6 BAB II bgm
description
Transcript of 6 BAB II bgm
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Balita
Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita
adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular
dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006, dalam
Kemenkes, 2015) atau biasa digunakan perhitungan bulan, yaitu usia 12 - 59
bulan (Kemenkes, 2015).
Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak
secara fisik. Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat
sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kondisi kecukupan gizi tersebut sangatlah berpengaruh dengan kondisi
kesehatannya secara berkesinambungan pada masa mendatang (Muaris,2006,
dalam Yuandari, 2012). Para ahli menggolongkan usia balita sebagai tahapan
perkembangan anak yang cukup rentan terhadap berbagai serangan penyakit,
termasuk penyakit yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan asupan
nutrisi jenis tertentu (Kemenkes, 2015).
B. Status Gizi
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam
bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk
variabel tertentu, contohnya gondok endemik merupakan keadaan tidak
seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh (Supariasa,
2014). Menurut Suhardjo (1986) dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014), status
gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan
penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi
tubuh pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan. Status
gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang dinyatakan menurut jenis dan
beratnya keadaan gizi (Depkes, 1992, dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014).
Status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan dan
kebuutuhan zat gizi. Dengan demikian, asupan zat gizi memengaruhi status
gizi seseorang ( Waspadji et al., 2003 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Kebutuhan gizi balita (Adriani dan Wirjatmadi, 2014) :
1. Kebutuhan energi balita
Kebutuhan energi dipengaruhi oleh usia, aktivitas, dan basal
metabolisme. Sekitar 5% kalori total digunakan untuk aktivitas
metabolisme, 25% untuk aktivitas fisik, 12% untuk pertumbuhan, dan
8% zat yang dibuang atau sekitar 90-100 kkal/kgBB (Karyadi, 1996
dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Ketika laju pertumbuhan menurun pada masa batita dan
prasekolah, kebutuhan kalori (per kg) tidak setinggi pada waktu masa
bayi. Pedoman umum yang dapat digunakan untuk menghitung
kebutuhan kalori pada masa awal anak sama dengan (1.000 kkal) + 100
kkal setiap tahun umur. Jadi, anak tiga tahun membutuhkan sekitar 1.300
kkal per hari (Karyadi, 1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
2. Kebutuhan protein balita
Protein dalam tubuh digunakan untuk pertumbuhan otot dan
imunitas tubuh. Kebutuhan protein balita, FAO menyarankan konsumsi
protein sebesar 1,5-2 g/kgBB, yang mana 2/3 diantaranya didapat dari
protein bernilai biologi tinggi. Pada umur 3-5 tahun konsumsi protein
menjadi 1,57 g/kgBB/hari (Karyadi, 1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi,
2014).
3. Kebutuhan lemak balita
Lemak merupakan sumber energi yang konsentrasinya cukup
tinggi dalam tubuh. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal. Lemak juga
berfungsi sebagai sumber asam lemak esensial pelarut vitamin A, D, E,
dan K serta pemberi rasa gurih pada makanan. Konsumsi lemak yang
dianjurkan pada balita adalah sekitar 15-20% dari energi total (Karyadi,
1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Kebutuhan gizi balita menurut Widya Karya Nasional Pangan dan
Gizi yang disusun dalam tabel angka kecukupan gizi (Adriani dan
Wirjatmadi, 2014).
Tabel 2.2 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan
Umur Berat
Badan
Tinggi
BadanEnergi
Protei
n
Vitamin
A D E K
(kg) (cm) (kkal) (g) (μg) (μg)(μg
)(μg)
0-6 bln 5,5 60 560 12 350 7,5 3 5
7-12 bln 8,5 71 800 15 350 10 4 10
1-3 thn 12 90 1250 23 350 10 6 15
4-6 thn 18 110 1750 32 460 10 7 20
Dikutip dari : Supariasa, 2014. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2014), status gizi seseorang juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor gizi internal dan faktor gizi
eksternal. Faktor gizi internal merupakan faktor yang berasal dari seseorang
yang menjadi dasar pemeriksaan tingkat kebutuhan gizi seseorang (Almatsier
S., 2001, dalam Ardiani dan Wirjatmadi, 2014). Faktor gizi internal yang
mempengaruhi gizi balita, yakni keadaan infeksi, umur, jenis kelamin,
riwayat ASI eksklusif, riwayat makanan pendamping ASI (Ardriani dan
Wirjatmadi, 2014). Faktor gizi eksternal adalah faktor yang berpengaruh
diluar diri seseorang (Almatsier S., 2001, dalam Ardiani dan Wirjatmadi,
2014). Faktor gizi eksternal yang mempengaruhi gizi balita, yakni tingkat
pendidikan orang tua, tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga,
tingkat pengetahuan ibu, ketersediaan pangan, pola makan (Ardiani dan
Wirjatmadi, 2014).
