5_Isi Jilid I
-
Upload
m-rheza-rizqiaputra -
Category
Documents
-
view
415 -
download
0
description
Transcript of 5_Isi Jilid I
-
39
PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN SEHAT DALAM
MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
Fachrur Rozi dan Ruly Krisdiana
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang
ABSTRAK
Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat
kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya.
Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah
tinggi. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu.
Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan di Jawa
Timur dan pelaksanaannya bulan Juli-September 2005. Jumlah responden total adalah 100 orang dengan distribusi secara
proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan
10% pengolah (industri). Analisis data disajikan dalam bentuk grafis dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan lebih 85% dari responden menyatakan ubijalar ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU
01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) lebih baik untuk atribut rasa manisnya dibanding ubijalar yang sudah ada
di pasaran. Sedang atribut warna ungu, mencapai hampir 80% memberikan respon pada ketertarikan warnanya. Dari segi
produktivitas hasil, lebih dari separuh jumlah responden produsen menyatakan ubijalar ungu mempunyai produktivitas lebih baik dari ubi yang ada di pasaran. Perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi
dari harga ubijalar biasa, Demikian pula, produsen memberikan perbedaan harga berkisar Rp 190-270. Manfaat ekonomi
atau keuntungan mengusahakan ubijalar ungu sangat menarik dengan tingkat pengembalian untuk berinvestasi (marginal
rate of return/MRR) sebesar 350,28% jauh diatas bunga bank. Disamping itu berdampak sosial yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dengan dikonsumsinya makanan sehat yang mengandung antioksidan.
Kata kunci : ubijalar, daging ungu, makanan sehat, ketahanan pangan
PENDAHULUAN
Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung
resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita
perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis
umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi
aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi.
Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak
diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan citarasa
yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh.
Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna
daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi
kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan
fungsi hati ( Suda I et al, 2003). Di Jepang, ubijalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna
alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam
darah. Juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung
koroner (Yoshinaga M, 1995). Pigmen antosianin pada ubijalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil
bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena itu, beberapa industri pewarna dan
minuman berkarbonat telah menggunakan ubijalar berwarna ungu sebagai bahan baku produknya. Demikian
pula, industri ice cream, minuman beralkohol, pie dan roti.
Pengamatan di lapang yang banyak kita temui adalah ubijalar warna daging putih, kuning maupun
orange. Oleh karena itu, peluang ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi memiliki prospek yang sangat
baik untuk dikembangkan. Menurut Yusuf (2003) saat ini ada dua varietas introduksi dari Jepang yang telah
diusahakan secara komersial yaitu Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki yang warna daging umbinya sangat
gelap dengan potensi hasil 15-20 t/ha dengan. Disamping itu Balitkabi juga memiliki tiga klon harapan
ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas 1-2 tahun mendatang. Klon-klon
tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 yang potensi hasilnya tinggi (22,5 27,5 t/ha) dengan bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%).
-
40
Sejauh ini, pemanfaatan ubijalar berwarna daging ungu di Indonesia masih terbatas pada beberapa
jenis produk pangan saja inipun dalam jumlah kecil, paling banyak dijumpai di pasaran adalah kripik. Untuk
itu, diperlukan sosialisasi dan promosi keunggulan dari produk ubijalar ini. Oleh karena itu, penelitian
ini perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi dan pengembangan agroindustri ubijalar
sekaligus membuka peluang pasar untuk produk-produk olahannya.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang-Jawa Timur. Pemilihan
daerah tersebut didasarkan pada potensi wilayah yang memungkinkan dapat dikembangkan dan dipasarkan
produk yang ditawarkan. Pelaksanaan penelitian bulan Juli-September 2005.
Responden dikelompokkan atas produk yang ditawarkan kepada mereka yaitu ubijalar daging ungu.
Penarikan sample dilakukan dengan stratified random sampling atas dasar pelaku dalam pengguna produk.
Jumlah responden masing-masing wilayah 50 responden, sehingga total adalah 100 orang. Distribusi
responden secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40%
produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri).
Data yang dikumpulkan meliputi analisa usahatani dan opini, persepsi dan respon dari responden.
Analisis data disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu
Balitkabi memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi
untuk dilepas tahun depan (2007). Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU
01016-19. Perbedaan dari ketiga jenis tersebut adalah tampilan warna ungu. Kepekatan warna ungu selain
beda kandungan antosianin juga untuk tujuan penggunaan produk olahan (Yusuf, M et al, 2003).
Beberapa potensi dan keunggulannya klon ubijalar ungu, antara lain:
Tabel 1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu
Aspek produksi: Aspek Pangan:
Umur panen : 120 hst (areal dataran rendah)
135 hst (areal dataran sedang)
180 hst (areal dataran tinggi)
Produktivitas : 22,5 27,5 t/ha
Bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%)
Ukuran umbi : panjang 14 cm
diameter 7 cm
Warna kulit umbi: merah tua
Warna daging umbi: ungu tua
Tahan penyakit kudis (Spaceloma batacas SP)
Produk makanan ringan: kripik
Produk antara: tepung
Produk akhir: mie, es krim, bakpao, dan kue-kue.
Aspek mikro nutrien: Aspek Kesehatan
Rasa enak manis
Sebagai zat pewarna alami untuk makanan
Mengandung Antosianin tinggi 3,5%
Penawar racun, membantu menyerap kelebihan lemak
dalam darah, menghalangi munculnya sel kanker, men-cegah sembelit, dan baik untuk penderita jantung
koroner.
2. Respon Produsen Ubijalar Ungu
a. Aspek Teknis
Kajian persepsi petani produsen dengan melihat lima faktor yang diperkirakan dapat menjadi dasar
penilaian petani. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat produktivitas yang dicapai, kebutuhan biaya, resiko
kegagalan dalam pengelolaan, umur yang pendek, dan kemudahan dalam pemeliharaan (budidaya).
Sedangkan dasar penilaian petani terhadap ubijalar berdaging ungu yang ditawarkan adalah dengan
memberikan respon lebih baik, lebih jelek atau sama saja dibanding jenis ubijalar yang biasa petani
usahakan.
-
41
Prinsip produsen (petani) mengusahakan tanaman yang menguntungkan dan mudah dalam penjualan.
Persepsi petani dengan melihat tampilan fisik ubijalar ungu hasil dari Balitkabi, maka 58% menyatakan lebih
baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar nantinya. Lain halnya dengan
ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar belum diketahui dengan pasti,
persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel sama saja dengan ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi. Faktor-faktor yang lain selain produktivitas dianggap
sama saja oleh petani dengan ubi yang biasa. Perlu dicermati bahwa respon untuk variabellebih jelek mempunyai nilai rendah (< 27%), hal ini dapat disimpulkan sesungguhnya petani bisa menerima ubijalar
ungu tersebut hanya saja kejelasan pasar perlu petani diyakinkan.
Gambar 1. Respon produsen terhadap ubijalar ungu
b. Aspek Ekonomis
Tingkat harga merupakan tolok ukur petani (produsen) dalam memperoleh pendapatan dari
usahatani ubijalar. Harga per satuan yang tinggi akan mencerminkan juga tingginya pendapatan yang
diperoleh. Kelebihan-kelebihan lain dari ubijalar ungu tidak banyak menarik petani seperti warna, kandungan
gizi dan ukuran karena selama ini ubijalar banyak dijual ke industri saos. Harga ubijalar biasa yang ada di
tingkat petani (putih atau kuning) Rp 600,- per kg. Dengan melihat fisik ubijalar ungu yang akan
di launching di lapang, petani berani memberikan perbedaan kenaikan tingkat harga rata-rata Rp 192,- per kg atau 32% dari harga ubi biasa. Dengan begitu penerimaan petani terhadap ubijalar ungu dengan
menetapkan tingkat harga berkisar Rp 790-800,- per kg.
3. Respon Konsumen Ubijalar Ungu
a. Aspek Fisik
Beberapa faktor yang umumnya dijadikan pertimbangan dalam memilih atau menentukan barang
kebutuhan khususnya pangan yaitu rasa, warna, ukuran, dan kandungan gizi. Dalam proses pemasaran hasil
faktor-faktor tersebut sangat menentukan karena berkaitan dengan sifat atau kecenderungan pembeli untuk
memilih.
Dalam era globalisasi dan pesatnya informasi, konsumen memilih barang untuk dibeli tidak hanya
mempertimbangkan harga murah, tetapi kemanfaatan untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Komoditas
pangan misalnya selain murah, barang tersebut harus mampu memberikan nilai lebih, misalnya kebutuhan
kesehatan tubuh yang tercermin dari kandungan gizi. Klon ubijalar ungu yang akan di launching ke pasaran memperoleh respon dari konsumen cukup baik. Pada Gambar 2. menunjukkan bahwa 93% responden
menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun
orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut, disamping
rasa manis cukup terasa dan keunikan warna ungunya (
-
42
Gambar 2. Respon konsumen terhadap ubijalar ungu
b. Aspek Ekonomis
Dalam kehidupan modern, filosofi makan telah mengalami pergeseran, dimana makan bukanlah
sekedar untuk kenyang, tetapi juga untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran optimal. Seiring dengan
makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap
bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang
bercita rasa dan penampilan menarik, tetapi juga yang mempunyai komposisi (kandungan) gizi yang baik.
Dengan pertimbangan karakteristik produk pangan yang dimaui konsumen demikian, maka faktor
harga bukan menjadi alternatif (patokan) utama dan satu-satunya. Sebagai contoh ekspektasi (harapan)
tingkat harga yang diberikan oleh konsumen pada ubijalar ungu lebih tinggi dari yang diberikan oleh
produsen. Dalam teori, konsumen menginginkan harga yang serendah mungkin dan produsen menginginkan
harga setinggi mungkin. Tetapi dalam kasus ini tidak demikian adanya. Tingkat harga ubijalar ungu yang
diberikan oleh konsumen adalah berkisar Rp 1000,- per kg lebih tinggi dengan kemauan harga oleh produsen.
Besarnya perbedaannya berkisar antara Rp 300-400. Pertimbangan khusus lagi berkaitan dengan karakteristik
produk yang dimaui konsumen yaitu adanya perbedaan antara tingkat harga antara ubijalar biasa (daging
putih atau kuning) dengan ubijalar ungu. Besarnya perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar
Rp 200-350 lebih tinggi ubijalar ungu.
