47290850-KORTIKOSTEROID

39
BAB I PENDAHULUAN Pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang memiliki resiko tinggi untuk persalinan preterm telah direkomendasikan oleh beberapa ahli karena kortikosteroid antenatal dihubungkan dengan penurunan insiden terjadinya sindroma gawat nafas janin (RDS), kematian neonatal dan hemoragik intraventrikuler (IVH). Dibuktikan dengan meta analisis Cochrane pada percobaan dengan pengambilan sample acak dengan 18 wanita hamil yang menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid antenatal menurunkan resiko terjadinya sindroma gawat nafas janin, kematian neonatal dan hemoragik intraventrikuler Stalker S,2004 Terapi kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan secara prematur pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 untuk meningkatkan pematangan paru janin. Meta-analisis baru-baru ini berkesimpulan bahwa pemberian kortikosteroid terutama untuk mengantipasi kelahiran preterm yang dihubungkan dengan berkurangnya insiden kematian neonatal, RDS, IVH, dan NEC. NIH,1994 Penggunaan kortikosteroid dalam kehamilan tidak menunjukkan peningkatan insiden infeksi maternal maupun fetal, baik pada kasus dengan prematur ruptur membran maupun tidak. Stalker S,2004 1

description

ks

Transcript of 47290850-KORTIKOSTEROID

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang memiliki resiko tinggi untuk persalinan preterm telah direkomendasikan oleh beberapa ahli karena kortikosteroid antenatal dihubungkan dengan penurunan insiden terjadinya sindroma gawat nafas janin (RDS), kematian neonatal dan hemoragik intraventrikuler (IVH). Dibuktikan dengan meta analisis Cochrane pada percobaan dengan pengambilan sample acak dengan 18 wanita hamil yang menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid antenatal menurunkan resiko terjadinya sindroma gawat nafas janin, kematian neonatal dan hemoragik intraventrikuler Stalker S,2004

Terapi kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan secara prematur pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 untuk meningkatkan pematangan paru janin. Meta-analisis baru-baru ini berkesimpulan bahwa pemberian kortikosteroid terutama untuk mengantipasi kelahiran preterm yang dihubungkan dengan berkurangnya insiden kematian neonatal, RDS, IVH, dan NEC. NIH,1994Penggunaan kortikosteroid dalam kehamilan tidak menunjukkan peningkatan insiden infeksi maternal maupun fetal, baik pada kasus dengan prematur ruptur membran maupun tidak.Stalker S,2004Pada sebuah karya ilmiah penting, Liggins dan Howie memperlihatkan bahwa pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang mempunyai risiko melahirkan prematur mengurangi insiden sindrom gawat nafas (RDS) dan kematian anak. Efisiensi terapi kortikosteroid antenatal belakangan ini telah dikonfirmasikan dengan lebih dari selusin percobaan dengan memakai plasebo sebagai kontrol secara acak.Meneguel JF et al,2003Konsensus konferensi pengobatan kortikosteroid antenatal tahun 1994 menguatkan penelitian awal Liggins dan Howie tentang pemberian glukokortikoid antenatal pada ibu yang berisiko untuk terjadinya kelahiran preterm dan telah menjadi perwatan rutin di Amerika Serikat. NIH,1994;Dudley DJ et al,2003BAB II

PATOFISIOLOGI PEMATANGAN PARU JANINParu terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama terdiri dari 2 tipe sel, yaitu penumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli merupakan epitel yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel endotel kapiler, yang memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II, yang lebih kecil dari tipe I terletak di sudut-sudut alveoli, berbentuk kuboid dan mengandung lamelar inclusion spesifik bila dilihat dibawah mikroskop elektron. Badan lamelar adalah tempat penyimpanan surfaktan intraseluler. Dengan analisa biokemik ternyata badan lamelar mengandung surfaktan sejenis phospholipid.Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004Sel tipe II menangkap prekusor pembentuk phospholipid dan protein. Sintesa terjadi dalam retikulum endoplasma. Setelah dimodifikasi dalam aparatus golgi, komponen surfaktan dibawa dan disimpan dalam badan lamelar. Badan lamelar ini disekresikan dengan cara eksositosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular mielin. Dari sini dihasilkan surfaktan monolayer, yang diabsorbsi ke air liquid interface. Dengan mikroskop elektron tubular mielin terlihat seperti kisi kisi berbentuk tabung segi empat. Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respon terhadap trauma. Setelah mengalami trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding alveoli dan sel tipe II berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian berkembang menjadi sel tipe I. Serudji J, Sulin D, 2004

Clements(1957) menemukan suatu bahan yang menurunkan tegangan permukaan terdapat dalam ekstraks ekstraks salin dari bahan cucian paru. Sifat sifat permukaan aktif dari alveoli dapat dihubungkan dengan komponen komponen suatu kompleks lipoprotein, yaitu, surfaktan. Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004Sistem surfaktan paru merupakan suatu kompleks dari protein dan phospholipid yang dapat menurunkan tegangan permukaan pada alveoli. Penurunan tegangan permukaan ini mempengaruhi stabilitas alveoli selama respirasi normal. Surfaktan adalah kompleks antara lipid dan protein, dimana 90 % adalah lipid, dan 10 % protein. 80 % dari lipid (phospholipid) dari surfaktan terutama terdiri dari phosphatidilcholines (lecitin). Dipalmitoylphosphatidyl choline (DPPC) merupakan komponen utama surfaktan paru yang berjumlah hampir 50% di antara glycerophospholipid dari surfaktan. Phosphatidylglycerol adalah komponen permukaan aktif surfaktan terbanyak kedua, yaitu 8-15%. Phosphatidylglycerol dapat mengurangi tegangan permukaan di alveoli,tapi secara tepatnya belum diketahui. Pembentukan lapisan phospholipids dipermudah oleh protein dalam surfaktan. Bahan ini mengandung tiga protein unik yaitu SP-A, SP-B, dan SP-C. SP-A adalah suatu glikoprotein besar dan menyerupai kolagen dalam strukturnya. SP-A ini diperkirakan mempunyai beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik pengambilan surfaktan oleh sel alveolus epitel tipe II yang mensekresinya. Sintesa SP-A diketahui dapat ditingkatkan dengan pengobatan jaringan paru janin cyclic AMP (analog), epidermal growth factor, dan triiodothyronine. SP-B dan SP-C adalah protein yang lebih kecil yang memfasilitasi pembentukan lapisan phospholipids. Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004Sel alveoli tipe II yang menghasilkan surfaktan dapat mencegah kolapsnya alveoli pada saat akhir ekspirasi sehingga bayi dapat bernafas dengan usaha nafas yang minimal. Dalam kehidupan lebih lanjut, pada saat alveolus ditandai dengan suatu interface air ke jaringan, badan badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan gerakan semacam pernafasan yaitu: pernafasan janin. Gambaran surfaktan dalam cairan amnion menunjukkan mulainya pematangan fungsional paru paru. Cunningham FG et al, 2001Perkembangan surfaktan pada jaringan paru- rongga udara, mencegah alveoli kolaps selama ekspirasi dan membuat alveoli terbuka lebih mudah pada inspirasi berikutnya. Pada bayi dengan paru- paru yang masih imatur tidak mempunyai surfaktan dalam jumlah yang cukup pada saat lahir sehingga alveolus akan kolaps pada saat akhir ekspirasi dan tidak mampu berkembang kembali pada saat inspirasi, sehingga pada waktu inspirasi butuh usaha besar. Kolapsnya alveolus karena kurangnya surfaktan akan menimbulkan sesak nafas pada BBL yang dikenal respiratory distress syndrome.

