5pascapanen
-
Upload
muslihatus-syarifah -
Category
Documents
-
view
51 -
download
9
description
Transcript of 5pascapanen
134
STATUS TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO
(Andrographis paniculata Needs)
Bagem Br. Sembiring
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK
Teknologi pasca panen sambiloto belum
tersedia di tingkat petani maupun industri skala
menengah. Teknologi pasca panen memiliki
peranan penting dalam menentukan mutu
setelah panen maupun dalam pengolahan.
Selain mutu teknologi pasca panen juga dapat
memberikan nilai tambah dari tanaman sam-
biloto. Kegiatan pasca panen terdiri dari
penanganan bahan mentah (segar) dan
pengolahan menjadi bahan setengah jadi dan
bahan jadi. Sambiloto mengandung zat pahit
yang disebut dengan zat andrographolid.
Tanaman sambiloto memiliki segudang manfaat
baik untuk kesehatan manusia maupun ternak.
Sambiloto dapat digunakan dalam bentuk segar,
simplisia, teh, serbuk, kapsul, infuse dan eks-
trak. Panen sambiloto yang optimal adalah pada
umur 3-4 bulan setelah tanaman. Setelah
dipanen dikeringkan menggunakan sinar mata-
hari yang dikombinasikan dengan alat. Setelah
kering simplisia digiling sehingga dihasilkan
serbuk ukuran 60 mesh. Kemudian untuk
pengolahan (ekstraksi), teknologi yang diguna-
kan adalah ukuran bahan 60 mesh, jenis pelarut
etanol 70%, perbandingan bahan dengan pelarut
1:10 dan lama ekstraksi 6 jam dan menghasil-
kan kadar andrographolid sebesar 6,86%. Selain
teknik ekstraksi, faktor penyimpanan juga
mempengaruhi mutu simplisia, ekstrak maupun
produk dari ekstrak.
PENDAHULUAN
Peranan teknologi pasca panen
akan terus meningkat dan sangat di-
butuhkan untuk meningkatkan mutu
produk sesuai dengan standar dalam
mendukung perkembangan pertanian khususnya dibidang komoditas ta-
naman obat. Selain untuk meningkat-
kan mutu, teknologi pasca panen perlu
dikembangkan karena dapat memberi-
kan nilai tambah dari tanaman obat,
juga dapat memperluas lapangan kerja
sekaligus membentuk sistem agro-
industri.
Kegiatan pasca panen mencakup
dua hal yaitu penanganan (handling)
bahan mentah dan pengolahan (pro-
cessing) bahan mentah menjadi bahan
setengah jadi dan bahan jadi. Kendala
yang sering dihadapi baik ditingkat
petani maupun industri adalah tekno-
logi pasca panen sambiloto yang stan-
dar belum tersedia sehingga mutu pro-
duk hasil olahan yang dihasilkan belum
memenuhi standar.
Perkembangan pemanfaatan ta-
naman obat di Indonesia telah ber-
kembang dengan pesat. Hal ini terbukti
dengan meningkatnya jumlah industri
obat tradisional dan fitofarmaka. Meski
demikian masih banyak faktor yang ha-
rus disempurnakan, seperti masalah pe-
nanganan bahan baku, masalah produk
dan manajemen. Masalah bahan baku
dan produk berhubungan dengan tek-
nologi pasca panen. Menurut Utoro
(1992), industri obat tradisional masih
memiliki kendala yang tidak mudah
untuk diatasi, antara lain masalah pro-duksi, masalah manajemen termasuk
distribusi dan masalah bahan baku.
135
Tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk memberikan informasi
kepada petani maupun skala industri
mengenai teknik penanganan pasca
panen dan pengolahan sambiloto yang
baik. Dengan teknik penanganan yang
baik diharapkan dapat menghindari ke-
hilangan hasil panen, baik dalam jum-
lah maupun mutu serta menghasilkan
produk sambiloto yang bermutu serta
memiliki nilai tambah. Dengan demi-
kian perlu kiranya dilakukan suatu
sosialisasi teknologi/pelatihan mulai
dari penanganan bahan sampai diolah
menjadi suatu produk baik dalam ben-
tuk simplisia maupun ekstrak yang ter-
standar.
