5pascapanen

11
134 STATUS TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Needs) Bagem Br. Sembiring Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Teknologi pasca panen sambiloto belum tersedia di tingkat petani maupun industri skala menengah. Teknologi pasca panen memiliki peranan penting dalam menentukan mutu setelah panen maupun dalam pengolahan. Selain mutu teknologi pasca panen juga dapat memberikan nilai tambah dari tanaman sam- biloto. Kegiatan pasca panen terdiri dari penanganan bahan mentah (segar) dan pengolahan menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi. Sambiloto mengandung zat pahit yang disebut dengan zat andrographolid. Tanaman sambiloto memiliki segudang manfaat baik untuk kesehatan manusia maupun ternak. Sambiloto dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, teh, serbuk, kapsul, infuse dan eks- trak. Panen sambiloto yang optimal adalah pada umur 3-4 bulan setelah tanaman. Setelah dipanen dikeringkan menggunakan sinar mata- hari yang dikombinasikan dengan alat. Setelah kering simplisia digiling sehingga dihasilkan serbuk ukuran 60 mesh. Kemudian untuk pengolahan (ekstraksi), teknologi yang diguna- kan adalah ukuran bahan 60 mesh, jenis pelarut etanol 70%, perbandingan bahan dengan pelarut 1:10 dan lama ekstraksi 6 jam dan menghasil- kan kadar andrographolid sebesar 6,86%. Selain teknik ekstraksi, faktor penyimpanan juga mempengaruhi mutu simplisia, ekstrak maupun produk dari ekstrak. PENDAHULUAN Peranan teknologi pasca panen akan terus meningkat dan sangat di- butuhkan untuk meningkatkan mutu produk sesuai dengan standar dalam mendukung perkembangan pertanian khususnya dibidang komoditas ta- naman obat. Selain untuk meningkat- kan mutu, teknologi pasca panen perlu dikembangkan karena dapat memberi- kan nilai tambah dari tanaman obat, juga dapat memperluas lapangan kerja sekaligus membentuk sistem agro- industri. Kegiatan pasca panen mencakup dua hal yaitu penanganan (handling) bahan mentah dan pengolahan ( pro- cessing) bahan mentah menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi. Kendala yang sering dihadapi baik ditingkat petani maupun industri adalah tekno- logi pasca panen sambiloto yang stan- dar belum tersedia sehingga mutu pro- duk hasil olahan yang dihasilkan belum memenuhi standar. Perkembangan pemanfaatan ta- naman obat di Indonesia telah ber- kembang dengan pesat. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional dan fitofarmaka. Meski demikian masih banyak faktor yang ha- rus disempurnakan, seperti masalah pe- nanganan bahan baku, masalah produk dan manajemen. Masalah bahan baku dan produk berhubungan dengan tek- nologi pasca panen. Menurut Utoro (1992), industri obat tradisional masih memiliki kendala yang tidak mudah untuk diatasi, antara lain masalah pro- duksi, masalah manajemen termasuk distribusi dan masalah bahan baku.

description

jktghghjghj

Transcript of 5pascapanen

Page 1: 5pascapanen

134

STATUS TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO

(Andrographis paniculata Needs)

Bagem Br. Sembiring

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Teknologi pasca panen sambiloto belum

tersedia di tingkat petani maupun industri skala

menengah. Teknologi pasca panen memiliki

peranan penting dalam menentukan mutu

setelah panen maupun dalam pengolahan.

Selain mutu teknologi pasca panen juga dapat

memberikan nilai tambah dari tanaman sam-

biloto. Kegiatan pasca panen terdiri dari

penanganan bahan mentah (segar) dan

pengolahan menjadi bahan setengah jadi dan

bahan jadi. Sambiloto mengandung zat pahit

yang disebut dengan zat andrographolid.

Tanaman sambiloto memiliki segudang manfaat

baik untuk kesehatan manusia maupun ternak.

Sambiloto dapat digunakan dalam bentuk segar,

simplisia, teh, serbuk, kapsul, infuse dan eks-

trak. Panen sambiloto yang optimal adalah pada

umur 3-4 bulan setelah tanaman. Setelah

dipanen dikeringkan menggunakan sinar mata-

hari yang dikombinasikan dengan alat. Setelah

kering simplisia digiling sehingga dihasilkan

serbuk ukuran 60 mesh. Kemudian untuk

pengolahan (ekstraksi), teknologi yang diguna-

kan adalah ukuran bahan 60 mesh, jenis pelarut

etanol 70%, perbandingan bahan dengan pelarut

1:10 dan lama ekstraksi 6 jam dan menghasil-

kan kadar andrographolid sebesar 6,86%. Selain

teknik ekstraksi, faktor penyimpanan juga

mempengaruhi mutu simplisia, ekstrak maupun

produk dari ekstrak.

