6 BAB II bgm

45
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006, dalam Kemenkes, 2015) atau biasa digunakan perhitungan bulan, yaitu usia 12 - 59 bulan (Kemenkes, 2015). Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak secara fisik. Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi kecukupan gizi tersebut sangatlah berpengaruh dengan kondisi kesehatannya secara berkesinambungan pada masa mendatang (Muaris,2006, dalam Yuandari, 2012). Para ahli

description

BAB II bgm

Transcript of 6 BAB II bgm

Page 1: 6 BAB II bgm

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Balita

Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita

adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular

dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006, dalam

Kemenkes, 2015) atau biasa digunakan perhitungan bulan, yaitu usia 12 - 59

bulan (Kemenkes, 2015).

Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak

secara fisik. Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat

sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Kondisi kecukupan gizi tersebut sangatlah berpengaruh dengan kondisi

kesehatannya secara berkesinambungan pada masa mendatang (Muaris,2006,

dalam Yuandari, 2012). Para ahli menggolongkan usia balita sebagai tahapan

perkembangan anak yang cukup rentan terhadap berbagai serangan penyakit,

termasuk penyakit yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan asupan

nutrisi jenis tertentu (Kemenkes, 2015).

B. Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam

bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk

variabel tertentu, contohnya gondok endemik merupakan keadaan tidak

Page 2: 6 BAB II bgm

seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh (Supariasa,

2014). Menurut Suhardjo (1986) dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014), status

gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan

penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi

tubuh pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan. Status

gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang dinyatakan menurut jenis dan

beratnya keadaan gizi (Depkes, 1992, dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014).

Status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan dan

kebuutuhan zat gizi. Dengan demikian, asupan zat gizi memengaruhi status

gizi seseorang ( Waspadji et al., 2003 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Kebutuhan gizi balita (Adriani dan Wirjatmadi, 2014) :

1. Kebutuhan energi balita

Kebutuhan energi dipengaruhi oleh usia, aktivitas, dan basal

metabolisme. Sekitar 5% kalori total digunakan untuk aktivitas

metabolisme, 25% untuk aktivitas fisik, 12% untuk pertumbuhan, dan

8% zat yang dibuang atau sekitar 90-100 kkal/kgBB (Karyadi, 1996

dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Ketika laju pertumbuhan menurun pada masa batita dan

prasekolah, kebutuhan kalori (per kg) tidak setinggi pada waktu masa

bayi. Pedoman umum yang dapat digunakan untuk menghitung

kebutuhan kalori pada masa awal anak sama dengan (1.000 kkal) + 100

kkal setiap tahun umur. Jadi, anak tiga tahun membutuhkan sekitar 1.300

kkal per hari (Karyadi, 1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Page 3: 6 BAB II bgm

2. Kebutuhan protein balita

Protein dalam tubuh digunakan untuk pertumbuhan otot dan

imunitas tubuh. Kebutuhan protein balita, FAO menyarankan konsumsi

protein sebesar 1,5-2 g/kgBB, yang mana 2/3 diantaranya didapat dari

protein bernilai biologi tinggi. Pada umur 3-5 tahun konsumsi protein

menjadi 1,57 g/kgBB/hari (Karyadi, 1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi,

2014).

3. Kebutuhan lemak balita

Lemak merupakan sumber energi yang konsentrasinya cukup

tinggi dalam tubuh. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal. Lemak juga

berfungsi sebagai sumber asam lemak esensial pelarut vitamin A, D, E,

dan K serta pemberi rasa gurih pada makanan. Konsumsi lemak yang

dianjurkan pada balita adalah sekitar 15-20% dari energi total (Karyadi,

1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Kebutuhan gizi balita menurut Widya Karya Nasional Pangan dan

Gizi yang disusun dalam tabel angka kecukupan gizi (Adriani dan

Wirjatmadi, 2014).

Page 4: 6 BAB II bgm

Tabel 2.2 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan

Umur Berat

Badan

Tinggi

BadanEnergi

Protei

n

Vitamin

A D E K

(kg) (cm) (kkal) (g) (μg) (μg)(μg

)(μg)

0-6 bln 5,5 60 560 12 350 7,5 3 5

7-12 bln 8,5 71 800 15 350 10 4 10

1-3 thn 12 90 1250 23 350 10 6 15

4-6 thn 18 110 1750 32 460 10 7 20

Dikutip dari : Supariasa, 2014. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.

Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2014), status gizi seseorang juga

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor gizi internal dan faktor gizi

eksternal. Faktor gizi internal merupakan faktor yang berasal dari seseorang

yang menjadi dasar pemeriksaan tingkat kebutuhan gizi seseorang (Almatsier

S., 2001, dalam Ardiani dan Wirjatmadi, 2014). Faktor gizi internal yang

mempengaruhi gizi balita, yakni keadaan infeksi, umur, jenis kelamin,

riwayat ASI eksklusif, riwayat makanan pendamping ASI (Ardriani dan

Wirjatmadi, 2014). Faktor gizi eksternal adalah faktor yang berpengaruh

diluar diri seseorang (Almatsier S., 2001, dalam Ardiani dan Wirjatmadi,

2014). Faktor gizi eksternal yang mempengaruhi gizi balita, yakni tingkat

pendidikan orang tua, tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga,

Page 5: 6 BAB II bgm

tingkat pengetahuan ibu, ketersediaan pangan, pola makan (Ardiani dan

Wirjatmadi, 2014).

Menurut Williams dan Wilkins (dalam Nugroho dan Santoso, 2014),

klasifikasi status gizi ada empat, yakni:

1. Gizi baik

Gizi baik atau nutrisi yang optimal penting dalam meningkatkan

kesehatan, mencegah penyakit, dan memulihkan kesehatan setelah

trauma atau sakit. Untuk mendapatkan nutrisi optimal, seseorang harus

memakan berbagai makanan yang mengandung karbohidrat, protein,

lemak, vitamin, mineral, air, dan serat dalam jumlah yang cukup.

Walaupun pada orang sehat kelebihan nutrien tertentu dapat

mengganggu, asupan nutrien penting harus lebih besar dari kebutuhan

minimum untuk memberikan perbedaan dalam kesehatan dan penyakit,

serta untuk menyediakan simpanan yang dapat digunakan selanjutnya.

2. Gizi buruk

Gizi buruk atau malnutrisi adalah keadaan asupan gizi yang

inadekuat. Keadaan ini paling sering terjadi diantara orang-orang yang

hidup dalam kemiskinan, terutama orang-orang yang membutuhkan

nutrisi lebih banyak, seperti manula, ibu hamil, bayi, serta anak-anak.

3. Gizi kurang

Gizi kurang terjadi jika seseorang mengonsumsi nutrisi harian

yang lebih sedikit dari yang dibutuhkannya sehingga menyebabkan

defisit gizi. Biasanya penderita kurang gizi memiliki risiko lebih tinggi

Page 6: 6 BAB II bgm

untuk penyakit fisik. Mereka juga dapat menderita keterbatasan kognitif

dan status fisik. Kurang gizi dapat disebabkan oleh (Nugroho dan

Santoso, 2011) :

a. Ketidakmampuan untuk memetabolisasi nutrien.

b. Ketidakmampuan untuk mendapat zat gizi yang sesuai dari makanan.

c. Percepatan ekskresi zat-zat gizi dari tubuh.

d. Sakit atau penyakit yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan

nutrien.

4. Gizi berlebih

Gizi lebih terjadi jika seseorang mengonsumsi nutrisi dalam

jumlah yang berlebih. Contohnya, gizi lebih dapat terjadi pada orang

yang membeli sendiri suplemen vitamin dan mineral dalam jumlah besar,

dan pada mereka yang terlalu banyak makan. Kebiasaan seperti ini dapat

menyebabkan obesitas.

Di Indonesia, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI (2001)

menetapkan klasifikasi status gizi sebagai berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi status gizi balita

Indeks Status Gizi Simpangan Baku

Berat badan / umur

(BB/U)

Gizi lebih ˃ +2 SD

Gizi baik -2 SD s/d +2 SD

Gizi kurang -3 SD s/d < -2 SD

Gizi buruk ≤ -3 SD

Tinggi badan / umur Jangkung ˃ +2 SD

Normal -2 SD s/d +2 SD

Page 7: 6 BAB II bgm

(TB/U) Pendek -3 SD s/d < -2 SD

Sangat pendek ≤ -3 SD

Indeks Status Gizi Simpangan Baku

Berat badan / tinggi

badan (BB/TB)

Gizi lebih (gemuk) ˃ +2 SD

Gizi baik (normal) -2 SD s/d +2 SD

Gizi kurang (kurus) -3 SD s/d < -2 SD

Gizi buruk (sangat kurus) ≤ -3 SDDikutip dari : Ardriani dan Wirjatmadi, 2014. Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta :

Kencana.