Sambiloto (Andrographis pani-
culata Needs) merupakan salah satu
komoditas tanaman obat yang memiliki
segudang manfaat baik untuk kese-
hatan manusia maupun ternak. Sambi-
loto merupakan salah satu tanaman
obat yang diperioritaskan oleh Badan
POM untuk dikembangkan. Sambiloto
mengandung zat pahit yang disebut
dengan zat andrographolid (C20H30O5).
Kegunaan dari tanaman tersebut antara
lain meningkatkan ketahanan tubuh ter-
hadap infeksi kuman, anti diare, mala-
ria, gatal-gatal, diabetes, anti bakteri,
kolesterol, tekanan darah tinggi, bron-
chitis dan lain-lain (Rusli et al., 2004).
Menurut Nugroho dan Nafrialdi
(2001), ekstrak sambiloto pada dosis
160 mg/100 g berat badan dapat menu-
runkan kadar kolesterol total, triglise-
rida. Sambiloto aman untuk dikonsum-
si selama tiga bulan berturut-turut tidak
menimbulkan efek toksik. Hal ini ber-
dasarkan hasil uji toksisitas akut, sub-
kronis dan mutagenik. Pemanfaatan ta-
naman sambiloto sebagai obat dapat
digunakan baik dalam bentuk segar,
simplisia, teh, kapsul, serbuk, infus dan
kapsul ekstrak (Winarno, 2003).
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI MUTU
SIMPLISIA DAN EKSTRAK
SAMBILOTO
Mutu simplisia dipengaruhi oleh
karakter genetik (varietas) dan ekologi
(budidaya, kondisi lahan, ekofisiologi
serta penanganan pasca panen) (Gupta
1991 dan Vijesekera, 1991). Setiap ta-
naman menghendaki kondisi lingkung-
an tumbuh tertentu agar dapat ber-
produksi dengan baik. Selain dan ling-
kungan tumbuh, produksi juga ditentu-
kan oleh cara budidaya tanaman. Apa-
bila cara budidaya kurang tepat, maka
hasil produksi kurang optimal baik dari
segi mutu atau kuantitasnya. Diharap-
kan cara budidaya mengikuti (GAP/
Good Agricultural Practices). Menurut
Emmyzar et al. (1996) mutu simplisia
sambiloto tertinggi diperoleh pada pe-
mupukan dengan dosis 100 jg urea +
100 kg TSP + 50 kg KCl per hektar
dengan jarak tanam 40 x 20 cm.
Pengaruh ekosistem dominan pa-
da tanaman sambiloto. Kualitas dan
kuantitas komponen aktif sambiloto
dipengaruhi oleh faktor ekosistem yaitu
kandungan air dalam media tumbuh
(Naiola et al. 1996), ketingian tempat,
kualitas cahaya dan temperatur
(Vanhaelen et al. 1991). Oleh karena
itu faktor ekofisiologi harus optimal
supaya supaya menghasilkan simplisia
yang berkualitas (Gupta, 1991 dan
136
Vanhaelen et al. 1991), sehingga sin-
tetis metabolit sekundernya dapat me-
ningkat. Menurut Januwati dan Yusron
(2004) tanaman sambiloto dapat dibu-
didayakan didaerah basah (Bogor) pada
lahan tanpa naungan sampai naungan
sedang (0-30%). Diatas naungan 30%,
produksi akan menurun sekitar 50%.
Sedangkan untuk kandungan air dalam
media, untuk menghasilkan mutu sim-
plisia tinggi maka pemberian air per-
tanaman yang optimal adalah 4 mm/
hari. Dari hasil tersebut dihasilkan pro-
duksi simplisia sebanyak 6,39 g/tan
atau 357,84 kg/ha (Januwati et al.,
2005).
Panen merupakan salah satu ta-
hapan dalam proses budidaya tanaman
obat. Waktu dan cara panen merupakan
periode kritis sehingga sangat menentu-
kan kualitas dan kuantitas hasil panen.
