65511061-BAB-I
-
Upload
rheya-nata-dolphenliebe -
Category
Documents
-
view
46 -
download
13
Transcript of 65511061-BAB-I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah manusia seutuhnya, jasmani dan rohani
yang dilaksanakan secara terarah, terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Pembangunan di
bidang kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan mencapai kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal sebagai barometer tingkat
kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa (Depkes RI, 1992).
Hidup sehat pada dasarnya adalah keadaan yang tidak hanya terhindar dari rasa sakit ataupun
penyakit, cacat dan kelemahan tetapi suatu keadaan yang meliputi sehat secara fisik, mental dan
sosial.
Tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional yakni tercapainya kemampuan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal
sebagai salah satu unsur kesehatan umum. Upaya kesehatan yang semula berupa upaya
penyembuhan penderita, berkembang ke arah kesatuan upaya kesehatan untuk seluruh
masyarakat yang mencakup upaya peningkatan (promotive), pencegahan (preventive),
penyembuhan (curative), dan pemulihan (rehabilitative) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan (Depkes RI, 1992).
Menurut Hastono (2002), agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut dapat
mencapai tujuan yang diinginkan, maka pelayanan kesehatan harus memenuhi beberapa syarat
antara lain tersedia (available), wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat
diterima (acceptable), dapat dicapai (accessible), dapat dijangkau (affordable), serta bermutu
(quality).
Upaya pelayanan kesehatan harus dilakukan secara tim dengan melibatkan berbagai
disiplin ilmu, yang antara lain terdiri dari dokter, fisioterapi, okupasi terapi, ortotik prostetik,
perawat, terapi wicara, psikolog, dll.
Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu atau
kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh
sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peralatan fisik
(elektroterapi dan mekanis), pelatihan pungsi dan komunikasi (KEP, MENKES NO. 1363 /
MENKES SK XII 2001).
Peran fisioterapi memberikan layanan kepada individu atau kelompok individu untuk
memperbaiki, mengembangkan, dan memelihara gerak dan kemampuan fungsi yang maksimal
selama perjalanan kehidupan individu atau kelompok tersebut. Layanan fisioterapi diberikan
dimana individu atau kelompok individu mengalami gangguan gerak dan fungsi pada proses
pertambahan usia dan atau mengalami gangguan akibat dari injuri atau sakit. Gerak dan fungsi
yang sehat dan maksimal adalah inti dari hidup sehat (Hargiani, 2001).
Nyeri cervical merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan seseorang datang
berobat ke fasilitas kesehatan. Di populasi didapatkan sekitar 34 % pernah mengalami nyeri
cervical dan hampir 14 % mengalami nyeri tersebut lebih dari 6 bulan. Pada populasi usia di atas
50 tahun, sekitar 10 % mengalami nyeri cervical, lebih sedikit dibanding populasi yang
mengalami nyeri pinggang bawah (purwadi, 1993)
Cervical Root Syndrome adalah kondisi yang tidak normal yang diakibatkan dari
penekanan akar-akar saraf spinal pada daerah leher, mengakibatkan nyeri pada leher dan
kelemahan pada otot yang diinervasi (Caillet, 1968) Gejala tersebut dapat berupa nyeri, spasme
otot dan mengakibatkan keterbatasan gerak pada leher. Fisioterapi sebagai salah satu komponen
penyelenggaraan kesehatan dapat berperan aktif dalam usaha mengurangi nyeri, mengurangi
spasme, meningkatkan Lingkup Gerak Sendi (LGS) dan mengembalikan kemampuan fungsional
aktivitas pasien guna meningkatkan kualitas hidup.
Dalam praktek klinik sangat penting untuk membedakan 2 gejala utama, yaitu: 1. Nyeri
cervical tanpa adanya nyeri radikuler dan defisit neurologis, 2. Nyeri cervical yang diikuti
dengan nyeri radikuler dan defisit neurologis. Untuk gejala utama dan kedua sangatlah besar
kemungkinan ditemukan adanya kelainan organik di cervical. Pada nyeri cervical tanpa adanya
nyeri radikuler atau defisit neurologis kadang tidak jelas adanya keterlibatan radiks cervical dan
tidak jelas batasan kriteria diagnostik yang akan dilakukan.
Mengingat gejala tersebut juga dapat merupakan gejala awal proses organik atau dapat
pula akibat nyeri radikuler yang tidak terlokalisasi dengan baik. Dari data diketahui pula 80
sampai 100 % pasien radikulopati menunjukkan adanya nyeri cervical dan lengan tanpa adanya
kelumpuhan maupun parestesi (Purwadi, 1993).
Pada kondisi Cervical Root Syndrome ini fisioterapis berperan dalam mengurangi nyeri dan
meningkatkan LGS dan mengembalikan aktivitas fungsional pasien. Untuk mengatasinya banyak
modalitas fisioterapi yang dapat digunakan, disini penulis mengambil modalitas fisioterapi
berupa penggunaan Infra Merah (IR), Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS), dan
Terapi Latihan.
Infra Red merupakan terapi panas dengan manfaat kerjanya adalah mengurangi nyeri,
rileksasi otot dan memperlancar sirkulasi darah,
Pemberian TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah suatu cara
penggunaan energi listrik untuk merangsang sistem sraf melalui permukaan kulit. Dalam
hubungannya dengan modulasi nyeri (Johnson , 2002).
Sedangkan Terapi latihan diberikan dengan tujuan dapat memberikan efek pengurangan
nyeri, baik secara langsung maupun memutus siklus nyeri spasme nyeri. Gerakan yang
ringan dan perlahan merangsang propioceptor yang merupakan aktivasi dari serabut afferent
berdiameter besar. Hal ini akan mengakibatkan menutupnya spinal gate (Mardiman, 2001)
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai lingkup
permasalahan yang akan ditulis antara lain:
1. Apakah modalitas, IR, TENS & Terapi Latihan dapat mengurangi nyeri pada kondisi
Cervical Root Syndrome?
2.Apakah modalitas Terapi Latihan dapat meningkatkan Lingkup Gerak Sendi (LGS) leher,
pada kondisi Cervical Root Syndrome?
3. Apakah modalitas IR & Terapi Latihan dapat mengurangi spasme otot leher pada kondisi
Cervical Root Syndrome?
4. Apakah modalitas, IR, TENS & Terapi Latihan dapat meningkatkan aktivitas fungsional?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari, mengidentifikasi
masalah-masalah, menganalisa dan mengambil suatu kesimpulan tentang kondisi Cervical
Root Syndrome.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh IR,TENS & Terapi Latihan dalam mengurangi nyeri akibat
Cervical Root Syndrome.
b. Untuk mengetahui pengaruh Terapi Latihan dalam meningkatkan Lingkup Gerak Sendi
(LGS) leher akibat Cervical Root Syndrome.
c. Untuk mengetahui pengaruh IR & Terapi Latihan dalam mengurangi spasme otot leher
akibat Cervical Root Syndrome.
d. Untuk mengetahui modalitas, IR, TENS & Terapi Latihan dalam meningkatkan aktivitas
fungsional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cervical root syndrome adalah kondisi yang tidak normal yang di akibatkan dari
penekanan akar-akar saraf spinal pada daerah leher, mengakibatkan nyeri pada leher dan
kelemahan otot yang diinervasi. (Caillet, 1968).
A. Anatomi Dan Fisiologi
1. Sistem tulang
Columna vertebralis merupakan pilar utama tubuh dan berfungsi menyangga
cranium, gelang bahu, extremitas atas dan dinding thorax serta melalui gelang
panggul meneruskan berat badan ke extermitas bawah. Di dalam rongganya
terletak medula spinalis, radix nervus spinalis dan lapisan penutup meningen
yang dilindungi oleh columna vertebralis.Sistem tulang dari vertebra cervicalis
dari segi bentuknya termasuk tulang pendek, dimana panjang dan lebarnya hampir
sama. Keseluruhan dari vertebra akan berderet satu dengan yang lainnya
membentuk suatu tiang yang disebut Columna vertebra. Columna vertebra ini
disebut juga tulang belakang yang terdiri dari 8 segmen cervical, 12 segmen
thorakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacral dan 1 segmen coccygeus. Struktur
columna vertebralis ini sangat fleksibel karena columna ini bersegmen-segmen
dan tersusun atas vertebra, sendi-sendi dan bantalan fibrocartilago yang disebut
discus intervertebralis.
Gambar 1.1. Susunan tulang punggung, columna vertebralis(Sobotta, 2006).
a. Vertebra cervicalis I
Tulang ini disebut juga sebagai tulang atlas tidak mempunyai corpus tetapi
diganti oleh suatu arcus anterior dan posterior, pada arcus anterior bagian kanan dan kiri
akan bertemu pada garis tengah dan disebut dengan tuberculum anterius di sebelah dorsal
(Chusid, 1990)
Disebut sebagai arcus posterior yang terahir sebagai tuberculum posterius pada
sebagian sebelah lateral antara arcus anterius dan arcus posterius akan membentuk masa
lateralis. Bagian ini yang disebelah lateral akan melanjutkan sebagai procesus
transversus, mempunyai lubang disebut foramen transversus yang dinilai oleh vena
vertebralis dan vena anterior. Pada dataran cranialis dari masa lateralis terhadap suatu
articulatio superior. Bentuk fovea ini sangat konkaf dan berfungsi sebagai persendian
dengan condilus occipitalis, dataran caudal masa lateralis mempunyai dataran sendi yang
lain dari vertebra cervicalis kedua, pada bagian belakang fovea articularis superior
terdapat satu sulcus besar yang dinamakan sulcus anteris vertebral. Pada bagian tulang
atlas foramen vertebral yang besar pada dataran belakang arcus anterior, pada suatu
dataran sendi yang disebut fovea dentis yang digunakan bentuk persendian vertebra
cervicalis kedua. Setiap diskus terdiri atas jaringan yang mengandung gelatin, seperti
bubur yang dsebut nucleus pulposus, yang dikelilingi jaringan ikat yang tebal anulus
fibrosus. Diskus intervertebralis melekat erat dengan jaringan tulang rawan yang
melapisi permukaan atas dan bawah pada masing-masing corpus vertebra (Chusid,
1990).
Gambar 1.2. Vertebra Cervicalis I tampak kaudal (Sobotta, 2006)
a. Vertebra Cervicalis II
Vertebra cervicalis yang kedua disebut juag sebagai tulang facies articularis
anterior yang bersendi pada fovea dentis atlantis dan yang disebelah dorsal disebut facies
corpus vertebral cervicalis kedua pada dataran ventral lebih panjang dibanding dengan
dataran dorsalnya dan yang sebelah lateral dari corpus memiliki dataran sendi yang
berbentuk oval dan besar yang menghadap ke atas disebut sebagai facies articularis
superior, sedangkan yang ke lateral akan melanjutkan sebagai arcus vertebra yang kuat
karena bagian kanan dan kiri bertemu yang disebut sebagai proccesus transversus dan
arcus vertebra terhadap suatu tonjolan disebut dengan facies articularis inferior. Tiap
diskus memiliki anulus fibrosus di perifer dan nucleus pulposus yang lebih lunak di
tengah yang terletak lebih dekat ke bagian belakang daripada bagian depan discus
nucleus pulposus kaya akan glikosaminoglikan sehingga meiliki kandungan air yang
tinggi, namun kandungan air ini berkurang dengan bertambahnya usia. Kemudian
nucleus bisa mengalami herniasi melalui anulus fibrosus, berjalan ke belakang menekan
medula spinalis atau keatas masuk ke corpus vertebralis. Diskus vertebra cervicalis dan
lumbalis paling tebal, karena ini merupakan daerah yang paling banyak bergerak.
Vertebra juga disatukan oleh ligamenta yang menyatukan tiap komponen vertebra
kecuali pedicus spinalis harus lewat diantara kedua pedikus dalam foramina
intervertebralis (David moffat, 2002).
Gambar 1.3. Vertebra Cervicalis II tampak ventral (Sobotta, 2006).
b. Vertebra Cervicalis III, IV dan V
Vertebra cervicalis III, IV dan V semua memiliki corpus vertebra yang kecil dan
proccesus spinosus yang bersipat bifida atau bercabang dua proccesus transversus
memiliki foramen transversarium yang membagi menjadi dua tonjolan yaitu tuberculum
posterior. Diantara dua tonjolan ini terdapat sulkus nervi spinalis yang letaknya disebelah
lateral foramen dan transversarium yang merupakan tempat untuk dilalui nerves spinalis.
(Chusid, 1990)
c. Vertebra Cervicalis VI
Vertebra cervicalis VI mempunyai peran dasar yang sama dengan vertebra
cervicalis III, IV dan V hanya saja terdapat sedikit perbedaan pada tuberculum anterior
vertebra cervicalis VI berukuran lebih besar dan disebut dengan tuberculum caroticum.
d. Vertebra Cervicalis VII
Pada vertebra cervicalis VII biasanya juga disebut sebagai vertebra poramineus,
karena memiliki spinosis yang panjang dan menuju ke dorsal dan tidak bercabang,
tuberculum anterior mengecil dan pada keadaan cacat akan tumbuh seperti tulang rusak
disebut tuberculum costerius kadang-kadang tuberculum ini akan memanjang dan
bersendi dengan proccesus transversus yang disebut juga sebgai costa cervicslis,
foramen transversarium pada vertebralis (Chusid, 1990).