4. Keunggulan Ekonomis Usahatani Ubijalar Ungu
Pada Tabel 2. menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat menarik bila
mengusahakan ubijalar ungu. Teknologi yang dibutuhkan adalah menggunakan varietas ubijalar ungu dari
Balitkabi tersebut, dengan menambah komponen pemupukan urea 100 kg/ha, SP-36 sebesar 100 kg/ha, dan
KCl sebesar 100 kg/ha. Petani biasanya hanya menggunakan pupuk kandang dalam budidaya ubijalar,
sehingga hasil kurang optimal. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan pupuk) tersebut
berjumlah Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar atau
peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh.
Dalam suatu analisa usaha, secara teoritis kelayakan ekonomi dinyatakan bisa diterima atau go bila B/C bernilai 2. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat memenuhi kriteria tersebut. Disamping itu
mempunyai tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%. Dari suatu usaha
dibidang pertanian yang riskan terhadap resiko, maka nilai tersebut cukup besar. Artinya apabila
menginvestasikan dana sebesar 1 juta rupiah, maka akan dapat pengembalian usaha dari nilai manfaatnya
sebasar 3,5 juta rupiah.
Rasanya Warna Ukuran Kand. Gizi Secara Umum
0
20
40
60
80
100Persentase (%)
Lebih baik Lebih jelek Sama saja
-
43
Tabel 2. Analisa Usahatani Ubijalar
Struktur analisis per ha Ubijalar Non ungu Ubijalar ungu
Nilai manfaat:
Hasil bersih (t/ha) Harga petani (Rp)
Penerimaan kotor (Rp)
10 600
6.000.000
22,5 790*)
17.775.000
Biaya variable (dalam perbedaan perlakuan):
1. Benih Jumlah (stek)
Harga (Rp/stek) Biaya benih (Rp)
2. Pupuk Urea Jumlah (kg)
Harga (Rp/kg) Biaya pupuk urea (Rp)
3. Pupuk SP-36 Jumlah (kg)
Harga (Rp/kg) Biaya pupuk SP-36 (Rp)
4. Pupuk K Cl Jumlah (Kg)
Harga (Rp/kg) Biaya pupuk K Cl (Rp)
5. Aplikasi tenaga kerja pemupukan Jumlah (hok)
Upah (Rp/hok) Biaya pemupukan (Rp)
Biaya variable (dalam perlakuan yang sama):
6. Pupuk kandang Jumlah (Kg)
Harga (Rp/kg)
Biaya pupuk kandang (Rp)
7. Aplikasi tenaga kerja (olah tanah, tanam, pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit, panen) Jumlah (hok)
Upah (Rp/hok)
Biaya tanam (Rp)
Total biaya (Rp)
-
- -
-
- -
-
- -
-
- -
-
- -
480
50
240.000
276
10.000
2.760.000
3.000.000
40.000
50 2.000.000
100
1350 135.000
100
2000 200.000
100
2200 220.000
6
10.000 60.000
480
50
240.000
276
10.000
2.760.000
5.615.000
Nilai manfaat (keuntungan) (Rp)
B/C rasio
Marginal rate of return/MRR (%)
3.000.000
1,00
-
12.160.000
2,16
350,28%
Keterangan: * estimasi harga dari kesanggupan konsumen membayar ubijalar ungu (willingness to pay)
5. Keunggulan Sosial Terhadapkesehatan Masyarakat
Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila
dimungkinkan pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu.
Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional food) yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan
masyarakat dunia. Ubijalar berdaging warna ungu adalah termasuk dalam pangan fungsional. Dengan
kandungan antosianin yang dipunyai mengandung antioksidan yang sangat diperlukan oleh tubuh kita.
Dari laporan FDA, US Departement of Health and Human Service dalam Puspa Jofi (2002) bahwa
di Amerika, Jepang dan Eropa, saat ini bahan pangan (makanan dan minuman) fungsional (functional food)
sangat digemari masyarakat. Penjualan produk-produk bahan pangan fungsional di pasar mengalami
peningkatan yang signifikan. Pasar bahan pangan fungsional di Amerika pada tahun 2001 telah mencapai
18,9 milliar US$ atau sebesar 4% dari total pasar produk-produk makanan dan minuman konvensional. Di
Jepang besarnya pasar produk-produk bahan pangan fungsional telah mencapai 19,5 milliar US$ dan di
Eropa Barat sebesar 17,5 miliar US$. Bahan pangan fungsional di Jepang dikenal dengan FOSHU (Food for
Specified Healthy Use), sedang di Eropa diusulkan dengan nama FUFOSU (Functional Foods Scientific in
Europe) dan di Kanada dikenal dengan nama Nutraceutical.
Warna ungu dari ubijalar dapat diolah sebagai pewarna alami untuk makanan (food colour),
sehingga menjadikan makanan bebas dari zat-zat kimia. Disamping itu, tampilan makanan seperti pada
pembuatan ice cream dari ubijalar yang sudah mulai diproduksi dengan pewarna ungu akan menambah daya
tarik pembeli (konsumen). Demikian juga dengan aneka kue dan produk makanan lain selain cita rasa,
-
44
penampilan yang menarik juga menjadikan peningkatan dalam kesehatan tubuh disebabkan oleh kandungan
gizinya. Sehingga dapat disimpulkan dalam konsep ketahanan pangan bahwa Indonesia juga mempunyai
peluang yang sangat besar untuk mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar
dengan berbasis pada sifat-sifat fungsionalnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Ubijalar berdaging warna ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan
MSU 01016-19) dapat diterima oleh masyarakat. Pada karakteristik konsumen menyatakan 93% responden
menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun
orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut dan rasa
manis cukup terasa, sedangkan dari keunikan warna ungunya mendapatkan respon hampir 80%. Produsen
belum memberikan respon lebih dibanding konsumen karena belum jelasnya pasar dari ubijalar ini, maka
hanya 58% menyatakan lebih baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar
nantinya. Lain halnya dengan ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar
belum diketahui dengan pasti, persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel sama saja dengan ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi.
Dilihat dari aspek produksi, menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat
menarik bila mengusahakan ubijalar ungu. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan
pemupukan) sebesar Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar
atau peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat
mempunyai nilai B/C sebesar 2,16, berarti memenuhi kriteria kelayakan usaha. Disamping itu mempunyai
tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%.
Dalam konsep ketahanan pangan, Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk
mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar dengan berbasis pada sifat-sifat
fungsionalnya dalam memberikan peningkatan kesehatan pada masyarakat.
Perlu ada sosialisasi yang inten oleh peneliti memperkenalkan keunggulan ubijalar ungu pada semua
stakeholders, dan dibangun kerjasama yang sinergis antara Balit sebagai penghasil varietas dari ubijalar ungu
kaya antosianin dengan BPTP selaku pengguna teknologi sesuai dengan tupoksi, sehinga tugas dan
kewajiban masing-masing terprogram.
DAFTAR PUSTAKA
Puspa Jofi.2002. Functional Food: Definitions, Legal aspects, Market and Studies; Internal Paper, university
Justus Liebig-Giesen.
Suda I, Tomoyuki OKI, Mami MASUDA, Mio KOBAYASHI, Yoichi NISHIBA and Shu FURUTA.
Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their
Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July 2003.
JIRCAS. Japan.
Yashinaga, M. 1995. New Cultivar Ayamurasaki for Colorant Production. Sweetpotato Res. Front, 1,2. In : Suda I et al. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins
and Their Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July
2003. JIRCAS. Japan.
Yusuf, M. St. A. Rahayuningsih, dan Suluh Pambudi 2003. Pembentukan Varietas Unggul Ubijalar Produksi
Tinggi yang Memiliki Nilai Gizi dan Komersial Tinggi. Laporan Teknis. Balitkabi-2003.
-
45
REKLAMASI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DENGAN PUPUK FOSFOR DAN BAHAN
ORGANIK DI SUMATERA UTARA
Ali Jamil, Darwin Harahap, Siti Maryam, dan M. Prama Yufdy
Peneliti pada BPTP Sumatera Utara
ABSTRAK
Status kesuburan tanah yang rendah terdapat pada hampir semua lahan sawah tadah hujan karena pertanaman
terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara alami. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi sebagai upaya
mereklamasi lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Percobaan telah dilakukan sejak bulan Juni hingga Oktober,
2004. Perlakuan terdiri dari kombinasi 0; 30; 60; dan 90 kg P2O5 per ha dan 0; 3; dan 6 ton pupuk kandang sapi per ha.
Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dalam bentuk faktorial dengan beberapa sifat tanah sebagai parameter yang diukur dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penggunaan pupuk fosfor dan pupuk
kandang sapi nyata meningkatkan ketersediaan hara fosfor tersedia, karbon organik tanah, dan air tersedia dalam tanah.
Sementara itu, kedua perlakuan menurunkan nilai retensi fosfor tanah. Disimpulkan bahwa, kedua perlakuan baik
pemakaian fosfor maupun pupuk kandang sapi berpengaruh positif terhadap upaya reklamasi tingkat kesuburan tanah, khususnya pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Secara umum pemberian 90 kg P2O5 per ha dan 6 ton per ha
pupuk kandang sapi memberikan nilai kandungan hara paling besar dibandingkan perlakuan lainnya.
Kata kunci : reklamasi, lahan sawah, tadah hujan, fosfor, bahan organik, Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Sistem lahan sawah tadah hujan mencakup sekitar 37 juta ha yang diperkirakan sekitar 1/3 total area
yang ditanami padi di dunia (IRRI, 1997). Karena ketersediaan air yang fluktuatif, maka kondisi secara
hydrologi sangat bervariasi dari tergenang sempurna tanaman padi hingga kekeringan dimana hal ini sering
terjadi dalam musim yang sama. Ketergantungan terhadap curah hujan membuat system usahatani pada lahan
sawah tadah hujan ini tidak terprediksi dengan tingkat kemungkinan gagal pertanaman yang sangat besar.