Setiap jenis tanaman memiliki waktu
dan cara panen yang berbeda. Pema-
nenan tanaman sambiloto dapat dila-
kukan pada umur 3-4 bulan setelah
tanam dengan cara dipangkas dengan
menggunakan gunting stek. Pada saat
itu tanaman sudah berbunga tapi belum
keluar buah, karena pada fase awal
pembungaan diperoleh kandungan ba-
han aktifnya yang tinggi.
Selain waktu panen, waktu
pengangkutan juga harus diperhatikan,
diusahakan bahan hasil panen tidak
terkena panas yang berlebihan. Jika
terkena panas maka kemungkinan ba-
han mengalami fermentasi dan hal ini
dapat menyebabkan bahan busuk se-
hingga mutu simplisia kurang baik.
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh
mutu simplisia, peralatan yang digu-
nakan serta prosedur ekstraksi (ukuran
bahan, jenis pelarut, konsentrasi pe-
larut, nisbah bahan dengan pelarut,
suhu, lama ekstraksi, pengisatan, pe-
murnian dan pengeringan ekstrak
(Vijesekera, 1991).
Ukuran partikel bahan yang di-
gunakan dalam ekstraksi berpengaruh
terhadap bahan aktif ekstrak. Penge-
cilan ukuran bahan bertujuan untuk
memperbesar luas permukaan pori-pori
simplisia, sehingga kontak antra parti-
kel simplisia dengan pelarut semakin
besar. Jaringan simplisia dapat mempe-
ngaruhi efektifitas ekstraksi. Simplisia
yang memiliki jaringan yang longgar
akan lebih mudah diekstraksi diban-
dingkan dengan bahan yang memiliki
jaringan yang kompak. Menurut
Sumaryono (1996), simplisia yang me-
miliki jaringan yang kompak sebelum
diekstraksi perlu dibasahi atau dikem-
bangkan terlebih dahulu. Untuk sambi-
loto, menurut Sembiring et al. (2005),
ukuran simplisia sambiloto untuk eks-
traksi yang optimal adalah ukuran 60
mesh.
Pemilihan pelarut merupakan
faktor penting dalam proses ekstraksi.
Jenis pelarut yang digunakan harus me-
miliki daya larut yang tinggi dan tidak
berbahaya atau beracun. Menurut
Depkes (1986), pelarut yang dipilih
harus menguntungkan artinya dalam
jumlah sedikit sudah dapat melarutkan
zat aktif suatu bahan. Selain itu waktu
untuk menguapkan pelarut lebih sing-
kat sehingga kerusakan zat aktif yang
tidak tahan panas dapat dikurangi. Jenis
pelarut yang digunakan menurut Kirk
dan Othmer (1957) adalah murah dan
137
selektif terhadap bahan aktif yang
diinginkan. Menurut Sembiring et al.,
(2005) jenis pelarut yang optimal untuk
mengekstrak sambiloto adalah etanol
70%.
Jumlah bahan dan jumlah pelarut
yang digunakan dalam proses ekstraksi
dapat mempengaruhi rendemen ekstrak
yang dihasilkan. Semakin tinggi jumlah
pelarut yang digunakan, maka kemam-
puan pelarut untuk mengekstrak suatu
bahan semakin tinggi karena kontak
antara bahan dengan pelarut semakin
besar. Menurut Suryandari (1891), se-
makin besar volume pelarut yang digu-
nakan maka jumlah oleoresin yang ter-
ekstraksi semakin banyak dan akan
bertambah terus sampai larutan jenuh.
Perbandingan antara bahan dengan pe-
larut untuk ekstraksi sambiloto adalah
1:10 (Sembiring et al., 2005).
Lama ekstraksi berpengaruh ter-
hadap mutu ekstrak. Semakin lama
waktu ekstraksi, maka kesempatan ba-
han bersentuhan dengan pelarut sema-
kin lama hingga larutan mencapai titik
jenuh (Suryandari, 1981). Untuk men-
dapatkan residu kadar bahan aktif di-
bawah satu persen, maka dibutuhkan
waktu ekstraksi yang lebih lama
(Bernardini,1983). Untuk simplisia
sambiloto lama ekstraksi untuk meng-
hasilkan rendemen dan kadar bahan
aktif optimal adalah 6 jam (Sembiring
et al, 2005).