Menurut Williams dan Wilkins (dalam Nugroho dan Santoso, 2014),
klasifikasi status gizi ada empat, yakni:
1. Gizi baik
Gizi baik atau nutrisi yang optimal penting dalam meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, dan memulihkan kesehatan setelah
trauma atau sakit. Untuk mendapatkan nutrisi optimal, seseorang harus
memakan berbagai makanan yang mengandung karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, mineral, air, dan serat dalam jumlah yang cukup.
Walaupun pada orang sehat kelebihan nutrien tertentu dapat
mengganggu, asupan nutrien penting harus lebih besar dari kebutuhan
minimum untuk memberikan perbedaan dalam kesehatan dan penyakit,
serta untuk menyediakan simpanan yang dapat digunakan selanjutnya.
2. Gizi buruk
Gizi buruk atau malnutrisi adalah keadaan asupan gizi yang
inadekuat. Keadaan ini paling sering terjadi diantara orang-orang yang
hidup dalam kemiskinan, terutama orang-orang yang membutuhkan
nutrisi lebih banyak, seperti manula, ibu hamil, bayi, serta anak-anak.
3. Gizi kurang
Gizi kurang terjadi jika seseorang mengonsumsi nutrisi harian
yang lebih sedikit dari yang dibutuhkannya sehingga menyebabkan
defisit gizi. Biasanya penderita kurang gizi memiliki risiko lebih tinggi
untuk penyakit fisik. Mereka juga dapat menderita keterbatasan kognitif
dan status fisik. Kurang gizi dapat disebabkan oleh (Nugroho dan
Santoso, 2011) :
a. Ketidakmampuan untuk memetabolisasi nutrien.
b. Ketidakmampuan untuk mendapat zat gizi yang sesuai dari makanan.
c. Percepatan ekskresi zat-zat gizi dari tubuh.
d. Sakit atau penyakit yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan
nutrien.
4. Gizi berlebih
Gizi lebih terjadi jika seseorang mengonsumsi nutrisi dalam
jumlah yang berlebih. Contohnya, gizi lebih dapat terjadi pada orang
yang membeli sendiri suplemen vitamin dan mineral dalam jumlah besar,
dan pada mereka yang terlalu banyak makan. Kebiasaan seperti ini dapat
menyebabkan obesitas.
Di Indonesia, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI (2001)
menetapkan klasifikasi status gizi sebagai berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi status gizi balita
Indeks Status Gizi Simpangan Baku
Berat badan / umur
(BB/U)
Gizi lebih ˃ +2 SD
Gizi baik -2 SD s/d +2 SD
Gizi kurang -3 SD s/d < -2 SD
Gizi buruk ≤ -3 SD
Tinggi badan / umur Jangkung ˃ +2 SD
Normal -2 SD s/d +2 SD
(TB/U) Pendek -3 SD s/d < -2 SD
Sangat pendek ≤ -3 SD
Indeks Status Gizi Simpangan Baku
Berat badan / tinggi
badan (BB/TB)
Gizi lebih (gemuk) ˃ +2 SD
Gizi baik (normal) -2 SD s/d +2 SD
Gizi kurang (kurus) -3 SD s/d < -2 SD
Gizi buruk (sangat kurus) ≤ -3 SDDikutip dari : Ardriani dan Wirjatmadi, 2014. Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta :
Kencana.
Status gizi dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap penyakit dan
pengobatan. Evaluasi kesehatan gizi merupakan hal yang penting pada
pemeriksaan penderita. Pemeriksaan status gizi termasuk penentuan faktor
risiko dari segi nutrisi (Nugroho dan Santoso, 2011). Penilaian status gizi ada
dua cara, yakni penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi
secara tidak langsung (Supariasa, 2014).