PENDAHULUAN

Peranan teknologi pasca panen

akan terus meningkat dan sangat di-

butuhkan untuk meningkatkan mutu

produk sesuai dengan standar dalam

mendukung perkembangan pertanian khususnya dibidang komoditas ta-

naman obat. Selain untuk meningkat-

kan mutu, teknologi pasca panen perlu

dikembangkan karena dapat memberi-

kan nilai tambah dari tanaman obat,

juga dapat memperluas lapangan kerja

sekaligus membentuk sistem agro-

industri.

Kegiatan pasca panen mencakup

dua hal yaitu penanganan (handling)

bahan mentah dan pengolahan (pro-

cessing) bahan mentah menjadi bahan

setengah jadi dan bahan jadi. Kendala

yang sering dihadapi baik ditingkat

petani maupun industri adalah tekno-

logi pasca panen sambiloto yang stan-

dar belum tersedia sehingga mutu pro-

duk hasil olahan yang dihasilkan belum

memenuhi standar.

Perkembangan pemanfaatan ta-

naman obat di Indonesia telah ber-

kembang dengan pesat. Hal ini terbukti

dengan meningkatnya jumlah industri

obat tradisional dan fitofarmaka. Meski

demikian masih banyak faktor yang ha-

rus disempurnakan, seperti masalah pe-

nanganan bahan baku, masalah produk

dan manajemen. Masalah bahan baku

dan produk berhubungan dengan tek-

nologi pasca panen. Menurut Utoro

(1992), industri obat tradisional masih

memiliki kendala yang tidak mudah

untuk diatasi, antara lain masalah pro-duksi, masalah manajemen termasuk

distribusi dan masalah bahan baku.

Page 2: 5pascapanen

135

Tujuan dari penulisan makalah

ini adalah untuk memberikan informasi

kepada petani maupun skala industri

mengenai teknik penanganan pasca

panen dan pengolahan sambiloto yang

baik. Dengan teknik penanganan yang

baik diharapkan dapat menghindari ke-

hilangan hasil panen, baik dalam jum-

lah maupun mutu serta menghasilkan

produk sambiloto yang bermutu serta

memiliki nilai tambah. Dengan demi-

kian perlu kiranya dilakukan suatu

sosialisasi teknologi/pelatihan mulai

dari penanganan bahan sampai diolah

menjadi suatu produk baik dalam ben-

tuk simplisia maupun ekstrak yang ter-

standar.

Sambiloto (Andrographis pani-

culata Needs) merupakan salah satu

komoditas tanaman obat yang memiliki

segudang manfaat baik untuk kese-

hatan manusia maupun ternak. Sambi-

loto merupakan salah satu tanaman

obat yang diperioritaskan oleh Badan

POM untuk dikembangkan. Sambiloto

mengandung zat pahit yang disebut

dengan zat andrographolid (C20H30O5).

Kegunaan dari tanaman tersebut antara

lain meningkatkan ketahanan tubuh ter-

hadap infeksi kuman, anti diare, mala-

ria, gatal-gatal, diabetes, anti bakteri,

kolesterol, tekanan darah tinggi, bron-

chitis dan lain-lain (Rusli et al., 2004).

Menurut Nugroho dan Nafrialdi

(2001), ekstrak sambiloto pada dosis

160 mg/100 g berat badan dapat menu-

runkan kadar kolesterol total, triglise-

rida. Sambiloto aman untuk dikonsum-

si selama tiga bulan berturut-turut tidak

menimbulkan efek toksik. Hal ini ber-

dasarkan hasil uji toksisitas akut, sub-

kronis dan mutagenik. Pemanfaatan ta-

naman sambiloto sebagai obat dapat

digunakan baik dalam bentuk segar,

simplisia, teh, kapsul, serbuk, infus dan

kapsul ekstrak (Winarno, 2003).

FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI MUTU

SIMPLISIA DAN EKSTRAK

SAMBILOTO

Mutu simplisia dipengaruhi oleh

karakter genetik (varietas) dan ekologi

(budidaya, kondisi lahan, ekofisiologi

serta penanganan pasca panen) (Gupta

1991 dan Vijesekera, 1991). Setiap ta-

naman menghendaki kondisi lingkung-

an tumbuh tertentu agar dapat ber-

produksi dengan baik. Selain dan ling-

kungan tumbuh, produksi juga ditentu-

kan oleh cara budidaya tanaman. Apa-

bila cara budidaya kurang tepat, maka

hasil produksi kurang optimal baik dari

segi mutu atau kuantitasnya. Diharap-

kan cara budidaya mengikuti (GAP/

Good Agricultural Practices). Menurut

Emmyzar et al. (1996) mutu simplisia

sambiloto tertinggi diperoleh pada pe-

mupukan dengan dosis 100 jg urea +

100 kg TSP + 50 kg KCl per hektar

dengan jarak tanam 40 x 20 cm.