2. Sistem Otot, gerakan leher dan persyarafannya
Gerakan Otot Persarafan
Fleksi leher 1. Longus coli2. Scalenus anterior3. Scalenus medius4. Scalenus posterior
C2-C6C4-C6C3-C8C6-C8
Gerakan Otot Persarafan
Ekstensi leher 1. Splenius cervicis2. Semispinalis cervicis3. Longissimus cervicis4. Levator scapula5. Iliocostalis cervicis6. Spinalis cervicis7. Multifidus8. Intersinalis cervicis9. Trapezius10. Rectus capitis post major11. Rotator brevis12. Rotatores longi
C6-C8C1-C8C6-C8C3-C4C6-C8C6-C8C1-C8C1-C8AccC3-C4C1C1-C8
Gerakan Otot Persarafan
Lateral fleksi leher
1. Levator scapula2. Splenius cervicis3. Iliocostalis cervicis4. Longissimus cervicis5. Semispinalis cervicis6. Multifidus7. Intertransversarii8. Scaleni9. Sternocleidomastoid10. Rotatores breves11. Rotatores longi12. Longus coli
C1-C8 dorsalC4-C6C6-C8C6-C8C1-C8C1-C8C1-C8C3-C8Acc C2C1-C8C1-C8C2-C6
Gerakan Otot Persarafan
Side Rotasi leher 1. Levator scapula 2. Splenius3. Iliocostalis cervicis4. Longissimus cervicis5. Semispinalis cervicis6. Multifidus7. Intertransversarii8. Scaleni9. Sternocleidomastoid10. Obliquus capitis inferior11. Rotatores brevis12. Rotatores longi
C3-C4 dorsalC4-C6C6-C8C6-C8C1-C8C1-C8C1-C8C3-C8Acc C2C1C1-C8C1-C8
Tabel 2.1. otot – otot penggerak Fleksi – Exstensi, Lateral fleksi, Side rotasi dan persarafannya
(Jonathan Kenyon, 2004)
Gambar 1.4. otot-otot leher di lihat dari samping (Sobotta, 2006).
Gambar 1.5. Otot-otot leher dilihat dari anterior (Jonathan Kenyon, 2004).
3. Sistem peredaran darah
Pada umumnya pembentuk darah vena berjalan bersama-sama dan sejajar dengan
pembuluh darah arteri dengan nama yang sama. Adapun pembuluh darah vena yang terdapat
pada daerah leher adalah vena jugularis externa, vena ini sangat besar perjalanannya dimulai
dari belakang telinga ke facia colli superficialis disebelah arteri clavicula dan bermuara
pada vena subelavia dan vena jugularis externa atas bermuara ke vena jugularis anterior
vena articularis posterior dan vena occipitalis.
4. Sistem persyarafan
a. Nervus Cervicalis
Delapan pasang saraf cranialis berasal dari segmen-segmen medula spinalis di
antara level foramen magnum dan pertengahan vertebra cervicalis ketujuh. Nerves
cervicalis keluar dari columna spinalis lewat foramen intervertebralis yang terletak
disebelah lateral. Setiap nervus bergabung dengan ramus communicantes grisea yang
berasal dari truncus simpatetik (melalui trancus ini, nervus tersebut menerima serabut-
serabut vasomotor). Nervus cervicalis juga mengirimkan cabang meningel reccurent yang
kecil ke dalam canalis spinalis untuk memberikan inervasi sensorik dan vasomotor pada
durameter serta cabang-cabang yang menuju kedalam bagian primer anterior posterior.
Bagian primer ini merupakan syaraf campuran yang berjalan kemasing-masing distribusi
perifernya. Cabang-cabang motorik membawa beberapa serabut sensorik yang
mengangkut impuls proprioseptif dari otot-otot leher. (Chusid, 1990)
Gambar 1.6. Pleksus cervicalis (Chusid, 1990)
b. Nervus Musculocutaneus
Nervus musculocutaneus timbul dari fasiculus lateralis plexus brachialis dan
terdiri atas serabut-serabut yang berasal dari segmen cervical kelima dan keenam. Mula-
mula ini terletak disebelah lateral arteri axilaris, lalu menembus musculus
coracobrachialis dan turun secara oblique disebelah lateral diantara musculus biceps dan
brachialis. Nervus musculocutaneus berakhir sebagai nervus cutaneous antebrachialis
lateralis yang membagi dua menjadi cabang anterior dan posterior. Cabang-cabang
motorik mempersyarafi m. coracobrachialis, m. biceps dan m. brachialis. Cabang
terminalis sensorik mempersyarafi permukaan anterolateral lengan bawah. Gambaran
klinik gangguan nervus musculocutaneus mencakup paralisis m. coracobrachialis, m.
biseps dan m. brachialis yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mempleksikan
lengan bawah kalau lengan bawah tersebut berada dalam keadaan supinasi yang
melemah, hilangnya refleks biceps atrofi otot reaksi degenerasi (pada lesi perifer yang
lengkap) dan hilangnya sensasi pada permukaan anterrolateral lengan bawah. (Chusid,
1990)
c. Nervus Axilaris
Nervus axilaris berasal dari fasiculus posterior plexus brachialis dan terdiri atas
serabut-serabut yang berasal dari segmen cervicalis kelima dan keenam. Sambil berjalan
ke dorsal, nervus ini menyertai arteri circumplexa posterior di sekitar collum humeri dan
lewat ruangan quadrilateral membagi diri menjadi bagian superior yang halus dan bagian
inferior yang lebih besar. Cabang-cabang motorik mempersyarafi m. deltoideus (dari
bagian superior) dan m. teres minor (dari bagian inferior). Cabang-cabang sensorik,
terutama dari bagian inferior, mempersyarafi kulit dibagian bawah dari musculus
deltoideus. (Chusid, 1990)
d. Nervus Radialis
Nervus radialis merupakan cabang yang terbesar dari plexus brachialis. Nervus
radialis ini dimulai pada batas bawah m. pectoralis minor sebagai kelanjutan langsung
dari fasiculus posterior dan serabut-serabunya dari 3 segmen cervical yang terahir serta
dari segmen thoracal pertama medulla spinalis. Selama berjalan turun sepanjang lengan,
nervus radialis ini menyertai arteri profunda dibelakang dan disekitar humerus serta
didalam sulkus musculospiralis.
Cabang-cabang motorik dalam lengan mensyarafi m. triseps, m. anconeus dan
bagian supinator-extensor dari otot lengan bawah. Cabang-cabang motorik dalam lengan
bawah diperoleh dari nervus radialis profunda yang berjalan kebagian lainnya dari
kelompok supinator-extensor lengan bawah. Cabang-cabang sensorik yang memberikan
inervasi ke daerah-daerah kulit meliputi nervus cutaneus brachialis posterior yang
menuju ke sisi dorsal lengan. Nervus cutaneus antebracialis posterior ke permukaan
dorsal lengan bawah, dan nervus radialis superficialis ke sisi dorsal bagian radialis
tengah. (Chusid, 1990)
e. Nervus Medianus
Nervus medianus timbul dari plexus brachialis dengan dua buah kaput: caput
medial dari fasiculus medialis dan caput lateral dari dari fasiculus lateralis. Kedua caput
tersebut bersatu pada bawah musculus pectoralis minor. Jadi, serabut-serabut didalam
truncus berasal dari tiga segmen cervical yang bawah dan dari segmen thoracal pertama
medula spinalis. Di dalam lengan serabut ini tidak bercabang, truncus tersebut berjalan
turun sepanjang arteri brachialis dan lewat sisi polar lengan bawah dimana serabut ini
mengeluarkan cabang-cabang muscular dan cutaneus. Cabang-cabang motorik berjalan
ke sebagian besar otot-otot flexor-pronator dari lengan bawah, mempersarafi seluruh
otot-otot volaris superficial kecuali m. fleksor carpi ulnaris dan mempersarafi seluruh
otot-otot volaris profunda kecuali bagian ulnar dari m. flexor digitorum profundus. Pada
tangan, cabang-cabang motorik memepersarafi kedua otot lumbricales yang pertama dan
otot-otot thenar yang yang terletak superficial terhadap tendo m. plexor pollicis longus.
Cabang-cabang sensorik meensuplai kulit sisi palmar dari ibu jari-jari dan dua stengah
jari-jari tangan sebelah lateral serta ujung-ujung distal tangan yang sama. Banyak
serabut–serabut vasomotor dan trofik juga didistribusikan melalui nervus medianus.
f. Nervus Ulnaris
Nervus ulnaris merupakan cabang yang terbesar dari faciculus medialis plexus
brachialis. Serabut saraf ini terdiri atas serabut-serabut yang berasal dari segmen cervical
yang ke belakang dan thorachal pertama. Nervus ulnaris berasal pada batas bawah m.
pectoralis minor, berjalan turun pada sisi medial lengan dan menembus septum
intermuscularis medialis untuk melanjutkan perjalanannya dalam sulcus pada caput
medialis m. triceps. Dari sini serabut saraf ulnaris berjalan dibelakang epycondilus
medialis humerus dan kebawah menelusuri sisi ulnar lengan bawah untuk masuk kedalam
tangan. Cabang-cabang motorik didalam lengan bawah mensarafi m. fleksor carpi ulnaris
dan m. plexor digitorum profundus. Cabang-cabang motorik didalam tangan
mempersarafi seluruh otot-otot profunda yang kecil yang berada disebelah di sebelah
medial m. plexor longus ibu jari tangan kecuali dua buah otot lumbricales yang pertama.
Cabang-cabang sensorik mensuplai kulit jari kelingking dan bagian medial tangan serta
jari manis. (Chusid, 1990)
C. Biomekanik
Sesuai dengan kondisi yang dibahas, maka dalam karya tulis ilmiah ini hanya akan
membahas mengenai biomekanik pada vertebra cervicalis yang meliputi persendian, tulang
pembentuk persendian axis otot-otot penggeerak dan arah gerakan yang terjadi adapun
persendian yang dimasuk adalah: (De Wolf, 1994).
1. Sendi atlanto occipitalis
Persendian ini dibentuk oleh fossa articularis superior atlantis dengan condylus
occipitalis.
a. Gerak pleksi
gerakan ini mempunyai axis transversal dan melalui proccesus mastoideus ossis
temperalis dengan gerakan pleksi, otot yang bekerja pada gerakan ini adalah m.
sternocleido mastoideus, m. longus capitisdan dan m. capitis antero.
b. Gerakan exstensi
Gerakan ini mempunyai axis transversal dan melalui proccesus mastoideus osis
temporalis dengan gerakan exstensi otot yang bekerja pada gerakan ini adalah m. rectus
capitis posterior minor, m. semispinalis, m. obliqus capitis posterior, m. splenius capitis,
dan m. rectus capitis posterior.
2. Sendi atlanto axial
Persendian ini terjadi antara facies articularis inferior atlantis dan facies articularis
superior epistrofei kanan dan kiri, antara dens epistrofei dan atlas yang dibentuk oleh arcus
anterior atlantis bersama-sama dengan fovea dentisnya dengan facies articularis dentalis
epistrofei antara facies articularis posterior dens epistrofei dengan ligamentum transversium
adapun gerakan yang terjadi pada atlanto axial joint ini adalah gerakan rotasi dengan axis
longitudinal yang melalui dens epistrofei (DeWolf, 1994).
3. Sendi intervertebralis
Permukaan atas dan bawah korpus dilapisi oleh kartilago hialin dan dipisahkan oleh
diskus intervertebralis dari fibrokartilaginosa. Tiap discus memiliki anulus fibrosus di
perifer dan nucleus pulposus yang lebih lunak ditengah yang terletak lebih dekat dibagian
belakang daripada bagian depan discus. Persendian ini dibentuk oleh facies articularis
inferior dan frocessus articularis inferior dan facies articularis superior berikutnya juga
antara corpus vertebtra yang satu dengan corpus vertebra yang lain diantaranya terdapat
discus intervertebralis yang tersusun dari satu inti disebut nucleus pulposus, yang dikelilingi
oleh anulus fibrosus. Bentuk nucleus seperti bola yang mempunyai sipat elastis yang
merupakan zat gelantinous, sedangkan anulus fibrosus terdiri dari satu jaringan
fibrokartilag, gerakan yang terjadi pada persendian leher: exstensi, fleksi, lateral fleksi dan
side rotasi (David moffat, 2002).
