61704423-bayu-sensori
Transcript of 61704423-bayu-sensori
Sistem Somatosensorik
Pembahasan mengenai komponen fungsional utama dan
mekanismenya sekarang akan dimulai dengan proses perseptual
yang dimediasi oleh organ reseptor, organ ini merupakan lokasi awal
alur informasi pada sistem saraf, berdasarkan urutan prinsip
organisasi dasar, persepsi —» pengolahan —» respons. Impuls
somatosensorik dari perifer dihantarkan di sepanjang serabut saraf
aferen ke badan sel neuron, yang terletak di ganglian radiks dorsalis
(ganglion spinale). Impuls kemudian dihantarkan menuju sistem
saraf pusat, tanpa melewati sinaps perantara, di sepanjang
penonjolan sentral (akson) pada neuron yang sama. Akson ini
membuat kontak sinaptik dengan neuron kedua di medula spinalis
atau batang otak, yang aksonnya kemudian berjalan ke arah sentral,
dan menyeberangi garis tengah menuju sisi yang berlawanan pada
level tertentu di sepanjang perjalanannya. Neuron ketiga terdapat di
talamus, sehingga disebut "gerbang kesadaran"; neuron ini
berproyeksi ke berbagai area kortikal, yang terpenting adalah korteks
somatosensorik yang terletak di girus post-sentralis di lobus
parietalis.
Komponen Perifer Sistem Somatosensorik dan
Sirkuit Regulasi Perifer
Reseptor adalah organ sensorik khusus yang merekam
perubahan fisik dan kimiawi di lingkungan eksternal dan internal
organisme dan mengubahnya (transduksi) menjadi impuls elektrik
yang akan diproses oleh sistem saraf. Organ tersebut ditemukan di
ujung perifer serabut saraf aferen. Beberapa reseptor memberikan
informasi kepada tubuh mengenai perubahan di lingkungan eksternal
sekitar (eksteroreseptor) atau lingkungan eksternal yang jauh
(telereseptor, seperti telinga dan mata). Proprio-reseptor, seperti
labirin telinga dalam, menghantarkan informasi mengenai posisi dan
pergerakan kepala pada suatu ruang, regangan otot dan tendon, posisi
sendi, kekuatan yang diperlukan untuk melakukan gerakan tertentu,
dan sebagainya. Akhirnya, proses di dalam tubuh dilaporkan oleh
enteroreseptor, yang disebut juga viseroreseptor (antara lain
osmoreseptor, kemoreseptor, dan baroreseptor). Masing-masing
jenis reseptor berespons terhadap stimulus yang sesuai dan spesifik,
bila intensitasnya berada di atas ambang batas.
Organ reseptor sensorik banyak terdapat di kulit tetapi juga
ditemukan di daerah tubuh yang lebih dalam dan di visera.
Reseptor di kulit
Sebagian besar reseptor di kulit adalah eksteroreseptor.
Reseptor ini terbagi menjadi dua kelas: (1) ujung saraf bebas dan (2)
ujung organ berkapsul.
Ujung organ berkapsul yang berdiferensiasi kemungkinan
sangat berperan pada mediasi modalitas sensorik epikritik seperti raba
halus, diskriminasi, getar, tekanan, dan sebagainya, sedangkan ujung
saraf bebas memediasi modalitas protopatik seperti nyeri dan suhu.
Namun, bukti mengenai perbedaan fungsi ini belum lengkap (lihat di
bawah).
Berbagai organ reseptor pada kulit dan struktur penunjangnya,
termasuk mekanoreseptor (untuk raba dan tekan), termoreseptor
(untuk hangat dan dingin), dan nosiseptor (untuk nyeri). Reseptor-
reseptor ini terutama terletak di zona antara epidermis dan jaringan
ikat. Jadi kulit dapat dianggap sebagai organ sensorik yang meliputi
seluruh tubuh.
Organ reseptor khtisus. Ujung saraf peritrikial di sekitar
folikel rambut ditemukan di seluruh area kulit yang berambut dan
diaktivasi oleh pergerakan rambut. Sebaliknya, korpuskel taktil
Meissner hanya ditemukan pada kulit yang tidak berambut, terutama
pada telapak tangan dan kaki, juga pada bibir, ujung lidah, dan
genital, dan memberikan respons terbaik terhadap raba dan tekanan
ringan. Korpuskel Vater-Pacini berlapis (korpuskel Pacini)
ditemukan pada lapisan kulit yang lebih dalam, terutama di daerah
antara kutis dan subkutis, serta memediasi sensasi tekanan. Ujung
bulbus Krause sebelumnya dianggap sebagai reseptor dingin,
sedangkan korpuskel Ruffini dianggap sebagai reseptor hangat,
tetapi saat ini fungsi keduanya masih diragukan. Ujung saraf bebas
diketahui dapat menghantarkan informasi mengenai panas dan dingin,
serta posisi. Di kornea, misalnya, hanya terdapat ujung saraf bebas
yang berfungsi untuk menghantarkan informasi mengenai semua
modalitas sensorik ini. Selain jenis reseptor yang diuraikan secara
spesifik di sini, terdapat pula berbagai reseptor lain di kulit dan di
organ lain yang fungsinya masih belum jelas.
Ujung saraf bebas ditemukan di celah antara sel epidermal,
dan kadang juga ditemukan pada sel yang lebih spesial yang berasal
dari sel saraf, seperti diskus taktil Merkel. Namun, ujung saraf bebas
tidak hanya terdapat di kulit, tetapi hampir di seluruh organ tubuh,
untuk menghantarkan informasi nosiseptif dan suhu yang berkaitan
dengan cedera selular. Diskus Merkel terutama terletak di bantalan
jari dan berespons terhadap raba dan tekanan ringan.
Reseptor di Bagian Tubuh yang Lebih Dalam
Kelompok organ reseptor yang kedua terletak di dalam kulit,
di otot, tendon, fasia, dan sendi. Di otot, misalnya, dapat ditemukan
spindel otot, yang berespons terhadap regangan muskulatur. Jenis
reseptor lain ditemukan di daerah transisi antara otot dan tendon, di
fasia atau di kapsul sendi.
Spindel otot adalah badan berbentuk-spindel yang sangat tipis
yang melekat di kapsul jaringan-ikat dan terletak di antara serabut
striata otot rangka. Setiap spindel otot biasanya mengandung 3-10
serabut otot berstriata yang halus, yang disebut serabut otot
intrafusal, kebalikan dari serabut ekstrafusal pada jaringan otot itu
sendiri.
