47 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi eksisting sosial ... · Konsekuensi sosial dari kegiatan...
Transcript of 47 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi eksisting sosial ... · Konsekuensi sosial dari kegiatan...
47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Eksisting Sosial dan Ekonomi Pra dan Pasca Reklamasi
5.1.1. Kondisi Sosial
Kondisi eksisting sosial sebelum dan sesudah reklamasi dalam penelitian
ini mencakup jaminan rasa aman masyarakat, konflik sosial serta moral
masyarakat, dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. UU No. 32 Tahun 2009
tentang PPLH pada pasal 2 mengatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas-asas yang salah satunya adalah
“asas keserasian dan keseimbangan” yang artinya pemanfaatan lingkungan hidup
harus memperhatikan berbagai aspek yang salah satunya adalah aspek sosial.
Konsekuensi sosial dari kegiatan pembangunan kawasan pesisir laut di Kota Bau-
bau khususnya kawasan Pantai Kamali membutuhkan pengamatan yang cermat
agar dampak negatif bisa dieliminasi atau bahkan ditiadakan. Matriks
perbandingan sebelum dan sesudah reklamasi terhadap kondisi sosial di kawasan
Pantai Kamali dapat dilihat secara ringkas dalam Tabel 9.
Tabel 9. Matriks perbandingan sebelum dan sesudah reklamasi terhadap kondisi sosial di kawasan Pantai Kamali.
Paramater Sebelum Reklamasi Sesudah Reklamasi Jaminan rasa aman Baik Cukup baik Kesenjangan sosial Belum terlalu kelihatan Belum terlalu kelihatan Konflik sosial dan moral masyarakat
Sangat terkontrol Terkontrol
Sumber : Instansi terkait Kota Bau-bau, 2009.
5.1.1.1 Jaminan Rasa Aman Masyarakat
Penduduk yang tinggal dikawasan Pantai Kamali 59 % suku Buton, 26 %
suku Makasar, sedangkan sisanya adalah Suku Jawa, Etnis China dan Suku Muna.
Sektor jasa perdagangan dikuasai oleh Suku Buton dan Etnis China sedangkan
sektor jasa industri kecil dan menengah seperti restoran dan rumah makan
dikuasai oleh suku Makasar dan Jawa. Sedangkan suku Buton yang lainnya pada
48
umumnya adalah PNS, TNI/Polri, pensiunan PNS dan TNI/Polri, dosen swasta,
nelayan, karyawan perusahaan swasta dan lain-lain.
Setelah adanya reklamasi di kawasan ini, jumlah pengunjung meningkat
pesat jika dibandingkan sebelum adanya reklamasi, terutama pada hari-hari atau
adanya momen-momen tertentu, dimana memicu datangnya masyarakat dari luar
ke Kota Bau-bau walaupun sebagian besar tidak tinggal secara permanen. Hal ini
tidak lain adalah sebagai konsekwensi logis atas terjadinya perubahan kawasan,
dimana tempat ini yang dulunya merupakan kawasan gelap, kumuh, sempit, dan
tempat tambatan perahu, tetapi seteleh direklamasi telah menjadi sebuah kawasan
area publik space.
Jaminan rasa aman masyarakat sebelum adanya reklamasi berdasarkan hasil
wawancara dari responden terkait adalah cukup baik namun perlu diantisipasi
sejak sekarang. Hal ini karena sebelum adanya reklamasi kawasan Pantai Kamali
dulu adalah kawasan yang kumuh, sehingga faktor-faktor penyebab rasa tidak
aman dari keramaian tidak ada. Namun setelah adanya reklamasi, kawasan Pantai
Kamalipun menjadi ramai, sehingga beberapa responden mengatakan bahwa hal
ini tidak menutup kemungkinan akan menurunkan kualitas perasaan aman
dikawasan tersebut jika tidak di antisipasi memang sejak sekarang. Hal-hal yang
perlu di waspadai sejak saat ini adalah dampak negatif umum perkembangan kota
kaitannya dengan perasaan aman yaitu tumbuhnya preman, mulai meningkatnya
pencurian kendaraan bermotor beserta atributnya dan kenakalan remaja, seiring
semakin meningkatnya keramaian dan aktifitas berbagai lapisan masyarakat di
kawasan tersebut.
Namun sampai saat ini belum begitu ditemukannya hal-hal negatif yang
mengancam perasaan aman masyarakat baik penduduk setempat maupun para
pengunjung, apalagi dikawasan tersebut telah menjadi terang pada malam hari
karena dihiasi dengan lampu-lampu penerangan yang cukup dan selalu dikontrol
oleh aparat terkait setempat. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin ramainya
kawasan tersebut yang berarti kawasan ini kondisi kemanannnya cukup terjamin.
Hal ini juga dimungkinkan oleh karena cukup kondusifnya kemanan Kota Bau-
bau pada umumnya. Namun sebagian kecil responden mengatakan bahwa kalau
bisa dibangun pos penjagaan disetiap sudut guna mengantisispasi terjadinya hal-
49
hal yang tidak diinginkan. Hal ini disebabkan meskipun aparat keamanan yang
terdiri dari satuan-satuan Satpol PP dan Polisi setempat senantiasa berpatroli di
kawasan ini, namun fasilitas pos jaga atau pos kemanan belum ada.