1. Penilaian status gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi
menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis,
biokimia, dan biofisik.
a. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh
manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi
(Supariasa, 2014). Menurut Ardriani dan Wirjatmadi
(2014), indeks yang digunakan ada tiga, yakni:
1) Berat badan menurut umur (BB/U)
Berat badan merupakan salah satu parameter yang
memberikan gambaran masa tubuh. Berat badan berkembang
mengikuti pertambahan umur. Dalam keadaan normal yang
mana kesehatan baik dan seimbang antara konsumsi dan ada
kebutuhan zat gizi, maka berat badan akan bertambah secara
baik. Sebaliknya, pada keadaan yang abnormal terdapat dua
kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat
berkembang secara cepat atau lambat dari keadaan normal.
Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat
badan menuruut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi dan lebih menggambarkan status gizi
balita saat ini (Supariasa, 2002, dalam Ardriani dan Wirjatmadi,
2014).
2) Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan pengukuran antropometri yang
dapat menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada
keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring pertambahan
umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini
menggambarkan status gizi masa lalu. Selain itu, indeks ini juga
lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Ardriani dan
Wirjatmadi, 2014).
3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan linier dengan tinggi
badan. Perkembangan berat badan searah pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu pada kondisi normal. Indeks ini
untuk mengidentifikasi status gizi saat ini dan merupakan indeks
yang independen terhadap umur (Supariasa, 2001, dalam
Ardrian dan Wirjatmadi, 2014).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan
mukosa oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan
tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk
survei klinis secara cepat. Disamping itu pula digunakan untuk
mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan fisik, yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau
riwayat penyakit (Supariasa, 2014).
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan, yakni darah, urine, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa,
2014).
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya
jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya
dapat digunakan dalam situasi tertentu, seperti kejadian buta senja
endemik dengan cara tes adaptasi gelap (Supariasa, 2014).
2. Penilaian status gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga, yaitu
survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.
a. Survei konsumsi pangan
Survei konsumsi pangan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada
masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat
mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa,
2014). Survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui
kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan
dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan.
Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran
konsumsi makanan menghasilkan data, yakni bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Metode pengukuran konsumsi pangan yang bersifat
kualitatif, yakni metode food frequency, dietary history, telepon,
food list. Metode pengukuran konsumsi secara kuantitatif, yakni
metode food recall 24-hours, estimated food records, food weighing,
food accpunt, inventory method, pencatatan (household food record).
Beberapa metode pengukuran bahkan dapat menghasilkan data yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Yakni metode food recall 24-
hours, dietery history ( Supariasa, 2014).
b. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak
langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2014).
c. Faktor ekologi
Bengoa dalam Supariasa (2014), mengungkapkan bahwa
malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi
beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah
makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi
seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi
dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di
suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi
gizi (Supariasa, 2014).
C. Kartu Menuju Sehat (KMS)
Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah kartu yang memuat kurva
pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan
menurut umur. Dengan KMS gangguan pertumbuhan atau risiko masalah gizi
dapat diketahui lebih dini, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan
secara lebih cepat dan tepat sebelum masalahnya lebih berat. Kartu Menuju
Sehat (KMS) bagi balita merupakan kartu yang memuat kurva pertumbuhan
normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan menurut umur
yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Kemenkes, 2010).
KMS balita dibedakan antara KMS anak laki-laki dengan KMS anak
perempuan. KMS untuk anak laki-laki berwarna dasar biru dan terdapat
tulisan “untuk laki-laki”. KMS anak perempuan berwarna dasar merah muda
dan terdapat tulisan “untuk anak perempuan”(Kemenkes, 2010).
Status pertumbuhan berdasarkan grafik pertumbuhan anak dalam
KMS dikatakan naik apabila grafik berat badan memotong garis pertumbuhan
diatasnya atau grafik berat badan mengikuti garis pertumbuhannya. Dikatakan
tidak naik apabila grafik berat badan memotong garis pertumbuhan
dibawahnya, grafik berat badan mendatar, atau grafik berat badan menurun.