Status gizi dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap penyakit dan

pengobatan. Evaluasi kesehatan gizi merupakan hal yang penting pada

pemeriksaan penderita. Pemeriksaan status gizi termasuk penentuan faktor

risiko dari segi nutrisi (Nugroho dan Santoso, 2011). Penilaian status gizi ada

dua cara, yakni penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi

secara tidak langsung (Supariasa, 2014).

1. Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi

menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis,

biokimia, dan biofisik.

a. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh

manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka

antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai

macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh

Page 8: 6 BAB II bgm

dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri

secara umum digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan asupan protein dan energi

(Supariasa, 2014). Menurut Ardriani dan Wirjatmadi

(2014), indeks yang digunakan ada tiga, yakni:

1) Berat badan menurut umur (BB/U)

Berat badan merupakan salah satu parameter yang

memberikan gambaran masa tubuh. Berat badan berkembang

mengikuti pertambahan umur. Dalam keadaan normal yang

mana kesehatan baik dan seimbang antara konsumsi dan ada

kebutuhan zat gizi, maka berat badan akan bertambah secara

baik. Sebaliknya, pada keadaan yang abnormal terdapat dua

kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat

berkembang secara cepat atau lambat dari keadaan normal.

Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat

badan menuruut umur digunakan sebagai salah satu cara

pengukuran status gizi dan lebih menggambarkan status gizi

balita saat ini (Supariasa, 2002, dalam Ardriani dan Wirjatmadi,

2014).

2) Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan pengukuran antropometri yang

dapat menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada

Page 9: 6 BAB II bgm

keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring pertambahan

umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini

menggambarkan status gizi masa lalu. Selain itu, indeks ini juga

lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Ardriani dan

Wirjatmadi, 2014).

3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan linier dengan tinggi

badan. Perkembangan berat badan searah pertumbuhan tinggi

badan dengan kecepatan tertentu pada kondisi normal. Indeks ini

untuk mengidentifikasi status gizi saat ini dan merupakan indeks

yang independen terhadap umur (Supariasa, 2001, dalam

Ardrian dan Wirjatmadi, 2014).

b. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk

menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas

perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan

ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel

(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan

mukosa oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan

tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk

survei klinis secara cepat. Disamping itu pula digunakan untuk

mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan

Page 10: 6 BAB II bgm

pemeriksaan fisik, yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau

riwayat penyakit (Supariasa, 2014).

c. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah

pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang

dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan

tubuh yang digunakan, yakni darah, urine, tinja dan juga

beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa,

2014).

d. Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode

penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya

jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya

dapat digunakan dalam situasi tertentu, seperti kejadian buta senja

endemik dengan cara tes adaptasi gelap (Supariasa, 2014).

2. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga, yaitu

survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

a. Survei konsumsi pangan

Survei konsumsi pangan adalah metode penentuan status gizi

secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang

dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat

memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada

Page 11: 6 BAB II bgm

masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat

mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa,

2014). Survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui

kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan

dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan.

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran

konsumsi makanan menghasilkan data, yakni bersifat kualitatif dan

kuantitatif. Metode pengukuran konsumsi pangan yang bersifat

kualitatif, yakni metode food frequency, dietary history, telepon,

food list. Metode pengukuran konsumsi secara kuantitatif, yakni

metode food recall 24-hours, estimated food records, food weighing,

food accpunt, inventory method, pencatatan (household food record).

Beberapa metode pengukuran bahkan dapat menghasilkan data yang

bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Yakni metode food recall 24-

hours, dietery history ( Supariasa, 2014).

b. Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan

menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka

kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat

penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.

Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak

langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2014).

c. Faktor ekologi

Page 12: 6 BAB II bgm

Bengoa dalam Supariasa (2014), mengungkapkan bahwa

malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi

beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah

makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi

seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi

dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di

suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi

gizi (Supariasa, 2014).

C. Kartu Menuju Sehat (KMS)

Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah kartu yang memuat kurva

pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan

menurut umur. Dengan KMS gangguan pertumbuhan atau risiko masalah gizi

dapat diketahui lebih dini, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan

secara lebih cepat dan tepat sebelum masalahnya lebih berat. Kartu Menuju

Sehat (KMS) bagi balita merupakan kartu yang memuat kurva pertumbuhan

normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan menurut umur

yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Kemenkes, 2010).

