5_Isi Jilid I

252
39 PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN SEHAT DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Fachrur Rozi dan Ruly Krisdiana Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang ABSTRAK Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur dan pelaksanaannya bulan Juli-September 2005. Jumlah responden total adalah 100 orang dengan distribusi secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri). Analisis data disajikan dalam bentuk grafis dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan lebih 85% dari responden menyatakan ubijalar ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) lebih baik untuk atribut rasa manisnya dibanding ubijalar yang sudah ada di pasaran. Sedang atribut warna ungu, mencapai hampir 80% memberikan respon pada ketertarikan warnanya. Dari segi produktivitas hasil, lebih dari separuh jumlah responden produsen menyatakan ubijalar ungu mempunyai produktivitas lebih baik dari ubi yang ada di pasaran. Perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi dari harga ubijalar biasa, Demikian pula, produsen memberikan perbedaan harga berkisar Rp 190-270. Manfaat ekonomi atau keuntungan mengusahakan ubijalar ungu sangat menarik dengan tingkat pengembalian untuk berinvestasi (marginal rate of return/MRR) sebesar 350,28% jauh diatas bunga bank. Disamping itu berdampak sosial yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dengan dikonsumsinya makanan sehat yang mengandung antioksidan. Kata kunci : ubijalar, daging ungu, makanan sehat, ketahanan pangan PENDAHULUAN Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan citarasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati ( Suda I et al, 2003). Di Jepang, ubijalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah. Juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yoshinaga M, 1995). Pigmen antosianin pada ubijalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena itu, beberapa industri pewarna dan minuman berkarbonat telah menggunakan ubijalar berwarna ungu sebagai bahan baku produknya. Demikian pula, industri ice cream, minuman beralkohol, pie dan roti. Pengamatan di lapang yang banyak kita temui adalah ubijalar warna daging putih, kuning maupun orange. Oleh karena itu, peluang ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Menurut Yusuf (2003) saat ini ada dua varietas introduksi dari Jepang yang telah diusahakan secara komersial yaitu Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki yang warna daging umbinya sangat gelap dengan potensi hasil 15-20 t/ha dengan. Disamping itu Balitkabi juga memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas 1-2 tahun mendatang. Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 yang potensi hasilnya tinggi (22,5 27,5 t/ha) dengan bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%).

description

ubi

Transcript of 5_Isi Jilid I

  • 39

    PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN SEHAT DALAM

    MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

    Fachrur Rozi dan Ruly Krisdiana

    Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang

    ABSTRAK

    Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat

    kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya.

    Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah

    tinggi. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu.

    Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan di Jawa

    Timur dan pelaksanaannya bulan Juli-September 2005. Jumlah responden total adalah 100 orang dengan distribusi secara

    proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan

    10% pengolah (industri). Analisis data disajikan dalam bentuk grafis dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan lebih 85% dari responden menyatakan ubijalar ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU

    01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) lebih baik untuk atribut rasa manisnya dibanding ubijalar yang sudah ada

    di pasaran. Sedang atribut warna ungu, mencapai hampir 80% memberikan respon pada ketertarikan warnanya. Dari segi

    produktivitas hasil, lebih dari separuh jumlah responden produsen menyatakan ubijalar ungu mempunyai produktivitas lebih baik dari ubi yang ada di pasaran. Perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi

    dari harga ubijalar biasa, Demikian pula, produsen memberikan perbedaan harga berkisar Rp 190-270. Manfaat ekonomi

    atau keuntungan mengusahakan ubijalar ungu sangat menarik dengan tingkat pengembalian untuk berinvestasi (marginal

    rate of return/MRR) sebesar 350,28% jauh diatas bunga bank. Disamping itu berdampak sosial yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dengan dikonsumsinya makanan sehat yang mengandung antioksidan.

    Kata kunci : ubijalar, daging ungu, makanan sehat, ketahanan pangan

    PENDAHULUAN

    Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung

    resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita

    perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis

    umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi

    aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi.

    Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka

    tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak

    diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan citarasa

    yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh.

    Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna

    daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi

    kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan

    fungsi hati ( Suda I et al, 2003). Di Jepang, ubijalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna

    alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam

    darah. Juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung

    koroner (Yoshinaga M, 1995). Pigmen antosianin pada ubijalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil

    bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena itu, beberapa industri pewarna dan

    minuman berkarbonat telah menggunakan ubijalar berwarna ungu sebagai bahan baku produknya. Demikian

    pula, industri ice cream, minuman beralkohol, pie dan roti.

    Pengamatan di lapang yang banyak kita temui adalah ubijalar warna daging putih, kuning maupun

    orange. Oleh karena itu, peluang ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi memiliki prospek yang sangat

    baik untuk dikembangkan. Menurut Yusuf (2003) saat ini ada dua varietas introduksi dari Jepang yang telah

    diusahakan secara komersial yaitu Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki yang warna daging umbinya sangat

    gelap dengan potensi hasil 15-20 t/ha dengan. Disamping itu Balitkabi juga memiliki tiga klon harapan

    ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas 1-2 tahun mendatang. Klon-klon

    tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 yang potensi hasilnya tinggi (22,5 27,5 t/ha) dengan bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%).

  • 40

    Sejauh ini, pemanfaatan ubijalar berwarna daging ungu di Indonesia masih terbatas pada beberapa

    jenis produk pangan saja inipun dalam jumlah kecil, paling banyak dijumpai di pasaran adalah kripik. Untuk

    itu, diperlukan sosialisasi dan promosi keunggulan dari produk ubijalar ini. Oleh karena itu, penelitian

    ini perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi dan pengembangan agroindustri ubijalar

    sekaligus membuka peluang pasar untuk produk-produk olahannya.

    METODOLOGI

    Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang-Jawa Timur. Pemilihan

    daerah tersebut didasarkan pada potensi wilayah yang memungkinkan dapat dikembangkan dan dipasarkan

    produk yang ditawarkan. Pelaksanaan penelitian bulan Juli-September 2005.

    Responden dikelompokkan atas produk yang ditawarkan kepada mereka yaitu ubijalar daging ungu.

    Penarikan sample dilakukan dengan stratified random sampling atas dasar pelaku dalam pengguna produk.

    Jumlah responden masing-masing wilayah 50 responden, sehingga total adalah 100 orang. Distribusi

    responden secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40%

    produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri).

    Data yang dikumpulkan meliputi analisa usahatani dan opini, persepsi dan respon dari responden.

    Analisis data disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu

    Balitkabi memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi

    untuk dilepas tahun depan (2007). Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU

    01016-19. Perbedaan dari ketiga jenis tersebut adalah tampilan warna ungu. Kepekatan warna ungu selain

    beda kandungan antosianin juga untuk tujuan penggunaan produk olahan (Yusuf, M et al, 2003).

    Beberapa potensi dan keunggulannya klon ubijalar ungu, antara lain:

    Tabel 1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu

    Aspek produksi: Aspek Pangan:

    Umur panen : 120 hst (areal dataran rendah)

    135 hst (areal dataran sedang)

    180 hst (areal dataran tinggi)

    Produktivitas : 22,5 27,5 t/ha

    Bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%)

    Ukuran umbi : panjang 14 cm

    diameter 7 cm

    Warna kulit umbi: merah tua

    Warna daging umbi: ungu tua

    Tahan penyakit kudis (Spaceloma batacas SP)

    Produk makanan ringan: kripik

    Produk antara: tepung

    Produk akhir: mie, es krim, bakpao, dan kue-kue.

    Aspek mikro nutrien: Aspek Kesehatan

    Rasa enak manis

    Sebagai zat pewarna alami untuk makanan

    Mengandung Antosianin tinggi 3,5%

    Penawar racun, membantu menyerap kelebihan lemak

    dalam darah, menghalangi munculnya sel kanker, men-cegah sembelit, dan baik untuk penderita jantung

    koroner.

    2. Respon Produsen Ubijalar Ungu

    a. Aspek Teknis

    Kajian persepsi petani produsen dengan melihat lima faktor yang diperkirakan dapat menjadi dasar

    penilaian petani. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat produktivitas yang dicapai, kebutuhan biaya, resiko

    kegagalan dalam pengelolaan, umur yang pendek, dan kemudahan dalam pemeliharaan (budidaya).

    Sedangkan dasar penilaian petani terhadap ubijalar berdaging ungu yang ditawarkan adalah dengan

    memberikan respon lebih baik, lebih jelek atau sama saja dibanding jenis ubijalar yang biasa petani

    usahakan.

  • 41

    Prinsip produsen (petani) mengusahakan tanaman yang menguntungkan dan mudah dalam penjualan.

    Persepsi petani dengan melihat tampilan fisik ubijalar ungu hasil dari Balitkabi, maka 58% menyatakan lebih

    baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar nantinya. Lain halnya dengan

    ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar belum diketahui dengan pasti,

    persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel sama saja dengan ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi. Faktor-faktor yang lain selain produktivitas dianggap

    sama saja oleh petani dengan ubi yang biasa. Perlu dicermati bahwa respon untuk variabellebih jelek mempunyai nilai rendah (< 27%), hal ini dapat disimpulkan sesungguhnya petani bisa menerima ubijalar

    ungu tersebut hanya saja kejelasan pasar perlu petani diyakinkan.

    Gambar 1. Respon produsen terhadap ubijalar ungu

    b. Aspek Ekonomis

    Tingkat harga merupakan tolok ukur petani (produsen) dalam memperoleh pendapatan dari

    usahatani ubijalar. Harga per satuan yang tinggi akan mencerminkan juga tingginya pendapatan yang

    diperoleh. Kelebihan-kelebihan lain dari ubijalar ungu tidak banyak menarik petani seperti warna, kandungan

    gizi dan ukuran karena selama ini ubijalar banyak dijual ke industri saos. Harga ubijalar biasa yang ada di

    tingkat petani (putih atau kuning) Rp 600,- per kg. Dengan melihat fisik ubijalar ungu yang akan

    di launching di lapang, petani berani memberikan perbedaan kenaikan tingkat harga rata-rata Rp 192,- per kg atau 32% dari harga ubi biasa. Dengan begitu penerimaan petani terhadap ubijalar ungu dengan

    menetapkan tingkat harga berkisar Rp 790-800,- per kg.

    3. Respon Konsumen Ubijalar Ungu

    a. Aspek Fisik

    Beberapa faktor yang umumnya dijadikan pertimbangan dalam memilih atau menentukan barang

    kebutuhan khususnya pangan yaitu rasa, warna, ukuran, dan kandungan gizi. Dalam proses pemasaran hasil

    faktor-faktor tersebut sangat menentukan karena berkaitan dengan sifat atau kecenderungan pembeli untuk

    memilih.

