7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

46
1. TEORI KONFLIK Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memliki fungsi positif, maka konflik menjadi dinamika sejarah manusia (karl marx 1880/2003; Ibnu Khaldum, 1332-1406), selanjutnya konflik beralaih sampai pada bagian proses pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentang, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam proses itulah terkadang kita diperhadapkan pada berbagai masalah baik itu menyangkut tentang diri pribadi maupun dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Dalam masyarakat tumbuh berbagai kepentingan yang begitu komplekss dan memerlukan tindakan tertentu dalam pemenuhannya. Keadaan yang saling berbenturan terkadang harus membutuhkan penyelesaian yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Timbulnya perbedaan pandangan dan paradigma dari masing- masing kelompok yang ada memicu munculnya ertikaian dan sengketa dalam diri mereka. Kejadian itulah yang di subut konflik. Konflik selalu erat kaintannya dengan kehidupan manusia yang menganut paham sosialis. Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya sering kali terjadi salah penafsiran terhadap simbol atau makna yang disampaikan. Karena melalui komunikasi yang kurang harmonis dari masing-masing anggota masyarakat itulah yang akan menjadi pemicu terjadinya konflik. Sejarah menunjukan bahwa sejak mulai dari proses

Transcript of 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Page 1: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

1. TEORI KONFLIK

Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memliki

fungsi positif, maka konflik menjadi dinamika sejarah manusia (karl marx 1880/2003; Ibnu

Khaldum, 1332-1406), selanjutnya konflik beralaih sampai pada bagian proses pemenuhan

kebutuhan manusia.

Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat

dalam perbedaan, pertentang, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam proses

itulah terkadang kita diperhadapkan pada berbagai masalah baik itu menyangkut tentang diri

pribadi maupun dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Dalam masyarakat tumbuh berbagai

kepentingan yang begitu komplekss dan memerlukan tindakan tertentu dalam pemenuhannya.

Keadaan yang saling berbenturan terkadang harus membutuhkan penyelesaian yang rumit dan

membutuhkan waktu yang lama. Timbulnya perbedaan pandangan dan paradigma dari masing-

masing kelompok yang ada memicu munculnya ertikaian dan sengketa dalam diri mereka.

Kejadian itulah yang di subut konflik.

Konflik selalu erat kaintannya dengan kehidupan manusia yang menganut paham sosialis.

Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya sering kali terjadi

salah penafsiran terhadap simbol atau makna yang disampaikan. Karena melalui komunikasi

yang kurang harmonis dari masing-masing anggota masyarakat itulah yang akan menjadi pemicu

terjadinya konflik. Sejarah menunjukan bahwa sejak mulai dari proses penciptaan manusia

pertama (Adam) konflik sudah mulai terjadi. Ketika itu iblis yang diperintah oleh sang Khalik

untuk dan patuh kepada adam dengan lantang dan jelas iblis menolak dan tidak mengakui bahwa

Adam adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan

Yang Maha Esa. Iblis dengan beraninya bersumpah selama manusia ada di muka bumi maka

selama itu pula ia akan menjadi musuh manusia yang nyata.

Toeri konflik dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam

masyarakat. Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat

membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang

berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan saling bertanding.

Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan –kekuatan yang saling berlomba

Page 2: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social

disorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan

kelompok atau kelas yang dominan. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama

(consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, consensus itu

merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan nilai-nilai.

A. Sejarah Lahirnya Konflik

Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan strukturnya baik

secara revolusioner maupun evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh

gerakan-gerakan sosial dari individu maupun kelompok sosial yang menjadi bagian dari

masryarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunis bisa munculdalam bermacam-

macam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan

hidup, dan kepentingan merebut kepentingan politik (kekuasaan). Sesungguhnya konflik itu

dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik

samapai masa kontemporer.

Sumber konflik itu sendiri dapat dikaji dari teori perjuangan kelas yang dikemukakan

oleh Karl Marx . Menurutnya sejarah manusia itu dipenuhi oleh perjuangan kelas. Antara

kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, Kepala serikat

pekerja dan tukang. Dengan kata lain posisi penekan dan yang ditekan selalu bertentangan

(konflik) dan tidak terputus. (The Manifesto dikutip dari PPB A Suhelmi 269). Perjuangan kelas

bersifat inheren dan terus menerus. Penekanan itu dapat berupa penindasan. Marx juga melihat

bahwa perkembangan selalu terjadi dalam konflik kelas yang terpolarisasi antara kelas yang

bersifat saling menindas. Hubungan antara kelas ini menurut Marx akan menciptakan

Antagonisme kelas yang melahirkan krisis revolusioner. Revolusi yang dimaksud oleh Marx

tentunya bukan revolusi damai, melainkan revolusi yang bersifat kekerasan. (PBB A Suhelmi

270). Konflik terjadi karena adanya penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis yang memiliki

alat–alat produksi kepada kaum proletar atau buruh yang bekerja untuk para borjuis. Penindasan

ini akhirnya menyebabkan frustasi dan keteransingan. Keterasingan ini selanjutnya akan

melahirkan revolusi proletariat yang berujung pada lahirnya konflik.

B. TEORI KONFLIK KLASIK

Page 3: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Tokoh-tokoh sosiologi konflik klasik, seperti Ibnu Khladun (1332-1406), Karl Marx

(1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1964-1920), dan George Simmel

(1858-1981) mempunyai peran besar dalam meletakan mainstream teori sosial secar umum dan

memperngaruhi mempengaruhi konflik keontemporer pada khususnya. Berikut diuraian gagasan

pemikiran tokoh-tokoh tersebut.

Ibnu Khaldun merupakan seorang ilmuan sosial dari Afrika di abad ke-14. masa Khaldun

ditandai oleh dinamika konflik perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang hidup di

zaman itu. Masa itu ditandai kemunculan kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan

dalam negara kekhalifahan. Sehingga negara sering berada dalam keadan ketidakstabilan politik.