KMS balita dibedakan antara KMS anak laki-laki dengan KMS anak

perempuan. KMS untuk anak laki-laki berwarna dasar biru dan terdapat

tulisan “untuk laki-laki”. KMS anak perempuan berwarna dasar merah muda

dan terdapat tulisan “untuk anak perempuan”(Kemenkes, 2010).

Status pertumbuhan berdasarkan grafik pertumbuhan anak dalam

KMS dikatakan naik apabila grafik berat badan memotong garis pertumbuhan

Page 13: 6 BAB II bgm

diatasnya atau grafik berat badan mengikuti garis pertumbuhannya. Dikatakan

tidak naik apabila grafik berat badan memotong garis pertumbuhan

dibawahnya, grafik berat badan mendatar, atau grafik berat badan menurun.

Hasil penilaian pertumbuhan balita dalam KMS ada empat, yakni berat badan

naik, berat badan tidak naik 1 kali, dan berat badan tidak naik 2 kali atau

berada di Bawah Garis Merah (Kemenkes, 2010).

D. Bawah Garis Merah (BGM)

Bawah Garis Merah (BGM) adalah berat badan balita hasil

penimbangan yang dititikkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) dan berada

di bawah garis merah (Kemenkes, 2011). Berat badan di Bawah Garis Merah

(BGM), yaitu bila berat badan bayi atau balita berada di bawah garis merah

pada KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS yang diedarkan Depkes RI, garis

merah pada KMS versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda gizi buruk

melainkan “garis kewaspadaan” (Arisman, 2014). Balita BGM tidak selalu

berarti menderita gizi buruk. Akan tetapi, hal tersebut menunjukkan bahwa

balita mengalami masalah gizi (Achmad, 2010).

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian BGM

Pada dasarnya KMS mempergunakan klasifikasi Gomez untuk

menilai kondisi gizi anak yang disesuaikan dengan kondisi anak di Indonesia.

Dalam KMS terdapat jalur-jalur warna yang menunjukkan derajat kesehatan

anak tersebut dari sudut gizi. Indeks yang digunakan pada klasifikasi Gomez

adalah berat badan menurut umur (Supariasa, 2014). Penitikan ini merupakan

pertemuan hasil penimbangan berat badan dalam satuan kilogram pada angka

Page 14: 6 BAB II bgm

yang tercantum di garis tegak dengan umur balita dalam bulan saat

penimbangan dilakukan pada garis mendatar.Balita dengan Bawah Garis

Merah (BGM) adalah hasil penimbangan berat badan balita yang dititikkan

dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) dan berada di bawah garis merah. Balita

BGM tidak selalu berarti menderita gizi buruk. Akan tetapi, hal tersebut

menunjukkan bahwa balita mengalami masalah gizi (Achmad, 2010).

Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2014), terdapat dua faktor yang

mempengaruhi gizi seseorang, yaitu faktor gizi internal dan faktor gizi

eksternal. Faktor gizi internal, meliputi penyakit infeksi, riwayat ASI

eksklusif, riwayat makanan pendamping ASI. Faktor gizi eksternal, meliputi

tingkat pendidikan orang tua, tingat pengetahuan gizi, tingkat pendapatan

keluarga, ketersediaan pangan, pola makan.

1. Faktor internal

a. Penyakit infeksi

Gangguan defisiensi gizi dan rawan infeksi merupakan suatu

pasangan yang erat. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi

melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan,

menyebabkan kehilangan bahan makanan karena muntah atau diare,

atau memengaruhi metabolisme makanan (Adriani dan Wirjatmadi,

2014). Infeksi akut menyebabkan kurangnya nafsu makan dan

toleransi terhadap makanan (Suhardjo, 1989, dalam Adriani dan

Wirjatmadi (2014). Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak

Page 15: 6 BAB II bgm

balita umumnya adalah diare, radang tenggorok, infeksi saluran

pernapasan akut (Nurcahyo, 2010).

b. Riwayat ASI eksklusif

Pemberian ASI secara eksklusif untuk bayi hanya diberikan

ASI, tanpa diberi tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk,

madu, air teh, dan air putih. Pemberian ASI ekslusif dianjurkan

untuk jangka waktu minimal 4 bulan atau 6 bulan (Roesli, 2000,

dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014). ASI mudah dicerna oleh

sistem pencernaan bayi, lengkap kandungan gizinya, juga

mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi bayi dari

berbagai penyakit infeksi (Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Khumaidi

(1994) dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014) berpendapat, bahwa

bila bayi tidak mendapatkan ASI dalam jangka waktu yang lama

akan terjadi infeksi berulang. Selain itu, bayi yang mendapat ASI

secara eksklusif jarang mendapat sakit terutama diare dibandingkan

dengan bayi yg mendapat ASI secara tidak eksklusif (Adriani dan

Wirjatmadi, 2014).