Pengaruh ekosistem dominan pa-

da tanaman sambiloto. Kualitas dan

kuantitas komponen aktif sambiloto

dipengaruhi oleh faktor ekosistem yaitu

kandungan air dalam media tumbuh

(Naiola et al. 1996), ketingian tempat,

kualitas cahaya dan temperatur

(Vanhaelen et al. 1991). Oleh karena

itu faktor ekofisiologi harus optimal

supaya supaya menghasilkan simplisia

yang berkualitas (Gupta, 1991 dan

Page 3: 5pascapanen

136

Vanhaelen et al. 1991), sehingga sin-

tetis metabolit sekundernya dapat me-

ningkat. Menurut Januwati dan Yusron

(2004) tanaman sambiloto dapat dibu-

didayakan didaerah basah (Bogor) pada

lahan tanpa naungan sampai naungan

sedang (0-30%). Diatas naungan 30%,

produksi akan menurun sekitar 50%.

Sedangkan untuk kandungan air dalam

media, untuk menghasilkan mutu sim-

plisia tinggi maka pemberian air per-

tanaman yang optimal adalah 4 mm/

hari. Dari hasil tersebut dihasilkan pro-

duksi simplisia sebanyak 6,39 g/tan

atau 357,84 kg/ha (Januwati et al.,

2005).

Panen merupakan salah satu ta-

hapan dalam proses budidaya tanaman

obat. Waktu dan cara panen merupakan

periode kritis sehingga sangat menentu-

kan kualitas dan kuantitas hasil panen.

Setiap jenis tanaman memiliki waktu

dan cara panen yang berbeda. Pema-

nenan tanaman sambiloto dapat dila-

kukan pada umur 3-4 bulan setelah

tanam dengan cara dipangkas dengan

menggunakan gunting stek. Pada saat

itu tanaman sudah berbunga tapi belum

keluar buah, karena pada fase awal

pembungaan diperoleh kandungan ba-

han aktifnya yang tinggi.

Selain waktu panen, waktu

pengangkutan juga harus diperhatikan,

diusahakan bahan hasil panen tidak

terkena panas yang berlebihan. Jika

terkena panas maka kemungkinan ba-

han mengalami fermentasi dan hal ini

dapat menyebabkan bahan busuk se-

hingga mutu simplisia kurang baik.

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh

mutu simplisia, peralatan yang digu-

nakan serta prosedur ekstraksi (ukuran

bahan, jenis pelarut, konsentrasi pe-

larut, nisbah bahan dengan pelarut,

suhu, lama ekstraksi, pengisatan, pe-

murnian dan pengeringan ekstrak

(Vijesekera, 1991).

Ukuran partikel bahan yang di-

gunakan dalam ekstraksi berpengaruh

terhadap bahan aktif ekstrak. Penge-

cilan ukuran bahan bertujuan untuk

memperbesar luas permukaan pori-pori

simplisia, sehingga kontak antra parti-

kel simplisia dengan pelarut semakin

besar. Jaringan simplisia dapat mempe-

ngaruhi efektifitas ekstraksi. Simplisia

yang memiliki jaringan yang longgar

akan lebih mudah diekstraksi diban-

dingkan dengan bahan yang memiliki

jaringan yang kompak. Menurut

Sumaryono (1996), simplisia yang me-

miliki jaringan yang kompak sebelum

diekstraksi perlu dibasahi atau dikem-

bangkan terlebih dahulu. Untuk sambi-

loto, menurut Sembiring et al. (2005),

ukuran simplisia sambiloto untuk eks-

traksi yang optimal adalah ukuran 60

mesh.

Pemilihan pelarut merupakan

faktor penting dalam proses ekstraksi.

Jenis pelarut yang digunakan harus me-

miliki daya larut yang tinggi dan tidak

berbahaya atau beracun. Menurut

Depkes (1986), pelarut yang dipilih

harus menguntungkan artinya dalam

jumlah sedikit sudah dapat melarutkan

zat aktif suatu bahan. Selain itu waktu

untuk menguapkan pelarut lebih sing-

kat sehingga kerusakan zat aktif yang

tidak tahan panas dapat dikurangi. Jenis

pelarut yang digunakan menurut Kirk

dan Othmer (1957) adalah murah dan

Page 4: 5pascapanen

137

selektif terhadap bahan aktif yang

diinginkan. Menurut Sembiring et al.,

(2005) jenis pelarut yang optimal untuk

mengekstrak sambiloto adalah etanol

70%.