Kondisi inilah yang mempengaruhi pemikiran sosiologi konflik Ibnu Khladun. Ibnu Khaldun

memperlihatkan bagaiman dinamika konflik dalamsejarah menusia sesungguhnya ditentukan

oleh keberadaan kelompok sosial yang berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal.

Kelompok sosial dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi

terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat manusia yang sama dengan hewan.

Nafsu adalah kekuatan hewani yang mempu mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan

berbagai gerakan untuk memenangi (to win) dan menguasai (to rule) (Susan, 2009: 30).

Wallace dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam sosiologi konflik Marx, (1)

manusia secara alamiah memilki angka kepentingan, (2) konflik dalam sejarah dan masyarakat

kontemporer adalah akibat benturan kepentingan kelompok sosial, (3) marx melihat keterkaitan

ideologi dan kepentingan.

Max Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada kepentingan alamiah dalam

setiap diri manusia. kepentingan alamiah inilah yang menodorng manusai untuk terus bergerak

menciptakan tujuan-tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Turrner dalam Susan (2009: 35)

menyatakan bahwa perbedaan teoritis antara Weber dan Marx terlihat dari komitmen metodologi

Weber yang mengikuti individualisme, sosiologi sebagai perspektif interpretatif pada tindakan

sosial, sedangkan Marx mengacu pada epidemologi realis, strukturalisme, dan materialisme

sejarah sebagai ilmu pengetahuan dari era produksi.

Weber menciptakan tipe idel tindakan sosial untuk memahami pola dalam sejarah dan

masyarakat kontemporer, ia menciptakan tipe ideal dan tindakan, hubungan sosial dan kekuasaan

(Power). Weber mengklasifikasi tindakan individu kedalam empat tipe ideal yaitu :

Zwecrational, Ini berkaitan dengan means, and ends, yaitu tujuan-tujuan dicapai dengan

Page 4: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

menggunakan alat atau cara (means), perhitungan cepat dan bersifat matematis. Wertrational,

tindakan nilai yang berdasarkan pada alat atau caranya tetapi nilai atau moralitas

misalnya.Tindakan afektif, individu didominasi oleh sisi emotional. Dan yang terakhir Tindakan

traditional, traditional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi sebagai

system nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama (Campbell, 1994)

Konflik muncul dalam setiap entitas stratifikasi sosial. Setiap staratifikasi adalah posisi

yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh posisi

yang lebih tinggi. Untuk itulah relasi-relasi sosial diwarnai oleh usaha-usaha untuk meraih

posisi-posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Usaha tersebut bisa dibaca sebagai bentuk dan

kombinasi berbagai tipe ideal tindakan. Weber berpendapat bahwa ada tiga tipe ideal relasi

hubungan sosial, yaitu hubungan sosial tradisonal-komunal, sosial konflik, dan asosialisasi.

(Susan, 2009: 36)

Yang menarik dari sosiologi konflik Max Weber adalah unsur dasar dari setiap tipe

hubungan sosial, yaitu power. Pada banyak kasus terjadi kombinasi kepentingan dari setiap unsur

stratifikasi sosial sehingga menciptakan dinamika konflik. Berikut diuraikan pokok-pokok

pikiran dari para tokoh yang melihat konflik sebagai tatanan kehidupan sosial.

Pemikiran Marx cenderung determinis ekonomi dan Weber masuk menimbang aspek

tindakan, kemudian di Perancis pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim memberikan

perhatian di luar pemikiran marx dan Weber, pada apa yang disebutnya sebagai fakta sosial

(social fact). Fakta sosial bersifat eksterioti, yang berada di luar atau eksternal, dan memaksa

terhadap tindakan individu-individu.

Konsep pemikiran Durkheim dapat dipahami melalui pembagian masyarakat ke dalam

masyarakat mekanik dan organik. Masyarakat mekanik mempunyai conscience colletive,

kesadaran umum. Bentuk masyarakat yang berkesadaran kolektif ini seperti kelompok etnis

tradisonal dan kelompok tribal. Sedangakan kesadaran organik bersifat lebih kompleks dimana

individu-indivudu terhubung satu sama lain atas dasar fungsi kebutuhan. (Susan, 2009:38).

Secara umum pandangan-pandangan para ahli tentang fenomena konflik fdapat

disimpulka bahwa Ibnu Khaldun dan Karl Marx berhasil memperlihatkan konflik kelompok dan

kelas sosial. Konflik ini mempengaruhi dinamika masyarakat dalam sejarah perkembangan

masyarakat. Seperti pembagian struktur sosial Marx yang determinisme ekonomi. Max Webwer

berhasil memberi analisis mengenai startifikasi yang lebih luas dalam bidang ekonomi, status,

Page 5: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

dan politik. Weber memperlihatkan konflik adalah manifestasi tindakan manusia yang ingi

meraih posisi-posisi dalam setiap stratifikasi sosial tersebut. Emile Durkheim memberi analisis

pada fakta sosial. Selanjutnya, Simmel bisa dikategorikan sebagai pelopor sosiologi konflik

melalui analisis akademisnya menganai sosialisasi dan fungsi konflik dalam masyarakat.

C. TEORI KONFLIK KONTEMPORER

Teori konflik kontemporer adalah refkleksi dari ketidakpuasan terhadap fungsioanalisme

struktural Tallcot Parsons dan Robert K. Merton, yang berlebihan dalam menilai masyarakat

dengan paham konsesus dan integralistiknya.

Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam

masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial

maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu

kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan “power” dan mengontrol

bakan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain

merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang

menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.

Menyadari beragamnya konlik yang timbul, maka konflik kontemporer dibagi menjadi

empat aliran, yakni mazhab positivis, mazhab humanis, mazhab kritis, dan mazhab

multidisipliner.

1. Mazhab Positivis

Mazhab positivis di sebut sebagai sosiologi konflik makro. Ada dua ciri utama dari

mazhab ini: (1) generalisasi teori bisa berlaku secara universal, (2) melihat konlik sebagi bagian

dari dinamika gerakan struktural.