5.1.1.2. Kesenjangan Sosial dalam Masyarakat
Berdasarkan wawancara dilapangan, sebelum adanya reklamasi dikawasan
ini yaitu sebelum tahun 2005, kondisinya sangat sempit sehingga para pedagang
khususnya PKL juga belum begitu banyak, hanya berkisar 10 sampai 15 orang,
sehingga pengunjungpun belum begitu banyak jika dibandingkan setelah adanya
reklamasi. Hal ini membuat kesenjangan sosial dalam masyarakat masih sangat
minim. Kawasan pasca reklamasi, menjadi luas sehingga berdasarkan data
sekunder Deperindag Kota Bau-bau, jumlah PKL sampai tahun 2009 lalu telah
mencapai hampir 200 orang. Kemudian telah dibangunnya sebuah mall di atas
lahan yang direklamasi yang juga masih dalam kawasan ini, semakin memicu
bertambahnya jumlah pedagang, pengunjung dan penduduk sekitar. Masyarakat
baik pedagang maupun pengunjung serta penduduk sekitar yang kian meningkat
dengan tingkat ekonomi dan latar belakang yang berbeda-beda, tentu sangat
rentan timbulnya kesenjangan sosial yang akan memicu konflik sosial dan
penurunan moral masyarakat.
Berdasarkan wawancara di lapangan, sebagian besar responden mengatakan
bahwa kesenjangan sosial dalam masyarakat sebelum dan sesudah reklamasi tidak
terlalu berdampak nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti
terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat yang belum memiliki pekerjaan di
sektor jasa perdagangan, angkutan dan penginapan, dan meningkatnya
kesempatan berusaha yang sama bagi para pedagang baik pedagang besar maupun
kecil. Hal ini sebagai dampak dari banyaknya pengunjung dengan beragam kelas
dan status dalam struktur sosial masyarakat. Tersedianya tempat ruang publik
khususnya Pantai Kamali ini maka secara tidak langung telah menjadi media bagi
masyarakat untuk saling berinteraksi antar keluarga, teman, rekan bisnis dan lain-
lain. Hal ini akan mengurangi ketegangan urat syaraf masyarakat akibat rutinitas
pekerjaan utama, sehingga dengan sendirinya akan mendorong keakraban antar
50
masyarakat dari berbagai lapisan yang pada gilirannya akan menurunkan
kerentanan konflik sosial.
Namun dilain sisi sebagian kecil responden mengatakan bahwa tidak bisa
dipungkiri juga dengan meningkatnya keramaian dikawasan Pantai Kamali telah
memunculkan sifat invidualistik dan persaingan ekonomi sebagaimana
masyarakat dikota-kota besar lainnya. Hal tersebut seperti keinginan untuk
menguasai lahan sebagai tempat usaha dagang, persaingan meningkatkan usaha,
apalagi tidak sedikit pengguna jasa perdagangan dikuasai oleh pendatang atau
bukan penduduk asli Kota Bau-bau. Meskipun hal ini belum begitu terlihat karena
pada umumnya nilai-nilai adat pada masyarakat Kota Bau-bau masih cukup kental
dan adanya ikatan religius diantara masyarakat khususnya di kawasan tersebut.
Berdasarkan pemantauan dilapangan juga di kawasan ini adalah lahan yang subur
untuk tumbuhnya gelandangan, pengemis, pengamen dan anak-anak terlantar liar
yang mengais rezeki dari para pengunjung. Hal ini belum ada sebelum adanya
reklamasi, yang merupakan dampak umum dari perkembangan kota setelah
reklamasi.
5.1.1.3. Konflik Sosial dan Moral Masyarakat
Sebelum direklamasi kawasan ini masih sempit dengan jumlah pedagang
maupun pengunjung sedikit sehingga konflik sosial sangat minim, begitu juga
dengan kondisi moral masyarakat masih sangat dipengaruhi adat ketimuran yang
penuh dengan adat dan etika. Setelah reklamasi telah memicu bertambahnya
jumlah pedagang, pengunjung, penjual jasa maupun penduduk sekitar ditempat
ini. Hal ini dikarenakan telah direklamasinya pesisir Kamali menjadi luas sebagai
area publik space (daerah kawasan publik) dan didirikannya mall sebagai salah
satu pusat perdagangan di Kota Bau-bau.
Berdasarkan wawancara dan pemantauan dilapangan, sebagai area publik
space maka kawasan Pantai Kamali sebagian besar dikunjungi oleh kalangan
remaja atau muda-mudi dan mayarakat diluar Kota Bau-bau. Hal ini tidak bisa
dipungkiri sangat rentan terjadinya konflik sosial seperti kenakalan dan
perkelahian remaja, tumbuhnya premanisme dan penurunan moral masyarakat
seperti bisnis prostitusi terselubung, pergaulan bebas antar remaja, transaksi
51
narkoba dan lain-lain. Pelabuhan Murhum Bau-bau berada dekat dengan kawasan
Pantai Kamali. Transportasi laut yang semakin lancar yaitu kapal-kapal pelni
yang berlabuh di pelabuhan tersebut, sebagian besar penumpangnya mampir
disepanjang pesisir Kamali untuk bersantai sambil menikmati masakan khas
daerah Buton. Hal ini semakin merentankan hal-hal negatif dalam aspek sosial
khususnya premanisme, transaksi narkoba dan lain-lain. Namun sebagian besar
responden mengatakan sampai saat ini belum begitu nampak hal-hal yang berbau
prostitusi, narkoba, dan sifat-sifat sosial negatif lainnya. Beberapa faktor yang
menghalangi ini adalah cukup intensifnya patroli dari aparat keamanan setempat
dan cukup tersedianya fasilitas penerang di kawasan tersebut.