Hasil penilaian pertumbuhan balita dalam KMS ada empat, yakni berat badan
naik, berat badan tidak naik 1 kali, dan berat badan tidak naik 2 kali atau
berada di Bawah Garis Merah (Kemenkes, 2010).
D. Bawah Garis Merah (BGM)
Bawah Garis Merah (BGM) adalah berat badan balita hasil
penimbangan yang dititikkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) dan berada
di bawah garis merah (Kemenkes, 2011). Berat badan di Bawah Garis Merah
(BGM), yaitu bila berat badan bayi atau balita berada di bawah garis merah
pada KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS yang diedarkan Depkes RI, garis
merah pada KMS versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda gizi buruk
melainkan “garis kewaspadaan” (Arisman, 2014). Balita BGM tidak selalu
berarti menderita gizi buruk. Akan tetapi, hal tersebut menunjukkan bahwa
balita mengalami masalah gizi (Achmad, 2010).
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian BGM
Pada dasarnya KMS mempergunakan klasifikasi Gomez untuk
menilai kondisi gizi anak yang disesuaikan dengan kondisi anak di Indonesia.
Dalam KMS terdapat jalur-jalur warna yang menunjukkan derajat kesehatan
anak tersebut dari sudut gizi. Indeks yang digunakan pada klasifikasi Gomez
adalah berat badan menurut umur (Supariasa, 2014). Penitikan ini merupakan
pertemuan hasil penimbangan berat badan dalam satuan kilogram pada angka
yang tercantum di garis tegak dengan umur balita dalam bulan saat
penimbangan dilakukan pada garis mendatar.Balita dengan Bawah Garis
Merah (BGM) adalah hasil penimbangan berat badan balita yang dititikkan
dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) dan berada di bawah garis merah. Balita
BGM tidak selalu berarti menderita gizi buruk. Akan tetapi, hal tersebut
menunjukkan bahwa balita mengalami masalah gizi (Achmad, 2010).
Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2014), terdapat dua faktor yang
mempengaruhi gizi seseorang, yaitu faktor gizi internal dan faktor gizi
eksternal. Faktor gizi internal, meliputi penyakit infeksi, riwayat ASI
eksklusif, riwayat makanan pendamping ASI. Faktor gizi eksternal, meliputi
tingkat pendidikan orang tua, tingat pengetahuan gizi, tingkat pendapatan
keluarga, ketersediaan pangan, pola makan.
1. Faktor internal
a. Penyakit infeksi
Gangguan defisiensi gizi dan rawan infeksi merupakan suatu
pasangan yang erat. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi
melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan,
menyebabkan kehilangan bahan makanan karena muntah atau diare,
atau memengaruhi metabolisme makanan (Adriani dan Wirjatmadi,
2014). Infeksi akut menyebabkan kurangnya nafsu makan dan
toleransi terhadap makanan (Suhardjo, 1989, dalam Adriani dan
Wirjatmadi (2014). Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak
balita umumnya adalah diare, radang tenggorok, infeksi saluran
pernapasan akut (Nurcahyo, 2010).
b. Riwayat ASI eksklusif
Pemberian ASI secara eksklusif untuk bayi hanya diberikan
ASI, tanpa diberi tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk,
madu, air teh, dan air putih. Pemberian ASI ekslusif dianjurkan
untuk jangka waktu minimal 4 bulan atau 6 bulan (Roesli, 2000,
dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014). ASI mudah dicerna oleh
sistem pencernaan bayi, lengkap kandungan gizinya, juga
mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi bayi dari
berbagai penyakit infeksi (Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Khumaidi
(1994) dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014) berpendapat, bahwa
bila bayi tidak mendapatkan ASI dalam jangka waktu yang lama
akan terjadi infeksi berulang. Selain itu, bayi yang mendapat ASI
secara eksklusif jarang mendapat sakit terutama diare dibandingkan
dengan bayi yg mendapat ASI secara tidak eksklusif (Adriani dan
Wirjatmadi, 2014).
