7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan,...

28
7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL 7.1 Pendahuluan Secara umum Indonesia memiliki keragaman kebudayaan yang berdampak pada keragaman lingkungan sosial. Keragaman lingkungan sosial ini dapat terbentuk karena adanya dinamika masyarakat yang berbeda, kondisi geografis dan ragam ekosistem (Purba, 2002). Dengan demikian keragaman lingkungan sosial di Indonesia dapat dilihat berdasarkan lokalitas/geografis yang dibagi menjadi lingkungan sosial pesisir dan pedalaman atau perairan dan daratan. Berdasarkan bentuk mata pencaharian dapat dibagi menjadi lingkungan sosial berburu, meramu, berladang berotasi atau petani tidak menetap, petani menetap dan musiman, serta industri dan jasa. Sedangkan berdasarkan administratif, dapat dibagi menjadi lingkungan sosial pedesaan dan perkotaan. Khusus untuk lingkungan sosial pedesaan terdiri dari lingkungan sosial nelayan atau pesisir, peladang-pemburu-peramu, petani menetap. Dalam pendekatan geografi-budaya lingkungan sosial pesisir secara umum mencakup kesatuan-kesatuan hidup manusia yang berdiam dan mengembangkan kehidupan sosialnya di daerah yang relatif dekat dengan laut. Dengan kata lain yang termasuk ke dalam kategori lingkungan sosial pesisir adalah masyarakat yang berdiam di daratan dekat dengan laut dan masyarakat yang secara khas menghabiskan sebagian besar masa hidupnya diatas perairan laut. Dalam pengertian ini komunitas perairan seperti Orang Laut di Kepulauan Riau dan Orang Bajau di perairan sebelah timur Sulawesi, tergolong kedalam lingkungan sosial pesisir. Bagi komunitas ini ketergantungan hidup mereka kepada sumberdaya alam daratan juga sama besarnya dengan ketergantungan mereka kepada sumberdaya perairan. Dilihat dari tipologinya, masyarakat pesisir di Indonesia dikategorikan berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerah pesisir dengan segala kondisi geografisnya dapat di bagi menjadi tiga kategori yaitu masyarakat perairan, masyarakat nelayan, dan masyarakat pesisir tradisional. Masyarakat nelayan dianggap sebagai kelompok masyarakat pesisir yang paling banyak

Transcript of 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan,...

Page 1: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL

7.1 Pendahuluan

Secara umum Indonesia memiliki keragaman kebudayaan yang berdampak

pada keragaman lingkungan sosial. Keragaman lingkungan sosial ini dapat

terbentuk karena adanya dinamika masyarakat yang berbeda, kondisi geografis

dan ragam ekosistem (Purba, 2002). Dengan demikian keragaman lingkungan

sosial di Indonesia dapat dilihat berdasarkan lokalitas/geografis yang dibagi

menjadi lingkungan sosial pesisir dan pedalaman atau perairan dan daratan.

Berdasarkan bentuk mata pencaharian dapat dibagi menjadi lingkungan sosial

berburu, meramu, berladang berotasi atau petani tidak menetap, petani menetap

dan musiman, serta industri dan jasa. Sedangkan berdasarkan administratif, dapat

dibagi menjadi lingkungan sosial pedesaan dan perkotaan. Khusus untuk

lingkungan sosial pedesaan terdiri dari lingkungan sosial nelayan atau pesisir,

peladang-pemburu-peramu, petani menetap.

Dalam pendekatan geografi-budaya lingkungan sosial pesisir secara umum

mencakup kesatuan-kesatuan hidup manusia yang berdiam dan mengembangkan

kehidupan sosialnya di daerah yang relatif dekat dengan laut. Dengan kata lain

yang termasuk ke dalam kategori lingkungan sosial pesisir adalah masyarakat

yang berdiam di daratan dekat dengan laut dan masyarakat yang secara khas

menghabiskan sebagian besar masa hidupnya diatas perairan laut. Dalam

pengertian ini komunitas perairan seperti Orang Laut di Kepulauan Riau dan

Orang Bajau di perairan sebelah timur Sulawesi, tergolong kedalam lingkungan

sosial pesisir. Bagi komunitas ini ketergantungan hidup mereka kepada

sumberdaya alam daratan juga sama besarnya dengan ketergantungan mereka

kepada sumberdaya perairan.

Dilihat dari tipologinya, masyarakat pesisir di Indonesia dikategorikan

berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerah pesisir dengan

segala kondisi geografisnya dapat di bagi menjadi tiga kategori yaitu masyarakat

perairan, masyarakat nelayan, dan masyarakat pesisir tradisional. Masyarakat

nelayan dianggap sebagai kelompok masyarakat pesisir yang paling banyak

Page 2: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

185

memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk

kelangsungan hidupnya.

Masyarakat nelayan pada umumnya telah bermukim secara tetap di

daerah-daerah yang mudah mengalami kontak-kontak dengan masyarakat lain.

Dengan demikian sistem ekonomi masyarakat nelayan pada umumnya tidak dapat

lagi dikategorikan masih berada pada tingkat subsisten, tetapi sudah masuk ke

sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak dikonsumsi

sendiri, tetapi didistribusikan dengan imbal ekonomis kepada pihak-pihak lain.

Masyarakat nelayan dapat dikategorikan sebagai bagian dari satu suku

bangsa yang besar misalnya masyarakat nelayan Bagan Siapiapi (bagian dari suku

bangsa Cina), nelayan Marunda, Muara Karang dan Cilincing di Jakarta Utara

(bagian suku bangsa Betawi), nelayan Pelabuhan Ratu (bagian suku bangsa

Sunda), nelayan Cilacap dan Tegal (bagian suku bangsa Jawa) dan kelompok

masyarakat nelayan daerah lainnya.

Aspek sosial dalam kajian ini difokuskan pada kajian dimensi sosial yang

terkait dengan keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dilokasi yang telah

ditentukan. Kajian keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi sosial dilakukan

untuk menggambarkan kehidupan nelayan sebagai manusia yang harus

beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sumberdaya perikanan sebagai sumber

kehidupannya. Aspek sosial yang selama ini terabaikan perlu mendapatkan

perhatian serius dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan laut, sehingga

upaya pencapaian distribusi, pemerataan pendapatan, dan penanganan konflik

yang proporsional diantara berbagai kelompok pengguna sumberdaya perikanan

dapat tercapai.

Analisis Rapfish pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari 9

atribut yaitu pengetahuan lingkungan perikanan, partisipasi keluarga dalam

pemanfaatan sumberdaya perikanan dan sosialiasi pekerjaan (individual atau

kelompok), jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk di wilayah masing-

masing, tingkat pendidikan, status dan frekuensi konflik, frekuensi pertemuan

antar warga berkaitan pengelolaan sumberdaya perikanan, frekuensi penyuluhan

dan pelatihan, dan pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahun

terakhir).

Page 3: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

186

Atribut pengetahuan lingkungan perikanan dan partisipasi keluarga

berguna untuk mengetahui sampai sejauh mana dapat dilihat tingkat kepedulian

dan ketergantungan mereka terhadap sumberdaya perikanan. Atribut RTP dan

pertumbuhan pekerja sumberdaya perikanan (5-10 tahun terakhir) untuk

mengetahui bagaimana peningkatan penduduk yang bergantung terhadap

sumberdaya perikanan yang semakin menurun. Atribut frekuensi pertemuan antar

warga dan penyuluhan/pelatihan untuk mengetahui bagaimana peran serta para

nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Atribut status dan frekuensi

konflik untuk melihat bagaimana sumberdaya perikanan dan laut itu menjadi hal

yang sangat penting untuk dikelolah secara benar akibat keberadaannya yang

semakin sedikit. Atribut tingkat pendidikan untuk melihat pengetahuan mereka

terhadap suatu masalah, penerimaan terhadap masukan-masukan mengenai

pengelolaan sumberdaya perikanan dan lain sebagainya.

