untuk menampilkan pagelaran
seni, seperti angklung, jaipongan, dan gamelan. Hal ini dapat dilakukan karena
Tahura Ir. H. Djuanda memiliki sebuah Open Stage.
b. Sarana dan Prasarana
Suatu objek wisata harus memiliki sarana dan prasarana wisata agar
kebutuhan wisatawan dapat terpenuhi. Kenyamanan dan kelengkapan sarana dan
prasarana akan mempengaruhi perkembangan suatu objek wisata.
Pihak pengelola Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda selama kurun waktu
1985-2007 telah membangun beberapa fasilitas sebagai upaya untuk
meningkatkan kunjungan wisatawan, berupa: pusat informasi, mushola, lokasi
parkir, jalan, warung makan, toilet, shelter, tempat bermain anak, lapangan tenis,
papan penunjuk arah, sarana olahraga pull up, jogging track. Selain itu, Pihak
pengelola bekerjasama dengan masyarakat sekitar membangun sebuah lapak
dagang, sehingga wisatawan dapat memenuhi kebutuhannya.
Peningkatan pengunjung pada tahun 1987, mengakibatkan pihak pengelola
menambah satu buah pos dengan membangun sebuah pos besar lengkap dengan
tempat parkir yang sangat luas, shelter-shelter atau gazebo, serta sebuah areal
taman bermain yang merupakan tempat bermain anak-anak di bawah pohon
rindang yang sejuk lengkap dengan ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan lain-
lain (Hasil Wawancara 16 Oktober 2008).
Pada tahun 2006, pengelola membangun sebuah mushola di dekat Curug
Omas dan melakukan perbaikan jalan dengan mengaspal jalan utama menuju ke
98
Tahura Ir. H. Djuanda. Pada tahun 2007 dibangun Open Stage (panggung terbuka)
yang berupa panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat atau
pengunjung dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi yang mampu
menampung berkisar kurang lebih 200 orang.
Hasil penelitian menunjukkan penyediaan sarana dan prasarana di
kawasan wisata Tahura sudah bisa menyediakan kebutuhan wisatawan, seperti
adanya mushola, toilet, open stage, shelter, dan taman bermain. Seiring dengan
perkembangan teknologi, seharusnya penyediaan sarana dan prasarana harus lebih
ditingkatkan dan disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku serta tidak
merusak lingkungan. Peningkatan ini bertujuan agar Tahura Ir. H. Djuanda bisa
bersaing dengan kawasan wisata lain. Dengan demikian wisatawan akan lebih
tertarik untuk berkunjung ke Tahura Ir. H. Djuanda.
c. Aksesbilitas
Kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda terletak ± 7 km di sebelah utara
Kota Bandung dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi dan
angkutan umum. Pada tahun 1985 angkutan umum hanya sampai terminal Dago,
dari terminal Dago, bagi pengunjung yang menggunakan angkutan umum harus
berjalan kaki. Seiring dengan program pemerintah, maka pada perkembangannya
untuk mencapai Tahura Ir. H. Djuanda bisa ditempuh dengan menggunakan
Angkot jurusan Ciburial-Ciroyom, Caringin-Dago, dan ojeg.
99
Kawasan ini dapat dimasuki dari berbagai jurusan yaitu:
1) Melalui Terminal Dago Bandung berkisar 2 Km dengan kondisi jalan
telah dihotmix, dapat ditempuh memakai kendaraan roda dua, roda
empat, dan bis.
2) Melalui jalan Ciumbuleuit-Punclut berkisar 6 Km. Pada tahun 1985-
2004 kondisi jalan kampung masih tanah, dapat ditempuh dengan
kendaraan roda dua trail, akan tetapi setelah tahun 2005 kondisi jalan
sudah membaik dan bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat.
3) Melalui Lembang-Maribaya berkisar 4 Km dengan kondisi jalan telah
dihotmix dapat ditempuh memakai kendaraan roda dua, roda empat
dan bis.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa kemudahan akses menuju
kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda menjadi salah satu faktor
berkembangannya kawasan ini. Aksesbilitas penting diperhatikan, karena dapat
memberikan pengaruh yang besar bagi wisatawan. Jaringan transportasi, kondisi
jalan, jenis angkutan, waktu tempuh, dan tarif angkutan merupakan beberapa hal
yang dapat mempengaruhi aksesbilitas. Suatu objek wisata yang memiliki akses
yang baik, maka jumlah wisawatawan yang berkunjung akan semakin banyak.
Sebaliknya, jika aksesnya kurang baik, berbagai hambatan dalam kunjungan dapat
dirasakan oleh wisatawam, sehingga berdampak pada berkurangnya jumlah
pengunjung.
100
d. Pengelolaan
Perencanaan dan pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran secara serasi dan seimbang, serta optimalisasi potensi
yang ada. Peran pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan ini sangat
menentukan keberhasilannya, secara garis besar penyediaan infra struktur dan
memperluas jaringan kerja aparatur pemerintah dengan pihak swasta, pengaturan
dan promosi umum ke dalam negeri dan luar negeri, serta dalam hal pengaturan
kebijakan dan pengambilan keputusan.
Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda pada tahun 1985 sampai 2003 dikelola
oleh Perum Perhutani dibina oleh Dirjen PHPA berdasarkan Kepres No. 3/1985
tanggal 14 Januari 1985 dan SK. Menhut No. 192/kpts-2/1985, tanggal 30 Juli
1985. Perum Perhutani merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang melaksanakan kegiatan perencanaan, pembinaan dan
pengembangan sumber daya hutan, produksi, industri, pemasaran dan lebih
meningkatkan kegiatan sosial berupa pemberdayaan sumber daya masyarakat,
khususnya masyarakat desa hutan melalui kelembagaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda selama
kurun waktu 1985-2002 lebih melibatkan masyarakat sekitar. Masyarakat diajak
berdiskusi untuk menyelesaikan masalah Tahura Ir. H. Djuanda, seperti
peningkatan pengunjung, kebersihan dan keamanan hutan, dan pembangunan
sarana dan prasarana.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah pengunjung,
yaitu mengadakan promosi melalui pamflet, brosur, leaflet, dan siaran TV. Pada
101
tanggal 14 Januari 1985 bertepatan dengan peresmian Tahura Ir. H. Djuanda oleh
Presiden Soeharto, Stasiun TVRI menyiarkan siaran langsung dan tunda
peresmian tersebut. Promosi ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah
pengunjung (Hasil Wawancara 8 November 2008).