A. Konflik Kekuasaan

Ralf Dahrendorf membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi

(imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elite

dominan, dari pada pengaturan kelas dan managemen pekerja, dari pada modal dan buruh (Mc

quarie, 1995:66)

Bagi Dahrendorf konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap

individu atau kelompok yang tidak terhubung dengan sistem tidak akan mungkin terlibat dalam

konflik. Ia menyebutnya sebagai integrated into a common frame reference” lebih lanjut lagi ia

Page 6: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

menyatakan bahwa unit analisis dalam sosiologi konflik karena keterpaksaan yang menciptakan

organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial (Dahrendorf 1959: 164-165).

Selanjutnya, Dahrendorf menyebut teori konfliknya sebagai sosiologi konflik dialektis

yang menjelaskan proses terus menerus distribusi kekuasaan dan wewenang diantara kelompok-

kelompok terkoordinasi. Sehingga kenyataan sosial bagi Dahendorf merupakan siklus tak

berakhir dari adanya wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari

sistem sosial.

B. Fungsi Positif konflik

Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural. Ia lahir dari keluarga

Yahudi di Jerman pada tahun 1913. Ia menjadi anggota gerakan mahasiswa sosialis di jerman

pada masa Hitler dan arena itulah ia harus meninggalkan Jerman. Ia tinggal di Perancis tanpa

pekerjaan dan selalu dalam kondisi kelaparan. Ia berinisiatif belajar studi komparatif di

Universitas Sorbonne Perancis yang kemudian menjadikannya seorang sosiolog terkemuka

Menurut Coser, koflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif

terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan yang diakibatkannya. Pendapat ini

sesungguhnya berangkat dari sosiologi konflik Simmel,”…konflik itu sesunggunya menunjuk

dirinya sebagai suatu factor positif…” bisa disebutkan bahwa dalam banyak kasus sejarah.

Coser dalam (Susan, 2009: 56) memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik

sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang

(Hostile feeling) tetapi Coser Hostile feeling belum tentu menyebabkan konflik terbuka (over

conflict) sehingga ia menambahkan unsur perilaku permusuhan (hostile behavior). Perilaku

permusuhan inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik.

Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu konflik realities dan non realistis.

Konflik realistis memiliki sumber yang kongkret atau bersifat material seperti perebutan

ekonomi dan wilayah sedangkan konflik non realistis adalah didorong oleh keinginan yang tidak

rasional dan cenderung bersifat ideologis.

2. Mazhab Humanis

Teori sosiolgi humanis secara umum berkembang sebagai respons terhadap analisis

makro fungsionalisme structural. Ritzer mentipekan aliran ini sebagai sosiologi mikro seperti

aliran etnometodologi di Granfikel dan interaksionisme simbolis oleh Jon Dewey, Herbert Mead,

dan Erving Goffman (Ritzer, 2000). Aliran ini sangat mungkin dimanfaatkan untuk menganalisis

Page 7: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

konflik masyarakat. Terutama konflik mikro atau konflik antar individu dan individu terhadap

kelompok. Hal ini tidak lepas dari kunci analisis interaksionisme simbolis menekankan pada

individu, simbol (bahasa dan makna), dan dunia sosial.

C. Konstruksi sosial konflik

Studi konflik dalam perspektif konstruksi sosial merupakan langkah cukup menantag,

dan beresiko. Karena analisis proses sosial ini akan mengeksplor konflik dengan memasukkan

analisis proses sosial (historisme) dari kenyataan masyarakat atau proses dialektika kenyataan

sosial. Konstruksi sosial dalam sosiologi merupakan kajian yang berkembang dari sosiologi

pengetahuan yang melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika kenyataan.

Perspektif konstruksi sosial dikembangkan secara khusus oleh seseorang sosiologi

perdamaian bernama John Paul Lederach. Lederach memusatkan analisis konfliknya pada

dinamika bahasa dalam struktur hubungan sosial. Ada tujuh asumsi yang ditulisnya dalam

Preparing fo rpeace conflict transformation across culture (1996:9-10) yaitu:

1. Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah: suatu pengalaman-pengalaman umum

yang hadir di setiap hubungan dan budaya

2. Konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial

3. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan

makna bersama

4. Proses interaktif disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia, interpretasi,

ekspresi dan niatan-niatan

5. Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sesuatu sosial

seperti situasi kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul mereka

6. Kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skem yang digunakan oleh

sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkn mengekspresikan dan merespons kenyataan

sosial disekitar mereka.

7. Pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif dari

kesadaran.

Page 8: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

D. Pendekatan Konflik Komunal

Menurut Giddes dalam (Susan, 2009: 84) menyatakan persoalan konflik dalam

masyarakat juga mendapatkan perhatian dari para pengamat etnisitas dan ras sebagai satu

kelompok identitas dan kepentingan mereka dalam struktur sosial. Analisis disebut pendekatan

primodial yang melihat konflik sebgai akibat dari pergesaran kelompok kepentingan identitas,

seperti identitas berbasis etnis dan keagamaan. Teori ini memahami konflik sebagai akibat

bertemunya berbagai budaya, ras, dan geografis yang melahirkan identitas dan

ketidaksetiakawanan.

Menurut isaach pendekatan konflik primodial melihat identitas etnis, ras, agama, bahasa,

dan lain-lainnya adalah kuat atau stabil, tak bisa diubah, yang terbetuk melalui proses yang

panjang sehingga hanya bisa hilang dalam waktu yang lama pula. Kesadaran budaya yang

terbangun di dalam komunitas etnis melalui institusi dasar seperti keluarga, keyakinan

kelompok, loyalitas dimana individu lahir sebagai anggotanya menjadi fondasi yang sangat kuat

dan sulit untuk dihilangkan.

E. JENIS DAN TIPE KONFLIK

Pada dasarnya ada dua jenis konflik, pertama, dimensi vertikal atau ”konflik atas”, yang

dimaksud adalah konflik antara elit dan massa (rakyat). Elite di sini bisa para pengambil

kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnin atau para militer. Hal yang menonjol dalam konflik

ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban dikalangan massa.