7.2 Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian Bab 7 ini sama seperti yang telah

dibahas pada bab sebelumnya yaitu gabungan antara penelitian deskriptif dan

survei langsung (pengamatan dan wawancara). Data tentang pengetahuan

lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi

keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, frekuensi pertemuan antar

warga berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, sosialisasi pekerjaan

(individual atau kelompok) dan frekuensi penyuluhan dan pelatihan diperoleh

berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan dan pengamatan langsung di

kedua lokasi penelitian.

Sedangkan data jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk di wilayah

kajian dan pertumbuhan pekerja/RTP pengeksploitasi SDI (dalam kurun waktu 5-

10 tahun terakhir) diperoleh berdasarkan laporan dinas perikanan, badan pusat

statistik dan dinas-dinas terkait yang berwenang mengeluarkan data-data tersebut.

Pemilihan dan jumlah responden untuk wawancara langsung dilakukan sama

seperti pada bab 5 : keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi ekologi.

Selain proses pengumpulan data, bab ini juga membahas hal-hal yang

berkaitan dengan dimensi sosial ditinjau dari perspektif keberlanjutannya.

Page 4: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

187

Perspektif keberlanjutan dari dimensi sosial antara lain dengan melakukan analisis

keadaan sosial serta atribut-atribut yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan

tangkap dari sisi sosial.

Metode dalam penentuan indeks keberlanjutan sosial perikanan tangkap

dengan teknik Rapfish dilakukan melalui sistimatika yang telah ditentukan seperti

telah diuraikan pada Bab 3 (Metode Umum Penelitian). Indeks status

keberlanjutan sosial perikanan tangkap dimulai dengan pembuatan skor setiap

atribut pada dimensi sosial berdasarkan kondisi realita data di lapangan baik

dengan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun dengan menggunakan

data sekunder. Penyusunan skor ini berdasarkan acuan-acuan yang telah dibuat

baik melalui literatur maupun judgment dari penulis dengan asumsi-asumsi dan

dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam program

microsoft excel dengan template sosial yang telah dipersiapkan sebelumnya

kemudian di-run sehingga diperoleh nilai multidimenstional scaling dari Rapfish

yang lebih dikenal dengan indeks keberlanjutan.

Nilai indeks keberlanjutan perikanan skala kecil ini pada metode Rapfish

diketahui mempunyai reference dari bad (buruk) sampai good (baik) dalam selang

0-100. Untuk memudahkan dalam penentuan status keberlanjutan usaha perikanan

baik di Kabupaten Serang maupun Kabupaten Tegal maka selang dari bad (0)

sampai good (100) tersebut di bagi menjadi beberapa bagian, yaitu dengan

membagi empat selang 0-100 tersebut. Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu

selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50 dalam status kurang, selang 51-75

dalam status cukup dan selang 76-100 dalam status baik. Pembagian selang yang

menggambarkan status indeks keberlanjutan sosial dapat dilihat pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1 Selang indeks dan status keberlanjutan sosial perikanan tangkap

skala kecil

No Selang Indeks Keberlanjutan Status Keberlanjutan 1 0-25 Buruk 2 26-50 Kurang 3 51-75 Cukup 4 76-100 Baik

Page 5: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

188

7.3 Hasil Penelitian

7.3.1 Kondisi sosial kegiatan perikanan tangkap

7.3.1.1 Pantai Pasauran Kabupaten Serang

Kegiatan perikanan tangkap yang saat ini dilakukan bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan / menjadi sumber nafkah utama. Walaupun secara mayoritas

berpendidikan sangat rendah yaitu Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD dan

hanya sebagian kecil yang tamat pendidikan SLTP, secara umum komunitas

nelayan di Pasauran Kecamatan Cinangka Kabupaten Serang mencirikan kondisi

sosial yang sudah membaur dengan masyarakat lain pada umumnya atau tidak

terisolasi seperti yang diungkapkan oleh Kesteven (1973) dengan ciri subsisten.

Walaupun skala usahanya tergolong usaha skala kecil, pada umumnya mereka

sudah biasa bertransaksi langsung dalam melakukan usahanya sekalipun hanya

dilakukan di TPI setempat. Dalam melakukan penjualan hasil tangkapannya tidak

tercermin sebagai nelayan subsisten yang hanya berorientasi untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya tetapi sudah melakukan transaksi jual beli walaupun

dengan volume usaha yang terbatas sehingga hasil tangkapan hanya mampu untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Ditinjau dari perkembangan jumlah nelayan atau rumah tangga yang

memanfaatkan sumberdaya perikanan di Pasauran, telah terjadi peningkatan.

Pada tahun 1990-an nelayan jaring udang lobster hanya berjumlah 6 RTP dan

sekarang tahun 2005 sudah mencapai 40 RTP. Penambahan tersebut tidak untuk

menambah ABK persatuan unit usaha, tetapi justru menambah jumlah unit usaha

perikanan jaring udang lobster di Pasauran. Perkembangan ini disebabkan pada

mulanya penangkapan udang lobster di kawasan tersebut sangat menguntungkan.

Berbeda dengan unit penangkapan lobster yang meningkat, perkembangan unit

usaha penangkapan dengan payang bugis relatif stabil, tidak menunjukkan

lonjakan yang tinggi.

Ditinjau dari unit penangkapannya, usaha perikanan tangkap yang

digelutinya pada umumnya menggunakan tenaga sendiri atau keluarga dekat

terutama unit usaha perikanan jaring udang lobster. Dari sisi penggunaan waktu,

nelayan jaring udang lobster di Pasauran merupakan kegiatan paruh waktu dengan

jumlah jam usaha tidak lebih dari 4 jam perhari dan 6-7 jam untuk payang bugis

Page 6: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

189

dengan sifat pekerjaan menggunakan tangan. Ditinjau dari pengaturan hasil

tangkapannya, jenis usaha jaring udang lobster dan payang bugis kedua-duanya

mencirikan perikanan artisanal yang melakukan penjualan untuk pasar lokal tidak

terorganisir dan sebagian langsung ditampung oleh bakul. Dengan skala usaha dan

investasi yang relatif kecil tersebut, secara umum keberadaan ekonomi komunitas

nelayan jaring udang lobster dan payang bugis bercirikan golongan masyarakat

dengan tingkat pendapatan rendah.

Secara psikologis nelayan di Pasauran memerlukan perhatian dan

pembinaan dari aparat terkait. Dalam kurun waktu 10 tahun tercatat ada satu kali

penyuluhan dari HNSI tentang alat dan cara penangkapan dengan pancing. Dalam

memecahkan persoalan dilingkungan usahanya, para nelayan melakukan diskusi

sesama mereka dalam pertemuan yang diinisiasi oleh ketua kelompok nelayan

setempat, walaupun pertemuan tersebut hanya dilakukan sekitar 3 kali dalam

setahun.

Dalam rangka menjaga lingkungan usahanya, para nelayan setempat sudah

bersepakat untuk tidak menangkap udang lobster dengan menggunakan bom, bius,

ataupun penyelaman. Apabila ada nelayan luar yang mendekati kawasan ”karang

dalam” pantai Pasauran, mereka bersepakat untuk mengusirnya terutama ketika

melihat nelayan menggunakan alat tangkap yang berbeda dengan jaring udang

lobster misalnya alat penyelaman atau jaring gardan.

Hal lain yang menonjol dari aspek sosial diperoleh informasi bahwa telah

terjadi konflik perebutan sumberdaya perikanan di wilayah pantai, yaitu dengan

masuknya nelayan andon dari Indramayu, Cirebon, Berebes dan Tegal yang

menggunakan alat tangkap jaring purse seine besar (jaring bolga : nama populer di

Pasauran) yang dilengkapi dengan alat bantu penangkapan (FADs) berupa lampu

galaxy dengan kekuatan ribuan watt (>10.000 watt) sehingga dianggap menjadi

penyebab menurunnya hasil tangkapan nelayan payang bugis di Pasauran, karena

ikan terakumulasi pada lampu rumpon tersebut.