    Dalam era globalisasi dan pesatnya informasi, konsumen memilih barang untuk dibeli tidak hanya

    mempertimbangkan harga murah, tetapi kemanfaatan untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Komoditas

    pangan misalnya selain murah, barang tersebut harus mampu memberikan nilai lebih, misalnya kebutuhan

    kesehatan tubuh yang tercermin dari kandungan gizi. Klon ubijalar ungu yang akan di launching ke pasaran memperoleh respon dari konsumen cukup baik. Pada Gambar 2. menunjukkan bahwa 93% responden

    menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun

    orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut, disamping

    rasa manis cukup terasa dan keunikan warna ungunya (

  • 42

    Gambar 2. Respon konsumen terhadap ubijalar ungu

    b. Aspek Ekonomis

    Dalam kehidupan modern, filosofi makan telah mengalami pergeseran, dimana makan bukanlah

    sekedar untuk kenyang, tetapi juga untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran optimal. Seiring dengan

    makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap

    bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang

    bercita rasa dan penampilan menarik, tetapi juga yang mempunyai komposisi (kandungan) gizi yang baik.

    Dengan pertimbangan karakteristik produk pangan yang dimaui konsumen demikian, maka faktor

    harga bukan menjadi alternatif (patokan) utama dan satu-satunya. Sebagai contoh ekspektasi (harapan)

    tingkat harga yang diberikan oleh konsumen pada ubijalar ungu lebih tinggi dari yang diberikan oleh

    produsen. Dalam teori, konsumen menginginkan harga yang serendah mungkin dan produsen menginginkan

    harga setinggi mungkin. Tetapi dalam kasus ini tidak demikian adanya. Tingkat harga ubijalar ungu yang

    diberikan oleh konsumen adalah berkisar Rp 1000,- per kg lebih tinggi dengan kemauan harga oleh produsen.

    Besarnya perbedaannya berkisar antara Rp 300-400. Pertimbangan khusus lagi berkaitan dengan karakteristik

    produk yang dimaui konsumen yaitu adanya perbedaan antara tingkat harga antara ubijalar biasa (daging

    putih atau kuning) dengan ubijalar ungu. Besarnya perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar

    Rp 200-350 lebih tinggi ubijalar ungu.

    4. Keunggulan Ekonomis Usahatani Ubijalar Ungu

    Pada Tabel 2. menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat menarik bila

    mengusahakan ubijalar ungu. Teknologi yang dibutuhkan adalah menggunakan varietas ubijalar ungu dari

    Balitkabi tersebut, dengan menambah komponen pemupukan urea 100 kg/ha, SP-36 sebesar 100 kg/ha, dan

    KCl sebesar 100 kg/ha. Petani biasanya hanya menggunakan pupuk kandang dalam budidaya ubijalar,

    sehingga hasil kurang optimal. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan pupuk) tersebut

    berjumlah Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar atau

    peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh.

    Dalam suatu analisa usaha, secara teoritis kelayakan ekonomi dinyatakan bisa diterima atau go bila B/C bernilai 2. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat memenuhi kriteria tersebut. Disamping itu

    mempunyai tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%. Dari suatu usaha

    dibidang pertanian yang riskan terhadap resiko, maka nilai tersebut cukup besar. Artinya apabila

    menginvestasikan dana sebesar 1 juta rupiah, maka akan dapat pengembalian usaha dari nilai manfaatnya

    sebasar 3,5 juta rupiah.

    Rasanya Warna Ukuran Kand. Gizi Secara Umum

    0

    20

    40

    60

    80

    100Persentase (%)

    Lebih baik Lebih jelek Sama saja

  • 43

    Tabel 2. Analisa Usahatani Ubijalar

    Struktur analisis per ha Ubijalar Non ungu Ubijalar ungu

    Nilai manfaat:

    Hasil bersih (t/ha) Harga petani (Rp)

    Penerimaan kotor (Rp)

    10 600

    6.000.000

    22,5 790*)

    17.775.000

    Biaya variable (dalam perbedaan perlakuan):

    1. Benih Jumlah (stek)

    Harga (Rp/stek) Biaya benih (Rp)

    2. Pupuk Urea Jumlah (kg)

    Harga (Rp/kg) Biaya pupuk urea (Rp)

    3. Pupuk SP-36 Jumlah (kg)

    Harga (Rp/kg) Biaya pupuk SP-36 (Rp)

    4. Pupuk K Cl Jumlah (Kg)

    Harga (Rp/kg) Biaya pupuk K Cl (Rp)

    5. Aplikasi tenaga kerja pemupukan Jumlah (hok)

    Upah (Rp/hok) Biaya pemupukan (Rp)

    Biaya variable (dalam perlakuan yang sama):

    6. Pupuk kandang Jumlah (Kg)

    Harga (Rp/kg)

    Biaya pupuk kandang (Rp)

    7. Aplikasi tenaga kerja (olah tanah, tanam, pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit, panen) Jumlah (hok)

    Upah (Rp/hok)

    Biaya tanam (Rp)

    Total biaya (Rp)

    -

    - -

    -

    - -

    -

    - -

    -

    - -

    -

    - -

    480

    50

    240.000

    276

    10.000

    2.760.000

    3.000.000

    40.000

    50 2.000.000

    100

    1350 135.000

    100

    2000 200.000

    100

    2200 220.000

    6

    10.000 60.000

    480

    50

    240.000

    276

    10.000

    2.760.000

    5.615.000

    Nilai manfaat (keuntungan) (Rp)

    B/C rasio

    Marginal rate of return/MRR (%)

    3.000.000

    1,00

    -

    12.160.000

    2,16

    350,28%

    Keterangan: * estimasi harga dari kesanggupan konsumen membayar ubijalar ungu (willingness to pay)

    5. Keunggulan Sosial Terhadapkesehatan Masyarakat

    Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila

    dimungkinkan pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu.

    Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional food) yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan

    masyarakat dunia. Ubijalar berdaging warna ungu adalah termasuk dalam pangan fungsional. Dengan

    kandungan antosianin yang dipunyai mengandung antioksidan yang sangat diperlukan oleh tubuh kita.

    Dari laporan FDA, US Departement of Health and Human Service dalam Puspa Jofi (2002) bahwa

    di Amerika, Jepang dan Eropa, saat ini bahan pangan (makanan dan minuman) fungsional (functional food)

    sangat digemari masyarakat. Penjualan produk-produk bahan pangan fungsional di pasar mengalami

    peningkatan yang signifikan. Pasar bahan pangan fungsional di Amerika pada tahun 2001 telah mencapai

    18,9 milliar US$ atau sebesar 4% dari total pasar produk-produk makanan dan minuman konvensional. Di

    Jepang besarnya pasar produk-produk bahan pangan fungsional telah mencapai 19,5 milliar US$ dan di

    Eropa Barat sebesar 17,5 miliar US$. Bahan pangan fungsional di Jepang dikenal dengan FOSHU (Food for

    Specified Healthy Use), sedang di Eropa diusulkan dengan nama FUFOSU (Functional Foods Scientific in

    Europe) dan di Kanada dikenal dengan nama Nutraceutical.

    Warna ungu dari ubijalar dapat diolah sebagai pewarna alami untuk makanan (food colour),

    sehingga menjadikan makanan bebas dari zat-zat kimia. Disamping itu, tampilan makanan seperti pada

    pembuatan ice cream dari ubijalar yang sudah mulai diproduksi dengan pewarna ungu akan menambah daya

    tarik pembeli (konsumen). Demikian juga dengan aneka kue dan produk makanan lain selain cita rasa,

  • 44

    penampilan yang menarik juga menjadikan peningkatan dalam kesehatan tubuh disebabkan oleh kandungan

    gizinya. Sehingga dapat disimpulkan dalam konsep ketahanan pangan bahwa Indonesia juga mempunyai

    peluang yang sangat besar untuk mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar

    dengan berbasis pada sifat-sifat fungsionalnya.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Ubijalar berdaging warna ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan

    MSU 01016-19) dapat diterima oleh masyarakat. Pada karakteristik konsumen menyatakan 93% responden

    menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun

    orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut dan rasa

    manis cukup terasa, sedangkan dari keunikan warna ungunya mendapatkan respon hampir 80%. Produsen

    belum memberikan respon lebih dibanding konsumen karena belum jelasnya pasar dari ubijalar ini, maka

    hanya 58% menyatakan lebih baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar

    nantinya. Lain halnya dengan ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar

    belum diketahui dengan pasti, persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel sama saja dengan ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi.

    Dilihat dari aspek produksi, menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat

    menarik bila mengusahakan ubijalar ungu. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan

    pemupukan) sebesar Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar

    atau peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat

    mempunyai nilai B/C sebesar 2,16, berarti memenuhi kriteria kelayakan usaha. Disamping itu mempunyai

    tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%.

    Dalam konsep ketahanan pangan, Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk

    mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar dengan berbasis pada sifat-sifat

    fungsionalnya dalam memberikan peningkatan kesehatan pada masyarakat.

    Perlu ada sosialisasi yang inten oleh peneliti memperkenalkan keunggulan ubijalar ungu pada semua

    stakeholders, dan dibangun kerjasama yang sinergis antara Balit sebagai penghasil varietas dari ubijalar ungu

    kaya antosianin dengan BPTP selaku pengguna teknologi sesuai dengan tupoksi, sehinga tugas dan

    kewajiban masing-masing terprogram.

    DAFTAR PUSTAKA

    Puspa Jofi.2002. Functional Food: Definitions, Legal aspects, Market and Studies; Internal Paper, university

    Justus Liebig-Giesen.

    Suda I, Tomoyuki OKI, Mami MASUDA, Mio KOBAYASHI, Yoichi NISHIBA and Shu FURUTA.

    Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their

    Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July 2003.

    JIRCAS. Japan.

    Yashinaga, M. 1995. New Cultivar Ayamurasaki for Colorant Production. Sweetpotato Res. Front, 1,2. In : Suda I et al. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins

    and Their Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July

    2003. JIRCAS. Japan.

    Yusuf, M. St. A. Rahayuningsih, dan Suluh Pambudi 2003. Pembentukan Varietas Unggul Ubijalar Produksi

    Tinggi yang Memiliki Nilai Gizi dan Komersial Tinggi. Laporan Teknis. Balitkabi-2003.

  • 45

    REKLAMASI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DENGAN PUPUK FOSFOR DAN BAHAN

    ORGANIK DI SUMATERA UTARA

    Ali Jamil, Darwin Harahap, Siti Maryam, dan M. Prama Yufdy

    Peneliti pada BPTP Sumatera Utara

    ABSTRAK

    Status kesuburan tanah yang rendah terdapat pada hampir semua lahan sawah tadah hujan karena pertanaman

    terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara alami. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi sebagai upaya

    mereklamasi lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Percobaan telah dilakukan sejak bulan Juni hingga Oktober,

    2004. Perlakuan terdiri dari kombinasi 0; 30; 60; dan 90 kg P2O5 per ha dan 0; 3; dan 6 ton pupuk kandang sapi per ha.

    Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dalam bentuk faktorial dengan beberapa sifat tanah sebagai parameter yang diukur dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penggunaan pupuk fosfor dan pupuk

    kandang sapi nyata meningkatkan ketersediaan hara fosfor tersedia, karbon organik tanah, dan air tersedia dalam tanah.

