47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya… (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak mendatangkan konflik di tengah masyarakat. Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang. 1

Transcript of 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

Page 1: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45

Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentang

Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan,

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya… (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini

kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya

Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia

hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak

mendatangkan konflik di tengah masyarakat.

Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang

sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh

sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan

founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Setua

persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak

pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.

B. Pengertian

1

Page 2: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

UUD 1945 dapat diartikan menurut sesudah dan sebelum

diamandemen. Pengertian UUD 1945 Sebelum amandemen ialah

keseluruhan naskah yang terdiri dari 3 (tiga) bagian: I. Pembuakaan yang

terdiri dari 4 alinea

II. Batang tubuh UUD 1945 yang berisi pasal 1 s.d. 37 yang

dikelompokkan dalam 16 Bab, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan

Tambahan

III. Penjelasan UUD 1945 yang terbagi dalam Penjelasan Umum dan

Penjelasan Pasal demi pasal

sedangkan setelag amandemen pengertian UUD 1945 ialah keseluruhan

naskah yang terdiri dari 2 (dua) bagian:

I. Pembukaan yang terdiri atas 4 alinea

II. Pasal-pasal yang terdiri atas 20 Bab, 73 Pasal, 170 ayat, 3 Pasal aturan

peralihan, dan 2 Pasal Aturan Tambahan

C. Ruang Lingkup

Makalah ini membahas seputar kehidupan beragama yang terjadi di

lingkunagan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

D. Metode Pendekatan

Indonesia adalah negara yang tergolong demokrasi soal kebebasan

beragama. Terbukti, Departemen Agama dibentuk dalam rangka

memenuhi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan isi Undang-Undang

Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut berbunyi, ayat (1) Negara berdasar

atas ke-Tuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam UUD 1945

pasal 29 tercantum kalimat “agamanya dan kepercayaannya itu”.

Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta

bahwa kata-kata “itu” di belakang kata “kepercayaan” dalam pasal

2

Page 3: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

tersebut menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan

kepercayaan.

Namun yang terjadi hidup beragama masih diwarnai dengan

berbagai tindakan radikalisme, kurang toleransi muncul dalam bentuk

aksi-aksi kekerasan massa. Ambil contoh, pembakaran Yayasan Doulos

sampai hari ini tidak pernah disidangkan, atau kekerasaan terhadap

pendeta HKBP di Rajek, Tangerang beberapa waktu lampau tidak jelas

keadilan pemerintah. Di tingkat masyarakat, terjadi pembrondongan

terhadap kebebasan beragama karena fanatisme yang mengharamkan

pluralisme. Dan menghalalkan penutupan dan pengrusakkan rumah

ibadah. Herannya, kasus-kasus seperti ini selalu dipetieskan. Yang berarti

demokrasi belum berdiri tegak di santero Nusantara. Padahal, hak

menganut dan mendirikan ibadah adalah hak hakiki yang dijamin undang-

undang.

Perubahan SKB Dua Menteri diganti dengan Peraturan Bersama

(Perber) pun tidak memberikan solusi, malah menyuburkan perusakan

rumah ibadah. Gejala lain yang juga mengganggu prinsip (demokrasi)

kebebasan beragama adalah dikeluarkan-nya apa yang disebut perda-

perda syariah, mengharusan bagi pegawai perempuan pemerintah daerah

untuk memakai jilbab. Kasus di beberapa daerah menjadi sumber konflik.

Di Sumatera Barat misalnya, siswi Kristen disuruh pakai kerudung.

Masalahnya bukan anti peraturan, melainkan peraturan produk

kebudayaan Arab tidak bisa dipakai, di Indonesia yang berdasarkan

masyarakat majemuk.

Jacques Rousseau, seorang satrawan dan filsuf Prancis (1712-1778).