7.3.1.2 Pantai Kabupaten Tegal

Kondisi sosial perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal tidak

berbeda jauh dengan kominitas nelayan di Pasauran Serang. Strata pendidikan

Page 7: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

190

mayoritas nelayan adalah tidak tamat SD, lulus SD dan sedikit sekali yang

berpendidikan sampai dengan SLTP dan SLTA. Kesejahteraan nelayan yang

dirasakan saat ini lebih disebabkan oleh karena anak-anaknya yang bekerja diluar

negeri sebagai ABK kapal ikan di Korea, Jepang, atau di Afrika yang setiap

bulannya atau kurun waktu tertentu mengirimkan sebagian gajinya kepada orang

tuanya di Suradadi dan sekitarnya. Untuk bekerja di luar negeri pada umumnya

mereka tamat pendidikan di SUPM/SMK Kelautan atau sederajat.

Dalam perkembangan usaha perikanan tangkap, nelayan di Suradadi dan

Munjung Agung merasakan kondisi sosial erat kaitannya dengan peranan

kelembagaan formal dan penegakkan hukum dalam dunia perikanan. Konflik

sosial antar nelayan menjadi hal yang sangat menghawatirkan mereka dalam

kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Beroperasinya jaring arad dari Brebes

dan Muarareja dianggap menjadi pemicu rusaknya sumberdaya perikanan dan

menurunnya tingkat pendapatan persatuan usaha. Degradasi lingkungan dirasakan

oleh karena tidak jelasnya peranan penegak hukum dan lembaga resmi dalam

pranata sosial di lingkungan nelayan. Nelayan setempat berpendapat bahwa untuk

jadi nelayan tidak perlu berpendidikan tinggi asalkan sumberdaya ikannya tersedia

secara berkelanjutan. Mereka mempunyai keyakinan dengan ketersediaan

sumberdaya ikan yang cukup kehidupan sosialnya akan lebih baik. Dalam hal ini

peranan pemerintah diharapkan dapat lebih ditingkatkan terutama yang berkaitan

dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di wilayahnya.

7.3.2 Kondisi sosial dalam atribut Rapfish

Penyusunan skor status keberlanjutan pada dimensi sosial perikanan

tangkap skala kecil berdasarkan keadaan lapang daerah penelitian dan berdasarkan

acuan dari kriteria yang telah dibuat. Hasil wawancara dan pengamatan lapang

yang dilakukan pada dua wilayah yaitu Kabupaten Serang (Desa Pasauran,

Kecamatan Cinangka) dan Perairan Kabupaten Tegal menghasilkan variabel atau

atribut dimensi sosial yang dapat dilihat pada Tabel 7.8 dan Lampiran 19. Untuk

pendefinisian kriteria data dari variabel atau atribut tersebut maka dilakukan

analisis data sebagai fakta atau realita data dalam atribut Rapfish.

Page 8: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

191

7.3.2.1 Jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) pengeksploitasi perikanan dalam suatu wilayah

Jumlah kepala keluarga (KK) di Kabupaten Serang tahun 2002 tercatat

sebesar 349.911 KK sedangkan pada tahun 2003 tercatat 359.556 KK yang berarti

telah terjadi peningkatan jumlah KK sebesar 2,76 % (Tabel 7.2). RTP terdiri dari

RTPP (Rumah Tangga Pemilik Perikanan) dan RTBP (Rumah Tangga Buruh

Perikanan). Jumlah RTP Kabupaten Serang tahun 2003 sebanyak 783 RTP dan

RTBP Kabupaten Serang tahun 2003 sebanyak 4.704 RTBP. Total RTP/RTBP di

Kabupaten Serang berjumlah 5.487 RTP. Dengan demikian jumlah RTP di

Kabupaten Serang sebesar 1,53 % jika dibandingkan dengan jumlah KK (Kepala

Keluarga) di kabupaten ini (0).

Tabel 7.2 Jumlah KK dan jumlah RTP tahun 2003 di perairan Pantai Pasauran

Kabupaten Serang dan perairan Kabupaten Tegal

Wilayah Jumlah KK Jumlah RTP % (RTP / KK) Kabupaten Serang 359.556 5.487 1,53Kabupaten Tegal 331.768 2.921 0,88

Sumber : BPS Kab. Serang dan BPS Kab. Tegal (2004)

Jumlah KK di Kabupaten Tegal pada tahun 2003 tercatat sebesar 331.768

KK. Jumlah RTP di Kabupaten Tegal tercatat 422 RTP dan jumlah RTBP-nya

tercatat 2.499 RTBP (Tabel 7.2). Total RTP/RTBP di Kabupaten Tegal berjumlah

2.921 RTP. Hal ini berarti jumlah RTP di Kabupaten Tegal sebesar 0,88 % jika

dibandingkan dengan jumlah KK di Kabupaten Tegal (0).

7.3.2.2 Pengetahuan lingkungan sekitar baik pemukiman, perairan maupun perikanan

Hasil penelitian melalui wawancara dan pengamatan diperoleh mengenai

pengetahuan para nelayan di Kabupaten Serang tentang lingkungan perairan dan

isu perikanan yang terjadi. Hasil wawancara dan pengamatan mengenai

pengetahuan nelayan tentang lingkungan di Kabupaten Serang dapat dilihat pada

Tabel 7.3. Pengetahuan mereka antara lain mengenai limbah pencemaran dari

pabrik-pabrik yang beroperasi dan membuang limbahnya ke perairan Serang. Hal

ini mereka ketahui dari air laut yang terkadang berwarna hijau dan kadang-kadang

Page 9: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

192

menyebabkan gatal-gatal. Nelayan-nelayan ini juga mengetahui tentang

tumpahan minyak dari kapal-kapal yang melintas di perairan Serang yang akan

membunuh biota-biota laut. Para nelayan di Kabupaten Serang ini juga

memahami isu perikanan mengenai dilarangnya penggunaan trawl atau pukat

harimau di perairan Serang. Karena pemahaman para nelayan Kabupaten Serang

mengenai alat tangkap yang merusak maka para nelayan ini berusaha menjaga

perairan tangkap perikanan baik dengan mengadakan pertemuan-pertemuan

kelompok nelayan maupun mengadukan masalah pelanggaran perikanan kepada

pihak yang berwenang. Pada satu kasus di Kecamatan Cinangka, Kabupaten

Serang ini pernah ada beberapa anggota nelayan mereka menggunakan alat

tangkap baru yang merusak maka kelompok nelayan mereka sendiri yang

menegurnya, bahkan meminta nelayan pemilik alat tangkap yang merusak

tersebut membakarnya. Selain itu beberapa nelayan yang sudah berumur

mengatakan ada 1-2 jenis ikan yang hilang dalam kurun waktu 10-20 tahun

belakangan ini. Peneliti juga mengamati bahwa penduduk di wilayah ini

(Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang) juga terlihat lebih bersih baik tempat

tinggal, lingkungan maupun pola hidupnya seperti membuang sampah ke tempat

sampah. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pengetahuan nelayan baik yang

mengoperasikan payang bugis maupun jaring udang dengan menggali isu-isu

mengenai pengetahuan terhadap lingkungan terutama isu mengenai perikanan di

Kabupaten Serang baik sebenarnya sangat luas (2), yang tidak hanya memahami

tentang pengetahuan terhadap lingkungan namun sudah menerapkannya.