Kedua ujung masing-masing spindel, yang terdiri dari jaringan
ikat, terfiksasi di dalam jaringan ikat di antara fasikulus otot, sehingga
mereka bergerak bersamaan dengan gerakan otot. Serabut saraf aferen
yang disebut ujung anulospiral atau ujung primer menyelubungi
bagian tengah spindel otot. Serabut aferen ini memiliki selubung
mielin yang sangat tebal dan termasuk kelompok serabut saraf yang
paling cepat menghantarkan informasi pada tubuh, yang disebut
serabut Ia. Untuk rincian lebih lanjut, lihat him. 25 (refleks otot
monosinaptik intrinsik; refleks polisinaptik).
Organ tendon Golgi terdiri dari ujung saraf yang halus,
berasal dari percabangan serabut saraf yang bermielin tebal, yang
mengelilingi sekelompok serabut tendon berkolagen. Organ ini
melekat di kapsul jaringan-ikat, terletak di taut antara tendon dan otot,
dan berhubungan secara serial dengan serabut saraf di sekitarnya.
Seperti spindel otot, organ ini berespons terhadap regangan (mis.,
tegangan), tetapi pada ambang batas yang lebih tinggi.
Reseptor jenis lain. Selain spindel otot dan organ tendon
Golgi, jenis reseptor di jaringan yang dalam meliputi korpuskel Vater-
Pacini berlapis dan korpuskel Golgi-Mazzoni serta ujung saraf
terminal lainnya yang memediasi tekanan, nyeri, dan lain-lain.
Saraf Tepi, Ganglion Radiks Dorsalis, Radiks Posterior
"Way station" lebih lanjut yang harus dilewati oleh impuls
aferen untuk ke SSP adalah saraf perifer, ganglion radiks dorsalis, dan
radiks saraf posterior, yang akan memasuki medula spinalis.
Saraf perifer. Potensial aksi yang terbentuk di salah satu jenis
organ reseptor yang diuraikan di atas dihantarkan ke arah sentral di
sepanjang serabut saraf aferen, yang merupakan penonjolan perifer
neuron somatosensorik pertama, yang badan selnya terletak di
ganglion radiks dorsalis (lihat di bawah). Serabut aferen dari area
tubuh tertentu berjalan bersamaan di susunan saraf tepi; saraf tersebut
tidak hanya mengandung serabut untuk sensasi superfisial dan dalam
(serabut aferen somatik), tetapi juga serabut eferen ke otot lurik
(serabut eferen somatik) dan serabut yang memper-sarafi organ
internal, kelenjar keringat, dan otot polos pembuluh darah (serabut
aferen visera! dan serabut eferen viseral). Serabut (akson) semua
jenis tersebut bergabung bersama di dalam rangkaian selubung
jaringan-ikat (endoneurium, Perineurium, dan epineurium) untuk
membentuk "kabel saraf. Perineurium juga mengandung pembuluh
darah yang menyuplai saraf (vasa nervorum).
Pleksus saraf dan radiks posterior. Ketika saraf perifer masuk
ke kanal spinalis melalui foramen intervertebrale, serabut aferen dan
eferen berjalan terpisah: saraf perifer terbagi menjadi dua "sumber",
radiks spinalis anterior dan posterior. Radiks anterior terdiri dari
serabut saraf eferen yang keluar dari medula spinalis, sedangkan
radiks posterior mengandung serabut saraf aferen yang memasuki
medula spinalis. Namun, transisi langsung dari saraf perifer ke radiks
spinalis dapat ditemukan, meskipun hanya di daerah torakal. Pada
tingkat servikal dan lumbosakral, terdapat pleksus saraf yang berada
di antara saraf perifer dan radiks nervi spinalis (pleksus servikalis,
pleksus brakialis, pleksus lumbalis, dan pleksus sakralis). Di pleksus
ini, yang terletak di luar kanalis spinalis, serabut aferen saraf perifer
terdistribusi ulang sehingga serabut dari masing-masing saraf
akhirnya bergabung dengan nervus spinalis di berbagai level
segmental. (Secara analogi, serabut motorik sebuah radiks saraf
segmental berjalan ke beberapa saraf perifer. Serabut aferen yang
terdistribusi ulang kemudian memasuki medula spinalis pada level
yang berbeda-beda dan berjalan naik menempuh jarak yang berbeda
di medula spinalis sebelum membentuk kontak sinaps dengan neuron
sensorik kedua, yang dapat terletak di atau dekat segmen pintu masuk
serabut aferen atau, pada beberapa kasus, setinggi batang otak.
Dengan demikian, secara umum serabut saraf perifer terdiri dari
serabut dari beberapa segmen radikular; hal ini berlaku untuk serabut
aferen dan eferen.
Digresi: Anatomi raciiks spinalis dan nervus spinalis Secara
keseluruhan, ada 31 pasang nervus spinalis; masing-masing nervus
spinalis terbentuk oleh pertautan antara radiks anterior dan posterior
di dalam kanalis spinalis. Penomoran nervus spinalis berdasarkan
korpus vertebrae . Meskipun hanya terdapat tujuh vertebra servikalis,
ada delapan pasang nervus spinalis, karena nervus spinalis teratas
keluar (atau masuk) ke kanalis spinalis tepat di atas vertebra servikalis
I. Dengan demikian, nervus servikalis pertama (Cl), keluar dari
kanalis spinalis di antara os oksipitalis dan vertebra servikalis I
(atlas); saraf servikal lainnya, hingga Cl, keluar di atas nomor
vertebra yang sesuai; dan C8 keluar di antara vertebra servikalis VII
(terbawah) dan vertebra torakalis I. Pada tingkat torakal, lumbal, dan
sakral, masing-masing saraf spinalis keluar (atau masuk) ke kanalis
spinalis di bawah nomor vertebra yang sesuai. Dengan demikian,
pada bagian ini jumlah pasangan saraf spinalis sesuai dengan jumlah
vertebranya (12 torakal, 5 lumbal, dan 5 sakral) . Akhirnya, terdapat
sepasang nervus koksigeus (atau kadang-kadang lebih dari sepasang).
Organisasi spasial serabut somalosensorik di radiks dorsalis.
Impuls saraf yang berkaitan dengan modalitas somatosensorik yang
berbeda berasal dari berbagai jenis reseptor perifer dan dihantarkan ke
arah sentral melalui kelompok serabut aferen yang terpisah, yang
secara spasial tersusun di radiks dorsalis dengan pola yang khas.
Serabut saraf yang bermielin paling tebal dan berasal dari spindel
otot, berjalan ke bagian medial radiks; serabut ini berperan untuk
propriosepsi. Serabut yang berasal dari organ reseptor, yang
menghantarkan sensasi sentuh, getaran, tekanan, dan diskriminasi,
berjalan di bagian sentral radiks, dan serabut saraf kecil dan bermielin
tipis yang menghantarkan sensasi nyeri dan suhu berjalan di bagian
lateral.