D. Etiologi
Banyak hal yang dapat menyebabkan Cervical Root Syndrome antar lain:
1. Radikulopati: penjepitan saraf pada daerah leher.
2. Hernia nucleus pulposus (HNP): kelainan didalam discus intervertebralis yang dikarenakan
adanya tanda-tanda kompresi akar saraf
3. Spondylosis cervicalis: akibat proses degenerasi dan sesudah terbentuknya osteopyt
kerusakan softisus disekitar sendi vertebra, juga berperan dan berakibat ankylosis, tetapi juga
dapat terjadi karena menyempitnya terusan spinal dan mengenai dan di foramen inteructebia,
jalur saraf dan artei vertebra tertekan.
4. Kesalahan postural: kebiasaan seseorang menggerakan leher secara spontan dan penggunaan
bantal yang terlalu tinggi saat tidur dan dalam waktu yang lama bisa menimbulkan nyeri
1. Patologi
Bila mana terjadi iritasi terhadap salah satu radiks maka terasalah nyeri yang bertolak
dari tenpat peransangan itu dan menjalar sepanjang perjalanannya ke tepi, nyeri saraf itu
dikenal sebagai nyeri radikuler. Penekanan pada daerah cervical disebabkan oleh banyak hal.
Penekanan pada serabut saraf dalam jangka waktu yang lama pasti akan mengakibatkan nyeri
dan parestesia yang menjalar dari daerah leher turun disisi bahu, kelengan dan kadang-kadang
sampai ke jari-jari.
2. Tanda dan gejala
Adapun gejala yang khas dari Cervical Root Syndrome yaitu rasa nyeri yang menjalar
megikuti alur segmentasi serabut saraf yang lesi sehingga disebut dengan kelemahan otot
berdasarkan distribusi myotom yaitu :
a. Terjadi spasme otot
b. Gangguan sensibilitas pada segmen dermatom
c. Gangguan postural yang terjadi akibat menghindari posisi nyeri
d. Pada kondisi kronis timbul kontraktur otot dan kelemahan otot pada
regio cervical.
3. Diagnosa
Cervical Root Syndrome suatu gejala nyeri yang akut juga kronik dengan variasi
intensitas berbeda-beda dan etilogi yang bermacam-macam, tetapi ada juga yang tidak
diketahui. Cara penanganannya sering membutuhkan tindakan yang cepat tepat ada juga yang
membutuhkan waktu observasi yang cukup lama.
Untuk dapat memberikan tindakan yang tepat, maka dibutuhkan diagnosa yang tepat
pula. Setelah diketahui penyebabnya, maka melalui suatu pemeriksaaan yang cermat
diagnosa dari kondisi ini dapat ditegakan. Diagnosa yang tepat dapat membantu kita dalam
memberikan pengobatan sehingga hasil dari pengobatan sesuai dengan yang kita harapkan.
4. Prognosis
Penatalaksanaan ini bertujuan mengurangi nyeri yang di akibatkan penekanan saraf
dengan terapi yang rutin. Jadi terapi pada kasus ini bersifat mengobati symtomatis.
5. Diagnosis Banding
Banyaknya kondisi yang dapat menimbulkan nyeri leher dan bahu serta rasa tidak
nyaman pada ekstremitas. Semua itu harus dibedakan dari mana asalnya dan bagaimana
mekanisme terjadinya. Diagnosis banding untuk kondisi ini adalah :
a. Spondilosis cervicalis
Suatu kondisi dimana terdapat degenerasi yang progresif dari sendi-sendi
intervertebralis bagian cervical. Degenerasi persendian itu bisa terbatas pada tulang dan
sendi-sendi saja atau bisa mengakibatkan iritasi dan penekanan pada medula spinalis atau
unsur-unsur saraf spinal (Sidharta, 1983)
b. Syndroma scalenus anterior
Disebabkan karena adanya kompresi bundle neurovaskuler diantara otot scanleni
dan costa pertama. Gejalanya adalah numbness, tilling, dilengan otot jari-jari tangan.
Nyeri ini letaknya dalam biasanya datang setelah duduk lama. (Cailliet, 1991).
c. Syndroma claviculo costa
Timbulnya karena adanya penekanan pada bundle neurovasculer saat melewati
belakang clavicula disebelah anterior costa pertama, gejala lainnya adalah adanya dropy
posture yaitu posturnya salah, lelah, cemas dan depresi. Cailliet (1991).
E. Problematika Fisioterapi
Problematika fisioterapi dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu :
1. Impairment
Adalah suatu gangguan setingkat jaringan atau bisa juga suatu keluhan yang
dirasakan oleh pasien yang berhubungan dengan penyakit penderita. Pada kasus ini
ditemukan adanya impairment yaitu:
a. Nyeri
Pengertian nyeri yang dianggap paling memadai dan paling banyak dianut
diseluruh dunia yang ditemukan oleh ” The International Association For the Study of
Pain (IASP) yang menyebutkan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman,
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi merusak jaringan. Definisi
tersebut berdasarkan kepada sifat nyeri yang merupakan pengalaman subjektif yang
bersifat individual (Horn SE, 1998).
Neuroanatomi nyeri dan neurofisiologi nyeri
Reseptor nyeri perifer (akhiran saraf bebas yang disebut nosiseptor) terdapat pada
setiap struktur kutan, somatik dalam visera tubuh meliputi: kulit, bantalan lemak, otot,
ligamen, fasia, kapsul sendi, periosteum, tulangsubkondral dan pembuluh darah. Adanya
stimuli noksius atau stimuli noksius potensial, nosiseptor akan melepaskan zat-zat
kimiawi endogen yang selanjutnya akan mentranduksi menjadi impuls nyeri. Ada 3 tipe
kimiawi endogen untuk nyeri yaitu: (1). yang menghasilkan nyeri lokal secara langsung
misalnya: bradikinin, histamin, asetikolin dan kalium. (2). Yang memfalisitasi nyeri
dengan cara mensitisasi nosiseptor tanpa menstimulasinya misalkan: prostaglandin,
leukotrien, interleukin dan tromboksan. (3). Yang menghasilkan extravasi neuropeptida
misalkan: bahan P dan calcitonin generelated peptide (CGRP). Pelepasan bahan P dan
neuropeptida secara berlebihan akan membantu terjadinya priinflamasi di jaringan dan
akan menyebabkan inflamasi neurologik yang dapat menjadi kontributor nyeri syndroma
kronik. (Horn SE, 1998).
b. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi pada Leher
Adalah luas gerakan yang bisa dilakukan oleh suatu sendi. Lingkup gerak sendi
merupakan ruang gerak atau batas–batas gerakan-gerakan dari suatu kontraksi otot dalam
melakukan gerakan apakah otot tersebut dapat memendek atau memanjang secara penuh
atau tidak.
Untuk pengukuran Lingkup Gerak Sendi (LGS) disini penulis menggunakan
midline dengan cara pengukuran: untuk gerakan Fleksi: pengukuran dimulai dari dagu
sampai dengan manubrium sterni, gerakan Exstensi: os.occipital sampai dengan cervical
tujuh, side fleksi kanan dan kiri: acromeon sampai dengan dagu, lateral fleksi kanan dan
kiri: acromeon sampai dengan processus mastoideus. Kemudian diukur selisihnya dalam
posisi normal ke arah gerakan.
Adapun tujuan pengukuran Lingkup Gerak Sendi (LGS) yaitu: (1).
mengetahui besarnya LGS pada suatu sendi. (2). Membantu diagnosis dan pengembangan
rencana terapi. (3). sebagai alat evaluasi sebelum dan sesudah terapi. (4). Meningkatkan
motivasi pada pasien dan sebagai dokumentasi yang dapat dipergunakan untuk keperluan
riset (Magee J, 1997)
c. Spasme
Bila otot berkontraksi untuk penyediaan darah ke otot tidak mencukupi atau
berhenti, akan timbul nyeri otot. Setelah kontraksi rasa nyeri tersebut masih bertahan
sampai aliran darah pulih kembali. (Amin Hasni, 1996)
Dengan adanya rasa nyeri tersebut pasien enggan menggerakan leher dan akan
memposisikan diri pada posisi yang membuat pasien nyaman posisi tersebut lama-lama
akan menyebabkan spasme (tegang otot) terdapat penumpukan sisa-sisa metabolisme,
terlebih bila sirkulasi makin jelek berarti makin tertumpuknya iritasi sisa metabolisme
yang pada ahirnya menyebabkan nyeri. Pada nyeri leher akibat apapun akan diikuti
spasme otot yang menimbulkan iskemia yang akan menambah nyeri dan meningkatkan
spasme dapat diukur dengan cara palpasi
2. Fungsional Limitation
Merupakan suatu problem yang berupa penurunan atau keterbatasan saat melakukan
aktivitas-aktivitas fungsional sebagai akibat dari adanya impairment. Dalam kasus ini
ditemukan adanya functional limitation berupa adanya penurunan atau keterbatasan dan
tingkat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas fungsional sehari–hari seperti
mengendarai sepeda motor dan keterbatasan saat sholat waktu gerakan rukuk dan sujud.
3. Disability
Merupakan suatu problem yang berupa terhambatnya atau ke tidak mampuan
penderita untuk kembali melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaannya semula
dan aktivitas sosialisasi dengan masyarakat sebagai akibat dari adanya impairment dan
finctional limitation. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya disability yang berupa adanya
keterbatasan dalam beraktivitas yaitu pasien tidak dapat melakukan pekerjaannya secara
maksimal.
F. Tehnologi Interverensi Fisioterapi
1. Sinar Infra Merah
a. Definisi
Sinar infra merah adalah pancaran gelombang elelktromagnetik dengan panjang
gelombang 7700-4 juta A, letak diantara sinar merah dan hertzain. (Sujatno, 1993)
b. Efek Fisiologis
1) Meningkatkan proses metabolisme
Suatu reaksi dapat dipercepat dengan adanya panas atau kenaikan temperatur
akibat pemanasan. Sehingga proses metabolisme yang terjadi pada lapisan superfisial
kulit akan meningkat sehingga pemberian oksigen dan nutrisi pada jaringan lebih
lancar, begitu juga pengeluaran sampah-sampah pembakaran.
2) Vasodilatasi pembuluh darah
Dilatasi pembuluh darah kapiler dan arteriole akan terjadi segera setelah
penyinaran. Kulit akan mengadakan reaksi dan berwarna kemerah-merahan yang
disebut eritema. Sehingga pembuluh darah mengalami pelebaran sehingga nutrisi dan
oksigen dapat beredar keseluruh tubuh.
3) Pengaruh terhadap saraf sensoris
Mild heating mempunyai pengaruh terapeutik terhadap ujung-ujung saraf
sensoris.
4) Pengaruh terhadap jaringan otot
Kenaikan temperatur membantu terjadi rileksasi otot, pemanasan juga akan
mengaktifkan terjadinya pembuangan sisa-sisa metabolisme.
5) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat
Pengaruh ransangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris dapat
mengaktifkan kerja kelenjar keringat.
c. Efek terapeutik
1. Mengurangi rasa sakit
Mild heating menimbulkan efek sedatif pada superfisial sensori nerve ending,
stronger heating dapat menyebabkan counter iritation yang akan menimbulkan
pengurangan nyeri. Karena zat ”p” penyebab nyeri akan terbuang.
2. Relaksasi otot
Relaksasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan hangat dan
rasa nyeri tidak ada.
3. Meningkatkan suplai darah
Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi, yang akan
menyebabkan terjadinya peningkatan darah kejaringan setempat.
4. Menghilangkan hasil-hasil metabolisme
Penyinaran didaerah yang luas akan mengaktifkan ghlandula gudoifera
diseluruh badan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan pembuangan sisa-
sisa hasil metabolisme melalui keringat.
d. Indikasi
1. Penyakit kulit
2. Artritis seperti rematoid arthritis, osteoartritis, myalgia.
3. Kondisi peradangan seperti kontusio, muscle strain, muscle sprain.
e. Kontra indikasi
1. Daerah dengan insufisiensi pada darah
2. Gangguan sensibilitas kulit
3. Adanya kecendrungan terjadi pendarahan
2. Terapi latihan
Terapi latihan dalam bentuk relaksasi dapat memberikan efek pengurangan nyeri,
baik secara langsung maupun memutus siklus nyeri spasme nyeri. Gerakan yang ringan
dan perlahan merangsang propioceptor yang merupakan aktivasi dari serabut afferent
berdiameter besar. Hal ini akan mengakibatkan menutupnya spinal gate (Mardiman, 2001).
Terapi latihan meliputi:
a. Hold relax
Menurut metode Proprioceptic Neuromusculer Facilitation (PNF) Hold relax
merupakan tehnik menggunakan otot secara isometrik kelompok antagonis dan diikuti
rileksasi otot tersebut. Hold relax bermanfaat untuk rileksasi otot dan menambah lingkup
gerak sendi. Dengan kontraksi isometrik setelahnya otot menjadi rileks sehingga gerakan
kearah agonis lebih mudah dilakukan dan dapat mengalir secara optimal, tujuannya
adalah relaksasi group otot antagonis, memperbaiki mobilitas, mengurangi nyeri dan
menambah lingkup gerak sendi. (Kisner, 1996)
b. Streching atau penguluran
Penguluran bertujuan untuk untuk mencegah terjadinya kontraktur otot dengan
jalan mencerai beraikan struktur yang melengket atau menghambat gerakan persendian
dengan mengulur jaringan yang memendek.
3. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
TENS adalah suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang sistem sraf melalui
permukaan kulit. Dalam hubungannya dengan modulasi nyeri (Johnson , 2002).
a. Tanggap ransang jaringan terhadap stimulasi arus listrik (Gad Alon, 1987).
Jika arus listrik diaplikasikan ke jaringan tubuh maka akan menimbulkan
tanggaap ransang fisiologis dari jaringan yang bersangkutan baik akibat dari stimulus
secara langsung maupun tak langsung. Pengaruh langsung hanya terjadi pada tingkat
selular dan jaringan, sedangkan pengaruh tak langsung bisa terjadi di berbagai tingkat
mulai sel, jaringan, segmental, periferal dan ekstrasegmental. Pemahaman hubungan
antara pengaruh langsung dan tak langsung: jika TENS digunakan untuk mengurangi
nyeri maka pengaruh langsung terjadi pada tingkat sel, dimana arus meenimbulkan
exitasi sel saraf tepi, kemudian secara tak langsung mempengaruhi tingkat sistem yang
diindikasikan dengan terlepasnya bahan analgetik endogen seperti endorfin, enkhepalin
dan serotonin.
b. Mekanisme TENS:
1) Mekanisme periferal
Stimulasi listrik yang diaplikasikan pada serabut saraf akan meenghasilkan impuls
saraf yang berjalan dengan dua arah disepanjang akson saraf yang bersangkutan,
peristiwa ini dikenal sebagai aktivasi antidromik. Dengan adanya impuls antidromik
ini mengakibatkan terlepasnya materi P dari neuron sensoris yang berujung terjadinya
vasodilatasi arteriole dan ini merupakan dasar bagi proses triple responses. Adanya
tripel responses dan penekanan aktivasi simpatis akan meningkatkan aliran darah
sehingga pengangkutan materi yang berpengaruh terhadap nyeri seperti bradikinin,
histamin atau materi P juga akan meningkat. (Gersh, 1992).
2) Mekanisme segmental
TENS konvensional menghasilkan efek analgesia terutama melalui mekanisme
segmental yaitu dengan jalan mengaktivasi A beta yang selanjutnya akan menghibisi
neuron nosiseptif di kornu dorsalis medula spinalis. Ini mengacu pada teori gerbang
kontrol (Gate Control Theory) yang dikemukakan oleh (Melzack dan Wall, 1995).
Yang mengatakan bahwa gerbang terdiri dari sel interneunsial yang bersifat inhibisi
yang dikenal sebagai substansi gelatinosa yang terletak di kornu posterior dan sel T.
Tingkat aktivitas sel T ditentukaan oleh keseimbangan asupan dari serabut yang
berdiameter besar A beta dan A alfa serta serabut berdiameter kecil A delta dan C.
Jika serabut berdiameter besar maupun kecil, mengaktisifasi sel T dan pada saat yang
bersamaan impuls tersebut dapat memicu sel subtansi gelatinosa yang berdampak
pada penurunaan asupan impuls dari serabut berdiameter besar sehingga akan
menutup gerbang dan akan membloking transmisi impuls dari serabut aferen
nosiseptor sehingga nyeri berkurang atau menghilang. (Sjolund, 1985).
3) Mekanisme ekstrasegmental
TENS yang menginduksi aktivitas aferen yang berdiameter kecil juga
menghasilkan analgesia tingkat extrasegmental melalui aktivitas sruktur yang
membentuk jalanan inhibisi desenderen seperti periaqueductal grey (PAG).
Kontraksi otot fasik yang dihasilkan oleh Tens akan membangkitkan aktivitas aferen
motorik kecil ergoreseptor yang berujung pada aktivasi jalannya inhibisi nyeri.
(Sjolund, 1988).
c. Prinsip stimulasi eleketris pengurangan nyeri secara umum:
1) Indikasi stimulasi elektris. (Rennie, 1991)
a). Trauma musculoskeletal baik akut maupun kronik
b). Nyeri kepala
c). Nyeri pasaca operasi
d). Nyeri pasca melahirkan
e). Nyeri miofacial
f). Nyeri visceral
2) Sedangkan Johnson (2001) mengemukakan tentang penggunaan TENS dalam
berbagai kondisi yaitu:
a). Efek analgetik
1. Pada kondisi akut
a. Nyeri pasca operasi
b. Nyeri sewaktu melahirkan
c. Dismenorhea
d. Nyeri musculoskeletal
e. Nyeri akibat patah tulang
2. Nyeri yang berhubungan penanganan kasus
gigi
3. Pada kondisi kronik
a. Nyeri bawah pinggang
b. Artritis
c. Neuralgia trigeminal
d. Neuralgia pasca herpetik
4. Injuri saraf tepi
5. Angina pektoris
6. Nyeri fascial
7. Nyeri tulang akibat proses metastase
d. Kontra indikasi stimulasi listrik menurut (Johnson , 2001).
1. Adanya kecendrungan perdarahan pada daerah yang akan diterapi
2. Penyakit vasculer (arteri maupuin vena).
3. Keganasan pada daerah yang akan diterapi
4. Pasien beralat pacu jantun (meski penelitian terbatas menunjukan
bahwa stimulasi listrik tidak mempengaruhi alat pacu jantung).
5. Kehamilan bila terapi diberikan pada daerah abdomen atau panggul
6. Luka terbuka yang sangat lebar
7. Kondisi infeksi
8. Hilangnya sensasi sentuh dan tusuk pada area yang diterapi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi kasus yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu:
menggunakan fenomena atas dasar orang dan data-data yang telah terkumpul terwujud kasus-
kasus, sehingga tidak dapat disusun kedalam struktur klasifikasi dan merupakan penjelasan-
penjelasan, bukan berupa angka-angka statistik. Penelitian dilakukan dengan interview dan
observasi pada seorang penderita cervical syndrome melalui proses fisioterapi yang selanjutnya
diberikan terapi dengan heating berupa IR, TENS dan Terapi latihan yang dilakukan sebanyak 6
kali.
B. Kasus yang terpilih
Kasus yang terpilih dalam penelitian ini adalah: Cervical Root Syndrome
C. Instrumen Penelitian
Variable dependent adalah: nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi dan spasme pada
leher akibat dari Cervical Syndrome. Variable independent adalah terapi dengan menggunakan
modalitas: Infra Merah (IR), Transcutaneus Electrical Nerve Stimultion (TENS) dan Terapi
Latihan. Untuk mengetahui derajat berat ringannya kondisi tersebut maka peneliti menggunakan
instrument berupa:
1. Nyeri dengan VAS (Visual Analogue Scale)
VAS yaitu cara pengukuran derajat nyeri dengan menuangkan intensitas nyeri yang di
rasakan oleh pasien dan menunjukan satu titik pada garís skala (0–10) yang mana makin
besar nilainya maka makin besar derajat nyerinya. (Newell, 1996). yaitu:
0 10
Tidak nyeri Nyeri tak tertahankan
Gambar 1.7. Skala VAS.
2. Luas gerak sendi (LGS)
Luas gerak sendi adalah luas gerak sendi yang bisa dilakukan oleh suatu sendi.
Pengukuran ini menggunakan alat yaitu: Midline.
Pengukuran untuk gerakan fleksi patokan pengukuran dari: dagu s/d manubrium
sterni, exstensi: occipitalis s/d processus spinosus vertebra cervical 7, untuk gerakan lateral
fleksi dextra dan lateral fleksi sinistra patokan pengukuran dari: styloideus mastoideus s/d
akromeon, sedangkan untuk gerakan side rotasi dextra dan side rotasi sinistra patokan
pengukuran dari: dagu s/d akromeon. Kemudian diukur selisih dalam posisi normal atau
anatomi dikurangi dengan hasil setelah digerakan.
Tujuan pengukuran LGS adalah:
a.Untuk mengetahui besarnya LGS yang ada pada suatu sendi dan membandingkannya
dengan LGS pada sendi yang normal.
b. Membantu diagnosis dan menentukan fungsi sendi.
c.Untuk evaluasi terhadap pasien setelah dilakukan tindakan terapi dan membandingkan
dengan hasil pemeriksaan sebelumnya dan untuk dokumentasi.
Spasme
Pemeriksaan spasme pada kasus ini dengan cara palpasi pada bagian yang dikeluhkan
pasien, kemudian dibandingkan dengan bagian tubuh yang normal. Ini berhubuingan dengan rasa
nyeri, bila rasa nyeri menurun maka spasme juga akan menurun.
D. Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian studi kasus ini dilakukan di RSUD yang dilaksanakan pada bulan
E. Prosedur pengambilan atau pengumpulan data
Prosedur pengambilan data atau pengumpulan data dalam penyusunan Karya tulis ilmiah
ini mencakup:
1. Data primer
a. Pemeriksaan fisik
Suatu metode atau cara pengumpulan data dengan melakukan suatu pemeriksaan
fisik penderita meliputi: Tanda-tanda vital sign (Tekanan darah, denyut nadi, frekuensi
pernafasan, temperatur, tinggi badan dan berat badan). Inspeksi, palpasi. Pemeriksaan
gerak dasar meliputi: gerak aktif, gerak pasif dan gerak isometrik melawan tahanan.
b. Interview
Metode ini dengan cara tanya jawab antara terapis dengan pasien (sumbernya)
anamnesis langsung dengan pasien (Auto), anamnesis ini bisa juga dilakukan dengan
orang lain atau keluarga pasien yang mengetahui keadaan atau kondisi pasien (Hetero).
c. Observasi
Mengamati perkembangan pasien selama diberikan terapi.
2. Data sekunder
a. Studi dokumentasi
Pada studi dokumentasi ini penulis mempelajari data status pasien di RSUD.
surakarta.
b. Studi pustaka
Dari buku-buku, kumpulan makalah, artikel, internet dan bahan kuliah yang
berkaitan dengan kondisi Cervical Root Syndrome.
F. Cara Analisis Data
Data penelitian diperoleh dari rancangan penelitian, instrument penelitian, data primer
dan data sekunder, data ini dikumpulkan dengan cara pengukuran langsung terhadap pasien yang
ditunjang dengan diagnosa dokter dan assessment dari Fisioterapi. Setelah penulis
mengumpulkan data yang ada dari hasil evaluasi T1 s/d T6 maka langkah berikutnya
menganalisa data tersebut dengan permasalahan yang ada untuk menganalisa data meliputi
kegiatan kegiatan sebagai berikut:
a. Mengumpulkan sumber data yang menghasilkan data-data sehingga dapat dijadikan
acuan untuk mengetahui kemajuan dalam proses terapi.
b. Mengolah data yang sudah diperoleh dengan evaluasi terapi secara periodik yang
digunakan untuk perbandingan terhadap hasil terapi yang dicapai pada terapi berikutnya.
c. Menganalisa data yang sudah masuk untuk selanjutnya dievaluasi perkembangan dengan
cara deskriptif.
Dengan menganalisa data tersebut Fisioterapi bisa menentukan tindakan terapi atau
memprogram terapi berikutnya untuk mencapai tujuan terapi yang optimal dan diperoleh hasil
maksimal dari sebelumnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PELAKSANAAN STUDI KASUS
1. Pengkajian
Pada bab ini penulis akan membahas proses pemecahan masalah Fisioterapi yang
didalamnya terdapat pengkajian, menentukan diagnosa atau problematika Fisioterapi tujuan
Fisioterapi, pelaksanaan Fisioterapi dan evaluasi.
a. Anamnesis
Anamnesis adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara terapis
dengan sumber data. Pada kasus ini anamnesis dapat dilakukakan secara autoanamnesis
yaitu tanya jawab langsung kepada pasien yang bersangkutan. Anamnesis dilakukan pada
tanggal 4 Februari 2009, dari anamnesis diperoleh data berupa :
1) Identitas pasien
Data yang diperoleh berupa:
Nama : Ny. Wagini
Umur : 34 thn
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gombangan , Gumul Karang Nongko Klaten
Agama : Islam
Pekerjaan pasien : Ibu rumah tangga
Nomor register : 683463
2) Keluhan utama
Merupakan tanda dan gejala dominan yang dikeluhkan oleh pasien sehingga
mendorong pasien untuk mencari pertolongan atau pengobatan. Keluhan utama yang
dirasakan pasien adalah nyeri pada leher dan menjalar ke lengan kiri
3) Riwayat penyakit sekarang
Memperinci keluhan dan menggambarkan riwayat penyakit secara
lengkap, meliputi lokasi keluhan, kapan dan bagaimana terjadinya, kualitas keluhan,
faktor yang memperberat dan memperingan. Dari anamnesis diperoleh informasi
kurang lebih
4) Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah dialami yang berkesinambungan langsung dengan
munculnya keluhan sekarang. Dari anamnesis diperoleh data riwayat penyakit dahulu
tidak ada.