Tabel 7.3 Hasil wawancara dan pengamatan terhadap pengetahuan nelayan

mengenai lingkungan sekitar baik perairan maupun perikanan

No Wilayah Pengetahuan Lingkungan

Penerapan / Pelaksanaan

Pelanggaran dari Pengetahuan Lingkungan

Skor

1 Kabupaten Serang Ada Ada Tidak Ada Sangat

Luas (2) 2 Kabupaten

Tegal Ada Tidak Ada Banyak Sangat Minim (0)

Page 10: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

193

Walaupun nelayan Tegal memiliki pengetahuan tentang lingkungan,

namun pelanggaran terhadap norma lingkungan tetap terjadi. Hal ini dapat

diketahui dari kasus masalah sampah yang bertebaran di pemukiman nelayan,

bahkan disekitar pantai perairan mereka dimana mereka cenderung membuangnya

ke perairan laut sekitar mereka tinggal. Selain itu mereka juga mencoba alat

tangkap baru walaupun merusak, karena bagi para nelayan di Kabupaten Tegal

asalkan biaya operasional tertutup bahkan menguntungkan mereka akan

menggunakan atau mengoperasikannya. Hal ini menggambarkan bahwa

masyarakat nelayan di Kabupaten Tegal mengerti tentang pengetahuan masalah

lingkungan akan tetapi tidak melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan

cenderung untuk melakukan pelanggaran. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

pengetahuan mereka akan lingkungan baik lingkungan tempat tinggal maupun

lingkungan perairan dan perikanan sangat minim (0).

7.3.2.3 Tingkat pendidikan

Pencapaian pendidikan merupakan salah satu ukuran untuk menilai

kemajuan suatu masyarakat. Masyarakat yang berpendidikan akan lebih mudah

menyerap informasi-informasi kemajuan peradaban, sehingga dapat meningkatkan

kualitas penduduk daerah yang bersangkutan. Pendidikan juga mempunyai

korelasi yang kuat dengan berbagai aspek sosial ekonomi. Berbagai penelitian

menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dengan

kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Karena itu

pembangunan pendidikan sangat penting untuk mencetak generasi yang memiliki

kemampuan dan kualitas yang unggul bagi kemajuan suatu bangsa.

Proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan bisa dipakai

sebagai salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam

menyerap tenaga kerja. Tabel 7.4 memperlihatkan bahwa sektor pertanian adalah

sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar. Pertanian merupakan sektor

informal menyerap tenaga kerja paling besar. Ini artinya jika tidak ada perluasan

kesempatan kerja pada sektor formal, para pengangguran atau setengah

penganggur akan kembali ke sektor pertanian maupun sektor tradisional /informal

Page 11: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

194

lainnya yang bersifat padat karya, yaitu sektor dengan produktifitas dan

pendapatan yang rendah.

Tabel 7.4 Proporsi pekerja menurut lapangan usaha Kabupaten Serang Tahun

2002 – 2003

No Indikator Tahun 2002 Tahun 2003 1 Pertanian 35,96 36,07 2 Pertambangan dan Penggalian 0,45 0,50 3 Industri 15,39 14,99 4 Listrik, gas dan air bersih 0,29 0,26 5 Konstruksi 4,06 4,11 6 Perdagangan, hotel dan restoran 21,55 21,31 7 Angkutan dan Komunikasi 12,31 12,37 8 Bank dan lembaga keuangan lainnya 0,85 0,84 9 Jasa-jasa 9,14 9,55

Jumlah 100,00 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Serang, 2003

Proporsi pekerja yang bekerja di sektor pertanian yaitu 35,96 % pada

tahun 2002 dan 36,07 % pada tahun 2003, dimana subsektor perikanan masuk ke

dalam sektor ini (Tabel 7.4). Jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang menjadi

tenaga kerja menurut IPM Kabupaten Serang (2003) pada tahun 2002 sebesar

1.342.745 jiwa dan pada tahun 2003 sebesar 1.347.207 jiwa. Rata-rata penduduk

10 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2002 sebesar

482.852 jiwa dan pada tahun 2003 sebesar 485.938 jiwa.

Tabel 7.5 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan bagi penduduk usia

10 tahun ke atas dalam indikator pendidikan kabupaten serang tahun 2002 – 2003

2002 2003

No Indikator % Penduduk di

Sektor Pertanian

% Penduduk di Sektor Pertanian

1 Tidak/Belum Tamat SD 33,96 163.976 33,64 163.4692 SD / MI 37,69 181.987 37,44 181.9353 SLTP / MTs 14,92 72.041 14,86 72.2104 SLTA / MA 11,59 55.962 12,02 58.4105 D1 / D2 / D3 0,83 4.008 0,95 4.6166 S1 / S2 / S3 1,01 4.877 1,09 5.297

Jumlah 100,00 482.851 100,00 485.938Sumber : BPS Kabupaten Serang, 2003

Page 12: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

195

Tingkat pendidikan pada tahun 2003 di sektor pertanian yaitu 71,08 %

didominasi oleh tamatan SD ke bawah (Tabel 7.5). Persentase 71,08 % ini adalah

penduduk tamat SD/MI sebesar 37,44 % (181.935 jiwa) dan tidak/belum tamat

SD sebesar 33,64 % (163.469 jiwa). Oleh karena itu, lebih dari 70 % penduduk di

atas 10 tahun yang bekerja di sektor pertanian (termasuk subsektor perikanan)

Kabupaten Serang mempunyai pendidikan rendah (0).

Jumlah penduduk Kabupaten Tegal berdasarkan pendidikan tertinggi yang

ditamatkan sebanyak 1.171.667 orang (Tabel 7.6). Jumlah penduduk terbesar

berdasarkan pendidikan yang ditamatkan adalah SD sebesar 883.691 orang atau

75,42 % dari jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi. Selain itu

SLTP sebesar 174.772 orang (14,92 %) dan SLTA sebesar 113.204 orang (9,66

%).

Tabel 7.6 Jumlah penduduk Kabupaten Tegal berdasarkan tingkat pendidikan

yang sudah ditamatkan pada tahun 2003 No Pendidikan Tertinggi Jumlah Persentase 1 SD 883.691 75,422 SLTP 174.772 14,923 SLTA + Universitas 113.204 9,66

Jumlah 1.171.667 100,00Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2004

Berdasarkan Renstrada Kabupaten Tegal (2004), jumlah penduduk yang

bekerja di sektor pertanian sebesar 25,85 %. Hal ini berarti sektor pertanian

termasuk di dalamnya subsektor perikanan Kabupaten Tegal mempunyai tingkat

pendidikan yang rendah (0).

7.3.2.4 Status dan frekuensi konflik

Konflik yang sering terjadi pada usaha perikanan di Kabupaten Serang

adalah konflik pemanfaatan perairan yang hangat dan masih sering dibicarakan

oleh para nelayan. Status dan Frekuensi Konflik di Kabupaten Serang ini dapat

dilihat pada Tabel 7.7. Konflik yang terjadi dimulai pada tahun 2002 dimana

kapal-kapal jaring bolga (sebutan untuk purse seiner) dari luar wilayah Serang

menangkap ikan di perairan kabupaten ini bahkan di daerah fishing ground tempat

Page 13: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

196

para nelayan payang bugis menempatkan rumpon-rumponnya. Menurut para

nelayan di Desa Pasauran, selain menghabiskan ikan-ikan tangkapan nelayan

payang bugis mereka sering merusak rumpon-rumpon nelayan akibat terkait/

tersangkut jaring bolga (purse seine). Bahkan pada saat ikan tidak ada mereka

mengejar ikan ke daerah rumpon nelayan payang bugis dan mereka juga sering

mencuri ikan di rumpon-rumpon yang pada nelayan tebar tebar. Selain itu

menurut nelayan, jaring bolga ini juga merusak dasar perairan karena selain

mengangkut rumpon-rumpon nelayan jaring bolga ini juga mengangkat karang-

karang tempat ikan-ikan bertelur. Hal ini yang menimbulkan konflik yang

berkepanjangan karena sudah seringkali memberikan teguran namun tidak pernah

diindahkan. Karena telah mencapai puncaknya, akhirnya para nelayan di

Kabupaten Serang melakukan aksi pembakaran terhadap kapal-kapal bolga yang

beroperasi di perairan Kabupaten Serang. Pada kasus ini terlihat bahwa status

konflik yang dibiarkan terus menerus tanpa penanganan yang benar dari aparat

keamanan akan menyulut konflik menjadi aksi. Aksi pembakaran yang timbul ini

menunjukkan bahwa status konflik pemanfaatan perairan untuk usaha perikanan

di Kabupaten Serang tergolong berat (2).