Kedua, konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) sendiri. Dalam

kurun waktu lima tahun terakhir (sejak pertengahan 90-an), setidak-tidaknya dirasakanada dua

jenis konflik horizontal, yang tergolong besar pengaruhnya: (1) konflik antara agama, khususnya

antara kelompok agama Islam dan dan kelompok agama Nasrani (protestan dan katolik). Konflik

jenis mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, jakarta, dan beberapa daerah lainnya. (2)

konflik antara suku. Khususnya antara suku jawa dan di luar pulau jawa. Selain itu muncul pula

kasus seperti konflik antara suku Madura dengan suku Melayu di Kalimantan Barat, dan lain-

lain.

Selain jenis konflik kita perlu menganal istilah tipe konflik yang akan menggambarkan

persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik,

konflik laten, konflik terbuka, dan konflik dipermukaan (Fisher, 2001). Tanpa konflik

Page 9: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

menggambarkan situasi yang tampak stabil, hubungan-hubungan antara kelompok bisa saing

memenuhi dan damai.

Konflik laten adalah suatu keadaan yang didalamnya terdapat banyak persoalaan, sifatnya

tersembunyi dan, perlu diangkat kepermukaan agar bisa ditangani. Kehiudpan masyarakat yang

tampak stabil belum merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tersebut tidak terdapat

permusuhan atau pertentangan. Kenyataan ini kita temukan dalam masyarakat Orde Baru.

Masyarkat Orba tampak harmonis, damai dan kecilnya tingkat pertentangan diantara angota-

anggota masyarakat baik dalam dimensi ekonomi, etnis, maupun agama. Akan tetapi, di balik

stabilitas, keharmonisan, dan perdamaian tersebut ternyata tedapat konflik laten yang begitu

besar. Hal ini terbuktikan ketika Orba dan struktur kekuasaanya runtuh, berbagai konflik laten

dalam dimensi etnis, keaagamaan, dan separatisme merbak seperti jamur di musim hujan.

Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul kepermukaan yang

berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar

penyebab dan berbagai efeknya. Kasus konflik di Ambon (1999), di Kalimantan Barat (1999)

dan juga di Poso Sulawesi. Pada situasi konflik terbuka muncul pihak-pihak berkonflik yang

semakin banyak dan aspirasi yang berkembang cepat bagaikan epidemi.

Konflik dipermukaan: memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya

karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi

(dialog terbuka). Contoh dari konflik dipermukaan ini bisa kita lihat perkelahian antar SMA,

kekerasan yang muncul sering kali hanya disebabkan kesalhpahaman komunikasi. Saling melirik

ketika mereka berpapasan di jalan bisa menjadi permasalahan yang berkembang ke tawuran

massal.

Page 10: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

2. TEORI SISTEM

Teori merupakan seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis

berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan

proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas

fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel

dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan

bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan

cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu

benda.

Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi

teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara

konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus

terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-

definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi.

Kata sistem dipergunakan untuk menunjukkan banyak hal. Namun secara garis

besarnya Shrode dan Voich (1974) melihat bahwa suatu sistem memiliki konotasi penting.

Pertama, menunjuk pada suatu benda (entitas) atau benda yang memiliki tata aturan atau

susunan struktural dari bagian-bagiannya, seperti mobil, lembaga pemerintahan. Kedua,

menunjuk pada suatu rencana, metode, alat, atau tata cara untuk mencapai sesuatu (Amrin,

1986). Shrode dan Voich (1974 : 122) mengemukakan pengertian sistem sebagai berikut: :

“a sistem is a set of interrelated parts, working independently and joinly, in pursuit of

common objectives of the whole , within a complexs environment”. (Amrin, 1974 : 11).

Page 11: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Suatu sistem adalah serangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan,

bekerja dengan bebas dan bersama-sama dalam pencapaian tujuan umum keseluruhan,

dalam suatu lingkungan yang kompleks.

Pengertian yang dikemukakan oleh Shrode dan Voich ini merupakan pengetian yang

cukup lengkap, mengungkapkan unsur-unsur penting sebagai berikut: 1) Sistem merupakan

serangkaian bagian-bagian; 2) yang saling berhubungan: 3) bagian bagian tersebut bekerja

dengan bebas dan bersama-sama; 4) untuk mencapai tujuan bersama; 5) di dalam

lingkungan yang rumit.

Ciri-ciri penting sebuah sistem adalah:

1) Sistem terdiri dari subsistem;

2) Mempunyai tujuan atau sasaran;

3) Di antara subsistem mempunyai hubungan saling tergantung (saling membutuhkan) dan

merupakan satu kebulatan yang utuh;

4) Mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri sendiri; mempunyai batas

(boundaries) dengan lingkungannya. Batas ini tidak berarti bahwa sistem tersebut

tertutup dari pengaruh luar, melainkan untuk menunjukkan keberadaannya di antara

lingkungan.

A. Teori Sistem

Argument dari teori sistem adalah bahwa hubungan dari bagian-bagian tidak dapat

diperlakukan diluar konteks keseluruhan. Teoritisi sistem menolak ide bahwa masyarakat

atau komponen masyarakat berskala luas lainnya harus diperlakukan sebagai fakta sosial

yang menyatu. Sebaliknya, fokusnya adalah pada hubungan dari proses-proses pada

tingkat yang bervariasi di dalam sistem sosial. Buckley mendefinisikan fokus tersebut: Jenis

sistem yang kami minati bisa dideskripsikan secara umum sebagai susunan elemen-elemen

Page 12: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

atau komponen-komponen secara langsung atau tidak langsung berkaitan didalam jaringan

kausal sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen dikaitkan dengan setidaknya

beberapa komponen lain dalam cara yang kurang lebih stabil didalam periode waktu

(Buckley, 1967:41).