c. Riwayat makanan pendamping ASI
Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan
kepada bayi disamping ASI, untuk memenuhi kebutuhan gizi anak
mulai empat bulan sampai umur 24 bulan. Seiring dengan
pertumbuhan umur anak, kebutuhan zat gizinya juga meningkat
(Aritonang, 2000, dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Anjuran
makanan untuk anak usia enam sampai delapan bulan, yakni bubur,
pisang atau pepaya yang dilumat halus, air jeruk atau air tomat
saring. Pada usia sembilan sampai 12 bulan mulai diberikan
makanan yang lebih padat, seperti nasi tim atau nasi lembek, serta
diberikan makanan selingan sehari dua kali diantara waktu makan,
seperti kue, biskuit, buah. Pada usia 12 bulan sampai 24 bulan
diberikan makanan keluarga secara bertahap sesuai kemampuan
anak. Makanan yang diberikan terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayur,
dan buah. Serta diberikan makanan selingan sehari dua kali diantara
waktu makan, seperti kue, biskuit, buah (Kemenkes, 2010).
d. Umur
Anak balita yang sedang mengalami pertumbuhan
memerlukan makanan bergizi yang lebih banyak dibandingkan orang
dewasa per kilogram berat badannya. Dengan semakin bertambah
umur, semakin meningkat pula kebuutuhan zat tenaga bagi tubuh.
Pada usia 2-5 tahun merupakan masa golden age yang mana
pada masa itu dibutuhkan zat tenaga yang diperlukan bagi tubuh
untuk pertumbuhannya. Semakin bertambah usia akan semakin
meningkat kebutuhan zat tenaga yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
mendukung meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik
(Apriadji, 1986 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
e. Jenis kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi
seseorang. Anak laki-laki lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan
protein daripada anak perempuan. Dan hal ini dengan mudah dapat
dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
(Soetjiningsih, 1995 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
2. Faktor eksternal
a. Tingkat pendidikan orang tua
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah
menerima informasi pengetahuan mengenai penyediaan makanan
yang baik (Notoatmodjo, 1985, dalamAdriani dan Wirjatmadi,
2014). Tingkat pendidikan seseorang akan berkaitan erat dengan
wawasan pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis makanan
yang baik untuk konsumsi keluarga (Niehof, 1988, dalam Adriani
dan Wirjatmadi, 2014).
b. Tingat pengetahuan gizi
Pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan zat gizi
berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga
sesungguhnya berpenghasilan cukup, tetapi makanan yang
dihidangkan seadanya saja. Keadaan ini menunjukkan ketidaktahuan
akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh (Adriani dan Wirjatmadi,
2014). Menurut Suhardjo (1986) dalam Adriani dan Wirjatmadi
(2014), jika tingkat pengetahuan gizi ibu baik, maka diharapkan
status gizi ibu dan balitanya baik. Ibu yang cukup pengetahuan gizi
akan memerhatikan kebuutuhan gizi yang dibutuhkan anaknya
supaya dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin. Sehingga
ibu akan berusaha memiliki bahan makanan yang sesuai dengan
kebutuhan anaknya (Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Pada keluarga
dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, sering
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi
kebutuhan gizi yang disebabkan oleh ketidaktahuan ibu tentang gizi
(Shrimpton, 2001, dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
c. Tingkat pendapatan keluarga
Faktor ekonomi merupakan akar masalah terjadinya gizi
kurang. Kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga itu sendiri. Keluarga
yang mempunyai pendapatan relatif rendah sulit mencukupi
kebutuhan makanannya. Keadaan seperti ini biasanya terjadi pada
anak balita dari keluarga berpenghasilan rendah. Kemampuan
keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan juga bergantung dari
bahan makanan. Bahan makanan yang harganya mahal biasanya
jarang dan bahkan tidak ada (Soetjiningsih, 1995, dalam Adriani dan
Wirjatmadi, 2014). Upah minimum kerja di Kabupaten Sidoarjo,
yakni Rp 2.705.000 (Depnaker, 2015).