Tanah bertekstur liat yang kaya dengan sesquioksida seperti Ultisol, Oxisol, dan juga sulfat masam, gambut
dan tanah-tanah sodik di dalam dasar pembentukan mereka mempunyai kadar P-tersedia rendah dan
mempunyai kapasitas mengadsorpsi fosfor yang besar (Singh dan Sovyanhadi, 1998). Oleh karena
pertanaman yang intensif, bahan organik tanah telah terkuras sehingga akhirnya menurunkan tingkat
kesuburan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah adalah solusi yang terbaik untuk mengatasi
penurunan tingkat kesuburan tanah.
Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia penghasil beras. Di Sumatera Utara
terdapat 89.395 ha lahan sawah tadah hujan yang ditanami dua kali setahun dan 91.362 ha ditanami hanya
sekali setahun (BPS Sumatera Utara, 2004). Rataan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan di
Sumatera Utara menurut Erythrina dkk. (2001) adalah sekitar 4,15 t ha-1
. Berdasarkan kondisi tersebut di
atas, diperlukan upaya reklamasi melalui pemakaian pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi untuk
pengembangan produktivitas sistem tanam berbasis padi di lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara
khususnya di Kabupaten Langkat.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilakukan pada musim kering dari bulan Juni-Oktober 2004 pada lahan sawah tadah hujan
di Desa Suka Makmur, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada ketinggian 28 m di atas
permukaan laut dengan rataan curah hujan tahunan sekitar 2,462 mm. Lokasi percobaan didominasi oleh
jenis tanah Albaquult (Adiwiganda, 1990; Soil Survey Staff, 1998).
Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dalam bentuk factorial dengan dua faktor
dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan pupuk fosfor dalam bentuk SP-36 (36% P2O5)
sebanyak empat tingkat yaitu berturut-turut: P1, P2, P3, dan P4 dengan dosis yaitu 0, 30, 60, dan 90 kg ha-1
P2O5. Perlakuan kedua adalah pemakaian bahan organik dalam hal ini digunakan pupuk kandang sapi sebagai
sumber bahan organik pada tiga tingkatan dosis O1, O2, dan O3 yaitu berturut-turut adalah 0, 3, dan 6 t ha-1
.
Ukuran plot adalah 5 m x 6 m dan ulangan (blok) serta masing-masing blok dipisahkan dengan pematang
pada jarak berturut-turut adalah 1,0 m dan 0,5 m untuk memudahkan operasional di lapangan. Dua belas
kombinasi perlakuan fosfor dan bahan organik (pukan sapi) adalah sebagai berikut: P0O0, P0O1, P0O2, P1O0,
-
46
P1O1, P1O2, P2O0, P2O1, P2O2, P3O0, P3O1, dan P3O2. Pemupukan kalium sebagai pupuk dasar telah
diaplikasikan pada saat tanam pindah (0 HST) dengan dosis 50 kg KCl ha-1
. N (kg N ha-1
) diberikan sebagai
berikut: 20 sebagai dasar, 30 pada awal pembentukan anakan (14-20 HST), 25 pada pertengahan
pembentukan anakan (30-35 HST), dan 45 pada fase pembentukan malai (40-45 HST). Pupuk fosfor
diberikan pada saat tanam dan bahan organik (pukan sapi) diberikan dua minggu sebelum tanam. Parameter
yang diukur pada percobaan ini terdiri dari kandungan air tersedia tanah, kandungan P tersedia tanah (Bray-
2), retensi P tanah, dan kandungan karbon organik. Contoh tanah diambil secara komposit dari lima sub
contoh dijadikan menjadi satu contoh komposit per plot untuk dianalisa sifat fisika maupun kimianya.
Pengambilan contoh tanah dan analisa sifat tanah ini dilakukan pada awal sebelum percobaan dimulai,
kemudian setiap 20 hari sekali sejak 15 HST hingga setelah panen padi (15, 35, 55, 75, 95, dan 105 HST).
Data dianalisis dengan menggunakan SAS program. Analisis covariance (ANACOVA) telah digunakan
untuk menguji pengaruh perbedaan perlakuan terhadap parameter tanah dengan menggunakan prosedur
seperti dikemukakan Steel dan Torrie (1980) dan Gomez dan Gomez (1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Tanah dan Bahan Organik yang Digunakan pada Lokasi Percobaan
Untuk membahas sifat awal dari tanah lokasi percobaan, digunakan kriteria penilaian kandungan
hara dalam tanah seperti yang dikemukakan oleh Hardjowigeno (2003). Tanah pada areal percobaan
mempunyai kandungan hara P-tersedia sangat rendah (4,2-4,7 ppm), kandungan C-organik juga tergolong
sangat rendah (0,35-0,38%), kapasitas tukar kation tergolong ke dalam kriteria sedang (22,7-22,9 cmol (+)
kg-1
). Kerapatan lindak berkisar 1,13-1,20 g cm-3
, dan kandungan air tersedia yang diukur sebagai selisih
antara kandungan air pada kapasitas lapang dengan kandungan air pada titik layu permanent adalah berkisar
0,2-11,9%. Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum penelitian dilakukan, tanah pada lokasi percobaan
memiliki status hara P tersedia yang sangat rendah, kandungan karbon organik juga sangat rendah. KTK
tergolong sedang. Dibandingkan dengan sifat awal tanah sebelum percobaan dimulai, maka pemakaian
kedua P dan bahan organik (pukan sapi) meningkatkan ketersediaan P dalam tanah, kandungan C-organik
tanah, dan kadar air tersedia sekitar berturut-turut 102%, 197%, dan 83%. Sementara itu, pemakaian kedua P
dan bahan organik menurunkan kerapatan lindak sekitar 9%.
Pupuk kandang sapi telah digunakan sebagai sumber bahan organik pada percobaan ini yang
diperoleh dari desa Lubuk Bayas, Kabupaten Deli Serdang. Sub contoh telah diambil dan dijadikan satu
contoh komposit untuk dianalisa kandungan haranya sebelum diperlakukan ke lapang. Secara rata-rata, pukan
sapi yang digunakan pada percobaan ini mengandung 1,04% N-total dan 20,6% C-organik sehingga
memberikan nilai C/N 19,8. Disamping itu, kandungan P, K, Ca, dan Mg berturut-turut adalah 0,30; 1,24;
1,62; dan 0,52%.
Sifat Tanah sebagai Pengaruh Perbedaan Perlakuan
Fosfor tersedia. Pemakaian kedua fosfor dan bahan organik secara nyata (P
-
47
(Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg P2O5 ha-1
. esemuanya ini
mempunyai peran dalam peningkatan kadar P tersedia dalam tanah.
Retensi fosfor dalam tanah. Secara umum, penggunaan pupuk P dan bahan organik tidak
berpengaruh secara nyata terhadap retensi P dalam tanah, kecuali untuk dua pengamatan terakhir yaitu 95 dan
105 HST adalah nyata berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk meretensi P dalam tanah (Tabel 2).
Pukan sapi yang digunakan dalam percobaan ini mengandung nilai C/N rasio sedang (sekitar 20), dimana hal
ini memiliki kontribusi terhadap peningkatan maupun perbaikan kesuburan tanah. Gobat dkk. (2004)
mengemukakan bahwa, nilai indeks yang baik dari kialitas pukan sapi adalah rasio C terhadap N. Nilai C/N
yang tinggi (25-30) sebagai bukti bahwa bahan organik tersebut belum melapuk secara sempurna. Dengan
adanya penambahan bahan organik ke dalam tanah diperkirakan akan menurunkan daya retensi tanah
terhadap P melalui mekanisme reaksi asam-asam organik sebagai hasil pelapukan bahan organik dimaksud
yang lebih reaktif terhadap logam-logam pemfiksasi P dalam tanah.
Kandungan karbon organik dalam tanah. Pemakaian kedua P dan bahan organik nyata
meningkatkan kandungan karbon organik tanah dan juga meningkat dengan waktu (Tabel 3). Peningkatan
karbon organik tanah karena peningkatan pemakaian P dari 0 ke 90 kg P2O5 ha-1
adalah sekitar 11%-27%.
Pengaruh pukan sapi lebih jelas, dimana rataan peningkatan C-organik dari sekitar 24% dan 50% bila
diberikan 3 ke 6 t ha-1
pukan sapi. Interaksi nyata antara penggunaan P dan bahan organik hanya terdapat
pada pengukuran pertama, dimana hal ini lebih respon terhadap pemakaian bahan organik khususnya pada
dosis tanpa pemberian P (P0).
Rata-rata peningkatan dari C-organik tanah adalah sekitar 27% bila diberikan 90 kg P2O5 ha-1
.
Pemakaian pukan sapi 6 t ha-1
meningkatkan C-organik sekitar 54% (0.86-1,32%) pada 95 HST. Interaksi
yang nyata juga diamati antara P dan pukan sapi adalah disebabkan lebih tingginya respon C-organik dalam
tanah terhadap pemakaian pukan sapi, khususnya dengan ketiadaan P (P0).
Tabel 1. Fosfor Tersedia Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P
dan Bahan Organik
Perlakuan
Hari Setelah Tanam
15 35 55 75 95 105
---------------------------------------------- ppm --------------------------------------------
P0 O0 4,67 4,86 5,83 6,18 5,57 4,83
O1 5,13 5,89 6,92 7,66 6,98 5,93
O2 5,90 6,92 7,97 9,38 7,95 7,01
Rataan 5,23 5,89 6,91 7,74 6,84 5,92
P1 O0 5,07 5,93 6,61 7,98 6,58 5,85
O1 5,47 6,90 8,39 8,64 8,33 6,93
O2 6,24 7,94 9,08 9,82 9,26 8,23
Rataan 5,59 6,92 8,03 8,81 8,06 7,00
P2 O0 6,47 7,14 8,78 8,90 8,74 6,89
O1 6,76 7,91 9,14 9,93 9,46 8,01
O2 7,07 9,88 10,72 11,74 10,79 9,71
Rataan 6,77 8,31 9,55 10,19 9,66 8,20
P3 O0 5,09 6,40 8,34 8,84 8,37 6,65
O1 5,71 7,65 8,98 9,42 9,00 7,47
O2 6,23 8,96 10,03 10,54 10,15 8,35
Rataan 5,68 7,67 9,12 9,60 9,17 7,49
Pukan sapi Rataan
O0 5,32 6,08 7,39 7,97 7,32 6,06
O1 5,77 7,09 8,36 8,91 8,44 7,08
O2 6,36 8,42 9,45 10,37 9,54 8,32
Rataan 5,82 7,20 8,40 9,08 8,43 7,15
Significance P *** *** *** *** *** ***
O *** *** *** *** *** ***
P x O tn *** * tn *** ***
LSD05 P 0,15 0,17 0,24 0,15 0,12 0,14
O 0,13 0,15 0,21 0,14 0,10 0,12
P x O - 0,29 0,42 - 0,20 0,24
CV (%) 2,26 2,39 3,13 1,58 1,41 1,98
tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.