Pengertian tentang sistem yang telah diuraikan sebelumnya diharapkan dapat

membantu untuk memahami teori sistem yang ada di dalam sosiologi, paling tidak

mengetahui tokoh-tokoh sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem. Tokoh-tokoh

sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem antara lain adalah Aguste Comte, Herbert

Spenser, Emile Durkheim, Karl Mark, Talcott Parsons, dan lain-lain. Berikut akan

dikemukakan beberapa tokoh sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem.

1. Auguste Comte.

Comte melihat sistem dalam hal adanya saling ketergantungan, kerjasama,

ikatan-ikatan sosial, misalnya yang terjadi di dalam pembagian kerja ekonomi. Semakin

luas pembagian kerja, maka semakin tinggi individualisme, tetapi juga semakin tinggi

saling ketergantungan. Di dalam analisis masyarakat, Comte mengatakan bahwa

masyarakat seperti organisme hidup. Ini dapat diartikan bahwa di dalam dinamika hidup,

tumbuh dan berkembangnya masyarakat itu berlaku konsep sistem sehingga

masyarakat itu terus berlangsung dan dapat bertahan sebagaimana kelangsungan hidup

organisme. Setiap bagian unsur akan saling mempengaruhi, saling memerlukan, saling

mengisi, saling melengkapi dalam satu kesatuannya. “Comte melihat masyarakat

sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah

bagian-bagian yang saling tergantung (Johnson, 1986: 82). Perspektif organik tersebut

berpendapat bahwa masyarakat sebagai suatu organisme hanya dapat dimengerti

secara totalitas bukan pada saat sebagai suatu kenyataan kumolan individu-individu.

Adanya saling ketergantungan dan interaksi menghasilkan fenomena-fenomena dan arti

Page 13: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

yang lebih tinggi karena individu-individu yang berkumpul menjadi lebur dalam kesatuan

kelompok masyarakat.

Tentang stabilitas sosial, Comte berpendapat bahwa saling ketergantungan yang

harmonis diantara bagian-bagian yang terdapat dimasyarakat memberikan sumbangan

pada stabilitas sosial. Keteraturan sosial akan terancam oleh berbagai hal seperti

anarkhi sosial, moral, intelektual, akan tetapi stabilitas sosial akan selalu diperkuat

kembali. Dasar utama keteraturan sosial menurut Comte adalah keluarga, bukan

individu. Sebab, individu-individu tersebut terisolasi sejak kecil didalam keluarga

sehingga keluargalah yang memberikan pengaruh nilai-nilai yang paling besar.

2. Spenser

Spenser didalam bahasannya tentang evolusi masyarakat, menganalogikan

masyarakat dengan suatu organisme. Menurut Spenser, sistem pemerintahan ibarat

urat nadi yang mempunyai fungsi koordinasi (penyelarasan) dan pemersatuan.

Pemerintahan sebagai suatu sistem organisme berdiri sendiri serta berevolusi dibawah

suatu hukum. Masyarakat didalam suatu pemerintahan sebagai suatu organisme

menghasilkan kebutuhan-kebutuhannya untuk memelihara, menjaga, dan

mempertahankan kehidupannya. Dalam hal ini masyarakat mempunyai ekonomi untuk

mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Untuk itu masyarakat juga mempunyai

sistem didtribusi seperti fungsi pembuluh, atau seperti infrastruktu jaringan komunikasi-

komunikasi.

Menurut spenser perubahan pada suatu bagian di masyarakat maupun

organisme akan membawa dampak secara keseluruhan. Perubahan ekonomi, atau

perubahan politik Negara yang cukup drastis akan merubah kesejahteraan keluarga,

sistem pendidikan, lembaga sosial yang ada, dan lain-lain.

Page 14: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Analogi organisme Spenser terhadap masyarakat diatas menurut Spenser

sendiri bukan suatu yang dapat diterima bigitu saja. Namun dapat diakui bahwa

masyarakat mempunyai berbagai aspek yang dapat dianalogikan dengan organisme.

3. Karl Mark

Mark menggunakan konsep sistem antara lain dalam pandangannya tentang

masyarakat dan kapitalis yang mempunyai hubungan antar kelas. Tentang stuktur

sosial, Mark menekankan saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan

kondisi material dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan

memenuhi berbagai kebutuhannya, (Johnson, 1986 : 162).

Mark memandang kemungkinan terjadinya konflik antar kelas yang

mengakibatkan perubahan sosial. Kepentingan-kepentingan kelas berbeda,

sertakontradiksi antara kekuatan-kekuatan produksi material dan hubungan-hubungan

produksi adalah kontradiksi-kontradiksi internal yang terdapat didalam masyarakat yang

selanjutnya membawa perubahan sosial. Adanya pembagian kerja dan pemilikan pribadi

di masyarakat merupakan sumber pertentangan antara kepentingan-kepentingan

material dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Konflik-konflik yang terjadi tersebut

tidak dapat dihilangkan didalam suatu sitem. Akan tetapi sesuai dengan pandangan

pendekatan sistem, masing-masing bagian akan mampu menyesuaikan diri kembali,

meskipun dapat berlangsung ada kalanya dalam waktu yang panjang.

4. Talcott Parson

Parson dan pengikutnya merupakan orang-orang yang telah berhasil membawa

pendekatan fungsionalisme struktural kedalam petumbuhan teori-teori sosiologi. Dipihak

lain, Parson menerima banyak kritik pula atas teori fungsionalismenya tersebut. Parson

dipandang tidak proporsional didalam membahas masyarakat. Dia terlalu berpusat pada

peran bagi unsur-unsur normatif yang akan mengatur perilaku sosial.individu yang akan

menjamin stabilitas sosial. Parson terlalu percaya bahwa sistem sosial memiliki

Page 15: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

kecenderungan mencapai stabilitas sosial (equilibrium) melalui consensus-konsensus

yang dicapai anggota. Disfungsi dan penyimpangan-penyimpangan terjadi karena faktor

luar. Pandangan seperti ini telah mengabaikan pandangan bahwa disfungsi, konflik, dan

penyimpangan-penyimpangan yang bersifat internal juga terjadi.