c. Riwayat makanan pendamping ASI

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan

kepada bayi disamping ASI, untuk memenuhi kebutuhan gizi anak

mulai empat bulan sampai umur 24 bulan. Seiring dengan

pertumbuhan umur anak, kebutuhan zat gizinya juga meningkat

(Aritonang, 2000, dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Anjuran

Page 16: 6 BAB II bgm

makanan untuk anak usia enam sampai delapan bulan, yakni bubur,

pisang atau pepaya yang dilumat halus, air jeruk atau air tomat

saring. Pada usia sembilan sampai 12 bulan mulai diberikan

makanan yang lebih padat, seperti nasi tim atau nasi lembek, serta

diberikan makanan selingan sehari dua kali diantara waktu makan,

seperti kue, biskuit, buah. Pada usia 12 bulan sampai 24 bulan

diberikan makanan keluarga secara bertahap sesuai kemampuan

anak. Makanan yang diberikan terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayur,

dan buah. Serta diberikan makanan selingan sehari dua kali diantara

waktu makan, seperti kue, biskuit, buah (Kemenkes, 2010).

d. Umur

Anak balita yang sedang mengalami pertumbuhan

memerlukan makanan bergizi yang lebih banyak dibandingkan orang

dewasa per kilogram berat badannya. Dengan semakin bertambah

umur, semakin meningkat pula kebuutuhan zat tenaga bagi tubuh.

Pada usia 2-5 tahun merupakan masa golden age yang mana

pada masa itu dibutuhkan zat tenaga yang diperlukan bagi tubuh

untuk pertumbuhannya. Semakin bertambah usia akan semakin

meningkat kebutuhan zat tenaga yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

mendukung meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik

(Apriadji, 1986 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

e. Jenis kelamin

Page 17: 6 BAB II bgm

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi

seseorang. Anak laki-laki lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan

protein daripada anak perempuan. Dan hal ini dengan mudah dapat

dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan

(Soetjiningsih, 1995 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

2. Faktor eksternal

a. Tingkat pendidikan orang tua

Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah

menerima informasi pengetahuan mengenai penyediaan makanan

yang baik (Notoatmodjo, 1985, dalamAdriani dan Wirjatmadi,

2014). Tingkat pendidikan seseorang akan berkaitan erat dengan

wawasan pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis makanan

yang baik untuk konsumsi keluarga (Niehof, 1988, dalam Adriani

dan Wirjatmadi, 2014).

b. Tingat pengetahuan gizi

Pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan zat gizi

berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi.

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga

sesungguhnya berpenghasilan cukup, tetapi makanan yang

dihidangkan seadanya saja. Keadaan ini menunjukkan ketidaktahuan

akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh (Adriani dan Wirjatmadi,

2014). Menurut Suhardjo (1986) dalam Adriani dan Wirjatmadi

(2014), jika tingkat pengetahuan gizi ibu baik, maka diharapkan

Page 18: 6 BAB II bgm

status gizi ibu dan balitanya baik. Ibu yang cukup pengetahuan gizi

akan memerhatikan kebuutuhan gizi yang dibutuhkan anaknya

supaya dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin. Sehingga

ibu akan berusaha memiliki bahan makanan yang sesuai dengan

kebutuhan anaknya (Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Pada keluarga

dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, sering

anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi

kebutuhan gizi yang disebabkan oleh ketidaktahuan ibu tentang gizi

(Shrimpton, 2001, dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

c. Tingkat pendapatan keluarga

Faktor ekonomi merupakan akar masalah terjadinya gizi

kurang. Kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga itu sendiri. Keluarga

yang mempunyai pendapatan relatif rendah sulit mencukupi

kebutuhan makanannya. Keadaan seperti ini biasanya terjadi pada

anak balita dari keluarga berpenghasilan rendah. Kemampuan

keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan juga bergantung dari

bahan makanan. Bahan makanan yang harganya mahal biasanya

jarang dan bahkan tidak ada (Soetjiningsih, 1995, dalam Adriani dan

Wirjatmadi, 2014). Upah minimum kerja di Kabupaten Sidoarjo,

yakni Rp 2.705.000 (Depnaker, 2015).