-
48
Penggenangan secara terus menerus dalam system padi-padi secara umum berhubungan dengan
peningkatan kandungan C-organik tanah (Nambiar, dkk.,1992 dalam Hedge 1996). Fraksi koloid, yang
mengandung kedua liat dan humus dari pukan sapi, dikenal sebagai tempat berlangsungnya aktifitas kimia
dalam tanah, termasuk kapasitas untuk pertukaran ion dalam tanah (Brady dan Weil, 2002). Untuk tanah-
tanah liat, bahan organik tanah memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan KTK tanah (Weil
dan Magdoff, 2004).
Kandungan air tersedia. Kedua pemakaian P dan bahan organik nyata meningkatkan kadar air
tersedia dalam tanah (Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg
P2O5 ha-1
.
Tabel 2. Retensi Fosfor Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P
dan Bahan Organik
PERLAKUAN
Hari Setelah Tanam
15 35 55 75 95 105
----------------------------------------------- % -----------------------------------------------
P0 O0 16.05 15.82 15.80 15.57 15.28 14.60
O1 15.58 15.67 15.72 15.53 14.63 14.34
O2 15.14 15.29 15.12 15.24 14.17 13.87
Rataan 15.59 15.59 15.55 15.45 14.69 14.27
P1 O0 16.10 15.85 15.88 15.86 16.01 15.54
O1 15.77 15.98 15.77 15.78 15.24 15.13
O2 15.37 15.51 15.49 15.55 14.77 15.10
Rataan 15.75 15.78 15.71 15.73 15.34 15.26
P2 O0 16.04 15.95 15.91 15.98 16.06 16.10
O1 15.80 15.94 15.87 15.73 15.82 15.37
O2 15.92 15.71 15.73 15.72 15.36 15.34
Rataan 15.92 15.87 15.84 15.81 15.74 15.60
P3 O0 16.11 15.99 15.96 15.98 16.97 17.27
O1 15.80 15.67 15.60 16.10 16.18 15.49
O2 16.11 16.04 16.22 15.88 15.42 15.30
Rataan 16.00 15.90 15.92 15.99 16.19 16.02
Pukan sapi Rataan
O0 16.07 15.90 15.89 15.85 16.08 15.88
O1 15.74 15.81 15.74 15.79 15.47 15.08
O2 15.63 15.64 15.64 15.60 14.93 14.90
Rataan 15.82 15.78 15.75 15.74 15.49 15.29
Significance P tn tn tn tn *** ***
O * tn tn tn *** ***
P x O tn tn tn tn tn tn
LSD05 P - - - - 0.53 0.50
O 0.28 - - - 0.46 0.43
CV (%) 2.11 2.15 2.39 4.87 3.46 3.35
tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.
Pemakaian bahan organik juga meningkatkan kandungan air tersedia dalam tanah sampai sekitar 30-
33%. Interaksi antara P dan pukan sapi juga nyata kecuali pada pengukuran 15 HST dan 105 HST. Interaksi
ini utamanya disebabkan oleh respon yang lebih tinggi oleh air tersedia terhadap pemakaian bahan organik
ketika dikombinasikan dengan level dosis tertinggi dari pemakaian P (P3). Kecenderungan umum juga
bahwa kandungan air tersedia tanah meningkat dengan waktu (6-12%) sampai 95 HST. Kandungan air
tersedia meningkat dengan penambahan kedua P sampai 90 kg ha-1
P2O5) dan pukan sapi (sampai 6 t ha-1
)
adalah berturut-turut sekitar 34% dan 33%.
-
49
Tabel 3. Perubahan Karbon Organik Tanah pada Waktu Pengukuran yang Berbeda Setelah Tanam Akibat Perlakuan P
dan Bahan Organik
PERLAKUAN
Hari Setelah Tanam
15 35 55 75 95 105
------------------------------------------------------ % ------------------------------------------------------
P0 O0 0.51 0.57 0.62 0.76 0.78 0.63
O1 0.76 0.78 0.81 0.86 1.04 0.89
O2 0.82 0.96 0.97 1.01 1.20 1.17
Rataan 0.70 0.77 0.80 0.88 1.01 0.90
P1 O0 0.62 0.63 0.73 0.80 0.83 0.67
O1 0.81 0.81 0.85 0.92 1.10 0.93
O2 0.86 1.00 1.02 1.08 1.31 1.19
Rataan 0.76 0.81 0.87 0.93 1.08 0.93
P2 O0 0.69 0.71 0.80 0.81 0.91 0.73
O1 0.82 0.85 0.90 0.98 1.16 0.95
O2 1.04 1.07 1.08 1.18 1.36 1.20
Rataan 0.85 0.88 0.93 0.99 1.14 0.96
P3 O0 0.73 0.76 0.83 0.84 0.91 0.80
O1 0.85 0.86 0.91 1.03 1.18 0.96
O2 1.06 1.08 1.14 1.16 1.39 1.22
Rataan 0.88 0.90 0.96 1.01 1.16 0.99
Pukan sapi Rataan
O0 0.64 0.67 0.74 0.80 0.86 0.71
O1 0.81 0.82 0.87 0.95 1.12 0.93
O2 0.94 1.03 1.05 1.11 1.32 1.20
Rataan 0.80 0.84 0.89 0.95 1.10 0.95
Significance P *** *** *** *** *** *
O *** *** *** *** *** ***
P x O *** tn tn tn tn tn
LSD05 P 0.02 0.05 0.03 0.04 0.06 0.06
O 0.02 0.04 0.03 0.04 0.05 0.05
P x O 0.04 - - - - -
CV (%) 2.98 5.45 3.58 4.71 5.16 4.75
tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001
Table 4. Kandungan Air Tersedia Tanah pada Waktu Pengukuran Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan
P dan Bahan Organik
PERLAKUAN
HARI SETELAH TANAM
15 35 55 75 95 105
------------------------------------------------------ % ------------------------------------------------------
P0 O0 14.53 14.90 14.94 14.98 15.40 14.85
O1 16.91 16.98 17.02 17.61 18.32 16.25
O2 17.81 18.08 18.35 18.42 19.59 19.34
Rataan 16.42 16.65 16.77 17.00 17.77 16.81
P1 O0 15.78 16.42 16.49 16.84 17.52 15.92
O1 17.90 18.10 18.74 18.93 18.97 18.09
O2 19.90 20.14 20.51 20.60 20.98 20.00
Rataan 17.86 18.22 18.58 18.79 19.16 18.00
P2 O0 16.88 16.91 17.54 17.72 18.18 17.71
O1 18.38 19.11 20.12 20.32 20.75 17.50
O2 20.95 22.11 23.39 23.59 23.75 23.14
Rataan 18.74 19.38 20.35 20.54 20.89 19.45
P3 O0 18.36 18.87 18.98 19.07 19.54 17.78
O1 19.46 20.57 20.72 20.96 21.14 20.57
O2 26.89 27.20 27.48 27.72 27.91 25.93
Rataan 21.57 22.22 22.39 22.58 22.86 21.43
Pukan sapi Rataan
O0 16.39 16.78 16.99 17.15 17.66 16.57
O1 18.16 18.69 19.15 19.46 19.80 18.10
O2 21.39 21.88 22.43 22.58 23.06 22.10
Rataan 18.65 19.12 19.52 19.73 20.17 18.92
Significance P *** *** *** *** *** ***
O *** *** *** *** *** ***
P x O tn ** * *** * tn
LSD05 P 1.55 1.17 1.45 0.66 1.42 1.54
O 1.39 1.01 1.25 0.57 1.23 1.33
P x O - 2.03 2.51 1.15 2.46 -
CV (%) 4.83 6.24 4.67 3.42 4.78 4.81
tn, tidak nyata, *, **, *** nyata pada P < 0.05, 0.01, dan 0.001
-
50
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil percobaan ini adalah, bahwa
pemakaian pupuk P dan pukan sapi dapat dijadikan sebagai bahan pereklamasi lahan sawah tadah hujan di
Sumatera Utara karena dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah, kandungan C-organik tanah
dan air tersedia berturut-turut sekitar 59%, 157%, dan 72%. Perbaikan atau peningkatan sifat tanah dimaksud,
tertinggi ataupun terbaik diperoleh bila dikombinasikan antara pemberian 90 kg P2O5 ha-1
dan 6 t ha-1
pukan
sapi.
DAFTAR PUSTAKA
ADIWIGANDA, R. 1990. Reklassifikasi Tanah-tanah di Sumatera Utara ke Dalam System Taxonomy
USDA. Bulletin Pertanian. Universitas Islam Sumatera Utara. Vol. 9 (1):1-10.
BRADY, N. C., and R. R. WEIL. 2002. The Nature and Properties of Soils. 13th ed. Prentice-Hall, Upper
Saddle River, NJ. 881 p.
BPS Sumatera Utara. 2004. Statistik Luas Baku Lahan Sumatera Utara Pada Tahun 2003. Badan Pusat
Statistik Provinsi Sumatera Utara. 94 p.
ERYTHRINA, S. MARYAM, SARIMAN, MURIZAB, DARMAWATY, AKMAL, dan Z. ZAINI. 2001.
Pengelolaan Hara Terpadu Pada Lahan Sawah Tadah Hujan, Sumatera Utara. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian-Sumatera Utara. Medan. (tidak dipublikasikan). 14 p.
GOBAT, J. M., M. ARAGNO, and W. MATTHEY. 2004. The Living Soil. Fundamentals of Soil Science
and Soil Biology. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA. 602 p.
GOMEZ, K. A., and A. A. GOMEZ. 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research. International
Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. 680 p.
HARDJOWIGENO, S. 2003. Soil Science. Fifth Edition. Akademika Pressindo. Jakarta. (Indonesian
Version). 286 p.