Every dan Mead (1959) pertama kali menunjukkan bahwa respiratory distress syndrome disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan neonatus. Defisiensi surfaktan paru dengan struktur dan fungsi yang imatur dari paru dapat menimbulkan gangguan. Cunningham FG et al, 2001

Pengurangan pengembangan paru-paru berperanan penting pada hipoventilasi alveolus, dan ventilasi- perfusi yang tidak seimbang. Hipoksemia dapat menyebabkan asidosis metabolik, dan keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan hipoksemia yang menganggu. Jobe AH, Soll RF, 2004

Secara makroskopik, paru-paru tampak berwarna kemerahan. Paru-paru pada bayi ini butuh tekanan terbuka yang lebih tinggi untuk mengembangkan paru-paru. Secara mikroskopik tampak atelektasis difus pada rongga udara bagian distal dengan distensi pada saluran nafas bagian distal dan area perilimphatik. Atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen menimbulkan kerusakan sel epitel pada saluran nafas bagian distal, sehingga menimbulkan eksudat matriks fibrin.Stalker S, 2004

Kekurangan surfaktan menimbulkan atelektasis yang progresif , kolaps alveolar, berkurangnya pengembangan paru, udem paru, dan pengurangan kapasitas yang sangat besar untuk pertukaran udara. Situasi ini membuat cepat lelah, penurunan usaha bernafas, hipoksia, sianosis, asidosis, dan berakhir pada kematian.Arias F, 1993BAB IIIKORTIKOSTEROIDPengobatan kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan prematur diperkenalkan pertama kali pada tahun 1972 untuk meningkatkan maturitas paru- paru janin. Konsensus konferensi pengobatan kortikosteroid antenatal tahun 1994 menguatkan penelitian awal Liggins dan Howie tentang pemberian gkukokortikoid antenatal pada ibu yang berisiko untuk terjadinya kelahiran preterm telah menjadi perawatan rutin di Amerika Serikat. Baru-baru ini meta-analisis berkesimpulan bahwa pemberian kortikosteroid diutamakan untuk mengantisipasi kelahiran preterm yang dihubungkan dengan berkurangnya insiden kematian neonatal, RDS, IVH, NEC.NIH,1994;Dudley DJ et al,2003A. Dasar Ilmiah Penggunaan Kortikosteroid 1. Farmakokinetik

Kadar steroid yang beredar dalam sirkulasi ibu dan janin setelah pemberian steroid telah diteliti.Regimen asli yang digunakan Liggins adalah suatu suspensi betametason fosfat 6 mg dengan betametason asetat 6 mg yang diberikan dalam 2 dosis dengan jarak 24 jam. Campuran ini memberikan peningkatan konsentrasi glikokortikoid yang cepat dan berkelanjutan. Kadar maksimum betamatason serum ditemukan pada ibu 1 jam dan pada janin 1-2 jam setelah pemberian. Betamatason mempunyai waktu paruh sekitar 6 jam dan tidak dapat dideteksi 48 jam setelah dosis terakhir. Waktu paruh diduga lebih panjang pada sirkulasi janin (12 jam). Konsentrasi dalam tali pusat lebih rendah secara konsisten kadarnya dibanding kadarnya dalam darah ibu (rasio talipusat :darah ibu :0,37) dan betametason tidak terdeteksi lagi pada janin yang dilahirkan 40 jam setelah pemberian steroid terakhir pada ibu. Dudley DJ et al,2003Efek dari beberapa steroid untuk terapi prenatal ditentukan oleh hubungan potensi glukokortikoid intinsiknya, transfer dari darah ibu ke janin, dan angka clearance dari sirkulasi. Untuk menentukan kadar total pemberian steroid, aktivitas serum glukokortikoid ditentukan dengan kadar kombinasi steroid eksogen dan kortisol endogen serta menghitung fraksi aktif fisiologi yang tak terikat (bebas). Semua steroid sintetik mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor yang muncul secara alami dibanding kortisol. Ternyata betametason mempunyai afinitas 5,4 kali lipat dan deksametason 7,1 kali lipat lebih tinggi. Perbandingan pemberian betametason fosfat/asetat 12 mg setiap 12 jam, deksametason 6 mg setiap 12 jam, dengan 100 mg hidrokortison setiap 8 jam menunjukkan bahwa hidrokortison, diukur setelah 8 jam sebagian besar sudah hilang (cleared). Sebaliknya betametason dan deksametason masih terdeteksi. Masa kerja peningkatan aktivitas kortikosteroid 32 jam untuk hidrokortison, 60 jam untuk deksametason, dan 72 jam untuk betametason. Ternyata waktu total pengaruh steroid pada jaringan target adalah lebih lama dibanding jangka waktu pendeteksian kadar plasma oleh karena pelepasan yang lambat steroid dari reseptornya. Dudley DJ et al,2003Karena kerjanya yang dapat diterima, regimen betametason tampak lebih disukai daripada deksametason. Deksametason mempunyai nilai puncak yang lebih tinggi dan variasi kadar sirkulasi lebih signifikan. Setelah pemberian betametason, konsentrasi puncak dari steroid yang tak terikat adalah sama dengan kadar yang muncul setelah lahir pada janin prematur yang tidak diterapi yang kemudian berkembang menjadi RDS. Penekanan adrenal diukur sampai 72 jam setelah pemberian betametason, ini lebih sedikit daripada stressed sick newborns. Karena itu betametason prenatal dapat dibandingkan dengan respon stress fisiologik yang dialami oleh neonatus. Dudley DJ et al,2003Betametason dan deksametason hanya sedikit berbeda dalam hal kadar sirkulasi glukokortikoid aktif pada janin. Betametason kadar puncaknya lebih rendah tapi peningkatan aktivitasnya lebih lama. Hal ini meramalkan efektifitas yang sama pada kedua regimen. Klinis tidak terdapat kerugian secara teoritis untuk berpindah- pindah regimen ke yang lain. Injeksi langsung ke janin tidak mempunyai keuntungan karena obat ini dapat dengan cepat berpindah melalui plasenta dalam bentuk aktifnya. Dudley DJ et al,20032. Metabolisme dan Ekskresi