Ganglion radiks dorsalis. Ganglion radiks dorsalis
(ganglion radiks posterior) secara makroskopik terlihat sebagai
pembengkakan di radiks posterior, tepat di bagian proksimal tempat
pertautan dengan radiks anterior. Neuron ganglion radiks posterior
merupakan neuron pseudounipolar, karena mereka memiliki sebuah
penonjolan yang terbagi menjadi dua buah penonjolan di dekat sel,
berupa konfigurasi berbentuk-T. Salah satu penonjolan tersebut
berjalan ke organ reseptor di perifer, memberikan banyak cabang
kolateral di sepanjang perjalanannya, sehingga sebuah sel ganglion
menerima input dari berbagai organ reseptor. Prosesus lainnya
(prosesus sentralis) berjalan sepanjang radiks posterior ke dalam
medula spinalis, tempatnya membentuk kontak sinaptik dengan
neuron sensorik kedua atau naik menuju batang otak. Tidak ada
sinaps di dalam ganglion radiks posterior itu sendiri.
Persaratan Somatosensorik oleh Radiks dan Saraf Perifer
Serabut masing-masing radiks terdistribusi ulang menjadi
beberapa saraf perifer melalui pleksus, dan masing-masing saraf
mengandung serabut dari beberapa segmen radikular yang
berdekatan. Namun, serabut masing-masing segmen radikular
kembali tergabung membentuk kelompok di perifer untuk
mempersarafi area segmental kulit tertentu (dermatom). Masing-
masing dermatom mewakili sebuah segmen radikular, yang dengan
demikian mewakili sebuah "segmen medula spinalis". Istilah terakhir
ini digunakan meskipun medula spinalis yang matang tidak lagi
menunjukkan segmentasi metamerik awalnya.
Dermatom di permukaan tubuh anterior dan posterior
diperlihatkan pada. Susunan metamerik dermatom paling mudah
dilihat di regio torakal.
Seperti yang diperlihatkan pada, dermatom radiks yang
berdekatan saling tumpang-tindih, sehingga suatu lesi yang terbatas
pada satu radiks sering menimbulkan defisit sensorik yang hampir
tidak terdeteksi, atau bahkan tidak menimbulkan defisit sama sekali.
Defisit sensorik akibat lesi radikular. Defisit sensorik yang
jelas terlihat dalam distribusi segmental biasanya hanya ditemukan
bila lesi melibatkan beberapa radiks yang berdekatan. Karena masing-
masing dermatom mewakili medula spinalis atau level radikular
tertentu, lokasi dermatom yang mengalami defisit sensorik merupakan
indikator yang sangat bermakna untuk menunjukkan level lesi yang
mengenai medulla spinalis atau satu atau beberapa radiks.
Dermatom untuk rasa raba memiliki daerah tumpang-tindih
yang lebih luas dibandingkan dengan dermatom untuk nyeri dan suhu.
Sehingga, pada lesi yang mengenai satu atau dua radiks yang
berdekatan, defisit rasa raba dermatom biasanya sulit ditentukan,
sedangkan sensasi nyeri dan suhu lebih mudah terlihat. Dengan
demikian, lesi radiks dapat lebih sensitif dideteksi dengan menguji
adanya hiperalgesia atau analgesia daripada hipestesia atau anestesia.
Defisit sensorik akibat lesi saraf tepi. Mudah diketahui
mengapa sebuah lesi yang mengenai pleksus saraf atau saraf perifer
menimbulkan defisit sensorik yang sangat berbeda dibandingkan
dengan lesi radikular. Karena lesi pleksus biasanya lebih
menunjukkan defisit motorik, kami akan membahas lebih lanjut
mengenai lesi pleksus pada bab berikut yaitu sistem motorik.
Ketika terjadi cedera pada saraf tepi, serabut yang berada di
dalamnya, yang berasal dari beberapa radiks, tidak dapat bergabung
kembali di perifer dengan serabut yang berasal dari radiks yang sama
tetapi milik saraf tepi lainnya—dengan kata lain, serabut pada saraf
yang cedera tidak dapat mencapai dermatomnya lagi. Sehingga defisit
sensorik yang terjadi memiliki distribusi yang berbeda dari defisit
dermatom yang terjadi pada cedera radikular. Selain itu, area kutaneus
yang dipersarafi oleh sebuah saraf perifer tumpang-tindih lebih sedikit
dibandingkan area yang dipersarafi oleh radiks yang berdekatan.
Dengan demikian, defisit sensorik akibat lesi saraf perifer lebih
mudah terlihat daripada akibat lesi radikular.
Sirkuit Regulasi Perifer
Pada bagian berikutnya, kita akan membahas jaras serabut
asendenss yang berperan pada sensasi nyeri dan suhu, dan untuk
modalitas sensorik seperti raba dan tekan, ketika serabut tersebut
berjalan naik dari medula spinalis dan menuju otak. Namun, sebelum
membahasnya, kami akan menjelaskan mengenai fungsi beberapa
sirkuit regulasi perifer yang penting. Meskipun topik bab ini adalah
sistem sensorik, dalam batas-batas tertentu, pembahasan tidak hanya
mengenai bagian aferen (sensorik) dari sistem regulasi ini, tetapi juga
bagian eferennya akan sangat berguna.
Refleks Monosinaptfk dan Polisinaptik
Refleks inrinsik Monosinaptik, serabut aferen
yang berdiameter besar yang berasal dari spindel otot membentuk
banyak cabang terminal segera setelah masuk ke medula spinalis;
beberapa cabang ini membuat kontak sinaptik langsung dengan
neuron di substansia grisea kornu anterius. Neuron-neuron tersebut
kemudian menjadi awal serabut eferen motorik, dan dengan demikian
disebut sel motorik kornu anterius. Neurit eferen keluar dari
medula spinalis melalui radiks anterior dan kemudian berjalan, di
sepanjang saraf perifer, ke otot-otot rangka.
Jadi, lengkung saraf terbentuk dari otot rangka ke medula
spinalis dan kembali lagi, tersusun dari dua neuron—neuron sensorik
aferen dan neuron motorik eferen. Lengkung ini membentuk lengkung
refleks monosinaptik sederhana. Karena lengkung dimulai dan
berakhir pada otot yang sama, refleks yang berkaitan disebut refleks
otot intrinsik (atau proprioseptif).
Lengkung refleks monosinaptik demikian menjadi dasar
neuroanatomi untuk regulasi panjang otot.