Jumlah bahan dan jumlah pelarut

yang digunakan dalam proses ekstraksi

dapat mempengaruhi rendemen ekstrak

yang dihasilkan. Semakin tinggi jumlah

pelarut yang digunakan, maka kemam-

puan pelarut untuk mengekstrak suatu

bahan semakin tinggi karena kontak

antara bahan dengan pelarut semakin

besar. Menurut Suryandari (1891), se-

makin besar volume pelarut yang digu-

nakan maka jumlah oleoresin yang ter-

ekstraksi semakin banyak dan akan

bertambah terus sampai larutan jenuh.

Perbandingan antara bahan dengan pe-

larut untuk ekstraksi sambiloto adalah

1:10 (Sembiring et al., 2005).

Lama ekstraksi berpengaruh ter-

hadap mutu ekstrak. Semakin lama

waktu ekstraksi, maka kesempatan ba-

han bersentuhan dengan pelarut sema-

kin lama hingga larutan mencapai titik

jenuh (Suryandari, 1981). Untuk men-

dapatkan residu kadar bahan aktif di-

bawah satu persen, maka dibutuhkan

waktu ekstraksi yang lebih lama

(Bernardini,1983). Untuk simplisia

sambiloto lama ekstraksi untuk meng-

hasilkan rendemen dan kadar bahan

aktif optimal adalah 6 jam (Sembiring

et al, 2005).

Sisa pelarut dipengaruhi oleh

kondisi pemisahan dan penguapan pe-

larut dalam alat vacuum rotary dan

oven vacuum pump. Sisa pelarut dalam

ekstrak dapat mempengaruhi kualitas

produk. Menurut FDA (Food and Drug

Association), batasan sisa pelarut

dalam ekstrak adalah sebesar 1,046%.

Penguapan sisa pelarut dalam ekstrak

dilakukan sampai bobot tetap. Menurut

Ma’mun et al. (2005), sisa pelarut yang

terdapat dalam ekstrak sambiloto ada-

lah sebesar 5,59%.

PERKEMBANGAN

TEKNOLOGI PASCA PANEN

SAMBILOTO

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode

untuk mengeluarkan atau menghilang-

kan air dari suatu bahan dengan meng-

gunakan energi panas (Buckle et al.,

1987). Tujuan dari pengeringan yaitu

untuk memperoleh bahan dengan masa

simpan panjang. Menurut Henderson

dan Pery (1976) pengeringan dapat

memberikan beberapa keuntungan an-

tara lain, memperpanjang masa simpan

dan mengurangi penurunan mutu sebe-

lum diolah lebih lanjut, memudahkan

dalam proses pengangkutan, menim-

bulkan aroma khas pada bahan tertentu

dan mutu hasil lebih baik serta me-

miliki nilai ekonomi lebih tinggi.

Sambiloto yang baru dipanen

langsung disortir, kemudian dicuci

sampai bersih dengan menggunakan air

bersih. Pencucian dilakukan secara ber-

ulang-ulang sampai bahan benar-benar

bersih. Selanjutnya bahan ditiriskan ke-

mudian siap untuk dikeringkan/dije-

mur. Penjemuran sambiloto dapat dila-

kukan dengan menggunakan sinar ma-

tahari, oven, fresh dryer maupun kom-

binasi matahari dengan alat/blower.

Menurut Rusli et al. (2004), pengering-

an kombinasi antara matahari dengan

Page 5: 5pascapanen

138

alat blower menghasilkan mutu sim-

plisia yang lebih baik dibandingkan

dengan jenis pengering matahari dan

alat blower. Hal ini dilihat dari kadar

sari air dan kadar sari alkohol yang

dihasilkan lebih tinggi dibandingkan

dengan alat pengering yang lain, seperti

pada Tabel 1.

Pada waktu pengeringan yang

perlu diperhatikan adalah suhu dan

kadar air bahan, karena pengeringan

dengan menggunakan panas yang ber-

lebihan dapat merusak mutu produk

yang dihasilkan. Mutu yang dimaksud

adalah warna, tekstur, flavor dan kara-

kteristik mutu produk. Suhu penge-

ringan untuk tanaman sambiloto maksi-

mum 50˚C dan kadar air simplisianya

maksimal 10%. Mutu simplisia meru-

pakan salah satu faktor penentu utama

untuk mendapatkan ekstrak sambiloto

yang berkualitas. Ciri-ciri simplisia

yang baik adalah warna tidak jauh beda

dengan warna sebelum dikeringkan,

yaitu warna hijau sesuai dengan warna

aslinya.