HEDGE, D. M. 1996. Integrated Nutrient Supply on Crop Productivity and Soil Fertility in Rice (Oryza
sativa)-Rice System. Indian J. Agron. 41(1):1-8.
IRRI. 1997. Rice Almanac, 2nd
Edition. International Rice Research Institute, Manila. 181p.
MILLER, R. W., and R. L. DONAHUE. 1995. Soils in Our Environment. Seventh Edition. Prentice Hall,
Englewood Cliffs, NJ 07632. 649 p.
PILLAI, K. G. 2006. Rice (Oryza sativa L.). http://www.fertilizer.ogr/ifa/publicat/html/pubman/rice.htm
p. 1-11.
SINGH, V. P. and J. SOVYANHADI. 1998. Kinetics of phosphate fixation in acid sulfate, iron toxic and
neutral soils. Oryza. 35(2):95-105.
SOIL SURVEY STAFF. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Department of
Agriculture. Natural Resources Conservation Services. 326 p.
STEEL, R. G. D. and J. H. TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A biometrical Approach.
McGraw-Hill Book Company. New York. 633 p.
TISDALE, S. L., W. L. NELSON, and J. D. BEATON. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan
Publishing Company, New York, Collier Macmillan, Publishers, London. 754 p.
WEIL, R. R., and F. MAGDOFF. 2004. Significance of Soil Organic Matter to Soil Quality and Health. In F.
Magdoff and R.R. Weil. Soil organic matter in Sustainable Agriculture. CRC Press. Boca Raton
London, New York, Washington, D.C. p. 1-43
-
51
PENGKAJIAN PENGGUNAAN UREA DAN KOMPOS PADA PERTANAMAN JAGUNG
VARIETAS LAMURU DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING
Mulyadi, Sutardi dan B. Sudaryanto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta
ABSTRAK
Kekahatan unsur hara Nitrogen (N) dalam tanah merupakan salah satu faktor pembatas utama hasil tanaman
jagung. Di sisi lain, penggunaan pupuk Urea dan pupuk organik yang efisien dan sesuai dengan kemampuan petani perlu diperhatikan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi dosis penggunaan pupuk Urea dan kompos
terhadap hasil jagung komposit varietas Lamuru. Pengkajian dilakukan dalam MH 2005 pada tanah Vertisols di pewakil
kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul. Pengkajian dilaksanakan secara
on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari dua macam, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100
kg SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 1.250 m2. Benih jagung yang digunakan adalah benih bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih ditanam satu
biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos (A dan B) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji jagung kering. Rata-rata hasil biji jagung dari
kedua perlakuan adalah 6,69 dan 6,58 ton/ha, berarti subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton kompos/ha memberikan
hasil biji yang relatif sama. Demikian juga hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing
perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha.
Kata Kunci : lahan kering, jagung, nitrogen, kompos, produktivitas.
PENDAHULUAN
Jagung merupakan salah satu komoditas utama yang banyak diusahakan petani di daerah Kabupaten
Gunungkidul yang umumnya termasuk dalam kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering.
Tanaman jagung selain diharapkan hasil bijinya juga bahan hijauannya untuk pakan ternak.
Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman jagung yang baik dan memperoleh hasil yang tinggi
diperlukan kondisi tanah yang gembur dan subur karena tanaman ini memerlukan aerasi dan drainase yang
baik serta ketersediaan unsur-unsur hara essensial yang dapat diserap tanaman dalam keadaan cukup. Untuk
itu, pada tanah-tanah yang bertektur berat (liat), seperti halnya dijumpai pada kebanyakan tanah Vertisols,
pengelolaan tanah yang mengarah untuk perbaikan drainase maupun aerasi baik melalui pengolahan tanah
maupun pemberian pupuk organik sangat diperlukan. Di sisi lain, di antara unsur hara makro yang paling
banyak diperlukan adalah K, menyusul N dan P (Sutoro et al. 1992). Meskipun, kebutuhan N sedikit lebih
rendah daripada K namun ketersediaan N dalam tanah umumnya sangat kurang mencukupi untuk
mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal mengingat selain sifat unsur hara N yang sangat labil juga
secara alami sumber N dalam tanah sangat tergantung dari kadar bahan organik tanah yang umumnya juga
rendah (Tisdale et al., 1993). Tanah-tanah dengan tektur liat, berkadar bahan organik rendah dan miskin
unsur hara N pada umumnya banyak dijumpai di kawasan lahan kering beriklim kering khususnya di wilayah
Kabupaten Gunungkidul (Puslittanak, 1994).
Di Amerika tanaman jagung untuk menghasilkan biji sebanyak 7,5 ton/ha diperlukan sekitar 135 kg
N/ha, pada tanah dengan kadar P dan K rendah diperlukan pemupukan 100 kg P2O5 dan 170 kg K2O/ha
(Donahue et al., 1977). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi dengan berbagai jenis tanah di
Indonesia diketahui bahwa pemupukan N sebanyak 135 kg N/ha perlu dilakukan bagi tanaman jagung pada
tanah dengan kadar N kurang dari 0,4 % dan tanaman jagung umumnya memberikan respon terhadap
pemupukan P dan K masingmasing pada tanah dengan kadar kurang dari 20 mg P2O5 dan 20 mg K2O/100 gram tanah (Sutoro et al., 1992). Namun hasil penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan penggunaan
pupuk N sampai dengan 142,7 kg N/ha selain meningkatkan hasil biji juga meningkatkan kadar protein
dalam jagung (Winarso, 2005).
Dalam kaitannya dengan pemupukan N, selama ini macam pupuk yang banyak digunakan petani
adalah Urea. Namun demikian, sementara ini masalah keterbatasan ketersediaan pupuk dan harganya yang
cenderung meningkat sering menjadi kendala petani untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pupuk Urea
tersebut. Untuk itu, upaya pemanfaatan sumberdaya lokal seperti pupuk organik/kompos perlu digalakkan
kembali sebagai sarana produksi untuk peningkatan produktivitas lahan. Meskipun, kadar N dari pupuk
organik tidak setinggi pupuk Urea namun penggunaan pupuk organik dalam takaran yang relatif banyak
-
52
dapat menyumbangkan sejumlah unsur-unsur hara makro dan mikro. Di samping itu, penggunaan pupuk
organik memiliki beberapa keunggulan lain yang tidak dapat digantikan dari penggunaan pupuk
kimia/anorganik. Keunggulan tersebut antara lain adalah dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan
kemampuan tanah memegang air dan unsur-unsur hara sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
pupuk kimia, mengurangi kehilangan hara akibat pencucian dan menekan erosi.
Tulisan ini menyajikan hasil pengkajian tentang penggunaan kombinasi dosis pupuk Urea dengan
kompos dari limbah kandang pada pertanaman jagung pada tanah vertisols di daerah lahan kering beriklim
kering wilayah Kabupaten Gunungkidul.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilakukan dalam musim hujan (MH 2005) pada tanah Vertisols (Puslittanak, 1994) di
pewakil kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul (ketinggian
tempat < 700 m dan curah hujan < 2000 mm/tahun). Hasil analisis tanah diketahui bahwa rata-rata kadar C
organik dan N total masing-masing adalah 0,14 dan 0,09% yang mana secara umum tergolong sangat rendah
dan kadar P2O5 dan K2O masing-masing adalah 35,6 dan 7,0 mg/100 g tanah. Pengkajian dilaksanakan secara
on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator (sebagai ulangan) dari Kelompok Tani Sedya
Maju di dusun Ngunut Kidul, Desa Kelor, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pemilihan
lokasi dan kelompok didasarkan pada kesanggupan kelompok untuk memenuhi persyaratan dalam
penangkaran benih diantaranya adalah menghindari adanya penanaman jagung di sekeliling lokasi
penanaman jagung yang akan dikaji/ditangkarkan, minimal 200 m.
Teknologi yang dikaji terdiri dari dua macam perlakuan pemupukan, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha +
2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100 kg
SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 1.250 m2. Pemupukan Urea dilakukan dua kali yaitu 1/3 bagian pada saat tanam dan 2/3 bagian pada saat tanaman berumur 25 hari setelah tanam.
Jagung yang digunakan adalah jagung komposit (bersari bebas) varietas Lamuru dengan benih
bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih yang
digunakan mempunyai daya tumbuh 96% dan benih ditanam satu biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm.
Panen jagung dilakukan pada saat tanaman berumur 96 hari setelah tanam. Data yang dikumpulkan meliputi
tinggi tanaman, berat biji kering dan brangkasan kering. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar
perlakuan, data dianalisis dengan menggunakan uji T (T test) pada taraf beda nyata 5%.
Pengkajian ini selain dimaksudkan untuk mengetahui tingkat produktivitas tanaman juga untuk
pengawalan perbanyakan benih dan pembinaan kelompok tani dalam kemampuan dan ketrampilan
menangkarkan benih. Untuk itu, dalam pelaksanaan pengkajian dilakukan dengan mengikutsertakan
pendampingan dari BPSB Propinsi DIY dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten
Gunungkidul.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Pertumbuhan Tanaman Jagung
Hasil pengamatan keragaan pertumbuhan (tinggi tanaman) yang diperlakukan dengan perbedaan
kombinasi dosis pemupukan Urea dengan kompos disajikan dalam Tabel 1. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha
dan (B) 300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman baik yang
diamati pada saat mulai berbunga maupun saat panen.
Tabel 1. Keragaan Tinggi Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos di Karangmojo, MH 2005
Keragaan Tanaman dan Hasil
Taraf Dosis A
(450 kg Urea + 2,5 ton
kompos/ha)
Taraf Dosis B
(300 kg Urea + 5,0 ton
kompos/ha)
Keragaan Pertumbuhan Tanaman :
1. Tinggi tanaman saat mulai berbunga, umur 55 hst (cm) 220,9 208,5
2. Tinggi tanaman saat panen, 96 hst (cm) 225 215
Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.