Menurut Rousseau, ketika pertama kali lahir, manusia dalam keadaan

baik. Namun setelah bermasyarakat ia menjadi jahat karena ada

persaingan, percekcokan dan lainnya. Untuk mengembalikan pada

keadaan baik dan damai, maka harus ada kesepakatan bersama untuk

mengatur kehidupan bersama. Kesepakatan bersama terjadi jika setiap

orang menyerahkan pribadinya dan seluruh kekuatannya bersama-sama

3

Page 4: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

dengan yang lain di bawah pedoman tertinggi dari kehendak umum; pada

tubuh manusia, kita menganggap setiap organ adalah bagian yang tak

terpisahkan dari organ lainnya secara keseluruhan. Demikian pula

demokrasi, kebebasan semua orang adalah keputusan dari suara

terbanyak yang mencerminkan demokrasi. Sebaliknya kebebasan

seseorang tidak mencerminkan kehendak umum. Walau kebebasan

pribadi harus dihargai negara demokrasi. Maka, disinilah pentingnya

toleransi umat beragama. Fanatisme terhadap kepercayaan pribadi tidak

bisa dipaksakan pada orang lain.

BAB II

PERMASALAHAN

Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia

hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak

mendatangkan konflik di tengah masyarakat.

Hal ini misalnya tampak pada problem eksistensi Ahmadiyah yang

hingga kini masih menggantung. Beberapa ormas Islam

konservatif,dengan semangat yang atraktif,meminta agar Presiden segera

mengeluarkan keputusan (keppres) yang melarangAhmadiyah.

4

Page 5: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

Bahkan,mereka mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam

berjihad untuk memurnikan ajaran Islam yang telah dicemarkan

Ahmadiyah.Yang lebih ironis, di berbagai daerah, yang terbaru di

Sumatera Selatan, pemerintah daerah mengeluarkan surat keputusan

yang melarang Ahmadiyah dan aktivitas para pengikutnya.

Meski pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan SKB No 3 Tahun

2008 pada bulan Juni lalu mengenai eksistensi Ahmadiyah,namun

menurut sebagian kalangan Islam itu belum cukup dan sama sekali tidak

tegas.Dalam SKB itu Ahmadiyah tidak secara jelas dinyatakan dilarang

dan harus dibubarkan.

Karenanya, sampai hari ini banyak ormas Islam konservatif yang

terus-menerus berdemonstrasi menuntut pembubaran Ahmadiyah. Bagi

mereka,pembubaran Ahmadiyah adalah harga mati yang tidak bisa

ditawartawar lagi.Tidak jarang jalan kekerasan menjadi cara mereka

untuk membubarkan jamaah Ahmadiyah ini.

Setelah SKB keluar,semakin banyak warga Ahmadiyah di berbagai

daerah yang menjadi korban anarkisme. Bahkan, tragedi penyerangan

massa AKKBB oleh FPI pada Hari Jadi Pancasila juga didasarkan alasan

bahwa mereka (AKKBB) membela Ahmadiyah. Jadi, seperti apakah

kehidupan beragama dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia?

5

Page 6: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

BAB III

PEMBAHASAN

Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI

berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lantas diubah

lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar

atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata

(dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-

Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga

sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali

mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Itu tidak berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan

Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan

di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika

usaha-usaha tersebut. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat

ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 tadi.

Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa

6

Page 7: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

perubahan apapun; kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan

memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti

rumusan hasil siding BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan

tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat

lagi dari pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya:

“Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai,

norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara

melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan

Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk

agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing”

(diusulkan oleh Partai Reformasi).

Menarik pula dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal

29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di

MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang

mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari

rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil perdebatan

panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, pasal 29

akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti

ditetapkan dalam siding PPKI. Maka tidak berlebihan untuk mengatakan,

di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit

dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga

masalah pelaksanaannya di lapangan. Sejarah mencatat, ribuan menjadi

korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde

Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil.

Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam

problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan

berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll); kedua, ranah

hukum. Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum yang muncul

diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah

ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam.

Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah

menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga

7

Page 8: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

didaerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-

ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran.

Kebebasan Beragama di Era Orde Baru

Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang

seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan

beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk.

Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan

keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap

buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa

menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua

tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari

seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri.

Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak

memiliki payung konstitusi yang kukuh. Undang-Undang Dasar 1945 pasal

29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan

Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu.”

Ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM,

pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati

nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama

atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau

kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan

manaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di

muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih

dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi

HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima

deklarasi tersebut.

Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu

pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang

8

Page 9: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang

dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan

Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1

menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum

menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan umum, untuk

melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia

atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai

kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan

mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.

Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar

mengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan

tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan

“kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama

dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang

dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian

dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa implikasi

luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa

berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk

“mengamankan” agama-agama resmi yang diakui Negara (Islam,

Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan

dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain.

Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan

Negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni

agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi

agama untuk kepentingan penguasa.

Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan

kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun

1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak

asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas

memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang

terdapat dalam UUD 1945.

9

Page 10: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)

sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X

mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup,

hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak

beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi dalam

keadaan apapun (non-derogable). ”Bentuk intervensi kedua Orde Baru

adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan

cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama

resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan

agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara

ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan

kekuasaan.

Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain

menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik,

Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Keloempok-kelompok yang jelas

menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan

di Cigugur, Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang

di Sulawesi Selatan, dan komunitas Kaharingan di Kalimantan.

Pada saat yang sama kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang

pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang

dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam

agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok

“pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu

kekuasaan Orde Baru.

Tidak heran jika kemudian muncul lembaga-lembaga seperti MUI,

WALUBI, PGI, KWI dan HINDUDHARMA. Kelompok-kelompok inilah yang

diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir

10

Page 11: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan keshahihan tafsir yang benar

pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan

mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan

seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari

garis-garis pokok ajaran keagamaan atau dikatakan sebagai induk agama.

Dalam Islam misalnya, kasus penyimpangan terhadap tafsir

mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-

hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga

ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten

Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan

pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka.

Dengan pola intervensi ini tak heran berbagai varian dalam

kelompok-kelompok keagamaan tidak muncul ke permukaan. Yang

mampu bertahan adalah yang mampu menyiasati kekuasaan Orde Baru.

Sebut saja kehidupan kelompok sempalan seperti Darul Hadis Islam

Jamaah yang dianggap menyimpang dari arus maenstream. Dengan

mendukung partai penguasa dan merubah nama menjadi Lemkari

(Lembaga Karyawan Islam) atau LDII (Lembaga dakwah Islam Indonesia),

kelompok ini mampu bertahan sampai hari ini. Ini berbeda dengan yang

dialami Darul Arqam. Kelompok tersebut dinyatakan sebagai kelompok

“terlarang”.

Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi

agama-agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-

agama lokal sebagai dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama

resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim,

Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi

melalui islamisasi atau kristenisasi.

Sistuasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR

No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir

6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan

11

Page 12: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup

bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut

kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa

kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu

pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama

baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang

diakui oleh Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME

merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas

bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung

dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan

kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-

undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan

mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu

keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan

membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan,

bukan membatasi definisi dan jumlah agama.

Jaminan Konstitusi

Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau

berkeyakinan dapat kita simak pada sejumlah kebijakan sebagaimana

tersebut di bawah ini: 1

1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama

dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas

kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap

sesuai dengan hati nuraninya.

2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

1 Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan di Indonesia, (Jakarta; Komnas HAM, 2006) hal 4-5.

12

Page 13: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional

Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak

atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama

atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara

individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat

umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan

dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal

18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu

kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau

kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang

bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara

menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-

masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1

berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah

Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal

ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia.

Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir

seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan

seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka

mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan

oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama

tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi

pembedaan status hokum tentang agama yang diakui melainkan

bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di

Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang

menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain

seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di Indonesia.

13

Page 14: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat

(2) dan mereka dibiarkan adanya…”.

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39

tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal

18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan

untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang.

Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara

lain:2

1. Restriction for the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk

Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan

agama di public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah

keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka

melindungi kebebasan individu-individu (hidup, integritas, atau

kesehatan) atau kepemilikan.

2. Restriction for the Protection of Public Order (Pembatasan untuk

Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan

memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum,

antara lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan

masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum,

mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan

kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.

3. Restriction for the Protection of Public Health (Pembatasan untuk

Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan

berkaitan dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi

kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna

mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan

melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja

secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan

penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada 2 Ibid., h. 6-7. Lihat juga http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=240,

diakses pada 2 Juli 2008

14

Page 15: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah atau

melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak

ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam

adapt-istiadat tertentu di Afrika.

4. Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi

Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan

agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat

menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari

berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social. Olehkarena itu,

pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat

diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat

dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna

kelengkapan ritual aliran agama tertentu.

5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and

Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan

Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)

5.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman

terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri

kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka

melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi

agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.

5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau

kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari

orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik

dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan,

pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan

juga hak kaum minoritas.

Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak

kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam

delapan komponen, yaitu:3

3 Kedelapan komponen ini disarikan dari berbagai instrument internasional yang memuat tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan seperti Deklarasi Universal

15

Page 16: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir,

berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk

menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya

sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara

individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk

memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran,

pengalamannya dan peribadahannya.

3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek

pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau

mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.

4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan

menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu

di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk

asli atau pendatang, asal-usul.

5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk

menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk

menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya

sesuai dengan keyakinannya sendiri.

6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari

kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan

untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena

itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama

atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam

pengaturan organisasinya.

7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan

untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya

dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi

Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 18; Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18.1 s.d. 18.4. dll. Lihat, Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Netherland, Martinus Nijhoff Publishers, 2004, pp. xxxvii-xxxix. Lihat juga Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), op.cit., 3-4.

16

Page 17: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum

atau hak-hak dasar orang lain.

Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan

beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.

Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi

beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Pada

tradisi Islam, misalnya, prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Quran

dan Hadis, termasuk dalam kitab fikih, tafsir, dan bukti sejarah keislaman.

Dalam al-Quran prinsip-prinsip tersebut termuat dalam QS. Al-Baqarah, 2:

256 (tidak ada paksaan dalam beragama); Yunus 99 (larangan memaksa

penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada

ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapaai “kalimatun sawa”); al-

Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong

orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka).

Dalam tradisi fikih, prinsip ini termuat dalam konsep “maqashid al-

syariah”: kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs); kebebasan beropini dan

berpendapat (hifz al-‘aql); menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nasl);

kebebasan memiliki properti (hifz al-nasl); kebebasan beragama (hifz al-

din).4

Dalam tradisi Katholik dan Protestan, prinsip ini terdapat Kitab

Galatia: Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri,

Injil Matius 22: 37-40 (Hukum Kasih), atau dalam Advent – Matius 7 : 12-

Advent: “Apa yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat padamu,

perbuatlah demikian juga, karena inilah isi kitab hukum Taurat dan kitab

para nabi; Hindu dalam Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan,

Pelemahan), Tat Twam Asi (Aku adalah Kau, Kau adalah aku); Budha

dalam kitab Falisuta dan Kalamasuta (jangan mencela agama lain karena

dengan mencela agama lain, berarti telah mencela atau mengubur

agamanya; Khonghucu dalam ajaran “di empat penjuru lautan, semua

manusia bersaudara”.

4 Siti Musdah Mulia “Menuju Kebebasan Beragama” dalam Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), hal 48

17

Page 18: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

Sementara itu dalam tradisi kepercayaan dan komunitas lokal,

prinsip-prinsip ini memiliki akar kuat. Misalnya petuah Ura’ngi Rua,

Kaluppai Rua (ingatlah kejahatan kepada orang lain dan ingat kebaikan

orang-orang kepadamu serta lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain

serta lupakanlah kejahatan orang kepadamu dalaam falsafah Bugis-

Makasar atau “to kamase-kamase” (saling mengasihi sesamaa manusia)

dalam tradisi komunitas Kajang.

UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber

dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan

hukum di Indonesia setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia

banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti

Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU 12/2005. Dalam

masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali

amandemen, sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam

hukum di Indonesia.

Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi

dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok

masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan

dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia

dengan berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan

ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya reformasi

telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai

dengan Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum

atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan

tumpang tindih bahkan ada juga yang melihat sebagai produk-produk

multitafsir. Sebut saja Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002,

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Undang-

undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden No.

11/2003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah

18

Page 19: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

(Perda) tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 8/9

Tahun 2006 dll.

Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan

kehendak berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini,

yang terjadi baik dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;

1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia,

para pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat .

Misalnya, di kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun

kotamadya Sumatera Barat, Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah

mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah

untuk mengenakan pakaian Muslim. Beberapa penduduk mengatakan

bahwa pihak berwenang mencampuri urusan pribadi mereka. Bahkan

praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat memberikan waktu

untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah. Contoh lain

adalah munculnya Rancangan Perda (raperda) Kota Injil di Monokwari

Papua.

2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang

publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan

aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan

seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang

ada sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum

perempuan untuk bekerja mencari nafkah.

3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang

perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei

2005 dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk

Kristen. Para perempuan tersebut ditangkap setelah anggota

komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya program

sekolah Minggu di rumah mereka, mereka memberikan kotak pensil

dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-anak Muslim.

4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen

Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk

bantuan itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompok-

19

Page 20: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

kelompok keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya

pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok

Kristen menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih sering

kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas

Muslim.

5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9

dan 8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi

secara serentak dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi

kekerasan yang terjadi di depan aparat keamanan pemerintah dan ada

kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan, terjadi dalam aksi penutup

tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai tulisan ini dibuat

aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah oleh

pemerintah kabupaten Bekasi).

6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi

Rempug, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di

Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena

merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa juga menyatakan

bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah

tersebut memiliki ijin.

7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008

di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa

kekerasan terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah

keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila.

Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang

terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan

apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan

berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I

UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam

Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan

beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999

tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan,

20

Page 21: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau

menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap

orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam

masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama

atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Bahwa negara Indonesia menjamin kemerdekaan untuk beragama bagi rakyat nya

2. Indonesia bukan negara agama tetapi negara yang beragama

3. Marilah kita menjaga persaudaraan walaupun berbeda agama dengan mengormati dan menghargai satu sama lain.

BAB V

PENUTUP

Dalam suasana reformasi yang menuntut perubahan paradigma

segala bentuk ketentuan perundangan berbagai aras yang diskriminatif

perlu diganti. SKB Menag-Mendagri 1969 amat merugikan semua agama

di Indonesia, terutama sekali gereja-gereja telah mengalami penderitaan

yang amat dalam sehubungan dengan SKB tersebut. Secara hukum,

konstitusional, material, teologis, SKB itu amat kontraproduktif dan

diskriminatif. Tak ada pilihan lain kecuali pemerintah mencabutnya dan

mengupayakan agar ada penyamaan izin pembangunan rumah ibadah

dengan izin bangunan-bangunan yang lain.

Penyusunan suatu ketentuan baru tentang pembangunan rumah

ibadah harus menjadikan hal berikut sebagai referensi utama:

a) Ketentuan tersebut harus berangkat dari kondisi realistik bahwa

masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganut berbagai

agama, dana agama-agama itu mempunyai hak serta kewajiban yang

21

Page 22: 47646276 Aplikasi Uud 1945 Pasal 29 Ayat 2 Dalam Kehidupan Bermasyarakat Di Indonesia

sama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak boleh

diperlakukan dengan bertolak dari jumlah penganut.

b) Ketentuan tersebut harus mengacu serta mencerminkan jiwa dan

semangat Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, GBHN, Wawasan

Nusantara yang memberi posisi sentral bagi kehidupan keagamaan

masyarakat Indonesia dan yang di dalamnya kemerdekaan tiap penduduk

untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya dijamin oleh negara.

c) Ketentuan tersebut harus memberi peluang bagi penambahan sarana-

sarana rumah ibadah sebagai bagian padu dari pembinaan mental-

spiritual.

d) Ketentuan tersebut memberikan penegasan tentang peranan negara

(sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945) sehingga pembangunan rumah

ibadah tidak seakan-akan tergantung dan atau merupakan belas kasihan

dari seorang pejabat atau suatu kelompok/golongan tertentu di dalam

masyarakat.

e) Ketentuan tersebut tidak boleh membatasi/menghalangi hak setiap

makhluk untuk mengekspresikan keberagamaannya kepada Sang Khalik.

Artinya jika oleh karena satu dan hal, rumah-rumah ibadah belum dapat

dibangun, maka hak umat beragama untuk mengungkapkan

keberagamaannya kepada Allah Yang Esa itu tetap dijamin, walaupun

untuk sementara tidak dilaksanakan di dalam ruang gereja/ ruang ibadah

yang khusus.

22