Penggilingan

Penggilingan bertujuan untuk

memperkecil ukuran bahan sehingga

mempermudah dalam pengemasan dan

lebih praktis dalam penggunaan. Peng-

gilingan/penepungan dapat dilakukan

dengan menggunakan alat penggiling/

penepung, seperti alat hummer mills.

Dalam penggilingan, ukuran bahan

harus disesuaikan dengan keperluan

penggunaan, misalnya jika pengguna-

annya dengan cara diseduh atau digo-

dok ukurannya cukup (20-40 mesh) ka-

rena sebelum dikonsumsi disaring ter-

lebih dahulu. Tetapi jika ingin dibuat

produk kapsul, maka ukuran serbuknya

harus halus yaitu 80-100 mesh supaya

jika dikonsumsi dapat larut semua da-

lam tubuh. Selanjutnya untuk keper-

luan ekstraksi, menurut Sembiring, et

al. (2005) ukuran serbuk sambiloto

yang baik untuk ekstraksi adalah 60

mesh (Tabel 2). Menurut Purseglove

(1981), besar ukuran bahan yang dipa-

kai untuk keperluan ekstraksi adalah 50

mesh dan yang terhalus adalah ukuran

60 mesh.

Tabel 1. Karakteristik mutu simplisia sambiloto dari beberapa jenis pengering

Parameter Jenis Pengering

Matahari Matahari/Blower Blower

Kadar air (%) 10,35 10,40 8,70

Kadar abu (%) 8,25 7,93 7,68

Kadar abu tak larut

asam (%)

0,04 0,06 0,07

Kadar sari air (%) 21,40 26,83 20,46

Kadar sari alkohol (%) 12,39 14,42 11,55 Sumber : Rusli et al. (2004)

Page 6: 5pascapanen

139

Pengolahan sambiloto

Pengolahan sambiloto bertujuan

untuk meningkatkan mutu dan nilai

tambah dari produk serta memper-

mudah dalam pemakaian. Sambiloto

dalam penggunaannya dapat berbentuk

segar, simplisia, serbuk, ekstrak baik

ekstrak kental maupun ekstrak kering

dan dalam bentuk kapsul ataupun

tablet.

Ekstrak kental/oleoresin

Ekstrak merupakan hasil peng-

olahan lanjutan dari serbuk sambiloto,

dimana serbuk dicampur dengan pela-

rut kemudian diaduk beberapa jam lalu

didiamkan semalam besoknya baru

disaring. Hasil dari penyaringan diper-

oleh filtrat/sari yang selanjutnya diuap-

kan dengan menggunakan alat rota-

vapor atau menggunakan wadah yang

permukaannya luas sehingga pelarut

cepat menguap. Setelah pelarut meng-

uap, maka yang tertinggal adalah sari

sambiloto yang berbentuk pasta dan

sering disebut dengan nama ekstrak

kental/oleoresin.

Pemakaian sambiloto dalam ben-

tuk ekstrak akan lebih praktis pema-

kaiannya sebagai obat fitofarmaka dan

dosisnya lebih akurat. Menurut

Sembiring et al. (2005), untuk men-

dapatkan ekstrak yang bermutu, perlu

dirperhatikan teknik ekstraksinya. Un-

tuk sambiloto teknik ekstraksi yang

optimal yaitu menggunakan serbuk

sambiloto berukuran 60 mesh, jenis

pelarut etanol 70%, perbandingan ba-

han dengan pelarut 1:10 dan lama eks-

traksi 6 jam. Dari perlakuan tersebut

dihasilkan kadar andrograpolid ekstrak

sebesar 6,86% (Gambar 1). Selain fak-

tor teknik ekstraksi, mutu ekstrak juga

dipengaruhi oleh faktor biologis, kimia-

wi, faktor internal, seperti senyawa

aktif, komposisi kualitatif dan kuan-

titatif senyawa aktif (Sinambela, 2003).