-
53
Komponen Hasil Panen Jagung
Tanaman jagung selain dimaksudkan untuk produksi biji juga hasil hijauan, klobot dan tongkolnya
potensial untuk pakan ternak. Seperti halnya pengaruh terhadap tinggi tanaman, perbedaan perlakuan
komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg
Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap hasil brangkasan/tebon dan jagung berkulit
kering termasuk komponen-komponennya (Tabel 2). Rata-rata hasil biji jagung dari kedua perlakuan adalah
6,69 dan 6,58 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing
perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol
tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha.
Tabel 2. Hasil Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos Di Karangmojo,
MH 2005
Komponen Hasil Panen Jagung
Taraf Dosis A
(450 kg Urea + 2,5
ton kompos/ha)
Taraf Dosis B
(300 kg Urea + 5,0
ton kompos/ha)
1. Berat tebon (brangkasan) ton/ha 11,38 10,88
a. Berat tebon bagian atas tongkol (umumnya untuk pakan ternak) ton/ha
3,48 3,72
b. Berat tebon bagian bawah tongkol (umumnya tidak dimanfaatkan untuk pakan) ton/ha
7,90 7,16
2. Jagung berkulit kering (ton/ha) 19,67 19,28
a. a. Klobot kering 7,87 7,71
b. b. Tongkol kering tanpa biji 5,11 5,01
c. Jagung pipilan kering kadar air 14 % (ton/ha) 6,69 6,56
Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.
Hasil pengkajian dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton
kompos/ha memberikan hasil tanaman yang relatif sama. Bila dinilai secara ekonomi, subsitusi penggunaan
Urea 150 kg/ha (harga Rp 1.050/kg) dengan 2,5 ton kompos/ha (harga Rp 250/kg) maka pemupukan 300 kg
Urea + 5 ton kompos/ha relatif lebih mahal sekitar Rp 467.500/ha, namun ketersedian pupuk kompos yang
dapat diproduksi petani sendiri secara lokal lebih mungkin terjamin dan mudah di dapat, khususnya hal ini
akan mungkin dapat dipenuhi bagi petani yang mempunyai ternak. Di samping itu, penggunaan kompos
secara berkelanjutan berpotensi untuk memperbaiki kesuburan tanah yang pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap peningkatan hasil tanaman berikutnya. Untuk itu, pengembangan usahatani integrasi tanaman dan
ternak di kawasan lahan kering beriklim kering sangat penting artinya karena merupakan usaha yang saling
komplementer baik untuk peningkatan pendapatan maupun pemeliharaan keberlanjutan produktivitas lahan.
KESIMPULAN
Pada lahan kering dengan tanah Vertisols berkadar C organik dan N total rendah yang ditanami
jagung varietas Lamuru dengan pemupukan (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha atau (B) 300 kg Urea + 5,0
ton kompos/ha memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman (brangkasan dan biji kering) yang relatif sama.
Penggantian penggunaan Urea 150 kg/ha dengan 2,5 ton kompos/ha tidak mempengaruhi hasil tanaman
jagung. Rata-rata hasil biji jagung yang diperoleh adalah 6,58-6,69 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang
potensial untuk pakan ternak, yaitu untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 - 3,72; klobot 7,71 - 7,87 dan
tongkol tanpa biji 5,01 -5,11 ton/ha.
-
54
DAFTAR PUSTAKA
Donahue, R.L., R.W. Miller, and J.C. Shikluna. 1977. Soils. An Introduction to Soil and Plant Growth.
Prentice-Hall, Inc. New Yersey.
Puslittanak, 1994. Laporan Akhir; Survai Dan Pemetaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Pertanian
Lahan Kering Dan Konservasi Hutan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Laporan Akhir No.
03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan.
Sutoro, Y. Soelaeman dan Iskandar. 1992. Budidaya Tanaman Jagung. Paket Informasi Jagung. Pusat
Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Litbang Pertanian.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Havlin. 1993. Soil Fertility and Fertilizers, 5th
Ed.
Macmillan Publishing Company. New York.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media.
Yogyakarta.
-
55
PENGARUH PERANGKAP LAMPU TERHADAP INTENSITAS SERANGAN HAMA DAN
PRODUKSI PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH
I.B.K. Suastika1, Agus Thomas Sutiarso
2, I.Ketut Kariada
2 dan I.B. Aribawa
1
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
2Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang
ABSTRAK
Penelitian pengaruh perangkap lampu terhadap intensitas serangan hama dan produksi pada budidaya bawang
merah dilaksanakan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng dari bulan
Oktober sampai Desember 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu dan introduksi
bawang merah varietas kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil. Bibit bawang merah di tanam dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada bedengan berukuran lebar 70 cm dalam luasan area 0,5 ha. Pemupukan dengan 90 kg P2O5/ha
sebagai pupuk dasar, 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O5/ha. Pupuk susulan pertama dan kedua
diberikan pada 10-15 hari setelah tanam (hst) dan 30 hst, masing-masing dosis. Pemeliharaan tanaman meliputi
kegiatan penyiangan dan pengairan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Parameter yang diukur meliputi tibggi tanaman, jumlah daun, populasi hama, populasi telur, larva dan imago S. exigua serta kerusakan tanaman. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning
dan penggunaan perangkap lampu berpengaruh terhadap serangan hama dan pertumbuhan bawang merah. Pada umur 45
hst, tinggi tanaman varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dengan jumlah daun lebih banyak sekitar 10,52% dibandingkan dengan varietas Pinggan. OPT yang paling dominan ditemukan pada petak percobaan adalah S. exigua,
diikuti berturut turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT tersebut meningkat sejalan dengan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 35 dan 42 hst. Penggunaan varietas Kuning
ternyata dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25 %. Fluktuasi populasi S. exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago dan telur S. exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst
Dengan menerapkan inovasi teknologi persentase kerusakan tanaman relatif rendah dan berada di bawah ambang
pengendalian sebesar 10%. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. exigua dibandingkan dengan varietas
lokal Pinggan. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat
mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali. Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang
merah dalam luasan 0,5 ha adalah sebesar Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95.
Kata kunci: Lampu perangkap, hama dan produksi, bawang merah
PENDAHULUAN
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang
sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok
rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional.
Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup
tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp.2,7 triliun/tahun) dengan potensi pengembangan areal
cukup luas mencapai 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005). Penyebaran yang cukup luas dan besarnya
minat petani terhadap komoditas bawang merah terutama disebabkan oleh daya adaptasinya yang luas, yaitu
dapat di tanam dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut (Suwandi,
1989; Suwandi dan Hilman ,1995; Nurmalinda dan Suwandi, 1995).
Berdasarkan data periode waktu 1989-2000, rata-rata produksi dan luas panen bawang merah di
Indonesia berturut-turut adalah 614.128,5 ton dan 79.819,42 ha/tahun (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
dan Hortikultura, 1999; Basuki et al., 2002). Sementara itu, dalam periode yang sama pola pertumbuhan
produksi bawang merah di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian,
pertumbuhan rata-rata produksi bawang merah di Indonesia yang mencapai 7,75% tampaknya lebih
disebabkan oleh peningkatan luas panen daripada peningkatan produktivitas. Hal ini dapat ditunjukkan oleh
peningkatan luas panennya (3,83%) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan peningkatan produktivitas
(3,33%). Dengan demikian, ketidak-stabilan produksi bawang merah secara umum akan lebih dipengaruhi
oleh keragaman luas panen dibandingkan dengan keragaman produktivitas.
Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama (luas areal
panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat,
Jawa Tengah, D.I. Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Kesembilan propinsi ini
menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada
tahun 2003. Konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38
kg/kapita/bulan, menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi sebesar 10-20% (Dirjen
-
56
Hortikultura, 2005). Meskipun minat petani terhadap bawang merah cukup besar, namun dalam
pengusahaannya masih ditemui berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi dalam budidaya bawang
merah, antara lain : (1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah dan mutu);
(2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara optimal; (3) sarana dan prasarana
masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5)
skala usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan; (6)
produktivitas cendrung mengalami penurunan; (7) harga cendrung berfluktuasi dan masih dikuasai oleh
tengkulak; (8) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) semakin bertambah. Hal tersebut
diindikasikan oleh rendahnya tingkat produktivitas yang dapat dicapai, yaitu 7,6 t/ha (Basuki et al. 2002).
Hama penting yang menyerang tanaman bawang merah antara lain ulat bawang (Spodoptera
exigua), lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis), thrips (Thrips tabaci), orong-orong (Grillotalpa spp),
ulat grayak (Spodoptera lutura) dan ngengat gudang Ephestia cautella). Potensi kehilangan hasil oleh OPT
utama bawang merah dapat mencapai 138,4 milyar (Anonim, 2004).
Salah satu upaya untuk mengurangi serangan OPT, meningkatkan produktivitas dan daya saing
komoditas bawang merah adalah melalui pengembangan dan penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT) yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian. PTT adalah segala tindakan
usahatani secara terpadu yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman optimal, kepastian
keberhasilan panen, mutu produk tinggi dan aman untuk dikonsumsi, serta dapat menjaga kelestarian
lingkungan dan keseimbangan ekologis. PTT bersifat spesifik lokasi, dapat berbeda antar petani, integrasi
teknologi maju dengan teknologi asli petani (Fliert, 199). Beberapa komponen PTT antara lain : (1)
penentuan pemilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat, musim tanam; (2) penyediaan lingkungan optimal
yang tidak kondusif untuk perkembangan hama/penyakit; (3) penyediaan bibit dan varietas unggul tahan
hama/penyakit; (4) pola tanam, rotasi tanaman; (5) pengelolaan hara, tanah, air dan gulma; (6) penerapan
PHT; (7) pengelolaan tanaman optimal; (8) panen tepat waktu; (9) penanganan pasca panen dan (10)
pemasaran dengan efisien. Dalam peneltian ini komponen PTT yang diterapkan adalah penggunaan
perangkap lampu dan varietas unggul. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu
dan introduksi bawang merah varietas unggul kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil.
BAHAN DAN METODA PENELITIAN
Penelitian dilakukan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten
Buleleng, Bali dari bulan Oktober sampai Desember 2005 pada luas areal 0,50 ha.