Sisa pelarut dipengaruhi oleh
kondisi pemisahan dan penguapan pe-
larut dalam alat vacuum rotary dan
oven vacuum pump. Sisa pelarut dalam
ekstrak dapat mempengaruhi kualitas
produk. Menurut FDA (Food and Drug
Association), batasan sisa pelarut
dalam ekstrak adalah sebesar 1,046%.
Penguapan sisa pelarut dalam ekstrak
dilakukan sampai bobot tetap. Menurut
Ma’mun et al. (2005), sisa pelarut yang
terdapat dalam ekstrak sambiloto ada-
lah sebesar 5,59%.
PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI PASCA PANEN
SAMBILOTO
Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metode
untuk mengeluarkan atau menghilang-
kan air dari suatu bahan dengan meng-
gunakan energi panas (Buckle et al.,
1987). Tujuan dari pengeringan yaitu
untuk memperoleh bahan dengan masa
simpan panjang. Menurut Henderson
dan Pery (1976) pengeringan dapat
memberikan beberapa keuntungan an-
tara lain, memperpanjang masa simpan
dan mengurangi penurunan mutu sebe-
lum diolah lebih lanjut, memudahkan
dalam proses pengangkutan, menim-
bulkan aroma khas pada bahan tertentu
dan mutu hasil lebih baik serta me-
miliki nilai ekonomi lebih tinggi.
Sambiloto yang baru dipanen
langsung disortir, kemudian dicuci
sampai bersih dengan menggunakan air
bersih. Pencucian dilakukan secara ber-
ulang-ulang sampai bahan benar-benar
bersih. Selanjutnya bahan ditiriskan ke-
mudian siap untuk dikeringkan/dije-
mur. Penjemuran sambiloto dapat dila-
kukan dengan menggunakan sinar ma-
tahari, oven, fresh dryer maupun kom-
binasi matahari dengan alat/blower.
Menurut Rusli et al. (2004), pengering-
an kombinasi antara matahari dengan
138
alat blower menghasilkan mutu sim-
plisia yang lebih baik dibandingkan
dengan jenis pengering matahari dan
alat blower. Hal ini dilihat dari kadar
sari air dan kadar sari alkohol yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan
dengan alat pengering yang lain, seperti
pada Tabel 1.
Pada waktu pengeringan yang
perlu diperhatikan adalah suhu dan
kadar air bahan, karena pengeringan
dengan menggunakan panas yang ber-
lebihan dapat merusak mutu produk
yang dihasilkan. Mutu yang dimaksud
adalah warna, tekstur, flavor dan kara-
kteristik mutu produk. Suhu penge-
ringan untuk tanaman sambiloto maksi-
mum 50˚C dan kadar air simplisianya
maksimal 10%. Mutu simplisia meru-
pakan salah satu faktor penentu utama
untuk mendapatkan ekstrak sambiloto
yang berkualitas. Ciri-ciri simplisia
yang baik adalah warna tidak jauh beda
dengan warna sebelum dikeringkan,
yaitu warna hijau sesuai dengan warna
aslinya.
Penggilingan
Penggilingan bertujuan untuk
memperkecil ukuran bahan sehingga
mempermudah dalam pengemasan dan
lebih praktis dalam penggunaan. Peng-
gilingan/penepungan dapat dilakukan
dengan menggunakan alat penggiling/
penepung, seperti alat hummer mills.
Dalam penggilingan, ukuran bahan
harus disesuaikan dengan keperluan
penggunaan, misalnya jika pengguna-
annya dengan cara diseduh atau digo-
dok ukurannya cukup (20-40 mesh) ka-
rena sebelum dikonsumsi disaring ter-
lebih dahulu. Tetapi jika ingin dibuat
produk kapsul, maka ukuran serbuknya
harus halus yaitu 80-100 mesh supaya
jika dikonsumsi dapat larut semua da-
lam tubuh. Selanjutnya untuk keper-
luan ekstraksi, menurut Sembiring, et
al. (2005) ukuran serbuk sambiloto
yang baik untuk ekstraksi adalah 60
mesh (Tabel 2). Menurut Purseglove
(1981), besar ukuran bahan yang dipa-
kai untuk keperluan ekstraksi adalah 50
mesh dan yang terhalus adalah ukuran
60 mesh.