Pihak pengelola juga mengadakan kerjasama dengan Dinas Pariwisata
Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Provinsi Jawa Barat. Bentuk
kerjasamanya berupa promosi melalui berbagai kegiatan promosi. Selama kurun
waktu 1985-2007 belum ada kerjasama dalam hal penyediaan sarana dan
prasarana.
Pada tahun 2000, kawasan ini pernah diusulkan menjadi Budaya Lembur
Sunda, namun usulan ini ditentang karena fungsinya harus tetap dijaga sebagai
kawasan hutan lindung, seperti yang diungkapkan oleh Suganda (2007: 35) yaitu
Kawasan seluas 60 hektar itu diharapkan menjadi model pemberdayaan dan pembangunan lingkungan masyarakat yang mengacu pada tradisi masyarakat Sunda. Namun rencana tersebut ditentang karena fungsinya harus tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung. Pada tahun 2003 berdasarkan SK. Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24
Maret 2003, pengelolaan diserahkan kepada Dinas Kehutanan melalui UPTD
Tahura Ir. H. Djuanda. Dinas Kehutanan lebih mengutamakan kawasan tahura
sebagai kawasan konservasi alam yang harus dijaga kelestariannya, karena Tahura
Ir. H. Djuanda merupakan suatu hutan lindung yang berfungsi sebagai paru-paru
Kota Bandung (wawancara 27 Agustus 2008). Adapun tujuan pengelolaan
kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yaitu:
1. Terjaminnya kelestarian kawasan hutan dan ekosistemnya 2. Terbinanya koleksi tumbuhan dan satwa serta potensi sumber daya
alam kawasan Taman Hutan Raya.
102
3. Optimalnya manfaat Taman Hutan Raya untuk wisata alam, penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, adat istiadat/budaya bagi kesejahteraan masyarakat.
4. Terbentuknya Taman Hutan Raya Provinsi yang menjadi kebanggaan provinsi Jawa Barat. (Dinas Kehutanan, 2007: 11)
Perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda selama kurun waktu 1985-2007
mengalami pasang surut. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah
pengunjung selama kurun waktu 1985-2007 juga mengalami kenaikan dan
penurunan. Berikut ini merupakan perkembangan jumlah pengunjung tahun 2003-
2007:
Tabel 4.4 Perkembangan Jumlah Pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda
Tahun 2003-2007
Sumber: UPTD Tahura Ir. H. Djuanda. 2007. Laporan Jumlah Wisatawan Tahura Ir. H. Djuanda. Bandung: UPTD Tahura Ir. H. Djuanda.
Data yang disajikan pada tabel di atas tidak berurutan berdasarkan tahun
kajian yaitu dari tahun 1985-2007 karena keterbatasan sumber. Adapun jumlah
pengunjung dari tahun 2003-2007 mengalami kenaikan dan penurunan. Pada
tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 0,26% dan pada tahun 2005 mengalami
penurunan sebesar 0,96%. Pada tahun 2006 dan 2007 jumlah pengunjung mulai
mengalami kenaikan kembali. Kenaikan pada tahun 2007 sebesar 0,28%.
103
Kenaikan jumlah wisatawan biasanya terjadi bulan Juni, Juli, Oktober, dan
November. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut merupakan musim liburan
sekolah, sehingga masyarakat pada umumnya berrekreasi untuk mengisi liburan
sekolah. Lain halnya pada bulan- bulan lain yang merupakan bulan sibuk untuk
sekolah dan bekerja, sehingga waktu untuk berrekreasi pun sedikit.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan jumlah pengunjung,
apabila dilakukan perbandingan antara kurun waktu setelah diresmikan pada tahun
1985 dengan tahun 2007. Pada tahun 2007 memang mengalami kenaikan jumlah
pengunjung, namun jumlah pengunjung pada tahun ini merupakan jumlah yang
sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pengunjung pada awal-awal peresmian
Tahura Ir. H. Djuanda. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Asep dan
beberapa pedagang di Tahura Ir. H. Djuanda. Pak Asep memaparkan bahwa:
Jumlah pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda setelah diresmikan oleh Presiden Soeharto mengalami peningkatan. Antrian pengunjung sampai ke terminal dago. Karena pengunjung yang sangat banyak, maka banyak dari pengunjung yang memarkirkan kendaraannya di wilayah Tegalega sekarang (Hasil Wawancara 16 Oktober 2008). Pak Irawan juga menjelaskan bahwa:
Lima tahun terakhir ini pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda mengalami penurunan pengunjung, apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah bosan dengan objek daya tarik wisata yang ada, seperi gua, kolam, air terjun, dan koleksi flora dan fauna (Hasil Wawancara 10 Juni 2008). Faktor penyebab penurunan ini diakibatkan oleh beberapa faktor, antara
lain, pertama kurang adanya penambahan objek daya tarik wisata. Objek daya
tarik wisata ini menjadi hal yang sangat penting, karena minat wisatawan
dipengaruhi oleh daya tarik wisata.
104
Seiring dengan bermunculannya objek wisata lain di berbagai daerah
khususnya di Bandung, seharusnya Tahura Ir. H. Djuanda lebih ditingkatkan lagi
dalam hal sarana dan prasarana wisata alam di Tahura Ir. H. Djuanda,
peningkatan peran Komisi Kerjasama Pemanfaatan Obyek Wisata Alam Daerah,
intensifikasi pemungutan retribusi karcis masuk Tahura, pengembangan daya tarik
wisata alam Tahura, pengendalian penerimaan kehutanan dari wisata alam,
pembinaan dan pengembangan usaha wisata alam, pembinaan dan pengelolaan
pengunjung wisata. Tujuan peningkatan ini agar tidak terjadi penurunan minat
wisatawan untuk berkunjung. Dalam hal ini M. J. Prajogo menyatakan bahwa:
“Pengembangan pariwisata merupakan usaha yang terus menerus. Pengembangan itu harus mampu memberikan daya saing terhadap daerah tujuan wisata lain, baik dari segi pelayanan, atraksi, maupun objek wisata, dan lain sebagainya sehingga dapat menyesuaikan dengan selera wisatawan” (Spillane, 1987: 130). Kedua, perbedaan tujuan pengelolaan. Pada kurun waktu 1985-2003 pihak
pengelola yaitu Perum Perhutani berusaha keras untuk melakukan peningkatan
jumlah pengunjung. Hal ini dilakukan karena biaya perawatan dan gaji pegawai
berasal dari hasil tiket masuk pengunjung. Selain itu Perum Perhutani merupakan
perusahaan umum yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya alam hutan.