Tabel 2. Karakteristik mutu serbuk sambiloto

Parameter Ukuran serbuk * Standar MMI

40 mesh 60 mesh

Kadar sari air (%) 31,20 38,00 Min 18,00

Kadar sari alkohol (%) 16,12 19,81 Min 9,70

Kadar abu (%) 0,58 0,39 Maks 12,00 Sumber :*Materia Medika Indonesia (1979)

Sembiring et al. (2005)

Page 7: 5pascapanen

140

Sambiloto

(Campuran batang dan daun)

Penjemuran

Simplisia

Penggilingan

Pengayakan 80 mesh Pengayakan 60 mesh

Serbuk Ekstraksi

Penimbangan Penguapan

Analisis mutu Ekstraksi kental

Formulasi Pengeringan

Pengapsulan Ekstraksi kering

Penggilingan

Formulasi

Pengkapsulan

Gambar 1. Diagram alir pembuatan ekstrak sambiloto

Gambar 2. Ekstrak kental/oleoresin sambiloto

Page 8: 5pascapanen

141

Ekstrak kering

Ekstrak kering merupakan hasil

pengolahan lanjutan dari ekstrak kental/

oleoresin. Pembuatan ekstrak kering

dapat dilakukan dengan cara menge-

ringkan ekstrak kental. Pengeringan da-

pat dilakukan baik menggunakan sinar

matahari, oven, frezee dryer maupun

spray dryer. Menurut Sembiring et al.

(2005), pengeringan ekstrak sambiloto

dengan menggunakan sinar matahari

memakan waktu yang lama dan hasil-

nya kurang higienis. Selanjutnya pe-

ngeringan menggunakan oven, freeze

dryer dan spray dryer menghasilkan

ekstrak kering yang lebih higienis. Dari

semua jenis pengering yang lebih higie-

nis adalah alat frezee drayer dan eks-

trak yang dihasilkan lebih baik mutu-

nya. Tetapi alat pengering tersebut

memiliki kelemahan yaitu memerlukan

waktu yang lama untuk mengeringkan

ekstrak yaitu minimal 15 jam karena

alat tersebut suhunya rendah sekali

yaitu -67o C.

Untuk menghasilkan ekstrak ke-

ring bermutu, dalam pembuatan ekstrak

kering perlu ditambahkan bahan peng-

isi yang bertujuan untuk mempercepat

proses pengeringan dan tekstur serbuk

yang dihasilkan lebih baik dan lebih

kering. Pengeringan ekstrak kental tan-

pa penambahan bahan pengisi dapat

dilakukan dengan menggunakan alat

pengering frezee dryer tetapi hasilnya

cepat higroskopis. Penambahan bahan

pengisi (amilum) kedalam ekstrak ken-

tal lebih kurang 30-50%. Penambahan

amilum pada konsentrasi tersebut dapat

mempersingkat waktu pengeringan ya-

itu 2-3 hari pada suhu 40-50o C. Dari

semua jenis pengering yang lebih aman

terhadap resiko terjadinya degradasi

senyawa dalam ekstrak yang relatif ter-

molabil adalah alat pengering frezee

dryer (pengering beku) (Sumaryono,

1996).

Ekstrak sambiloto yang sudah

kering digiling kemudian diayak se-

hingga diperoleh serbuk ekstrak yang

seragam ukurannya. Selanjutnya ser-

buk yang sudah diayak siap untuk

disimpan atau diolah lebih lanjut baik

untuk produk kapsul maupun tablet

ataupun dicampur dengan bahan lain.

Gambar 3. Alat pengering ekstrak

sambiloto (frezee dryer)

Gambar 3. Serbuk ekstrak kering

sambiloto

Penyimpanan

Simplisia atau serbuk yang diha-

silkan sebelum diolah lebih lanjut dapat

disimpan untuk sewaktu-waktu diperlu-

kan. Permasalahan yang perlu men-

Page 9: 5pascapanen

142

dapat perhatian adalah adanya kemung-

kinan perubahan kimiawi selama

penyimpanan. Penyimpanan bahan

yang telah diolah baik dalam bentuk

simplisia maupun serbuk, sering ter-

kontaminasi baik oleh bakteri maupun

kapang sehingga terjadi penurunan be-

rat, mutu bahkan dapat menghasilkan

toksin (beracun). Untuk mengatasi

masalah tersebut sebelum penyimpan-

an perlu dilakukan pengawetan terha-

dap bahan yang disimpan.

Pengawetan bertujuan untuk

memperpanjang umur simpan bahan

tanpa merubah mutu produk. Berbagai

cara untuk mengawetkan produk ma-

kanan salah satunya adalah menggu-

nakan bahan kimia. Tetapi cara ini me-

miliki kelemahan yaitu dapat mening-

galkan toksik pada produk, juga diper-

lukan karantina dalam waktu yang

lama untuk menurunkan toksiknya baru

boleh dikonsumsi. Selanjutnya melalui

pemanasan pada suhu tinggi, ini dapat

merusak zat aktif yang terkandung di

dalam produk karena sebagian zat yang

terkandung dalam produk sensitif ter-

hadap panas, sehingga dapat menurun-

kan mutu. Cara yang lain adalah me-

lalui iradiasi dan ini merupakan jenis

pengawetan yang baik untuk saat ini.