Pemanfaatan perairan dan perikanan di Kabupaten Tegal, konflik yang

ditimbulkan bukan dengan nelayan di luar wilayah mereka lagi. Konflik yang

ditimbulkan di wilayah ini justru antar para nelayan mereka sendiri yang berbeda

alat tangkap. Konflik yang muncul ini hampir terjadi setiap minggu bahkan

setiap hari jika pada saat ikan tidak ada, seperti contoh armada perikanan yang

menggunakan alat tangkap A beroperasi di wilayah si B. Kasus ini terjadi karena

sedikitnya hasil produksi perikanan yang mereka peroleh. Jika konflik sudah

terjadi bukan saja aksi pembakaran di laut tetapi sudah sampai perang antar desa

nelayan bahkan ribut-ribut dengan tetangga mereka sendiri karena perbedaan alat

tangkap walaupun masih sama-sama satu desa sehingga gesekan-gesekan konflik

ini sangat mudah terjadi. Oleh karena itu, status dan frekuensi konflik yang

timbul di Kabupaten Tegal ini sudah sangat berat (3). Tabel 7.7 menunjukkan

wilayah konflik dan status serta frekunsi konflik yang terjadi di Kabupaten Tegal.

Page 14: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

197

Tabel 7.7 Wilayah konflik, status dan frekuensi konflik di Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal

No Wilayah Wilayah Konflik Frekuensi Status Skor

1 Kabupaten Serang

Beda wilayah Dalam kurun waktu 2-3 tahun

Aksi pembakaran Berat (2)

2 Kabupaten Tegal

Satu Kabupaten, satu wilayah, bahkan dengan satu desa

Setiap minggu, bahkan pada saat ikan tidak ada bisa setiap hari

Aksi pembakaran, ribut antar desa, ribut antar tetangga yang berbeda alat tangkap

Sangat Berat (3)

7.3.2.5 Partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan

Partisipasi keluarga dalam mendukung usaha perikanan memang sangat

dibutuhkan untuk menopang pendapatan kepala keluarga. Partisipasi keluarga

dalam usaha perikanan ini dapat berupa peran istri dalam menjual hasil perikanan,

pengasinan dan penjemuran ikan-ikan non ekonomis atau peran anak-anak

nelayan membantu ibunya melakukan usaha perikanan selain penangkapan ikan.

Hasil wawancara dengan para nelayan di Kabupaten Serang ini diperoleh

bahwa keterlibatan atau peran serta istri maupun anak dalam usaha perikanan

sudah tidak ada. Begitu juga melalui pengamatan tidak ditemukan penjemuran

atau pengasinan ikan. Oleh karena itu, partisipasi keluarga nelayan dalam

mendukung usaha perikanan di Kabupaten Serang pada alat tangkap payang bugis

maupun jaring udang dapat dikatakan tidak ada (0).

Kondisi partisipasi keluarga di Kabupaten Tegal berbeda dengan

Kabupaten Serang. Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan di

Kabupaten Tegal ini diperoleh bahwa keterlibatan atau peran serta istri maupun

anak dalam usaha perikanan cukup banyak. Selain terlibat dalam penjemuran atau

pengasinan ikan-ikan non ekonomis, istri-istri nelayan ini biasanya juga

berdagang ikan. Anak-anak nelayan ini pun sudah mulai mencoba terjun bekerja

membantu orangtuanya selain menangkap ikan. Begitu juga melalui pengamatan

banyak ditemukan penjemuran atau pengasinan ikan. Oleh karena itu, partisipasi

keluarga nelayan dalam mendukung usaha perikanan di Kabupaten Tegal yang

Page 15: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

198

menggunakan jaring rampus, bundes dan payang gemplo dikatakan cukup banyak

atau ada (1).

7.3.2.6 Frekuensi pertemuan antar warga berkaitan pengelolaan sumberdaya perikanan

Pertemuan antar warga nelayan sangat penting dilakukan mengingat

sangat kompleksnya penanganan dan pengelolaan sumberdaya perikanan laut.

Pertemuan antar warga biasanya sering dilakukan jika sudah menyangkut masalah

konflik pemanfaatan sumberdaya laut. Hal ini cukup baik dilakukan mengingat

sebelum terjadi konflik yang berat dan aksi-aksi yang merugikan semua pihak

seperti pembakaran, perang antar desa nelayan dan ribut antar tetangga satu desa

maka diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk keputusan bersama.

Berdasarkan wawancara para warga nelayan di Kabupaten Serang

diperoleh pendapat bahwa pertemuan antar warga nelayan bersama dengan ketua

kelompok dilakukan karena adanya konflik dengan nelayan-nelayan bolga

(nelayan dari luar Kabupaten Serang) yang beroperasi di perairan pemanfaatan

perikanan mereka. Hasil pertemuan antar warga nelayan di Kabupaten Serang ini

adalah menegur nelayan-nelayan bolga ini agar beroperasi tidak di daerah fsihing

ground mereka. Namun karena tidak digubris maka mereka mengadakan

pertemuan kembali dengan hasil kedua yaitu melaporkan masalah ini ke aparat

keamanan dan mengusir mereka dari perairan Kabupaten Serang. Keputusan

kedua ini pun tidak diindahkan oleh nelayan-nelayan bolga dan aparat keamanan

pun cenderung diam menanggapi konflik ini, akhirnya mereka mengadakan

pertemuan ketiga dengan hasil keputusan melakukan aksi yaitu aksi pembakaran

untuk melakukan pengusiran kapal-kapal nelayan bolga. Pada kasus ini terlihat

bahwa mereka cenderung melakukan tahap-tahap pertemuan antar warga nelayan

dengan sistematis. Hasil tahap-tahap pertemuan mereka antara lain dengan

menegur, mengusir dan melaporkan ke aparat kemananan dan terakhir melakukan

aksi walaupun sebenarnya hal tersebut tidak diijinkan dan diperbolehkan. Dari

kasus di Kabupaten Serang ini frekuensi pertemuan antar warga nelayan di

Kabupaten Serang sudah dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun yang dapat

dikatakan sering (2).

Page 16: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

199

Pada subab 7.3.2.4 di atas menyatakan bahwa status dan frekuensi konflik

di Kabupaten Tegal sudah sangat berat. Oleh karena sudah sangat beratnya

konflik yang ditimbulkan maka frekuensi pertemuan antar warga nelayan pun

bukan berdasarkan tahapan-tahapan untuk proses menangani masalah tapi

cenderung untuk menengahi masalah / konflik yang sudah terjadi. Karena

banyaknya konflik yang terjadi maka kelompok nelayan antar kepentingan di

Kabupaten Tegal ini juga cukup banyak. Walaupun sering terjadinya pertemuan-

pertemuan antar warga nelayan di Kabupaten Tegal hanya untuk menengahi

masalah atau konflik yang telah terjadi, hal ini dapat dinilai cukup baik karena

para nelayan maupun kelompok nelayan di Kabupaten Tegal masih mencoba

menengahi masalah dengan pembicaraan dan keputusan bersama-sama. Dari

kasus di Kabupaten Tegal ini frekuensi pertemuan antar warga nelayan di

Kabupaten Tegal sudah dilakukan lebih dari tiga kali dalam setahun yang dapat

dikatakan sering (2).

7.3.2.7 Sosialisi pekerjaan

Sosialisasi pekerjaan usaha perikanan pada setiap alat tangkap berbeda-

beda, ada yang dilakukan secara individu, kerjasama hanya dalam satu keluarga

atau kerjasama antar kelompok antar masyarakat nelayan pemanfaat sumberdaya

perikanan. Pada kasus di Kabupaten Serang untuk usaha perikanan yang

menggunakan alat tangkap payang bugis dilakukan secara kelompok dengan

melibatkan kelompok masyarakat pengeksploitasi sumberdaya perikanan (2),

sedangkan untuk usaha perikanan dengan alat tangkap jaring udang hanya

dilakukan oleh 1-2 orang karena keterbatasan kapasitas perahu yang sangat kecil.