Berbeda halnya pada kurun waktu 2003-2007 yang dikelola oleh Dinas
Kehutanan. Dinas Kehutanan lebih memfokuskan pada usaha untuk melindungi
kawasan Tahura Ir. H. Djuanda sebagai konservasi yang harus dilindungi. Hal ini
menyebabkan terjadinya pembatasan jumlah pengunjung.
105
Perkembangan kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda juga dilihat dari
berbagai usaha yang dilakukan oleh pengelola. Dalam hal ini Spillane (1987:
129-130) berpendapat bahwa:
“Kemajuan pengembangan pariwisata sebagai industri, ditunjang oleh bermacam-macam usaha yang perlu dikelola secara terpadu dan baik, diantaranya ialah: (1) promosi untuk memperkenalkan objek wisata; (2) transportasi yang lancar; (3) kemudahan keimigrasian atau birokrasi; (4) akomodasi yang terjamin penginapan yang nyaman; (5) pemandu wisata yang cakap; (6) penawaran barang dan jasa dengan mutu terjamin dan harga yang wajar; (7) pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik; (8) kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup”. Berdasarkan pendapat di atas, usaha yang belum dilakukan selama kurun
waktu 1985-2007 antara lain penyediaan penginapan, pengisian waktu dengan
atraksi-atraksi yang menarik. Adanya dua unsur dalam mata rantai kegiatan
pariwisata yang belum digarap secara sempurna mengakibatkan Tahura Ir. H.
Djuanda dapat kalah bersaing dengan objek wisata lain. Keseluruhan delapan
unsur di atas menjadi pertimbangan bagi wisatawan untuk berkunjung. Hal ini
berarti, jika salah satu dari mata rantai itu lemah, maka mengakibatkan kegagalan
dalam upaya pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda.
Ndaru Mursito dalam Spillane (1987: 130) menekankan bahwa:
“…menelantarkan pembenahan bagian tertentu akan dapat menghambat perkembangan industri pariwisata pada umumnya. Jadi terjaminnya peningkatan pariwisata mutlak membutuhkan mantapnya koordinasi dan kerja sama yang saling bahu-membahu diantara pelbagai pihak yang menunjang pariwisata”. Kerjasama merupakan kunci keberhasilan perkembangan Tahura Ir. H.
Djuanda selama kurun waktu 1985-2007. Kerja sama tersebut dilakukan dalam
berbagai cara, misalnya kerja sama dalam pembinaan produk wisata, pemasaran,
dan kerja sama dalam usaha-usaha pembinaan masyarakat.
106
C. Dampak Keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda Terhadap Mobilitas
Sosial Masyarakat Sekitar (1985-2007)
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu kawasan konservasi hutan yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, budaya, dan
pariwisata. Peningkatan jumlah pengunjung setelah tahun 1985 mengakibatkan
masyarakat tertarik untuk bekerja di sekitar kawasan ini.
Pada awal tahun 1985 masyarakat sekitar hanya diperbolehkan untuk
berjualan di luar kawasan Tahura. Namun pada pertengahan tahun 1985, pihak
pengelola mulai melakukan relokasi pedagang di dalam kawasan Tahura. Pada
pertengahan tahun ini juga masyarakat sekitar mulai bekerja dalam bidang yang
beragam di Tahura Ir. H. Djuanda. Pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat
sekitar, seperti pedagang, pemandu, tukang ojeg, tukang senter, dan pengelola
Tahura Ir. H. Djuanda sebagai penjaga keamanan serta penjaga kebersihan
(Wawancara 27 Agustus 2008).
Masyarakat bekerja sebagai apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Alasan mereka tetap bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda selama 22 tahun
yaitu, pertama, pendidikan dan keahlian yang rendah. Kedua, jarak yang dekat
dengan tempat tinggal mereka, sehingga tidak memerlukan biaya transportasi.
Ketiga, sulit mencari tempat untuk berjualan, sehingga mereka tetap bertahan
berjualan di Tahura Ir. H. Djuanda.
Sebelum mengkaji tentang mobilitas sosial, dibawah ini akan dipaparkan
dampak Tahura Ir. H. Djuanda terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
107
sekitar. Adapun pemaparannya terdiri dari etos kerja, hubungan sosial, stratifikasi
sosial, kesejahteraan sosial, dan pendidikan.
1. Etos kerja
Selama kurun waktu 1985-2007 etos kerja masyarakat sekitar yang bekerja
mengalami turun naik. Arep dan Tanjung (2003: 156) menjelaskan bahwa “etos
kerja (Ing: ethos) adalah jiwa atau watak seseorang dalam melaksanakan tugasnya
yang dipancarkan ke luar, sehingga memancarkan citra positif atau negatif kepada
orang luar orang bersangkutan.”
Pada awal tahun 1985 masyarakat sekitar Tahura Ir. Djuanda mulai
merintis usaha untuk berjualan. Semangat untuk memperbaiki kehidupan menjadi
lebih baik merupakan motivasi utama mereka bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda.
Ada juga dari masyarakat yang memberanikan diri untuk berjualan asongan di
dalam kawasan Tahura. Mereka sembunyi-sembunyi dari pihak pengelola karena
diawal tahun 1985 pedagang dilarang masuk ke kawasan ini.