d. Jumlah anggota keluarga
Keluarga dengan jumlah anak yang banyak dan jarak
kelahiran yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak
masalah, yakni pendapatan keluarga yang pas-pasan, sehingga pada
keluarga yang memiliki anak banyak maka pemerataan dan
kecukupan makan di dalam keluarga akan sulit dipenuhi. Anak yang
lebih kecil akan mendapat jatah makanan yang lebih sedikit, karena
makanan lebih banyak diberikan kepada kakak mereka yang lebih
besar (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Dalam keluarga dengan anak yang terlalu banyak akan sulit
untuk diurus, sehingga suasana rumah kurang tenang dan dapat
mempengaruhi ketenangan jiwa anak. Suasana demikian secara tidak
langsung akan menurunkan nafsu makan anak yang terlalu peka
terhadap suasana yang kurang menyenangkan. Jumlah anak yang
kelaparan dari keluarga besar ini hampir empat kali lebih besar
(Apriadji, 1986 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
e. Ketersediaan pangan
Jumlah serta macam pangan yang mempengaruhi pola makan
penduduk di suatu daerah atau kelompok masyarakat biasanya
berkembang dari pangan yang tersedia di daerah itu, atau pangan
yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang
panjang. Untuk tingkat rumah tangga, ketersediaan pangan dalam
keluarga antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendapatan atau daya
beli keluarga, jumlah anggota keluarga, dan pengetahuan ibu tentang
pangan dan gizi (Suhardjo, 1989, dalam Adriani dan Wirjatmadi,
2014).
f. Pola makan
Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang
memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan
ekonomi dan sosial budaya yang dialaminya (Almatsier, 2005, dalam
Adriani dan Wirjatmadi, 2014). Pola makan juga memberikan
gambaran frekuensi konsumsi satu pangan dalam periode waktu
tertentu (Khumaidi, 1994, dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Faktor jumlah anggota keluarga, sosial budaya, dan besarnya
pengeluaran untuk pangan juga berperan dalam mempengaruhi
susunan makanan dalam keluarga. Kemampuan keluarga untuk
membeli bahan makanan dalam jumlah yang mencukupi dipengaruhi
oleh ketersediaan dan harga bahan makanan. Bahan makanan yang
harganya mahal atau jarang biasanya tidak pernah atau jarang
dihidangkan dalam susunan makanan keluarga (Apriadji, 1986
dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
F. Odds Ratio
Odds ratio dapat digunakan sebagai indikator “SEBAB” dengan
menghitung besarnya risiko, intensitas pajanan, dan adanya interaksi
positif. Ketiga faktor tersebut akan diuraikan secara singkat di bawah ini
(Budiarto, 2013).
a. Besarnya odds ratio
Suatu faktor dapat dianggap sebagai penyebab timbulnya
penyakit ditandai dengan besarnya perkiraan risiko relatif (odds
ratio). Misalnya minyak mineral sebagai penyebab timbulnya kanker
karsinoma skrotum pada pembersih cerobong pemanas yang
mempunyai risiko 200 kali lebih besar pada pekerja yang terpajan
dengan minyak mineral dibandingkan dengan pekerja lain. Dengan
risiko sebesar itu, kita percaya bahwa minyak mineral merupakan
faktor penyebab timbulnya karsinoma skrotum. Makin besar odds
ratio, kita makin percaya bahwa faktor risiko merupakan penyebab
timbulnya penyakit (Budiarto, 2013).
b. Intensitas (dosis) pajanan
Bila intensitas pajanan yang bertambah mengakibatkan
meningkatnya risiko relatif (odds ratio) maka dapat dikatakan bahwa
pajanan tersebut merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit.
Misalnya hubungan antara rokok dengan kanker paru-paru, makin
banyak rokok yang diisap per hari maka makin tinggi risiko
relatifnya (Budiarto, 2013).
Tabel 2.3 Kasus-kontrol I
Penyakit
+ -
Kasus Kontrol Jumlah
Pajanan
+ a b m1
- c d m2
Jumlah n1 n2
Dikutip dari : Bambang, 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan: Sebuah
Pengantar. Jakarta : ECG.
Dari bagan di atas tampak bahwa pada awalnya penelitian
terdiri dari kelompok penderita (kasus) dan kelompok bukan
penderita (kontrol) kemudian pada kedua kelompok ditelusuri
tentang pengalaman terpajan oleh faktor yang diduga sebagai
penyebab timbulnya penyakit tersebut. Pengalaman pajanan pada
kedua kelompok tersebut dibandingkan untuk memprakirakan
adanya hubungan sebab dan akibat (Budiarto, 2013).