Teknologi budidaya yang diterapkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Penelitian
diranacang menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 perlakuan. Perlakuan dimaksud adalah
varietas unggul kuning dan varietas lokal (kontrol). Masing-masing perlakuan (bibit bawang kuning dan
lokal) ditanam berseling antar bedengan dalam satu petak lahan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada
bedengan berukuran lebar 70 cm. Lampu perangkap detempatkan berjejer segera setelah tanam pada
pinggiran bedengan (pematang) sebanyak 18 buah dengan jarak antar lampu perangkap 15 m. Lampu
perangkap dinyalakan dari pukul 06.00 sore 12.00 malam.
Tabel 1. Teknologi yang Diterapkan Dalam Pengembangan Teknologi Inovatif Bawang Merah.
Komponen Teknologi Teknologi
Varietas Kuning
Lokal
Budidaya Pengolahan tanah sempurna
Pengapuran bila pH < 5,6
Jarak tanam = 15 x 20 cm
Pemupukan : - Pupuk dasar : 90 kg P2O5/ha dan pupuk organik - Pupuk susulan : 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O/ha - Pemupukan susulan I dilakukan pada umur 10-15 hst dan II 30 hst, masing-
masing dosis.
Sistem Tanam Monokultur
Pengendalian OPT Pengendalian secara mekanik (ngama)
Penggunaan perangkap lampu
Penggunaan insektisida selektif bila serangan OPT telah mencapai ambang ekonomi
-
57
Perameter yang diukur meliputi pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah
anakan) yang dilakukan pada 15 hst. Pengukuran parameter jumlah OPT dilakukan setiap seminggu sekali
dimulai pada 14 hst dengan menghitung banyaknya OPT yang tertangkap pada lampu perangkap. Sementara
pengukuran parameter banyaknya masing-masing stadia OPT yang ditemukan pada petak percobaan
dilakukan setiap seminggu sekali dimulai pada 14 hst dengan cara pengamatan langsung. Data yang
terkumpul dari masing-masing parameter yang diamati kemudian dianalisis menggunakan program Irristat,
2.0, yang dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman bawang merah (tinggi tanaman, jumlah daun dan
jumlah anakan) selama percobaan berlangsung disajikan pada Tabel 1, 2, 3 dan Gambar 1, 2, 3.
Tinggi Tanaman
Terdapat perbedaan pertumbuhan antara varietas Kuning (hasil pelepasan Balitsa) dan varietas
Pinggan (lokal). Varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dibandingkan dengan varietas Pinggan. Pada
umur 45 HST, tinggi tanaman varietas Kuning mencapai 26,84 cm dan varietas Pinggan mencapai 24,06 %
(Tabel 1 dan Gambar 1).
Tabel 1. Tinggi Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.
Varietas Tinggi Tanaman (cm)
15 hst 30 hst 45 hst
Kuning 18,97 a 20,79 a 26,84 a
Pinggan 16,98 b 21,73 a 24,06 b
KK (%) 4,2 5,6 7,8
BNT 5 % 0,58 ns 1,08
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
Gambar 1. Tinggi tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Jumlah Daun
Hasil pengamatan terhadap jumlah daun bawang merah selama percobaan berlangsung di sajikan
pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dari tiga kali pengamatan dapat dilihat bahwa varietas Kuning mempunyai daun
lebih banyak dibandingkan dengan varietas Pinggan sekitar 10,52 %.
Tabel 2. Jumlah Daun Bawang Merah, Buleleng 2005.
Varietas Jumlah Daun
15 hst 30 hst 45 hst
Kuning 13,69 a 24,11 a 24,16 a
Pinggan 10,43 b 19,52 b 21,86 b
KK (%) 6,8 7,9 4,2
BNT 5 % 1,12 3,80 0,63
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
0
5
10
15
20
25
30
Tinggi Tanaman (cm)
15 30 45
Umur (hst)
Kuning
Pinggan
0
5
10
15
20
25
30
Tinggi Tanaman (cm)
15 30 45
Umur (hst)
Kuning
Pinggan
-
58
Gambar 2. Jumlah daun bawang merah, Buleleng 2005.
Jumlah Anakan
Dari Tabel 3 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa teknologi yang digunakan berpengaruh terhadap
jumlah anakan bawang merah. Penggunaan varietas Kuning ternyata mampu menghasilkan anakan bawang
merah lebih besar dibandingkan dengan varietas Pinggan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa, varietas
kuning mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lokal Pinggan. Tabel 3. Jumlah Anakan Bawang Merah, Buleleng 2005.
Varietas Jumlah Anakan
15 hst 30 hst 45 hst
Kuning 5,23 a 5,58 a 6,08 a
Pinggan 4,51 b 4,75 b 5,25 b
KK (%) 11,2 9,8 13,2
BNT 5 % 0,51 0,75 0,49
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
Gambar 3. Jumlah anakan bawang merah, Buleleng 2005.
2) Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)
Hasil pengamatan terhadap keragaan OPT pada tanaman bawang merah selama percobaan
berlangsung disajikan pada Tabel dan Gambar. OPT dominan yang terdapat pada petak percobaan, baik pada
varietas Kuning maupun Pinggan adalah S. exigua. Populasi OPT tersebut berbeda antar varietas yang diuji.
Teknologi perangkap lampu yang digunakan dikombinasikan dengan pengendalian secara mekanis dan
penggunaan insektisida secara nyata dapat menekan populasi OPT sampai di bawah ambang pengendalian.
Beberapa OPT yang tertangkap pada perangkap lampu disajikan pada Tabel 4. OPT yang paling
dominan adalah S. exigua, diikuti berturut turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT tersebut meningkat sejalan dengan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada
umur 35 dan 42 hst.
0
1
2
3
4
5
6
7
Jumlah Anakan
15 30 45Umur (hst)
Kuning
Pinggan
0
1
2
3
4
5
6
7
Jumlah Anakan
15 30 45Umur (hst)
Kuning
Pinggan
0
5
10
15
20
25
Jumlah Daun
15 30 45
Umur (hst)
Kuning
Pinggan
0
5
10
15
20
25
Jumlah Daun
15 30 45
Umur (hst)
Kuning
Pinggan
-
59
Tabel 4. Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Perangkap lampu, Buleleng 2005.
Jenis OPT Umur Tanaman
14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst
Spodoptera exigua 62,59 a 60,00 a 66,59 a 72,24 a 73,65 a
Grillotalpha sp. 2,35 b 4,59 b 3,00 b 4,06 b 4,29 b
Coleoptera 4,24 b 9,00 b 9,24 b 11,65 b 10,59 b
Jangkrik 2,06 b 1,59 b 2,12 b 2,12 b 2,41 b
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
Gambar 4. Keragaan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) Perangkap lampu, Buleleng 2005.
Populasi Telur Spodoptera exigua
Pengamatan terhadap telur S. Exigua disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Populasi telur S. Exigua
selalu meningkat mengikuti pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 42
hst sebesar 0,60 untuk varietas Kuning dan 0,80 untuk varietas Pinggan. Penggunaan varietas Kuning
ternyata dapat menekan populasi telur S. Exigua sebesar 25 %.
Tabel 5. Populasi Telur Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.
Varietas Populasi Telur Spodoptera exigua
21 hst 28 hst 35 hst 42 hst
Kuning 0,40 a 0,45 a 0,55 a 0,60 a
Pinggan 0,70 a 0,40 a 0,60 a 0,80 a
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
Gambar 7. Populasi telur Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Populasi Larva Spodoptera exigua
Fluktuasi populasi S. Exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago
dan telur S. Exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst (Tabel 6 dan Gambar 6).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
14 21 28 35 42
Umur (hst)
Ima
go
(ek
or)
Spodoptera exigua
Orong-orong
Coleopthera
Jangkrik
0
10
20
30
40
50
60
70
80
14 21 28 35 42
Umur (hst)
Ima
go
(ek
or)
Spodoptera exigua
Orong-orong
Coleopthera
Jangkrik
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
21 28 35 42
Umur (hst)
Po
pu
lasi
Telu
r
Kuning
Pinggan
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
21 28 35 42
Umur (hst)
Po
pu
lasi
Telu
r
Kuning
Pinggan
-
60
Tabel 6. Populasi Larva Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.
Varietas Populasi Larva Spodoptera exigua
21 hst 28 hst 35 hst 42 hst
Kuning 0,95 a 0,75 a 0,70 a 1,15 a
Pinggan 0,70 a 0,85 a 1,05 a 0,90 a
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
Gambar 6. Populasi larva Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Kerusakan Tanaman
Hasil pengamatan terhadap kerusakan tanaman bawang merah selama percobaan berlangsung
disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7. Persentase kerusakan relatif rendah dan ada di bawah ambang
pengendalian sebesar 10 %. Penggunaan teknologi PHT pada tanaman bawang merah, yaitu penggunaan
perangkap lampu, pengendalian secara mekanis, penggunaan insektisida ternyata dapat menekan serangan S.
Exigua. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. Exigua dibandingkan dengan varietas ocal
Pinggan. Tabel 7. Kerusakan Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.
Varietas Kerusakan Tanaman
21 hst (%) 28 hst (%) 35 hst (%) 42 hst (%)
Kuning 3,10 a 4,10 a 4,30 a 4,90 a
Pinggan 3,30 a 4,70 a 4,90 a 6,10 a
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
Gambar 7. Kerusakan tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Rendahnya kerusakan tanaman diduga disebabkan karena banyaknya populasi ngengat S. Exigua
yang tertangkap lampu perangkap sehingga kesempatan ngengat untuk meletakkan telur dan menghasilkan
larva yang merusak tanaman menjadi lebih sedikit. Jika tidak dikendalikan hama ini dapat menimbulkan
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
21 28 35 42
Umur (hst)
Pop
ula
siL
arva
Kuning
Pinggan
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
21 28 35 42
Umur (hst)
Pop
ula
siL
arva
Kuning
Pinggan
0
1
2
3
4
5
6
7
21 28 35 42Umur (hst)
Ker
usa
kan
Tan
aman
(%)
Kuning
Pinggan
0
1
2
3
4
5
6
7
21 28 35 42Umur (hst)
Ker
usa
kan
Tan
aman
(%)
Kuning
Pinggan
-
61
kehilangan hasil rata-rata 17,3 ribu ton setiap tahunnya dan mengakibatkan kerugian sebesar 553,7 milyar
rupiah (Anonimus, 2004).
Hasil Panen
Hasil panen bawang merah disajikan pada Tabel 8. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah
terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali.