Refleks relaksasi otot-otot antagonis. Secara singkat, refleks
monosinaptik bukan monosinaptik sejati, karena refleks ini juga
memiliki komponen polisinaptik. Refleks tidak hanya bermanifestasi
berupa kontraksi otot yang bersangkutan, tetapi juga berupa relaksasi
otot-otot antagonisnya. Inhibisi sel-sel otot yang menimbulkan
relaksasi otot tersebut merupakan proses polisinaptik yang timbul
melalui interneuron di substansia grisea medula spinalis. Apabila hal
ini tidak terjadi, tegangan pada otot antagonis akan melawan
kontraksi otot agonis.
Refleks fleksor polisinaptik. Lengkung refleks lain yang
penting adalah refleks fleksor polisinaptik, suatu refleks protektif
dan hindar (flighi) yang dimediasi oleh banyak interneuron dan oleh
sebab itu disebut polisinaptik.
Ketika jari menyentuh benda panas, tangan akan ditarik
kembali dengan sangat cepat, sebelum terasa nyeri. Potensial aksi
yang muncul di reseptor kulit (nosiseptor) untuk refleks ini berjalan
melewati serabut aferen ke substansia gelatinosa medula spinalis,
kemudian dihantarkan melalui sinaps ke dalam berbagai jenis sel yang
dimiliki oleh aparatus neuronal intrinsik medula spinalis (interneuron,
neuron asosiasi, dan neuron komisural). Beberapa sel tersebut—
terutama neuron asosiasi—memproyeksikan prosesusnya ke berbagai
level spinal, ke atas maupun ke bawah, yang disebut fasikulus
proprius. Setelah melewati beberapa sinaps, impuls eksitatorik
akhirnya mencapai neuron motorik dan berjalan di sepanjang akson
eferen ke radiks nervus spinalis, saraf perifer, dan otot, menimbulkan
kontraksi otot yang menarik tangan kembali dari benda panas
tersebut.
Jenis refleks ini memerlukan koordinasi kontraksi beberapa
otot, yang harus berkontraksi pada urutan yang benar dan dengan
intensitas yang tepat, sedangkan otot lainnya (otot antagonis) harus
berelaksasi pada saat yang tepat. Aparatus neuronal intrinsik medula
spinalis merupakan jaringan sel yang saling berhubungan seperti-
komputer sehingga membuat proses ini dapat terjadi.
Pada situasi paradigmatik lain, menginjak batu yang tajam
akan membentuk impuls nosiseptif yang memicu serangkaian
kejadian yang kompleks, tetapi tidak bervariasi: tungkai yang nyeri
akan terangkat oleh fleksi pinggul, lutut, dan pergelangan kaki,
sedangkan tungkai sisi lain akan terekstensi sehingga orang tersebut
dapat berdiri pada kaki sisi ini saja (refleks ekstensor silang).
Redistribusi berat badan secara tiba-tiba tidak menyebabkan orang
tersebut jatuh, karena segera terkompensasi oleh refleks kontraksi otot
badan, bahu, lengan, dan leher, yang mempertahankan postur tubuh
yang tegak. Proses ini memerlukan banyak komunikasi sinaps antar
neuron yang berbeda di medula spinalis, dengan partisipasi batang
otak dan serebelum secara simultan. Seluruh rangkaian ini terjadi
hanya dalam sepersekian detik; hanya setelahnya seseorang
merasakan nyeri, melihat apa yang menyebabkan nyeri, dan
memeriksa apakah terjadi cedera pada kaki.
Refleks monosinaptik dan polisinaptik merupakan proses yang tak
disadari dan terutama terjadi di medula spinalis, tetapi contoh terakhir
menunjukkan bahwa komponen SSP yang lebih tinggi sering
teraktivasi pada waktu yang sama, mis., untuk mempertahankan
keseimbangan (seperti pada contoh).
Regulasi Panjang dan Tegangan Otot
Seperti yang telah dibahas di atas, lengkung refleks
monosinaptik dan polisinaptik bekerja untuk tujuan yang berbeda:
lengkung refleks polisinaptik memediasi respons protektif dan hindar,
sedangkan lengkung refleks monosinaptik tergabung dalam sirkuit
fungsional yang mengatur panjang dan tegangan otot rangka. Bahkan,
masing-masing otot memiliki dua sistem servo-kontrol (umpan-balik):
• Sistem kontrol untuk panjang, yaitu serabut kantong inti
spindel otot berfungsi sebagai reseptor panjang.
• Sistem kontrol untuk tegangan, yaitu organ tendon Golgi dan
serabut rantai inti spindel otot berfungsi sebagai reseptor
tegangan.
Reseptor regangan dan tegangan, Spindel otot adalah
reseptor untuk regangan (panjang) dan tegangan. Dua modalitas yang
berbeda ini dideteksi oleh dua jenis serabut intrafusal yang berbeda,
yang disebut serabut kantong inti (nuclear bag fiber) dan serabut
rantai inti (nuclear chain fiber). Serabut untuk kedua jenis ini secara
khas lebih pendek dan lebih tipis dibandingkan serabut otot
ekstrafusal. Tetapi pada kenyataannya, serabut rantai inti yang lebih
pendek dan lebih tipis menempel langsung pada serabut kantong inti
yang lebih panjang. Spindel otot umumnya terdiri dari dua serabut
kantong inti dan empat atau lima serabut rantai inti. Di bagian tengah
serabut kantong inti, serabut otot intrafusal melebar untuk membenmk
kantong yang mengandung sekitar 50 nuklei, yang diselubungi oleh
jaringan serabut saraf sensorik yang dikenal sebagai ujung anulospiral
atau primer (dari bahasa Latin annulus, cincin). Ujung spiral ini
bereaksi sangat sensitif terhadap regangan otot, terutama mendeteksi
perubahan pada panjang otot; dengan demikian serabut kantong inti
merupakan reseptor regangan. Sebaliknya, serabut rantai inti terutama
mendeteksi keadaan regangan otot yang persisten, dengan demikian
merupakan reseptor tegangan.
Pemeliharaan panjang otot yang konstan. Serabut otot
ekstrafusal memiliki panjang tertentu saat istirahat; organisme selalu
mencoba mempertahankannya untuk tetap konstan. Bila otot
diregangkan melebihi panjang ini, spindel otot ikut teregang bersama
otot tersebut. Keadaan ini mencetuskan potensial aksi di ujung
anulospiral, yang berjalan sangat cepat di dalam serabut aferen Ia dan
kemudian dihantarkan melewati sinaps ke neuron motorik di komu
anterius medula spinalis. Neuron motorik yang tereksitasi
menembakkan impuls yang berjalan di dalam serabut eferen a l
berdiameter besar dengan kecepatan yang sama dengan sebelumnya
kembali ke serabut otot ekstrafusal yang bekerja, menyebabkan otot
berkontraksi kembali ke panjang sebelumnya. Setiap regangan otot
mencetuskan respons ini.