Penggunaan pendekatan sistem oleh Parsons yang lainnya antara lain mengenai

pendapatnya tentang realitas sosial. Pada mulanya Parsons berpendapat bahwa realitas

sosial adalah “action” yang berarti tindakan manusia yang disertai adanya kesadaran,

kemauan. Ini berbeda dari arti “behavior” yang hanya mengandung satu gerak fisik saja.

Kemudian parsons mengubah pandangannya. Dia mengemukakan bahwa “perilaku

sosial” seseorang bukan merupakan satu-satunya realitas dalam kehidupan sosial. Akan

tetapi ”situasi sosial” pelaku (aktor) , yakni seluruh variabel-variabel bebas seperti umur,

jenis kelamin, pendidikan, kelas sosial, nilai-nilai dan sebagainya menjadi sasaran

analisis. Pendapat ini menunjukan bahwa konsep relasional, yaitu sistem sosial berlaku.

Parsons berpandangan bahwa setiap kehidupan bersama atau masyarakat merupakan

jaringan dari peranan-peranan sosial yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat

seperti peran dokter, ibu rumah tangga, petani, dosen, dan lain-lainnya. Dengan

mengambil bagan masyarakat sebagai sistem sosial dari Cannon yang mengemukakan

bahwa tiap-tiap sistem biologis bersifat homeostatis. Parsons mengintrodusir kedalam

sosiologinya dua cirri khas: a) konsep fungsi yang dimengerti sebagai sumbangan

kepada keselamatan dan ketahanan sistem sosial. Dan b) konsep pemeliharaan

keseimbangan, adalah cirri utama dari tiap-tiap sistem sosial, (Veeger, 1990: 202).

Page 16: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

3. TEORI INTRAKSI SIMBOLIK

Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu

komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik

terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi

dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu

perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis”

(Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya

nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap

individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial

masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan

pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap

individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif

interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta

inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang

perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam

konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung

ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96),

interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami

bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana

cara dunia membentuk perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari

pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan

tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat

(Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam

Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk

makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:

Page 17: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

(1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna

sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi

dengan individu lain,

(2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut

pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang

dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan

(3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan

dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam

perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia

dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan

karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96),

dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan

untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.

`Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik

antara lain:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

2. Pentingnya konsep mengenai diri,

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi

perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses

komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi

secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat

disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer

(1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain

kepada mereka,

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-

Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep

diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.

Page 18: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-

Turner (2008: 101), antara lain:

1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,

2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan

individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi

perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang

ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai

keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini

adalah:

1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,

2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep

pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-

asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:

Tiga tema konsep pemikiran Mead

• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

• Pentingnya konsep diri,

• Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer

• Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada

mereka,

• Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

• Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,

• Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,

• Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,

• Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,

• Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Page 19: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

4. TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar

pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan

fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural

fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai

organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan

tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.

Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan

untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim,

dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte

dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert

Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme,

hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana

ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional.

Dipengaruhi oleh kedua orang ini,

Studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim

mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian

– bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing –

masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu

sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak

keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons

dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan

Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran

Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

Visi substantif mengenai tindakan sosial dan

Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.

Page 20: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons

dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam

kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya

kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri

pengamat.

Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan

hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme

yang diadopsi dari ilmu alam khusunya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-

cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang

berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut

pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada

prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan

konsep struktur.

Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan

kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan

hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi

dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.

Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu

menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut,

sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada

predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain

termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai

Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah

tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan.

Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi

sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang

diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam

Page 21: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak

hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan

menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai

sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan

fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain

melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam

melaksanakan fungsinya tersebut.

Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya

manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan

usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari

suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem

politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan

bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur

menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-

fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat

dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group),

dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan

yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.

Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta

pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara

struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari

infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi

sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus

dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi

komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik

menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.

Page 22: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam

sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli

sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai

keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki

seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang

menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu

tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai

contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan

mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu

depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan

menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem

dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya

sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut

keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan

patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.

Page 23: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

5. TEORI PERTUKARAN SOSIAL

Teori  Pertukaran Sosial dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar

dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan

orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangan

selanjutnya, berbagai pendekatan dalam teori pertukaran sosial semakin fokus pada bagaimana

kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan interaksi dan

menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan tersebut.

Teori pertukaran sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan berbagai penelitian

mengenai sikap dan perilaku dalam ekonomi (Theory of Economic Behavior). Selain itu, teori ini

juga digunakan dalam penelitian komunikasi, misalnya dalam konteks komunikasi interpersonal,

kelompok dan organisasi. Oleh karena itu, teori pertukaran sosial ini, selain menjelaskan

mengenai sikap dalam ekonomi, juga menjelaskan mengenai hubungan dalam komunikasi.

Thibault dan Kelley menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut, “asumsi

dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah setiap individu secara sukarela memasuki dan

tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari

segi ganjaran dan biaya”. Ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan merupakan empat

konsep pokok dalam teori ini (Rahmat, 2002: 121).

Empat konsep tersebut antara lain:

1.  Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu

hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang

dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan

berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.

2.  Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat

berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain

yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang

tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang

yang terlibat didalamnya.

Page 24: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

3.  Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang individu

merasa bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang

mendatangkan laba.

4.  Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria

dalam menilai hubungan individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka

baginya. Bila pada masa lalu seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat

perbandingannya menurun.

Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam teori ini adalah:

1.  Individu yang terlibat dalan interkasi akan memaksimalkan rewards

2.  Individu memiliki akses untuk informasi mengenai sosial, ekonomi, dan aspek-aspek

psikologi dari interkasi yang mengizinkan mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif.

3.  Individu bersifat rasional dan memperhitungkan kemungkinan terbaik untuk bersaing dalam

situasi menguntungkan.