Hanya sedikit proporsi kortikosteroid yang diekskresikan melalui ginjal, dan clearance ginjal tidak meningkatkan selama kehamilan. Tempat utama untuk clearance betametason adalah hati ibu. Suatu mekanisme yang mungkin untuk peningkatan clearance pada wanita hamil adalah metabolisme betametason oleh unit plasenta janin. Penelitian yang mendukung teori ini termasuk adalah gradian plasma transplasental yang rendah, metabolisme invitro betametason dalam system human plasenta invitro, tidak adanya peningkatan dalam metabolisme hepatik intrinsik dari betametason, dan tidak ada bukti peningkatan ekskresi ginjal. Dudley DJ et al,2003B. Mekanisme Kerja

1. Pengaruh secara fisiologi

Efek fisiologi glukokortikoid pada perkembangan paru adalah meningkatkan surfaktan paru. Penelitian-penelitian awal yang dilakukan terhadap kelinci dan domba menunjukkan bahwa glukokortikoid merangsang pembentukan struktur paru dan mulai timbul produksi surfaktan paru. Secara histologi dapat diamati sebagai pendataran epitel, penipisan septum alveolus, peningkatan differensiasi sel. Selain dari efek terhadap surfaktan , glukokortikoid meningkatkan compliance paru dan volume maksimal paru. Pemberian glukokortikoid janin juga mengurangi kebocoran protein dari pembuluh pulmoner ke ruang udara dan meningkatkan clearance cairan paru sebelum kelahiran. Hay WW,2001; Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 20012. Pengaruh secara biokimia

Mekanisme betametason atau kortikosteroid lainnya yang terbaru untuk menurunkan frekuensi respiratory distress syndrome, melibatkan induksi protein yang mengatur sistem biokimia dengan sel tipe II pada paru janin yang memproduksi surfaktan. Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 2001Pada sel- sel paru janin manusia yang dikultur, pemberian deksametason meningkatkan kandungan protein surfaktan A, B, C, D, sambil merangsang aktifitas semua enzim penting untuk biosintesis fosfolipid. Karena itu, konsentrasi fosfatidilkolin yang larut meningkat. Pada gilirannya hal ini merangsang perkembangan badan badan lamelar, yang kemudian disekresikan ke dalam lumen ruang udara.Glukokortikoid mempunyai efek- efek tambahan yang membantu pernapasan, dengan cara meningkatkan aktifitas enzim anti oksidan dan menginduksi protein yang terlibat dalam clearance cairan paru .Masing-masing efek ini menunjukkan suatu sisi dari pematangan paru janin dan berlanjut dengan memfasilitasi transisi dalam pernapasan setelah kelahiran. Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 20013. Pengaruh terhadap jaringan lain

Observasi klinis terhadap efek multisistem terapi steroid terhadap bayi baru lahir konsisten dengan data yang didapat dari penelitian hewan.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kortikosteroid membantu perkembangan hati, usus, kulit,glandula adrenal, ginjal, dan jantung janin.Contoh-contoh ini menggambarkan efek global steroid terhadap transisi perkembangan mayor dan menyediakan suatu dasar ilmiah untuk penggunaan terapi steroid antenatal untuk mempercepat fase perkembangan pada janin manusia sebelum kelahiran preterm. Dudley DJ et al,20034. Ras dan jenis kelamin

Dari beberapa percobaan tidak ada kejadian bahwa gender pada bayi menentukan keuntungan pada pemakaian kortikosteroid. Pada laki-laki yaitu OR 0.43, dan pada perempuan OR 0.36. Analisis dari kelompok Collaborative meyakini bahwa bayi berkulit hitam lebih menguntungkan daripada bayi berkulit putih. Tidak ada bukti yang meyakinkan dari beberapa penelitian klinis bahwa jenis kelamin atau ras berpengaruh terhadap terapi kortikosteroid antenatal.NIH,1994; Crowley P,1997; Mupanemunda RH et al, 1997C. Tipe kortikosteroid

Deksametason dan betametason merupakan kortikosteroid yang lebih banyak digunakan untuk terapi antenatal, tapi hidrokortison tidak menunjukkan keuntungan yang sama. Dua komponen ini identik dalam aktifitas biologi dan dengan mudah melewati plasenta dalam aktivitas biologinya. Mereka sama sekali tanpa aktifitas mineralokortikoid, secara relatif lemah dalam aktifitas imunosupresif, dan mempunyai durasi yang lebih lama daripada kortisol dan metilprednisolon. Mereka juga kortikosteroid antenatal yang paling luas diteliti untuk peningkatan maturitas janin.NIH, 1994

Komposisi kimia kedua obat ini hanya berbeda pada deksametason mempunyai suatu kelompok metil di posisi 16 dalam konfigurasi alfa, sedangkan betametason mempunyai metil di posisi beta. Dudley DJ et al,2003Liggins dan Howie meggunakan suspensi betametason pada penelitian mereka karena kortikosteroid fluorinasi melewati plasenta dari ibu ke janin dan mencapai level darah janin lebih kurang 30% dari level darah ibu, dan juga karena garam asetat merupakan larutan yang bebas. Betametason dan deksametason adalah secara struktur fluorinasi kortikosteroidnya mirip, dan mempunyai potensi genomik yang sama.Betametason secara signifikan mengurangi kematian, sedangkan deksametason tidak. Pada penelitian retrospektif Baud dkk dilaporkan bahwa deksametason dihubungkan dengan peningkatan kualitatif periventricular leukomalacia , dimana betametason secara signifikan mengurangi periventricular leukomalacia .

Betametason adalah rangsangan yang lebih poten untuk pematangan paru, efek kemudian dari perkembangan saraf pada tikus kurang dibandingkan deksametason. Pada manusia efek variabilitas denyut jantung janin pada betametason kurang dibanding deksametason, tapi perbedaan ini tidak dijumpai pada penelitian lain. Peningkatan periventricular leukomalacia yang dihubungkan dengan deksametason antenatal merupakan hasil dari bahan pengawet sulfit yang terkandung dalam produk itu. Sulfit dapat merusak sel neural in vitro. Jadi disimpulkan bahwa betametason dan deksametason tidaklah sama ,dan betametason merupakan obat pilihan untuk pengobatan kortikosteroid antenatal.Jobe AH et al, 2004Tabel 1. Glukokortikoid Relatif, Aktifitas Mineralokortikoid dan Dosis Equivalent Pada Steroid Adrenal Natural dan Sintetik

GlukokortikoidPerkiraan dosis equivalent ( mg )Potensi Relatif Anti inflamasi (Glukokortikoid ) Potensi Relatif Mineralokortikoid

Kortison250.82

Hidrokortison2012

Prednison541

Prednisolon541

Triamsinolon450

Metilprednisolon450

Deksametason0.7520-300

Betametason0.65-0.7520-300

Dari Mercer BM.Assesment and Induction of Fetal Pulmonary Maturity.In Maternal Fetal Medicine 4rd ed WB Saunders Company Philadelphia, p.456. 2001