Terlepas dari semua hal-hal negatif tersebut, harus diakui juga dampak
positif setelah adanya reklamasi adalah fungsi psikologis. Tersedianya ruang
terbuka publik yang berfungsi pada aspek psikologis dikawasan tersebut telah
berdampak positif bagi masyarakat Kota Bau-bau. Hal ini disebabkan berbagai
aktifitas rohani dan jasmani dapat dilakukan seperti olahraga, bersantai menikmati
pemandangan pesisir laut Kota Bau-bau, melakukan ibadah shalat Idul Fitri dan
Idul Adha setiap tahun, dan beberapa kegiatan hiburan lainnya yang dapat
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Kota Bau-bau.
5.1.2. Kondisi Ekonomi
Kondisi eksisting ekonomi sebelum dan sesudah reklamasi dalam penelitian
ini mencakup pendapatan masyarakat Pantai Kamali dan Pendapatan asli daerah
Kota Bau-bau. Pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia
dewasa ini telah menganut sistem desentralisasi. Dasar desentralisasi
pembangunan perikanan adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah sebagai pengganti UU No. 22/1999. Pada pasal 18 ayat 1 dinyatakan
bahwa daerah yang memiliki wilayah laut, diberikan kewenangan untuk
mengelola sumberdaya laut di wilayah laut. Sedangkan kewenangan daerah dalam
pengelolaan sumberdaya laut dijelaskan pada ayat 3 (tiga) yang salah satunya
adalah pengaturan tata ruang. Kemudian UU No. 32 tahun 2009 tentang PPLH
menimbang pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh
52
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan
berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan (UU PPLH No. 32, 2009). Selanjutnya menurut Sondita (2001) dalam
Hartami (2008) mengatakan pengembangan dalam hal pembangunan ekonomi di
kawasan pesisir beberapa dampaknya semestinya pada ekowisata serta wisata
bahari dan perikanan budidaya. Hal ini mengisyaratkan bahwa alternatif
kebijakan apapun yang dilakukan baik pengelolaan maupun peminimalisiran
dampak lingkungan di wilayah pesisir pada ujungnya sebaiknya bermuara kepada
peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat juga seperti pembukaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah. Matriks perbandingan
sebelum dan sesudah reklamasi terhadap kondisi ekonomi di kawasan Pantai
Kamali dapat dilihat secara ringkas dalam Tabel 10.
Tabel 10. Matriks perbandingan sebelum dan sesudah reklamasi terhadap kondisi sosial di kawasan Pantai Kamali.
Paramater Sebelum Sesudah Pendapatan masyarakat dan pengguna Pantai Kamali
Tetap atau biasa saja Meningkat signifikan
PAD Kota Bau-bau Berdampak positif Sangat berdampak positif Sumber : Dispenda Kota Bau-bau, 2009
5.1.2.1. Pendapatan Masyarakat Kawasan Pantai Kamali
Kebutuhan akan jasa transportasi dari para pengunjung untuk datang di
kawasan ini telah berdampak pada peningkatan arus jasa transportasi seperti ojek,
taksi dan angkot yang melayani permintaan pengunjung. Hal ini merupakan bukti
yang signifikan adanya peningkatan pengunjung yang datang ditempat tersebut.
Peningkatan pengunjung ini telah menyebabkan pendapatan masyarakat sekitar
kawasan Pantai Kamali yang bergerak di sektor perdagangan meningkat
signifikan karena meningkatnya penjualan barang dagangan mereka. Menurut
nara sumber dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Diperindag) Kota Bau-
53
bau, pendapatan rata-rata pedagang kaki lima sebelum reklamasi pada tahun 2004
hanya berkisar Rp. 300.000 sampai Rp. 500.000 per malam, sedangkan setelah
adanya reklamasi saat ini telah meningkat dengan kisaran Rp.1000.000 sampai
Rp.1.500.000 per malamnya.
Banyaknya warung makan yang menjual berbagai jenis ikan bakar, dengan
sendirinya membuka pasar bagi masyarakat kawasan Pantai Kamali yang
sebagian kecil adalah nelayan dan juga bagi masyarakat Kota Bau-bau yang
bermata pencaharian nelayan. Adapun mengenai adanya opini yang mengatakan
bahwa pendapatan nelayan menurun karena adanya reklamasi akibat hilangnya
biota-biota laut dikawasan ini, sepertinya tidak terlalu signifikan atau biasa saja.
Hal ini karena berdasarkan wawancara dengan beberapa pihak terkait, sebagian
mengatakan bahwa memang dari dulu kawasan Pantai Kamali sebelum
direklamasi bukan tempat mencari ikan bagi para nelayan, tetapi hanya sebagai
tambatan perahu bagi kapal-kapal penumpang antar pulau-pulau ke Kota Bau-bau.
Namun disisi lain sebagian responden mengatakan bahwa berkurangnya biota-
biota pantai seperti misalnya kepiting, ikan baronang, udang-udangan akibat
adanya penimbunan pantai atau reklamasi pada habitat asli pantai yang dulunya
berupa padang lamun.
Kawasan Pantai Kamali setelah direklamasi menjadi area publik space
merupakan sarana rekreasi bagi masyarakat kota Bau-bau maupun dari luar kota.
Banyaknya penjaja makanan/gorengan dan minuman serta menjamurnya
pedagang kaki lima merupakan daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Hal ini
berdampak positif terhadap arus perputaran uang di kawasan Pantai Kamali yang
meningkat cukup signifikan, apalagi ditambah dengan adanya pengunjung dari
kapal-kapal Pelni yang transit di Pelabuhan Murhum Bau-bau yang berkisar 6
sampai 7 kali dalam seminggu. Para penumpang yang transit tersebut dengan
waktu 1 sampai 3 jam lamanya, biasanya memanfaatkan waktu tersebut untuk
mengunjungi Pantai Kamali, disamping untuk merasakan denyut nadi kehidupan
yang ada di Kota Bau-bau juga ingin merasakan masakan-makanan khas Buton
yang banyak dijual di kawasan ini. Apalagi jarak antara Pelabuhan Murhum Kota
Bau-bau dengan Pantai Kamali hanya kurang lebih 300 meter, bisa ditempuh kira-
kira 15 menit dengan berjalan kaki.
54
5.1.2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sebelum adanya reklamasi atau sebelum tahun 2005 di kawasan ini sempit
dan kumuh sehingga membatasi jumlah para pedagang kaki lima dan pedagang-
pedagang lainnya untuk berkembang, sehingga kondisi ini secara tidak langsung
mempengaruhi jumlah pengunjung yang datang. Namun setelah adanya reklamasi
kawasan ini telah difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang mendukung
kegiatan jasa perdagangan, transportasi, olahraga dan seni yang tertata dengan
rapi. Kawasan ini juga menjadi luas dengan 26.040 m2 untuk kawasan Pantai
Kamali dan 8000 m2 untuk area pembangunan mall, maka dengan sendirinya
kegiatan ekonomi di kawasan ini meningkat signifikan. Jumlah pedagang kaki lima
dan pedagang-pedagang lainnya meningkat pesat sebagai dampak dari hal tersebut.
Menurut nara sumber dari Diperindag Kota Bau-bau jumlah pedagang-pedagang
tersebut kurang lebih 200 orang untuk Pantai Kamali dan dari 1080 kios di Mall
Umna Rijoli sudah 225 kios yang terisi. Kondisi ini merupakan daya tarik tersendiri
bagi masyarakat kota Bau-bau dan masyarakat luar untuk mengunjungi kawasan
tersebut.
Sebagian besar responden juga mengatakan adanya reklamasi Pantai
Kamali telah berpengaruh positif pada peningkatan PAD Kota Bau-bau karena
telah menggairahkan perekonomian masyarakat kecil disektor perdagangan, yaitu
meningkatkan peluang usaha bagi masyarakat di kawasan tersebut khususnya dan
masyarakat di Kota Bau-bau umumnya dalam membuka usaha jasa perdagangan.
Hal ini pada gilirannya berdampak positif pada PAD Pemkot Bau-bau melalui
peningkatan retribusi atau pajak penghasilan lainnya. Sumber-sumber pemasukan
untuk PAD Kota Bau-bau dari kawasan sekitar Pantai Kamali adalah harga karcis
pelataran harian, retribusi sampah, pajak reklame dan bilyar Mall Umna Rijoli.
Sumber pemasukan PAD juga dipungut bila ada suatu acara atau kegiatan yang
dilangsungkan di Mall Umna Rijoli. Sedangkan pungutan karcis kawasan parkir
di Pantai Kamali masih dalam tahap perencanaan. Tabel 11, 12, dan 13
menyajikan data sumber-sumber pendapatan kawasan Pantai Kamali yang
berkontribusi pada PAD Kota Bau-bau.
55
Tabel. 11. Realisasi penerimaan karcis pelataran harian Pantai Kamali
Tahun Rata-Rata per bulan (Rp)
Jumlah Total (Rp)
2006 740.875 8.890.500 2007 713.250 8.559.000 2008 869.625 10. 435.500 2009 1.200.000 14.400.000
Sumber: Dispenda Kota Bau-bau.
Tabel. 12. Retribusi sampah kawasan Pantai Kamali
Tahun Total Retribusi Sampah Pantai
Kamali Per Tahun
Total Retribusi Sampah Kota Bau-bau Per
Tahun
Persantese Retribusi Sampah Pantai Kamali
pada Retribusi Sampah Kota Bau-bau
2003 720.000 46.547.500 1,54 % 2009 6.000.000 104.056.900 5,77 %
Sumber: Dispenda Kota Bau-bau.
Tabel 13. Pajak reklame pada Plaza Umna Rijoli Bau-bau
Tahun Jumlah Objek Pajak 2007 172 11.591.600 2008 172 11.591.600 2009 185 12.241.000 2010 185 12.241.000
Sumber: Dispenda Kota Bau-bau.
Sementara itu di Plaza Umna Rijoli terdapat arena olahraga bilyar,
pemasukan pajak dari tempat ini baru dimulai dari tahun 2010 ini dengan jumlah
Rp. 450.000 per bulannya atau Rp.5.400.000 per tahunnya. Pajak penghasilan
sampai saat ini belum dilakukan pemungutan mengingat perda pajak penghasilan
masih digodok oleh Pemkot Bau-bau dan kalangan legislatif setempat.
5.2. Kondisi Eksisting Lingkungan Pra dan Pasca Reklamasi 5.2.1. Kualitas Fisik-Kimia Air Dibandingkan dengan Peraturan Baku Mutu
Air
Perairan Pantai Kamali merupakan perairan yang mempunyai peranan besar
dalam sektor perikanan, perhubungan dan pariwisata di Kota Bau-bau seperti
transportasi baik kapal-kapal besar maupun kapal-kapal kecil dan tempat
menikmati panorama laut Bau-bau oleh wisatawan. Di pantai ini juga tempat
bermuaranya Sungai Bau-bau yang membawa limbah baik dari pembuangan
sampah, baik industri maupun rumah tangga serta kegiatan-kegiatan lainnya.
56
Namun hal yang sangat urgen beberapa tahun terakhir ini adalah semakin
meningkatnya sedimen setelah adanya reklamasi di muara Sungai Bau-bau yang
berasal dari hulu dan sepanjang sungai tersebut. Hal ini disebabkan terjadinya
perpindahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah reklamasi.