4) Riwayat penyakit penyerta
Penyakit yang menyertai dengan penyakit yang diderita pasien saat ini.
Dari anamnesis tidak di dapatkan penyakit penyerta seperti: Hipertensi, DM, jantung
dan asam urat.
5) Riwayat pribadi
Keterangan umum penderita mulai dari status pasien, pekerjaan dan hoby.
Dari anamnesis didapatkan data yaitu pasien adalah seorang ibu rumah tanngga sudah
berkeluarga dan mempunyai dua orang anak dan hoby pasien adalah olah raga
bulutangkis.
6) Riwayat keluarga
Untuk mengetahui adakah penyakit yang bersifat menurun
(heredofamilial) dari orang tua atau keluarga yang lain. Setelah dilakukan
pemeriksaan didapatkan hasil bahwa tidak ada anggota keluarga pasien yang
memiliki penyakit yang sama seperti pasien.
7) Anamnesis sistem
Diperoleh keterangan yang meliputi:
(a). Kepala dan leher : Pusing ( + ), Keterbatasan LGS dari gerakan Fleksi –
Exstensi, Lateral Fleksi – kanan dan kiri, Siderotasi kanan dan kiri.
(b). Kardiovaskuler : Tidak ada keluhan jantung berdebar-debar dan nyeri
dada.
(c). Respirasi : Batuk dan sesak nafas tidak ada keluhan.
(d). Gastrointestinalis : BAB terkontrol
(e). Urogenitalis : BAK terkontrol
(f). Muskuloskeletal : Kaku pada leher, adanya spasme pada otot trapezius
dan otot sternocleidomastoideus.
(g). Nervorum : Adanya rasa kesemutan pada ujung jari-jari tangan
kanan.
b. Pemeriksaan Objektif
1 Pemeriksaan tanda-tanda vital
Tanda – tanda vital adalah tanda / gambaran pada tubuh seseorang yang
penting untuk diketahui sehingga kita dapat mengetahui keadaan tubuh seseorang,
pemeriksaan tanda vital meliputi
a. Tekanan darah : 120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 81x/menit
c. Frekuensi pernafasan : 20x/menit
d. Temperatur : 36 C
e. Tinggi badan : 160 cm
f. Berat badan : 54 kg
2 Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Hal-hal
yang bisa dilihat/diamati seperti keadaan umum, kondisi berat badan, sianosis, pucat,
gerakan–gerakan yang berkaitan dengan fungsi tangan kanannya, abnormal
(deformitas), clubbing finger. Macam-macam inspeksi ada 2, yaitu:
a Statis: dimana penderita dalam keadaan diam. Di dapatkan hasil keaadaan
umum pasien baik, bahu kanan dan kiri simetris.
b Dinamis: dimana penderita dalam keadaan bergerak, contoh waktu penderita
menggerakkan lehernya saat beraktivitas. Didapatkan hasil saat menggerakan
leher kesemua arah gerakan terlihat adanya keterbatasan ditandai dengan raut
wajah menahan rasa sakit.
3 Palpasi
Palpasi adalah cara pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan
memegang organ / bagian tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya spasme
otot, nyeri tekan, suhu, tumor/oedema, tingkat kesamaan ekspansi, atropi, serta
kontraktur. Didapatkan hasil suhu lokal sama kana dan kiri, spasme dan nyeri tekan
pada otot trapezius dan sternocleidomastoideus bagian kanan.
4 Perkusi
Dilakukan dengan mengetuk. Pada kondisi ini tidak dilakukan.
5 Auskultasi
Proses untuk mendengarkan dan menginterpretasikan suara yan timbul dalam thorak
dengan menggunakan alat bantu “stethoscope”. Dipergunakan untuk mengidentifikasi
gangguan ventilasi atau gangguan pembersihan jalan nafas (lokasi mukus) dan menilai
efektifitas terapi, serta untuk mendengarkan suara jantung. Pada kondisi ini tidak dilakukan.
c. Pemeriksaan Gerak Dasar
1 Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif: untuk menentukan kekuatan otot,
ROM aktif, nyeri dan koordinasi gerak. Didapatkan hasil fleksi-exstensi dapat
menggerakan tetapi tidak full ROM adanya nyeri dengan koordinasi baik, lateral
fleksi kanan dan lateral fleksi kiri dapat menggerakan tetapi tidak full ROM adanya
nyeri dengan koordinasi baik, siderotasi kanan dan side rotasi kiri dapat menggerakan
tetapi tidak full ROM adanya nyeri dengan koordinasi baik.
2 Pemeriksaan Fungsi Gerak Pasif untuk menentukan ROM pasif
(normal, hypomobilitas, hypermobilitas), nyeri, end feel, tonus dan panjang otot.
Didapatkan hasil fleksi-exstensi dapat digerakan tetapi tidak full ROM ada nyeri end
feel normal, lateral fleksi kanan dan latero fleksi kiri dapat digerakan tidak full ROM
ada nyeri end feel normal, side rotasi kanan dan side rotasi kiri dapat digerakan tidak
full ROM ada nyeri end feel normal.
3 Pemeriksaan Kontraksi Isometrik: untuk menelaah rasa nyeri dan
kelemahan otot (gangguan neuromuskular) didapat hasil mampu melawan tahanan
minimal dari kesemua arah gerakan leher.
d. Pemeriksaan Kognitif, Intrapersonal, dan Interpersonal
Untuk mengetahui apakah pasien masih mampu mengingat dengan baik serta
mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Kognitif: pasien dapat mengingat
memori jangka panjang maupun jangka pendek. Intra personal: pasien mempunyai
semangat untuk sembuh dan Inter Personal: pasien sangat kooperatif dengan terapis.
e. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional Dan Lingkungan Aktivitas
1 Kemampuan fungsional dasar
Untuk mengetahui apakah pasien melakukan aktivitas sehari-sehari dengan
mandiri atau masih membutuhkan bantuan orang lain. Didapatkan hasil pasien
mengalami keterbatasan untuk semua gerakan leher.
2 Aktivitas fungsional
Pasien mengalami keterbatasan dari duduk lama ke berdiri dan saat
mengendarai sepeda motor.
3 Lingkungan aktivitas
Sepulang dari sekolah biasanya pasien istirahat dan saat tidur menggunakan
bantal yang tebal, tempat dan ruangan pasien menjalani terapi cukup bersih dan luas,
sehingga mendukung untuk dilakukan terapi.
f. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan spesifik di lakukan untuk mengetahui informasi yang belum di dapatkan pada
pemeriksaan gerak fungsi dasar. Pemeriksaan khusus pada kasus ini meliputi :
1) Manual muscle Testing
Manual muscle testing (MMT) adalah suatu usaha untuk menentukan atau mengetahui
kemampuan seseorang dalam mengkontrasikan otot atau grup ototnya secara voluntary.
Parameter penilaian kekuatan otot ini menggunakan manual muscle testing menurut kriteria
Lovett, Daniel dan Worthingham.
Tabel 3.1MMT menurut criteria Lovett, Daniel dan Worthingham.
Nilai Ketentuan
5 Subjek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dengan melawan
tahanan maksimal.
4+ Subjek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dengan melawan
tahanan hampir maksimal.
4 Subjek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dengan melawan
tahanan sedang.
4- Subjek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dengan melawan
tahananan ringan.
3+ Subjek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi tanpa melawan
tahanan minimal.
3 Subjek bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi tanpa melawan
tahanan
3- Subjek bergerak dengan LGS lebih dari middle range, melawan grativitasi
2+ Subjek bergeran sedikit dengan melawan gravitasi atau bergerak dengan
LGS penuh denga tahanan tanpa melawan gravitasi.
2 Subjek bergerak dengan LGS penuh tanpa melawan gravitasi
2- Subjek bergerak dengan LGS tidak penuh tanpa melawan gravitasi
1 Tidak ada gerakan sendi. Tapi ada gerakan otot saat di palpasi
0 Tidak ada kontraksi otot saat di palpasi.
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan kekuatan otot pada leher untuk gerakan fleksi,
ekstensi, lateral fleksi kanan kiri dan rotasi leher kanan kiri, dan kekuatan otot lengan untuk
gerakan fleksi, ekstensi, abduksi dan adduksi bahu, retraksi dan protraksi shoulder dan internal,
eksternal rotasi shoulder. Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah
2) Lingkup Gerak Sendi
Pengukuran LGS dilakukan secara aktif pada leher dan sensi bahu. Pengukuran dilakukan
pada gerakan ekstensi / fleksi leher, rotasi leher ke kanan dan ke kiri, ekstensi – fleksi shoulder,
abduksi – adduksi shoulder, ekternal – internal rotasi shoulder. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan alat ukur goneometer, pada goneometer terdapat dua lengan yaitu satu lengan
sebagai lengan statis dan satu lengan yang lain sebagai lengan dinamis. Pengukuran dimulai
dalam posisi netral. Untuk pengukuran pada leher gerakan ekstensi – fleksi pasien dalam posisi
duduk, goneometer diletakkan sejajar dengan telinga untuk lengan dinamis dan lengan statis
dalam posisi 90°, hasil yang diperoleh adalah S 35°-0°-40° artinya dalam posisi sendi netral
gerakan fleksi adalah 35° dan ekstensi adalah 15°, untuk pengukuran lateral bending kiri kanan
dengan hasil F 30°-0-30°, untuk pengukuran rotasi leher goneometer diletakkan diatas kepala
dengan lengan dinamis lurus kedepan sejajar dengan hidung dan lengan statis membentuk sudut
90° dan sejajar dengan bahu, hasil yang diperoleh adalah rotasi ke kanan R 0°-40° dan rotasi ke
kiri R 0°-40°.
Untuk pengukuran ekstensi – fleksi shoulder pasien dalam posisi duduk, goneometer diletakkan
pada lateral bahu posisi lengan statis dan dinamis sejajar dengan panjang lengan atas, hasil
diperoleh adalah S 160°-0°-35°, untuk gerakan abduksi – adduksi shoulder pasien dalam posisi
duduk goneometer diletakkan pada bagian depan sendi bahu dengan posisi lengan statis dan
dinamis sejajar dengan lengan, hasil yang diperoleh adalah F 90°-0°-35°, untuk gerakan
eksternal – internal rotasi pasien dalam posisi duduk dengan siku fleksi 60° dan abduksi 90°
goneometer diletakkan pada lateral sendi siku.
3) Skala nyeri Verbal Descriptif Scale ( VDS)
VDS adalah cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuan skala penilaian, yaitu : 1=tidak
nyeri, 2=nyeri sangat ringan, 3=nyeri ringan, 4=nyeri tidak begitu berat, 5=nyeri cukup berat,
6=nyeri berat, 7=nyeri hampir tidak tertahankan. Dari pemeriksaan yang dilakukan diperoleh
hasil sebagai berikut : nyeri diam leher dan bahu dengan nilai 2= nyeri sangat ringan, nyeri gerak
terutama untuk gerakan kearah ekstensi dan rotasi leher ke kiri. Leher dengan nilai 4= nyeri tidak
cukup berat, nyeri gerak bahu untuk semua gerakan adalah 2= nyeri sangat ringan dan nyeri
tekan terutama pada leher diperoleh nilai 4=nyeri tidak cukup berat sedangkan untuk bahu nyeri
tekan juga 4= nyeri sangat ringan.
4) Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan sensoris merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya
gangguan pada sistem sensorik yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap penerimaan
informasi dari reseptor sensorik sehinggan dapat mengakibatkan menurunnya kontrol motorik
atau terganggunya gerakan yang dilakukan, pemeriksaan meliputi sensasi protaktif diperiksa
terlebih dahulu kemudian diikuti dengan sensasi deskriminatif, sebab sensasi protaktif
merupakan respon yang lebih primitif. Jika pemeriksaan menunjukkan adanya gangguan respon
protaktif maka kemungkinan besar juga akan terjadi gangguan pada sensasi deskriminatif.
Pada kasus ini pemeriksaan dilakukan pada daerah leher dan lengan karena merupakan daerah
distribusi persyaratan C4-C5. Hasil yang diperoleh antara lain :
(1) Nyeri superficial
Alat menggunakan pinsil (tajam-tumpul)dengan cara aplikasikan pinsil tajam-tumpul
secara acak pada daerah lengan atas dan hasilnya normal.
(2) Sentuhan ringan
Alat yang digunakan kapas dengan cara stimulasi dilakukan secara acak dengan
memberikan rangsangan sentuhan dan tidak pada daerah lengan atas dan hasilnya normal.
(3)Taktil / tekanan
Alat yang digunakan jari tangan dengan cara aplikasikan tekan yang kuat, sedang dan
ringan pada lengan atas dan hasilnya normal.
(3) Deskriminasi dua titk
Alat yang digunakan menggunakan dengan ujung pinsil dengan cara stimulasi dua titik di
aplikasikan secara bertahap sampai rangsangan saja, stimulasi di berikan padalengan atas dan
hasilnya normal 2 cm.