    Sementara itu, kedua perlakuan menurunkan nilai retensi fosfor tanah. Disimpulkan bahwa, kedua perlakuan baik

    pemakaian fosfor maupun pupuk kandang sapi berpengaruh positif terhadap upaya reklamasi tingkat kesuburan tanah, khususnya pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Secara umum pemberian 90 kg P2O5 per ha dan 6 ton per ha

    pupuk kandang sapi memberikan nilai kandungan hara paling besar dibandingkan perlakuan lainnya.

    Kata kunci : reklamasi, lahan sawah, tadah hujan, fosfor, bahan organik, Sumatera Utara

    PENDAHULUAN

    Sistem lahan sawah tadah hujan mencakup sekitar 37 juta ha yang diperkirakan sekitar 1/3 total area

    yang ditanami padi di dunia (IRRI, 1997). Karena ketersediaan air yang fluktuatif, maka kondisi secara

    hydrologi sangat bervariasi dari tergenang sempurna tanaman padi hingga kekeringan dimana hal ini sering

    terjadi dalam musim yang sama. Ketergantungan terhadap curah hujan membuat system usahatani pada lahan

    sawah tadah hujan ini tidak terprediksi dengan tingkat kemungkinan gagal pertanaman yang sangat besar.

    Tanah bertekstur liat yang kaya dengan sesquioksida seperti Ultisol, Oxisol, dan juga sulfat masam, gambut

    dan tanah-tanah sodik di dalam dasar pembentukan mereka mempunyai kadar P-tersedia rendah dan

    mempunyai kapasitas mengadsorpsi fosfor yang besar (Singh dan Sovyanhadi, 1998). Oleh karena

    pertanaman yang intensif, bahan organik tanah telah terkuras sehingga akhirnya menurunkan tingkat

    kesuburan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah adalah solusi yang terbaik untuk mengatasi

    penurunan tingkat kesuburan tanah.

    Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia penghasil beras. Di Sumatera Utara

    terdapat 89.395 ha lahan sawah tadah hujan yang ditanami dua kali setahun dan 91.362 ha ditanami hanya

    sekali setahun (BPS Sumatera Utara, 2004). Rataan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan di

    Sumatera Utara menurut Erythrina dkk. (2001) adalah sekitar 4,15 t ha-1

    . Berdasarkan kondisi tersebut di

    atas, diperlukan upaya reklamasi melalui pemakaian pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi untuk

    pengembangan produktivitas sistem tanam berbasis padi di lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara

    khususnya di Kabupaten Langkat.

    BAHAN DAN METODE

    Percobaan dilakukan pada musim kering dari bulan Juni-Oktober 2004 pada lahan sawah tadah hujan

    di Desa Suka Makmur, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada ketinggian 28 m di atas

    permukaan laut dengan rataan curah hujan tahunan sekitar 2,462 mm. Lokasi percobaan didominasi oleh

    jenis tanah Albaquult (Adiwiganda, 1990; Soil Survey Staff, 1998).

    Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dalam bentuk factorial dengan dua faktor

    dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan pupuk fosfor dalam bentuk SP-36 (36% P2O5)

    sebanyak empat tingkat yaitu berturut-turut: P1, P2, P3, dan P4 dengan dosis yaitu 0, 30, 60, dan 90 kg ha-1

    P2O5. Perlakuan kedua adalah pemakaian bahan organik dalam hal ini digunakan pupuk kandang sapi sebagai

    sumber bahan organik pada tiga tingkatan dosis O1, O2, dan O3 yaitu berturut-turut adalah 0, 3, dan 6 t ha-1

    .

    Ukuran plot adalah 5 m x 6 m dan ulangan (blok) serta masing-masing blok dipisahkan dengan pematang

    pada jarak berturut-turut adalah 1,0 m dan 0,5 m untuk memudahkan operasional di lapangan. Dua belas

    kombinasi perlakuan fosfor dan bahan organik (pukan sapi) adalah sebagai berikut: P0O0, P0O1, P0O2, P1O0,

  • 46

    P1O1, P1O2, P2O0, P2O1, P2O2, P3O0, P3O1, dan P3O2. Pemupukan kalium sebagai pupuk dasar telah

    diaplikasikan pada saat tanam pindah (0 HST) dengan dosis 50 kg KCl ha-1

    . N (kg N ha-1

    ) diberikan sebagai

    berikut: 20 sebagai dasar, 30 pada awal pembentukan anakan (14-20 HST), 25 pada pertengahan

    pembentukan anakan (30-35 HST), dan 45 pada fase pembentukan malai (40-45 HST). Pupuk fosfor

    diberikan pada saat tanam dan bahan organik (pukan sapi) diberikan dua minggu sebelum tanam. Parameter

    yang diukur pada percobaan ini terdiri dari kandungan air tersedia tanah, kandungan P tersedia tanah (Bray-

    2), retensi P tanah, dan kandungan karbon organik. Contoh tanah diambil secara komposit dari lima sub

    contoh dijadikan menjadi satu contoh komposit per plot untuk dianalisa sifat fisika maupun kimianya.

    Pengambilan contoh tanah dan analisa sifat tanah ini dilakukan pada awal sebelum percobaan dimulai,

    kemudian setiap 20 hari sekali sejak 15 HST hingga setelah panen padi (15, 35, 55, 75, 95, dan 105 HST).

    Data dianalisis dengan menggunakan SAS program. Analisis covariance (ANACOVA) telah digunakan

    untuk menguji pengaruh perbedaan perlakuan terhadap parameter tanah dengan menggunakan prosedur

    seperti dikemukakan Steel dan Torrie (1980) dan Gomez dan Gomez (1983).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Sifat Tanah dan Bahan Organik yang Digunakan pada Lokasi Percobaan

    Untuk membahas sifat awal dari tanah lokasi percobaan, digunakan kriteria penilaian kandungan

    hara dalam tanah seperti yang dikemukakan oleh Hardjowigeno (2003). Tanah pada areal percobaan

    mempunyai kandungan hara P-tersedia sangat rendah (4,2-4,7 ppm), kandungan C-organik juga tergolong

    sangat rendah (0,35-0,38%), kapasitas tukar kation tergolong ke dalam kriteria sedang (22,7-22,9 cmol (+)

    kg-1

    ). Kerapatan lindak berkisar 1,13-1,20 g cm-3

    , dan kandungan air tersedia yang diukur sebagai selisih

    antara kandungan air pada kapasitas lapang dengan kandungan air pada titik layu permanent adalah berkisar

    0,2-11,9%. Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum penelitian dilakukan, tanah pada lokasi percobaan

    memiliki status hara P tersedia yang sangat rendah, kandungan karbon organik juga sangat rendah. KTK

    tergolong sedang. Dibandingkan dengan sifat awal tanah sebelum percobaan dimulai, maka pemakaian

    kedua P dan bahan organik (pukan sapi) meningkatkan ketersediaan P dalam tanah, kandungan C-organik

    tanah, dan kadar air tersedia sekitar berturut-turut 102%, 197%, dan 83%. Sementara itu, pemakaian kedua P

    dan bahan organik menurunkan kerapatan lindak sekitar 9%.

    Pupuk kandang sapi telah digunakan sebagai sumber bahan organik pada percobaan ini yang

    diperoleh dari desa Lubuk Bayas, Kabupaten Deli Serdang. Sub contoh telah diambil dan dijadikan satu

    contoh komposit untuk dianalisa kandungan haranya sebelum diperlakukan ke lapang. Secara rata-rata, pukan

    sapi yang digunakan pada percobaan ini mengandung 1,04% N-total dan 20,6% C-organik sehingga

    memberikan nilai C/N 19,8. Disamping itu, kandungan P, K, Ca, dan Mg berturut-turut adalah 0,30; 1,24;

    1,62; dan 0,52%.

    Sifat Tanah sebagai Pengaruh Perbedaan Perlakuan

    Fosfor tersedia. Pemakaian kedua fosfor dan bahan organik secara nyata (P

  • 47

    (Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg P2O5 ha-1

    . esemuanya ini

    mempunyai peran dalam peningkatan kadar P tersedia dalam tanah.

    Retensi fosfor dalam tanah. Secara umum, penggunaan pupuk P dan bahan organik tidak

    berpengaruh secara nyata terhadap retensi P dalam tanah, kecuali untuk dua pengamatan terakhir yaitu 95 dan

    105 HST adalah nyata berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk meretensi P dalam tanah (Tabel 2).

    Pukan sapi yang digunakan dalam percobaan ini mengandung nilai C/N rasio sedang (sekitar 20), dimana hal

    ini memiliki kontribusi terhadap peningkatan maupun perbaikan kesuburan tanah. Gobat dkk. (2004)

    mengemukakan bahwa, nilai indeks yang baik dari kialitas pukan sapi adalah rasio C terhadap N. Nilai C/N

    yang tinggi (25-30) sebagai bukti bahwa bahan organik tersebut belum melapuk secara sempurna. Dengan

    adanya penambahan bahan organik ke dalam tanah diperkirakan akan menurunkan daya retensi tanah

    terhadap P melalui mekanisme reaksi asam-asam organik sebagai hasil pelapukan bahan organik dimaksud

    yang lebih reaktif terhadap logam-logam pemfiksasi P dalam tanah.

    Kandungan karbon organik dalam tanah. Pemakaian kedua P dan bahan organik nyata

    meningkatkan kandungan karbon organik tanah dan juga meningkat dengan waktu (Tabel 3). Peningkatan

    karbon organik tanah karena peningkatan pemakaian P dari 0 ke 90 kg P2O5 ha-1

    adalah sekitar 11%-27%.

    Pengaruh pukan sapi lebih jelas, dimana rataan peningkatan C-organik dari sekitar 24% dan 50% bila

    diberikan 3 ke 6 t ha-1

    pukan sapi. Interaksi nyata antara penggunaan P dan bahan organik hanya terdapat

    pada pengukuran pertama, dimana hal ini lebih respon terhadap pemakaian bahan organik khususnya pada

    dosis tanpa pemberian P (P0).

    Rata-rata peningkatan dari C-organik tanah adalah sekitar 27% bila diberikan 90 kg P2O5 ha-1

    .

    Pemakaian pukan sapi 6 t ha-1

    meningkatkan C-organik sekitar 54% (0.86-1,32%) pada 95 HST. Interaksi

    yang nyata juga diamati antara P dan pukan sapi adalah disebabkan lebih tingginya respon C-organik dalam

    tanah terhadap pemakaian pukan sapi, khususnya dengan ketiadaan P (P0).