Tabel 1. Karakteristik mutu simplisia sambiloto dari beberapa jenis pengering
Parameter Jenis Pengering
Matahari Matahari/Blower Blower
Kadar air (%) 10,35 10,40 8,70
Kadar abu (%) 8,25 7,93 7,68
Kadar abu tak larut
asam (%)
0,04 0,06 0,07
Kadar sari air (%) 21,40 26,83 20,46
Kadar sari alkohol (%) 12,39 14,42 11,55 Sumber : Rusli et al. (2004)
139
Pengolahan sambiloto
Pengolahan sambiloto bertujuan
untuk meningkatkan mutu dan nilai
tambah dari produk serta memper-
mudah dalam pemakaian. Sambiloto
dalam penggunaannya dapat berbentuk
segar, simplisia, serbuk, ekstrak baik
ekstrak kental maupun ekstrak kering
dan dalam bentuk kapsul ataupun
tablet.
Ekstrak kental/oleoresin
Ekstrak merupakan hasil peng-
olahan lanjutan dari serbuk sambiloto,
dimana serbuk dicampur dengan pela-
rut kemudian diaduk beberapa jam lalu
didiamkan semalam besoknya baru
disaring. Hasil dari penyaringan diper-
oleh filtrat/sari yang selanjutnya diuap-
kan dengan menggunakan alat rota-
vapor atau menggunakan wadah yang
permukaannya luas sehingga pelarut
cepat menguap. Setelah pelarut meng-
uap, maka yang tertinggal adalah sari
sambiloto yang berbentuk pasta dan
sering disebut dengan nama ekstrak
kental/oleoresin.
Pemakaian sambiloto dalam ben-
tuk ekstrak akan lebih praktis pema-
kaiannya sebagai obat fitofarmaka dan
dosisnya lebih akurat. Menurut
Sembiring et al. (2005), untuk men-
dapatkan ekstrak yang bermutu, perlu
dirperhatikan teknik ekstraksinya. Un-
tuk sambiloto teknik ekstraksi yang
optimal yaitu menggunakan serbuk
sambiloto berukuran 60 mesh, jenis
pelarut etanol 70%, perbandingan ba-
han dengan pelarut 1:10 dan lama eks-
traksi 6 jam. Dari perlakuan tersebut
dihasilkan kadar andrograpolid ekstrak
sebesar 6,86% (Gambar 1). Selain fak-
tor teknik ekstraksi, mutu ekstrak juga
dipengaruhi oleh faktor biologis, kimia-
wi, faktor internal, seperti senyawa
aktif, komposisi kualitatif dan kuan-
titatif senyawa aktif (Sinambela, 2003).
Tabel 2. Karakteristik mutu serbuk sambiloto
Parameter Ukuran serbuk * Standar MMI
40 mesh 60 mesh
Kadar sari air (%) 31,20 38,00 Min 18,00
Kadar sari alkohol (%) 16,12 19,81 Min 9,70
Kadar abu (%) 0,58 0,39 Maks 12,00 Sumber :*Materia Medika Indonesia (1979)
Sembiring et al. (2005)
140
Sambiloto
(Campuran batang dan daun)
Penjemuran
Simplisia
Penggilingan
Pengayakan 80 mesh Pengayakan 60 mesh
Serbuk Ekstraksi
Penimbangan Penguapan
Analisis mutu Ekstraksi kental
Formulasi Pengeringan
Pengapsulan Ekstraksi kering
Penggilingan
Formulasi
Pengkapsulan
Gambar 1. Diagram alir pembuatan ekstrak sambiloto
Gambar 2. Ekstrak kental/oleoresin sambiloto
141
Ekstrak kering
Ekstrak kering merupakan hasil
pengolahan lanjutan dari ekstrak kental/
oleoresin. Pembuatan ekstrak kering
dapat dilakukan dengan cara menge-
ringkan ekstrak kental. Pengeringan da-
pat dilakukan baik menggunakan sinar
matahari, oven, frezee dryer maupun
spray dryer. Menurut Sembiring et al.