Berly memaparkan bahwa:
Saya mulai mencari uang di Tahura ini sejak diresmikannya tempat ini oleh Presiden Soeharto. Ketika itu saya masih SD dan menjadi pedagang asongan. Saya bersama pedagang lain sering berjualan di dalam kawasan Tahura. Kita sering ucing sumput dengan pengelola. Hal ini kita lakukan agar kami bisa mendapatkan penghasilan.(Hasil Wawancara 22 Desember 2008) Kebijakan pengelola dipertengahan tahun 1985 untuk merelokasi
pedagang ke dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda memberikan semangat yang
luar biasa kepada masyarakat sekitar. Kerjasama pengelola dengan masyarakat
menghasilkan suatu lapak-lapak dagang tempat mereka mencari nafkah.
108
Masyarakat sekitar mulai memanfaatkan kebijakan pengelola ini. Mereka
mulai mendirikan warung-warung dengan bahan dasar kayu dan bahan-bahan lain
yang ramah lingkungan. Setiap hari mereka giat bekerja dari jam 8 pagi sampai
jam 4 sore. Khusus hari libur mereka bekerja lebih awal dan pulang lebih akhir.
Hal ini mereka lakukan karena pada hari libur pengunjung yang datang akan
meningkat dibandingkan hari biasa. Dengan demikian diharapkan penghasilan
mereka pun akan bertambah dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pada awal tahun 1985
masyarakat sekitar memiliki etos kerja yang tinggi. Dikatakan demikian karena
mereka disiplin, kerja keras, dan memiliki persepsi untuk memiliki kehidupan
yang lebih baik.
Herell dalam Setiawan (2007) mengungkapkan bahwa etos kerja itu
adalah:
1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat.
2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dengan jaminan masa depan.
3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan keturunan.
Seiring dengan menurunnya jumlah pengunjung dan pergantian pengelola
pada tahun 2003, etos kerja pun semakin menurun. Hal ini terlihat dari motivasi
kerja mereka. Kerja bagi mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
saja. Penghasilan mereka digunakan untuk menunjang kebutuhan hidup anak dan
istri. Mereka tidak mencoba bekerja di tempat lain padahal jumlah pengunjung
semakin menurun dan pihak pengelola sudah tidak mengizinkan mereka berjualan
109
di Tahura Ir. H. Djuanda. Meskipun ada keinginan untuk memiliki kehidupan
yang lebih baik yang serba kecukupan, namun mereka kurang berusaha untuk
mewujudkannya. Bagi mereka asal kebutuhan sehari-hari terpenuhi itu sudah
cukup.
Penurunan etos kerja ini seharusnya dapat diperbaiki dengan berbagai
upaya. Upaya untuk mengubah sistem nilai dan orientasi budaya yang telah
mengakar memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Sistem nilai selalu
berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri.
Kalau masyarakat sudah sepakat dan bertekad untuk mengubah sistem nilai itu,
tentu saja sistem nilai itu akan berubah. Memang mekanisme untuk melakukan
perubahan itu tidak sederhana, tapi bukan tertutup jalan sama sekali.
Upaya untuk meningkatkan etos kerja masyarakat sekitar Tahura Ir. H.
Djuanda dapat dilakukan dengan cara yaitu pertama, membangkitkan kerja keras
dengan mengambil nilai kerja keras itu dari ajaran-ajaran agama. Masyarakat
sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang pada umumnya beragama Islam. Diketahui
bahwa Islam mengajarkan untuk bekerja keras dalam hidupnya, karena kerja keras
di dunia merupakan ibadah. Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah
kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi
orang yang berkemampuan untuk bekerja. Sebagaimana dinyatakan dalam
Alquran surat Al-Jumu’ah (62) ayat 10 bahwa “Apabila shalat telah dilaksanakan,
maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak agar kamu beruntung”.
110
Demikian juga dalam surat At-Taubah (9) ayat 105 bahwa:
“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha di muka bumi ini agar
dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan untuk mereka. Ini dikarenakan
Allah telah mengatur sebab seseorang memperoleh rezeki adalah melalui usaha
dan kerja keras. Untuk mewujudkan ini tentunya diperlukan partisipasi dan
bantuan dari para ulama untuk menyampaikannya kepada umatnya, khususnya
yang ada di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda tentang pentingnya kerja keras dalam
kehidupan manusia di muka bumi ini.
Kedua, sistem nilai paternalistik dapat digunakan untuk meningkatkan etos
kerja masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Perubahan dimulai oleh patron
yang menjadi panutan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Seperti yang
diungkapkan oleh Sjafri (2002: 329) bahwa dalam kehidupan masyarakat model-
model kehidupan pada dasarnya adalah tiruan dari model-model kehidupan para
pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal. Dengan demikian para
pemimpin masyarakat di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda, baik pemimpin tingkat
rendah maupun tingkat tinggi, dapat menjadikan dirinya sebagai “alat” tiruan bagi
peningkatan etos kerja masyarakat, dengan memberikan keteladanan etos kerja
yang tinggi dalam menjalani kehidupannya.
Ketiga, menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang menjadi
terdorong secara gradual untuk mempunyai etos kerja yang tinggi. Lingkungan ini
111
tidak hanya menyangkut masyarakat yang terlibat didalamnya, tetapi terkait
lingkungan fisik di mana masyarakat itu berada. Kedua sistem lingkungan itu
saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam sistem
manajemen yang dikembangkan dalam rangka upaya peningkatan etos kerja itu
diperlukan sistem manajemen yang memperhatikan kedua sistem manajemen
yang memperhatikan kedua sistem itu secara kesatuan yang tidak terpisahkan.
Keempat, memberikan pelatihan-pelatihan mengenai etos kerja ke
berbagai lapisan masyarakat, seperti karang taruna, pedagang, pemandu,
pengelola, dan semua masyarakat yang terlibat di Tahura Ir. H. Djuanda. Seperti
konsep dan pendekatan yang dikembangkan oleh Mr Ethos, Jansen Sinamo, Guru
Etos Indonesia, yang di ujungnya memperkuat karakter, kompetensi, konfidensi,
dan kinerja tinggi yaitu Pelatihan 8 Etos Kerja dilaksanakan secara berimbang.