BAB IVPENGGUNAAN KORTIKOSTEROID SAAT ANTENATAL

Pemberian kortikosteroid saat antenatal pada wanita hamil dengan resiko kelahiran preterm adalah merupakan salah satu terapi yang paling efektif dan penting. Pemberian kortikosteroid ini dapat memperbaiki fungsi paru janin dan melindungi janin dari kematian dini.Newnham JP et al, 2002A. Indikasi

Beberapa indikasi penggunaan kortikosteroid saat antenatal pada usia kehamilan 24 34 minggu : Persalinan preterm

Perdarahan antepartum (HAP)

Premature ruptur of the membran (PROM)Ketika usia kehamilan bertambah, wanita hamil yang dirawat sebaiknya diberikan kortikosteroid untuk mencegah peningkatan insiden RDS.Stalker S, 2004B. KontraindikasiSatu satunya kontraindikasi penggunaan steroid antenatal adalah infeksi uterin yang terbukti secara klinis. The British National Formulary menyatakan bahwa terapi kortikosteroid merupakan kontraindikasi untuk infeksi sistemik. Pada wanita dengan kelahiran preterm yang mungkin menderita infeksi intra uterin subklinis, anjuran pemberian steroid pada masa kehamilannya masih dipertanyakan. Mereka meneliti 169 bayi yang mendapat steroid dengan korioamnionitis histologi ditemukan pada evaluasi patologi post partum terhadap 358 bayi dengan korioamnionitis histologi tanpa terapi steroid antenatal.Terdapat peningkatan sepsis neonatus yang tidak bermakna (18,3 % vs 14 %). Mereka menyimpulkan bahwa pengobatan steroid antenatal pada wanita dengan infeksi intra uterin subklinis bukan merupakan kontraindikasi. Dudley DJ et al, 2003;Stalker S, 2004C. Dosis dan cara pemberian

Dosis yang digunakan adalah untuk deksametason 6 mg intramuskular 4 kali dengan interval 12 jam. Untuk betametason 12 mg intramuskular 2 kali berjarak 24 jam. Untuk kedua obat ini, suatu dosis pengobatan menghabiskan waktu 48 jam. Dosis yang lebih tinggi atau lebih sering tidak meningkatkan keuntungan terapi kortikosteroid dan mungkin meningkatkan kerugian dari efeknya.NIH, 1994; Dudley DJ et al; Cunningham FG et al, 2001; Mupanemunda RH et al, 1997; Martin JN, 2003Liggins dan Howie (1972) melakukan studi random dengan pemberian betametason 12 mg intramuskuler, 2 kali berjarak 24 jam, menghasilkan pengurangan signifikan insiden respiratory distress syndrome dan penurunan angka kematian perinatal yang dilahirkan sebelum 34 minggu. Efek ini hanya terjadi bila kelahiran lebih dari 24 jam dan sebelum 7 hari setelah pemberian terapi glukokortikoid. Mercer BM, 2004; Arias F, 1993Pasien rawat jalan yang diberikan deksametason oral juga telah dipertimbangkan pada pasien yang rawat jalan yang mempunyai risiko melahirkan prematur. Deksametason digunakan sebagai obat oral dengan absorpsi yang baik. Pada sebuah penelitian yang membandingkan pemberian deksametason antenatal secara intamuskular dan oral pada 170 pasien yang kemudian dihentikan karena terdapat peningkatan yang signifikan neonatal sepsis (10.1% oral vs 1.2% im) dan IVH (10.1% oral vs 2.4% im). Tidak ada penjelasan efek buruk pada janin pada pemakaian deksametason oral ini. Mereka menyimpulkan bahwa deksametason oral sebaiknya tidak diberikan pada yang sudah mendapatkan intramuskular. Keuntungan klinis pemberian steroid intravena belum diteliti pada kehamilan manusia. Jobe AH, 2004D. Waktu pemberian

Terdapat bukti kuat keuntungan pada neonatal pada pengobatan kortikosteroid antenatal dimulai 24 jam dan paling lambat sampai 7 hari setelah pengobatan. Fakta ini percaya bahwa berkurangnya kematian, RDS, dan IVH bahkan pengobatan yang diawali kurang dari 24 jam pertama kelahiran. Baik secara klinik dan fakta invitro percaya bahwa efek biologi kortikosteroid berlangsung sampai 7 hari dari awal pengobatan.

Keuntungan klinis melebihi 7 hari setelah terapi kortikosteroid antenatal tidak mempunyai data yang adekuat. Juga keuntungan atau risiko pengulangan pemberian terapi setelah 7 hari belum diketahui.NIH, 1994; Evoy CM, 2000Pada analisis sekunder berdasarkan interval waktu antara pemberian dan kelahiran, bayi yang dilahirkan antara 48 jam dan 7 hari setelah pemberian pengobatan glukokortikoid menunjukkan keuntungan yang paling besar (odds ratio 0,35 ). Odds ratio untuk bayi yang dilahirkan kecil 24 jam 48 jam pemberian pengobatan (0,8) atau lebih 7 hari (0,63) mengindikasikan potensi kecendrungan efek menguntungkan tetapi tidak mencapai angka statistik yang bermakna. Crowley P, 1997; Dudley DJ,2003 Liggins dan Howie mencatat bahwa frekuensi gawat pernapasan akan meningkat kalau bayi dilahirkan antara 7 -21 hari setelah terapi dengan betametason dibandingkan dibandingkan frekuensi gawat pernapasan pada bayi yang dilahirkan 1 hingga 7 hari setelah terapi itu selesai.17,25 Lebih lanjut, Brown dkk (1979) menemukan pada janin domba bahwa peningkatan kadar surfaktan akan turun kembali kepada nilai sebelum terapi dalam waktu 8 hingga 10 hari. Karena itu, jika akan digunakan senyawa ini, terapi ulang harus dipertimbangkan kalau persalinan bayi belum terjadi dalam waktu 7 hari sejak terapi pertama, dan bila risiko persalinan dini masih terdapat.27 Dua penelitian besar menunjukkan pengurangan RDS setelah pemberian steroid antenatal. Liggins dan Howie menemukan bahwa pengobatan betametason antenatal mengurangi insiden RDS( 30 %, dari 15,6 % menjadi 10 % (P=0,02) pada 853 bayi. Ada 60 % pengurangan , dari 23,7 % menjadi 8,8 %(p=0,001), pada subgroup yang melahirkan di atas 24 jam , tetapi kurang 7 hari setelah pengobatan. Di Amerika Serikat, pada sebuah uji random multisenter menggunakan deksametason, insiden RDS berkurang dari 16,1 % menjadi 10,1 % pada janin tunggal yang diberi glukokortikoid antenatal. Dudley DJ,2003Menurut penelitian Evoy dkk bahwa bayi yang dilahirkan setelah diberikan kortikosteroid antenatal lebih dari 2 kali tapi dalam 7 hari dari pengobatan terakhir secara signifikan memperbaiki compliance respirasi dibandingkan dengan pengobatan dosis tunggal atau yang tanpa diobati. Compliance paru pada bayi yang menerima kortikosteroid antenatal dosis tunggal tapi dilahirkan setelah 7 hari pengobatan tidak berbeda dengan bayi yang tidak mendapat pengobatan, yang meyakini bahwa perbaikan compliance paru adalah phenomen yang dibatasi waktu dimana jika persalinan preterm tidak terjadi , maka pool surfaktan ini menghilang. Kapasitas residual fungsional pada bayi yang dilahirkan setelah dosis berulang tapi dengan pengobatan yang optimal ditemukan lebih tinggi daripada bayi yang tidak mendapat pengobatan. Penelitian pada binatang telah diperlihatkan bahwa struktur histologi berubah dengan meningkatnya volume rongga udara setelah pemberian kortikosteroid antenatal.Evoy CM et al, 2000E. Umur kehamilan saat pemberian terapi