Faktor yang diduga sebagai sebab timbulnya penyakit
dianggap sebagai suatu intervensi yang dilakukan oleh alam atau
oleh yang bersangkutan. Selanjutnya, untuk penyajian hipotesis H0 :
Ѱ = 1 dapat dianalisis dengan menghitung odds ratio, perhitungan
Mantel-Haenszel, dan lain-lain. Untuk menentukan ada atau tidaknya
hubungan sebab-akibat antara kelompok kasus dengan kelompok
kontrol (Budiarto, 2013). Rumus-rumus yang dipergunakan untuk
perhitungan odds ratio, chi kuadrat, dan Mantel-Haenszel adalah
sebagai berikut:
Ѱ ( Psi )=oddsratio=ad /bc
xc 2=(|ad−bc|− 1
2 N )2
N
n1n2m1m2
1/2 N merupakan faktor koreksi kontinuitas dari Yates untuk
sampel kecil (Budiarto, 2013).
Untung menghitung odds ratio (Ѱ) dan x2 gabungan tabel 2 ×
2 digunakan rumus Mantel & Haenszel sebagai berikut.
Ѱ mh=Σ (aidi
¿ )Σ( bici
¿ )
xc2=∏∑ a i−∑ n1 im1 i
ni|−1/2 ]
∑ n1i n2 i m1 i m2 i
n1 i2 ( ni−1 )
½ merupakan faktor koreksi kontinuitas dari Yates untuk
sampel kecil (Budiarto, 2013).
c. Interaksi positif
Yang dimaksud dengan interaksi positif (sinergis) ialah hasil
gabungan risiko dua faktor, lebih besar daripada jumlah masing-
masing risiko. Misalnya, dua faktor risiko yang dapat menimbulkan
penyakit yang sama, yaitu abses dan rokokmerupakan faktor risiko
timbulnya karsinoma paru maka orang yang terpajan oleh abses dan
rokok secara bersamaan akan mempunyai risiko terkena karsinoma
paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang hanya terpajan
rokok atau hanya terpajan abses (Budiarto, 2013). Secara skematis,
rumus interaksi positif dapat dituliskan sebagai berikut:
Ѱ ( Psi )rokok+abses>Ѱ ( Psi )rokok+Ѱ ( Psi )rokok
Hal ini akan memperkuat dugaan bahwa antara rokok dan
karsinoma paru terdapat hubungan sebab-akibat (Budiarto, 2013).
Ukuran risiko ini merupakan penddekatan dari risiko relatif. Bila
suatu event terjadi dengan probabilitas p dan sebaliknya dengan
probabilitas q maka rasio kedua probabilitas tersebut adalah p/q disebut
“odds”. Misalnya, p = 1/14 dan q = 13/14 maka rasio (odds) sama dengan
1/13. Untuk penyakit yang jarang terjadi maka “risiko penyakit” sama
dengan “odds penyakit”. Bila p1 dinyatakan sebagai rate pajanan maka
odds penyakit adalah p1/q1 dan bila p2 dinyatakan rate tidak terpajan maka
oddds penyakit adalah p2/q2. Dari hasil tersebut bila kita bandingkan
maka ratio tersebut disebut odds ratio dengan simbol Ѱ (psi) hal tersebut
akan lebih jelas bila digambarkan delam bentuk tabel 2 x 2 sebagai berikut
(Budiarto, 2013).
Tabel 2.4 Kasus-kontrol II
Penyakit
+ -
Pajanan
Jumlah
Odds
+ a b n1
- c d n2
- m1 m2 N
Jumlah a/c b/d
Dikutip dari : Bambang, 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan: Sebuah Pengantar. Jakarta : ECG.
Odds ratio (Ѱ) = a /cb/d =
adbc
Contohnya, dalam suatu penelitian yang menggunakan rancangan
kasus-kontrol untuk menentukan hubungan antara infark miokard dengan
rokok. Kelompok kasus terdiri dari 100 orang penderita infark miokard
dan kelompok kontrol terdiri dari 200 orang bukan penderita infark
miokard terdapat 14 orang perokok. Hasil di atas dapat disajikan dalam
bentuk tabel 2 x 2.