d. Jumlah anggota keluarga

Page 19: 6 BAB II bgm

Keluarga dengan jumlah anak yang banyak dan jarak

kelahiran yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak

masalah, yakni pendapatan keluarga yang pas-pasan, sehingga pada

keluarga yang memiliki anak banyak maka pemerataan dan

kecukupan makan di dalam keluarga akan sulit dipenuhi. Anak yang

lebih kecil akan mendapat jatah makanan yang lebih sedikit, karena

makanan lebih banyak diberikan kepada kakak mereka yang lebih

besar (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Dalam keluarga dengan anak yang terlalu banyak akan sulit

untuk diurus, sehingga suasana rumah kurang tenang dan dapat

mempengaruhi ketenangan jiwa anak. Suasana demikian secara tidak

langsung akan menurunkan nafsu makan anak yang terlalu peka

terhadap suasana yang kurang menyenangkan. Jumlah anak yang

kelaparan dari keluarga besar ini hampir empat kali lebih besar

(Apriadji, 1986 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

e. Ketersediaan pangan

Jumlah serta macam pangan yang mempengaruhi pola makan

penduduk di suatu daerah atau kelompok masyarakat biasanya

berkembang dari pangan yang tersedia di daerah itu, atau pangan

yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang

panjang. Untuk tingkat rumah tangga, ketersediaan pangan dalam

keluarga antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendapatan atau daya

beli keluarga, jumlah anggota keluarga, dan pengetahuan ibu tentang

Page 20: 6 BAB II bgm

pangan dan gizi (Suhardjo, 1989, dalam Adriani dan Wirjatmadi,

2014).

f. Pola makan

Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang

memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan

ekonomi dan sosial budaya yang dialaminya (Almatsier, 2005, dalam

Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Pola makan juga memberikan

gambaran frekuensi konsumsi satu pangan dalam periode waktu

tertentu (Khumaidi, 1994, dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Faktor jumlah anggota keluarga, sosial budaya, dan besarnya

pengeluaran untuk pangan juga berperan dalam mempengaruhi

susunan makanan dalam keluarga. Kemampuan keluarga untuk

membeli bahan makanan dalam jumlah yang mencukupi dipengaruhi

oleh ketersediaan dan harga bahan makanan. Bahan makanan yang

harganya mahal atau jarang biasanya tidak pernah atau jarang

dihidangkan dalam susunan makanan keluarga (Apriadji, 1986

dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

F. Odds Ratio

Odds ratio dapat digunakan sebagai indikator “SEBAB” dengan

menghitung besarnya risiko, intensitas pajanan, dan adanya interaksi

positif. Ketiga faktor tersebut akan diuraikan secara singkat di bawah ini

(Budiarto, 2013).

a. Besarnya odds ratio

Page 21: 6 BAB II bgm

Suatu faktor dapat dianggap sebagai penyebab timbulnya

penyakit ditandai dengan besarnya perkiraan risiko relatif (odds

ratio). Misalnya minyak mineral sebagai penyebab timbulnya kanker

karsinoma skrotum pada pembersih cerobong pemanas yang

mempunyai risiko 200 kali lebih besar pada pekerja yang terpajan

dengan minyak mineral dibandingkan dengan pekerja lain. Dengan

risiko sebesar itu, kita percaya bahwa minyak mineral merupakan

faktor penyebab timbulnya karsinoma skrotum. Makin besar odds

ratio, kita makin percaya bahwa faktor risiko merupakan penyebab

timbulnya penyakit (Budiarto, 2013).

b. Intensitas (dosis) pajanan

Bila intensitas pajanan yang bertambah mengakibatkan

meningkatnya risiko relatif (odds ratio) maka dapat dikatakan bahwa

pajanan tersebut merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit.

Misalnya hubungan antara rokok dengan kanker paru-paru, makin

banyak rokok yang diisap per hari maka makin tinggi risiko

relatifnya (Budiarto, 2013).

Tabel 2.3 Kasus-kontrol I

Page 22: 6 BAB II bgm

Penyakit

+ -

Kasus Kontrol Jumlah

Pajanan

+ a b m1

- c d m2

Jumlah n1 n2

Dikutip dari : Bambang, 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan: Sebuah

Pengantar. Jakarta : ECG.

Dari bagan di atas tampak bahwa pada awalnya penelitian

terdiri dari kelompok penderita (kasus) dan kelompok bukan

penderita (kontrol) kemudian pada kedua kelompok ditelusuri

tentang pengalaman terpajan oleh faktor yang diduga sebagai

penyebab timbulnya penyakit tersebut. Pengalaman pajanan pada

kedua kelompok tersebut dibandingkan untuk memprakirakan

adanya hubungan sebab dan akibat (Budiarto, 2013).