Delapan etos kerja itu antara lain:
1. Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Rasa Syukur 2. Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab 3. Kerja adalah Panggilan; Aku Bekerja Tuntas Penuh Integritas 4. Kerja adalah Aktualisasi; Aku Bekerja Keras Penuh Semangat 5. Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan 6. Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas 7. Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Tekun Penuh Keunggulan 8. Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Paripurna Penuh Kerendahan hati
Dengan beberapa upaya di atas, diharapkan etos kerja masyarakat sekitar
Tahura Ir. H. Djuanda akan meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini juga akan
berdampak pada peningkatan sumber daya manusia itu sendiri, sebagai subjek dan
objek dari pembangunan masyarakat.
112
2. Hubungan Sosial
Selama kurun waktu 1985-2003 pihak pengelola melakukan kerjasama
dengan masyarakat sekitar. Hubungan baik pun dilakukan agar tercipta keamanan
dan kebersihan di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Hubungan sosial antar
masyarakat juga terjalin dengan baik. Hal ini mengakibatkan Tahura Ir. H.
Djuanda mengalami perkembangan yang baik.
Pihak pengelola dari kepala balai sampai petugas keamanan selalu
melakukan silaturahmi kepada semua pedagang. Hubungan yang terjalin tidak lagi
hubungan antara pedagang dan pengelola, akan tetapi menjadi hubungan saudara
yang saling menghormati, menghargai dan menjaga.
Pada akhirnya, kerjasama ini memberikan keuntungan kepada kedua belah
pihak. Masyarakat sekitar yang berdagang di kawasan ini dapat memperoleh
pendapatan. Sedangkan bagi pengelola, tugasnya dalam menjaga kebersihan dan
keamanan dibantu oleh masyarakat sekitar.
Hubungan sesama pedagang juga terjalin dengan harmonis dan rukun.
persaingan dalam berdagang dilakukan secara sehat. Hal ini terlihat dari adanya
penentuan harga, jarak antara lapak, dan jenis barang dagangan yang berbeda.
Selain itu pada tahun 1987 pernah didirikan sebuah koperasi pedagang. Namun
pada tahun 1992 koperasi ini bubar.
Keharmonisan hubungan antara masyarakat yang bekerja di kawasan
wisata Tahura Ir. H. Djuanda dengan pengelola mulai berkurang ketika pergantian
pengelola oleh UPTD Tahura Ir. H. Djuanda Dinas Kehutanan Prov. Jawa Barat.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tugas antara Perum Perhutani dengan Dinas
113
Kehutanan. Perum Perhutani merupakan suatu perusahaan umum milik
pemerintah yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya alam di hutan. Selain
itu biaya perawatan dan gaji pegawai berasal dari tiket masuk Tahura, sehingga
mereka melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan jumlah pengunjung
dengan bekerja sama dengan masyarakat sekitar.
Berbeda halnya dengan Dinas Kehutanan, pengelola lebih mengutamakan
keaslian alam hutan yang harus dilindungi. Menurut pihak pengelola, Tahura Ir.
H. Djuanda merupakan kawasan hutan lindung yang harus dijaga, lapak-lapak
pedagang dapat menganggu keaslian hutan. Meskipun demikian, pihak pengelola
masih memberikan izin kepada mereka untuk tetap bekerja di Tahura Ir. H.
Djuanda.
Berdasarkan hal itu, maka hubungan antara pengelola dan pedagang mulai
kurang harmonis. Akan tetapi pihak pengelola masih tetap menjalin hubungan
baik dan memberikan ijin masyarakat untuk tetap bekerja di Tahura Ir. H.
Djuanda.
Berbanding terbalik dengan hubungan keduanya, hubungan antara
pedagang bertambah kuat. Para pedagang yang sudah tidak dikelola oleh pihak
pengelola, akhirnya membentuk suatu persatuan pedagang. Pada tahun 2003 atas
inisiatif para pedagang dibentuk sebuah perkumpulan pedagang yang ingin
memberikan perubahan bagi para pedagang dan diharapkan dapat mengalami
perkembangan yang lebih baik yang didukung oleh pihak pengelola melalui
pembinaan kepariwisataan. Namun perkumpulan pedagang ini tidak dapat
bertahan lama dikarenakan ada permasalahan intern yang tidak bisa diselesaikan.
114
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penduduk di sekitar objek
wisata sangat menunjang perkembangan suatu kawasan wisata, karena para
wisatawan akan bertemu dan bersosialisasi dengan penduduk setempat, oleh
karena itu diperlukan suasana yang mendukung supaya wisatawan senang untuk
mengunjungi objek wisata tersebut, sehingga mereka akan lebih sering untuk
mengunjungi tempat tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Oka A. Yoeti (1993:
2) bahwa:
... perlu diperhatikan bagaimana kesan masyarakat tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya, keramahtamahan penduduk, suka menolak pendatang baru, bersikap permusuhan dan bagaimana pula bentuk perjalanan yang akan diselenggarakan. Semua ini akan sangat mempengaruhi pikiran diantara beberapa alternative dari kesempatan melakukan perjalanan. Berdasarkan hasil uraian di atas, maka diperlukan suatu pembinaan dan
pelatihan untuk masyarakat sekitar mengenai kepariwisataan. Kerjasama antara
masyarakat dan pengelola juga perlu ditingkatkan dalam rangka mengembangkan
Tahura Ir. H. Djuanda menjadi lebih baik.
3. Stratifikasi Sosial
Masyarakat yang bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda menempati pelapisan
sosial yang beragam. Pitirim Sorokin (1954: 11) dalam Sajogyo (1985: 61)
menyatakan bahwa “social stratification adalah pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).” Perwujudan dari
stratifikasi sosial tersebut adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Masyarakat yang awalnya pengangguran bisa naik derajat sosialnya
dengan bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda. Namun tidak semua pekerjaan tersebut
115
dapat menjadikan mereka berada dalam lapisan sosial atas. Bagi masyarakat yang
bekerja sebagai pengelola dan diangkat menjadi pegawai BUMN atau PNS maka
akan berada dalam lapisan sosial menengah. Para pedagang, tukang parkir, dan
penyewa senter menempati lapisan sosial bawah. Hal ini didasarkan pada
penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut.