(4) Test valsava
Cara memberikan testnya, pasien di suruh mengejan pada waktu pasien menahan nafasnya dan
hasilnya positif (+) pasin merasakan nyeri yang menjalar yang berpangkal dari leher sampai ke
bahu.
NO Keterangan Nilai1 Nyeri diam saat tidur terlentang 02 Nyeri tekan pada otot trapezius & otot
sternocleidomastoideus 43 Nyeri gerak setelah di gerakan Fleksi – Exstensi,
lateral Fleksi kanan – kiri dan Side rotasi kanan –
kiri.
7
Tabel 2.2. Hasil pemerikasaan nyeri sebelum dilakukan terapi.
(5)Pemeriksaan Spasme
Pemeriksaan spasme pada kasus ini dengan cara palpasi pada bagian yang
dikeluhkan pasien, kemudian dibandingkan dengan bagian tubuh yang normal. Dari
pemeriksaan didapatkan hasil spasme pada otot trapezius dan otot
sternocleidomastoideus.
(6)Tes Lhermitte
Bila terdapat nyeri radikuler akibat kompresi di foramen intervertebrale cervical,
maka nyeri itu dapat diprovokasi dengan jalan kompresi pada kepala dalam berbagai
posisi (miring kanan, miring kiri, tengadah dan menunduk) dari hasil pemeriksaan
didapatkan hasil nyeri positif.
Gambar 1.9. Tes Lhermitte
(7)Tes Distraksi
Bila terdapat nyeri radikuler akibat kompresi di foramen intervertebralis cervical,
maka ia dapat mereda atau lenyap dengan mengangkat (distraksi) kepala. Dari hasil
pemeriksaan didapatkan hasil nyeri positif.
Gambar 1.10. Tes Distraksi
1 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan foto roentgen untuk menegakkan
diagnosa tentang cervical root syndrome. Dari hasil foto roentgen yang dilakukan
pada tanggal 6 januari 2009 didapatkan gambar bahwa tampak spondilosis cervicalis
C-4. C-5.
g. Diagnosa Fisioterapi
Untuk menegakan diagnosa Cervical Root Syndrome yang pada hakekatnya hanya
merupakan diagnosis klinis saja, berdasarkan gejala dan tanda seperti yang dijelaskan di
atas kiranya tidak terlalu sukar, meskipun demikian pemeriksaan harus dilakukan secara
teliti. Dari pemeriksaan tersebut di dapatkan masalah yang timbul pada kondisi ini:
1 Impairment
a). Adanya nyeri dari semua gerakan leher
b). Keterbatasan gerak untuk semua gerakan leher
c). Spasme pada otot sternocleidomastoideus dan otot trapezius
2 Fungsional limitation
Pasien merasa terganggu dengan nyeri yang dirasakan saat mengendarai
sepeda motor.
3 Disability
Dengan kondisi pasien saat ini, pasien tidak dapat melakukan pekerjaannya
sebagai guru dengan maksimal.
h. Program Fisioterapi
1 Tujuan Fisioterapi
a). Tujuan Jangka Pendek :
1). Mengurangi nyeri
2). Meningkatkan LGS (Lingkup Gerak Sendi)
3). Mengurangi spasme
b). Tujuan Jangka Panjang :
1). Melanjutkan tujuan jangka pendek
2). Meningkatkan kemampuan fungsional gerak dan fungsi pasien guna
meningkatkan kualitas hidup.
i. Edukasi
Edukasi merupakan suatu anjuran kepada pasien mengenai apa yang harus
dikerjakan dan apa yang tidak boleh dilakukan pasien selama di rumah. Edukasi ini
meliputi :
1 Saat tidur supaya tidak menggunakan bantal yang terlalu tebal dan
keras.
2 Pasien disarankan untuk memakai collar brace dengan tujuan untuk
memfiksasi leher supaya tetap pada posisi anatomis dan terhindar dari gerakan leher
yang secara spontan/langsung Fleksi-Exstensi.
3 Melarang pasien untuk menggerakan leher secara spontan
4 Untuk mengurangi nyeri saat di rumah bisa dengan kompres panas.
5 Melakukan latihan yang telah diberikan oleh terapis
j. Pelaksanaan Fisioterapi
1 IR ( Infra merah )
a Persiapan alat
Meliputi pemeriksaan kabel apakah kabel dalam keadaan kondisi baik atau
tidak lecet, pemeriksaan lampu IR apakah masih hidup atau sudah mati, persiapan
tabung reaksi untuk tes sensibilitas, kemudian kabel mesin atau stop kontak di
hubungkan dengan arus listrik, mesin dihidupkan atau dipanasi dengan waktu
kurang lebih 5 meni jenis lampu IR yang digunakan yaitu luminious generator.
b Persiapan pasien
Posisikan pasien dengan aman dan nyaman yaitu tidur tengkurap kepala di
ganjal pakai bantal, daerah yang diterapi dibebaskan dari pakaian. Dibersihkan
atau dikeringkan dengan handuk pada daerah tersebut dilakukan tes sensasi panas
dan dingin dengan menggunakan tabung reaksi yang sudah diisi air panas dan
satunya air dingin, kedua tabung reaksi ditempatkan pada kulit pasien secara
bergantian. Apabila pasien dapat membedakan sensasi panas dan dingin maka IR
dapat diberikan. Pasien diberi penjelasan tentang rasa hangat yang dikeluarkan
oleh IR dan seandainya timbul rasa panas pasien disarankan untuk
memberitahukan terapis. Pasien diberi penjelasan tidak boleh mengubah posisi
alat IR, pasien diberitahu kalau anggota yang diterapi tidak boleh digeser kemana-
mana.
c Pelaksanaan terapi
Setelah persiapan alat dan pasien selesai selanjutnya lampu IR di pasang
atau diarahkan pada otot trapezius dan otot sternocleidomastoideus dengan posisi
IR tegak lurus dengan jarak kurang lebih 45 s/d 50 cm, dosis yang digunakan
waktu terapi 15 menit intensitas normalis yaitu pasien merasakan hangat dan
nyaman.
Setelah waktunya habis maka lampu IR secara otomatis akan mati sendiri
dan terapis mengambil atau memindahkan IR dari atas leher pasien dan
membersihkan alat serta merapikan IR dengan cara menyabut stopkontak atau
merapikan alat kembali.
2 Transcutaneus Electrical Nerve Stimulatuion (TENS)
a Persiapan alat
Pastikan mesin masih dalam keadan baik. Siapkan elektroda yang sama
besar dan elektroda dalam kondisi yang cukup basah atau menggunakan jeli, di
usap rata pada seluruh permukaan elektroda. Hindarkan adanya gelembung,
jangan terlalu tipis ataupun tebal sehingga hantaran listrik yang sampai ke
jaringan dapat maksimal. Harus di perhatikan pula pemasangan kabel, metode
pemasangan dan penempatan elektroda sampai pemilihan frekuensi, durasi pulsa,
durasi waktu dan intensitas.
b Persiapan pasien
Posisikan pasien pada posisi aman dan nyaman, yaitu dengan posisi tidur
tengkurap. Beri penjelasan pada pasien tentang terapi yang akan dilakukan.
Penjelasan bisa berupa nama terapi, mengapa terapi ini dipilih, rasa yang
diharapkan selama terapi dan efek terapi.
c Pelaksanaan terapi dengan TENS konvensional (Johnson M, 2001).
1). Target arus : Mengaktivasi saraf berdiameter
besar
2). Serabut yang teraktivasi : A Beta, mekanoreseptor
3). Sensasi yang timbul : Paraestesia yang kuat sedikit
Kontraksi
4). Karakteristik fisika : Frekuensi tinggi, intensitas
rendah pola kontinyu durasi = 200
mikrodetik dan frekuensi 100 pps.
5). Posisi elektroda : Pada titik nyeri atau dermatom
Anoda origo dan katoda insercio pada otot
sternocleidomastoideus dan trapezius.
6). Profil analgetik : Terasa < 30 menit setelah
dinyalakan dan menghilang < 30 menit
setelah alat dipadamkan.
7). Durasi terapi : Secara terus menerus saat nyeri
terjadi
8). Mekanisme analgetik : Tingkat segmental.
Pasang elektroda dengan anoda (origo) dan katoda (insercio) pada otot
sternocleidomastoideus dan otot trapezius atau pada daerah yang nyeri. Kemudian
hidupkan mesin dan atur arus dengan gelombang bifasik symetris, fase durasi 200µs,
frekuensi 100 Hz, frekuensi modulasi program 1/1, intensitas 20,5 mA, dan waktu 15
menit. Kemudian hidupkan salah satu saluran sampai penderita merasakan adanya
rangsangan berupa tingling, kemudian naikan intensitasnya sampai terjadi getaran
yang kuat tapi tetap nyaman, sensasi yang dirasakan tidak boleh menimbulkan rasa
nyeri atau kontraksi otot kecil. Setelah 5 menit terapi berjalan, periksalah pasien
untuk mengetahui apa yang dirasakan. Jika pasien tidak lagi merasakan arus, maka
intensitas harus dinaikkan. Pertimbangkanlah untuk menggunakan busrt atau bentuk
modulasi atau ubah durasi dan frekuensi pulsa tetap pada parameter yang telah
ditentukan. Setelah terapi selesai turunkan intensitas dan mesin dimatikan. Lepaskan
elektroda periksalah daerah yang diterapi, apakah terdapat warna kemerah-merahan
sebagai tanda iritabilitas dan simpanlah unit TENS sehabis digunakan.
3 Terapi latihan
a Hold relax
Latihan ini bertujuan untuk menambah luas gerak sendi pada daerah
cervical
Posisi pasien : duduk di kursi
Posisi terapis : disamping pasien, satu tangan memegang kepala bagian lateral
dan tangan yang satu memfiksasi pada bagian akromeon.
Pelaksanaan : pasien menggerakan ke lateral fleksi kanan sampai batas luas
gerak sendi yang pasien miliki secara aktif, pasien diminta melakukan kontraksi
isometrik dengan meluruskan ke posisi normal, kemudian terapis memberikan
tahanan di kepala bagian leteral, dengan aba-aba “tahan…tahan!”. Kontraksi
dipertahankan selama 10 detik kemudian pasien diminta merileksasikan, lalu
dilakukan penguluran kearah lateral fleksi kiri secara pasif (Kisner, 1996) gerakan
diulang 5 kali.
b Streching atau penguluran
1). Penguluran otot scaleni
Posisi pasien duduk dan terapis berdiri di samping pasien, Pelaksanaan
terapis menggerakan leher ke homolateral rotasi, lateral fleksi dan exstensi
gerakan ini dilaksanakan secara perlahan –lahan sampai batas nyeri, apabila
sudah mencapai batas nyeri, sedikit kembali ke posisi rilex untuk
dipertahankan dan selanjutnya dengan kontraksi isometric. Pasien melawan
tahanan pada hitungan ke 6 kemudian rilex sambil menghembuskan nafas,
kemudian terapis memberikan penguluran ke arah homolateral rotasi, lateral
fleksi dan exstensi.
2). Penguluran otot trapezius
Posisi pasien duduk dan terapis berdiri di samping pasien pelaksanaan
pada otot ini paling epektif bila dilakukan transvers streching langsung pada
m. trapezius dengan kedua tangan. Peregangan dengan cara leher posisi lateral
fleksi kontra lateral sampai hitungan ke 5. pada hitungan ke 6 pasien diminta
untuk menghembuskan nafas dan terapis mendorong pundak (shoulder girdle)
ke arah caudal bersamaan dengan tehnik contrak rilex.
B. PROTOKOL STUDI KASUS
NAMA MAHASISWA : AKA WIJIAN SYAH ZAIN
NIM : JI00 060 052
TEMPAT PRAKTEK : RSUD Dr. Moewardi Surakarta
PEMBIMBING : Drs. Luklu EM. SSt. FT. MM
Tanggal Pembuatan Laporan : 04 – 02 - 2009
Kondisi / kasus : FT C
I. KETERANGAN UMUM PENDERITA
Nama : Ny. Wartini
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru SD
Alamat : Purwosari RT / RW laweyan, Sukoharjo.
NO RM : 848899
Tempat perawatan: Poliklinik Fisioterapi.
II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT
a DIAGNOSA MEDIS
Tgl. 6 – 01 – 2009
Cervical Root Syndrome
b CATATAN KLINIS
Hasil foto roentgen tanggal 6 januari 2009 yaitu. Didapatkan gambar bahwa
tampak spondilosis cervicalis C-4. C-5.
c TERAPI UMUM ( GENERAL TREATMENT)
Miloxican 2x1
Neurodes 2x1
Amitripthil 2x1
d RUJUKAN FISIOTERAPI DARI DOKTER
Mohon dilakukan tindakan fisioterapi kepada pasien Ny. Wartini.
III. SEGI FISIOTERAPI
TANGGAL : 04 – 02 - 2009
a Anamnesis ( AUTO )
1 KELUHAN UTAMA
Nyeri pada leher dan menjalar ke lengan kanan sampai dengan jari – jari tangan.