Berdasarkan usia kehamilan, Howie dan Liggins menunjukkan bahwa efek terapi yang paling baik pada janin antara usia kehamilan 30-32 minggu. Pengurangan insiden RDS yang signifikan pada bayi adalah usia kehamilan dibawah 30 minggu dan antara usia kehamilan 32-34 minggu. Setelah 34 minggu pengobatan hanya memberikan pengaruh yang sedikit pada outcome pernapasan bayi yang baru lahir.Arias F, 1993Untuk bayi yang lahir pada usia kehamilan 29-34 minggu, pengobatan dengan kortikosteroid antenatal jelas mengurangi insiden RDS dan mortalitas. Untuk neonatus yang lahir pada minggu ke 24-28 minggu usia kehamilan, kortikosteroid antenatal tidak jelas menurunkan angka RDS, tetapi terapi ini berhubungan dengan penurunan derajat berat RDS, insiden IVH, dan mortalitas. Sedikit bukti yang mendukung pemakaian kortikosteroid antenatal sebelum usia kehamilan 24 minggu meskipun baru terdapat sedikit alveoli yang sederhana pada usia kehamilan ini. Penggunaan kortikosteroid antenatal tidak dianjurkan sebelum usia kehamilan mencapai 24 minggu atau sesudah 34 minggu.NIH,1994; Martin JN, 2003Pada semua janin yang berisiko kelahiran preterm dipertimbangkan untuk pemberian pengobatan antenatal dengan kortikosteroid pada usia kehamilan antara 24-34 minggu. NIH,1994National Institute of Health (NIH), American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG), dan Royal College of Medicine telah memberikan seluruh pengobatan dengan kortikosteroid antenatal yang telah direkomendasikan terhadap wanita yang mempunyai risiko melahirkan prematur pada awal 34 minggu usia kehamilan. NIH,1994; Arias F,1993; Guinn DA et al, 2001Pada semua janin yang berisiko kelahiran preterm dipertimbangkan untuk pemberian pengobatan antenatal dengan kortikosteroid pada usia kehamilan antara 24-34 minggu. NIH,1994Survei yang dilakukan oleh anggota dari Persatuan Pengobatan Fetomaternal memberikan pertanyaan pertanyaan mengenai batas terbawah viabilitas, pada usia kehamilan berapa steroid diberikan untuk pertama kali, dan pengetahuan tentang survival rates usia 23 dan 24 minggu. Dari 1224 survei yang dikirimkan, 462 (37%) dikembalikan. 50 % mempertimbangkan batas bawah viabilitas adalah usia kehamilan 24 minggu dan 44,3 % percaya bahwa batas bawah viabilitas adalah pada usia kehamilan 23 minggu. Sebagian besar memperkirakan survival rate pada usia kehamilan 23 minggu adalah 0 %- 10 %, dengan survival rate 25 %- 50 % pada usia kehamilan 24 minggu. Hanya 13 % yang tepat memperkirakan survival rate lebih 25 % pada usia kehamilan 23 minggu, dan hanya 17 % yang dengan tepat memperkirakan survival rate lebih 50% pada usia kehamilan 24 minggu.Dudley DJ et al, 2003Dengan penemuan ini, ahli perinatologi nampaknya setuju demi kepentingan janin untuk intervensi pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu.Walaupun survival usia kehamilan 22 minggu adalah sangat tidak biasa, ada beberapa publikasi terbaru yang mengatakan survival pada usia kehamilan 23 minggu. Sebuah studi baru baru ini melaporkan survival 33 % untuk bayi yang lahir pada usia kehamilan 23 minggu. Walaupun data mengenai kelahiran sebelum usia kehamilan 24 minggu dan penggunaan kortikosteroid dibatasi, McElrath dkk melaporkan suatu studi retrospektif terhadap 33 bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 24 minggu. Dari 33 bayi ini 9 dari 11 yang survive mendapat pengobatan steroid antenatal sebelum kelahiran. Penelitian ini menunjukkan bahwa perlu dipertimbangkan pemberian glukokortikoid antenatal pada wanita yang berisiko kelahiran preterm sesegera mungkin pada usia kehamilan 23 minggu. Bagaimanapun tidak ada konsesus, dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan sebelum rekombinasi ini dapat dijadikan standar terapi. Dudley DJ et al, 2003F. Penggunaan Kortikosteroid pada Kehamilan Ganda

Kehamilan dengan lebih dari satu janin membawa peningkatan risiko yang bermakna untuk kelahiran preterm, yaitu kehamilan kembar mempunyai risiko >40% untuk persalinan preterm. Suatu penelitian multisenter National Institute of Child Health and Human Development menyimpulkan bahwa bayi kembar lebih mungkin terkena RDS dan mendapat pengobatan surfaktan dibanding bayi tunggal selain juga mendapat pengobatan kortikosteroid antenatal yang lebih banyak. Dudley DJ et al, 2003Penggunaan kortikosteroid antenatal pada kehamilan ganda direkomendasikan, tapi secara signifikan pengurangan RDS belum ditunjukkan. Saat ini, tidak ada konsensus tentang keuntungan steroid antenatal pada kehamilan ganda. Beberapa penelitian melaporkan tidak ada perbedaan risiko kematian atau morbiditas antara pemberian kortikosteroid pada bayi tunggal dan ganda. Beberapa penelitian lain melaporkan bahwa terapi steroid antenatal secara signifikan tidak mengurangi insiden RDS pada kehamilan ganda. Sementara beberapa peneliti, keuntungan betametason dalam menurunkan insiden RDS pada bayi kembar, sedangkan peneliti lain tidak menemukan efek. Dudley DJ et al, 2003; Stalker S, 2004Satu alasan teoritis untuk kurangnya efek terhadap kehamilan ganda juga melibatkan perubahan farmakokinetik pada kehamilan ganda. Pada tahun 2002 Ballabh dkk meneliti parameter farmakokinetik untuk betametason, termasuk volume distribusi, waktu paruh, clearance, pada 30 kehamilan tunggal dan 21 kehamilan kembar. Mereka menemukan bahwa waktu paruh betametason pada ibu dengan kehamilan kembar adalah 20% lebih pendek dibandingkan dengan ibu hamil tunggal(7,2 2,4 vs 9,0 2,7 jam, P< 0,017) clearance betametason pada kehamilan ganda walaupun lebih besar dari ibu hamil tunggal (8,4 6,4 vs 5,7 3,1 L/h ; P=0,06), adalah tidak bermakna secara statistik, walaupun ini menunjukkan peningkatan 32% clearance betametason pada kehamilan kembar. Volume distribusi hampir sama pada kedua studi kohort. Dudley DJ et al, 2003G. Keuntungan dan Kerugian Pemberian Kortikosteroid saat antenatal

1. Keuntungan jangka pendek pada bayi

Pengobatan kortikosteroid antenatal pada bayi prematur pada banyak penelitian secara random telah mengurangi mortalitas neonatal dan insiden RDS. Apabila dikombinasi dengan pengobatan surfaktan post natal, angka kematian semakin lebih rendah. Pada meta-analisis menunjukkan pengurangan insiden RDS dengan odds rasio 0.5 (95% Cl 0.4-0.6) dan pengurangan mortalitas neonatal dengan odds rasio 0.6 (95% Cl 0.5-0.8). Data ini signifikan tidak hanya secara statistik, tapi secara klinis juga menunjang. Perbaikan stabilitas sirkulasi dan berkurangnya kebutuhan oksigen dan bantuan ventilasi merupakan keuntungan tambahan pada penelitian tersebut.NIH, 1994; Meneguel JF et al, 2003

Perbandingan apgar score pada menit pertama dan kelima, bayi baru lahir yang mendapat kortikosteroid antenatal secara signifikan mempunyai apgar score pada menit pertama lebih besar daripada bayi yang tidak mendapat kortikosteroid antenatal. Apgar score yang tinggi ini mungkin karena stabilnya kardiovaskular dan respirasi pada neonatus prematur yang mendapat kortikosteroid antenatal. Penelitian pada binatang menunjukkan efek kortikosteroid pada mekanisme adaptasi pada kehidupan ekstra uterin. Stein dkk mendemostrasikan pada anak domba prematur bahwa kortikosteroid memperbaiki ventilasi, sirkulasi, dan fungsi metabolik dengan meningkatkan aktifitas adenil siklase miokardium. Kortikosteroid juga meningkatkan resptor adrenergik pada dinding pembuluh darah dan miokardium, yang berpengaruh terhadap stabilnya kardiosirkulasi pada saat lahir. Hal ini berpengaruh secara tidak langsung dengan berkurangnya frekuensi RDS. Meneguel JF et al, 2003 2. Keuntungan jangka panjang pada bayi

Beberapa studi pada penelitian random telah mengikuti perkembangan bayi selama 12 tahun . Peningkatan kelangsungan hidup pada pengobatan pada bayi tidak menghasilkan dampak yang merugikan pada jangka panjang.NIH, 19943. Kerugian jangka pendek pada bayi

Risiko pada janin dan neonatus setelah pemberian glukokortikoid antenatal muncul lebih jarang dan reversibel. Dalam meta-analisis Crowley(1989) tidak ada bukti yang meyakinkan akan adanya efek samping yang signifikan. Mercer BM, 2004

Kerugian jangka pendek pada pemberian kortikosteroid antenatal paling banyak terjadi pada neonatus adalah infeksi dan supresi adrenal. Tapi pada fakta yang ada pada data menunjukkan tidak ada peningkatan infeksi pada pengobatan pada bayi, secara klinis tidak ada supresi adrenal yang penting, dan pengembalian secara cepat fungsi adrenal bila pengobatan kortikostroid antenatal dihentikan.Beberapa penelitian pada binatang percaya bahwa pengobatan kortikosteroid antenatal dapat menimbulkan hipoksia. Tapi beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dengan dosis yang sama yang juga digunakan pada manusia pada antenatal melindungi dari hipoksia-iskemik kerusakan otak. Data lebih lanjut pada penelitian pada manusia masih dalam penelitian. NIH, 19944. Kerugian jangka panjang pada bayi

Risiko jangka panjang dari pemberian preparat glukokortikoid pada bayi yang berhasil diselamatkan masih belum diketahui.Penelitian yang diawali pada tahun 1970-an, yang telah mengikuti perkembangan anak-anak yang telah diobati kortikosteroid antenatal sampai berumur 12 tahun, menunjukkan bahwa tidak ada efek yang merugikan pada daerah motor skill, bahasa, kognisi, memori, konsentrasi. Kerugian yang mungkin adalah perkembangan neurologi dalam jangka panjang pada penelitian dengan pemberian kortikosteroid pada binatang. Penelitian ini menggunakan dosis lebih kurang 10 kali daripada dosis yang digunakan pada manusia. Pada penelitian ini tidak tampak risiko peningkatan kerusakan perkembangan neurologi jangka panjang pada anak-anak. Spinillo A, 2004Pada bulan September 1985, suatu lokakarya mengenai cara- cara pendekatan untuk mencegah gawat pernapasan neonatal diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat. Lokakarya ini menelaah hasil penelitian kolaboratif tersebut. Kelompok tersebut sepakat bahwa dalam pengertian fungsi kognitif, motorik atau neurologi, tidak ditemukan perbedaan pada 406 bayi yang diikuti sampai usia 36 bulan, hasil ini menunjukkan bahwa terapi steroid tidak memberikan pengaruh yang merugikan dalam perkembangan neurologi jangka pendek selanjutnya. Mercer BM, 2004 ;Spinillo A, 2004

Dalam penelitian evaluasi pertumbuhan dan perkembangan di masa anak anak (selama 2 tahun pertamadi Helsinki, 3 tahun di Amerika Serikat, 6 tahun di New Zealand, dan sampai 12 tahun di Amsterdam) dan tidak ada efek merugikan yang muncul. Mercer BM, 2004

Analisa risiko Crowley (1989) juga tidak menemukan bukti peningkatan risiko gangguan perkembangan saraf, dan dia berkomentar bahwa bukti yang ada menunjukkan bahwa pengobatan glukokotikoid antenatal justru melindungi terhadap abnormalitas neurologi.Liggins (1976, 1982) tidak menemukan perbedaan nyata sehubungan dengan nilai IQ dan penyesuaian sosial di antara anak anak berusia 4 tahun yang ibunya mendapatkan betametason menurut protokol seperti yang dijelaskan di atas. Dalam hasil hasil observasi pendahuluan yang dilakukan oleh Brown dkk(1979), setelah terapi antenatal dengan preparat deksametason, tidak ditemukan kelambatan pertumbuhan yang melampaui apa yang terlihat pada bayi - bayi yang tidak terpapar dengan preparat tersebut. Cuningham FG et al, 2001