Kamanto Sunarto (2004) memaparkan pendapat dari sejumlah ahli yang
melihat bahwa, stratifikasi sosial ini timbul karena dalam masyarakat berkembang
terdapat pembagian kerja, sehingga dapat memungkinkan terjadinya pembedaan
kekayaan, kekuasaan dan prestise. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan
bahwa pengelola memiliki kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang lebih besar
dibandingkan dengan yang lainnya. Masyarakat lain akan memberikan
penghargaan dan penilaian yang lebih besar kepada pekerjaan atau hasil usaha
menjadi pengelola daripada pedagang atau tukang senter dan tukang parkir.
Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Rusli Karim (1998) bahwa
...munculnya pembedaan-pembedaan lapisan dalam masyarakat, membuktikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk memberikan penghargaan serta penilaian kepada pekerjaan atau hasil usaha seseorang. Maka dari itu stratifikasi sosial terbentuk karena berdasarkan pada keahlian serta pengakuan individu dari masyarakat. Bagi para pedagang yang sudah bekerja selama 22 tahun status sosial
mereka di masyarakat tidak mengalami perubahan. Hal ini dilihat dari kekayaan,
kekuasaan, dan prestise yang mereka dapatkan dengan berjualan di Tahura Ir. H.
Djuanda hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadinya transformasi pekerjaan
dari petani ke pedagang atau pemandu, buruh ke penyewa senter, dan buruh ke
116
pegawai sehingga terjadinya stratifikasi sosial. Semula pekerjaan yang dikenal
oleh masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda adalah buruh, petani, dan pegawai
Tahura Ir. H. Djuanda. Kemudian setelah peresmian Tahura Ir. H. Djuanda
muncul adanya kelompok sosial lain yaitu pedagang, pemandu, dan penyewa
senter. Ini merupakan proses diferensiasi sosial. Proses ini terjadi karena adanya
perbedaan kekayaan atau pemilikan barang, harga diri, dan pekerjaan, yang
kemudian mempertajam stratifikasi sosial.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pegawai BUMN Tahura Ir. H.
Djuanda secara keseluruhan lebih tinggi status sosialnya dibandingkan pedagang,
pemandu, dan penyewa senter. Kepemilikan barang seperti mobil, sepeda motor,
TV, rumah yang permanen, dan lainnya yang lebih banyak dimiliki oleh pegawai
BUMN Tahura Ir. H. Djuanda.
Transformasi pekerjaan yang terjadi di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda telah
memperjelas munculnya stratifikasi sosial, yaitu adanya kelas pegawai BUMN
atau PNS Tahura Ir. H. Djuanda, kelas pedagang, serta kelas penyewa senter dan
pemandu. Ketiga pelapisan tersebut sekaligus membedakan status sosial diantara
mereka.
Status sosial seseorang di masyarakat tidak dapat berubah dengan cepat,
karena hal ini harus melalui proses. Perubahan status sosial dapat dirubah salah
satunya melalui pendidikan. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan untuk
menaikkan status sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yaitu
meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan.
117
4. Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial,
material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, serta ketentraman
lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap masyarakat untuk mengadakan
usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan demikian kesejahteraan sosial
masyarakat merupakan keberhasilan hidup secara material, mental, dan spiritual
dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya dan dalam hubungannya dengan
lingkungan sosial yang mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan
bermasyarakat.
Keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda sebagai tempat yang dapat dijadikan
objek wisata mempengaruhi tingkat kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya.
Jusman Aputra, Sans Hutabarat, dan Andarus Darahim (1989: 88) memaparkan
bahwa tingkat kesejahteraan keluarga dapat diukur dari tingkat pemenuhan
kebutuhan hidup keluarga yang meliputi kebutuhan sandang, pangan, perumahan,
kesehatan, keselamatan, dan kebutuhan sosial.
Adapun tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang bekerja di kawasan
wisata Tahura Ir. H. Djuanda dapat dikategorikan sebagai keluarga sejahtera. Hal
ini didasarkan pada terpenuhinya semua aspek-aspek kebutuhan hidup yaitu
pertama, pemenuhan kebutuhan jasmani; makan tiga kali dalam sehari,
pemenuhan kebutuhan makan sudah dapat mengandung gizi, memiliki pakaian
lebih dari lima stel, serta memiliki rumah sendiri dengan ruangan yang terpisah
dan mempunyai ventilasi udara yang cukup. Kedua, pemenuhan kebutuhan rohani
meliputi keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan di masyarakat dan pada
118
umumnya masyarakat pernah berrekreasi. Ketiga, hubungan sosial antar
masyarakat juga terjalin secara harmonis.
Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
Tahura Ir. H. Djuanda perlu segera dilakukan, karena apabila tidak, maka kondisi
demikian akan diturunkan kepada generasi selanjutnya, dalam hal ini anak-anak
mereka. Berdasarkan hal ini, maka peningkatan kesejahteraan masyarakat
hendaknya dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi-instansi yang
terkait dengan seluruh masyarakat.
Pemecahan masalah kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat sekitar
Tahura Ir. H. Djuanda salah satunya dapat melalui program pembinaan
Keterampilan Usaha Ekonomi Produktif, yaitu dengan membuat kerajinan dan
jajanan khas Sunda. Program ini dapat menambah pengetahuan dan keterampilan
sehingga masyarakat dapat mempunyai tambahan pekerjaan. Dengan demikian,
hal ini akan menambah pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga masyarakat sekitar
Tahura Ir. H. Djuanda.
5. Pendidikan
Pada umumnya tingkat pendidikan masyarakat yang berjualan di Tahura
Ir. H. Djuanda yaitu tingkat SD. Dengan pendidikan yang rendah tentu saja
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik menjadi sulit.
Pengalaman hidup para pedagang ini memberikan pengaruh kepada anak-anak
mereka. Pada akhirnya masyarakat memiliki harapan yaitu pendidikan anak-anak
119
harus lebih tinggi dari orang tuanya. Hal ini diharapkan kehidupannya pun akan
lebih baik dari orang tuanya.