Faktor yang diduga sebagai sebab timbulnya penyakit

dianggap sebagai suatu intervensi yang dilakukan oleh alam atau

oleh yang bersangkutan. Selanjutnya, untuk penyajian hipotesis H0 :

Ѱ = 1 dapat dianalisis dengan menghitung odds ratio, perhitungan

Mantel-Haenszel, dan lain-lain. Untuk menentukan ada atau tidaknya

hubungan sebab-akibat antara kelompok kasus dengan kelompok

kontrol (Budiarto, 2013). Rumus-rumus yang dipergunakan untuk

perhitungan odds ratio, chi kuadrat, dan Mantel-Haenszel adalah

sebagai berikut:

Page 23: 6 BAB II bgm

Ѱ ( Psi )=oddsratio=ad /bc

xc 2=(|ad−bc|− 1

2 N )2

N

n1n2m1m2

1/2 N merupakan faktor koreksi kontinuitas dari Yates untuk

sampel kecil (Budiarto, 2013).

Untung menghitung odds ratio (Ѱ) dan x2 gabungan tabel 2 ×

2 digunakan rumus Mantel & Haenszel sebagai berikut.

Ѱ mh=Σ (aidi

¿ )Σ( bici

¿ )

xc2=∏∑ a i−∑ n1 im1 i

ni|−1/2 ]

∑ n1i n2 i m1 i m2 i

n1 i2 ( ni−1 )

½ merupakan faktor koreksi kontinuitas dari Yates untuk

sampel kecil (Budiarto, 2013).

c. Interaksi positif

Yang dimaksud dengan interaksi positif (sinergis) ialah hasil

gabungan risiko dua faktor, lebih besar daripada jumlah masing-

masing risiko. Misalnya, dua faktor risiko yang dapat menimbulkan

penyakit yang sama, yaitu abses dan rokokmerupakan faktor risiko

timbulnya karsinoma paru maka orang yang terpajan oleh abses dan

rokok secara bersamaan akan mempunyai risiko terkena karsinoma

paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang hanya terpajan

Page 24: 6 BAB II bgm

rokok atau hanya terpajan abses (Budiarto, 2013). Secara skematis,

rumus interaksi positif dapat dituliskan sebagai berikut:

Ѱ ( Psi )rokok+abses>Ѱ ( Psi )rokok+Ѱ ( Psi )rokok

Hal ini akan memperkuat dugaan bahwa antara rokok dan

karsinoma paru terdapat hubungan sebab-akibat (Budiarto, 2013).

Ukuran risiko ini merupakan penddekatan dari risiko relatif. Bila

suatu event terjadi dengan probabilitas p dan sebaliknya dengan

probabilitas q maka rasio kedua probabilitas tersebut adalah p/q disebut

“odds”. Misalnya, p = 1/14 dan q = 13/14 maka rasio (odds) sama dengan

1/13. Untuk penyakit yang jarang terjadi maka “risiko penyakit” sama

dengan “odds penyakit”. Bila p1 dinyatakan sebagai rate pajanan maka

odds penyakit adalah p1/q1 dan bila p2 dinyatakan rate tidak terpajan maka

oddds penyakit adalah p2/q2. Dari hasil tersebut bila kita bandingkan

maka ratio tersebut disebut odds ratio dengan simbol Ѱ (psi) hal tersebut

akan lebih jelas bila digambarkan delam bentuk tabel 2 x 2 sebagai berikut

(Budiarto, 2013).

Tabel 2.4 Kasus-kontrol II

Penyakit

+ -

Pajanan

Jumlah

Odds

+ a b n1

- c d n2

- m1 m2 N

Jumlah a/c b/d

Page 25: 6 BAB II bgm

Dikutip dari : Bambang, 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan: Sebuah Pengantar. Jakarta : ECG.

Odds ratio (Ѱ) = a /cb/d =

adbc

Contohnya, dalam suatu penelitian yang menggunakan rancangan

kasus-kontrol untuk menentukan hubungan antara infark miokard dengan

rokok. Kelompok kasus terdiri dari 100 orang penderita infark miokard

dan kelompok kontrol terdiri dari 200 orang bukan penderita infark

miokard terdapat 14 orang perokok. Hasil di atas dapat disajikan dalam

bentuk tabel 2 x 2.