    Tabel 1. Fosfor Tersedia Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P

    dan Bahan Organik

    Perlakuan

    Hari Setelah Tanam

    15 35 55 75 95 105

    ---------------------------------------------- ppm --------------------------------------------

    P0 O0 4,67 4,86 5,83 6,18 5,57 4,83

    O1 5,13 5,89 6,92 7,66 6,98 5,93

    O2 5,90 6,92 7,97 9,38 7,95 7,01

    Rataan 5,23 5,89 6,91 7,74 6,84 5,92

    P1 O0 5,07 5,93 6,61 7,98 6,58 5,85

    O1 5,47 6,90 8,39 8,64 8,33 6,93

    O2 6,24 7,94 9,08 9,82 9,26 8,23

    Rataan 5,59 6,92 8,03 8,81 8,06 7,00

    P2 O0 6,47 7,14 8,78 8,90 8,74 6,89

    O1 6,76 7,91 9,14 9,93 9,46 8,01

    O2 7,07 9,88 10,72 11,74 10,79 9,71

    Rataan 6,77 8,31 9,55 10,19 9,66 8,20

    P3 O0 5,09 6,40 8,34 8,84 8,37 6,65

    O1 5,71 7,65 8,98 9,42 9,00 7,47

    O2 6,23 8,96 10,03 10,54 10,15 8,35

    Rataan 5,68 7,67 9,12 9,60 9,17 7,49

    Pukan sapi Rataan

    O0 5,32 6,08 7,39 7,97 7,32 6,06

    O1 5,77 7,09 8,36 8,91 8,44 7,08

    O2 6,36 8,42 9,45 10,37 9,54 8,32

    Rataan 5,82 7,20 8,40 9,08 8,43 7,15

    Significance P *** *** *** *** *** ***

    O *** *** *** *** *** ***

    P x O tn *** * tn *** ***

    LSD05 P 0,15 0,17 0,24 0,15 0,12 0,14

    O 0,13 0,15 0,21 0,14 0,10 0,12

    P x O - 0,29 0,42 - 0,20 0,24

    CV (%) 2,26 2,39 3,13 1,58 1,41 1,98

    tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.

  • 48

    Penggenangan secara terus menerus dalam system padi-padi secara umum berhubungan dengan

    peningkatan kandungan C-organik tanah (Nambiar, dkk.,1992 dalam Hedge 1996). Fraksi koloid, yang

    mengandung kedua liat dan humus dari pukan sapi, dikenal sebagai tempat berlangsungnya aktifitas kimia

    dalam tanah, termasuk kapasitas untuk pertukaran ion dalam tanah (Brady dan Weil, 2002). Untuk tanah-

    tanah liat, bahan organik tanah memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan KTK tanah (Weil

    dan Magdoff, 2004).

    Kandungan air tersedia. Kedua pemakaian P dan bahan organik nyata meningkatkan kadar air

    tersedia dalam tanah (Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg

    P2O5 ha-1

    .

    Tabel 2. Retensi Fosfor Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P

    dan Bahan Organik

    PERLAKUAN

    Hari Setelah Tanam

    15 35 55 75 95 105

    ----------------------------------------------- % -----------------------------------------------

    P0 O0 16.05 15.82 15.80 15.57 15.28 14.60

    O1 15.58 15.67 15.72 15.53 14.63 14.34

    O2 15.14 15.29 15.12 15.24 14.17 13.87

    Rataan 15.59 15.59 15.55 15.45 14.69 14.27

    P1 O0 16.10 15.85 15.88 15.86 16.01 15.54

    O1 15.77 15.98 15.77 15.78 15.24 15.13

    O2 15.37 15.51 15.49 15.55 14.77 15.10

    Rataan 15.75 15.78 15.71 15.73 15.34 15.26

    P2 O0 16.04 15.95 15.91 15.98 16.06 16.10

    O1 15.80 15.94 15.87 15.73 15.82 15.37

    O2 15.92 15.71 15.73 15.72 15.36 15.34

    Rataan 15.92 15.87 15.84 15.81 15.74 15.60

    P3 O0 16.11 15.99 15.96 15.98 16.97 17.27

    O1 15.80 15.67 15.60 16.10 16.18 15.49

    O2 16.11 16.04 16.22 15.88 15.42 15.30

    Rataan 16.00 15.90 15.92 15.99 16.19 16.02

    Pukan sapi Rataan

    O0 16.07 15.90 15.89 15.85 16.08 15.88

    O1 15.74 15.81 15.74 15.79 15.47 15.08

    O2 15.63 15.64 15.64 15.60 14.93 14.90

    Rataan 15.82 15.78 15.75 15.74 15.49 15.29

    Significance P tn tn tn tn *** ***

    O * tn tn tn *** ***

    P x O tn tn tn tn tn tn

    LSD05 P - - - - 0.53 0.50

    O 0.28 - - - 0.46 0.43

    CV (%) 2.11 2.15 2.39 4.87 3.46 3.35

    tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.

    Pemakaian bahan organik juga meningkatkan kandungan air tersedia dalam tanah sampai sekitar 30-

    33%. Interaksi antara P dan pukan sapi juga nyata kecuali pada pengukuran 15 HST dan 105 HST. Interaksi

    ini utamanya disebabkan oleh respon yang lebih tinggi oleh air tersedia terhadap pemakaian bahan organik

    ketika dikombinasikan dengan level dosis tertinggi dari pemakaian P (P3). Kecenderungan umum juga

    bahwa kandungan air tersedia tanah meningkat dengan waktu (6-12%) sampai 95 HST. Kandungan air

    tersedia meningkat dengan penambahan kedua P sampai 90 kg ha-1

    P2O5) dan pukan sapi (sampai 6 t ha-1

    )

    adalah berturut-turut sekitar 34% dan 33%.

  • 49

    Tabel 3. Perubahan Karbon Organik Tanah pada Waktu Pengukuran yang Berbeda Setelah Tanam Akibat Perlakuan P

    dan Bahan Organik

    PERLAKUAN

    Hari Setelah Tanam

    15 35 55 75 95 105

    ------------------------------------------------------ % ------------------------------------------------------

    P0 O0 0.51 0.57 0.62 0.76 0.78 0.63

    O1 0.76 0.78 0.81 0.86 1.04 0.89

    O2 0.82 0.96 0.97 1.01 1.20 1.17

    Rataan 0.70 0.77 0.80 0.88 1.01 0.90

    P1 O0 0.62 0.63 0.73 0.80 0.83 0.67

    O1 0.81 0.81 0.85 0.92 1.10 0.93

    O2 0.86 1.00 1.02 1.08 1.31 1.19

    Rataan 0.76 0.81 0.87 0.93 1.08 0.93

    P2 O0 0.69 0.71 0.80 0.81 0.91 0.73

    O1 0.82 0.85 0.90 0.98 1.16 0.95

    O2 1.04 1.07 1.08 1.18 1.36 1.20

    Rataan 0.85 0.88 0.93 0.99 1.14 0.96

    P3 O0 0.73 0.76 0.83 0.84 0.91 0.80

    O1 0.85 0.86 0.91 1.03 1.18 0.96

    O2 1.06 1.08 1.14 1.16 1.39 1.22

    Rataan 0.88 0.90 0.96 1.01 1.16 0.99

    Pukan sapi Rataan

    O0 0.64 0.67 0.74 0.80 0.86 0.71

    O1 0.81 0.82 0.87 0.95 1.12 0.93

    O2 0.94 1.03 1.05 1.11 1.32 1.20

    Rataan 0.80 0.84 0.89 0.95 1.10 0.95

    Significance P *** *** *** *** *** *

    O *** *** *** *** *** ***

    P x O *** tn tn tn tn tn

    LSD05 P 0.02 0.05 0.03 0.04 0.06 0.06

    O 0.02 0.04 0.03 0.04 0.05 0.05

    P x O 0.04 - - - - -

    CV (%) 2.98 5.45 3.58 4.71 5.16 4.75

    tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001

    Table 4. Kandungan Air Tersedia Tanah pada Waktu Pengukuran Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan

    P dan Bahan Organik

    PERLAKUAN

    HARI SETELAH TANAM

    15 35 55 75 95 105

    ------------------------------------------------------ % ------------------------------------------------------

    P0 O0 14.53 14.90 14.94 14.98 15.40 14.85

    O1 16.91 16.98 17.02 17.61 18.32 16.25

    O2 17.81 18.08 18.35 18.42 19.59 19.34

    Rataan 16.42 16.65 16.77 17.00 17.77 16.81

    P1 O0 15.78 16.42 16.49 16.84 17.52 15.92

    O1 17.90 18.10 18.74 18.93 18.97 18.09

    O2 19.90 20.14 20.51 20.60 20.98 20.00

    Rataan 17.86 18.22 18.58 18.79 19.16 18.00

    P2 O0 16.88 16.91 17.54 17.72 18.18 17.71

    O1 18.38 19.11 20.12 20.32 20.75 17.50

    O2 20.95 22.11 23.39 23.59 23.75 23.14

    Rataan 18.74 19.38 20.35 20.54 20.89 19.45

    P3 O0 18.36 18.87 18.98 19.07 19.54 17.78

    O1 19.46 20.57 20.72 20.96 21.14 20.57

    O2 26.89 27.20 27.48 27.72 27.91 25.93

    Rataan 21.57 22.22 22.39 22.58 22.86 21.43

    Pukan sapi Rataan

    O0 16.39 16.78 16.99 17.15 17.66 16.57

    O1 18.16 18.69 19.15 19.46 19.80 18.10

    O2 21.39 21.88 22.43 22.58 23.06 22.10

    Rataan 18.65 19.12 19.52 19.73 20.17 18.92

    Significance P *** *** *** *** *** ***

    O *** *** *** *** *** ***

    P x O tn ** * *** * tn

    LSD05 P 1.55 1.17 1.45 0.66 1.42 1.54

    O 1.39 1.01 1.25 0.57 1.23 1.33

    P x O - 2.03 2.51 1.15 2.46 -

    CV (%) 4.83 6.24 4.67 3.42 4.78 4.81

    tn, tidak nyata, *, **, *** nyata pada P < 0.05, 0.01, dan 0.001

  • 50

    KESIMPULAN

    Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil percobaan ini adalah, bahwa

    pemakaian pupuk P dan pukan sapi dapat dijadikan sebagai bahan pereklamasi lahan sawah tadah hujan di

    Sumatera Utara karena dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah, kandungan C-organik tanah

    dan air tersedia berturut-turut sekitar 59%, 157%, dan 72%. Perbaikan atau peningkatan sifat tanah dimaksud,

    tertinggi ataupun terbaik diperoleh bila dikombinasikan antara pemberian 90 kg P2O5 ha-1

    dan 6 t ha-1

    pukan

    sapi.

    DAFTAR PUSTAKA

    ADIWIGANDA, R. 1990. Reklassifikasi Tanah-tanah di Sumatera Utara ke Dalam System Taxonomy

    USDA. Bulletin Pertanian. Universitas Islam Sumatera Utara. Vol. 9 (1):1-10.

    BRADY, N. C., and R. R. WEIL. 2002. The Nature and Properties of Soils. 13th ed. Prentice-Hall, Upper

    Saddle River, NJ. 881 p.