4.  Individu berorientasi pada tujuan dalam system kompetisi bebas.

5. Pertukaran norma budaya.

Page 25: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

6. Teori Fenomenologi

1. Perspektif Fenomenologi

Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenomenologi boleh dikatakan

menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan

rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang

menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan

dibanding teori-teori melulu.

Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau

pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa

pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi

adalah:

(a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu

bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa

diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek

inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-kasus,

bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan akibat,

karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values free.

Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah

generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa

kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.

Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan

sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara

peneliti budaya dengan informan.

Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas

harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam

perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a)

fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya

pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan,

penyaringan untuk menentukan keberadaan, penggambaran gejala (refleksi), (c)

fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.

Page 26: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas

ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap

suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala

budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu

itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.

Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomenologi tidak

dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam

pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir,

1998:12-13) menyatakan bahwa obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual),

melainkan mencakup fenomena yang tidak lain terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan,

dan keyakinan subyek yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian

dalam suatu kontsruksi ganda, melihat obyeknya dalam suatu konteks natural, dan bukan

parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik daripada sekedar

linier kausal.

Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah ke arah membangun ilmu ideografik

budaya itu sendiri.Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran,

yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan

kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi

menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian.

Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami

menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8)

bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya

terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.

Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi

orang-orang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam

merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan

adalah aspek subyek dari perilaku orang.

Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya

sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang

mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya seharihari. Makhluk hidup

tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan

orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

Page 27: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyektif dari perilaku

budaya. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia subyek yang ditelitinya sedemikian rupa

sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam

hidup sehari-hari. Subyek penelitian dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan

pengalamannya melalui interaksi. Peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara

mentah. Peneliti cukup arif dengan cara memberikan “tekanan” pada subyek untuk

memaknai tindak budayanya, tanpa mengabaikan realitas.

Hal tersebut dapat dipahami, karena menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah

fenomena itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan

berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun.

Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati kebudayaan dan pelaku

budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang mereka alami. Pengalaman yang

dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di

antaranya akan terkait dengan ihwal seluk beluk kebudayaan itu sendiri.

Akibat dari tumbuh kembangnya kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin jika para

ahli peneliti budaya fenomenologi mulai dihadapkan pada sejumlah permasalahan

kebudayaan. Pada dasarnya, ada tiga permasalahan pokok ketika orang akan melukiskan

kebudayaan yaitu: (1) mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh

perbedaan minat di kalangan ahli peneliti budaya, (2) masalah sifat data itu sendiri, artinya

seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan atau seberapa jauh data tersebut

benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, dan (3)

menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara para ahli masih sering berbeda

kriterianya.

Berdasarkan ketiga hal itu, dalam studi fenomenologi terutama sebagai upaya

memahami sugesti Malinovski tentang “to grasp the native’s point of view, his relation to life

to realize his vision of his world”, Ahimsa-Putra (1985:106-109) menawarkan pendekatan

etnosains sebagai salah satu alternatif.

Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model

linguistik yang dikenal dengan pelukisan kebudayaan secara etik dan emik, pemaknaan

kebudayaan menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini ini pendefinisian kebudayaan

merupakan akumulasi dari sistem pengetahuan atau sistem ide, dalam istilah “makna” yang

diberikan oleh pendukung kebudayaan pun turut diperhitungkan.

Page 28: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Implikasi dari pendekatan tersebut, penelitian budaya secara fenomenologi dapat

digolongkan menjadi tiga yakni: Pertama budaya dipelajari oleh mereka yang berpendapat

bahwa kebudayaan merupakan “forms of things that people have mind”, yang dalam hal ini

ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial

yang dihadapi.

Kedua, mereka yang mengarahkan perhatiannya pada bidang rule atau aturan-aturan.

Mereka berpijak pada definisi pertama yaitu kebudayaan sebagai hal yang harus diketahui

seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat

diterima oleh warga masyarakat itu berada. Persoalan ketegorisasi masih diperhatikan,

khususnya kategorisasi sosial yaitu untuk mengkategorisasikan interaksi sosial.

Tujuan utamanya adalah mencari prinsip klasifikasi, seperti halnya klasifikasi dalam

undha usuk bahasa Jawa, yaitu kowe, sapeyan, panjenengan.

Ketiga, ahli peneliti budaya masih menggunakan definisi yang kedua, yaitu kebudayaan

sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”,

yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini,

para ahli peneliti budaya beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai

macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah laku

manusia makna tersebut harus diungkapkan. Tanpa memperhitungkankan makna ini maka

peneliti tidak akan mampu mengungkap hakikat manusia yang sebenarnya. Penekanan si

peneliti kemudian mencari tema budaya.

Dari kaca pandang fenomenologis yang dipengaruhi oleh pendefinisian kebudayaan

itu, pada gilirannya kebudayaan menjadi lebih kompleks. Kebudayaan menjadi sangat

`tergantung’ siapa yang memandang. Jika warga setempat paham terhadap yang mereka

lakukan, tentu pendefinisian akan berlainan dengan warga yang samar-samar terhadap

budayanya. Kedua pandangan yang berbeda ini pun dalam perspektif fenomenologi harus

tetap dihargai. Oleh karena perbedaan pendapat adalah khasanah fenomena budaya itu

sendiri.

2. Sebagai Tonggak Arah Baru

Kehadiran Jackson (1996) dalam fenomenologi telah menghasilkan arahan-arahan

baru dalam penelitian budaya secara etnografi. Arahan-arahan tersebut oleh Jackson

ditunjukkan secara samar, berupa kritik dari sisi peneliti budaya terhadap pendekatan

fenomenologi. la dengan tajam mengritik pandangan empirisme radikal William James,

Page 29: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

naturalis John Dewey, dan fenomenolog MarleauPcenty. Dari ulasannya, akan ditemukan

beberapa arahan baru bidang kajian peneliti budaya fenomenologi dan penulisan

etnografinya.

