54 Ilyas Supena...Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme SOSIO-RELIGIA,...

21
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009 Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme Oleh: Ilyas Supena * Abstrak Dakwah secara esensial bukan hanya berarti usaha mengajak manusia untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Salah satu realitas hidup yang dihadapi manusia adalah pluralitas sosial, budaya, etnik dan agama. Multikulturalisme lalu muncul sebagai gerakan dan ideologi yang berusaha mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Multikulturalisme bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain, dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia. Konsep multikulturalisme tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others). Islam sendiri mengajarkan pada pengikutnya bahwa manusia memang diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku agar saling mengenal. Pandangan ini bisa kembalikan kepada sikap dasar Islam pada intinya menyeru semua umat manusia untuk menuju cita-cita bersama dalam bingkai kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid. Da’i sebagai bagian terpenting dari komponen dakwah harus mengedepankan tema-tema yang dapat melahirkan keharmonisan dan kedamaian dalam tataran kemanusiaan secara universal. Secara lebih spesifik, da’i multikulturalis akan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan menekankan ajaran agama yang berwawaskan multikulturalisme, seperti berikut. Pertama, ajaran agama yang mengakui keragaman sebagai hakikat ciptaan-Nya, Kedua, ajaran-ajaran yang menekankan pentingnya menghargai dan menghormati perbedaan, Ketiga, ajaran yang menekankan sikap santun terhadap orang lain (kemanusiaan), Keempat, ajaran kemampuan menghormati orang lain menunjukkan kebesaran agama yang dianut, Kelima, ajaran prinsip dasar agama adalah kebaikan dan kasih sayang. Kata kunci: amar ma’ruf nahi munkar, dakwah transformatif, pluralitas multikulturalisme. * Dosen ilmu filsafat pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang

Transcript of 54 Ilyas Supena...Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme SOSIO-RELIGIA,...

  • SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    Oleh: Ilyas Supena∗

    Abstrak

    Dakwah secara esensial bukan hanya berarti usaha mengajak manusia untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Salah satu realitas hidup yang dihadapi manusia adalah pluralitas sosial, budaya, etnik dan agama. Multikulturalisme lalu muncul sebagai gerakan dan ideologi yang berusaha mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Multikulturalisme bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain, dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia. Konsep multikulturalisme tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others).

    Islam sendiri mengajarkan pada pengikutnya bahwa manusia memang diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku agar saling mengenal. Pandangan ini bisa kembalikan kepada sikap dasar Islam pada intinya menyeru semua umat manusia untuk menuju cita-cita bersama dalam bingkai kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid.

    Da’i sebagai bagian terpenting dari komponen dakwah harus mengedepankan tema-tema yang dapat melahirkan keharmonisan dan kedamaian dalam tataran kemanusiaan secara universal. Secara lebih spesifik, da’i multikulturalis akan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan menekankan ajaran agama yang berwawaskan multikulturalisme, seperti berikut. Pertama, ajaran agama yang mengakui keragaman sebagai hakikat ciptaan-Nya, Kedua, ajaran-ajaran yang menekankan pentingnya menghargai dan menghormati perbedaan, Ketiga, ajaran yang menekankan sikap santun terhadap orang lain (kemanusiaan), Keempat, ajaran kemampuan menghormati orang lain menunjukkan kebesaran agama yang dianut, Kelima, ajaran prinsip dasar agama adalah kebaikan dan kasih sayang.

    Kata kunci: amar ma’ruf nahi munkar, dakwah transformatif, pluralitas multikulturalisme.

    ∗ Dosen ilmu filsafat pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    934

    A. Pendahuluan

    Berdasarkan penelusuran akar kata (etimologis), kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata yad’u (fiil mudhar’i) dan da’a (fiil madli) yang artinya adalah memanggil (to call), mengundang (to invite), mengajak (to summer), menyeru (to propo), mendorong (to urge) dan memohon (to pray). Sementara itu, secara konseptual dakwah dipahami oleh para pakar secara beragam. Ibn Taimiyyah, misalnya, mengartikan dakwah sebagai proses usaha untuk mengajak masyarakat (mad’u) untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sekaligus mentaati apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya itu.1 Sementara itu, Abdul Munir Mulkhan mengartikan dakwah sebagai usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat,2 sedangkan Ali Mahfuzh mendefinisikan dakwah sebagai upaya memotivasi ummat manusia untuk melaksanakan kebaikan, mengikuti petunjuk serta memerintah mereka berbuat ma‘ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.3

    Berdasarkan pengertian tersebut, maka dakwah secara essensial bukan hanya berarti usaha mengajak (mad‘u) untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.4 Jadi, dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki.

    Pandangan semacam ini juga pernah dikemukakan oleh Amrullah Ahmad. Menurutnya, dakwah adalah mengajak umat manusia supaya masuk ke dalam jalan Allah (sistem dakwah) secara menyeluruh baik dengan lisan dan tulisan maupun dengan perbuatan dalam rangka mewujudkan ajaran Islam menjadi kenyataan dalam kehidupan syahsyiyyah, usrah jamaah dan ummah dalam semua segi kehidupan sehingga terwujud kualitas khairul ummah (Q.S. 16: 125; Q.S. 2: 208; 5: 67; 33; 21; 3: 104 dan 3: 110).5

    1 Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Juz XV, cet. Pertama, (Riyad: Mathabi’ al-

    Riyad, 1985), p. 185. 2 al-Bahy al-Khauly, Tadzkirat al-Du’at, Cet. ke-8, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turas,

    1408 H/1987 M), p. 35. 3 Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin, Cet. ke-7, (Mesir: Dar al-Mishr, 1975),

    p. 7. 4 Lihat Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: SI Press,

    1996), p. 205. 5 Amrullah Ahmad, Dakwah Islam sebagai Ilmu: Sebuah kajian Epistemologi dan

    Struktur Keilmuan Dakwah, (Medan: Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, 1996), p. 3.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    935

    Salah satu konsep penting dalam dakawah adalah konsep "amar makruf nahi munkar". Konsep ini secara literal mengandung perintah kepada umat Islam untuk menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dengan kata lain, "amar makruf nahi munkar" mengandung arti menyuruh orang kepada kebaikan dan mencegahnya berbuat hal-hal yang munkar atau dilarang agama. Pandangan ini mendapat rujukannya pada firman Alah dalam Q.S. Ali Imran : 104 yang menyebutkan :

    كُنلْتو كُمنةٌ مّونَ أُمعدرِ إِلَى ييونَ الْخرأْميو وفرعنَ بِالْموهنينِ وكَرِ عنالْم كأُولَئو مونَ هحفْلالْم

    Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.

    Konsep inilah yang seringkali digunakan oleh sebagian kaum Muslim untuk membenarkan perilaku intoleran dan bahkan tindak kekerasan kepada orang lain. Doktrin dan pemahaman ini dipakai oleh sekelompok kaum Muslim di Indonesia untuk membenarkan perbuatan mereka melakukan razia dan perusakan terhadap tempat-tempat yang mereka anggap sebagai maksiat atau kemunkaran. Di Indonesia, kelompok semacam ini diwakili oleh FPI (Front Pembela Islam) yang melakukan serangkaian razia dan penangkapan terhadap anak-anak muda yang sedang berkumpul di kafe dan tempat-tempat umum. Para pemimpin kelompok ini tidak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya dengan alasan menerapkan amar makruf nahi munkar dan hadis nabi man ra'a minkum munkaran fal Yugahyyirhu biyadihi (Barangsiapa melihat kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan dengan tangannya). Pandangan ini kemudian memunculkan permasalahan ketika umat Islam hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk, seperti yang terjadi di Indonesia. Tidak jarang pemahaman yang sempit mengenai "amar makruf nahi munkar" ini pada gilirannya melahirkan konflik sosial di tengah masyarakat. Karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami ulang makna "amar makruf nahi munkar" di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

    B. Islam dan Pluralitas Sosial Keagamaan

    Pluralitas merupakan sebuah kenyataan sejarah sebagai situasi nyata yang dialami manusia di muka bumi ini. Kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Dalam al-Quran sendiri dijelaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. Dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 13, Allah berfirman:

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    936

    إِنَّ لتعارفُوا وقَبائلَ شعوبا وجعلْناكُم وأُنثَى ذَكَرٍ من خلَقْناكُم إِنّا اسالنّ أَيّها ياكُممأَكْر دنع اللَّه قَاكُمإِنَّ أَت اللَّه يملع بِريخ

    Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. 49 : 13).

    Dari pluralitas ini kemudian lahir paham pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukkan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dalam kitab suci juga disebutkan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan yang positif yang merupakan salah satu tanda kebesaran Allah. Dalam QS. 30 ayat 22, Allah berfirman:

    نمو هاتآي لْقخ اتاومّضِ الساألرو الفتاخو كُمتأَلِْسن انِكُمأَلْوي إِنَّ وف كذَل اتآلي نيماللْعل

    Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (Q.S.al-Rum; 22).

    Demikian juga dengan pluralisme agama, ia merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Menghadapi kenyataan ini, kebanyakan agama sebenarnya sudah mengakui pluralisme, meskipun sebatas ajaran normatif. Para pendiri agama mengajarkan untuk tidak memaksakan suatu agama dan kalaupun ada panggilan dalam agama uatuk melakukan missi atau dakwah, maka hal itu tidak dimaksudkan dengan cara agresif, tapi dengan cara memberikan kesaksian dan argumen dengan tidak bermaksud mengajak orang lain secara paksa. Secara teologis mungkin relevan apa yang dikatakan al-Qur'an bahwa pluralisme agama di dunia ini telah dikehendaki Allah. Bagi Allah tentu sangat gampang mempersatukan umat dalam satu agama, tapi Dia tidak melakukannya.

    Namun demikian, dalam perjalanan sejarah, para pemeluk agama seringkali mengedepankan klaim-laim kebenaran (turth claim) bagi kebenararan agamanya masing-masing secara ekslusif. Klaim-kalim kebenaran agama yang bercorak ekslusif inilah yang menyimpan potensi lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Karena itu, agama seringkali menemukan dirinya berada dalam dua sisi yang saling

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    937

    berhadapan. Di satu sisi, agama dianggap berperan dalam mendukung perdamaian, harmoni dan peradaban, tetapi di sisi lain agama juga sering dianggap sebagai sumber konflik dan kekerasan. Akibatnya, dalam institusi agama itu sendiri ditemukan paradoks internal antara orientasi agama sebagai pilar perdamaian dengan kenyataan seringkali agama terlibat dalam konflik sosial, antara agama sebagai rahmatan li al-‘alamin dengan agama sebagai institusi iman-ideologis dalam bentuk jihâd (istilah yang populer di kalangan Islam) dan antara klaim kebenaran (truth claim) ajaran agama sebagai ajaran yang bersifat universal-inklusif dengan realisasi ajaran tersebut pada tingkat sosial yang bersifat partikular-ekslusif.

    Pandangan yang terakhir ini didukung oleh sejumlah insiden kekerasan yang terjadi di seluruh pelosok dunia yang mengatasnamakan agama. Sebagai contoh kasus bisa disebutkan antara lain; kaum Nasrani di Amerika yang mendukung pemboman klinik aborsi dan aksi militan seperti pemboman gedung federal Oklahoma City; kaum Katolik dan Protestan yang mendukung aksi terorisme di Irlandia Utara; kaum Muslimin yang dihubungkan dengan pemboman World Trade Center di kota New York dan serangan Hamas di Timur Tengah; kaum Yahudi yang mendukung pembunuhan Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan serangan atas Kuburan Wali di Hebron; kaum Sikh yang terlibat dalam pembunuhan Perdana Menteri India Indira Gandhi dan Menteri Utama Punjab Beant Singh; and kaum Buddhis Jepang yang tergabung dalam kelompok yang dituduh melakukan serangan gas syaraf di kereta bawah tanah Tokyo, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga berlaku di wilayah Indonesia, mulai dari kekerasan agama yang berskala kecil, seperti di Situbondo, Jawa Timur (1996), Tasikmalaya, Jawa Barat (1996), dan Ketapang, Jakarta (1998) hingga kekerasan agama yang berskala besar seperti yang terjadi antara kaum Muslim dan Nasrani di Ambon, Maluku (sejak tanggal 19 Januari 1999), konflik di Poso dan sebagainya.6

    Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka perdamaian—dalam istilah yang digunakan Arkoun—yang sebenarnya berada dalam wilayah "yang terpikirkan" (thinkable/mufakkar fih) ini berubah menjadi wilayah "yang tak terpikirkan" (unthinkable/la mufakkar fih). Yang dimaksud dengan "Yang tak terpikirkan" adalah hal yang tidak mempunyai hubungan dan tidak saling berkaitan antara ajaran agama dengan praktek kehidupan sehari-hari atau jauhnya agama dari aplikasi nilai-nilai transenden yang semestinya, seperti sulitnya mengaplikasikan pesan perdamaian agama dalam

    6 Sukidi Mulyadi, "Kekerasan di bawah Panji Agama: Kasus Laskar Jihad dan

    Laskar Kristus", lihat website internet http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_sukidi.htm, diakses tanggal 10 Juni 2006

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    938

    kehidupan kongkrit.7 Perdamaian lalu dipahami sebagai “doktrin langit” yang bersifat utopis sebagai sesuatu yang menjadi milik Tuhan belaka, sedangkan manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk bertikai dan bermusuhan.8

    Kenyataan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh meluasnya literatur studi ilmu-ilmu keagamaan yang secara substantif berasumsi bahwa perang (jihâd) merupakan perintah Tuhan yang paling otentik untuk menyelesaikan problem kemanusiaan. Literatur studi ilmu-ilmu keislaman, sebagaimana yang dikembangkan di pesantren, mengembangkan literatur sirah Nabi Muhammad yang sebagian besar materinya berisi penjelasan tentang sejarah perang Nabi Muhammad, sedangkan interaksi Nabi Muhammad dengan masyarakat non-muslim pada saat itu kurang mendapatkan perhatian. Kenyataan tersebut pada gilirannya membentuk kesadaran teologis bagi masyarakat untuk memahami legitimasi perang atas nama agama.

    Kerena itu, kekerasan agama bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik, dan psikologi, tapi juga karena agama sendiri menyediakan referensi yang cukup banyak yang apabila dipahami secara literal akan melahirkan kekerasan atas nama agama. Dalam kasus Islam, beberapa di antaranya dapat disebutkan. Pertama, dalam QS. al-Fath: 29 Allah berfirman:

    دّمحولُ مسر اللَّه ينالَّذو هعاُء مّدلَى أَشاُء الْكُفَّارِ عمحر مهنيب Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang menyertai dia adalah berhati keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesamanya.

    Kedua, dalam QS. Al-Baqarah: 120, Allah berfirman :

    لَنى وضرت كنع ودهال الْيى وارصّى النّتح بِعّتت مهلَّتم ...dan orang-orang yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepadamu kecuali apabila kamu turut agama mereka.

    Dengan demikian, literatur keagamaan yang demikian ini akan menumbuhkan sikap intoleran pada pemeluknya yang berujung pada tindak kekerasan. Jadi, meskipun agama tidak secara langsung menyuruh

    7 Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan

    Baru, ter. Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), Luthfi Assyaukanie, Islam dalam Konteks Pemikiran Pascamodernisme: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam, dalam: Ulumul Quran, No. 1, Vol. IV, 1994, p. 23.

    8 Zuhairi Misrawi, Menggagas Teologi perdamaian, http://islamlib.com/id/index.php? page=article&id=135, diakses tanggal 10 Juni 2006.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    939

    umatnya melakukan kekerasan, tetapi agama menyediakan pesan yang cukup banyak untuk bersikap tidak toleran.9

    Warisan pemikiran keagamaan tersebut diperkuat dengan fakta sejarah dalam peradaban Islam yang tidak lepas dari konflik, antara lain konflik teologis. Dalam menghadapi konflik tersebut, doktrin pengkafiran yang berujung pada pembunuhan seakan-akan menjadi sesuatu yang legal. Konflik teologis inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kasus pembunuhan terhadap Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Di era Dinasti Abbsiyyah, Khalifah al-Qadir juga melakukan hal serupa ketika ia ingin membungkam kalangan rasionalis Mu’tazilah dan mendukung teologi Asy’ariyyah,10 dan sederet kasus yang lain. Karena itu, agama lalu dipahami sebagai institusi yang merekomendasikan pembunuhan, penindasan dan kebencian pada yang lain (the others). Imbasnya, ratusan madzhab yang bermunculan dalam sejarah Islam pun selalu mengedepankan klaim kebenaran (truth claim) dan cenderung menyudutkan kelompok lain.

    Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya—bahkan antar sesama Muslim itu sendiri—terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara manusia belajar mengelola keragaman dan konflik.11 Karena manusia perlu merumuskan sebuah mekanisme yang memungkinkannya dapat hidup bersama secara damai dalam keragaman. Manusia memerlukan sistem untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan. Manusia juga memerlukan sikap yang positif terhadap perbedaan (sikap yang terbuka, toleran, siap berdialog dengan kelompok yang berbeda). 12

    9 Nurcholish Madjid. “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan untuk

    Generasi Mendatang” dalam Ulumul Qur’an , No I, Vol. IV, Tahun 1993, pp. 7-8 Bandingkan dengan T.K. Oommen, Religion as Source of Violence, 2001 yang dikutip oleh Luthfi Assyaukanie Agama Sebagai Sumber Kekerasan http://www.geocities.com/toelehoe/islib080305.htm, diakses tanggal 10 Juni 2006.

    10 Menurut Mohammed Arkoun, pembunuhan terhadap pengikut Mu’tazilah ini merupakan upaya Abbasiyyah untuk membatasi perkembangan dan mempersempit ruang gerak aliran ini. Bagi Arkoun, pembatasan terhadap perkembangan aliran Mu'tazilah ini merupakan peristiwa yang sangat sentral dalam sejarah pemikiran Islam yang menandakan kemenangan skripturalisme Islam, karena pemahaman alternatif terhadap wahyu tidak dimungkinkan. Mohammed Arkoun, "Menuju Pendekatan Baru Islam", dalam: Ulumul Quran, No.7, Vol. II, Jakarta: LSAF, 1990, p. 83, lihat juga Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Logos, 1998), p. 40.

    11 Zakiyuddin Baidhawy, Ber-Islam Di Era Multikulturalisme, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=589, diakses tanggal 25 september 2007.

    12 Bahrul Haq Al-Amin, ISLAM DAN MULTIKULTURALISME Sebuah Refleksi,

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    940

    C. Islam dan Multikulturalisme

    Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun kebudayaan. Dalam model multikulturalisme, masyarakat dilihat sebagai sebuah kepingan unik dari sebuah mosaik besar.13 Dalam sudut pandang multikulturalisme, kebudayaan merupakan suatu proses menjadi yang tak pernah berhenti, Interaksi lintas budaya, percampuran, dan saling pengaruh terjadi di setipa fase pembentukan kebudayaan yang ditandai dengan sikap keterbukaan. Sikap ini mengandung arti identitas yang cair, hibriditas, keragaman, toleransi, negosiasi, budaya untuk kemanusiaan, dan keterkaitan.14

    Multikulturalisme sangat menghargai perbedaan dan juga memberikan hak bahwa setiap kelompok masyarakat diperbolehkan untuk menjaga keragaman identitasnya secara kultural maupun politik.15 Bahkan lebih dari sekadar mengembangkan sikap toleransi, multikulturalisme tidak bisa dipisahkan dengan konsep tentang identitas kita sebagai warga negara (identity as citizens); pencarian nilai, a social imaginary tentang horizon makna yang menjadi rujukan mencari kebebasan dan kesetaraan dalam prinsip demokrasi modern. 16

    Pandangan ini lahir sebagai wujud keprihatinan atas maraknya konflik-konflik sosial yang diakibatkan oleh perbedaan identitas budaya, etnik, agama dan sebagainya. Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama

    http://bahrulhaq.multiply.com/journal/item/17/ISLAM_DAN_MULTIKULTURALISME_Sebuah_Reflek si, diakses tanggal 20 september 2007.

    13 Faisal Djabbar, Pendidikan Antikorupsi Dan Multikulturalisme, http://www.kpk.go.id/modules/news/print.php?storyid=1330

    14 Bahrul Haq Al-Amin, ISLAM DAN MULTIKULTURALISME Sebuah Refleksi, http://bahrulhaq.multiply.com/journal/item/17/ISLAM_DAN_MULTIKULTURALISME_Sebuah_Reflek si, diakses tanggal 20 september 2007.

    15 Moeslim Abdurrahman, Kelas Menengah Islam dan Multikulturalisme, dalam https://www.kompas.com /kompas-cetak/0411/01/opini/1356736.htm, diakses tanggal 20 september 2007.

    16 Moeslim Abdurrahman, Kelas Menengah Islam dan Multikulturalisme, dalam https://www.kompas.com /kompas-cetak/0411/01/opini/1356736.htm, diakses tanggal 20 september 2007.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    941

    dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk meteriil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah. 17 Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.

    Salah satu wilayah yang ingin digarap oleh paham multikulturalisme adalah melalui pendidikan. James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan: Content integration (mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu), The Knowledge Construction Process (Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)), An Equity Paedagogy (Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.), Prejudice Reduction (Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka, Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik). 18

    17 Muhaemin el-Ma'hady, MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN

    MULTIKULTURAL (Sebuah Kajian Awal), dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses tanggal 20 september 2007

    18 Muhaemin el-Ma'hady, MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL (Sebuah Kajian Awal), dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses tanggal 20 september 2007

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    942

    Strategi sosialisasi multikulturalisme dalam pendidikan agama di atas, sesungguhnya memang mendapatkan pembenaran yang cukup kuat – bahkan menjadi landasan – dari Islam. Islam mengajarkan pada pengikutnya bahwa manusia memang diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku agar saling mengenal. Nah, hemat saya proses saling mengenal inilah yang dinamakan sebagai multikulturalisme, dan dengan demikian, multikulturalisme seyogyanya juga tentu termasuk dalam bentuk ibadah dalam agama Islam, dan akan mendapatkan pahala di sisi-Nya. Bahkan prinsip dasar tauhid sendiri – yang berarti ke-Maha Tunggal-an Allah – meniscayakan bahwa selain Dia, pasti merupakan sebentuk kemajemukan. Prinsip tauhid seperti ini juga menunjukkan bahwa multikulturalisme sangat kuat melandasi berdirinya agama ini, dan menjadi bagian dari ibadah serta prinsip hidup umatnya.

    Akan tetapi, memang yang sangat disayangkan adalah, sebagian otoritas keagamaan yang tidak menginginkan otoritas tersebut tersebar merasa keberatan dengan paham ini. Mereka memang cenderung untuk lebih memfavoritkan keseragaman dan pemikiran yang monolitik, picik dan tidak toleran. Kekuasaan dengan demikian bagi mereka digunakan untuk mempertahankan otoritas yang mereka dan kelompok mereka miliki saja. Padahal, setiap diri manusia yang berakal sehat, memiliki potensi akal budi yang sama untuk memahami segala realitas yang terjadi di alam semesta ini. Tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa pemikirannyalah yang paling benar. Seseorang boleh saja berpikir untuk menolak atau tidak setuju dengan pemikiran orang lain, akan tetapi ia tidak berhak untuk menyeru orang lain agar sama menolak dan tidak setuju atas pemikiran orang lain tersebut. Bagaimana pun, perbedaan dan keragaman semestinya dilihat sebagai anugerah hidup manusia dan bukannya sebagai ancaman atas otoritas kebenaran dari sesuatu kelompok.

    Islam sendiri mengajarkan pada pengikutnya bahwa manusia memang diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku agar saling mengenal. Proses saling mengenal inilah yang dinamakan sebagai multikulturalisme. Dengan demikian, multikulturalisme seyogyanya juga termasuk dalam bentuk ibadah dalam agama Islam dan akan mendapatkan pahala di sisi-Nya.19 Bahkan prinsip dasar tauhid sendiri—yang berarti ke-Maha Tunggal-an Allah—meniscayakan bahwa selain Dia, pasti merupakan sebentuk kemajemukan. Prinsip tauhid seperti ini juga menunjukkan bahwa multikulturalisme sangat kuat melandasi berdirinya agama ini, dan menjadi bagian dari ibadah serta prinsip hidup umatnya. Jadi,

    19 Bahrul Haq Al-Amin, ISLAM DAN MULTIKULTURALISME Sebuah Refleksi,http://bahrulhaq.multiply.com/journal/item/17/ISLAM_DAN_MULTIKULTURALISME_Sebuah_Reflek si, diakses tanggal 20 september 2007.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    943

    multikulturalisme mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia.20 Konsep multikulturalisme tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others).

    Pandangan ini bisa dikembalikan kepada sikap dasar Islam yang pada intinya menyeru semua umat manusia untuk menuju cita-cita bersama dalam bingkai kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan. Pesan tersebut disitir dalam al-Qur'an surat 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".21

    Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya. Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antardunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah manusia mendapatkan pengalaman antarkultur (intercultural experiences). Contohnya manusia berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia, manusia melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat manusia mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.22

    Secara sosiologis, multikulturalisme ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial, semua kelompok budaya dapat direpresentasikan dan hidup berdampingan bersama. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman

    20 M Syafi'i Anwar, Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran,

    http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml 21 Zakiyuddin Baidhawy, Ber-Islam Di Era Multikulturalisme, dalam

    http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=589 22 Zakiyuddin Baidhawy, Ber-Islam Di Era Multikulturalisme, dalam

    http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=589, diakses tanggal 20 september 2007.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    944

    etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Untuk itu, wawasan tentang multikulturalisme perlu dikukuhkan (juga) dalam soal keberagamaan. Maka, untuk membangun keberagamaan yang multikultural—sembari tetap berakar pada tradisi teks—umat Islam perlu kembali menempatkan paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan yang dinamis, progresif, dan toleran. Dengan begitu, dunia teks dan realitas sosial-empirik dapat berelasi secara mutual dan kritis, tanpa saling mensubordinasi yang lain. Paradigma hermeneutik sosial akan memicu pluralitas pemaknaan atas relasi antara teks dan konstruksi sosial.23

    D. Dakwah Humanistik dan Multikulturalisme

    Sangatlah penting bagi umat Islam untuk membangun perspektif Islam yang lebih inklusif berkenaan dengan iman orang lain. Umat Islam juga perlu melakukan intervensi dakwah agama yang lebih transformatif, yakni mengetengahkan pedagogis agama yang lebih dialektikal terhadap soal kemanusiaan, seperti kemiskinan, sebagai kemungkaran yang menjadi musuh keimanan.24 Dari sinilah kemudian muncul gagasan Islam multikultural, yaitu sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama, kultur, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad ke-21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.25

    Perspektif Islam multikultural ini menjadi sangat penting, lebih-lebih bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultur. Merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri

    23 Fajar Riza Ul Haq, Tafsir Multikultural: Jihad Melawan Kejumudan Teks,

    Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=534, diakses tanggal 20

    september 2007. 24 Moeslim Abdurrahman, Kelas Menengah Islam dan Multikulturalisme, dalam

    https://www.kompas.com /kompas-cetak/0411/01/opini/1356736.htm, diakses tanggal 20

    september 2007. 25 Zakiyuddin Baidhawy, Ber-Islam Di Era Multikulturalisme, dalam

    http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=589, diakses tanggal 25 september 2007.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    945

    dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural".26 Indonesia terdiri dari lebih dari 200 juta penduduk, lebih dari 300 bahasa suku, 13.000 pulau dan terkaya dalam keanekaragaman hayati.27

    Wawasan Islam multikultural ini sesungguhnya sudah diberi contoh kongkritnya dalam pengembangan dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo. Peristiwa masuknya Islam ke Indonesia lebih melalui dakwah kultural dan tak melakukan pendekatan yang mengutamakan syariah. Ini merupakan sebuah bukti bahwa penyebaran agama dapat dilakukan mengadopsi budaya setempat. Bahkan unsur sufisme atau tasawuf sangat besar dalam mengembangkan Islam di Indonesia, karena Islam harus beradaptasi dengan kultur lokal. Harus beradaptasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) lainnya. Dakwah Wali Songo yang terbukti berhasil menyebarkan Islam melalui pendekatan kultural ini seharusnya menjadi contoh sebagaimana Sunan Kalijaga memasukkan unsur Islam dalam cerita pewayangan. Contoh yang dilakukan Wali Songo ini harus bisa dijadikan pengalaman berharga dalam melakukan dakwah saat ini.

    Wawasan dakwah multikultural inilah yang harus dikedepankan oleh para da’i dewasa ini. Sebagai komponen masyarakat Islam yang berada pada baris terdepan dalam proses penyemabaran agama Islam, da’i dapat dipandang menjadi agent of change. Ia memainkan peran yang sangat menentukan dalam membentuk warna dan corak keislaman di Indonesia. Hitam putihnya corak keberagamaan masyarakat Islam saat ini sangat ditentukan oleh perspektif seorang da'i dalam memandang realitas sosial yang ada di sekitarnya.

    G. Peran Da’i dalam Mengembangkan Dakwah Multikultural

    Dalam istilah komunikasi, dakwah merupakan proses penyampaian pesan oleh seorang komunikator kepada seorang komunikan, sehingga berlangsung hubungan komunikasi antara komunikator (sender) dan komunikan (receiver) bersifat informatif. Namun demikian, komunikasi tidak hanya bersifat informatif tetapi juga persuasif. Artinya, komunikasi

    26 Muhaemin el-Ma'hady, MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN

    MULTIKULTURAL (Sebuah Kajian Awal), dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses tanggal 25 september 2007.

    27 Bahrul Haq Al-Amin, ISLAM DAN MULTIKULTURALISME Sebuah Refleksi, http://bahrulhaq.multiply.com/journal/item/17/ISLAM_DAN_MULTIKULTURALISME_Sebuah_Reflek si, diakses tanggal 20 september 2007.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    946

    tidak hanya bertujuan agar orang lain tahu dan mengerti, tetapi juga berharap agar orang lain menerima suatu paham, keyakinan atau melakukan suatu perbuatan tertentu. Dengan demikian, komunikasi bukan hanya penyampaian informasi, tetapi juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude). Dengan mengutip pandangan Carl I. Hovland, Onong Uchjana Effendy mengatakan bahwa “communication is the process to modify the behavior of other individuals).28

    Kemudian, untuk sampai pada tujuan komunikasi yang bersifat informatif dan persuasif tersebut, terdapat beberapa proses komunikasi yang harus dilalui oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pertama-tama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan pada komunikan (receiver). Ini berarti, ia memformulasikan pikiran atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti, ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran atau perasaan komunikator dalam konteks pengertiannya. Jadi, komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meaning) yang pernah diperoleh komunikan.

    Dengan demikian, komunikasi selalu bersifat dialogis, sehingga ketika komunikan memberikan jawaban, maka ia kini menjadi encoder dan komunikator menjadi decoder. Inilah suatu proses yang dinamakan umpan balik (feedback). Umpan balik ini memainkan peranan yang amat penting dalam komunikasi, sebab ia menentukan apakah sebuah proses komunikasi akan berlanjut atau berhenti.

    Oleh karena itu, umpan balik bisa bersifat positif, dapat pula bersifat negatif. Umpan balik dikatakan positif apabila tanggapan, respon atau reaksi komunikan menyenangkan komunikator sehingga komunikasi dapat berjalan lancar. Sebaliknya, umpan balik dikatakan negatif apabila tanggapan komunikan tidak menyenangkan komunikator, sehingga komunikator enggan untuk melanjutkan komunikasinya.

    Bila pola komunikasi ini diterapkan dalam ilmu dakwah, maka akan ditemukan beberapa komponen yang terlibat dalam aktivitas dakwah. Komponen-komponen dakwah tersebut meliputi subjek dakwah (sender komuikator), objek dakwah (receiver, komunikan), materi dakwah (message) dan media dakwah (media).

    28 Onong Uchjana Effendy, Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja

    Rosda, 2003), pp. 9-10.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    947

    Dengan demikian, da’i atau subjek dakwah merupakan komponen penting dalam dakwah. Secara teoretis, da’i adalah orang yang menyampaikan pesan atau menyebarluaskan ajaran agama kepada masyarakat umum (publik), sedangkan secara praktis, subjek dakwah (da’i) dapat dipahami dalam dua pengertian. Pertama, da’i adalah setiap muslim/muslimat yang melakukan aktifitas dakwah sebagai kewajiban yang melekat dan tak terpisahkan dari missinya sebagai penganut Islam sesuai dengan perintah “balligû ‘annî walau âyat”. Menurut pengertian ini, semua muslim termasuk dalam kategori da’i, sebab ia mempunyai kewajiban menyampaikan pesan-pesan agama setidak-tidaknya kepada anak, keluarga atau pada dirinya sendiri. Jadi, pengertian da’i semacam ini lebih bersifat universal, karena semua orang Islam termasuk dalam kategori da’i.

    Kedua, da’i dialamatkan kepada mereka yang memiliki keahlian tertentu dalam bidang dakwah Islam dan mempraktikkan keahlian tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan agama dengan segenap kemampuannya baik dari segi penguasaan konsep, teori, maupun metode tertentu dalam berdakwah. Pengertian da’i ini lebih spesifik dibandingkan pengertian yang pertama, sebab yang termasuk dalam katagori da’i di sini hanyalah mereka yang secara khusus menekuni bidang dakwah yang dilengkapi dengan ilmu-ilmu pendukungnya.

    Berkaitan dengan subjek dakwah (da’i) ini, khususnya da’i dalam kategori yang kedua, maka seorang da’i hendaknya memiliki karakteristik yang dapat dijadikan suri tauladan (uswah hasanah) bagi masyarakat. Sifat-sifat terpuji tersebut sesungguhnya sangat banyak, namun yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, seorang da’i hendaknya lemah lembut dalam menjalankan dakwah. Kedua, bersedia untuk bermusyawarah dalam segala urusan, termasuk dalam urusan dakwah. Ketiga, memiliki kebulatan tekad dalam menjalankan dakwah. Keempat, selalu berserah diri (tawakal) kepada Allah. Kelima, memohon pertoongan kepada Allah sebagai konsekuensi dari tawakkal. Keenam, menjauhi sikap dan perilaku yang curang dan culas serta sikap negatif lainnya.

    Selain harus memiliki karakteristik tersebut, seorang da’i juga dituntut memiliki persiapan dan perbekalan yang kuat antara lain. Pertama, seorang da’i harus memahami secara mendalam ilmu-ilmu, makna-makna serta hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan sunnah. Pemahaman ini setidaknya mencakup tiga bidang berikut ini. Pertama, pemahaman terhadap akidah Islam dengan baik disertai dengan argumentasi yang kuat dengan berpegang teguh pada dalil-dalil al-Qur'an dan sunnah. Kedua, pemahaman terhadap tujuan hidup dan posisinya di antara manusia. Ketiga, pemahaman terhadap ketergantungan hidup untuk

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    948

    akhirat dengan tidak meninggalkan urusan dunia. Ketiga, memiliki iman yang kokoh yang melahirkan cinta kepada Allah, takut kepada siksa-Nya, optimis akan rahmat-Nya dan mengikuti segera petujuk rasul-Nya. Ketiga, selalu berhubungan dengan Allah dalam rangka tawakal ataupun memohon pertolongannya ikhlas dan jujur dalam qaulan wa fi’lan (ucapan dan perbuatan). Dengan kata lain, seorang juru dakwah harus benar-benar memahami, mengetahui dan sekaligus menjalankan tuntunan Allah dengan penuh pengertian dan kesadaran serta dengan suatu keyakinan yang teguh memurnikan ke-Esaan Allah. Keempat, para juru dakwah juga harus menegaskan bahwa mereka adalah satu umat yang terpisah dari orang-orang yang tidak meyakini aqidah Islam dan tidak berjalan di atas jalan Allah. Artinya, juru dakwah tidak cukup hanya sekedar mendakwahkan atau mengajak untuk megikuti jalan Allah, sedangkan mereka sendiri tetap bergelimang dalam masyarakat jahiliyah.29

    Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan: Pertama, para juru dakwah harus memiliki bekal pengetahuan, pemahaman dan pengalaman keagamaan yang baik agar proses dakwah berjalan dengan lancar. Kedua, para juru dakwah harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan (qudwah) dan karenanya jiwa para juru dakwah perlu ditempa terlebih dahulu agar mereka tabah, sabar, dan tidak putus asa dengan berbagai cobaan, halangan atau pun rintangan yang dihadapinya dalam berdakwah. Dengan demikian, da’i adalah orang atau subjek dakwah yang memiliki kualitas ilmu keagamaan dan menyampaikan ajaran Islam tersebut kepada masyarakat umum (publik).

    Kemudian, dalam tugasnya menyampaikan pesan-pesan keagamaan tersebut, maka seorang da’i multikulturalis harus mengedepankan tema-tema yang dapat melahirkan keharmonisan dan kedamaian dalam tataran kemanusiaan secara universal. Secara lebih spesifik, da’i multikulturalis akan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan menekankan ajaran agama yang berwawaskan multikulturalisme, seperti berikut. Pertama, ajaran agama yang mengakui keragaman sebagai hakikat ciptaan-Nya, Kedua, ajaran-ajaran yang menekankan pentingnya menghargai dan menghormati perbedaan, Ketiga, ajaran yang menekankan sikap santun terhadap orang lain (kemanusiaan), Keempat, ajaran kemampuan menghormati orang lain menunjukkan kebesaran agama yang dianut, Kelima, ajaran prinsip dasar agama adalah kebaikan dan kasih sayang.

    29 Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid XIII, Juz 27, Cet. ke-5, (Kairo: Musthafa al-Halaby, 1394 H./1974 M.), p. 52. lihat juga Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Jilid II, Cet. Terakhir, (Kairo: Musthafa al-Halabi, 1392 H./1972 M.), p. 346. dan Al-Baidhawy, Tafsir al-Baidhawy, Juz I, Cet. ke-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408 H./1988 M.), p. 498.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    949

    G. Penutup

    Multikulturalisme mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Multikulturalisme bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain, dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia. Konsep multikulturalisme tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others).

    Islam sendiri mengajarkan pada pengikutnya bahwa manusia memang diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku agar saling mengenal. Pandangan ini bisa kembalikan kepada sikap dasar Islam pada intinya menyeru semua umat manusia untuk menuju cita-cita bersama dalam bingkai kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid.

    Da’i sebagai bagian terpenting dari komponen dakwah harus mengedepankan tema-tema yang dapat melahirkan keharmonisan dan kedamaian dalam tataran kemanusiaan secara universal. Secara lebih spesifik, da’i multikulturalis akan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan menekankan ajaran agama yang berwawaskan multikulturalisme, seperti berikut. Pertama, ajaran agama yang mengakui keragaman sebagai hakikat ciptaan-Nya, Kedua, ajaran-ajaran yang menekankan pentingnya menghargai dan menghormati perbedaan, Ketiga, ajaran yang menekankan sikap santun terhadap orang lain (kemanusiaan), Keempat, ajaran kemampuan menghormati orang lain menunjukkan kebesaran agama yang dianut, Kelima, ajaran prinsip dasar agama adalah kebaikan dan kasih sayang.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    950

    Daftar Pustaka

    Abdurrahman, Moeslim, Kelas Menengah Islam dan Multikulturalisme, dalam https://www.kompas.com /kompas-cetak/0411/01/opini/1356736.htm, diakses tanggal 20 september 2007.

    al-Amin, Bahrul Haq, ISLAM DAN MULTIKULTURALISME Sebuah Refleksi, http://bahrulhaq.multiply.com/journal/item/17/ISLAM_DAN_MULTIKULTURALISME_Sebuah_Reflek si, diakses tanggal 20 september 2007.

    al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Ihya Ulum ad-Din, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

    Al-Maliki, Muhammad Alwi, Syariat Islam Pergumulan Teks dan Realitas, Yogyakarta: eLSQ Press: 2002.

    al-Syarif, Al-Azhar, Buhuts fi al-Da’wah al-Islamiyah, Kairo: Lajnah al-‘Ulya Ihtifal bi al-‘Id alfi li al-Azhar, 1403 H./1983 M.

    Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nasori Suruso, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 1994.

    Anwar, M. Syafi'i, Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml

    Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1994.

    _______,"Menuju Pendekatan Baru Islam", dalam Ulumul Quran, No.7, Vol. II, Jakarta: LSAF, 1990.

    Assyaukanie, Luthfi, Agama Sebagai Sumber Kekerasan http://www.geocities.com/toelehoe/islib080305.htm, diakses tanggal 12 maret 2007.

    _______, Islam dalam Konteks Pemikiran Pascamodernisme: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam, dalam: Ulumul Quran, No. 1, Vol. IV, 1994.

    Aziz, Ali Muhammad, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004.

    Baidhawy, Zakiyuddin, Ber-Islam Di Era Multikulturalisme, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=589

    Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq Jakarta: Paramadina, 1999.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    951

    Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983.

    DelfGaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, terj. Soerjono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.

    Djabbar, Faisal, Pendidikan Antikorupsi Dan Multikulturalisme, http://www.kpk.go.id/modules/news/print.php?storyid=1330

    el-Ma'hady, Muhaemin, MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL (Sebuah Kajian Awal), dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses tanggal 20 september 2007.

    Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali, 1996.

    Engineer, Ashgar Ali, Islam and Liberation Theology, New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990.

    Fernando, Ajith, “Other Religions are False Path that Mislead their Followers”, dalam John Lyden, Enduring Issue in Religion, Sandiago: Greenhaven Pree, 1995.

    Foucault, Michel, The Archaeology of Knowledge, terj. A.M. Sheridan Smith, New York: Harper and Row, 1976.

    Gazali, Hatim, Agama dalam Cetakan Baru, http://islamlib.com/id/index.php?page= article&id=454, diakses 10 Juni 2005.

    Goddard, Hugh, Christian and Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding, Ttp.: Curzon Press, 1995.

    Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interests, Boston: Beacon Press, 1971.

    Hanafi, Hassan, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

    _______, Dirasat Islamiyyah, Kairo: Maktabah Anglo Mishriyyah, 1981.

    _______, Humum al-Fikr wa al-Wathan: al-Turats wa al-‘Ashr wa al-Hadatsah, Vol.2, Kairo: Dar al-Quba’, 1997.

    _______, Islam in the Modern World: Religion, Ideology and Development, Vol. 1, Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995.

    Hasan Bin Talal, Crown Prince, “Towards a New Way of Thinking”, dalam Hans Kung, Yes to a Global Ethics, London: SCM Press, 1996.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    952

    Hasan, Kamal, Modernisasi Indonesia: Respon Cendikiawan Muslim, terj. Ahmadie Toha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.

    Hidayat, Komaruddin, dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995.

    Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: LPPI, 2004.

    _______, Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah, 2002.

    Madjid, Nurcholish, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang” dalam Ulumul Qur’an , No I, Vol. IV, Tahun 1993.

    _______, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2000.

    Misrawi, Zuhairi, Menggagas Teologi perdamaian, http://islamlib.com/id/index.php? page=article&id=135, 10 Juni 2005

    Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 2000.

    Muhsin, Amina Wadud, Perempuan dalam al-Quran, terj. Y. Radianto, Bandung: Pustaka,1994.

    Mulyadi, Sukidi, “Melampaui Teologi Inklusif Cak Nur: Merambah Jalan Baru Teologi Pluralism” dalam: Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur Jakarta: Kompas, 2001.

    _______, Kekerasan di bawah Panji Agama: Kasus Laskar Jihad dan Laskar Kristus, lihat website internet http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_sukidi.htm, 10 Juni 2005.

    _______,Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: KOMPAS, 2001.

    Musyaffak, Najahan,”Internet sebagai Media Dakwah”, makalah disampaikan dalam diskusi rutin dosen KPI Fakultas Dakwah IAIN Walisongo tanggal 8 Maret 2006.

    Nasr, Seyyed Hossein, “The Philosophy of Perennis and The Study of Religion”, dalam: The World's Religious Tradition, ed. F. Whalling, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1984.

    _______, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, Bandung: Pustaka, 1987.

  • Ilyas Supena: Paradigma Dakwah Humanistik di Era Multikulturalisme

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    953

    _______, Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1994.

    Rahman, Fazlur, “Some Key Ethical Concepts of the Quran”, Journal of Religious Ethics, Jilid XI, No. 2, 1983.

    Rais, M. Amin, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung, Pustaka: 1987.

    Ridwan, Nur Khalik, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002.

    Schuon, Fritjof, Trancendental Unity of Religion, London: Harper & Row, 1975.

    Shaleh, Hasyim, "Baina Mafhum al-Ortsodzaksiyah wa al-'qliyah al-Dogmaiyah", kata pengantar dalam: Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Islam: Qiraah Ilmiyah, terj. Hasyim Shaleh, Beirut: Markaz al-Inma al-Qaumi, 1986.

    _______, "Idhahah wa Rudûd", dalam: Mohammed Arkoun, Min Faishal al-Tafriqah ila Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr lslam al-Mu'ashir, terj. Hasyim Shaleh, Beirut: Dar al-Saqi, 1993.

    Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1998.

    Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Logos, 1998.

    Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

    Sukir, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.

    Susilo, Hadi, Tempat Manusia dalam Arkeologi Pengetahuan Michel Faoucoult, dalam: Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, ed. Tim Redaksi Driyarkara, Jakarta: Gramedia, 1993.

    Ul Haq, Fajar Riza, Tafsir Multikultural: Jihad Melawan Kejumudan Teks, Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=534, diakses tanggal 20 September 2007.