(2005), pengeringan ekstrak sambiloto
dengan menggunakan sinar matahari
memakan waktu yang lama dan hasil-
nya kurang higienis. Selanjutnya pe-
ngeringan menggunakan oven, freeze
dryer dan spray dryer menghasilkan
ekstrak kering yang lebih higienis. Dari
semua jenis pengering yang lebih higie-
nis adalah alat frezee drayer dan eks-
trak yang dihasilkan lebih baik mutu-
nya. Tetapi alat pengering tersebut
memiliki kelemahan yaitu memerlukan
waktu yang lama untuk mengeringkan
ekstrak yaitu minimal 15 jam karena
alat tersebut suhunya rendah sekali
yaitu -67o C.
Untuk menghasilkan ekstrak ke-
ring bermutu, dalam pembuatan ekstrak
kering perlu ditambahkan bahan peng-
isi yang bertujuan untuk mempercepat
proses pengeringan dan tekstur serbuk
yang dihasilkan lebih baik dan lebih
kering. Pengeringan ekstrak kental tan-
pa penambahan bahan pengisi dapat
dilakukan dengan menggunakan alat
pengering frezee dryer tetapi hasilnya
cepat higroskopis. Penambahan bahan
pengisi (amilum) kedalam ekstrak ken-
tal lebih kurang 30-50%. Penambahan
amilum pada konsentrasi tersebut dapat
mempersingkat waktu pengeringan ya-
itu 2-3 hari pada suhu 40-50o C. Dari
semua jenis pengering yang lebih aman
terhadap resiko terjadinya degradasi
senyawa dalam ekstrak yang relatif ter-
molabil adalah alat pengering frezee
dryer (pengering beku) (Sumaryono,
1996).
Ekstrak sambiloto yang sudah
kering digiling kemudian diayak se-
hingga diperoleh serbuk ekstrak yang
seragam ukurannya. Selanjutnya ser-
buk yang sudah diayak siap untuk
disimpan atau diolah lebih lanjut baik
untuk produk kapsul maupun tablet
ataupun dicampur dengan bahan lain.
Gambar 3. Alat pengering ekstrak
sambiloto (frezee dryer)
Gambar 3. Serbuk ekstrak kering
sambiloto
Penyimpanan
Simplisia atau serbuk yang diha-
silkan sebelum diolah lebih lanjut dapat
disimpan untuk sewaktu-waktu diperlu-
kan. Permasalahan yang perlu men-
142
dapat perhatian adalah adanya kemung-
kinan perubahan kimiawi selama
penyimpanan. Penyimpanan bahan
yang telah diolah baik dalam bentuk
simplisia maupun serbuk, sering ter-
kontaminasi baik oleh bakteri maupun
kapang sehingga terjadi penurunan be-
rat, mutu bahkan dapat menghasilkan
toksin (beracun). Untuk mengatasi
masalah tersebut sebelum penyimpan-
an perlu dilakukan pengawetan terha-
dap bahan yang disimpan.
Pengawetan bertujuan untuk
memperpanjang umur simpan bahan
tanpa merubah mutu produk. Berbagai
cara untuk mengawetkan produk ma-
kanan salah satunya adalah menggu-
nakan bahan kimia. Tetapi cara ini me-
miliki kelemahan yaitu dapat mening-
galkan toksik pada produk, juga diper-
lukan karantina dalam waktu yang
lama untuk menurunkan toksiknya baru
boleh dikonsumsi. Selanjutnya melalui
pemanasan pada suhu tinggi, ini dapat
merusak zat aktif yang terkandung di
dalam produk karena sebagian zat yang
terkandung dalam produk sensitif ter-
hadap panas, sehingga dapat menurun-
kan mutu. Cara yang lain adalah me-
lalui iradiasi dan ini merupakan jenis
pengawetan yang baik untuk saat ini.
Teknologi ini telah banyak diaplikasi-
kan untuk pengawetan produk makan-
an, kosmetik, obat maupun alat-alat
kedokteran yang membutuhkan sterili-
sasi tinggi. Proses iradiasi merupakan
proses fisika sederhana hanya melewat-
kan sinar gamma yang dihasilkan oleh
Cobalt 60 atau Cesium 137. Sinar gam-
ma dikatakan memiliki kemampuan
mereduksi mikroba karena dapat me-
nyerang molekul Deoxyribo Nucleic
Acid (DNA) sehingga pembelahan
molekul akan dihambat dan akibatnya
sel tidak dapat berkembang biak.