Hal ini tidak berarti bahwa mereka bersifat tertutup, karena sesungguhnya mereka

merupakan kelompok yang secara bersama-sama memanfaatkan dan mengawasi

sumberdaya perikanan (fishing ground) di wilayahnya dengan kompak.

Kebersamaan dan ikatan sosial sangat nampak ketika ada pengguna sumberdaya

ikan yang dicurigai menggunakan cara-cara yang merusak (2). Kegiatan usaha

penangkapan ikan di Kabupaten Tegal baik yang menggunakan jaring rampus,

bundes, maupun payang gemplo dilakukan secara berkelompok dengan

masyarakat nelayan pengeksploitasi perikanan dengan ikatan sosial yang begitu

Page 17: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

200

erat terutama diantara sesama pengguna alat tangkap yang sama atau dari wilayah

yang sama. Kelompok nelayan di perairan pantai Tegal sangat peduli terhadap

wilayah perairan tempat mereka melakukan penangkapannya dan sangat tidak

suka apabila ada nelayan pendatang dengan menggunakan alat tangkap yang

dianggapnya merusak (2).

7.3.2.8 Frekuensi penyuluhan dan pelatihan

Berdasarkan hasil wawancara penyuluhan dan pelatihan kepada

masyarakat di Kabupaten Serang pernah dilakukan 3 kali dalam setahun seperti

penyuluhan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang mengenai cara-

cara penangkapan ikan yang benar dan ramah lingkungan, Departemen Kelautan

dan Perikanan mengenai daerah fishing ground di perairan Kabupaten Serang, dan

Lembaga Swadaya Masyarakat mengenai pengolahan hasil perikanan (2).

Kegiatan penyuluhan dan pelatihan masalah perikanan di Kabupaten Tegal

sebenarnya sudah sering dilakukan bahkan lebih dari 5 kali dalam setahun (3).

Lembaga yang telah memberikan penyuluhan dan pelatihan tersebut antara lain

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tegal, Departemen Kelautan dan

Perikanan dan LSM-LSM atau organisasi kemasyarakatan yang berhubungan

dengan perikanan di Kabupaten Tegal. Organisasi atau LSM di Kabupaten Tegal

inilah yang lebih sering memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada para

nelayan.

7.3.2.9 Pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (kurun waktu 5-10

tahun terakhir) Pertumbuhan pekerja atau RTP pengeksploitasi perikanan di Kabupaten

Serang pada tahun 1996 terdiri dari RTP berjumlah 1.603 KK dan RTBP

berjumlah 4.979 KK. Total dari RTP pengeksploitasi sumberdaya perikanan di

Kabupaten Serang tahun 1996 adalah 6.582 KK. Pada tahun 2003 jumlah RTP

sebanyak 783 KK dan RTBP sebanyak 4.704 KK. Total RTP pengeksploitasi

sumberdaya perikanan di Kabupaten Serang pada tahun 2003 adalah 5.487 KK.

Jika dilihat dari perkembangan pekerja atau RTP pengeksploitasi sumberdaya

perikanan di Kabupaten Serang dari tahun 1996 sampai tahun 2003 mengalami

perubahan (penurunan) sebesar -16,64 % (0).

Page 18: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

201

Pada Kabupaten Tegal perubahan pekerja atau RTP pengeksploitasi

perikanan pada tahun 1994 terdiri dari RTP berjumlah 328 KK dan RTBP

berjumlah 1.942 KK. Total RTP pengeksploitasi sumberdaya perikanan di

Kabupaten Tegal pada tahun 1994 sebesar 2.270 KK. Pada tahun 2003 jumlah

RTP sebanyak 422 KK dan RTBP sebanyak 2.499 KK, sehingga total RTP

pengeksploitasi sumberdaya perikanan pada tahun 2003 adalah 2.921 KK. Hal ini

menunjukkan adanya peningkatan jumlah RTP di Kabupaten Tegal dari tahun

1994 sampai tahun 2003 sebesar 28,66 % (3).

7.3.3 Skor atribut dan indeks keberlanjutan pada dimensi sosial

Analisis Rapfish pada dimensi sosial ini berjumlah 9 atribut. Untuk

pengetahuan lingkungan perikanan, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan

sumberdaya perikanan dan sosialiasi pekerjaan (individual atau kelompok)

diperoleh dan dianalisis berdasarkan per alat tangkap. Jumlah RTP dibandingkan

jumlah penduduk di wilayah masing-masing, tingkat pendidikan, status dan

frekuensi konflik, frekuensi pertemuan antar warga berkaitan pengelolaan

sumberdaya perikanan, frekuensi penyuluhan dan pelatihan, dan pertumbuhan

pekerja /RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahun terakhir) dianalisis secara agregat

dari daerah atau wilayah dari masing-masing usaha perikanan. Realitas data

berupa skor-skor berdasarkan kondisi lapangan masing-masing atribut pada

dimensi sosial disajikan pada Tabel 7.8.

Nilai skor pada dimensi sosial seperti yang tercantum pada Tabel 7.8

kemudian di analisis dengan metode Rapfish. Hasil yang diperoleh dengan

metode Rapfish pada dimensi sosial menunjukkan nilai indeks keberlanjutan

usaha perikanan secara sosial (Tabel 7.9). Nilai indeks keberlanjutan perikanan

tangkap ditinjau dari dimensi sosial ini menunjukkan skor dan indeks yang sama

untuk masing-masing wilayah. Hal ini terjadi karena dimensi ini lebih banyak

dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan berlaku

umum, disamping itu, komunitas nelayan yang relatif homogen dalam berbagai

aspek.

Page 19: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

202

Tabel 7.8 Realitas data di lapangan dan nilai skor setiap atribut pada dimensi

sosial No Atribut Baik Buruk Payang

bugis Jaring Udang

Jaring Rampus Bundes Payang

Gemplo 1. Jumlah RTP

dibandingkan jumlah penduduk di wilayah masing-masing

0 2 0 0 0 0 0

2. Pengetahuan lingkungan perikanan 2 0 2 2 0 0 0

3. Tingkat pendidikan 2 0 0 0 0 0 0 4. Status dan frekuensi

konflik 0 3 2 2 3 3 3

5. Partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan

1 0 0 0 1 1 1

6. Frekuensi pertemuan antar warga berkaitan pengelolaan sumberdaya perikanan

2 0 2 2 2 2 2

7. Sosialiasi Pekerjaan (Individual atau kelompok)

2 0 2 2 2 2 2

8. Frekuensi Penyuluhan dan Pelatihan 3 0 2 2 3 3 3

9. Pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahun terakhir)

0 3 0 0 3 3 3

Tabel 7.9 Nilai indeks keberlanjutan perikanan (IKP) pada dimensi sosial

No. Usaha Perikanan IKP pada Atribut Hukum/Kelembagaan Status Keberlanjutan

Serang 1. Serang Payang bugis 58,02 Cukup 2. Serang Jaring Udang 58,02 Cukup

Rata-rata indeks Kab. Serang 58,02 Cukup Berkelanjutan Tegal 3. Tegal Jaring Rampus 60,87 Cukup 4. Tegal Bundes 60,87 Cukup 5. Tegal Payang Gemplo 60,87 Cukup

Rata-rata indeks Kab. Tegal 60,87 Cukup Berkelanjutan

Hasil ordinasi Rapfish pada dimensi sosial untuk seluruh alat tangkap yang

dianalisis yaitu payang bugis (Serang), jaring udang (Serang), jaring rampus

(Tegal), bundes (Tegal), dan payang gemplo (Tegal) dapat dilihat pada gambar

Page 20: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

203

7.1. Gambar tersebut sangat jelas digambarkan posisi status perikanan tangkap

skala kecil di Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal dilihat dari dimensi sosial.

Gambar 7.1 Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Serang

dan Tegal pada dimensi sosial.