Dokter menguji keutuhan sirkuit regulasi dengan ketukan cepat
pada tendon otot, mis., tendon patela untuk mencetuskan refleks
quadriceps femoris (knee-jerk). Regangan otot yang terbentuk
mengaktifkan lengkung refleks monosinaptik. Refleks otot intrinsik
memiliki nilai penting untuk penentuan lokalisasi pada neurologi
klinis karena lengkung refleks untuk otot tertentu hanya menempati
satu atau dua segmen radikular medula spinalis yang berdekatan;
dengan demikian, temuan refleks yang abnormal memungkinkan
dokter untuk menyimpulkan level segmen lesi radikular atau lesi
spinalis yang mendasarinya. Refleks otot intrinsik yang lebih penting
di praktek klinis, cara mencetuskannya, dan segmen yang berperan
dalam lengkung refleks. Harus disadari bahwa pencetusan refleks otot
intrinsik secara klinis merupakan kejadian yang disengaja: regangan
otot singkat seperti yang dihasilkan saat mengetuk palu refleks jarang
terlihat pada kehidupan sehari-hari.
Refleks relaksasi otot antagonis. Refleks kontraksi otot yang
teregang untuk mempertahankan panjang yang konstan senantiasa
disertai oleh refleks relaksasi otot antagonisnya. Sirkuit regulasi
seperti ini dimulai dari spindel otot. Serabut rantai inti pada banyak
spindel otot mengandung ujung sekunder yang disebut flower-spray
endings selain ujung primer (anulospiral) yang telah didiskusikan di
atas. Ujung sekunder ini bereaksi terhadap regangan seperti halnya
ujung primer, tetapi impuls aferen yang terbentuk berjalan menuju
sentral di dalam serabut II, yang lebih tipis dibandingkan dengan
serabut Ia yang berhubungan dengan ujung primer. Impuls tersebut
kemudian dihantarkan melalui interneuron spinal untuk membentuk
inhibisi murni—sehingga menimbulkan relaksasi—pada otot-otot
antagonis.
Menentukan nilai target panjang otot. Ada sistem motorik
khusus yang fungsinya adalah untuk menentukan nilai target yang
dapat disesuaikan di sirkuit regulasi untuk panjang otot.
Seperti yang terlihat pada, kornu anterius medula spinalis tidak
hanya mengandung neuron motorik a yang besar, tetapi juga neuron
motorik y yang lebih kecil. Sel tersebut memproyeksikan aksonnya
(serabut y) ke serabut intrafusal berstriata yang kecil di spindel otot.
Eksitasi oleh serabut y mencetuskan konstraksi serabut otot intrafusal
pada salah satu ujung spindel otot. Hal ini menimbulkan regangan
pada bagian tengan spindel sehingga menyebabkan ujung anulospiral
mencetuskan potensial aksi yang akibatnya meningkatkan tegangan
pada otot yang sedang bekerja.
Motor neuron y dipengaruhi oleh beberapa jaras motorik
desendenss, termasuk traktus piramidalis, traktus retikulospinalis, dan
traktus vestibulospinalis. Jaras-jaras tersebut bekerja sebagai
perantara untuk mengontrol tonus otot oleh pusat motorik yang lebih
tinggi, yang jelas merupakan aspek penting pada pergerakan volunter.
Serabut eferen y memungkinkan kontrol gerakan volunter secara tepat
dan juga mengatur sensitivitas reseptor regang. Ketika serabut otot
intrafusal berkontraksi dan meregangkan bagian tengah spindel otot,
ambang batas reseptor regang diturunkan, sehingga reseptor tersebut
hanya memerlukan regangan otot yang jauh lebih sedikit untuk
diaktivasi. Pada kondisi normal, panjang otot target yang harus
dipertahankan secara otomatis diatur oleh persarafan fusimotor (y)
otot.
Jika reseptor primer (serabut kantong inti dengan ujung
anulospiral) dan reseptor sekunder (serabut rantai inti dengan flower-
spray endings) keduanya teregang perlahan-lahan, respons reseptor
spindel adalah statis, tidak berubah seiring perjalanan waktu.
Sebaliknya, jika reseptor primer teregang dengan sangat cepat,
terbentuk respons yang dinamis (cepat berubah). Respons statis dan
dinamis ini dikontrol oleh neuron y eferen.
Neuron motorik y statis dan dinamis. Diduga ada dua jenis
neuron motorik y, dinamis dan statis. Neuron motorik dinamis
terutama mempersarafi serabut kantong inti intrafusal, dan neuron
motorik statis terutama pada serabut rantai inti intrafusal. Eksitasi
pada serabut kantong inti oleh neuron y dinamis mencetuskan respons
dinamis yang kuat yang dimediasi oleh ujung anulospiral, sedangkan
eksitasi serabut rantai inti oleh neuron y statis mencetuskan respons
tonik yang statis.
Tonus otot. Setiap otot memiliki derajat tonus tertentu, bahkan
pada keadaan relaksasi maksimal (istirahat). Pada pemeriksaan klinis
neurologis, dokter menilai tonus otot dengan mengevaluasi tahanan
terhadap gerakan pasif pada anggota gerak (misalnya, fleksi dan
ekstensi).
Kehilangan tonus otot secara total dapat dihasilkan secara
eksperimental dengan melakukan transeksi pada semua radiks anterior
atau, mungkin yang lebih mengejutkan, adalah dengan melakukan
transeksi pada semua radiks posterior. Dengan demikian, tonus pada
saat istirahat bukan merupakan sifat otot itu sendiri, tetapi
dipertahankan oleh lengkung refleks yang dibahas di bab ini.
Adaptasi tonus otot terhadap gravitasi dan pergerakan.
Tubuh manusia terus-menerus menjadi subjek di lapangan gravitasi
bumi. Ketika seseorang berdiri atau berjalan, otot-otot anti-gravitasi
harus diaktivasi (antara lain m. quadriceps femoris, ekstensor tubuh
yang panjang, dan otot servikal) untuk menjaga agar tubuh tetap
tegak.