Menurut Ma’mun et al. (2005),
penyimpanan ekstrak sambiloto baik
dalam bentuk ekstrak kental/oleoresin
maupun kering tahan disimpan sampai
penyimpanan umur 6 bulan tanpa me-
rubah mutu dari ekstrak. Menurut
Amin (1993) dalam Subandrio dan
Danur (1996), membuktikan bahwa
iradiasi dengan sinar gamma dengan
dosis 3 kGy, 5 kGy dan 7 kGy tidak
berpengaruh terhadap kestabilan struk-
tur kurkuminoid serbuk utuh, serbuk
tanpa minyak atsiri dan oleoresin temu-
lawak.
ARAH DAN STRATEGI
PENELITIAN
Untuk kedepannya teknologi
pasca panen sambiloto lebih ditingkat-
kan lagi sehingga dihasilkan simplisia
dan ekstrak sambiloto yang terstandar
untuk dijadikan sebagai bahan baku
fitofarmaka. Untuk menghasilkan mutu
produk yang berkualitas berawal dari
ekosistem yang baik, teknik budidaya
yang baik serta teknik pasca panen
yang baik. Ketiga faktor tersebut saling
berkaitan, sehingga untuk kedepannya
perlu dibuat suatu SOP (standar opera-
sional penelitian).
Untuk memantapkan arah pe-
ngembangan pasca panen sambiloto
perlu dilakukan suatu penelitian kerja-
sama dengan pemerintah maupun non
pemerintah. Seperti sektor pertanian,
perguruan tinggi, perdagangan, perin-
143
dustrian, kesehatan, pengusaha, industri
pengolahan dan perdagangan.
KESIMPULAN
Teknologi pasca panen sambi-
loto ditingkat petani maupun industri
skala menengah belum tersedia. Tekno-
logi pasca panen berpengaruh terhadap
mutu bahan segar, simplisia dan eks-
trak sambiloto. Dengan teknologi yang
baik dihasilkan simplisia dan ekstrak
sambiloto terstandar untuk digunakan
sebagai bahan baku fitofarmaka. Sam-
biloto dapat digunakan dalam bentuk
segar, simplisia, serbuk, ekstrak kental
atau oleoresin maupun dalam bentuk
ekstrak kering. Selain teknik pasca pa-
nen, faktor penyimpanan ekstrak juga
berpengaruh terhadap mutu produk
selama penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Bernardini, E., 1983. oil Seed, Oil and
Fats. Vol. I. Raw Materials and
Extraction Techniques. Publishing
House, rome.
Bombardelli, E., 1991. Technologies
for processing of Medicinal Plants.
In the Medicinal Plant Industry.
CRC. Press. Florida USA.
Buckle, K.A, RA. Edwards, G., Fleet
dan M. Wooton, 1987. Ilmu Pa-
ngan, terjemahan Hari Purnomo
dan Adiono. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Depkes RI., 1986. Sediaan Galenik.
Dirjen Pengawasan Obat dan
Makanan. Jakarta.
Emmyzar, R. Suryadi, M. Iskandar dan
Ngadimin, 1996. Pengaruh dosisi
pupuk NPK dan umur panen ter-
hadap pertumbuhan dan produksi
terna tanaman sambiloto. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.
III. hal. 31-32.
Gupta, R., 1991. Agrotechnology of
Medicinal Plants. In the Medicinal
Plant Industry. CRC press. Florida,
USA. P:43-57.
Henderson, S.M. dan Perry, R.L., 1976.
Agricultural Process Engineering.
The AVI Publishing Company, Inc.
Wesport, Connecticut.
Hilmy, N. Dan Suryaputra, 1980. Ra-
diopasteurisasi Jamu. Proc. Diskusi
Panel Penggunaan Radiasi untuk
Menyucihamakan Alat Kedokter-
an, Sediaan Farmasi dan Kosmeti-
ka, BATAN. Jakarta. hal. 1-7.