Efek jangka panjang kortikosteroid antenatal pada pertumbuhan dan awal pubertas tidak seluruhnya dapat diketahui. 5. Kerugian jangka pendek dan jangka panjang pada ibu

Udem pulmonal pada ibu dapat terjadi bila kortikosteroid antenatal digunakan dalam kombinasi dengan tokolitik. Komplikasi ini lebih sering dihubungkan dengan infeksi ibu, cairan overload, dan kehamilan kembar. Udem pulmonal belum pernah dilaporkan bila kortikosteroid antenatal digunakan sendirian.Risiko infeksi pada ibu mungkin meningkat bila kortikosteroid digunakan pada preterm premature rupture of membranes (PPROM). Lebih lanjut , tidak ada fakta bahwa pengobatan kortikosteroid antenatal berinterferensi dengan infeksi pada ibu. Bila pengobatan kortikosteroid diberikan pada wanita hamil diabetes, kontrol diabetesnya mungkin lebih sulit dan kebutuhan insulin meningkat. Penilaian untuk diabetes gestasional sebaiknya ditunda seminggu terakhir setelah pemberian kortikosteroid. Pada penelitian analisis percaya bahwa pemberian kortikosteroid antenatal mungkin predisposisi kematian janin pada wanita hipertensi. Kemudian, penelitian ini gagal untuk membuktikannya. Kerugian jangka panjang pada ibu belum pernah dilaporkan.NHI, 1994; Cuningham FG et al, 2001G. Pemberian kortikosteroid antenatal ulangan

Pemberian kortikosteroid ulangan masih diperdebatkan. Beberapa penelitian klinis mengevaluasi keamanan dan keefektifan jangka pendek dan panjang pada pemberian kortikosteroid antenatal ulangan. Pada penelitian French dkk, bayi yang mendapat kortikosteroid dua kali atau lebih, jarang berkembang menjadi IVH dibanding pemberian kortikosteroid satu kali.Pada penelitian Caughey dkk (2002) ditemukan bahwa pemberian kortikosteroid antenatal tidak lebih dari 2 kali untuk mendapatkan outcome yang paling baik. Walaupun pemberian kortikosteroid untuk kedua kali lebih menguntungkan dibandingkan dosis satu kali, waktu pemberian kedua kali ini optimal bila diberikan lebih dari 48 jam sebelum dilahirkan dan dalam waktu satu minggu. Tetapi pemberian kedua kali ini sebaiknya diberikan pada pasien yang terdapat risiko yang segera muncul setelah melahirkan atau kelahiran prematur yang mempunyai risiko yang persisten (misalnya dilatasi servikal yang berlanjut, PROM, plasenta previa ).Caughey AB et al, 2002Meskipun keuntungan dan efek pengobatan ulangan ini belum diketahui, tetapi banyak dokter yang menggunakan secara rutin pengulangan kortikosteroid antenatal setiap minggu sampai 34 minggu usia kehamilan. Pada penelitian Guinn dkk (2001), pemberian kortikosteroid antenatal setiap minggu secara signifikan tidak mengurangi morbiditas dibandingkan dengan pemberian tunggal. Pemberian kortikosteroid antenatal secara signifikan mengurangi RDS yang berat tetapi tidak memperbaiki survival atau pengurangan BPD atau bayi yang dirawat di rumah sakit.Guinn DA,2004 Pada umur 3 dan 6 tahun tidak ada perbedaan dalam hal gangguan intelektual, cacat, skor IQ pada pemberian tambahan kortikosteroid Tingkah laku abnormal meningkat pada pemberian kortikosteroid tambahan. Terutama kelompok yang menerima tiga kali atau lebih pemberian kortikosteroid lebih banyak memperlihatkan tingkah laku agresif, destruktif dan hiperkinetik daripada yang mendapat kortikosteroid kurang dari itu. Pada penelitian tersebut juga tidak ada perbedaan outcome neonatal dengan peningkatan pemberian kortikosteroid termasuk mortalitas (P=.911), RDS (P=.485), dan penyakit paru kronik (P=.978) Stalker S, 2004; Guinn DA,2004 Penelitian pada binatang, terdapat penurunan pertumbuhan janin dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan otak dengan penggunaan kortikosteroid yang diulang. Pengurangan perkembangan otak , saraf, dan mielinisasi telah dilaporkan setelah didapatkan penggunaan kortikosteroid antenatal, terutama pada pemberian ulangan.Mercer BM, 2004; Cunningham FG et al, 2001Kerugian pada janin dan efek jangka panjang telah dilaporkan mengenai pengobatan kortikosteroid antenatal pada ibu yang diulangi untuk meningkatkan kematangan paru-paru. Esplin dan kolega (2000) membandingkan perkembangan mental dan psikomotor dari 429 bayi yang berat lahir rendah yang mendapat dua kali atau lebih penggunaan kortikosteroid dengan bayi yang mendapat kortikosteroid dosis tunggal atau tidak mendapat kortikosteroid. Peneliti tidak menemukan keuntungan pada dosis pengulangan, dan menemukan penggunaan kortikosteroid yang multipel secara signifikan dihubungkan dengan perkembangan psikomotor abnormal. Meskipun tidak ada peningkatan insiden cerebral palsy, pada penelitian yang mengikuti perkembangan saraf meyakini peningkatan keterlambatan psikomotor dan masalah tingkah laku. Cunningham FG et al, 2001; Guinn DA, 2004

Tahun 2000, Abbasi menemukan bayi yang penggunaan kortikosteroid antenatal lebih dari sekali mempunyai lingkaran kepala lebih kecil (28.1 v 28.4 cm, P=0.01), dan insiden RDS lebih rendah (34.9 v 45.2%, P=0.005). Pada studi observasi, 447 bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 33 minggu, French dan kolega menemukan dosis yang dapat mengurangi berat lahir (122 gram, P=0.01) ,dan lingkaran kepala (1.02 cm, P=0.002) dengan tiga atau lebih kali pemberian kortikosteroid antenatal.Mercer BM, 2004;French NP, 1999Pengulangan penggunaan kortikosteroid antenatal tidak signifikan mengurangi morbiditas (berat RDS, bronkopulmonal displasia, IVH berat, periventrikular leukomalasia, sepsis, enterokolitik nekrotik, atau kematian : 22.5 % v 28.0 %, P=0.16). Beratnya RDS berkurang (15.3 % v 24.1 %, P=0.01), dan morbiditas berkurang jika persalinan terjadi antara 24 dan 27 minggu usia kehamilan (77.4 % v 96.4 %, P=0.03 )yang mendapat dosis ulangan. Risiko relatif dari morbiditas setelah penggunaan kortikosteroid ulangan berkurang sesuai dengan meningkatnya usia kehamilan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara berat lahir dan kortikosteroid ulangan (2009 v 2139 grams, P=0.10), tapi berpengaruh terhadap ukuran yang mirip dengan gambaran penelitian terdahulu.Mercer BM, 2004;French NP, 1999;NIH, 2000