Usaha dan kerja keras yang dilakukan menyebabkan anak-anak mereka
bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan
tinggi. Namun kebanyakan mereka hanya bisa menyekolahkan anaknya sampai
tingkat SMP.
Tingkat pendidikan SMA tidak menjadikan kehidupan anak-anak mereka
menjadi lebih baik dari orang tuanya. Mereka mendapatkan pekerjaan yang tidak
jauh berbeda dengan orang tua mereka.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan beberapa upaya untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan
merupakan salah satu saluran penting dalam proses mobilitas sosial. Upaya yang
dapat dilakukan yaitu pertama, memberikan penyuluhan kepada masyarakat
mengenai pentingnya pendidikan. Kedua, penambahan SMP dan SMA gratis bagi
masyarakat yang tidak mampu, serta pemberian beasiswa bagi mereka yang ingin
melanjutkan ke perguruan tinggi. Program beasiswa ini harus disosialisasikan
kepada masyarakat agar informasi ini sampai kepada mereka yang membutuhkan.
Ketiga, didirikan sekolah Paket B dan C, sehingga masyarakat yang putus sekolah
bisa melanjutkan pendidikannya.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pekerjaan yang ditekuni
masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda selama 22 tahun nampaknya telah
membawa perubahan bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Mobilitas
sosial horizontal merupakan suatu istilah yang tepat untuk menggambarkan
120
perubahan ini. Soekanto (2005: 219) berpendapat bahwa “gerak sosial horizontal
merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok
sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat”.
Terbukanya lapangan kerja menyebabkan terjadinya perpindahan struktur
pekerjaan dan penghasilan masyarakat. Masyarakat sekitar mengalami
perpindahan pekerjaan yang sederajat, seperti petani menjadi pedagang, buruh tani
menjadi tukang senter, dan tukang foto menjadi pedagang. Selain itu, hasil kerja
mereka tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak-anak mereka.
Perpindahan ini tidak mempengaruhi status sosial mereka di masyarakat,
meskipun kesejahteraan sosialnya mengalami perubahan. Seperti yang
diungkapkan oleh Cohen (1992: 269) bahwa mobilitas horizontal ialah
perpindahan sosial pada tingkat yang sama. Individu yang berganti pekerjaan
menunjukkan mobilitas horizontal apabila pergantian tersebut tidak
mempengaruhi status sosial.
Sebagian masyarakat juga ada yang mengalami mobilitas vertikal turun,
hal ini dilihat dari tingkat kesejahteraanya menurun. Seorang pedagang yang
awalnya berjualan makanan (baso, lotek, rujak) karena kekurangan modal,
sekarang hanya berjualan makanan dan minuman yang bisa bertahan lebih dari
satu minggu, seperti Pop Mie, makanan ringan, dan minuman berkemasan.
Tentunya yang tidak memerlukan modal yang besar.
Walaupun terdapat banyak contoh mobilitas sosial horizontal, namun
dalam kenyataan di lapangan ada sebagian masyarakat yang mengalami mobilitas
121
sosial vertikal baik mobilitas antar generasi, dan mobilitas intra generasi. Mereka
mengalami perubahan ekonomi dan sosial yang lebih baik.
Masyarakat yang awalnya hanya pengangguran kemudian memiliki
pekerjaan dengan bekerja di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda atau yang
awalnya buruh menjadi pengelola Tahura bisa menaikkan derajat sosial di
masyarakat. Meskipun awalnya mereka hanya bekerja sebagai keamanan dan
kebersihan, namun karena kerja keras, ketekunan, rajin, dan sabar mereka
diangkat menjadi pegawai BUMN Perum Perhutani atau PNS Dinas Kehutanan.
Seperti yang dialami oleh Pak Asep.
Kasus lain yaitu keluarga Ibu Tutih, meskipun hanya seorang petani dan
penjual jagung bakar di Tahura Ir. H. Djuanda, namun dengan kerja keras,
ketekunan, kesederhanaan dan kepiawaian dalam mengatur waktu kerja dapat
mendidik anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Keberhasilan anak-anak
mereka menjadi kebanggaan orang tua, sehingga secara tidak langsung menaikkan
derajat sosial mereka di masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, faktor terjadinya mobilitas sosial
masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yaitu pertama, struktur pekerjaan.
Seseorang yang bekerja sebagai pegawai Tahura Ir. H. Djuanda akan
mendapatkan penghasilan yang tetap dan lebih besar dibandingkan bekerja
sebagai tukang senter atau pedagang di Tahura Ir. H. Djuanda. Adapun
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial yaitu naiknya derajat sosial di masyarakat.
Kedua, faktor individu. Faktor ini adalah faktor yang banyak
mempengaruhi dalam menentukan siapa yang mencapai kedudukan tinggi di
122
masyarakat. Meskipun seseorang telah bekerja sebagai pegawai Tahura Ir. H.
Djuanda, namun apabila tidak didukung oleh faktor individu maka tidak akan
terjadi mobilitas vertikal, seperti:
a) Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memiliki kecakapan lebih
banyak dari pada yang lain, tentu kehidupannya akan lebih berhasil
daripada yang lain. Seperti yang dialami oleh Pak Asep dan Ibu Tutih.
Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 44) menegaskan bahwa “ … meskipun
tidak mungkin untuk dapat mengukur kemampuan secara memuaskan,
namun kita berpendapat bahwa faktor penting yang menentukan
keberhasilan hidup dan mobilitas”. Berdasarkan pendapat tersebut,
seseorang yang cakap (mempunyai kemampuan/keahlian) yang akan
memperoleh penghasilan lebih besar dan kedudukan yang tinggi
dibandingkan yang lain.
b) Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memiliki orientasi sikap
untuk berhasil, maka akan berusaha lebih keras untuk mewujudkannya.
Berbeda dengan yang tidak memiliki orientasi, maka mereka akan pasrah
kepada takdir.
Ada beberapa hal yang dilakukan masyarakat sekitar Tahura Ir. H.