Ketika mengangkat benda yang berat, tonus yang secara
normal terjadi di m. quadriceps femoris tidak cukup lagi untuk
membuat tubuh tetap tegak. Tekukan pada lutut hanya dapat dihindari
dengan meningkatkan tonus m. quadriceps secara cepat, yang terjadi
sebagai hasil refleks intrinsik tonik yang dicetuskan oleh regangan
otot dan spindel otot di dalamnya. Mekanisme umpan-balik atau
servomekanisme ini memungkinkan adaptasi otomatis tegangan otot
terhadap beban yang diberikan. Sehingga, ketika seseorang berdiri,
berjalan, atau mengangkat benda, potensial aksi secara konstan
dihantarkan bolak-balik untuk memastikan pemeliharaan tegangan
otot dalam jumlah yang cukup.
■
Komponen Sentral Sistem Somatosensorik
Setelah mengikuti perjalanan impuls aferen dari perifer ke
medula spinalis pada bab sebelumnya, kita akan melanjutkan untuk
membahas kelanjutan perjalanan impuls menuju susunan saraf pusat.
Root entry zone dan kornu posterius. Sebuah serabut
somatosensorik memasuki medula spinalis di dorsal root entry zone
(DREZ; disebut juga zona Redlich-Obersteiner) dan kemudian
membentuk banyak kolateral yang membuat kontak sinaps dengan
neuron lain di medula spinalis. Serabut yang menghantarkan
modalitas sensorik yang berbeda menempati posisi yang juga berbeda
di medula spinalis. Penting untuk diingat bahwa selubung mielin
semua serabut aferen menjadi semakin tipis ketika serabut tersebut
melewati root entry zone dan memasuki kornu posterius. Jenis
mielin berubah dari perifer ke sentral, dan sel-sel yang membentuk
mielin bukan lagi sel Schwann, tetapi oligodendrosit.
Jaras serabut aferen medula spinalis yang menghantarkan
suatu modalitas somatosensorik tersendiri akan dibahas secara
terpisah.
Traktus Spinoserebelaris Posterior dan Anterior
Beberapa impuls aferen yang timbul di organ sistem
muskuloskeletal (otot, tendon, dan sendi) berjalan melalui traktus
spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi, serebelum.
Ada dua traktus pada setiap sisi, satu anterior dan satu lagi di poste-
rior.
Traktus spinoserebelaris posterior Serabut Ia yang cepat
menghantarkan impuls dari spindel otot dan organ tendon terbagi
menjadi banyak kolateral setelah memasuki medula spinalis.
Beberapa serabut kolateral ini langsung membuat kontak sinaptik
dengan neuron motorik a yang besar di kornu anterius medula spinalis
(lengkung refleks monosinaptik. Serabut kolateral lain yang muncul
setingkat vertebra torakal, lumbal, dan sakral berakhir di nukleus
berbentuk-tabung yang terdapat di dasar kornu posterius setinggi
vertebrae C8-L2, yang memiliki nama yang bervariasi, antara lain
kolumna sel intermediolateralis, nukleus torasikus, kolumna Clarke,
dan nukleus Stilling. Neuron pasca-sinaps kedua dengan badan sel
yang terletak di nukleus ini merupakan asal traktus spinoserebelaris
posterior, yang serabutnya merupakan salah satu serabut penghantar
impuls tercepat di seluruh tubuh. Traktus spinoserebelaris posterior
berjalan ke atas di dalam medula spinalis sisi ipsilateral di bagian
posterior funikulus lateralis dan kemudian berjalan melalui
pedunkulus serebelaris inferior ke vermis cereberi. Serabut aferen
yang muncul setingkat vertebra servikalis (yaitu di atas level kolumna
sel intermediolateralis) berjalan di dalam fasikulus kuneatus untuk
membuat sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nukleus
kuneatus asesorius medulae, dan serabut yang keluar berjalan naik ke
serebelum.
Traktus spinoserebelaris anterior Serabut aferen Ia lain yang
memasuki medula spinalis membentuk sinaps dengan neuron
funikularis di kornu posterius dan di bagian sentral substantia grísea
medula spinalis. Neuron kedua ini, yang ditemukan setingkat segmen
vertebra lumbalis bawah, merupakan sel asal traktus spinoserebelaris
anterior, yang berjalan naik di dalam medula spinalis baik di sisi
ipsilateral maupun kontralateral dan berakhir di serebelum.
Kebalikan dengan traktus spinoserebelaris posterior, traktus
spinoserebelaris anterior menyilang di dasar ventrikel ke empat ke
otak tengah dan kemudian berbelok ke arah posterior untuk mencapai
vermis cerebeli melalui pedunkulus serebelaris superior dan velum
medulae superius. Serebelum menerima input proprioseptif aferen
dari semua regio tubuh; kemudian, output eferen polisinaptiknya
memengaruhi tonus otot dan koordinasi kerja otot-otot agonis dan
antagonis (otot sinergistik) yang berperan saat berdiri, berjalan, dan
semua gerakan lain. Dengan demikian, selain sirkuit regulasi yang
lebih rendah di medula spinalis itu sendiri, yang telah dibahas pada
bagian sebelumnya, sirkuit fungsional yang lebih tinggi untuk regulasi
gerakan ini juga melibatkan jaras lain, jaras non-piramidal dan neuron
motorik a dan y. Semua proses tersebut terjadi tanpa disadari.
KOLUMNA Posterior
Kita dapat merasakan posisi tungkai kita dan merasakan
derajat tengangan ototnya. Kita dapat merasakan berat badan yang
bertumpu pada telapak kaki (yi, "kita merasakan lantai di bawah kaki
kita"). Kita juga dapat mengenali gerakan sendi. Dengan demikian,
setidaknya beberapa impuls proprioseptif mencapai kesadaran. Impuls
tersebut berasal dari reseptor di otot, tendon, fasia, kapsul sendi, dan
jaringan ikat (korpuskulus Vater-Pacini dan korpuskulus Golgi-
Mazzoni), serta reseptor kulit. Serabut aferen yang menghantarkannya
adalah prosesus neuron pseudounipolar bagian distal di ganglion
spinale. Prosesus bagian sentral sel-sel ini kemudian berjalan naik di
dalam medula spinalis dan berakhir di nuklei kolumna posterior di
medula yang lebih rendah.