Dalam pengkajian dapat dikemukakan arahan baru fenomenologi bagi penelitian

budaya sebagai berikut: Pertama, adanya kajian terhadap penyakit. Kajian ini lebih

menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh pasien daripada yang dikonsepsikan oleh

ilmu kesehatan. Hal ini berarti bahwa kajian yang dilakukan telah ke arah fenomenologi

karena telah mempertimbangkan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai

subjek penelitian.

Dalam kaitan ini, Arthur Kleinman menggunakan istilah “dunia moral lokal” untuk

menunjukkan latar belakang ekonomi, sosial, dan politik dalam kaitannya dengan penyakit

pasien. Latar belakang ini selanjutnya dihubungkan dengan pengalaman pasien sehingga

akan terpahami realita moral khusus yang ada di dalamnya. Pengkajian lebih jauh lagi juga

dikaitkan dengan latar belakang budaya pasien. Pandangan semacam inilah yang `mungkin’

dikenal dengan peneliti budaya kesehatan.

Kedua, adanya kajian peneliti budaya fenomenologi yang tetap memperhatikan

“dunia moral lokal” terhadap masalah “ekologi”. Seperti halnya ditunjukkan oleh Sartre,

seorang eksistensialis yang mulai menekankan pengkajian terhadap masalah situasi dan

lingkungan. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia yang akan

membentuk dan dibentuk oleh budaya setempat dan atau oleh budaya lain. Pandangan

terhadap manusia yang mulai sadar terhadap situasi dan lingkungan ini, pada gilirannya

menjadi perhatian ekologi budaya yang pernah dicetuskan oleh Julian Steward (Bennett,

1971:24).

Hal serupa sebagaimana pernah dilakukan penelitian oleh Rene Davisch terhadap

pelaku pemujaan suku Yaka di Zaire. la berhasil mengungkap bagaimana kiasan merupakan

jaringan hubungan dunia kehidupan. Bagi orang Yaka, lingkaran kehidupan menurut

kiasannya dipadukan dengan irama musim dan matahari. Pengkajian semacam ini, dapat

mengaitkan hubungan ekologis dengan faktor kultural setempat. Peneliti tentunya akan

mengaitkan pandangan masyarakat lokal sebagai akumulasi interaksi di antara mereka.

Permasalahan semacam ini, diakui atau tidak lalu menarik perhatian para ahli

peneliti budaya yang menekankan pada budaya ekologi. Misalkan, manusia (peneliti) mulai

sadar mengapa masyarakat tertentu ada yang memanfaatkan limbah menjadi hal yang

istimewa.

Page 30: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Ketiga, arahan baru terhadap pengkajian peneliti budaya fisik. Sebagaimana

ditunjukkan oleh Merleau-Ponty bahwa subyektivitas adalah merupakan kehidupan fisik di

dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula: Karena

itu pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan kehidupan fisik ini karena fisik merupakan

aspek primordial dari subyektivitas manusia sebagai makhluk sosial.

Keempat, arahan baru terhadap penelitian historiografi, yaitu memandang fenomena

dalam kaitannya kehidupan dan sejarah. Hal ini seperti dicontohkan Jackson, yaitu penelitian

terhadap sejarah petani di India.

Dalam bidang penulisan etnografi, dapat diketengahkan arahan baru fenomenologis

sebagai berikut: Pertama, arahan-arahan baru dalam penulisan etnografi. Seperti halnya

yang diungkapkan Abu Lughod, etnografer dapat menyusun kesadaran `subyektivitas’ yang

selanjutnya diarahkan pada penulisan biografi individu. Etnografi individu ini digambarkan

melalui ceritera seorang individu tentang keunikan kehidupannya.

Kedua, arahan baru dalam penulisan etnografi secara `naratif. Sebagaimana

ditunjukkan Jurgen Hubermas bahwa dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia wacana,

permainan bahasa, dan aktivitas komunikasi. Kenyataan ini sarat dengan penulisan ceritera

naratif yang disertai dialog-dialog hidup. Kemungkinan besar etnografi semacam ini akan

lahir seperti halnya novel.

Dari arah-arahan baru fenomenologi tersebut, penelitian budaya semakin

menunjukkan kecerahan. Penelitian budaya dapat memanfaatkan- pendekatan

fenomenologis, terutama untuk model penelitian etnografi. Dari pendekatan tersebut

peneliti budaya akan mampu menampilkan realitas dan keaslian budaya yang diteliti.

Campur tangan peneliti terhadap konsep-konsep budaya akan relatif kecil, sehingga ilmu

budaya pada gilirannya akan semakin berkembang. Dalam penjelasan Phillipson (Walsh,

1972:135-137) tampak bahwa ada dua paham metodologi fenomenologi, pertama fenome-

nologi yang berusaha untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun. Kedua,

fenomenologi yang berusaha memahami fenomena sebagai obyek kesadaran.

Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun, ini berarti

masih fenomenologi murni. Secara alamiah peneliti budaya akan menanyakan persepsi

subyek budaya terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu, baik

kesadaran subyek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan

tonggak terjadinya penafsiran.

Page 31: 7 TEORI SOSIAL Struktural Fungsional

Dari paham kedua tersebut tampak bahwa dalam fenomenologi pun telah terjadi

penafsiran terhadap fenomena: Fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana

adanya, melainkan telah melalui penafsiran. Baik penafsiran yang dilakukan oleh partisipan

maupun peneliti ketika memberikan umpan balik, tetap telah terjadi sebuah pemahaman.

Dalam kaitan ini, kesadaran partisipan maupun peneliti telah bermain di dalamnya,

sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang lebih baik. Terlebih lagi Goodenough

(Geertz (1980:13) menyatakan bahwa kebudayaan (ditempatkan) dalam pikiran-pikiran dan

hati manusia. Pemikiran dan hati ini hanya akan dapat nampak dalam suatu tindakan.

Tindakan inilah yang dapat dilihat sebagai fenomena yang jelas. Pada saat peneliti dan

partisipan berhadapan dengan tindakan mau tidak. mau harus memahaminya. Inilah yang

kelak akan berkembang ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan.