5. Kelainan Sistem Respiratorik Bawaan, Resusitasi Kardiopulmoner, Pneumonia Bawaan

49
Respirologi Anak Kelainan Sistem Respiratorik Bawaan Dr. Leopold Simanjuntak, SpA Kelainan Sistem Respiratorik Bawaan I. Penyakit membran hialin idiopatik (Sindrom gangguan pernapasan idiopatik) Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena pematangan paru belum sempurna. Penyakit ini biasanya mengenai bayi prematur, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu menderita DM, toxemia gravidarum, hipotensi, sektio sesaria dan perdarahan antepartum. Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur (50 – 70 %). Patofiologi

Transcript of 5. Kelainan Sistem Respiratorik Bawaan, Resusitasi Kardiopulmoner, Pneumonia Bawaan

Penyakit membran hialin idiopatik (Sindrom gangguan pernapasan idiopatik)

Respirologi Anak

Kelainan Sistem Respiratorik BawaanDr. Leopold Simanjuntak, SpA

Kelainan Sistem Respiratorik BawaanI. Penyakit membran hialin idiopatik

(Sindrom gangguan pernapasan idiopatik)

Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena pematangan paru belum sempurna. Penyakit ini biasanya mengenai bayi prematur, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu menderita DM, toxemia gravidarum, hipotensi, sektio sesaria dan perdarahan antepartum. Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur (50 70 %).

Patofiologi

Berbagai teori telah dikemukan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan penting dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsional pada akhir respirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membran hialin menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan :

1. Oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerob dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang akan menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi.

2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.

Secara singkat bahwa didalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri dari :

Atelektasis

Hipoksia

Asidosis

Transudasi

Penurunan aliran darah paru

Hambatan pembentukan substansi surfaktan

Atelektasis

Hal ini akan berlangung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.

Gambaran klinis

Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000 2000 gram atau masa gestasi 30 36 minggu. Jarang ditemukan bayi dengan berat badan > 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6 8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama. Gangguan pernafasan pad bayi tertutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Kadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnu atau hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena- arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (Sering ditemukan padapenderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting edema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi.

Gambaran radiologis

Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dll. Gambaran klasik pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrat retikulogranular ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin, walalupun manifestasi klinis belum jelas.

Gambaran laboratorium

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya ialah :

A. Pemeriksaan darah

Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg% prognosisnya lebih buruk. Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnyua oksigenisasi didalam paru dan karena adanya pirau arteri vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit basa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan metabolik di dalam tubuh.

B. Pemeriksaan fungi paruPemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik. Frekuensi pernafasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal volume menurun, lung compliance berkurang, functional residual capacity merendah disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.

C. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler

Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa PDA, pirau kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.

D. Gambaran patologi / histopatologi

Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami emfisema. Membran hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.

Pencegahan

Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah kelahiran bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971) memperkenalkan cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan lesitin / sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir tidak akan menderita penyakit membran hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membran hialin. Pemberian kortikosteroid oleh beberapa sarjana dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin. Penelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan hingga saat ini. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal ini tentu agak sulit dikerjakan pada beberapa komplikasi kehamilan tertentu.

Penatalaksanaan

Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis sebaik baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.

Tindakan yang perlu dikerjakan ialah :

1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas yang normal (36,5o 37o C) dengan meletakkan bayi dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 80 %).

2. Pemberian oksigen harus berhati hati. Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasi retrolental) dll. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (paO2) secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan paO2 antara 80 -100 mmHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada, O2 dapat diberikan sampai gejala sianosis menghilang. Pada penyakit membran hialin yang berat, kadang kadang perlu dilakukan bantuan pernapasan dengan respirator. Cara ini disebut intermitten positive pressure ventilation (IPPV). Tindakan ini baru dikerjakan bila pada pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi (100%), bayi tidak memperlihatkan perbaikan dan tetap menunjukkan PaO2 kurang dari 50mmHg, PaCO2 lebih dari 70 mmHg dan masih sering terjadi serangan apnoe, walaupun kemungkinan hipotermia, hipoglikemia dan asidosis metabolik telah disingkirkan. Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat pula dilakukan dengan bermacam macam cara lain, misalnya pemberian O2 secara hiperbarik, intermitent neative pressure ventilation dll.

3. Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit Hal ini sangat berguna bagi bayi yang menderita penyakit membran hialin. Cairan yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari hari pertama diberikan glukosa 5 10 % dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan (60-125 ml/KgBB/hari). Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus : Kebutuhan NaHCO3 (mEq) defisit basa x 0,3 x berat badan bayi. Kebutuhan basa ini sebagian dapat langsung diberikan secara intravena dan sisanya diberikan secara tetesan. Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam basa tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang diperlukan berupa campuran larutan glukosa 5 10% dengan NaHCO3 1,5 % dalam perbandingan 4 : 1. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.

4. Pemberian antibiotika

Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Antibiotika yang diberikan ialah - Penisilin (50.000 U 100.000 U/kgbb/hari) atau - Ampisilin (100 mg/kgbb/hari) dengan Gentamisin (3-5 mg/kgbb/hari).

Prognosis

Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita penyakit ini sukar ditemukan. Mortalitas diperkirakan antara 20 40 % (Scopes, 1971).

Beberapa penyelidik lain melaporkan bahwa dengan perawatan yang baik (perawatan intensif), bayi yang masih hidup masih mempunyai kepandaian dan keadaan neurologis yang sama dibandingkan dengan bayi prematur lain yang masa gestasinya sama pula. Kelainan pada paru dan saraf mungkin disebabkan karena penyakitnya sendiri yang berat atau kurang sempurnanya perawatan, diantaranya karena pemberian kadar O2 tinggi secara terus menerus. Kelainan paru sebagai displasia bronkopulmoner umumnya disebabkan tekanan positif yang terus menerus. Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada waktu perawatan ialah kelainan pada retina (fibroplasi retrolental) sebagai akibat pemberian O2 yang tidak semestinya. Pneumotoraks walaupun jarang terjadi dapat disebabkan oleh komplikasi pengobatan dengan continuos negative external pressure (CNP) dan tindakan bantuan pernapasan denga respirator lain.

II. Stridor Laring Kongenital(Laringomalasia / Trakeomalasia )

Stridor yang menetap atau muncul sesudah umur beberapa hari pertama biasanya merupakan akibat gangguan pada atau dekat laring. Yang paling sering dari gangguan ini, laringomalasia dan trakeomalasia, merupakan deformitas atau kelembekan epiglotis dan apertura supraglotis serta kelemahan dinding jalan napas kongenital, menyebabkan kolaps dan obstruksi jalan napas pada saat inspirasi. Laringomalasia adalah kelainan laring kongenital yang paling sering. Asal mula defek embriologi tidak diketahui.

Manifestasi klinis

Suara pernapasan yang berbunyi dan berisik, yang biasanya terkait dengan inspirasi, relatif sering terjadi selama masa neonatus dan umur satu tahun pertama. Stridor yang biasanya muncul sejak lahir, pada beberapa penderita mungkin tidak terdengar sampai mencapai umur 2 bulan. Pada penderita yang bergejala laringomalasia, rasio laki laki dan wanta dapat 2,5 : 1. Gejala dapat bersifat intermitten dan lebih jelek bila bayi ditidurkan pada punggungnya (terlentang). Beberapa bayi hanya menderita napas berisik, tetapi yang lain menderita laring berbunyi, serak atau afoni, dispnea, dan retraksi inspiratoir pada sela supraklavikula, interkostal, dan subkostal. Bila retraksi berat, deformitas toraks dapat terjadi. Bayi dengan dispnea berat dapat mengalami kesukaran menyusui, mengakibatkan kurang nutrisi dan kenaikan berat badan jelek. Stridor berat dapat menetap selama beberapa bulan sampai 1 tahun sesudah lahir, kadang menjadi sedikit lebih jelek pada umur beberapa bulan pertama dan kemudian secara bertahap menghilang bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan jalan napas.

Diagnosis

Laringomalasia biasanya dapat didiagnosis dengan laringoskopi langsung. Pada umur beberapa hari pertama, upaya membedakan gangguan laring kongenital dan tetanus neonatorum atau edema laring akibat trauma atau akibat aspirasi pada saat lahir mungkin sukar dilakukan. Diagnosis banding meliputi malformasi kartilago laring atau plika vokalis, jaringan interlumen, tumor laring, retensi kista mukus, kista celah bronkus, sisa duktus tiroglosus, hipoplasia, sindrom Pierre Robin, gondok (goiter) kongenital, dan anomali vaskuler. Anomali saluran pernapasan lainnya mungkin lazim ditemukan pada penderita laringomalasia, terutama mereka yang berumur lebih tua dari 4 bulan pada saat datang. Hal ini segera memberi kesan bahwa bronkoskopi penuh, bukannya laringoskopi saja, terindikasi pada penderita ini.

Pengobatan

Biasanya tidak ada terapi spesifik terindikasi; keadaan ini sembuh secara spontan, walaupun mungkin ada kesukaran dalam pemberian makan. Pada suatu pencatatan, hanya 4 dari 1415 penderita memerlukan trakeostomi. Orang tua harus diyakinkan mengenai resolusi akhirnya, dan dinasehati untuk melakukan pemberian makanan secara hati hati dan perlahan lahan. Puting atau pipet kecil, atau sonde mungkin jarang diperlukan. Sebagian besar penderita agaknya lebih enak atau kurang berisik bila dalam posisi tengkurap. Gejala gejala berat dapat memerlukan intubasi nasotrakea atau, jarang, trakeostomi.

Prognosis

Walaupun laringomalasia biasanya sembuh secara klinis pada umur 8 bulan, beberapa tingkat obstruksi dapat menetap lebih lama. Uji fungsi paru yang canggih menunjukkan bahwa ada kelainan kecil, pada beberapa penderita umur belasan tahun, tetapi ini tidak merupakan masalah yang penting secara klinis dan tidak memerlukan pengobatan. Namun pada beberapa penderita dapat terjadi stridor pada infeksi pernafasan, pengerahan tenaga, atau menangis (cengeng) selama masa kanak kanak.

Anomali lain

Epiglotis bifida, akibat dari celah dua pertiga atau lebih epiglotis, merupakan keadaan yang jarang yang mungkin tidak mengganggu penelanan. Namun anomali ini biasanya memerlukan penanganan, dan terkait dengan anomali laring lainnya dan dengan polidaktili. Jarang sekali dijumpai keadaan bahwa tidak ada glotis sama sekali. Kista laring dan laringokel kadang kadang ditemukan; pengobatan dengan endoskopi tidak beratap biasanya berhasil.

III. Hernia diafragmatika

Herniasi isi perut ke dalam rongga dada bisa terjadi sebagai defek trauma atau kongenital pada diafragma. Gejala dan prognosisnya tergantung pada lokasi defek dan anomali yang menyertainya. Defek ini bisa pada hiatus esofagus (hernia hiatus), berdekatan dengan hiatus (paraesofagus), retrosternal (Morgagni), atau posterolateral (Bochdalek). Walaupun semua defek ini kongenital, istilah hernia kongenital diafragmatika (HKD) menjadi sinonim dengan herniasi melalui foramen posterolateral Bochdalek. Lesi ini biasanya terdapat pada distres respirasi berat pada masa neonatus, yang disertai anomali sistem organ lain, dan memiliki mortalitas yang berarti (4050 %).

EtiologiPemisahan perkembangan rongga dada dan perut disempurnakan dengan menutupnya kanalis pleuroperitoneum posterolateral selama kehamilan minggu ke-8. Gagalnya kanalis ini menutup merupakan mekanisme yang diterima pada terjadinya hernia diafragmatika posterolateral kongenital. Ini mungkin merupakan mekanisme pada penderita dengan defek diafragmatika yang kecil. Pembentukan defek diafragmatika unilatreral dan bilateral baru pada percobaan binatang dengan pemajanan obat dalam rahim mengesankan mekanisme tambahan yang bisa menjelaskan defek yang lebih besar. Bagian diafragma dan parenkim paru berasal dari perkembangan mesenkim thoraks, yang, jika terganggu, bisa mejelaskan tidak adanya bagian utama hemidiafragma dan hipoplasia pulmo berat yang biasanya menyertai dekek yang besar tersebut.

Patologi

Perubahan patologi pada bayi dengan hernia diafragmatika kongenital tidak terbatas pada diafragma. Defek diafragma mungkin kecil dan seperti celah atau meliputi seluruh hemidiafragma. Kedua paru kecil dibanding dengan umur dan berat badan kontrol, dengan paru di sisi defek lebih berat terkena. Ada penurunan jumlah alveoli dan pembentukan bronkus. Bentuk vaskularisasi normal paru tidak normal, dengan penurunan volume dan kenaikan yang nyata massa otot pada arteriol. Walaupun ada beberapa bukti bahwa kelainan paru karena tekanan oleh visera abdomen dalam dada, adalah tidak diterima bahwa kompresi fisik merupakan penyebab satu satunya atau penyebab primer. Kelainan perkembangan mesenkim adalah suatu konsep yang muncul dengan pengertian sangat berbeda.

Manifestasi klinis

Walaupun banyak kasus diketahui dengan ultrasonografi prenatal, sebaian besar bayi dengan HKD mengalami distres respirasi berat dalam usia beberapa jam pertama. Sekelompok kecil akan muncul sesudah masa neonatus. Penderita dengan manifestasi terlambat dapat mengalami muntah sebagai akibat obstruksi usus atau gejala respirasi ringan. Hernia diafragmatika kanan yang muncul terlambat setelah episode sepsis streptokokus grup B merupakan rangkaian yang diuraikan dengan jelas. Kadang kadang, inkarserasi usus akan menyebabkan iskemia dengan sepsis dan kolaps kardiorespiratori. Hernia diafragmatika yang tidak dikenali merupakan penyebab kematian mendadak pada bayi dan anak prasekolah.

Diagnosis

Diagnosis prenatal dengan ultrasonografi adalah lazim. Evaluasi dengan seksama untuk anomali lain harus memasukkan ekokardiografi dan amniosintesis. Kadang kadang, janin dengan diagnosis ultrasonografi dalam rahim akan tidak mempunyai kelainan pada foto rontgen setelah lahir. Jika harus dihindari terminasi yang tidak terminasi yang tidak perlu dan harapan yang tidak realistik, orangtua dari anak dengan diagnosis hernia diafargmatika ultrasonografi harus dinasihati secara seksama oleh kelompok multidisipliner yang sangat bepengalaman dengan keadaan ini.

Setelah lahir kebanyakan bayi dengan hernia diafragmatika akan mengalami kolaps respirasi yang berat dalam 24 jam pertama. Tidak adanya suara napas dan bergesernya tempat suara jantung sering ada pada HKD dan pneumotoraks akan disertai dengan perut skapoid pada bayi dengna HKD. Thorasentesis atau thorakostomi pipa harus ditubda jika HKD dipikirkan ada. Foto rontgen dada biasanya diagnostik. Pandangan lateral sering menampakkan usus masuk melewati bagian posterior diafragma. Kadang kadang lesi kistik kongenital paru bisa menghasilkan gambaran radiografi yang sama. Perbedaan dengan hernia diafragmatika bisa ditegakkan dengan ultrasonografi pascanatal atau injeksi kontras ke dalam lambung atau kateter arteri umbilikalis untuk mengenali usus diatas diafragma. Pada anak yang lebih tua, dengan gejala tidak khas, pemeriksaan kontras saluran cerna biasanya diperlukan. Ultrasonografi dan fluroskopi membantu membedakan elevasi dari hernia yang sebenarnya, dan CT SCAN dibutuhkan untuk menyingkirkan pneumatokel atau komplikasi efusi.

Pengobatan

Tersedianya oksigenisasi ekstrakorpreal membran ( ekstracorporeal membrane oxygenation [ECMO] ), penggunaan stabilisasi prabedah, dan kemajuan pada terapi dalam rahim merupakan rangsangan utama pada terapi aggresif. Dulu hernia diafragmatika dipertimbangkan suatu operasi gawat darurat, dengan operasi pengurang segera memberikan hasil yang optinal pada bayi ini. Mengenali peran hipertensi pulmonal di samping hipoplasia dan pengaruh perbaikan operatif pada fungsi paru merupakan re-evealuasi yang sangat penting dari strategi tersebut. Sekarang jelas bahwwa pengaruh massa hernia visceral pascanatal merupakan faktor kecil dalam gangguan kardiorespiratori dibanding dengan hipertensi pulmonal dan hipoplasia.

Resusitasi awal harus disertai dengan masa upaya stabilisasi paralisis (pankuronium, 100 ug/kg), hiperventilasi sedang (tekanan parsial CO2 25 30 mmHg) dan sedasi narkotik (fentanil, 2 4 ug/kg). Resusitasi volume, dopamin, dan bikarbonat (untuk mempertahankan pH 7,50) bisa juga menolong. Jika bayi sudah stabil dan menunjukkan tahanan vaskuler pulmonal stabil tanpa shunt dari kanan ke kiri yang berarti, perbaikan diafragma sekarang dilakukan pada umur 12 24 jam. Jika stabilisasi tidak mungkin atau shunt yang berarti menetap, kebanyakan bayi akan membutuhkan dukungan ECMO. Obat vasoaktif (tolazolin, prostaglandin, dopamin) bisa memberikan perbaikan sementara tetapi tidak memuaskan seperti terapi definitif untuk hipertensi pulmonal yang disertai hernia diafragmatika. Pemberian surfaktan juga terbukti menghasilkan perbaikan sementara dalam oksigenisasi pada beberapa bayi dengan HKD.

Pengalaman dengan ECMO pada HKD menunjukkan bahwa paralisis dan pengisapasn nasogastrik bisa menyebabkan reduksi dramatis volume visera yang hernia. Lamanya ECMO untuk neontus dengan hernia diafragmatika jauh lebih lama daripada mereka yang dengan sirkulasi janin menetap atau aspirasi mekonium dan bisa berakhir sampai 3 4 minggu. Waktu perbaikan untuk diafragma pada ECMO adalah kontroversial; beberapa senter lebih suka perbaikan awal untuk memungkinkan pasca perbaikan ECMO yang lebih lama, sedangkan beberapa senter menunda perbaikan sampai bayi terlihat mampu untuk mentoleransi penghentian ECMO. Pada salah satu kasus, hipertensi pulmonal berulang memberikan mortalitas yang tinggi, dan penghentian dari dukungan ECMO harus secara hati hati. Jika penderita tidak bisa dihentikan dari ECMO setelah perbaikan, pilihannya adalah menghentikan dukungan / terapi percobaan seperti nitrit oksida atau transplantasi satu-paru. Ventilasi semprotan frekuensi tinggi dan ventilasi osilatori mempunyai keberhasilan terbatas pada neonatus dengan HKD.

Pendekatan dengan bedah perut lebih baik karena jika perlu malrotasi yang menyertai dapat diarahkan dan dinding perut dapat dibiarkan terbuka dengan kulit hanya ditutup atau kantong Silastik dipasang jika tekanan perut diperkirakan berlebihan. Tambalan sintesis (politetrafluoroetelin) sekarang lebih disukai daripada pemindahan otot autolog atau penutup primer yang ketat pada defek yang besar.

Pengetahuan tentang pengaruh kompresi visera yang herniasai dan tersedianya diagnosis prenatal memberi kesan penggunaan pengukuran dalam uterus diarahkan pada hipoplasia pulmonal yang berkemungkinan berbalik dan diharapkan, ada perubahan vaskuler pulmonal. Pengurangan visera yang herniasi dalam uterus telah dilakukan secara berhasil pada manusia dan akhir akhir ini dalam penelitian prospektif di Pusat Pengobatan Janin di Universitas California, San Fransisco. Untuk dipertimbangkan pada pengurangan dalam uterus, janin harus tunggal, didiagnosis sebelum kehamilan 24 minggu, dan mempunyai kariotip normal serta hati intra abdomen. Pengurangan ini diupayakan antara kehamilan 24 - 28 minggu pada calon yang tepat. Pada percobaan binatang, oklusi trakhea sementara memmpercepat pertumbuhan paru dalam uterus dengan menghalangi jalan keluar cairan paru.

Prognosis

Penelitian bayi dengan HKD yang diketahui dalam uterus (2755 %) melaporkan ketahanan hidup lebih rendah daripada pada laporan yang terbatas pada kelahiran hidup (4266 %). Dari penelitian yang ada, tampak bahwa sebagian besar janin dengan diagnosis HKD yang tidak bertahan hidup waktu hamil meninggal sebagai akibat terminasi elektif. Insiden kematain janin spontan diantara janin janin yang didiagnosa sebagai menderita HKD adalah 710 %. Dari mereka yang bertahahn hidup samapi persalinan, ketahhnan hidupnya tampak berkisar dari 42 66 % walaupun dengan cara cara sekarang termasuk ECMO. Faktor faktor yang terkait dengan prognosis yang jelek adalah anomali besar yang menyertai, gejala gejala sebelum umur 24 jam, distres cukup berat yang membutuhkan ECMO, dan persalinan pada senter sentertiari. Upaya awal pada perbaikan dalam uterus mengakibatkan ketahanan hidup lebih rendah (29 %), walaupun hasil terakhir dilaporkan lebih memberi harapan.

Dulu, perbaikan HKD yang bertahan hidup secara klinis normal, walaupun beberapa kelainan dapat dideteksi dengan uji fungsi paru. Dengan cara pengobatan mutakhir, sejumlah bayi yang bertahan hidup yang berarti diketahui mempunyai sekuele yang serius, terutama paru, neurologis, dan kelainan pertumbuhan. Adalah secara umum diterima bahwa sekuele jangka panjang ini akibat dari ketahanan hidup bayi dengan gangguan paru yang lebih berat daripada kemungkinanan sekuele sebelumnya. 10 20 % dari HKD yang bertahan hidup, membutuhkan terapi oksigen saat keluar dari RS.

Penelitian mencatat kelainan fungsi paru pada masa perioperatif dan beberapa tahun setelah perbaikan. Penelitian terhadap HKD yang bertahan hidup pada umur 6 11 tahun menunjukkan penurunan yang bermakna aliran ekspirasi paksa pada 50 % kapasitas vital dan aliran ekspirasi puncak. Paru pada sisi yang terkena lebih besar daripada yang diperkirakan, mnemberi kesan hiperinflasi, dan perfusi menurun. Penderita ini telah mengalami perbaikan sebelum adanya ECMO. Pada penelitian fungsi paru neonatus, neonatus dengan HKD yang membutuhkan ECMO menunjukkan penurunan kelenturan, kelenturan dinamik, dan volume tidal secara bermakna apabila dibandingkan dengan mereka yang tidak membutuhkan ECMO. Setelah perbaikan, bayi dengan HKD juga terbukti mempunyai penyakit saluran pernapasan reaktif. Sekarang terlihat bahwa HKD yang bertahan hidup terbukti mempunyai penyakit paru restriktif dan reaktifitas saluran napas, yang yerkait dengan beratnya kegagalan pernapasan awalnya.

Kelainan neurologis telah diketahui pada HKD yang bertahan hidup yang membutuhkan ECMO. Kelainannya adalah sama dengan kelainan yang terlihat pada neonatus yang diobati ECMO untuk diagnosis lain dan termasuk keterlambatan perkembangan, kelainan pendengaran, kelainan penglihatan, kejang kejang, dan kelainan CT SCAN. Sebagian besar kelainan neurologis yang terdokumentasi diklasifikasikan sebagai ringan / sedang dan insidennya sama dengan penderita ECMO yang bertahan hidup lainnya.

Pertumbuhan dan nutrisi terganggu pada penderita HKD yang bertahan hidup yang membutuhkan ECMO. 40 50 % ada pada kurang dari 5 persentil untuk berat pada umur 2 tahun. Rasio berat : panjang kurang dari 5 persentil pada 40 % yang bertahan hidup pada umur 1 tahun dan 21 % pada umur 2 tahun. Hampir semua penderita ECMO yang bertahan hidup menunjukkan bukti klinis adanya refluks gastroesofagus, dan 20 % atau lebih membutuhkan fundoplikasi. Dilatasi esofagus dengan perubahan motilitas membaik selama usia tahun pertama telah dikorelasikan dengan riwayat prenatal polihidramnion.

Masalah jangka panjang lain terjadi pada populasi ini termasuk pektus ekskavatum, skoliais, hipertensi pulmonal menetap, dan herniasi berulang. Pembentukan hernia berulang sering pada bayi baru lahir dengan defek yang besar yang membutuhkan perbaikan tambalan sintesis. Reherniasi dilaporkan pada 20 40 % dari mereka yang membutuhkan perbaikan tambalan dan secara khas tejadi pada tahun pertama.

Perbaikan HKD yang bertahan hidup, terutama yang membutuhkan dukungan ECMO, mempunyai berbagai kelainan jangka panjang yang tampak membaik dengan bertambahnya waktu tetapi membutuhkan pemantauan yang tepat dan dukungan multidisipliner.

Inspeksi Respiratorik Perinatal

Pneumonia adalah keradangan paru dimana asinus terisi dengan cairan dan sel radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi sel radang ke dalam dinding alveoli dan rongga interstitium.

I. Pneumonia Kongenital

Infeksi terjadi intrauterin karena inhalasi likuor amnion yang septik. Gejala pada waktu lahir sangat menyerupai asfiksia neonatorum, penyakit membran hialin atau perdarahan intrakranial, kelainan ini sulit didiagnosis dengan tepat. Penting sekali mengetahui peristiwa yang terjadi pada saat kehamilan dan kelahiran, yaitu apakah ada kemungkinana infeksi. Gejala yang bisa ditemukan ialah apnu neonatal atau gejala seperti penyakit membran hialin. Diagnosis ditegakkan setelah pemeriksaan radiologis toraks.

Pneumonia kongenital harus dicurigai apabila terdapat ketuban pecah lama, air ketuban keruh berbau dan bila terdapat kesulitan pernapasan pada saat bayi lahir. Tanda klinis pada pemeriksaan paru, misalnya : ronki, tidak selamanya ada.

Pengobatan yang diberikan ialah resusitasi yang baik pada saat baru lahir. Pemberian oksigen (30 40 %) dengan kelembaban udara lebih dari 75 %. Suhu tubuh dipertahankan dan harus dijaga jangan sampai terjadi hipotermia bila bayi tidak dimasukkan dalam inkubator. Diberikan antibiotika spektrum luas yaitu ampisilin 100 mg/kgbb/hari intravena dikombinasikan dengan gentamisin 3 5 mg/kgbb/hari. Bila obat tersebut tidak ada, dapat dicoba memberikan penisilin 50.000 U/kgbb/hari dikombinasikan dengan kloramfenikol dengan dosis tidak melebihi 50mg/kgbb/hari.

II. Pneumonia karena infeksi airborn

Patogenesis penyakit ini sama dengan patogenesis bronkopneumonia pada bayi yang lebih tua. Biasanya akibat kontak dengan orang dewasa yang menderita infeksi saluran pernapasan bagian atas.

Penyebabnya biasanya pneumoccus, H. Influenza atau virus. Selain itu dapat juga disebabkan oleh E. Coli, Enterococcus, Proteus dan Pseudomonas. Gejala klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan rinitis dan seterusnya. Kemudian terjadi dispnu, pernapasan cuping hidung, sianosis dan batuk. Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan ronki basah yang nyaring. Pada pemeriksaan radiologis toraks dapat terlihat infiltrat. Pengobatan yang diberikan sama seperti bronkopneumonia yang lain.III. Pneumonia StaphylococcusTerutama terjadi pada bayi yang lahir di rumah sakit. Mula mula terdapat infeksi staphylococcus pada suatu tempat kemudia terjadi penyebaran ke paru sehingga terjadi pneumonia atau pitotoraks.

Proses ini terjadi dengan cepat disertai gejala sesak napas, sianosis, keadaan umum bayi cepat memburuk. Pengobatan yang diberikan ialah dengan pemberian antibiotika yang masih efektif terhadap staphylococcus misalnya klosasiklin, sefalosporin. Pengobatan lain sesuai dengan pengobatan bronkopneumonia yang lain IV. Pneumonia aspirasi

Hal ini terjadi bila cairan amnion yang mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Keadaan ini lebih dikenal sebagai sindrom aspirasi mekonium. Cairan amnion sendiri sampai saat ini sampai saat ini belum dibuktikan dapat membahayakan paru bayi. Cairan amnion yang mengandung mekonium dapat terjadi apabila bayi dalam kandungan menderita gawat janin. Kejadian ini merupakan 10 20 % dari seluruh kehamilan.

Gambaran klinis

Pneumonia aspirasi sering terjadi pada bayi dismaturitas (kecil untuk masa kehamilan), neonatus lebih bulan atau bayi yang menderita gawat janin pada kehamilan atau persalinan. Biasanya bayi lahir dengan asfiksia disertai riwayat resusitasi aktif. Tanda sindrom gangguan pernapasn mulai tampak dalam 24 jam pertama setelah lahir. Kadang kadang terdengar pula ronki pada kedua paru. Bergantung kepada jumlah mekonium yang terinhalasi, mungkin terlihat emsifema atau atelektasis

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen toraks yang menunjukkan gambaran infiltrasi kasar di kedua paru disertai dengan bagian yang mengalami emfisema.

Kematian dapat terjadi pada hari hari pertama karena kegagalan pernapasan atau asidosis berat. Pada bayi yang mengalami perbaikan, biasanya gejala hiperpnu baru dapat menghilang setelah beberapa hari dan kadang kadang sampai beberapa minggu.

Pengobatan

1. Perawatan umum berupa : (a) Pengaturan secara adekuat suhu dan kelembaban lingkungan. (b) Pembersihan jalan napas sebaik baiknya dan bila perlu dilakukan intubasi

(c)Seluruh ciran lambung harus segera dikeluarkan untuk menghindarkan kemungkinan aspirasi ulangan. Tindakan tersebut diatas seharusnya dikerjakan pada setiap bayi yang lahir dengan cairan amnion yang mengandung mekonium.

2. Pemberian oksigen dan mengatur keseimbangan asam-basa. Oksigen diberikan sampai sianosis menghilang. Pemberian NaHCO3 untuk mengatur keseimbangan asam basa tubuh seperti pada pengobatan penyakit membran hialin, yaitu dengan tujuan mempertahankan pH darah dalam batas normal.

3. Antibiotika diberikan karena diagnosis banding antaara pneumonia aspirasi dengan pneumonia bakterial sulit dibedakan dan penyelidikan menunjukkan bahwa infeksi sekunder pada penderita ini sering ditemukan. Antibiotika yang diberikan ialah kombinasi penisilin atau ampisilin dengan gentamisin.RESUSITASI KARDIOPULMONER

Definisi

Henti kardiopulmoner adalah terhentinya kontraksi jantung yang efektif secara mendadak pada seseorang yang sebelumnya mempunyai ststus kardiovaskular yang normal. Keadaan ini biasanya diikuti dengan berhentinya frekuensi pernapasan serta hilangnya kesadaran dan refleks.

Penyebab / Patogenesa

Infark Miokard akut, bisa disebabkan oleh :

Fibrilasi ventrikel : jantung tidak dapat memompa darah secara adekuat

Aritmia

Syok

Edema paru

Emboli paru : Karena penyumbatan aliran darah paru.

Hipoksia, asidosis yang dapat disebabkan oleh :

Payah jantung atau kegagalan paru yang berat

Tenggelam : glottis terbuka udara masuk saluran pernapasan paru terisi air gangguan mekanisme pernapasan

Aspirasi cairan getah lambung atau benda asing

Penyumbatan jalan napas

Trauma berat pada dinding dada, misal : pneumothorax, tamponade jantung

Kelebihan dosis obat seperti digitalis, quinidin, kalium dan obat anestesi

Depresi susunan saraf pusat yang disebabkan karena :

Racun

Arus listrik tegangan tinggi

Hiperkapnia : penimbunan kadar CO2 dalam tubuh

Gagal Ginjal (Hiperkalemia)

Hiperkalemia terjadi karena terganggunya salah satu fungsi ginjal dalam mengatur ekskresi kalium. Pada keadaan hiperkalemiamenyebabkan paralysis atrium, potensial membrane istirahat serat otot menurun serat otot menjadi tidak peka rangsang.

Refleks

Terutama refleks vagus akibat rangsangan pada trakea (intubasi, trakeostomi, aspirasi muntah), dilatasi rectum, operasi mata.

Perangsangan terus-menerus pada nervus vagus akan menyebabkan kedalaman pernapasan bertambah yang bila terus berlanjut akan mengakibatkan kondisi apneu.

Perubahan fisiologis yang terjadi pada henti kardiopulmoner

Curah jantung dan tekanan darah arteri yang tidak efektif

Penghentian aliran darah oksigenasi ke seluruh tubuh

Hipoksia jaringan dan asidosis metabolik yang cepat dan progresif. Pada keadaan hipoksia akan terjadi metabolisme anaerobic yang akan menghasilkan asam laktat dan asam piruvat peningkatan asam organic asidosis metabolic

Kerusakan system saraf pusat

Karena tingginya kebutuhan metabolic pada system saraf pusat sehingga keadaan henti jantung lebih dari 5 menit akan langsung mengakibatkan iskemia kemudian cedera neurology permanent.

Diagnosis

Didasarkan atas gejala klinis sebagai berikut :

Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau sangat lemah, pengap (gasping).

denyut nadi atau suara jantung menghilang atau sangat lemah.

hilangnya kesadaran, dilatasi pupil.

death like appearance.Penatalaksanaan

Resusitasi kardiopulmoner pada dasarnya dibagi dalam 3 tahap, yaitu:

Pertolongan dasar

airway control : membebaskan jalan nafas supaya tetap terbuka dan bersih

breathing support : mempertahankan ventilasi dan oksigenasi paru secara adekuat.

Circulation support : mempertahankan sirkulasi paru dengan cara memijat.

Pertolongan lanjut

drug & fluid : pemberian obat-obatan dan cairan

elektrocardiography : penentuan irama jantung

fibrillation treatment : pengobatan fibrilasi ventrikel

Pertolongan jangka panjang

gaughing : pemeriksaan dan penentuan penyebab dasar dan penentuan dapatatau tidaknya pasien diselamatkan dan diteruskan pengobatan.

human mentation : penentuan kerusakan otak dan resusitasi serebral.

intensive care : perawatan intensif jangka panjang.

Pertolongan dasarA. Airway

Jalan nafas dibersihkan dengan kain atau jari-jari dari cairan atau benda padat yang dapat menghalangi. Jaw thrust dan chin lift dapat dipergunakan

Anak diletakkan dalam sniffing position yaitu bahu diganjal pada posisi telentang, kepala ditarik ke belakang sehingga leher dalam posisi hiperekstensi untuk mencegah lidah jatuh ke belakang.

Bisa dibantu dengan alat jalan nafas buatan :

1. nasopharyngeal airway pada orang sadar

2. oropharingeal airway pada orang tidak sadar

Bila kurang memberikan hasil maka dapat dilakukan intubasi endotrakeal dan krikotiroitomi

B. Breathing

Cara melakukan pernafasan buatan :

1. Pernafasan mulut ke mulut atau ke hidung

Penderita dalam posisi sniffing position

Penolong menghirup nafas dalam lalu meniupkan udara ke hidung atau mulut penderita

2. Pernafasan dari mulut ke alat penghubung

Menggunakan oropharingeal airway atau masker.

3. Pernafasan dengan balon masker

Merupakan alat pernafasan yang terdiri atas:

a. Sebuah balon/bola dari karet yang dapat kempes dan menggembung kembali dengan sendirinya.

b. Sebuah katup bersifat searah sehingga udara tidak dapat masuk kembali ke dalam balon dari katup.

c. Masker yang menutup hidung dan mulut.

4. Pernafasan dengan Ventilator automatic manual

Botol oksigen digunakan dengan alat yang dapat dibuka dan ditutup dengan sebuah tombol. Oksigen dialirkan melalui suatu katup seperti alat pernafasan dengan balon. Inspirasi diperoleh dengan menekan tombol, ekspirasi dengan melepas tombol.

5. pernafasan dengan mesin pernafasan otomatik.

C. Circulation

Kompresi jantung dari luar dengan tangan:

Perlu diketahui letak jantung di tengah (midsternum) di antara tulang dada dan tulang belakang.

Pada anak penekanan dilakukan dengan salah satu telapak tangan diletakkan di atas tulang dada dan tangan yang lain di atas tangan tersebut. Cara ini dilakukan dengan penderita dalam posisi telentang. Kompresi berulang dengan kecepatan tidak kurang dari 80x/menit

Pada bayi penekanan dilakukan dengan 2 jari atau ibu jari dan telapak tangan yang lain sebagai alas di punggung penderita. Frekuensi penekanan 120-140x/menit

Pada saat kompresi, diraba denyut nadi femoral atau karotis untuk mengetahui kompresi mencukupi atau tidak.

Syarat transportasi minimal pada henti jantung, henti kardiopulmonal :

1. Petugas medis yang mendampingi harus yang terlatih tergantung pada keadaan penderita

2. Monitoring tanda vital dan pulse oksimetri

3. Bantuan kardiorespirasi bila diperlukan

4. Pemberian darah bila diperlukan

5. Pemberian obat sesuai prosedur tetap

6. Dapat menjaga komunikasi dengan dokter selama transportasi

7. Melakukan dokumentasi selama transportasiPenentuan tempat rujukan

Saat merujuk penderita tergantung dari banyak factor antara lain:

Jarak rumah sakit yang akan dirujuk

Keberadaan tenaga terampil yang mendampingi penderita

Intervensi yang perlu dilakukan

Mutlak diketahui ( kemampuan dokter bertugas serta rumah sakit tersebut ( diketahui secara dini penderita mana yang perlu dilakukan rujukan.

Faktor pegangan merujuk penderita ( kriteria fisiologis, pola perlukaan, dan biomekanika trauma.