Tabel 8. Hasil Panen Bawang Merah, Buleleng 2005.
Varietas Produksi (Kg)
Kuning (2500m2) 3.237 a
Pinggan (2500 m2) 1.308 b
KK (%) 24,5
BNT 5 % 0,37
Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
3) Analisis Usahatani
Hasil analisis usahatani (Tabel 9) menunjukkan, bahwa usahatani bawang merah seluas 50 are (1 are
= 100 m2) memerlukan biaya total sebesar Rp 5.103.100. Dengan hasil yang diperoleh Rp. 10.000.000
(ditebas), usahatani memberikan nilai keuntungan sebesar Rp 4.896.900. Jika dihitung dalam R/C rasio maka
diperoleh nilai R/C rasio sebesar 1,95 yang artinya setiap satu rupiah modal yang dikeluarkan untuk
usahatani bawang merah akan mempnyai tingakt pengembalian senilai Rp 1,95 rupiah.
Tabel 9. Analisis Usahatani Bawang Merah (Per 50 are) di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005.
Input Kuantitas Unit Harga per unit Biaya per 50 are
Bibit 350 kg 5000/kg 1 750 000
Bokashi/semanggi 250 kg 350/kg 87 500
TSP 100 kg 80 000/50 kg 70 000
Urea 50 kg 55 000/50 kg 55 000
Dekamon 2bks 22 000/bks 44 000
ZA 75 kg 46 000/50 kg 92 000
KCl 50 kg 50 000/50 kg 130 000
Hostation 4 botol 168 000
Proexist 1 Kg 66 000
Dursban l 84 000
Dithane 1 kg 95 000
Antracol 1 kg 35 000
Bajak 8 Hkw 350 000
Bedengan 8 hkp 500 000
Tanam 6 350 000
Pemupukan dasar 4 50 000
Pemupukan susulan I& II 100 000
Penyiangan 400 000
Penyiraman dan semprot 375 000
Panen -
Pengangkutan -
Pasca panen/pritil -
Sewa lahan 800 000/are/tahun 300 000
Pengairan -
Iuran HIPA 4 000/are/tahun 1 300
Pajak bumi 800/are/tahun 300
Total biaya produksi 5 103 100
Nilai jual (tebas) 10 000 000
Pendapatan bersih (Rp/450 are) 4 896 900
R/C rasio 1,95
-
62
KESIMPULAN
1. Penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning dan penggunaan perangkap lampu mampu menekan kerusakan tanaman oleh hama utama S. exigua dibawah ambang
pengendalian sebesar 10% serta dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25%.
2. Penggunaan varietas unggul kuning dalam budidaya bawang merah setelah padi mampu meningkatkan produksi bawang sebesar 2,47 kali.
3. Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang merah dalam luasan 50 are adalah sebesar Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Kinerja Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Horticultura 2000 2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi Horticultura Yakarta. 133 hal.
Baharsyah, S. 1992. Dampak pengurangan subsidi pupuk terhadap pendapatan usahatani. Prosiding Efisiensi
Penggunaan Pupuk. Puslittanak, Bogor.
Basuki, R. S., W. Adiyoga, A. Hidayat dan A. Dimyati. 2002. Profil komoditas dan analisis kebijaksanaan
bawang merah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 61 h.
Benbrook, C.M. 1991. In: Board on national research council. Sustainable agric. Research and education in
the field. Proc. National Academic Press. Washington DC: 1-10.
Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan Pengembangan Produksi Bawang Merah di
Indonesia. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah,
Surabaya, 5 7 Juli 2005.
Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Vademekum pemasaran 1990-1999.
Direkorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil. Jakarta.
Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah. Dalam Sunarjono, H.,
Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang
merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta: 19.
Suwandi. 1989. Bawang merah. Dalam Subhan, Sudjoko, Suwandi dan Z. Abidin (Eds.). Bercocok tanam
sayuran dataran rendah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian
Hortikultura Lembang, Proyek ATA-395, Bandung.
Suwandi dan Y. Hilman. 1995. Budidaya tanaman bawang merah. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H.
Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta:
51.
-
63
Curah Hujan
Curah hujan tertinggi di Desa Bungkulan terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret, sedangkan
curah hujan terendah (tidak terdapat hujan) terjadi pada bulan Juli sampai September.
Gambar 2. Curah hujan di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005.
Curah Hujan
0
2
4
6
8
10
12
14
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Curah Hujan
-
64
PENGKAJIAN SISTIM USAHATANI JAGUNG QPM DI LAHAN KERING DATARAN MEDIUM
BER IKLIM BASAH - BANGLI
IGK. Dana Arsana
Balai Pengkajian Teknoogi Pertanian Bali
ABSTRAK
Pengkajian Sistim Usahatani Jagung (Quality Protein Maize) QPM di Lahan Kering Dataran Medium Ber
Iklim Basah dilaksanakan musim tanam tahun 2005, bulan Juni sampai Oktober 2005. Pengkajian ditempatkan di tiga Kelompok Tani yaitu 1) kelompok "Sari Mekar II" di desa Susut dengan pelaksana 17 orang petani luas 2.42 Ha; 2).
Subak Abian Pad-Padan, desa Pengootan Kecamatan Susut pelaksana 8 orang, Luas 1,70 Ha dan; 3).kelompok tani
"Tiing Desa" Desa Pengootan Kecamatan Susut dengan pelaksana 17 petani luas 2,00 Ha jumlah keseluruhan mencapai
6,12 Ha. Hasil pengkajian menunjukkan walaupun tanaman belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal namun masih menguntungkan Pertanaman termasuk diluar musim tanam. Pertanaman di kelompok tani "Sari Mekar II". Jagung
QPMSrikandi Kuning mampu berproduksi 2.9 ton/ha. dengan B/C Ratio 1,65. Setelah di kurangi biaya produksi petani masih mampu mendapatkan keuntungan Rp. 3.337.500/ha. Di kelompok tani Pad-Padan petani mampu mendapatkan
keuntungan Rp. 2.390.000,- dengan B/C Ratio 1,92. lebih tinggi dibandingkan di kelompok Sari Mekar II. Sedangkan di kelompok "Tiing Desa" petani mampu mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.290.000,- dengan B/C Ratio sebesar
1,79.
Kata kunci : usahatani, jagung QPM
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Luas Propinsi Bali yang mencakup areal 5.632,86 km2 (0,29%) dari luas Indonesia, penduduknya
bermata pencaharian dalam sektor pertanian. Propinsi Bali terdiri dari beberapa Pulau yaitu Pulau Bali yang
merupakan Pulau terbesar, Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Serangan dan Menjangan.
Jumlah penduduk Bali Tahun 2002 sebesar 3.216.881 jiwa (Bali Membangun 2002). Luas lahan yang
potensial untuk tanaman jagung di Bali mencapai 36.142 hektar terdiri atas lahan sawah dan lahan kering.
Bangli merupakan pengembangan untuk usaha peternakan ayam.
Hasil PRA (Participatory Rural Apraisal) tahun 2003 menunjukkan bahwa minat petani menanam
jagung dan palawija lainnya cukup besar. Kendala yang menghambat adalah kesulitan mendapatkan benih,
pemasaran dan penanganan pasca panen (Arsana IGK D, dkk, 2003). Hasil uji multilokasi jagung QPM
yang dilaksanakan di Bangli TA. 2004 menunjukkan hasil 5 6 ton jagung pipilan kering/ha. Data hasil pengkajian mempunyai kontribusi menyumbang data secara nasional untuk melepas jagung Srikandi Putih
dan Srikandi Kuning (Arsana IGK D, dkk, 2004).
Hasil pengkajian pemberian pakan jagung QPM terhadap ayam pedaging tahun 2004, secara nyata
dapat menghemat biaya pakan tanpa menyebabkan adanya pengaruh buruk terhadap penampilan dan
produksi ayam potong. Dari hasil analisis biaya pakan yang diberikan pada setiap perlakuan diketahui bahwa
penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi kuning sampai 20% akan menghemat biaya pakan
sebesar Rp. 222,50 (7,42%) per kg pakan dibandingkan dengan pemberian pakan kmersial 100%, sedangkan
penggantian dengan 10% jagung serikandi putih maupun kuning akan menghemat biaya pakan sebesar
Rp. 102,50 (3,42%) per kg pakan (Wiguna., et al . 2004).
Introduksi varietas unggul baru jagung QPM Srikandi Putih dan Kuning pada lahan kering dataran
medium beriklim basah Bangli untuk skala usahatani
Metodologi Penelitian
Berdasarkan jenisnya termasuk penelitian pengembangan. Sedangkan berdasarkan percepatan
adopsi teknologi kegiatan ini termasuk on farm adaptive research. Lokasi pengkajian ditempatkan di tiga
kelompok tani yaitu: 1) kelompok Sari Mekar II dengan pelaksana di Desa Susut terdiri dari 17 orang petani = 242 are; 2) subak Abian Pad-Padan 8 orang = 170 are dan; 3) kelompok tani Tiing Desa13 petani = 200 are jumlah keseluruhan adalah 612 are atau 6.12 Ha. Masing-masing berada di Desa Pengootan
kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Untuk mengevaluasi untung rugi masing-masing komponen teknologi
yang dikaji seperangkat analisis dipakai seperti: Analisis kelayakan finansial yang dipergunakan adalah Gros
B/C rasio.
-
65
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi pengkajian merupakan lahan kering beriklim basah, selama pertumbuhannya tanaman jagung
tidak mendapat pengairan. Waktu tanam akhir bulan Mei 2005 tanah masih dalam keadaan lembab namun
hal ini menyebabkan pertumbuhan awal tanaman jagung cukup baik. Walaupun telah diuji dibeberapa
tempat tanaman jagung Srikandi nampaknya belum menunjukkan kemampuan beradaptasi yang optimal.
Tanaman jagung Srikandi kurang tahan terhadap kekeringan. Untuk lahan kering Medium dataran sedang
Bangli, waktu tanam dan musim tanam sangat menentukan keberhasilan pertanaman. Karakteristik petani
kooperator dalam pelaksanaan pengkajian terutama dari segi umur memberikan gambaran yang menunjang
dalam pelaksanaan pengkajian, rata-rata berumur 40-50 tahun. Respon awal p