Sungai Bau-bau termasuk air permukaan yang merupakan salah satu sumber mata
air bagi PDAM Kota Bau-bau dalam melayani kebutuhan air bersih untuk
masyarakat.
Kondisi tersebut, memperlihatkan bahwa kegiatan berbagai sektor yang
cukup banyak dan cenderung tidak terkendali akan dapat menurunkan kualitas
perairan khususnya Pantai Kamali dan muara Sungai Bau-bau. Di lain pihak
perairan Pantai Kamali juga merupakan tempat rekreasi dalam melakukan
kegiatan mencari ikan oleh masyarakat Kota Bau-bau.
Berdasarkan hal ini maka Pemkot Bau-bau telah mengambil kebijakan yang
menyangkut peningkatan kualitas perairan di kawasan ini. Salah satunya dengan
mengetahui sejauhmana tingkat ketercemaran perairan pantai oleh berbagai ragam
jenis pencemar yaitu dengan membandingkan hasil pemantauan tahunan perairan
pantai dan muara sungai oleh Bapedalda Kota Bau-bau dengan Kepmen LH No.
179 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Pada penelitian ini khususnya parameter kualitas air menfokuskan dengan
membandingkan hasil parameter kualitas air sebelum dan setelah reklamasi. Hasil
parameter sebelum reklamasi yang diamati adalah tahun 2001 dan 2003,
sedangkan setelah reklamasi pada tahun 2006, 2008 dan 2009. Perbandingan
parameter kualitas air sebelum dan sesudah reklamasi ini meliputi kualitas fisik
dan kimia yang jumlah sampelnya setiap tahun ada dua yaitu muara Sungai Bau-
bau dan perairan Pantai Kamali. Hasil pengamatan parameter kualitas air sebelum
dan sesudah reklamasi tersebut kemudian dibandingkan dengan PP RI No. 21
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air
dan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (Tabel 14).
57
Tabel 14. Hasil pemantauan perairan Pantai Kamali Kota Bau-bau tahun 2001-2009 dibandingkan dengan Kepmen LH. No. 179 Tahun 2004.
Pa
ram
ete
r
Sa
tua
n
Lokasi Pemantauan
BM
A
Kel
as
IV
BM
L Pra Reklamasi Pasca Reklamasi
2001 2003 2006 2008 2009
Mua
ra
SB
PK
Mua
ra
SB
PK
SB
PK
Mua
ra
SB
PK
Mua
ra
SB
PK
Fisika Suhu 0C 28 27 27 28 - - 29,7 31,0 29,6 29,4 alami alami
Arus m/det 0,22 0,14 - - - - 0,12 0,16 0,12 0,16 - - Total Padatan (mg/l) 48,3 48,7 662 631 - - - - - - - -
Kekeruhan NTU - - 0,7 0,5 - - 1,20 0,60 6,76 0,24 - 5
TDS - - - - 112 135 1124 1116 - - 2000 2000
TSS - - - - 5,22 - - - 37,0 23,1 400 20 Konduktifitas - - - - - - 63,2 62,7 68,2 93,2 - -
Kimia
pH 7,5 7 7,7 7,6 7,15 8,01 8 7 7,66 7,91 5 - 9 7- 8,5
DO 7,29 5,53 5,84 6,13 - - 5,69 4,78 2 1 0 > 5
BOD5 2,57 1,1 4,82 4,99 2,86 5,58 5,49 4,83 5 4 12 10
COD 53,8 93,8 18,25 15,72 27,14 27,45 10,3 11,6 4 3,2 100 -
Nitrat 0,096 0,57 2,02 1,71 3,48 9,12 - - - - - 0,008
Fosfat 0,087 0,017 - - 0,24 0,48 - - - - 5 0,015 Sumber : Bapedalda Kota Bau-bau 2001-2009
Ket : Angka miring = angka yang telah melewati baku mutu (-) = Tidak di analisis/kendala teknis PK= Pantai Kamali SB= Sungai Bau-bau BMA = Baku Mutu Air PP RI No. 21 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air BML = Baku Mutu Air Laut Kepmen LH No. 179 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut
5.2.1.2. Kualitas Fisik
Kondisi fisik perairan berdasarkan hasil pemantauan sebelum dan sesudah
reklamasi di muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali menunjukkan nilai
kekeruhan, TSS dan konduktifitas pada muara sungai dan nilai TSS dan
konduktiftas pada Pantai Kamali sesudah reklamasi telah melewati ambang batas
baku mutu lingkungan khususnya pada Kepmen LH No. 179 tahun 2004.
Tingginya kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan
anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Apha,
1976; Davis dan Cornwell, 1991).
Kekeruhan dapat menurunkan produksi primer perairan karena mengurangi
penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan, sehingga proses fotosintesis akan
58
berlangsung pada air yang lebih tipis. Lioyd (1985) dalam Effendi (2003)
menyatakan bahwa peningkatan kekeruhan sebesar 5 NTU di danau dan sungai
dapat mengurangi produktifitas primer berturut-turut sebesar 75 % dan 3 % - 13
%. Kekeruhan yang tinggi juga dapat mematikan organisme perairan karena
mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, seperti misalnya pernafasan
dan daya lihat organisme akuatik.
Dalam penelitian ini, nilai kekeruhan pasca reklamasi tahun 2009 lalu pada
muara Sungai Bau-bau adalah 6,76 NTU. Nilai kekeruhan ini telah melewati
ambang batas baku mutu air berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 yaitu 5
NTU. Pengambilan sampel air di muara sungai tersebut sebelum reklamasi pada
tahun 2003 lalu untuk nilai kekeruhan adalah 0,7 NTU, dan nilai tersebut masih
dibawah ambang batas baku mutu air berdasarkan Kepmen LH tersebut.
Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan reklamasi
yang telah dilakukan pada kawasan Pantai Kamali sedikit banyaknya telah
mempengaruhi tingkat kekeruhan pada muara sungai tersebut. Adanya jeti yang
dibangun tegak lurus pantai dan adanya kegiatan reklamasi untuk pendirian mall
dimuara sungai tersebut telah mempengaruhi tingginya tingkat kekeruhan. Hal ini
disebabkan tertahannya bahan-bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan
terlarut yang berukuran lebih besar misalnya lumpur dan pasir halus serta lapisan
atas permukaan tanah yang terbawa oleh arus di muara sungai. Zat anorganik
biasanya berasal dari lapukan batuan dan senyawa logam, sedangkan yang organik
dapat berasal dari lapukan tanaman dan hewan. Zat organik diketahui juga dapat
menjadi makanan bakteri, sehingga mendukung pertumbuhan bakteri tersebut.
Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat menambah kekeruhan air karena
bakteri adalah zat organik tersuspensi, sehingga pertambahannya akan menambah
pula kekeruhan air. Aktifitas masyarakat misalnya membuang sampah di hulu dan
sepanjang Sungai Bau-bau juga telah mempengaruhi tingginya tingkat kekeruhan
di sungai tersebut.
Nilai zat padat tersuspensi atau TSS di muara Sungai Bau-bau setelah
reklamasi pada tahun 2009 lalu adalah 37,0 mg/L. Nilai ini telah melewati
ambang batas baku mutu air berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 yaitu
59
20 mg/L. Pengukuran TSS sebelum reklamasi memang tidak ada, namun
tingginya nilai TSS dapat menambah nilai kekeruhan pada suatu perairan.
TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada
saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm, yang terdiri dari lumpur dan
pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah
atau erosi tanah yang terbawa ke dalam air (Effendi, 2003). Berbagai aktifitas
masyarakat di hulu dan sepanjang Sungai Bau-bau telah mempengaruhi kikisan
dan erosi tanah yang terbawa kedalam air sungai tersebut sehingga mempengaruhi
tingginya nilai TSS di muara sungai ini.
Wardoyo (1995) menyatakan bahwa kandungan TSS yang tinggi
menyebabkan perairan keruh dan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam badan air
sehingga membatasi laju fotosintesis. Adanya padatan tersuspensi akan
mengakibatkan yaitu :
1. Mengurangi daya pemurnian alami (self purification) karena proses
fotosintesis menurun dan menutupi organisme dasar (organisme bentik).
2. Dapat merusak sumberdaya perikanan di daerah pemijahan (spawning
area) dan daerah penangkapan (fishing ground), dan
3. Mengurangi estetika perairan.
Mackereth et al. (1989) menyatakan konduktifitas atau daya hantar listrik
(DHL) adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran
listrik, oleh karena itu semakin banyak garam-garam yang terlarut yang dapat
terisolasi maka semakin tinggi mulai nilai DHL. Boyd (1988) menyatakan nilai
DHL di perairan alami sekitar 20-1500 µmhos/cm. Pengukuran DHL tidak
dilakukan sebelum reklamasi, dan hasil pengukuran setelah reklamasi pada tahun
2008 dan 2009 lalu, untuk muara Sungai Bau-bau sebesar 63,2 dan 68,2
µmhos/cm sedangkan pada Pantai Kamali sebesar 62,7 dan 93,2 µmhos/cm.
5.2.1.2. Kualitas Kimia
Untuk parameter kimia berdasarkan hasil pemantauan sebelum dan sesudah
reklamasi jika dibandingkan dengan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 terlihat
bahwa parameter oksigen terlarut pasca reklamasi sudah melewati batas baku
mutu air yang ditetapkan dalam peraturan tersebut. Kandungan oksigen terlarut di
60
muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali pada tahun 2009 lalu masing-masing
telah berada pada angka 2 dan 1 mg/l. Jika dibandingkan dengan sebelum
reklamasi pada tahun 2001 masih dibawah standar baku mutu air, yaitu masing-
masing untuk muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali adalah 7, 29 dan 5,53.
Nilai parameter oksigen terlarut atau DO berdasarkan Kepmen LH LH No. 179
tahun 2004 adalah > 5 mg/l.
Noventy dan Olem (1994) menyatakan bahwa sumber oksigen terlarut dapat
berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35 %) dan aktifitas
fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Namun, pada hakikatnya difusi
oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi
pergolakan masssa air. Sehingga sumber utama oksigen diperairan adalah
fotosintesis.
Menurunnya oksigen terlarut pada pada kawasan Pantai Kamali disebabkan
hilangnya ekosistem padang lamun yang dulu pernah ada ditempat tersebut.
Pembangunan reklamasi yang menimbun habitat padang lamun telah
menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dalam perairan tersebut, sehingga
kondisi ini menyebabkan proses fotosintesis yang dilakukan oleh lamun untuk
menghasilkan oksigen terlarut dalam perairan menurun total. Di lain pihak hal ini
diduga sebagai akibat dari limbah khususnya limbah domestik dari masyarakat
yang tinggal disepanjang aliran dan hulu Sungai Bau-bau. Limbah domestik yang
berupa bahan organik ini telah dioksidasi oleh mikroba atau melalui proses
dekomposisi secara aerob sehingga memerlukan pasokan oksigen secara terus
menerus. Boyd (1988) menyatakan bahwa oksidasi bahan organik di perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, pH, pasokan oksigen, jenis bahan
organik serta rasio karbon dan nitrogen.