    BPS Sumatera Utara. 2004. Statistik Luas Baku Lahan Sumatera Utara Pada Tahun 2003. Badan Pusat

    Statistik Provinsi Sumatera Utara. 94 p.

    ERYTHRINA, S. MARYAM, SARIMAN, MURIZAB, DARMAWATY, AKMAL, dan Z. ZAINI. 2001.

    Pengelolaan Hara Terpadu Pada Lahan Sawah Tadah Hujan, Sumatera Utara. Balai Pengkajian

    Teknologi Pertanian-Sumatera Utara. Medan. (tidak dipublikasikan). 14 p.

    GOBAT, J. M., M. ARAGNO, and W. MATTHEY. 2004. The Living Soil. Fundamentals of Soil Science

    and Soil Biology. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA. 602 p.

    GOMEZ, K. A., and A. A. GOMEZ. 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research. International

    Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. 680 p.

    HARDJOWIGENO, S. 2003. Soil Science. Fifth Edition. Akademika Pressindo. Jakarta. (Indonesian

    Version). 286 p.

    HEDGE, D. M. 1996. Integrated Nutrient Supply on Crop Productivity and Soil Fertility in Rice (Oryza

    sativa)-Rice System. Indian J. Agron. 41(1):1-8.

    IRRI. 1997. Rice Almanac, 2nd

    Edition. International Rice Research Institute, Manila. 181p.

    MILLER, R. W., and R. L. DONAHUE. 1995. Soils in Our Environment. Seventh Edition. Prentice Hall,

    Englewood Cliffs, NJ 07632. 649 p.

    PILLAI, K. G. 2006. Rice (Oryza sativa L.). http://www.fertilizer.ogr/ifa/publicat/html/pubman/rice.htm

    p. 1-11.

    SINGH, V. P. and J. SOVYANHADI. 1998. Kinetics of phosphate fixation in acid sulfate, iron toxic and

    neutral soils. Oryza. 35(2):95-105.

    SOIL SURVEY STAFF. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Department of

    Agriculture. Natural Resources Conservation Services. 326 p.

    STEEL, R. G. D. and J. H. TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A biometrical Approach.

    McGraw-Hill Book Company. New York. 633 p.

    TISDALE, S. L., W. L. NELSON, and J. D. BEATON. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan

    Publishing Company, New York, Collier Macmillan, Publishers, London. 754 p.

    WEIL, R. R., and F. MAGDOFF. 2004. Significance of Soil Organic Matter to Soil Quality and Health. In F.

    Magdoff and R.R. Weil. Soil organic matter in Sustainable Agriculture. CRC Press. Boca Raton

    London, New York, Washington, D.C. p. 1-43

  • 51

    PENGKAJIAN PENGGUNAAN UREA DAN KOMPOS PADA PERTANAMAN JAGUNG

    VARIETAS LAMURU DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING

    Mulyadi, Sutardi dan B. Sudaryanto

    Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta

    ABSTRAK

    Kekahatan unsur hara Nitrogen (N) dalam tanah merupakan salah satu faktor pembatas utama hasil tanaman

    jagung. Di sisi lain, penggunaan pupuk Urea dan pupuk organik yang efisien dan sesuai dengan kemampuan petani perlu diperhatikan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi dosis penggunaan pupuk Urea dan kompos

    terhadap hasil jagung komposit varietas Lamuru. Pengkajian dilakukan dalam MH 2005 pada tanah Vertisols di pewakil

    kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul. Pengkajian dilaksanakan secara

    on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari dua macam, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100

    kg SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 1.250 m2. Benih jagung yang digunakan adalah benih bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih ditanam satu

    biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos (A dan B) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji jagung kering. Rata-rata hasil biji jagung dari

    kedua perlakuan adalah 6,69 dan 6,58 ton/ha, berarti subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton kompos/ha memberikan

    hasil biji yang relatif sama. Demikian juga hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing

    perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha.

    Kata Kunci : lahan kering, jagung, nitrogen, kompos, produktivitas.

    PENDAHULUAN

    Jagung merupakan salah satu komoditas utama yang banyak diusahakan petani di daerah Kabupaten

    Gunungkidul yang umumnya termasuk dalam kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering.

    Tanaman jagung selain diharapkan hasil bijinya juga bahan hijauannya untuk pakan ternak.

    Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman jagung yang baik dan memperoleh hasil yang tinggi

    diperlukan kondisi tanah yang gembur dan subur karena tanaman ini memerlukan aerasi dan drainase yang

    baik serta ketersediaan unsur-unsur hara essensial yang dapat diserap tanaman dalam keadaan cukup. Untuk

    itu, pada tanah-tanah yang bertektur berat (liat), seperti halnya dijumpai pada kebanyakan tanah Vertisols,

    pengelolaan tanah yang mengarah untuk perbaikan drainase maupun aerasi baik melalui pengolahan tanah

    maupun pemberian pupuk organik sangat diperlukan. Di sisi lain, di antara unsur hara makro yang paling

    banyak diperlukan adalah K, menyusul N dan P (Sutoro et al. 1992). Meskipun, kebutuhan N sedikit lebih

    rendah daripada K namun ketersediaan N dalam tanah umumnya sangat kurang mencukupi untuk

    mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal mengingat selain sifat unsur hara N yang sangat labil juga

    secara alami sumber N dalam tanah sangat tergantung dari kadar bahan organik tanah yang umumnya juga

    rendah (Tisdale et al., 1993). Tanah-tanah dengan tektur liat, berkadar bahan organik rendah dan miskin

    unsur hara N pada umumnya banyak dijumpai di kawasan lahan kering beriklim kering khususnya di wilayah

    Kabupaten Gunungkidul (Puslittanak, 1994).

    Di Amerika tanaman jagung untuk menghasilkan biji sebanyak 7,5 ton/ha diperlukan sekitar 135 kg

    N/ha, pada tanah dengan kadar P dan K rendah diperlukan pemupukan 100 kg P2O5 dan 170 kg K2O/ha

    (Donahue et al., 1977). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi dengan berbagai jenis tanah di

    Indonesia diketahui bahwa pemupukan N sebanyak 135 kg N/ha perlu dilakukan bagi tanaman jagung pada

    tanah dengan kadar N kurang dari 0,4 % dan tanaman jagung umumnya memberikan respon terhadap

    pemupukan P dan K masingmasing pada tanah dengan kadar kurang dari 20 mg P2O5 dan 20 mg K2O/100 gram tanah (Sutoro et al., 1992). Namun hasil penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan penggunaan

    pupuk N sampai dengan 142,7 kg N/ha selain meningkatkan hasil biji juga meningkatkan kadar protein

    dalam jagung (Winarso, 2005).

    Dalam kaitannya dengan pemupukan N, selama ini macam pupuk yang banyak digunakan petani

    adalah Urea. Namun demikian, sementara ini masalah keterbatasan ketersediaan pupuk dan harganya yang

    cenderung meningkat sering menjadi kendala petani untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pupuk Urea

    tersebut. Untuk itu, upaya pemanfaatan sumberdaya lokal seperti pupuk organik/kompos perlu digalakkan

    kembali sebagai sarana produksi untuk peningkatan produktivitas lahan. Meskipun, kadar N dari pupuk

    organik tidak setinggi pupuk Urea namun penggunaan pupuk organik dalam takaran yang relatif banyak

  • 52

    dapat menyumbangkan sejumlah unsur-unsur hara makro dan mikro. Di samping itu, penggunaan pupuk

    organik memiliki beberapa keunggulan lain yang tidak dapat digantikan dari penggunaan pupuk

    kimia/anorganik. Keunggulan tersebut antara lain adalah dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan

    kemampuan tanah memegang air dan unsur-unsur hara sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan

    pupuk kimia, mengurangi kehilangan hara akibat pencucian dan menekan erosi.

    Tulisan ini menyajikan hasil pengkajian tentang penggunaan kombinasi dosis pupuk Urea dengan

    kompos dari limbah kandang pada pertanaman jagung pada tanah vertisols di daerah lahan kering beriklim

    kering wilayah Kabupaten Gunungkidul.

    BAHAN DAN METODE

    Pengkajian dilakukan dalam musim hujan (MH 2005) pada tanah Vertisols (Puslittanak, 1994) di

    pewakil kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul (ketinggian

    tempat < 700 m dan curah hujan < 2000 mm/tahun). Hasil analisis tanah diketahui bahwa rata-rata kadar C

    organik dan N total masing-masing adalah 0,14 dan 0,09% yang mana secara umum tergolong sangat rendah

    dan kadar P2O5 dan K2O masing-masing adalah 35,6 dan 7,0 mg/100 g tanah. Pengkajian dilaksanakan secara

    on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator (sebagai ulangan) dari Kelompok Tani Sedya

    Maju di dusun Ngunut Kidul, Desa Kelor, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pemilihan

    lokasi dan kelompok didasarkan pada kesanggupan kelompok untuk memenuhi persyaratan dalam

    penangkaran benih diantaranya adalah menghindari adanya penanaman jagung di sekeliling lokasi

    penanaman jagung yang akan dikaji/ditangkarkan, minimal 200 m.

    Teknologi yang dikaji terdiri dari dua macam perlakuan pemupukan, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha +

    2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100 kg

    SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 1.250 m2. Pemupukan Urea dilakukan dua kali yaitu 1/3 bagian pada saat tanam dan 2/3 bagian pada saat tanaman berumur 25 hari setelah tanam.

    Jagung yang digunakan adalah jagung komposit (bersari bebas) varietas Lamuru dengan benih

    bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih yang

    digunakan mempunyai daya tumbuh 96% dan benih ditanam satu biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm.

    Panen jagung dilakukan pada saat tanaman berumur 96 hari setelah tanam. Data yang dikumpulkan meliputi

    tinggi tanaman, berat biji kering dan brangkasan kering. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar

    perlakuan, data dianalisis dengan menggunakan uji T (T test) pada taraf beda nyata 5%.

    Pengkajian ini selain dimaksudkan untuk mengetahui tingkat produktivitas tanaman juga untuk

    pengawalan perbanyakan benih dan pembinaan kelompok tani dalam kemampuan dan ketrampilan

    menangkarkan benih. Untuk itu, dalam pelaksanaan pengkajian dilakukan dengan mengikutsertakan

    pendampingan dari BPSB Propinsi DIY dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten

    Gunungkidul.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Keragaan Pertumbuhan Tanaman Jagung

    Hasil pengamatan keragaan pertumbuhan (tinggi tanaman) yang diperlakukan dengan perbedaan

    kombinasi dosis pemupukan Urea dengan kompos disajikan dalam Tabel 1. Hasil tersebut menunjukkan

    bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha

    dan (B) 300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman baik yang

    diamati pada saat mulai berbunga maupun saat panen.