Djuanda untuk meningkatkan prospek mobilitas, yaitu pertama, pendidikan.
masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memprioritaskan pendidikan bagi
anak-anaknya menyebabkan mobilitas antargenerasi. Seperti Ibu Tutih dan Pak
Asep yang mengutamakan pendidikan anak-anak mereka, sehingga dengan
pendidikan yang mereka miliki, kehidupan sosial ekonomi menjadi lebih baik dari
123
orang tua. Berbeda halnya dengan pendidikan anak-anak Pak Abdul Rachmat, Ibu
Alih, Ibu Natin, dan Pak Ibro. Bahkan ada yang kehidupan anak-anaknya lebih
buruk dari orang tuanya.
Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 44) memaparkan bahwa pendidikan
merupakan anak tangga mobilitas yang penting. Bahkan jenis pekerjaan kasar
yang berpenghasilan baik pun sukar diperoleh, kecuali jika seseorang mampu
membaca petunjuk dan mengerjakan soal hitungan sederhana. Cohen (1992: 273)
juga menegaskan bahwa:
Pada umumnya, frekwensi pendidikan formal yang dimiliki oleh seseorang sangat berkaitan dengan besarnya pendapatan yang digunakan untuk membiayai orang tersebut. Fungsi pokok pendidikan formal dalam hubungannya dengan mobilitas vertikal adalah membekali individu dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memasuki pasaran kerja. Tingkat pendidikan yang memadai akan menempatkan seseorang pada posisi yang menguntungkan bilamana ia harus bersaing dengan orang lain untuk jabatan tertentu. Kedua, etos kerja. Herell dalam Setiawan (2007) mengungkapkan bahwa
etos kerja itu adalah:
1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat.
2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dengan jaminan masa depan.
3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan keturunan.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, kebiasaan kerja sebagian
masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang selalu kerja keras, tekun, disiplin,
piawai dalam mengatur waktu kerja menentukan keberhasilan dan mobilitas
vertikal naik. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan kerja yang
124
baik, maka kehidupannya pun cenderung tidak berubah, bahkan turun. Hal ini
didukung oleh pendapat Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 46) bahwa meskipun
kerja keras tidaklah menjamin adanya mobilitas-naik, namun tidak banyak orang
dapat mengalami mobilitas naik tanpa bekerja keras.
Ketiga, Pola penundaan kesenangan adalah penangguhan hasil langsung
untuk dipetik di masa yang akan datang dengan hasil yang lebih besar. Cohen
(1992: 274) berpendapat bahwa individu-individu yang menunda untuk sementara
jangka pendek lebih besar kemungkinannya untuk menanjak dibandingkan dengan
individu-individu yang menyenangi hasil langsung. Seperti halnya ketiga anak
Pak Asep dan keempat anak Ibu Tutih. Mereka lebih mengutamakan kuliah
daripada langsung bekerja setelah menamatkan SMA.
Mereka harus mencurahkan segenap waktu, tenaga, dan kemampuannya
untuk menekuni kuliah. Akan tetapi, setelah mereka menyelesaikan
pendidikannya, mereka mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki gelar sarjana.
Berbeda halnya dengan keluarga Pak Abdul Rachmat, meskipun Pak
Rachmat sudah diangkat menjadi pegawai BUMN Perum Perhutani, akan tetapi
anak-anaknya hanya mengenyam pendidikan sampai SMA dan SMP. Kehidupan
sosial ekonomi anak-anaknya pun tidak lebih baik dari orang tua mereka.
Selain faktor individu dan struktur pekerjaan, ada satu faktor yang
mempengaruhi rendahnya tingkat mobilitas sosial masyarakat sekitar kawasan
wisata Tahura Ir. H. Djuanda, yaitu letak kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda
adalah di desa. Karakteristik desa dan masyarakatnya pun mempengaruhi
125
terjadinya mobilitas sosial vertikal yang kurang intensif yaitu pertama, lembaga-
lembaga yang memungkinkan terjadinya sirkulasi kelas atau menjadi turun
naiknya status (seperti misalnya lembaga pendidikan, pelbagai instansi, dan
lainnya) umumnya terkonsentrasi di Kota Bandung. Kedua, sehubungan dengan
sedikitnya lapisan sosial yang ada pada masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda,
maka mobilitas sosial juga menjadi kurang terlihat. Ketiga, peristiwa “differential
fertility” yang biasa terjadi di kota, yakni peristiwa “lenyapnya” lapisan atas yang
secara demikian memberi peluang bagi kenaikan status dari lapisan bawahnya
adalah merupakan gejala yang kurang terlihat di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda.
Keempat, ketidaksamaan elemen biologic dan psikososial antara orang tua dan
anak yang merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal
cenderung terdapat di perkotaan yang penduduknya heterogen dibanding dengan
di pedesaan homogen. Kelima, setiap perubahan terhadap lingkungan sosial dan
kebudayaan akan meningkatkan terjadinya mobilitas vertikal. Gejala ini kurang
terlihat di lingkungan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Keenam, “prinsip
kekastaan” yakni mendasari jarak sosial antara lapisan pada masyarakat pedesaan
lebih kaku disbanding dengan pada masyarakat kota.
Berdasarkan pemaparan di atas, mobilitas sosial yang terjadi di kawasan
wisata Tahura Ir. H. Djuanda tidak hanya dipengaruhi oleh struktur pekerjaan dan
faktor individu saja. Akan tetapi karakteristik masyarakat sekitar kawasan Tahura
Ir. H. Djuanda yang merupakan masyarakat pedesaan juga sangat berpengaruh
terhadap terjadinya mobilitas sosial masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir.
H. Djuanda.
126
Proses mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran dalam
masyarakat. Saluran yang terpenting yaitu angkatan bersenjata, lembaga-lembaga
keagamaan, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi politik, ekonomi, dan keahlian
(Saripudin, 2005: 4).
Pada umumnya lembaga pendidikan seperti sekolah merupakan solusi
konkrit dalam mempercepat terjadinya mobilitas sosial vertikal di masyarakat
sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Pendidikan berfungsi sebagai sebuah proses
penyeleksian untuk menempatkan orang pada masyarakat sesuai dengan
kemampuan dan keahliannya. Dengan demikian, pendidikan menjadi sinkron
dengan tujuan mobilitas sosial, karena kemampuan dan keahlian seseorang
merupakan faktor penting dalam mobilitas sosial.