Kirk, R.E. dan D.F. Othmer, 1951.
Encyclopedia of Chemical of Tech-
nology. The Interscience encyclo-
pedia. Inc., New York.
Ma’mun, Bagem S., Feri Manoi, Shinta
Suhirman, Tritianingsih dan Abdul
Gani, 2005. Perbaikan metode eks-
traksi dan penyimpanan ekstrak ter-
standar sambiloto. Laporan Teknis
Penelitian. Balittro. Buku 2. hal.
91-109.
Materia Medika Indonesia, 1979. Jilid
III. Departemen Kesehatan Repub-
lik Indonesia. hal. 21-25.
M. Januwati, E. Rini Pribadi, M.
Yusron dan Nur Maslahah, 2005.
Pengaruh tingkat kebutuhan air ter-
144
hadap mutu dan produksi sam-
biloto. Laporan Teknis Penelitian
Balittro. Buku 2. hal. 25-37.
M. Januwati dan Yusron, 2004. Pro-
duksi dan mutu sambiloto (Andro-
graphis paniculata ness) pada be-
berapa tingkat naungan. Makalah
pada seminar Nasional tumbuhan
Obat Indonesia XXVI, tanggal 7-8
September 2004 di Padang. 7 hal.
Nugroho, Y.A. dan Nafrialdi, 2001.
Sambiloto tumbuhan obat Indone-
sia penurun kadar lipid darah. Pro-
siding seminar Nasional XIX.
Tumbuhan Obat Indonesia. POK-
JANAS TOI. hal. 353-358.
Naiola, B.P.T. Murtiningsih dan
Chairil, 1996. Pengaruh stress air
terhadap kualitas dan kuantitas
komponen aktif pada sambiloto.
Warta Tumbuhan Obat Indonesia.
Vol. III. hal. 15-17.
Purseglove, J.W., 1981. spices. Vol. II,
Longman Inc. New york.
Rusli, S., Ma’mun, Sintha Suhirman
dan Bagem Br Sembiring, 2004.
Standarisasi simplisia dan pem-
buatan ekstrak pekat terstandar
sambiloto (Andrographis panicu-
lata Need). Laporan Teknis. hal. 1-
9.
Sembiring, B., Fery Manoi dan M.
Januwati, 2005. Pengaruh nisbah
bahan dengan pelarut dan lama
ekstraksi terhadap mutu ekstrak
sambiloto (Andrographis panicu-
lata Nees). Prosiding Seminar
Nasional dan Pameran Tumbuhan
Obat Indonesia. Vol. XXVIII.
Sinambela, J.M., 2003. Standardisasi
Sediaan Obat Herba. Seminar
Tumbuhan Obat Indonesia XXIII.
Universitas Pancasila, 25-26 Maret.
Jakarta.
Subandrio, T. Dan I.A. Irastina Danur,
1996. Iradiasi pangan dan aplika-
sinya pada jamu dan tumbuhan
obat. Warta Tumbuhan Obat Indo-
nesia. Penerbit Kelompok Kerja
Nasional Tumbuhan Obat Indo-
nesia. Vol. 3 No. 1. hal. 4-6.
Sumaryono, W., 1996. Teknologi pem-
buatan sediaan fitofarmaka skala
industri. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia. Kelompok Kerja Nasio-
nal Tumbuhan Obat Indonesia.
Jakarta. Vol. 3 No. 1. hal. 6-9.
Suryandari, S., 1981. Pengambilan
oleoresin jahe dengan cara solvent
extraction, BBIHP, Bogor.
Utoro, H., 1992. Prospek dan pengem-
bangan jamu di Indonesia. Skripsi
pada Jurusan Ilmu-ilmu sosial
ekonomi pertanian. Fakultas Per-
tanian. IPB. Bogor.
Vijesekera, R.O.B., 1991. Plant derived
medicines and their role in global
health. In the medicinal plant
industry. CRC press. Florida, USA.
p. 1-18.
Winarto, W.P., 2003. Sambiloto, Budi-
daya dan Pemanfaatan untuk Obat.
Penebar Swadaya. Jakarta.