Nilai stress yang diperoleh dari dimensi teknologi ini sebesar 16,54 %

atau masih < 25 %. Hal ini menurut prosedur multidimensional scaling (MDS)

diacu dalam Fauzi dan Anna (2004) adalah jika nilai stress atau yang

dilambangkan dengan S semakin rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S

yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Nilai Stress (S) yang diperoleh dalam

dimensi teknologi ini sebesar 16,54 % (S < 25 %) maka analisis Rapfish sudah

memenuhi kondisi fit (goodness of fit). Beberapa nilai statistik yang diperoleh

dalam Rapfish pada dimensi sosial dapat diihat pada Tabel 7.10.

56

40

58.0258.02

60.8760.8760.87

1000

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 25 50 75 100

Serang Payang bugis

Serang Jaring udang

Tegal Rampus Tegal Bundes Tegal Gemplo

Anchor Reference

Sumbu X Setelah Rotasi : Skala sustainabilitas

Sum

bu Y

Set

elah

Rot

asi

Page 21: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

204

Tabel 7.10 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi sosial

No Atribut Statistik Nilai Statistik Prosentase 1 Stress 0,1654 16,54 2 R2 0,8570 85,70 3 Jumlah Iterasi 3

Selanjutnya untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak (random error)

dilakukan metode simulasi Monte Carlo terhadap seluruh dimensi. Kavanagh

(2001) dalam Fauzi dan Anna (2004) menyatakan ada tiga tipe untuk melakukan

simulasi algoritma Monte Carlo. Dalam studi ini hanya dilakukan analisis Monte

Carlo dengan metode “scatter plot” yang menunjukkan ordinasi dari setiap

dimensi. Analisis dalam melihat tingkat kestabilan hasil ordinansi tersebut untuk

melihat tingkat gangguan (perturbation) terhadap nilai ordinasi (Spence and

Young, 1978), yang dilakukan iterasi sebanyak 25 kali.

Hasil analisis Monte Carlo dari dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar

7.2. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa usaha perikanan di kedua

Kabupaten pada setiap jenis alat telah banyak mengalami gangguan (perturbation)

yang ditunjukkan oleh plot yang menyebar.

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100

Fisheries Sustainability

Oth

er D

istin

gish

ing

Feat

ures

Gambar 7.2 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada

dimensi sosial

Sum

bu Y

sete

lah

rota

si

Sumbu X setelah rotasi : scatter plot skala sustainabilitas

Page 22: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

205

Oleh karena hasil Rapfish masih bersifat umum, selanjutnya atribut-atribut

sosial yang digunakan tersebut perlu dianalisis atribut mana yang paling sensitif

mempengaruhi tingkat keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil menurut

dimensi sosial. Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas atau analisis

leverage. Analisis leverage ini pada dasarnya sama seperti yang diterapkan pada

dimensi lainnya yaitu untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap skor

keberlanjutan sosial apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis sehingga bisa

dilihat tingkat sensitivitas skor keberlanjutan sosial akibat dikeluarkannya satu

atribut. Menurut Picther et al (2002), analisis sensitivitas atau analisis leverage

dilakukan terhadap atribut-atribut masing-masing dimensi. Perhitungan dilakukan

dengan metode stepwise yaitu dengan membuang setiap atribut secara berurutan

satu persatu kemudian menghitung berapa nilai error atau Root Mean Square

(RMS) tersebut dibandingkan dengan RMS yang dihasilkan pada saat seluruh

atribut dimasukkan. Dalam statistik metode ini dikenal dengan metode JackKnife

(Kavanagh, 2001).

Pada dimensi sosial mengindikasikan bahwa atribut status dan frekuensi

konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan SDI dan tingkat pendidikan,

merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap nilai atau status

keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil. Nilai root mean square change

ketiga atribut ini jauh lebih tinggi dibandingkan atribut lainnya terutama atribut

jumlah RTP dan pertumbuhan jumlah RTP pengeksploitasi sumberdaya (hanya

satu per empat). Secara keseluruhan leverage atribut sosial dapat dilihat pada

Gambar 7.3.

Page 23: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

206

2.36

8.36

11.72

13.03

11.27

9.24

7.75

4.76

2.40

0 2 4 6 8 10 12 14

Jumlah RTP pengeksploitasi perikanan

Pengetahuan Lingkungan

Tingkat Pendidikan

Status dan Frekuensi Konflik

Partisipasi Keluarga dalam Pemanfaatan SDI

Frekuensi Pertemuan Warga Berkaitan Pengelolaan Perikanan

Sosialiasi Pekerjaan (Individual atau kelompok)

Frekuensi Penyuluhan dan Pelatihan

Pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahunterakhir)

Gambar 7.3 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi sosial

7.4 Pembahasan

Seperti pada dimensi ekologi, teknologi, dan ekonomi pada Bab 5, 6 dan 7

sebelumnya, berbagai tahapan dan analisis untuk menentukan status keberlanjutan

perikanan tangkap skala kecil dari dimensi sosial di dua lokasi penelitian telah

dilakukan diantaranya: (1) analisis sosial kegiatan perikanan tangkap di kedua

lokasi penelitian, (2) penentuan skor dan indek keberlanjutan pada dimensi sosial,

(3) penggambaran ordinasi Rapfish dimensi sosial atas dasar alat tangkap dan

lokasi penelitian, (4) uji goodness of fit dengan prosedur Multidimensional

Scaling (MDS), (5) penentuan nilai koefisien determinasi (R2), (6) uji kestabilan

ordinasi dengan teknik analisis Monte Carlo, (7) uji sensitivitas dengan metode

analisis leverage, dan (8) penggambaran artribut sensitif pada dimensi sosial serta

(9) penentuan respons (alternatif imlpikasi kebijakan) yang harus dilakukan

terhadap atribut sensitif.

Indeks keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi sosial di kedua

lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup jelas (Tabel 7.9). Indeks

keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Serang dengan

jaring udang dan payang bugis sebesar 58,02. Indeks keberlanjutan untuk kegiatan

perikanan di Kabupaten Tegal yang menggunakan alat tangkap jaring rampus,

bundes dan payang gemplo masing-masing sebesar 60,87. Indeks ini

Page 24: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

207

menunjukkan bahwa pada dimensi sosial kegiatan perikanan tangkap skala kecil

di Kabupaten Serang yang menggunakan alat tangkap jaring udang dan payang

bugis pada selang keberlanjutan 51-75 termasuk dalam status cukup

berkelanjutan. Demikian juga untuk kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten

Tegal dengan alat tangkap jaring rampus, bundes maupun payang gemplo

walaupun sedikit lebih tinggi dari kegiatan perikanan tangkap skala kecil di

perairan Pasauran, namun secara umum masing-masing dalam status cukup

berkelanjutan. Secara umum pada dimensi sosial, usaha perikanan tangkap di

Kabupaten Tegal dari ketiga alat tangkap mempunyai indeks keberlanjutan yang

lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Serang.

Untuk mengecek tingkat kepercayaan, pada Tabel 7.10 ditunjukkan nilai

dari koefisien determinasi (selang kepercayaan) atau R2 sebesar 85,70 %.

Informasi lain yang diperoleh pada Tabel 7.10 adalah jumlah iterasi. Jumlah

iterasi ini menyatakan pengulangan perhitungan sebanyak 3 kali pada metode

Rapfish. Iterasi atau pengulangan perhitungan pada dimensi sosial ini untuk

melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut maupun kesalahan

prosedur. Jumlah iterasi ini dapat juga dikatakan untuk mengetahui tingkat

kepercayaan dari indeks keberlanjutan perikanan tangkap yang telah diperoleh

dari sisi sosial. Oleh karena itu iterasi dianggap cukup apabila nilai stress sudah

lebih kecil dari 25%.

Hasil analisis sensitivitas atribut, ternyata atribut status dan frekuensi

konflik, tingkat pendidikan dan partisipasi keluarga dalam pemanfaatan SDI,

merupakan 3 atribut yang secara berurutan sangat berpengaruh terhadap nilai atau

status keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap skala kecil. Analisis leverage

pada dimensi sosial atribut status dan frekuensi konflik merupakan atribut yang

paling sensitif. Penyebab status dan frekuensi konflik ini adalah turunnya jumlah

tangkapan dan berakibat langsung turunnya pendapatan sehingga para nelayan

cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan pelanggaran.