Kelanjutan jaras kolumna posterior di sentral. Didalam
funikulus posterior medula spinalis, serabut aferen yang berasal dari
ekstremitas bawah menempati bagian paling medial. Serabut aferen
dari bagian ekstremitas atas bergabung di medula spinalis setingkat
vertebra servikalis dan terletak lebih lateral, sehingga funikulus
posterior setingkat ini terdiri dari dua kolumna (pada masing-masing
sisi): fasikulus grasilis di bagian medial (kolumna Goll) dan
fasikulus kuneatus di bagian lateral (kolumna Burdach). Serabut-
serabut di kolumna ini berakhir di nuklei yang namanya sesuai di
medula bagian bawah, yaitu masing-masing nukleus grasilis dan
nukleus kuneatus. Nuklei kolumna posterior ini mengandung neuron
kedua, yang memproyeksikan aksonnya ke talamus (traktus
bulbotalamikus). Semua serabut bulbotalamikus menyilang garis
tengah ke sisi kontralateral saat berjalan naik, membentuk lemniskus
medialis. Serabut-serabut tersebut berjalan ke medula, pons, dan otak
tengah dan berakhir di nukleus ventralis posterolateralis talami.
Di sini serabut tersebut membentuk kontak sinaptik dengan neuron
ketiga, yang kemudian membentuk traktus talamokortikalis; traktus
ini berjalan naik melalui kapsula interna (bagian posterior traktus
piramidalis) dan melalui korona radiata ke korteks somatosensorik
primer di giras post-sentralis. Organisasi somatotropik jaras
kolumna posterior tetap terjaga dari medula spinalis hingga ke korteks
serebri. Proyeksi somatotropik di girus post-sentralis menyerupai
seseorang yang berdiri di atas kepalanya— "homunkulus" yang
terbalik.
Lesi kolumna posterior. Kolumna posterior terutama
menghantarkan impuls yang berasal dari proprioseptor dan reseptor
kutaneus. Jika terjadi kerusakan pada struktur tersebut, seseorang
tidak dapat merasakan posisi tungkainya lagi; ia juga tidak dapat
mengenali objek yang diletakkan di tangannya hanya dengan sensasi
raba saja atau mengenali suatu angka atau huruf yang digambarkan
oleh jari pemeriksa di telapak tangan. Diskriminasi spasial antara dua
stimulus yang diberikan secara bersamaan pada dua lokasi tubuh yang
berbeda akan terganggu. Karena rasa tekan juga terganggu, lantai di
bawah tungkainya tidak lagi dapat terasa; akibatnya terjadi gangguan
postur dan cara berjalan (galt ataxia), terutama pada keadaan gelap
dengan mata terpejam. Tanda-tanda lesi kolumna posterior ini paling
jelas ketika kolumna posterior itu sendiri yang mengalami gangguan,
tetapi tanda-tanda tersebut juga dapat timbul pada lesi di nuklei
kolumna posterior, lemniskus medialis, talamus, dan girus post-
sentralis. Temtosauda klinis lesi kolumna posterior antara lain
adalah sebagai berikut:
• Hilangnya sensasi posisi dan gerakan (sensasi kinestetik):
pasien tidak dapat menyatakan lokasi ekstremitasnya tanpa
melihat.
• Astereognosis: pasien tidak dapat mengenali dan
menyebutkan objek melalui bentuk dan beratnya hanya dengan
menggunakan sensasi raba saja.
• Agrafestesia: pasien tidak dapat mengenali rasa raba
berbentuk suatu angka atau huruf yang digambarkan di telapak
tangannya oleh jari pemeriksa.
• Hilangnya diskriminasi dua-titik
• Hilangnya sensasi getar: pasien tidak dapat merasakan
getaran garpu tala yang ditempelkan di tulangnya.
• Tanda Romberg positif: Pasien tidak dapat berdiri dalam
jangka lama dengan kedua kaki bersatu dan mata tertutup tanpa
bergoyang dan mungkin juga terjatuh. Hilangnya sensasi
proprioseptif, pada jangka tertentu, dapat dikompensasi dengan
membuka mata (yang tidak terjadi pada pasien dengan lesi
serebelum).
Serabut-serabut di kolumna posterior berasal dari neuron
pseudounipolar ganglion spinale, tetapi serabut di traktus
spinotalamikus anterior dan posterior tidak berasal dari neuron ini;
neuron tersebut berasal dari neuron kedua dari masing-masing jaras,
yang terletak di dalam medula spinalis.
Traktus Spinotalamikus Anterior
Impuls timbul di reseptor kutaneus (ujung saraf peritrikial,
korpuskel taktil) dan dihantarkan di sepanjang serabut saraf perifer
yang bermielin sedang ke sel-sel pseudounipolar ganglion radiks
dorsalis dan dari sini masuk ke medula spinalis melalui radiks
posterior. Di dalam medula spinalis, prosesus sentralis sel ganglion
radiks dorsalis berjalan di kolumna posterior sekitar 2-15 segmen ke
atas, sedangkan kolateralnya berjalan 1 atau 2 segmen ke bawah,
membentuk kontak sinaptik dengan sel-sel pada berbagai tingkat
segmental di substansict grisea kornu posterius. Sel-sel tersebut
(neuron kedua) kemudian membentuk traktus spino-talamikus
anterior, yang serabut-serabutnya menyilang di komisura spinalis
anterior, berjalan naik di dalam funikulus anterolateralis kontralateral,
dan berakhir di nukleus ventralis posterolateralis talami, bersama-
sama dengan serabut-serabut traktus spino-talamikus lateralis dan
lemniskus medialis. Neuron ketiga di nukleus talamus ini kemudian
memproyeksikan aksonnya ke girus pre-sentralis di dalam traktus
talamokortikalis.
Lesi pada traktus spinotalamikus anterior. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, serabut sentral neuron orde pertama traktus ini
berjalan naik dengan jarak yang bervariasi di kolumna posterior
ipsilateral, membentuk kolateral di sepanjang perjalanan ke neuron
kedua, yang serabutnya kemudian menyilang garis-tengah dan naik
lagi di dalam traktus spinotalamikus anterior kontralateral. Dengan
demikian, lesi pada traktus ini setinggi vertebra lumbal atau torakal
umumnya menimbulkan sedikit atau tidak ada gangguan pada rasa
raba, karena banyak impuls yang naik dapat menutupi lesi melalui
bagian ipsilateral jaras ini. Namun, lesi pada traktus spinotalamikus
anterior pada tingkat servikal akan menimbulkan hipestesia ringan
pada ekstremitas bawah kontralateral.
Traktus Spinotalamikus Lateralis
Ujung saraf bebas di kulit merupakan reseptor perifer untuk
stimulus nyeri dan suhu. Ujung-ujung saraf ini merupakan endorgan
serabut grup A yang tipis dan serabut grup Cyanghampir tidak
bermielin, yang merupakan prosesus periferneuronpseudounipolar di
ganglion spinale. Prosesus sentralis melewati bagian lateral radiks
posterior ke dalam medula spinalis dan kemudian terbagi secara
longitudinal menjadi kolateral-kolateral yang pendek dan berakhir di
dalam satu atau dua segmen substantia gela-tinosa, membuat kontak
sinaptik dengan neuron funikularis (neuron kedua) yang
prosesusnya membentuk traktus spinotalamikus lateralis. Prosesus ini
menyilang garis tengah di kommisura spinalis anterior sebelum
berjalan naik di funikulus lateralis kontralateral menuju talamus.