Adanya perubahan kosentrasi oksigen dalam perairan dapat mengakibatkan
kematian bagi organisme, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah dapat
menigkatkan toksitas bahan pencemar yang pada akhirnya akan membahayakan
kehidupan organisme pada perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut
sebaiknya tidak kurang dari 4 mg/l. Hal ini bertujuan agar kehidupan organisme
perairan dapat layak dan kegiatan perikanan dapat berhasil (NTAC, 1968 dalam
Novita, 2006).
61
Nilai parameter pH untuk semua pengamatan setiap tahun masih dalam
kisaran yang memenuhi baku mutu perairan baik PP No. 82 tahun 2001 maupun
Kepmen LH No. 179 tahun 2004. Parameter nitrat berdasarkan pemantauan sudah
melewati ambang batas baku mutu sebelum adanya reklamasi yaitu pada tahun
2003 lalu yang masing-masing untuk muara Sungai Bau-bau dan Pantai kamali
adalah 2,02 dan 1,71 mg/l, namun hasil pemantauan setelah adanya reklamasi
pada tahun 2006 lalu semakin naik menjadi 3, 48 mg/l di muara Sungai Bau-bau
dan 9, 12 mg/l di Pantai Kamali.
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen diperairan alami dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman adan algae. Nitrifikasi yang merupakan proses
oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus
nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Noventy dan Olem (1994) dalam
Effendi (2003) menyatakan proses nitrifikasi atau oksidasi nitrit menjadi nitrat
yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter sangat dipengaruhi oleh beberapa
paremeter,yang diantaranya adalah nilai pH yang optimum bagi proses nitrifikasi
adalah 8 – 9, dimana pada pH < 6, reaksi akan berhenti. Kemudian bakteri yang
melakukan nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen dan bahan padatan lain.
Kisaran pH 7 – 8 di muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali adalah salah
satu faktor yang menyebabkan semakin meningkatnya kandungan nitrat di tempat
tersebut. Hal ini ditunjang lagi dengan meningkatnyas sedimen yang berada di
muara Sungai Bau-bau membuat bakteri yang melakukan nitrifikasi semakin
meningkat. Kadar nitrat di Pantai Kamali pada tahun 2006 lalu telah mencapai
angka 9,12 mg/l. Kadar Nitrat yang lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya
pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan.
Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya
eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan
tumbuhan air secara pesat (blooming).
Hasil pemantauan parameter fosfat telah melewati ambang batas baku mutu
berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004 sebelum reklamasi pada tahun 2001,
dan kemudian semakin meningkat pasca reklamasi tahun 2006 lalu. Batas baku
mutu untuk kandungan fosfat berdasarkan Kepmen LH No. 179 tahun 2004
adalah 0,015 mg/l. Kandungan fosfat di muara sungai Bau-bau dan Pantai Kamali
62
pada tahun 2001 masing-masing sebesar 0,087 dan 0,017 mg/l. Kandungan fosfat
semakin meningkat setelah reklamasi tahun 2006 lalu, yaitu untuk muara Sungai
Bau-bau 0,24 mg/l dan Pantai Kamali 0,48 mg/l. Kedua stasiun pengamatan
tersebut telah melewati batas baku mutu air laut oleh Kepmen LH No. 179 tahun
2004.
Senyawa fosfor anorganik terlarut yang biasa terdapat diperairan adalah
ortofosfat dan polifosfat. Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan
tingkat tinggi dan algae aquatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktifitas
perairan. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah indutri dan domestik, yakni
fosfor yang berasal dari detergen. Fosfor banyak digunakan sebagai pupuk, sabun
atau detergen, bahan industri keramik, minyak pelumas, produk minuman dan
makanan, katalis dan sebagainya (Effendi, 2003). Tingginya kandungan fosfat di
muara Sungai Bau-bau dan Pantai Kamali akibat banyaknya limbah domestik
berupa sabun dan deterjen dari masyarakat sepanjang dan hulu sungai tersebut.
Hal ini sesuai hasil penelitian Erftemeijer, 1993 dalam Sutiknowati, 2008
mengatakan pola penyebaran vertikal konsentrasi fosfat cenderung meningkat
dengan bertambahnya kedalaman/ketebalan sedimen di padang lamun pantai di
sekitar Makasar. Semakin menebalnya sedimen di muara Sungai Bau-bau akibat
perubahan dan perpindahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah
reklamasi telah berdampak pada kandungan fosfat yang melewati ambang batas
Kepmen LH No. 179 tahun 2004 di perairan tersebut.
5.2.2. Kerusakan Habitat Alami Kawasan Pantai Kamali
5.2.2.1. Sedimentasi
Sedimen adalah kepingan material hasil pelapukan yang berasal dari batuan
atau pengikisan daratan yang ditransportasikan dan diendapkan oleh air. Sedimen
terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik berasal dari proses
pembusukan tumbuhan atau hewan yang ada dan bercampur dengan lumpur,
sedangkan bahan anorganik berasal dari pelapukan batuan yang terdiri atas kerikil,
pasir, lumpur dan liat.
Barnes (1969) dalam Baharuddin (2006) menyatakan jenis sedimen terbagi
berdasarkan sumbernya yaitu sedimen yang bersumber dari limpasan sungai yang
63
jenisnya banyak mempengaruhi morfologi pantai di sekitar muara sungai (disebut
sedimen of inlents) dan sedimen yang bersumber dari darat yang terangkut ke laut
oleh angin dan drainase atau penguraian sisa-sisa organisme (disebut pyroclastic
sediment). CHL (2002) dalam Baharuddin (2006) mengklasifikasikan sedimen
berdasarkan ukuran butirnya (Skala Wentworth) yakni lempung, lanau, pasir,
kerikil, koral (pebble), cobble, dan batu (boulder).