Status dan frekuensi konflik pada dimensi sosial ini menjadi paling sensitif karena

dengan adanya konflik yang bekepanjangan dapat mrngakibatkan turunnya jumlah

tangkapandan berakibat langsung pada turunnya pendapatan sehingga para

nelayan cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan

Page 25: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

208

pelanggaran lain untuk mengkompensasi penurunan pendapatan akibat konflik

(Kusnadi, 2002). Di sisi lain sebenarnya konflik juga kemungkinan berimplikasi

positif terhadap pemulihan sumberdaya ikan apabila konflik mengakibatkan

pengurangan effort. Situasi ekstrim adalah terhentinya kegiatan penangkapan,

namun hal ini biasanya terjadi tidak terlalu lama sehingga dampak positifnya tidak

begitu signifikan. Dalam situasi seperti ini dibutuhkan resolusi konflik yang

efektif, yang diharapkan akan berdampak positif, yaitu resolusi yang mampu

mempererat masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan kesepakatan

alokasi sumberdaya yang lebih adil (Budiono, 2005).

Fakta di lapangan, konflik merupakan gangguan sosial karena nelayan

merasa tidak aman dalam melakukan kegiatan usahanya. Berdasarkan informasi

dari nelayan, konflik antar nelayan juga terjadi akibat ketidakjelasan kebijakan

yang telah dibuat oleh instansi terkait. Status dan frekuensi konflik secara tidak

langsung menyebabkan kegiatan perikanan mengalami kemunduran karena para

nelayan akan mengalami kerugian materi dan psikis. Oleh karena itu, status dan

frekuensi konflik perlu ditangani baik implementasi hukum maupun ketegasan

aparan terhadap pelanggaran yang terjadi dengan melibatkan pertisipasi

masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan paradigma pengelolaan sumberdaya

perikanan berkelanjutan yaitu konservasi, rasional dan komunitas nelayan

(Charles, 2001).

Atribut sensitif lain pada dimensi sosial adalah tingkat pendidikan nelayan.

Tingkat pendidikan menjadi isu dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di

Indonesia, karena tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pemanfaataan dan

pengelolaan sumberdaya perikanan. Pencapaian pendidikan merupakan salah satu

ukuran untuk menilai kemajuan suatu masyarakat. Masyarakat yang

berpendidikan akan lebih mudah menyerap informasi-informasi kemajuan

peradaban, sehingga dapat meningkatkan kualitas penduduk daerah yang

bersangkutan. Pendidikan juga mempunyai korelasi yang kuat dengan berbagai

aspek sosial ekonomi. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat

pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dengan kualitas hidup dan

kesejahteraan keluarga dan masyarakat (BPS Kabupaten Serang, 2003). Oleh

karena itu pembangunan pendidikan sangat penting untuk mencetak generasi yang

Page 26: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

209

memiliki kemampuan dan kualitas yang unggul bagi kemajuan suatu bangsa.

Pendidikan bagi nelayan harus didekati secara partisipatif sesuai kebutuhan dan

dirancang bersama sehingga dapat mencapai sasaran. Pendidikan yang diperlukan

oleh masyarakat nelayan adalah pendidikan yang dapat meningkatkan adaptasi

nelayan terhadap berbagai perubahan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui

upaya-upaya peningkatan kecakapan hidup (life skill) seperti diversifikasi

keahlian sehingga dapat mengembangkan usaha alternatif. Menurut Kusnadi

(2002) bahwa rendahnya kemampuan seorang nelayan melakukan diversifikasi

usaha perikanan merupakan salah satu akar kemiskinan. Misalnya, seorang

nelayan sampan pancingan, tidak akan mudah beralih menjadi nelayan udang

ketika musim ikan tongkol, cakalang atau layang sedang tidak musim, karena

metode penangkapan dan fasilitas yang digunakan tidak sama. Demikian juga

untuk beralih pada alternatif usaha lainnya diluar penangkapan ikan diperlukan

diversifikasi keahlian. Dari contoh kasus diatas, terlihat bahwa pendidikan untuk

meningkatkan dan mengembangkan keahlian serta kecakapan memiliki peran

sangat penting. Krisnamurthi (2002) mengatakan bahwa salah satu dari delapan

aspek kunci pengembangan ekonomi rakyat adalah peningkatan kemampuan

sumberdaya manusia. Pembangunan ekonomi rakyat menempatkan modal

manusia sebagai unsur paling utamaa dalam pengembangannya. Oleh karena itu

pengembangan kemampuan manusia baik secara individu, kelompok, maupun

masyarakat, merupakan usaha untuk memperkuat basis kegiatan ekonomi.

Pengembagan aspek kecerdasan, luasnya wawasan, toleransi, keberanian terhadap

risiko, dan kerjasama merupakan beberapa aspek yang yang perlu dikedepankan

dalam pengembangan kemampuan sumberdaya manusia dalam mencapai

kesejahteraannya.

Partisipasi keluarga perlu ditingkatkan agar para nelayan tidak hanya

mengandalkan sumber pendapatan keluarga dari tangkapan ikan namun dari

bentuk lainnya, misalnya nilai tambah dari produk perikanan. Kebijakan untuk

dapat menjaga keberlanjutan usaha perikanan dari dimensi sosial diarahkan pada

penurunan status dan frekuensi konflik dengan implementasi hukum yang jelas

dan tegas (kajian khusus dan detail mengenai peranan hukum dan kelembagaan

akan dibahas pada Bab 9), peningkatan pendidikan para nelayan agar dapat

Page 27: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

210

dengan cepat mengadopsi/menyerap informasi demi peningkatan kualitas hidup

dan kesejahteraan mereka serta peningkatan partisipasi keluarga agar para nelayan

tidak hanya meningkatkan pendapatan dari peningkatan jumlah tangkapan dan

tingkat ekploitasi tapi dapat meningkatkannya dari nilai tambah produk perikanan.

Dengan demikian peningkatan kualitas pendidikan para nelayan akan sangat

mendukung partisipasi nelayan dan keluarganya dalam meningkatkan wawasan

dan kesadaran akan pentingnya menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan

tangkap melalui berbagai langkah yang lebih rasional.

7.5 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari keberlanjutan perikanan tangkap pada

dimensi sosial antara lain :

(1) Indeks keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dengan menggunakan alat

tangkap jaring udang dan payang bugis pada dimensi sosial di Kabupaten

Serang sebesar 58,02.

(2) Indeks keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Serang pada dimensi sosial

sebesar 58,02 dalam status cukup berkelanjutan (selang 51-75).

(3) Indeks keberlanjutan untuk alat tangkap perikanan skala kecil pada dimensi

sosial di Kabupaten Tegal untuk jaring rampus, bundes dan payang gemplo

sebesar 60,87.

(4) Indeks keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Tegal pada dimensi sosial

sebesar 60,87 dalam status cukup berkelanjutan (selang 51-75).

(5) Atribut status dan frekuensi konflik, tingkat pendidikan dan partisipasi

keluarga dalam pemanfaatan SDI merupakan atribut yang sangat berpengaruh

terhadap nilai atau status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil.

(6) Kebijakan untuk dapat menjaga keberlanjutan usaha perikanan dari dimensi

sosial diarahkan pada penurunan status dan frekuensi konflik dengan

implementasi hukum yang jelas dan tegas.

(7) Peningkatan pendidikan para nelayan agar dapat dengan cepat

mengadopsi/menyerap informasi demi peningkatan kualitas hidup dan

kesejahteraan mereka adalah sesuatu yang harus dikedepankan.

Page 28: 7 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL · lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya

211

(8) Peningkatan partisipasi keluarga agar para nelayan tidak hanya meningkatkan

pendapatan dari peningkatan jumlah tangkapan dan tingkat ekploitasi tapi

dapat meningkatkannya dari nilai tambah produk perikanan, juga merupakan

prioritas agar perikanan tangkap dapat berkelanjutan secara sosial.