Seperti kolumna posterior, traktus spinotalamikus lateralis tersusun
secara somatotropik; namun, pada traktus ini, serabut dari ekstremitas
bawah terletak di sebelah lateral sedangkan serabut yang berasal dari
tubuh dan ekstremitas atas terletak lebih medial.
Serabut yang menghantarkan sensasi nyeri dan suhu terletak
sangat berdekatan satu dengan yang lain sehingga tidak dapat
dipisahkan secara anatomis. Jadi lesi pada traktus spinotalamikus
lateralis merusak kedua modalitas sensorik tersebut, meskipun tidak
selalu dengan derajat yang sama.
Kelanjutan traktus spinotalamikus lateralis di sentral.
Serabut traktus spinotalamikus lateralis berjalan naik ke batang otak
bersama-sama dengan serabut lemniskus medialis di lemniskus
spinalis, yang berakhir di nukleus ventralis
posterolateralistalami. Neuron ketiga di VPL berproyeksi melalui
traktus talamokortikalis ke girus post-sentralis di lobus parietalis.
Nyeri dan suhu tersusun secara kasar di talamus, tetapi tidak
dibedakan hingga impuls mencapai korteks serebri.
Lesi traktus spinotalamikus lateralis. Traktus spinotalamikus
lateralis merupakan jaras utama untuk sensasi nyeri dan suhu. Pada
jaras ini dapat dilakukan transeksi secara pembedahan saraf untuk
menghilangkan nyeri (kordotomi); operasi ini jarang dilakukan saat
ini karena telah digantikan oleh metode yang lebih tidak invasif dan
juga karena pemulihan yang terjadi pasca-kordotomi umumnya hanya
sementara. Fenomena terakhir ini, telah lama diketahui pada berbagai
kondisi klinis, menunjukkan bahwa impuls yang berkaitan dengan
nyeri juga dapat naik di medula spinalis dengan rute lainnya,
misalnya, di dalam neuron spinospinalis yang dimiliki oleh fasikulus
proprius.
Jika traktus spinotalamikus lateralis ditranseksi di bagian ventral
medula spinalis, sensasi nyeri dan suhu berkurang pada sisi
kontralateral satu atau dua segmen di bawah tingkat lesi, sedangkan
sensasi raba tetap baik (defisit sensorik terdisosiasi).
Traktus Aferen Medula Spinalis Lainnya
Selain traktus spinoserebelaris dan traktus spinotalamikus
yang telah dibahas sebelumnya, medula spinalis mengandung jaras
serabut-serabut lain yang berjalan naik ke berbagai struktur target di
batang otak dan nuklei subkortikal profunda. Jaras-jaras tersebut,
yang berasal dari kornu posterius medula spinalis (neuron aferen
kedua) dan berjalan naik melalui funikulus anterolateralis, antara lain
traktus spinoretikularis, traktus spinotektalis, traktus spino-olivarius,
dan traktus spinovestibularis. Traktus spinovestibularis terletak di
medula spinalis servikalis, dari C4 ke atas, di area traktus
vestibulospinalis (desendens) dan kemungkinan menjadi jaras
kolateral traktus spinoserebelaris posterior.
Pengolahan Sentral Informasi Somatosensorik
Neuron sensorik ketiga di talamus mengirimkan aksonnya
melalui krus posterius kapsula interna (di posterior traktus
piramidalis) ke korteks somatosensorik primer, yang terletak di girus
post-sentralis (area sitoarsitektural Brodmann 3a, 3b, 2, dan 1).
Neuron ketiga yang berakhir di sini menghantarkan sensasi
superfisial, raba, tekan, nyeri, suhu» dan (sebagian) propriosepsi.
Pada kenyataannya, tidak semua serabut aferen sensorik
dari talamus berakhir di korteks somatosensorik; beberapa berakhir di
korteks motorik primer girus pre-sentralis. Dengan demikian, lapang
kortikal sensorik dan motorik tumpang tindih pada beberapa area,
sehingga girus pre-sentralis dan girus post-sentralis secara bersama-
sama sering disebut sebagai area sensorimotor. Integrasi fungsi yang
terjadi di sini memungkinkan informasi sensorik yang datang segera
diubah menjadi impuls motorik yang keluar di sirkuit regulasi
sensorimotor, yang akan kita bahas kemudian. Serabut piramidalis
desendens keluar dari sirkuit ini dan biasanya langsung berakhir—
tanpa ada neuron penghubung—pada neuron motorik di komu
anterius. Akhirnya, meskipun fungsinya tumpang tindih, harus diingat
bahwa hampir seluruh area girus pre-sentralis menjadi area motorik,
dan hampir seluruh girus post-sentralis menjadi area
(somato)sensorik.
Perbedaan stimulus somatosensorik berdasarkan asal dan
kualitasnya. Telah dibahas sebelumnya bahwa representasi
somatosensorik di korteks serebri secara spasial terpisah berdasarkan
somatotropik: homunkulus sensorik yang terbalik Tetapi representasi
somatosensorik di korteks serebri juga terpisah secara spasial
berdasarkan modalitas: nyeri, suhu, dan modalitas lainnya yang
terwakili di area korteks tertentu.
Meskipun modalitas sensorik yang berbeda telah terpisah secara
spasial di talamus, diferensiasi yang disadari memerlukan partisipasi
korteks serebri. Fungsi yang lebih tinggi, seperti diskriminasi atau
penentuan lokasi tepat sebuah stimulus, bergantung-pada-korteks.
Lesi korteks somatosensorik unilateral menyebabkan gangguan
subtotal pada persepsi nyeri, suhu, dan stimulus taktil pada sisi
kontralateral tubuh; namun, diskriminasi dan sensasi posisi
kontralateral hilang total, karena sensasi ini bergantung pada korteks
yang intak.
Stereognosis. Pengenalan objek yang diletakkan di telapak
tangan melalui sensasi raba (stereognosis) tidak hanya dimediasi oleh
korteks sensorik primer, tetapi juga oleh area asosiasi di lobus
parietalis, tempat gambaran sensorik masing-masing objek, seperti
ukuran, bentuk, konsistensi, suhu, ketajaman/ketumpulan,
lembut/keras, dan sebagainya, dapat diintegrasikan dan dibandingkan
dengan memori pengalaman taktil sebelumnya.