Teknologi ini telah banyak diaplikasi-

kan untuk pengawetan produk makan-

an, kosmetik, obat maupun alat-alat

kedokteran yang membutuhkan sterili-

sasi tinggi. Proses iradiasi merupakan

proses fisika sederhana hanya melewat-

kan sinar gamma yang dihasilkan oleh

Cobalt 60 atau Cesium 137. Sinar gam-

ma dikatakan memiliki kemampuan

mereduksi mikroba karena dapat me-

nyerang molekul Deoxyribo Nucleic

Acid (DNA) sehingga pembelahan

molekul akan dihambat dan akibatnya

sel tidak dapat berkembang biak.

Menurut Ma’mun et al. (2005),

penyimpanan ekstrak sambiloto baik

dalam bentuk ekstrak kental/oleoresin

maupun kering tahan disimpan sampai

penyimpanan umur 6 bulan tanpa me-

rubah mutu dari ekstrak. Menurut

Amin (1993) dalam Subandrio dan

Danur (1996), membuktikan bahwa

iradiasi dengan sinar gamma dengan

dosis 3 kGy, 5 kGy dan 7 kGy tidak

berpengaruh terhadap kestabilan struk-

tur kurkuminoid serbuk utuh, serbuk

tanpa minyak atsiri dan oleoresin temu-

lawak.

ARAH DAN STRATEGI

PENELITIAN

Untuk kedepannya teknologi

pasca panen sambiloto lebih ditingkat-

kan lagi sehingga dihasilkan simplisia

dan ekstrak sambiloto yang terstandar

untuk dijadikan sebagai bahan baku

fitofarmaka. Untuk menghasilkan mutu

produk yang berkualitas berawal dari

ekosistem yang baik, teknik budidaya

yang baik serta teknik pasca panen

yang baik. Ketiga faktor tersebut saling

berkaitan, sehingga untuk kedepannya

perlu dibuat suatu SOP (standar opera-

sional penelitian).

Untuk memantapkan arah pe-

ngembangan pasca panen sambiloto

perlu dilakukan suatu penelitian kerja-

sama dengan pemerintah maupun non

pemerintah. Seperti sektor pertanian,

perguruan tinggi, perdagangan, perin-

Page 10: 5pascapanen

143

dustrian, kesehatan, pengusaha, industri

pengolahan dan perdagangan.

KESIMPULAN

Teknologi pasca panen sambi-

loto ditingkat petani maupun industri

skala menengah belum tersedia. Tekno-

logi pasca panen berpengaruh terhadap

mutu bahan segar, simplisia dan eks-

trak sambiloto. Dengan teknologi yang

baik dihasilkan simplisia dan ekstrak

sambiloto terstandar untuk digunakan

sebagai bahan baku fitofarmaka. Sam-

biloto dapat digunakan dalam bentuk

segar, simplisia, serbuk, ekstrak kental

atau oleoresin maupun dalam bentuk

ekstrak kering. Selain teknik pasca pa-

nen, faktor penyimpanan ekstrak juga

berpengaruh terhadap mutu produk

selama penyimpanan.

DAFTAR PUSTAKA

Bernardini, E., 1983. oil Seed, Oil and

Fats. Vol. I. Raw Materials and

Extraction Techniques. Publishing

House, rome.

Bombardelli, E., 1991. Technologies

for processing of Medicinal Plants.

In the Medicinal Plant Industry.

CRC. Press. Florida USA.

Buckle, K.A, RA. Edwards, G., Fleet

dan M. Wooton, 1987. Ilmu Pa-

ngan, terjemahan Hari Purnomo

dan Adiono. Penerbit Universitas

Indonesia. Jakarta.

Depkes RI., 1986. Sediaan Galenik.

Dirjen Pengawasan Obat dan

Makanan. Jakarta.

Emmyzar, R. Suryadi, M. Iskandar dan

Ngadimin, 1996. Pengaruh dosisi

pupuk NPK dan umur panen ter-

hadap pertumbuhan dan produksi

terna tanaman sambiloto. Warta

Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.

III. hal. 31-32.

Gupta, R., 1991. Agrotechnology of

Medicinal Plants. In the Medicinal

Plant Industry. CRC press. Florida,

USA. P:43-57.

Henderson, S.M. dan Perry, R.L., 1976.