    Tabel 1. Keragaan Tinggi Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos di Karangmojo, MH 2005

    Keragaan Tanaman dan Hasil

    Taraf Dosis A

    (450 kg Urea + 2,5 ton

    kompos/ha)

    Taraf Dosis B

    (300 kg Urea + 5,0 ton

    kompos/ha)

    Keragaan Pertumbuhan Tanaman :

    1. Tinggi tanaman saat mulai berbunga, umur 55 hst (cm) 220,9 208,5

    2. Tinggi tanaman saat panen, 96 hst (cm) 225 215

    Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.

  • 53

    Komponen Hasil Panen Jagung

    Tanaman jagung selain dimaksudkan untuk produksi biji juga hasil hijauan, klobot dan tongkolnya

    potensial untuk pakan ternak. Seperti halnya pengaruh terhadap tinggi tanaman, perbedaan perlakuan

    komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg

    Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap hasil brangkasan/tebon dan jagung berkulit

    kering termasuk komponen-komponennya (Tabel 2). Rata-rata hasil biji jagung dari kedua perlakuan adalah

    6,69 dan 6,58 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing

    perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol

    tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha.

    Tabel 2. Hasil Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos Di Karangmojo,

    MH 2005

    Komponen Hasil Panen Jagung

    Taraf Dosis A

    (450 kg Urea + 2,5

    ton kompos/ha)

    Taraf Dosis B

    (300 kg Urea + 5,0

    ton kompos/ha)

    1. Berat tebon (brangkasan) ton/ha 11,38 10,88

    a. Berat tebon bagian atas tongkol (umumnya untuk pakan ternak) ton/ha

    3,48 3,72

    b. Berat tebon bagian bawah tongkol (umumnya tidak dimanfaatkan untuk pakan) ton/ha

    7,90 7,16

    2. Jagung berkulit kering (ton/ha) 19,67 19,28

    a. a. Klobot kering 7,87 7,71

    b. b. Tongkol kering tanpa biji 5,11 5,01

    c. Jagung pipilan kering kadar air 14 % (ton/ha) 6,69 6,56

    Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.

    Hasil pengkajian dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton

    kompos/ha memberikan hasil tanaman yang relatif sama. Bila dinilai secara ekonomi, subsitusi penggunaan

    Urea 150 kg/ha (harga Rp 1.050/kg) dengan 2,5 ton kompos/ha (harga Rp 250/kg) maka pemupukan 300 kg

    Urea + 5 ton kompos/ha relatif lebih mahal sekitar Rp 467.500/ha, namun ketersedian pupuk kompos yang

    dapat diproduksi petani sendiri secara lokal lebih mungkin terjamin dan mudah di dapat, khususnya hal ini

    akan mungkin dapat dipenuhi bagi petani yang mempunyai ternak. Di samping itu, penggunaan kompos

    secara berkelanjutan berpotensi untuk memperbaiki kesuburan tanah yang pada gilirannya akan berpengaruh

    terhadap peningkatan hasil tanaman berikutnya. Untuk itu, pengembangan usahatani integrasi tanaman dan

    ternak di kawasan lahan kering beriklim kering sangat penting artinya karena merupakan usaha yang saling

    komplementer baik untuk peningkatan pendapatan maupun pemeliharaan keberlanjutan produktivitas lahan.

    KESIMPULAN

    Pada lahan kering dengan tanah Vertisols berkadar C organik dan N total rendah yang ditanami

    jagung varietas Lamuru dengan pemupukan (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha atau (B) 300 kg Urea + 5,0

    ton kompos/ha memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman (brangkasan dan biji kering) yang relatif sama.

    Penggantian penggunaan Urea 150 kg/ha dengan 2,5 ton kompos/ha tidak mempengaruhi hasil tanaman

    jagung. Rata-rata hasil biji jagung yang diperoleh adalah 6,58-6,69 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang

    potensial untuk pakan ternak, yaitu untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 - 3,72; klobot 7,71 - 7,87 dan

    tongkol tanpa biji 5,01 -5,11 ton/ha.

  • 54

    DAFTAR PUSTAKA

    Donahue, R.L., R.W. Miller, and J.C. Shikluna. 1977. Soils. An Introduction to Soil and Plant Growth.

    Prentice-Hall, Inc. New Yersey.

    Puslittanak, 1994. Laporan Akhir; Survai Dan Pemetaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Pertanian

    Lahan Kering Dan Konservasi Hutan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Laporan Akhir No.

    03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan

    Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan.

    Sutoro, Y. Soelaeman dan Iskandar. 1992. Budidaya Tanaman Jagung. Paket Informasi Jagung. Pusat

    Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Litbang Pertanian.

    Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Havlin. 1993. Soil Fertility and Fertilizers, 5th

    Ed.

    Macmillan Publishing Company. New York.

    Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media.

    Yogyakarta.

  • 55

    PENGARUH PERANGKAP LAMPU TERHADAP INTENSITAS SERANGAN HAMA DAN

    PRODUKSI PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH

    I.B.K. Suastika1, Agus Thomas Sutiarso

    2, I.Ketut Kariada

    2 dan I.B. Aribawa

    1

    1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

    2Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang

    ABSTRAK

    Penelitian pengaruh perangkap lampu terhadap intensitas serangan hama dan produksi pada budidaya bawang

    merah dilaksanakan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng dari bulan

    Oktober sampai Desember 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu dan introduksi

    bawang merah varietas kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil. Bibit bawang merah di tanam dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada bedengan berukuran lebar 70 cm dalam luasan area 0,5 ha. Pemupukan dengan 90 kg P2O5/ha

    sebagai pupuk dasar, 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O5/ha. Pupuk susulan pertama dan kedua

    diberikan pada 10-15 hari setelah tanam (hst) dan 30 hst, masing-masing dosis. Pemeliharaan tanaman meliputi

    kegiatan penyiangan dan pengairan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Parameter yang diukur meliputi tibggi tanaman, jumlah daun, populasi hama, populasi telur, larva dan imago S. exigua serta kerusakan tanaman. Hasil

    penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning

    dan penggunaan perangkap lampu berpengaruh terhadap serangan hama dan pertumbuhan bawang merah. Pada umur 45

    hst, tinggi tanaman varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dengan jumlah daun lebih banyak sekitar 10,52% dibandingkan dengan varietas Pinggan. OPT yang paling dominan ditemukan pada petak percobaan adalah S. exigua,

    diikuti berturut turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT tersebut meningkat sejalan dengan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 35 dan 42 hst. Penggunaan varietas Kuning

    ternyata dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25 %. Fluktuasi populasi S. exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago dan telur S. exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst

    Dengan menerapkan inovasi teknologi persentase kerusakan tanaman relatif rendah dan berada di bawah ambang

    pengendalian sebesar 10%. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. exigua dibandingkan dengan varietas

    lokal Pinggan. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat

    mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali. Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang

    merah dalam luasan 0,5 ha adalah sebesar Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95.

    Kata kunci: Lampu perangkap, hama dan produksi, bawang merah

    PENDAHULUAN

    Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang

    sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok

    rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional.

    Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup

    tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp.2,7 triliun/tahun) dengan potensi pengembangan areal

    cukup luas mencapai 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005). Penyebaran yang cukup luas dan besarnya

    minat petani terhadap komoditas bawang merah terutama disebabkan oleh daya adaptasinya yang luas, yaitu

    dapat di tanam dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut (Suwandi,

    1989; Suwandi dan Hilman ,1995; Nurmalinda dan Suwandi, 1995).

    Berdasarkan data periode waktu 1989-2000, rata-rata produksi dan luas panen bawang merah di

    Indonesia berturut-turut adalah 614.128,5 ton dan 79.819,42 ha/tahun (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

    dan Hortikultura, 1999; Basuki et al., 2002). Sementara itu, dalam periode yang sama pola pertumbuhan

    produksi bawang merah di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian,

    pertumbuhan rata-rata produksi bawang merah di Indonesia yang mencapai 7,75% tampaknya lebih

    disebabkan oleh peningkatan luas panen daripada peningkatan produktivitas. Hal ini dapat ditunjukkan oleh

    peningkatan luas panennya (3,83%) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan peningkatan produktivitas

    (3,33%). Dengan demikian, ketidak-stabilan produksi bawang merah secara umum akan lebih dipengaruhi

    oleh keragaman luas panen dibandingkan dengan keragaman produktivitas.

    Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama (luas areal

    panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat,

    Jawa Tengah, D.I. Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Kesembilan propinsi ini

    menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada

    tahun 2003. Konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38

    kg/kapita/bulan, menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi sebesar 10-20% (Dirjen

  • 56

    Hortikultura, 2005). Meskipun minat petani terhadap bawang merah cukup besar, namun dalam

    pengusahaannya masih ditemui berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi dalam budidaya bawang

    merah, antara lain : (1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah dan mutu);

    (2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara optimal; (3) sarana dan prasarana

    masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5)

    skala usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan; (6)

    produktivitas cendrung mengalami penurunan; (7) harga cendrung berfluktuasi dan masih dikuasai oleh

    tengkulak; (8) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) semakin bertambah. Hal tersebut

    diindikasikan oleh rendahnya tingkat produktivitas yang dapat dicapai, yaitu 7,6 t/ha (Basuki et al. 2002).

    Hama penting yang menyerang tanaman bawang merah antara lain ulat bawang (Spodoptera

    exigua), lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis), thrips (Thrips tabaci), orong-orong (Grillotalpa spp),

    ulat grayak (Spodoptera lutura) dan ngengat gudang Ephestia cautella). Potensi kehilangan hasil oleh OPT

    utama bawang merah dapat mencapai 138,4 milyar (Anonim, 2004).

    Salah satu upaya untuk mengurangi serangan OPT, meningkatkan produktivitas dan daya saing

    komoditas bawang merah adalah melalui pengembangan dan penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman dan

    Sumberdaya Terpadu (PTT) yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian. PTT adalah segala tindakan

    usahatani secara terpadu yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman optimal, kepastian

    keberhasilan panen, mutu produk tinggi dan aman untuk dikonsumsi, serta dapat menjaga kelestarian

    lingkungan dan keseimbangan ekologis. PTT bersifat spesifik lokasi, dapat berbeda antar petani, integrasi

    teknologi maju dengan teknologi asli petani (Fliert, 199). Beberapa komponen PTT antara lain : (1)

    penentuan pemilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat, musim tanam; (2) penyediaan lingkungan optimal

    yang tidak kondusif untuk perkembangan hama/penyakit; (3) penyediaan bibit dan varietas unggul tahan

    hama/penyakit; (4) pola tanam, rotasi tanaman; (5) pengelolaan hara, tanah, air dan gulma; (6) penerapan

    PHT; (7) pengelolaan tanaman optimal; (8) panen tepat waktu; (9) penanganan pasca panen dan (10)

    pemasaran dengan efisien. Dalam peneltian ini komponen PTT yang diterapkan adalah penggunaan

    perangkap lampu dan varietas unggul. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu

    dan introduksi bawang merah varietas unggul kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil.