2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Kurang lebih 1 tahun yang lalu pasien pernah jatuh dari sepeda motor dengan
posisi kepala memutar, dan nyeri mulai dirasakan sekitar 5 bulan yang lalu sampai
dengan sekarang. Kemudian pasien periksa ke dokter syaraf RSUD Dr. Moewardi
dan dari syaraf di rujuk ke rehabilitasi medik atau fisioterapi.
3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama.
4 RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA
Riwayat penyakit penyerta seperti:Hipertensi, DM, Jantung dan Asam urat tidak
ada keluhan.
5 RIWAYAT PRIBADI (KETERANGAN UMUM PENDERITA)
Pasien adalah seorang guru sudah berkeluarga dan mempunyai anak dua, hobi
pasien adalah olah raga bulu tangkis.
6 RIWAYAT KELUARGA
Tidak ada riwayat keluarga pasien yang memiliki penyakit yang serupa
dengan pasien.
7 ANAMNESIS SISTEM
a). Kepala dan Leher
Pasien merasakan pusing dan keterbatasan gerak pada leher..
b). Kardiovaskuler
Pasien tidak merasakan nyeri dada maupun mengeluh jantung berdebar-
debar.
c). Respirasi
Pasien tidak merasakan sesak napas maupun batuk.
d). Gastrointestinalis
BAB terkontrol.
e). Urogenetalis
BAK terkontrol
f). Muskuloskeletal
Pasien mengeluh kaku pada leher atau spasme pada otot
sternocleidomastoideus dan otot trapezius.
g). Nervorum
Pasien merasakan kesemutan atau tebal – tebal dari lengan kanan sampai
dengan jari – jari tanga
b Pemeriksaan
1 PEMERIKSAAN FISIK
a). TANDA-TANDA VITAL
1). Tekanan Darah : 120/80 mmHg
2). Denyut Nadi : 81 x/menit
3). Pernapasan : 20 x/menit
4). Temperatur : 36 0C
5). Tinggi Badan : 160 cm
6). Berat Badan : 54 kg
b). INSPEKSI
Statis: Ekspresi wajah tidak tampak pucat, bahu kanan dan kiri simetris,
tidak ada oedem dan keadaan umum pasien baik
Dinamis : Saat menggerakan leher ke semua arah gerakan leher terlihat
adanya keterbatasan ditandai dengan raut wajah menahan rasa sakit.
c). PALPASI
Suhu lokal kanan dan kiri sama hangat, ditemukan nyeri tekan pada otot
trapezius dan otot sternocleidomastoideus.
d). PERKUSI
Tidak dilakukan
e). AUSKULTASI
Tidak dilakukan
f). GERAK DASAR
1). Gerak Aktif ( Leher )
(a). Fleksi – Exstensi: Dapat menggerakan tetapi tidak full ROM ada
nyeri dengan koordinasi baik.
(b). Lateral Fleksi kanan – kiri: Dapat menggerakan tetapi tidak full
ROM ada nyeri dengan koordinasi baik.
(c). Siderotasi kanan – kiri: Dapat menggerakan tetapi tidak full ROM
ada nyeri dengan koordinasi baik.
2). Gerak Pasif ( Leher )
(a). Fleksi – Exstensi: Dapat digerakan tidak full ROM ada nyeri dan
endfel normal
(b). Lateral Fleksi kanan – kiri: dapat digerakan tidak full ROM ada
nyeri dan endfel normal.
(c). Siderotasi kanan – kiri: Dapat digerakan tidak full ROM ada nyeri
dan endfel normal.
3). Gerak Isometrik Melawan Tahanan
Mampu melawan tahanan minimal dari ke semua gerakan leher.
g). KOGNITIF, INTRAPERSONAL & INTERPERSONAL
1). Kognitif: Pasien dapat mengingat memori jangka panjang maupun
memori jangka pendek.
2). Intrapersonal : Baik karena pasien dapat memahami keadaan dirinya
serta pasien mempunyai semangat tinggi untuk sembuh.
3). Interpersonal : Baik karena pasien mampu berkomunikasi baik dengan
terapis dan orang lain.
h). KEMAMPUAN FUNGSIONAL & LINGKUNGAN AKTIVITAS
1). Kemampuan Fungsional Dasar
Pasien mengalami keterbatasan untuk semua gerakan leher yaitu Eleksi–
Exstensi, Lateral Fleksi kanan–kiri dan Siderotasi kanan–kiri.
2). Aktivitas fungsional
Pasien mengalami keterbatasan dari duduk lama ke berdiri dan saat
mengendarai sepeda motor
3). Lingkungan Aktivitas
Tempat tidur pasien di rumah biasanya menggunakan bantal yang
tebal, lingkungan di rumah sakit tempat dan ruangan pasien menjalani terapi
cukup bersih dan luas, sehingga mendukung untuk kesembuhan pasien dan
dilakukannya terapi.
2 PEMERIKSAAN SPESIFIK (FT C)
a. Pemeriksaan Nyeri dengan VAS ( Visual Analogue Scale )
b. Spasme dengan palpasi
c. Tes Lermhitt ( + )
d. Tes Distraksi ( + )
e. Pemerikasaan LGS ( Lingkup Gerak Sendi ) dengan Midline
c Diagnosa Fisioterapi
1 Impairment
a) Ada nyeri untuk semua gerakan leher
b) Keterbatasan gerak untuk semua gerakan leher
c) Spasme pada otot trapezius dan otot
sternocleidomastoideus
2 Functional Limitation
Pasien merasa terganggu dengan nyeri yang dirasakan saat mengendarai
sepeda motor.
3 Disability
Dengan kondisi pasien saat ini pasien tidak dapat melakukan pekerjaannya
dengan maksimal
d Program / Rencana Fisioterapi
1 Tujuan
a) Jangka pendek
1). Mengurangi nyeri
2). Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi ( LGS )
3). mengurangi spasme
b) Jangka panjang
1). Melanjutklan tujuan jangka pendek
2). Meningkatkan kemampuan fungsional gerak dan fungsi penderita guna
meningkatkan kualitas hidup.
2 Tindakan Fisioterapi
a Teknologi Fisioterapi
1). Teknologi Fisioterapi
a) IR ( Infra Merah )
b) TENS ( Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation )
c) SWD ( Short Wave Diatermy )
d) MWD ( Mikro Wave Diatermy )
e) TERAPI LATIHAN
f) US ( Ultra Sonic )
g) UV ( Ultra Violet )
2). Teknologi Yang Dilaksanakan
a) IR ( Infra Merah) tujuan Dengan adanya kenaikan suhu
atau temperatur akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah yang
akan menyebabkan terjadinya peningkatan darah kejaringan setempat hal
ini bermanfaat menyembuhkan luka dan mengatsi infeksi dijaringan
superficial. Dengan demikian sinar Infra Merah sangat membantu
meningkatkan suplai darah ke jaringan yang diobati. Seperti diketahui juga
bahwa relaksasi akan mudah dicapai bila jaringan otot tersebut dalam
keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada sehingga dengan demikian bisa
menurunkan spasme dan relaksasi otot.
b) Mengurangi nyeri dengan TENS menggunakan Tori Gate
Kontrol. Ransangan terhadap serabut nosiceptor ( A Delta & C )
menyebabkan substansi gelatinosa tidak aktif sehingga gerbang terbuka
dan ini memungkinkan impuls noksius diteruskan ke sentral sehinggga
sensasi nyeri dirasakan. Bila terjadi aktifitas pada serabut aferen yang
berdiameter besar ( A Beta ) maka akan mengaktivasi sel-sel interneuron
dan substansi gelatinosa dengan kata lain substansi gelatinosa menjadi
aktif sehinggga terjadi peningkatan kontrol presinapsis sehingga gerbang
akan menutup yang berujung terhinbisinya transmisi impuls nyeri ke
sistam sentral sehingga kualitas nyeri akan menurun. (Newton AR, 1990).
c) Terapi latihan, Hold Rilex dan streching tujuan menambah
LGS dan untuk memperpanjang pemendekan susunan soft tissue secara
patologis agar mudah rilex semakin otot menjadi rilex maka seseorang
dapat bergerak dengan full tanpa adanya rasa nyeri.
b Edukasi
1 Saat tidur supaya tidak menggunakan bantal yang terlalu tebal dan keras.
2 Pasien disarankan untuk memakai collar brace
3 Melarang pasien untuk menggerakan leher secara spontan
4 Untuk mengurangi nyeri saat di rumah bisa dengan kompres panas.
5 Melakukan latihan yang telah diberikan oleh terapis
3 RENCANA EVALUASI
Untuk mengetahui hasil terapi yang diberikan maka dilakukan perencanaan
tentang suatu tindakan berupa evaluasi. Dengan adanya evaluasi maka dapat dinilai
apakah terapi yang diberikan sudah sesuai dengan tujuan terapi atau belum. Evaluasi
yang dilakukan pada kondisi Cervical Root Syndrome meliputi :
a. Pemeriksaan nyeri dengan VAS
b. Pengukuran LGS dengan Midline
c. Pemeriksaan Spasme dengan palpasi
4 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia at bonam
Quo ad Sanam : Dubia at malam.
Quo ad Fungsionam : Dubia at bonam
Quo ad Cosmeticam : Dubia at bonam.
5 PELAKSANAAN FISIOTERAPI
a. Hari pertama (Rabu, 4 Februari 2009)
1). IR ( Infra Merah )
a) Persiapan alat
Meliputi pemeriksaan kabel apakah kabel dalam keadaan kondisi
baik atau tidak lecet, pemeriksaan lampu IR apakah masih hidup atau
sudah mati, persiapan tabung reaksi untuk tes sensibilitas, kemudian kabel
mesin atau stop kontak di hubungkan dengan arus listrik, mesin
dihidupkan atau dipanasi dengan waktu kurang lebih 5 meni jenis lampu
IR yang digunakan yaitu luminious generator.
b) Persiapan pasien
Posisikan pasien dengan aman dan nyaman yaitu tidur tengkurap
dengan kepala di ganjal pakai bantal, daerah yang diterapi dibebaskan dari
pakaian. Dibersihkan atau dikeringkan dengan handuk pada daerah
tersebut dilakukan tes sensasi panas dan dingin dengan menggunakan
tabung reaksi yang sudah diisi air panas dan satunya air dingin, kedua
tabung reraksi ditempatkan pada kulit pasien secara bergantian. Apabila
pasien dapat membedakan sensasi panas dan dingin maka IR dapat
diberikan. Pasien diberi penjelasan tentang rasa hangat yang dikeluarkan
oleh IR dan seandainya timbul rasa panas pasien disarankan untuk
memberitahukan terapis. Pasien diberi penjelasan tidak boleh mengubah
posisi alat IR, pasien diberitahu kalau anggota yang diterapi tidak boleh
digeser kemana-mana.
c) Pelaksanaan terapi
Setelah persiapan alat dan pasien selesai selanjutnya lampu IR di
pasang atau diarahkan pada otot trapezius dan otot
sternocleidomastoideus dengan posisi IR tegak lurus dengan jarak kurang
lebih 45 s/d 50 cm, dosis yang digunakan atau waktu terapi 15 menit
hidukan stop kontak intensitas normalis yaitu pasien merasakan hangat
dan nyaman. Setelah waktunya habis maka lampu IR secara otomatis akan
mati sendiri, setelah selesai terapis mengambil atau memindahkan IR dari
atas leher pasien dan membersihkan alat serta merapikan IR dengan cara
menyabut stopkontak atau merapikan alat kembali.
2). TENS ( Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation )
a) Persiapan alat
Pastikan mesin masih dalam keadan baik. Siapkan elektroda yang
sama besar dan elektroda dalam kondisi yang cukup basah atau
menggunakan jeli, di usap rata pada seluruh permukaan elektroda.
Hindarkan adanya gelembung, jangan terlalu tipis ataupun tebal sehingga
hantaran listrik yang sampai ke jaringan dapat maksimal. Harus
diperhatikan pula pemasangan kabel, metode pemasangan dan penempatan
elektroda sampai pemilihan frekuensi, durasi pulsa, durasi waktu dan
intensitas.
b) Persiapan pasien
Posisikan pasien pada posisi aman dan nyaman, yaitu dengan posisi
tidur tengkurap. Beri penjelasan pada pasien tentang terapi yang akan
dilakukan. Penjelasan bisa berupa nama terapi, mengapa terapi ini dipilih,
rasa yang diharapkan selama terapi dan efek terapi.
c) Pelaksanaan terapi dengan TENS konvensional.