Agricultural Process Engineering.

The AVI Publishing Company, Inc.

Wesport, Connecticut.

Hilmy, N. Dan Suryaputra, 1980. Ra-

diopasteurisasi Jamu. Proc. Diskusi

Panel Penggunaan Radiasi untuk

Menyucihamakan Alat Kedokter-

an, Sediaan Farmasi dan Kosmeti-

ka, BATAN. Jakarta. hal. 1-7.

Kirk, R.E. dan D.F. Othmer, 1951.

Encyclopedia of Chemical of Tech-

nology. The Interscience encyclo-

pedia. Inc., New York.

Ma’mun, Bagem S., Feri Manoi, Shinta

Suhirman, Tritianingsih dan Abdul

Gani, 2005. Perbaikan metode eks-

traksi dan penyimpanan ekstrak ter-

standar sambiloto. Laporan Teknis

Penelitian. Balittro. Buku 2. hal.

91-109.

Materia Medika Indonesia, 1979. Jilid

III. Departemen Kesehatan Repub-

lik Indonesia. hal. 21-25.

M. Januwati, E. Rini Pribadi, M.

Yusron dan Nur Maslahah, 2005.

Pengaruh tingkat kebutuhan air ter-

Page 11: 5pascapanen

144

hadap mutu dan produksi sam-

biloto. Laporan Teknis Penelitian

Balittro. Buku 2. hal. 25-37.

M. Januwati dan Yusron, 2004. Pro-

duksi dan mutu sambiloto (Andro-

graphis paniculata ness) pada be-

berapa tingkat naungan. Makalah

pada seminar Nasional tumbuhan

Obat Indonesia XXVI, tanggal 7-8

September 2004 di Padang. 7 hal.

Nugroho, Y.A. dan Nafrialdi, 2001.

Sambiloto tumbuhan obat Indone-

sia penurun kadar lipid darah. Pro-

siding seminar Nasional XIX.

Tumbuhan Obat Indonesia. POK-

JANAS TOI. hal. 353-358.

Naiola, B.P.T. Murtiningsih dan

Chairil, 1996. Pengaruh stress air

terhadap kualitas dan kuantitas

komponen aktif pada sambiloto.

Warta Tumbuhan Obat Indonesia.

Vol. III. hal. 15-17.

Purseglove, J.W., 1981. spices. Vol. II,

Longman Inc. New york.

Rusli, S., Ma’mun, Sintha Suhirman

dan Bagem Br Sembiring, 2004.

Standarisasi simplisia dan pem-

buatan ekstrak pekat terstandar

sambiloto (Andrographis panicu-

lata Need). Laporan Teknis. hal. 1-

9.

Sembiring, B., Fery Manoi dan M.

Januwati, 2005. Pengaruh nisbah

bahan dengan pelarut dan lama

ekstraksi terhadap mutu ekstrak

sambiloto (Andrographis panicu-

lata Nees). Prosiding Seminar

Nasional dan Pameran Tumbuhan

Obat Indonesia. Vol. XXVIII.

Sinambela, J.M., 2003. Standardisasi

Sediaan Obat Herba. Seminar

Tumbuhan Obat Indonesia XXIII.

Universitas Pancasila, 25-26 Maret.

Jakarta.

Subandrio, T. Dan I.A. Irastina Danur,

1996. Iradiasi pangan dan aplika-

sinya pada jamu dan tumbuhan

obat. Warta Tumbuhan Obat Indo-

nesia. Penerbit Kelompok Kerja

Nasional Tumbuhan Obat Indo-

nesia. Vol. 3 No. 1. hal. 4-6.

Sumaryono, W., 1996. Teknologi pem-

buatan sediaan fitofarmaka skala

industri. Warta Tumbuhan Obat

Indonesia. Kelompok Kerja Nasio-

nal Tumbuhan Obat Indonesia.

Jakarta. Vol. 3 No. 1. hal. 6-9.

Suryandari, S., 1981. Pengambilan

oleoresin jahe dengan cara solvent

extraction, BBIHP, Bogor.

Utoro, H., 1992. Prospek dan pengem-

bangan jamu di Indonesia. Skripsi

pada Jurusan Ilmu-ilmu sosial

ekonomi pertanian. Fakultas Per-

tanian. IPB. Bogor.

Vijesekera, R.O.B., 1991. Plant derived

medicines and their role in global

health. In the medicinal plant

industry. CRC press. Florida, USA.

p. 1-18.

Winarto, W.P., 2003. Sambiloto, Budi-

daya dan Pemanfaatan untuk Obat.

Penebar Swadaya. Jakarta.