    BAHAN DAN METODA PENELITIAN

    Penelitian dilakukan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten

    Buleleng, Bali dari bulan Oktober sampai Desember 2005 pada luas areal 0,50 ha.

    Teknologi budidaya yang diterapkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Penelitian

    diranacang menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 perlakuan. Perlakuan dimaksud adalah

    varietas unggul kuning dan varietas lokal (kontrol). Masing-masing perlakuan (bibit bawang kuning dan

    lokal) ditanam berseling antar bedengan dalam satu petak lahan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada

    bedengan berukuran lebar 70 cm. Lampu perangkap detempatkan berjejer segera setelah tanam pada

    pinggiran bedengan (pematang) sebanyak 18 buah dengan jarak antar lampu perangkap 15 m. Lampu

    perangkap dinyalakan dari pukul 06.00 sore 12.00 malam.

    Tabel 1. Teknologi yang Diterapkan Dalam Pengembangan Teknologi Inovatif Bawang Merah.

    Komponen Teknologi Teknologi

    Varietas Kuning

    Lokal

    Budidaya Pengolahan tanah sempurna

    Pengapuran bila pH < 5,6

    Jarak tanam = 15 x 20 cm

    Pemupukan : - Pupuk dasar : 90 kg P2O5/ha dan pupuk organik - Pupuk susulan : 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O/ha - Pemupukan susulan I dilakukan pada umur 10-15 hst dan II 30 hst, masing-

    masing dosis.

    Sistem Tanam Monokultur

    Pengendalian OPT Pengendalian secara mekanik (ngama)

    Penggunaan perangkap lampu

    Penggunaan insektisida selektif bila serangan OPT telah mencapai ambang ekonomi

  • 57

    Perameter yang diukur meliputi pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah

    anakan) yang dilakukan pada 15 hst. Pengukuran parameter jumlah OPT dilakukan setiap seminggu sekali

    dimulai pada 14 hst dengan menghitung banyaknya OPT yang tertangkap pada lampu perangkap. Sementara

    pengukuran parameter banyaknya masing-masing stadia OPT yang ditemukan pada petak percobaan

    dilakukan setiap seminggu sekali dimulai pada 14 hst dengan cara pengamatan langsung. Data yang

    terkumpul dari masing-masing parameter yang diamati kemudian dianalisis menggunakan program Irristat,

    2.0, yang dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf kepercayaan 95%.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    1) Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah

    Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman bawang merah (tinggi tanaman, jumlah daun dan

    jumlah anakan) selama percobaan berlangsung disajikan pada Tabel 1, 2, 3 dan Gambar 1, 2, 3.

    Tinggi Tanaman

    Terdapat perbedaan pertumbuhan antara varietas Kuning (hasil pelepasan Balitsa) dan varietas

    Pinggan (lokal). Varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dibandingkan dengan varietas Pinggan. Pada

    umur 45 HST, tinggi tanaman varietas Kuning mencapai 26,84 cm dan varietas Pinggan mencapai 24,06 %

    (Tabel 1 dan Gambar 1).

    Tabel 1. Tinggi Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

    Varietas Tinggi Tanaman (cm)

    15 hst 30 hst 45 hst

    Kuning 18,97 a 20,79 a 26,84 a

    Pinggan 16,98 b 21,73 a 24,06 b

    KK (%) 4,2 5,6 7,8

    BNT 5 % 0,58 ns 1,08

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    Gambar 1. Tinggi tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

    Jumlah Daun

    Hasil pengamatan terhadap jumlah daun bawang merah selama percobaan berlangsung di sajikan

    pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dari tiga kali pengamatan dapat dilihat bahwa varietas Kuning mempunyai daun

    lebih banyak dibandingkan dengan varietas Pinggan sekitar 10,52 %.

    Tabel 2. Jumlah Daun Bawang Merah, Buleleng 2005.

    Varietas Jumlah Daun

    15 hst 30 hst 45 hst

    Kuning 13,69 a 24,11 a 24,16 a

    Pinggan 10,43 b 19,52 b 21,86 b

    KK (%) 6,8 7,9 4,2

    BNT 5 % 1,12 3,80 0,63

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    Tinggi Tanaman (cm)

    15 30 45

    Umur (hst)

    Kuning

    Pinggan

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    Tinggi Tanaman (cm)

    15 30 45

    Umur (hst)

    Kuning

    Pinggan

  • 58

    Gambar 2. Jumlah daun bawang merah, Buleleng 2005.

    Jumlah Anakan

    Dari Tabel 3 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa teknologi yang digunakan berpengaruh terhadap

    jumlah anakan bawang merah. Penggunaan varietas Kuning ternyata mampu menghasilkan anakan bawang

    merah lebih besar dibandingkan dengan varietas Pinggan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa, varietas

    kuning mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lokal Pinggan. Tabel 3. Jumlah Anakan Bawang Merah, Buleleng 2005.

    Varietas Jumlah Anakan

    15 hst 30 hst 45 hst

    Kuning 5,23 a 5,58 a 6,08 a

    Pinggan 4,51 b 4,75 b 5,25 b

    KK (%) 11,2 9,8 13,2

    BNT 5 % 0,51 0,75 0,49

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    Gambar 3. Jumlah anakan bawang merah, Buleleng 2005.

    2) Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)

    Hasil pengamatan terhadap keragaan OPT pada tanaman bawang merah selama percobaan

    berlangsung disajikan pada Tabel dan Gambar. OPT dominan yang terdapat pada petak percobaan, baik pada

    varietas Kuning maupun Pinggan adalah S. exigua. Populasi OPT tersebut berbeda antar varietas yang diuji.

    Teknologi perangkap lampu yang digunakan dikombinasikan dengan pengendalian secara mekanis dan

    penggunaan insektisida secara nyata dapat menekan populasi OPT sampai di bawah ambang pengendalian.

    Beberapa OPT yang tertangkap pada perangkap lampu disajikan pada Tabel 4. OPT yang paling

    dominan adalah S. exigua, diikuti berturut turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT tersebut meningkat sejalan dengan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada

    umur 35 dan 42 hst.

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    Jumlah Anakan

    15 30 45Umur (hst)

    Kuning

    Pinggan

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    Jumlah Anakan

    15 30 45Umur (hst)

    Kuning

    Pinggan

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    Jumlah Daun

    15 30 45

    Umur (hst)

    Kuning

    Pinggan

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    Jumlah Daun

    15 30 45

    Umur (hst)

    Kuning

    Pinggan

  • 59

    Tabel 4. Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Perangkap lampu, Buleleng 2005.

    Jenis OPT Umur Tanaman

    14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst

    Spodoptera exigua 62,59 a 60,00 a 66,59 a 72,24 a 73,65 a

    Grillotalpha sp. 2,35 b 4,59 b 3,00 b 4,06 b 4,29 b

    Coleoptera 4,24 b 9,00 b 9,24 b 11,65 b 10,59 b

    Jangkrik 2,06 b 1,59 b 2,12 b 2,12 b 2,41 b

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    Gambar 4. Keragaan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) Perangkap lampu, Buleleng 2005.

    Populasi Telur Spodoptera exigua

    Pengamatan terhadap telur S. Exigua disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Populasi telur S. Exigua

    selalu meningkat mengikuti pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 42

    hst sebesar 0,60 untuk varietas Kuning dan 0,80 untuk varietas Pinggan. Penggunaan varietas Kuning

    ternyata dapat menekan populasi telur S. Exigua sebesar 25 %.

    Tabel 5. Populasi Telur Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

    Varietas Populasi Telur Spodoptera exigua

    21 hst 28 hst 35 hst 42 hst

    Kuning 0,40 a 0,45 a 0,55 a 0,60 a

    Pinggan 0,70 a 0,40 a 0,60 a 0,80 a

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    Gambar 7. Populasi telur Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

    Populasi Larva Spodoptera exigua

    Fluktuasi populasi S. Exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago

    dan telur S. Exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst (Tabel 6 dan Gambar 6).

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    14 21 28 35 42

    Umur (hst)

    Ima

    go

    (ek

    or)

    Spodoptera exigua

    Orong-orong

    Coleopthera

    Jangkrik

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    14 21 28 35 42

    Umur (hst)

    Ima

    go

    (ek

    or)

    Spodoptera exigua

    Orong-orong

    Coleopthera

    Jangkrik

    0

    0.1

    0.2

    0.3

    0.4

    0.5

    0.6

    0.7

    0.8

    0.9

    21 28 35 42

    Umur (hst)

    Po

    pu

    lasi

    Telu

    r

    Kuning

    Pinggan

    0

    0.1

    0.2

    0.3

    0.4

    0.5

    0.6

    0.7

    0.8

    0.9

    21 28 35 42

    Umur (hst)

    Po

    pu

    lasi

    Telu

    r

    Kuning

    Pinggan

  • 60

    Tabel 6. Populasi Larva Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

    Varietas Populasi Larva Spodoptera exigua

    21 hst 28 hst 35 hst 42 hst

    Kuning 0,95 a 0,75 a 0,70 a 1,15 a

    Pinggan 0,70 a 0,85 a 1,05 a 0,90 a

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    Gambar 6. Populasi larva Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

    Kerusakan Tanaman

    Hasil pengamatan terhadap kerusakan tanaman bawang merah selama percobaan berlangsung

    disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7. Persentase kerusakan relatif rendah dan ada di bawah ambang

    pengendalian sebesar 10 %. Penggunaan teknologi PHT pada tanaman bawang merah, yaitu penggunaan

    perangkap lampu, pengendalian secara mekanis, penggunaan insektisida ternyata dapat menekan serangan S.

    Exigua. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. Exigua dibandingkan dengan varietas ocal

    Pinggan. Tabel 7. Kerusakan Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

    Varietas Kerusakan Tanaman

    21 hst (%) 28 hst (%) 35 hst (%) 42 hst (%)

    Kuning 3,10 a 4,10 a 4,30 a 4,90 a

    Pinggan 3,30 a 4,70 a 4,90 a 6,10 a

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    Gambar 7. Kerusakan tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

    Rendahnya kerusakan tanaman diduga disebabkan karena banyaknya populasi ngengat S. Exigua

    yang tertangkap lampu perangkap sehingga kesempatan ngengat untuk meletakkan telur dan menghasilkan

    larva yang merusak tanaman menjadi lebih sedikit. Jika tidak dikendalikan hama ini dapat menimbulkan

    0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1

    1.2

    1.4

    21 28 35 42

    Umur (hst)

    Pop

    ula

    siL

    arva

    Kuning

    Pinggan

    0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1

    1.2

    1.4

    21 28 35 42

    Umur (hst)

    Pop

    ula

    siL

    arva

    Kuning

    Pinggan

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    21 28 35 42Umur (hst)

    Ker

    usa

    kan

    Tan

    aman

    (%)

    Kuning

    Pinggan

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    21 28 35 42Umur (hst)

    Ker

    usa

    kan

    Tan

    aman

    (%)

    Kuning

    Pinggan

  • 61

    kehilangan hasil rata-rata 17,3 ribu ton setiap tahunnya dan mengakibatkan kerugian sebesar 553,7 milyar

    rupiah (Anonimus, 2004).