Tabel 2. 5 Contoh kasus-kontrol

Penyakit

I.M. I.M Jumlah

Pajanan + -

Perokok 20 14 34

bukan perokok 80 186 266

Jumlah 100 200 300

Page 26: 6 BAB II bgm

Dikutip dari : Bambang, 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan: Sebuah Pengantar. Jakarta : ECG.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa perokok mempunyai

risiko 3,32 kali lebih besar terkena infark miokard dibandingkan dengan

bukan perokok. Odds ratio merupakan indeks penting dalam 2 hal sebagai

berikut (Budiarto, 2013). Pada kasus yang jarang terjadi maka odds ratio

dapat disamakan dengan risiko relatif. Misalnya, rate kematian bukan

perokok adalah 7 per 100.000 per tahun, sedangkan pada perokok berat

terdapat 227 kematian per 100.000 per tahun. Risiko relatif perokok

dibandingkan bukan perokok adalah 227/7 atau 32,43, sedangkan odds

ratio adalah 227 ×99993

7 ×99773=32,50. Dari hasil tersebut terdapat selisih

sebesar 0,07. Namun, secara umum selisih tersebut tidak bermakna dan

dapat disimpulkan bahwa risiko relatif sama dengan odds ratio. Ini berarti

bahwa perokok berat mempunyai risiko kematian 32 kali lebih besar

dibandingkan dengan bukan perokok. Odds ratio dapat ditentukan pada

penelitian kohort maupun kasus-kontrol. Kelemahan risiko relatif atau

odds ratio ialah identitas setiap risiko tidak diketahui lagi. Misalnya, odds

ratio atau risiko relatif (RR) = 2 kita tidak dapat mengetahui apakah angka

tersebut berasal dari 2/1 atau 0,02/0,01 atau 20/10. Dengan demikian, kita

tidak mengetahui apakah risiko terpajan yang tinggi dibandingkan dengan

tidak terpajan atau risiko terpajan dan tidak terpajan yang rendah dan

sebagainya. Untuk mengatasi hal ini maka dalam penulisan risiko relatif

atau odds ratio harus dicantumkan risiko setiap kelompok.

Page 27: 6 BAB II bgm

Selain dapat dilakukan secara relatif, pengukuran risiko dapat pula

dilakukan secara absolut dengan menghitung selisih antara risiko

kelompok terpajan dengan risiko kelompok tidak terpajan. Risiko ini

disebut selisih risiko atau risiko atribut (atributable risk).

Konsep risiko atribut ini mula-mula diperkenalkan oleh Levin pada

tahun 1953 untuk penelitian prospektif, tetapi dapat pula diperkirakan dan

dipergunakan pada penelitian retrospektif (kasus-kontrol). Untuk

menghitung risiko atribut pada penelitian kasus-kontrol digunakan rumus

δ=(Ѱ −1 ) p2 . δ adalah risiko atribut dan p2 adalah risiko kelompok tanpa

pajanan yang diperoleh dari sumber lain (Budiarto, 2013).

Risiko atribut pada penelitian kasus-kontrol dapat juga digunakan

untuk memperkirakan risiko atribut di masyarakat yang disebut

Population Atributable Risk (PAR). Menurut Levin (dalam Budiarto,

2013), risiko atribut adalah proporsi semua kasus dalam populasi umum

yang diakibatkan oleh suatu faktor atau proporsi insidens penyakit dalam

seluruh populasi yang disebabkan terpajan oleh faktor risiko. PAR adalah

insidens yang terdapat pada seluruh populasi yang dikurangi dengan

insidens pada kelompok yang tidak terpajan dan hasilnya dibagi dengan

insidens pada seluruh populasi (Budiarto, 2013).

Page 28: 6 BAB II bgm

Kemenkes RI 2015 infodatin anak balita depkes.go.id > infodatin-anak-balitaAchmad, J. 2010. Apa yang Anda Kerjakan Bila Tidak ada Dokter. Yogyakarta: ANDIKemenkes RI, 2011, pedoman pelayanan anak gizi buruk

susanti tesis 2014 HUBUNGAN POLA ASUH GIZI DENGAN KEJADIAN BALITA DENGAN BERAT BADAN DI BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI POLINDES BIDAN IRMA DESA

Page 29: 6 BAB II bgm

SUMBEREJO KECAMATAN BANYUPUTIH KABUPATEN SITUBONDO TAHUN 2014

yuandari, meita 2012 GAMBARAN KONSELING GIZI PADA BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) BERDASARKAN PEDOMAN KONSELING GIZI DEPKES RI TAHUN 2008 universitas jember bag gizi kes masy