Pada bulan Oktober 2001 hasil penelitian terhadap 502 wanita yang mendapat kortikosteroid antenatal dosis tunggal atau multipel yang dipublikasikan oleh JAMA, bahwa tidak terdapat perbedaan outcome neonatal (RDS, bronkopulmonal displasia, sepsis, enterokolitik nekrotik, kematian) antara bayi yang mendapat dosis tunggal versus multipel (28.0% vs 22.5%, p=0.16).MartinJN,2003;Guinn DA et al, 2001

Sebagai respon terhadap pengulangan penggunaan kortikosteroid pada wanita yang berisiko tinggi untuk melahirkan preterm pada praktek klinis, dan penumpukkan data yang mempercayai risiko potensial, maka National Institutes of Health mengumpulkan kembali panel konsensus untuk mengulangi literatur yang ada mengenai penggunaan kortikosteroid antenatal pada bulan Agustus tahun 2000. Hasil konsensus kedua yang dipublikasikan, menetapkan lagi keuntungan penggunaan kortikosteroid antenatal (National Institute of Health, 2001) yaitu: Cunningham FG et al,2001; Guinn DA, 2004 Semua wanita hamil antara 24-34 minggu usia kehamilan yang berisiko untuk melahirkan preterm dalam 7 hari seharusnya dipertimbangkan untuk pengobatan kortikosteroid antenatal.

Tidak ada bukti bahwa regimen lain efektif pada penggunaan kortikosteroid antenatal dibandingkan campuran 6 mg betametason fosfat dan 6 mg betametason asetat (total 12 mg betametason) yang diberikan secara intramuskular setiap 24 jam untuk dua dosis, atau deksametason 6 mg diberikan intramuskular setiap 12 jam untuk empat dosis.

Karena kurangnya data ilmiah dari penelitian mengenai efektif dan keamanan, pengulangan kortikosteroid seharusnya tidak digunakan secara rutin.

BAB V

KESIMPULAN

1. Terapi kortikosteroid antenatal yang diberikan untuk pematangan paru dapat mengurangi angka kematian RDS pada bayi preterm.2. Keuntungan paling luas pemberian kortikosteroid antenatal bila diberikan pada kehamilan antara 24-34 minggu usia kehamilan, dan tidak dibatasi oleh jenis kelamin dan ras.3. Pemberian kortikosteroid antenatal memberikan keuntungan jangka pendek untuk janin melebihi risiko jangka pendek untuk janin dan ibu. 4. Kortikosteroid akan optimal memperbaiki outcome bayi bila diberikan antara 24 jam sampai 7 hari setelah pemberian5. Drug of choice untuk kortikosteroid ini adalah betametason. 6. Karena kurangnya data ilmiah dari penelitian mengenai efektivitas dan keamanan pengulangan kortikosteroid, seharusnya penggunaannya tidak diberikan secara rutin

DAFTAR PUSTAKA

Arias F: Preterm Labor, In Practical Guide to High-Risk Pregnancy and Delivery. Mosby Year Book, Inc, 1993; 71-99.

Crowley P: Prevention of Respiratory Distress Syndrome, In Preterm Labor. Churchill Livingstone Inc, 1997; 319 327

Cuningham FG, Macdonald PC, Gant NF Preterm Birth: In Williams Obstetric 21st Ed. The Mc Graw-Hill Companies,New York,2001; 689 718.

Dudley DJ, Waters TP, Nathanielsz PW: Current Status of Single-Course Antenatal Steroid Therapy. Clinical Obsteric and Gynecology. (46) (1), 2003, l32-149.

Evoy CM, Bowling S, Williamson K, Collins J, Tolaymat L, Maner J. Timing of Antenatal Corticosteroid and Neonatal Pulmonary Mechanics. Am. J. Obstet. Gynecol. 2000; 183 (4): 845 99.

French NP, Hagan R, Evan SF. Repeated Antenatal Corticosteroids: Effect on Cerebral Palsy & Childhood Behavior. Am J Obstet gynecol 2004; 190. (3), 588 95.

French NP, Hagan R, Evan SF. Repeated Antenatal Corticosteroid: Size at Birth and Subsequent Development. Am J Obstet Synecol 1999; 180 (1). 114 121.

Guinn DA et all : Single vs Weekly Courses of Antenatal Corticosteroids for Women at Risk of Preterm Delivery. JAMA, 2001, 286 (13) 1581-1587.

Guinn DA : Repeat Courses of Antenatal Corticosteroids: The Controversy Continues. Am J Obstet Gynecol, 2004; Vol 190. No.3. 586 7.

Hay WW, Hayward AR, Levin MJ: Current. The Newborn Infant. In Pediatric Diagnosis & Treatment 15th ed, Appleton & Lange, 2001; 1 33.

Jobe AH, Soll RF: Choice and Dose of Corticosteroids for Antenatal Treatments. Am J Obstet. Gynecol, 2004; 190: 878-81.

Martin JN, Antinatal Corticosteroid Therapy. Mississippi: 16 (3). 2003, 35 39.

Meneguel JF, Guinsburg R, Miyosi MH, Antenatal Treatment with Corticosteroids for Preterm Neonatus : Impact On the Incidence of Respiratory Disease Syndrome and Intra Hospital mortality. San Paulo Med. J. San Paulo 2003; 121 (2) 156 175.

Mercer BM : Assessment and Induction of Fetal Pulmonary Maturity; In Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 5th ed, WB Saunders Company, Appleton & lange London 2004; 451 63.

Mupanemunda RH, Azzopardi D: Recent Advances In the Management of The Preterm Infant. In Preterm Labor Churchill Livingstone Inc, 1997; 493 516.

National Institutes of Health. Antenatal Corticosteroids Revisited: Repeat Courses. NIH Consensus Statement. Washington. NIH 2000; 17 (2): 1 10.

National Institutes of Health: Effect of Corticosteroid for fetal Maturation on Perinatal Outcomes. NIH Consensus Statement Washington : NIH 1994; 12: 1 24.

Serudji J, Sulin D: Sistem Pernapasan Janin. Dalam Ilmu Kedokteran Feto Maternal. ed I. Himpunan Kedokteran Feto Maternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2004, hal 41 45

Spinillo A, Viazzof, Colleoni R, Chiara A,Cerbo RM, Fazzi E: Two Year Infant Neurodevelopmental Outcome after Single and Multiple Antinatal Course Of Corticosteroid to Prevent Complications of Prematury. Am J Obstet Gynecol. 2004, 191 : 217 24.

Stalker S. Antenatal Corticosteroids to Prevent Respiratory Distress Syndrome. Available from http://www.Rcog.org.uk/resources/public/antenatal Corticosteroid No. 7. 2004.

PAGE 23