    Hasil Panen

    Hasil panen bawang merah disajikan pada Tabel 8. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah

    terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali.

    Tabel 8. Hasil Panen Bawang Merah, Buleleng 2005.

    Varietas Produksi (Kg)

    Kuning (2500m2) 3.237 a

    Pinggan (2500 m2) 1.308 b

    KK (%) 24,5

    BNT 5 % 0,37

    Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

    3) Analisis Usahatani

    Hasil analisis usahatani (Tabel 9) menunjukkan, bahwa usahatani bawang merah seluas 50 are (1 are

    = 100 m2) memerlukan biaya total sebesar Rp 5.103.100. Dengan hasil yang diperoleh Rp. 10.000.000

    (ditebas), usahatani memberikan nilai keuntungan sebesar Rp 4.896.900. Jika dihitung dalam R/C rasio maka

    diperoleh nilai R/C rasio sebesar 1,95 yang artinya setiap satu rupiah modal yang dikeluarkan untuk

    usahatani bawang merah akan mempnyai tingakt pengembalian senilai Rp 1,95 rupiah.

    Tabel 9. Analisis Usahatani Bawang Merah (Per 50 are) di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005.

    Input Kuantitas Unit Harga per unit Biaya per 50 are

    Bibit 350 kg 5000/kg 1 750 000

    Bokashi/semanggi 250 kg 350/kg 87 500

    TSP 100 kg 80 000/50 kg 70 000

    Urea 50 kg 55 000/50 kg 55 000

    Dekamon 2bks 22 000/bks 44 000

    ZA 75 kg 46 000/50 kg 92 000

    KCl 50 kg 50 000/50 kg 130 000

    Hostation 4 botol 168 000

    Proexist 1 Kg 66 000

    Dursban l 84 000

    Dithane 1 kg 95 000

    Antracol 1 kg 35 000

    Bajak 8 Hkw 350 000

    Bedengan 8 hkp 500 000

    Tanam 6 350 000

    Pemupukan dasar 4 50 000

    Pemupukan susulan I& II 100 000

    Penyiangan 400 000

    Penyiraman dan semprot 375 000

    Panen -

    Pengangkutan -

    Pasca panen/pritil -

    Sewa lahan 800 000/are/tahun 300 000

    Pengairan -

    Iuran HIPA 4 000/are/tahun 1 300

    Pajak bumi 800/are/tahun 300

    Total biaya produksi 5 103 100

    Nilai jual (tebas) 10 000 000

    Pendapatan bersih (Rp/450 are) 4 896 900

    R/C rasio 1,95

  • 62

    KESIMPULAN

    1. Penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning dan penggunaan perangkap lampu mampu menekan kerusakan tanaman oleh hama utama S. exigua dibawah ambang

    pengendalian sebesar 10% serta dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25%.

    2. Penggunaan varietas unggul kuning dalam budidaya bawang merah setelah padi mampu meningkatkan produksi bawang sebesar 2,47 kali.

    3. Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang merah dalam luasan 50 are adalah sebesar Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2004. Kinerja Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Horticultura 2000 2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi Horticultura Yakarta. 133 hal.

    Baharsyah, S. 1992. Dampak pengurangan subsidi pupuk terhadap pendapatan usahatani. Prosiding Efisiensi

    Penggunaan Pupuk. Puslittanak, Bogor.

    Basuki, R. S., W. Adiyoga, A. Hidayat dan A. Dimyati. 2002. Profil komoditas dan analisis kebijaksanaan

    bawang merah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan

    Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 61 h.

    Benbrook, C.M. 1991. In: Board on national research council. Sustainable agric. Research and education in

    the field. Proc. National Academic Press. Washington DC: 1-10.

    Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan Pengembangan Produksi Bawang Merah di

    Indonesia. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah,

    Surabaya, 5 7 Juli 2005.

    Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Vademekum pemasaran 1990-1999.

    Direkorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil. Jakarta.

    Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah. Dalam Sunarjono, H.,

    Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang

    merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan

    Pertanian. Jakarta: 19.

    Suwandi. 1989. Bawang merah. Dalam Subhan, Sudjoko, Suwandi dan Z. Abidin (Eds.). Bercocok tanam

    sayuran dataran rendah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian

    Hortikultura Lembang, Proyek ATA-395, Bandung.

    Suwandi dan Y. Hilman. 1995. Budidaya tanaman bawang merah. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H.

    Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat

    Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta:

    51.

  • 63

    Curah Hujan

    Curah hujan tertinggi di Desa Bungkulan terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret, sedangkan

    curah hujan terendah (tidak terdapat hujan) terjadi pada bulan Juli sampai September.

    Gambar 2. Curah hujan di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005.

    Curah Hujan

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    J F M A M J J A S O N D

    Bulan

    Curah Hujan

  • 64

    PENGKAJIAN SISTIM USAHATANI JAGUNG QPM DI LAHAN KERING DATARAN MEDIUM

    BER IKLIM BASAH - BANGLI

    IGK. Dana Arsana

    Balai Pengkajian Teknoogi Pertanian Bali

    ABSTRAK

    Pengkajian Sistim Usahatani Jagung (Quality Protein Maize) QPM di Lahan Kering Dataran Medium Ber

    Iklim Basah dilaksanakan musim tanam tahun 2005, bulan Juni sampai Oktober 2005. Pengkajian ditempatkan di tiga Kelompok Tani yaitu 1) kelompok "Sari Mekar II" di desa Susut dengan pelaksana 17 orang petani luas 2.42 Ha; 2).

    Subak Abian Pad-Padan, desa Pengootan Kecamatan Susut pelaksana 8 orang, Luas 1,70 Ha dan; 3).kelompok tani

    "Tiing Desa" Desa Pengootan Kecamatan Susut dengan pelaksana 17 petani luas 2,00 Ha jumlah keseluruhan mencapai

    6,12 Ha. Hasil pengkajian menunjukkan walaupun tanaman belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal namun masih menguntungkan Pertanaman termasuk diluar musim tanam. Pertanaman di kelompok tani "Sari Mekar II". Jagung

    QPMSrikandi Kuning mampu berproduksi 2.9 ton/ha. dengan B/C Ratio 1,65. Setelah di kurangi biaya produksi petani masih mampu mendapatkan keuntungan Rp. 3.337.500/ha. Di kelompok tani Pad-Padan petani mampu mendapatkan

    keuntungan Rp. 2.390.000,- dengan B/C Ratio 1,92. lebih tinggi dibandingkan di kelompok Sari Mekar II. Sedangkan di kelompok "Tiing Desa" petani mampu mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.290.000,- dengan B/C Ratio sebesar

    1,79.

    Kata kunci : usahatani, jagung QPM

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Luas Propinsi Bali yang mencakup areal 5.632,86 km2 (0,29%) dari luas Indonesia, penduduknya

    bermata pencaharian dalam sektor pertanian. Propinsi Bali terdiri dari beberapa Pulau yaitu Pulau Bali yang

    merupakan Pulau terbesar, Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Serangan dan Menjangan.

    Jumlah penduduk Bali Tahun 2002 sebesar 3.216.881 jiwa (Bali Membangun 2002). Luas lahan yang

    potensial untuk tanaman jagung di Bali mencapai 36.142 hektar terdiri atas lahan sawah dan lahan kering.

    Bangli merupakan pengembangan untuk usaha peternakan ayam.

    Hasil PRA (Participatory Rural Apraisal) tahun 2003 menunjukkan bahwa minat petani menanam

    jagung dan palawija lainnya cukup besar. Kendala yang menghambat adalah kesulitan mendapatkan benih,

    pemasaran dan penanganan pasca panen (Arsana IGK D, dkk, 2003). Hasil uji multilokasi jagung QPM

    yang dilaksanakan di Bangli TA. 2004 menunjukkan hasil 5 6 ton jagung pipilan kering/ha. Data hasil pengkajian mempunyai kontribusi menyumbang data secara nasional untuk melepas jagung Srikandi Putih

    dan Srikandi Kuning (Arsana IGK D, dkk, 2004).

    Hasil pengkajian pemberian pakan jagung QPM terhadap ayam pedaging tahun 2004, secara nyata

    dapat menghemat biaya pakan tanpa menyebabkan adanya pengaruh buruk terhadap penampilan dan

    produksi ayam potong. Dari hasil analisis biaya pakan yang diberikan pada setiap perlakuan diketahui bahwa

    penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi kuning sampai 20% akan menghemat biaya pakan

    sebesar Rp. 222,50 (7,42%) per kg pakan dibandingkan dengan pemberian pakan kmersial 100%, sedangkan

    penggantian dengan 10% jagung serikandi putih maupun kuning akan menghemat biaya pakan sebesar

    Rp. 102,50 (3,42%) per kg pakan (Wiguna., et al . 2004).

    Introduksi varietas unggul baru jagung QPM Srikandi Putih dan Kuning pada lahan kering dataran

    medium beriklim basah Bangli untuk skala usahatani

    Metodologi Penelitian

    Berdasarkan jenisnya termasuk penelitian pengembangan. Sedangkan berdasarkan percepatan

    adopsi teknologi kegiatan ini termasuk on farm adaptive research. Lokasi pengkajian ditempatkan di tiga

    kelompok tani yaitu: 1) kelompok Sari Mekar II dengan pelaksana di Desa Susut terdiri dari 17 orang petani = 242 are; 2) subak Abian Pad-Padan 8 orang = 170 are dan; 3) kelompok tani Tiing Desa13 petani = 200 are jumlah keseluruhan adalah 612 are atau 6.12 Ha. Masing-masing berada di Desa Pengootan

    kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Untuk mengevaluasi untung rugi masing-masing komponen teknologi

    yang dikaji seperangkat analisis dipakai seperti: Analisis kelayakan finansial yang dipergunakan adalah Gros

    B/C rasio.

  • 65

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Lokasi pengkajian merupakan lahan kering beriklim basah, selama pertumbuhannya tanaman jagung

    tidak mendapat pengairan. Waktu tanam akhir bulan Mei 2005 tanah masih dalam keadaan lembab namun

    hal ini menyebabkan pertumbuhan awal tanaman jagung cukup baik. Walaupun telah diuji dibeberapa

    tempat tanaman jagung Srikandi nampaknya belum menunjukkan kemampuan beradaptasi yang optimal.

    Tanaman jagung Srikandi kurang tahan terhadap kekeringan. Untuk lahan kering Medium dataran sedang

    Bangli, waktu tanam dan musim tanam sangat menentukan keberhasilan pertanaman. Karakteristik petani

    kooperator dalam pelaksanaan pengkajian terutama dari segi umur memberikan gambaran yang menunjang

    dalam pelaksanaan pengkajian, rata-rata berumur 40-50 tahun. Respon awal p