Tabel 2. 5 Contoh kasus-kontrol
Penyakit
I.M. I.M Jumlah
Pajanan + -
Perokok 20 14 34
bukan perokok 80 186 266
Jumlah 100 200 300
Dikutip dari : Bambang, 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan: Sebuah Pengantar. Jakarta : ECG.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa perokok mempunyai
risiko 3,32 kali lebih besar terkena infark miokard dibandingkan dengan
bukan perokok. Odds ratio merupakan indeks penting dalam 2 hal sebagai
berikut (Budiarto, 2013). Pada kasus yang jarang terjadi maka odds ratio
dapat disamakan dengan risiko relatif. Misalnya, rate kematian bukan
perokok adalah 7 per 100.000 per tahun, sedangkan pada perokok berat
terdapat 227 kematian per 100.000 per tahun. Risiko relatif perokok
dibandingkan bukan perokok adalah 227/7 atau 32,43, sedangkan odds
ratio adalah 227 ×99993
7 ×99773=32,50. Dari hasil tersebut terdapat selisih
sebesar 0,07. Namun, secara umum selisih tersebut tidak bermakna dan
dapat disimpulkan bahwa risiko relatif sama dengan odds ratio. Ini berarti
bahwa perokok berat mempunyai risiko kematian 32 kali lebih besar
dibandingkan dengan bukan perokok. Odds ratio dapat ditentukan pada
penelitian kohort maupun kasus-kontrol. Kelemahan risiko relatif atau
odds ratio ialah identitas setiap risiko tidak diketahui lagi. Misalnya, odds
ratio atau risiko relatif (RR) = 2 kita tidak dapat mengetahui apakah angka
tersebut berasal dari 2/1 atau 0,02/0,01 atau 20/10. Dengan demikian, kita
tidak mengetahui apakah risiko terpajan yang tinggi dibandingkan dengan
tidak terpajan atau risiko terpajan dan tidak terpajan yang rendah dan
sebagainya. Untuk mengatasi hal ini maka dalam penulisan risiko relatif
atau odds ratio harus dicantumkan risiko setiap kelompok.
Selain dapat dilakukan secara relatif, pengukuran risiko dapat pula
dilakukan secara absolut dengan menghitung selisih antara risiko
kelompok terpajan dengan risiko kelompok tidak terpajan. Risiko ini
disebut selisih risiko atau risiko atribut (atributable risk).
Konsep risiko atribut ini mula-mula diperkenalkan oleh Levin pada
tahun 1953 untuk penelitian prospektif, tetapi dapat pula diperkirakan dan
dipergunakan pada penelitian retrospektif (kasus-kontrol). Untuk
menghitung risiko atribut pada penelitian kasus-kontrol digunakan rumus
δ=(Ѱ −1 ) p2 . δ adalah risiko atribut dan p2 adalah risiko kelompok tanpa
pajanan yang diperoleh dari sumber lain (Budiarto, 2013).
Risiko atribut pada penelitian kasus-kontrol dapat juga digunakan
untuk memperkirakan risiko atribut di masyarakat yang disebut
Population Atributable Risk (PAR). Menurut Levin (dalam Budiarto,
2013), risiko atribut adalah proporsi semua kasus dalam populasi umum
yang diakibatkan oleh suatu faktor atau proporsi insidens penyakit dalam
seluruh populasi yang disebabkan terpajan oleh faktor risiko. PAR adalah
insidens yang terdapat pada seluruh populasi yang dikurangi dengan
insidens pada kelompok yang tidak terpajan dan hasilnya dibagi dengan
insidens pada seluruh populasi (Budiarto, 2013).
Kemenkes RI 2015 infodatin anak balita depkes.go.id > infodatin-anak-balitaAchmad, J. 2010. Apa yang Anda Kerjakan Bila Tidak ada Dokter. Yogyakarta: ANDIKemenkes RI, 2011, pedoman pelayanan anak gizi buruk
susanti tesis 2014 HUBUNGAN POLA ASUH GIZI DENGAN KEJADIAN BALITA DENGAN BERAT BADAN DI BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI POLINDES BIDAN IRMA DESA
SUMBEREJO KECAMATAN BANYUPUTIH KABUPATEN SITUBONDO TAHUN 2014
yuandari, meita 2012 GAMBARAN KONSELING GIZI PADA BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) BERDASARKAN PEDOMAN KONSELING GIZI DEPKES RI TAHUN 2008 universitas jember bag gizi kes masy