Pasang elektroda dengan anoda (origo) dan katoda (insercio) pada
otot sternocleidomastoideus dan otot trapezius atau pada daerah yang
nyeri. Kemudian hidupkan mesin dan atur arus dengan gelombang bifasik
symetris, fase durasi 200µs, frekuensi 100 Hz, frekuensi modulasi
program 1/1, intensitas 20,5 mA, dan waktu 15 menit. Hidupkan salah satu
saluran sampai penderita merasakan adanya rangsangan berupa tingling,
kemudian naikan intensitasnya sampai terjadi getaran yang kuat tapi tetap
nyaman, sensasi yang dirasakan tidak boleh menimbulkan rasa nyeri atau
kontraksi otot kecil. Setelah 5 menit terapi berjalan, periksalah pasien
untuk mengetahui apa yang dirasakan. Jika pasien tidak lagi merasakan
arus, maka intensitas harus dinaikkan. Pertimbangkanlah untuk
menggunakan busrt atau bentuk modulasi atau ubah durasi dan frekuensi
pulsa tetap pada parameter yang telah ditentukan. Setelah terapi selesai
turunkan intensitas dan mesin dimatikan. Lepaskan elektroda periksalah
daerah yang diterapi, apakah terdapat warna kemerah-merahan sebagai
tanda iritabilitas dan simpanlah unit TENS sehabis digunakan.
3). Terapi Latihan
a Hold relax
Latihan ini bertujuan untuk menambah luas gerak sendi pada daerah cervical
1). Posisi pasien : Duduk di kursi
2). Posisi terapis : Posisi terapis disamping pasien, satu tangan
memegang kepala bagian lateral dan tangan yang satu memfiksasi pada
bagian akromeon.
3). Pelaksanaan : Pasien menggerakan leher ke arah lateral
fleksi kanan sampai batas luas gerak sendi yang pasien miliki secara
aktif, pasien diminta melakukan kontraksi isometrik dengan meluruskan
ke posisi normal, kemudian terapis memberikan tahanan di kepala
bagian leteral, dengan aba-aba “tahan…tahan!”. Kontraksi
dipertahankan selama 10 detik kemudian pasien diminta merileksasikan,
lalu dilakukan penguluran kearah lateral fleksi kiri secara pasif (Kisner,
1996) gerakan diulang 5 kali.
b Streching atau penguluran
(1) Penguluran otot scaleni
(a). Posisi pasien duduk di kursi dan terapis berdiri di samping
pasien.
(b). Pelaksanaan terapis menggerakan leher ke homolateral
rotasi, lateral fleksi dan exstensi gerakan ini dilaksanakan secara
perlahan–lahan sampai batas nyeri, apabila sudah mencapai batas
nyeri, sedikit kembali ke posisi rilex untuk dipertahankan dan
selanjutnya dengan kontraksi isometric. Pasien melawan tahanan
pada hitungan ke 6 kemudian rilex sambil menghembuskan nafas,
kemudian terapis memberikan penguluran ke arah homolateral
rotasi, lateral fleksi dan exstensi.
(2) Penguluran otot trapezius
Posisi pasien duduk dan terapis berdiri di samping pasien
pelaksanaan pada otot ini paling epektif bila dilakukan transvers
streching langsung pada m. trapezius dengan kedua tangan.
Peregangan dengan cara leher posisi lateral fleksi kontra lateral
sampai hitungan ke 5. pada hitungan ke 6 pasien diminta untuk
menghembuskan nafas dan terapis mendorong pundak ( shoulder
girdle ) ke arah caudal bersamaan dengan tehnik contrak rilex.
b. Terapi hari kedua (Sabtu, 7 Februari 2009)
Terapi yang diberikan sama pada hari pertama tgl 4, 7, 11, 14 18, sampai
dengan hari ke enam tgl. 21 Februari 2009.
6 EVALUASI
1. Nyeri dengan VAS (Visual Analogue Scale )
NO Keterangan Terapi
1 tgl. 4-
2-09
Terapi
2 tgl.
7-2-09
Terapi
3 tgl.
11-2-
09
Terapi
4 tgl.
14-2-
09
Terapi
5 tgl.
18-2-
09
Terapi
6 tgl.
21-2-
091 Nyeri diam pada posisi
tidur terlantang
0 0 0 0 0 0
2 Nyeri tekan pada otot
trapezius dan otot
sternocleidomastoideu
s
4 4 4 3 3 2
3 Nyeri gerak setelah
digerakan Fleksi–
Exstensi, Lateral
Fleksi –kanan dan
Siderotasi kanan – kiri.
7 7 7 6 6 5
Tabel 2.3. Hasil pemeriksaan nyeri dari terapi pertama s/d ke enam.
2. LGS ( Lingkup Gerak Sendi ) dengan Midline
a. Hari rabu tgl. 4 februari 2009
NO Gerakan Posisi awal Setelah
digerakan
hasil
1 Fleksi 10 cm 8 cm 2 cm
2 Exstensi 10 cm 8 cm 2 cm3 Lateral fleksi dextra 20 cm 18 cm 2 cm4 Lateral fleksi
sinistra
20 cm 18 cm 2 cm
5 Siderotasi dextra 22 cm 19 cm 3 cm6 Siderotasi sinistra 22 cm 19 cm 3 cm
b. Hari sabtu tgl. 7 februari 2009
NO Gerakan Posisi awal Setelah
digerakan
hasil
1 Fleksi 10 cm 7 cm 3 cm2 Exstensi 10 cm 7 cm 3 cm3 Lateral fleksi dextra 20 cm 18 cm 2 cm4 Lateral fleksi
sinistra
20 cm 18 cm 2 cm
5 Side rotasi dextra 22 cm 19 cm 3 cm6 Side rotasi sinistra 22 cm 19 cm 3 cm
c. Hari rabu tgl. 11 februari 2009
NO Gerakan Posisi awal Setelah
digerakan
hasil
1 Fleksi 10 cm 7 cm 3 cm2 Exstensi 10 cm 7 cm 3 cm3 Lateral fleksi dextra 20 cm 17 cm 3 cm4 Lateral fleksi
sinistra
20 cm 17 cm 3 cm
5 Siderotasi dextra 22 cm 19 cm 3 cm6 Siderotasi sinistra 22 cm 19 cm 3 cm
d. Hari sabtu tgl. 14 februari 2009-07-02
NO Gerakan Posisi awal Setelah
digerakan
hasil
1 Fleksi 10 cm 6 cm 4 cm2 Exstensi 10 cm 6 cm 4 cm
3 Lateral fleksi dextra 20 cm 17 cm 3 cm4 Lateral fleksi sinistra 20 cm 17 cm 3 cm5 Siderotasi dextra 22 cm 19 cm 3 cm6 Siderotasi sinistra 22 cm 19 cm 3 cm
e. Hari rabu tgl. 18 februari 2009
NO Gerakan Posisi awal Setelah
digerakan
hasil
1 Fleksi 10 cm 6 cm 4 cm2 Exstensi 10 cm 6 cm 4 cm3 Lateral fleksi dextra 20 cm 16 cm 4 cm4 Lateral fleksi
sinistra
20 cm 16 cm 4 cm
5 Siderotasi dextra 22 cm 18 cm 4 cm6 Side rotasi sinistra 22 cm 18 cm 4 cm
f. Hari sabtu tgl. 21 februari 2009
NO Gerakan Posisi awal Setelah
digerakan
hasil
1 Fleksi 10 cm 6 cm 4 cm2 Exstensi 10 cm 6 cm 4 cm3 Lateral fleksi dextra 20 cm 16 cm 4 cm4 Lateral fleksi
sinistra
20 cm 16 cm 4 cm
5 Siderotasi dextra 22 cm 17 cm 5 cm6 Siderotasi sinistra 22 cm 17 cm 5 cm
Tabel 2.4. Hasil pemeriksaan LGS leher mulai dari terapi pertama s/d ke enam
3. Spasme dengan palpasi
NO Terapi Palpasi pada m. Trapezius & m.
sternocleidomastoideus
1 Terapi pertama tgl. 4-2-2009 Spasme masih ada
2 Terapi kedua tgl. 7-2-2009 Spasme masih ada
3 Terapi ketiga tgl.11-2-2009 Spasme berkurang
4 Terapi keempat tgl 14-2-2009 Spasme berkurang
5 Terapi kelima tgl. 18-2-2009 Spasme sudah tidak ada
6 Terapi keenam tgl. 21-2-2009 Spasme sudah tidak ada
Tabel 2.5. Hasil pemeriksaan spasme dari terapi pertama s/d ke enam.
7 HASIL TERAPI TERAKHIR
Pasien yang bernama Ny. Wartini yang berumur 45 tahun (wanita) setelah mendapat terapi
dengan modalitas IR, TENS dan TERAPI LATIHAN sebanyak 6X diperoleh hasil:
a Ada penurunan nyeri tekan pada T6 tgl. 21- 02 – 2009 yakni dari niali 4
menjadi 2 dan penurunan nyeri gerak pada terapi hari ke 6 yakni dari 7 menjadi 5.
b Ada peningkatan Lingkup Gerak Sendi ( LGS ) pada terapi ke enam yaitu:
1). Gerakan Fleksi dari 2 menjadi 4
2). Exstensi dari 2 menjadi 4
3). Lateral Fleksi Kanan dari 2 menjadi 4
4). Lateral fleksi kiri dari 2 menjadi 4
5). Side rotasi kanan dari 3 menjadi 5
6). Side rotasi kiri dari 3 menjadi 5
c Ada penurunan spasme dari terapi pertama spasme masih ada pada terapi ke
enam spasme sudah tidak ada dan ada peningkatan aktivitas fungsional.
C. PEMBAHASAN KASUS
Dari evaluasi yang dilakukan sebanyak 6 kali pada pasien dengan kondisi Cervical Root
Síndrome ini yang dijumpai masalah yaitu Nyeri, penurunan LGS (Lingkup Gerak Sendi) dan
Spasme proses pengurangannya sebagai berikut:
Dengan pemberian sinar infra merah (IR) dapat menurunkan spasme dan relaksasi otot.
Hal itu disebabkan karena dengan penyinaran, relaksasi akan mudah dicapai bila jaringan
tersebut dalam keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada. Radiasi sinar infra merah disamping
dapat mengurangi rasa nyeri, dapat juga menaikan suhu atau temperatur jaringan sehingga
dengan demikian bisa menghilangkan spasme dan relaksasi pada otot juga meningkatkan
kemampuan otot untuk berkontraksi. Spasme yang terjadi akibat penumpukan asam laktat dan
sisa-sisa pembakaran dapat dihilangkan dengan pemberian pemanasan, hal ini akan terjadi oleh
karena pemanasan akan mengaktifkan glandula gudoifera (kelenjar keringat) di daerah jaringan
yang diberikan penyinaran atau pemanasan sehingga dengan demikian akan meningkatkan
pembuangan sisa-sisa metabolisme melalui keringat. (Sujatno, 1993).
Penurunan nyeri dengan aplikasi TENS menggunakan Tori Gate Kontrol mekanismenya
yaitu sebagai berikut. Ransangan terhadap serabut nosiceptor (A Delta & C) menyebabkan
substansi gelatinosa tidak aktif sehingga gerbang terbuka dan ini memungkinkan impuls noksius
diteruskan ke sentral sehinggga sensasi nyeri dirasakan. Bila terjadi aktifitas pada serabut aferen
yang berdiameter besar (A Beta) maka akan mengaktivasi sel-sel interneuron dan substansi
gelatinosa dengan kata lain substansi gelatinosa menjadi aktif sehinggga terjadi peningkatan
kontrol presinapsis sehingga gerbang akan menutup yang berujung terhinbisinya transmisi
impuls nyeri ke sistam sentral sehingga kualitas nyeri akan menurun. (Newton AR, 1990).
Pengaruh exercise terapi terhadap penurunan nyeri dan peningkatan LGS, Terapi latihan
dalam bentuk relaksasi dapat memberikan efek pengurangan nyeri, baik secara langsung maupun
memutus siklus nyeri spasme nyeri. Gerakan yang ringan dan perlahan merangsang
propioceptor yang merupakan aktivasi dari serabut afferent berdiameter besar. Hal ini akan
mengakibatkan menutupnya spinal gate (Sri Mardiman, 2001). Apabila terjadi perlengketan
jaringan ikat secara histology terjadi abnormal cros link, jika dilakukan peregangan atau
streching akan terjadi perobekan pada cros link sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri leher karena
regangan atau penguluran dan akan mengaktivasi Gamma Motor Neuron (GMN) sehingga
terjadi iskemia dan mengakibatkan nyeri. Metode peregangan atau streching dapat secara selektif
dan tidak hanya pada tendon saja, tetapi mencapai permysium, epysium dan ensonysium.
Sedangkan untuk pelaksanaan streching itu harus dengan posisi yang benar dan dengan suara
atau perintah yang jelas tidak keras, sehingga pelaksanaan dapat berlangsung baik dan otot yang
semakin diulur atau dikontraksikan akan mudah rilex semakin otot menjadi rilex maka seseorang
dapat bergerak dengan full tanpa adanya rasa nyeri. Streching adalah istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan atau menguraikan beberapa manuver pengobatan yang
ditujukan untuk memperpanjang pemendekan susunan soft tissue secara patologis dan menambah
LGS. (Sugiyanto, 2002).