Berdasarkan hasil pemantauan, wawancara dan penelusuran pustaka terkait,
sedimentasi yang terakumulasi di muara Sungai Bau-bau yang telah menyebabkan
pendangkalan muara sungai tersebut jika ditinjau dari aspek oseanografi fisika
sebagian besar tidak bersumber dari adanya reklamasi. Sedimentasi yang berasal
dari reklamasi yang berupa pasir hitam untuk bahan timbunan hanya pada saat
tahap kontruksi pembangunan reklamasi saja yaitu pada tahun 2004 dan 2005. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Baharudin (2006) yang menyatakan bahwa
tingginya sedimen di muara Sungai Bau-bau dengan ketebalan 0,65 m, bila
dibandingkan dengan seluruh Pantai Bau-bau berasal dari hulu dan sepanjang
Sungai tersebut dan pengaruh jeti yang dibangun tegak lurus terhadap garis pantai,
sehingga menyebabkan sedimen tertahan pada daerah ini.
Pemanfaatan wilayah pesisir dengan adanya reklamasi pada Pantai Kamali
dan pembangunan mall di samping depan muara Sungai Bau-bau di satu sisi tidak
bisa di pungkiri juga telah menyebabkan perubahan atau pertambahan garis pantai
semakin menjorok ke laut. Pengerukan dan penimbunan dalam proses reklamasi
Pantai kamali telah menyebabkan perubahan arus laut sekitarnya yang pada
akhirnya telah mengubah pola sedimentasi di wilayah ini. Dampak negatif dari hal
ini adalah adanya pembangunan reklamasi menyebabkan proses sedimentasi yang
seharusnya berada pada area reklamasi, semakin memanjang ke laut atau
terjadinya perubahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah
reklamasi. Dampak negatif selanjutnya adalah hancurnya habitat alami pantai
seperti padang lamun dan biota-biota air lainnya akibat adanya penimbunan
pantai. Tingkat sedimen dan abrasi pada garis pantai sangat bergantung pada
sumber sedimen dan transpor sedimen yang disebabkan pula oleh pola
hidrodinamika pantai. Pola hidrodinamika pantai sendiri dipengaruhi oleh bentuk
pantai.
64
Terjadinya keruskan ekosistem lamun di Pantai Kamali dapat terjadi seperti
yang dikemukakan oleh Fortez et al. (1998) dalam syukur (2001) yang
menjelaskan bahwa kerusakan ekosistem padang lamun disebankan oleh dua
faktor yaitu faktor alam dan faktor anthropogenik, misalnya di Teluk Botany
(New South Wales) terjadinya gangguan pada lamun sebagi akibat dari
meningkatnya jumlah sedimen yang berpengaruh pada tingkat kekeruhan perairan
dan pada gilirannya menghambat pertumbuhan lamun. Mahida (1993) dalam
Syukur (2001) menjelaskan juga bahwa kekeruhan terjadi di kolom air disebabkan
oleh bahan-bahan organik, jazat renik, dan lumput atau sedimen, yang mana
kekeruhan ini dapat menganggu penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom air
dan berdampak langsung terhadap aktifitas fotosintesis oleh organisme yang
berada didalam kolom air seperti lamun, sehingga jumlah produktifitas primer
perairan yang dihasilkan akan berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Haerudin (2006) mengatakan bahwa sedimen juga merupakan “gudang”
penyimpanan berbagai jenis polutan, yang resisten dalam kolom air. Polutan yang
memiliki persistensi tinggi, akan terendapkan dalam sedimen untuk waktu yang
lama (berbulan-bulan hingga bertahun-tahun). Dampak lingkungan yang mungkin
terjadi dari akumulasi polutan dalam sedimen dapat berupa gangguan terhadap
biota laut terutama bentos, gangguan terhadap kesehatan manusia yang
mengkonsumsi makanan dari laut (sea food) dan gangguan terhadap kenyamanan
lingkungan, akibat bau yang berasal dari sedimen yang mengalami pembusukan.
5.2.2.2. Ekosistem Estuaria
Estuaria adalah bagian dari lingkungan perairan yang merupakan
percampuran antara air laut dan air tawar yang berasal dari sungai, sumber air
tawar lainnya (saluran air tawar dan genangan air tawar). Dahuri et al (2001)
menyatakan tingginya tingkat pemanfaatan di daerah estuaria menimbulkan
berbagai dampak lingkungan seperti hilangnya sumberdaya estuaria
Pengembangan sumberdaya esutuaria yang tidak dilakukan secara tidak terencana
telah mengakibatkan berbagai dampak baik yang berlangsung dalam waktu yang
singkat maupun dalam jangka yang lama, seperti kerugian ekonomi (opportunity
cost).
65
Kawasan Pantai kamali dan muara sungai Bau-bau merupakan ekosistem
estuaria yang ada di Kota Bau-bau. Pembuangan limbah yang terjadi secara terus
menerus merupakan salah satu penyebab utama terjadinya degradasi ekosistem
estuaria. Berbagai efek dramatis lainnya, seperti misalnya terjadinya kematian
ikan secara tiba-tiba, pencemaran juga menyebabkan degradasi yang terus
menerus yang kemudian diikuti oleh hilangnya ikan-ikan dan biota-biota air
lainnya atau menurunnya daya dukung dari eksositem tersebut (carrying
capacity). Bahan-bahan kimia dan organik merupakan sebagian dari bahan
pencemar tersebut. Zat-zat tersebut menyebabkan lingkungan estuaria di Kota
Bau-bau tersebut menjadi tidak bersahabat, sehingga ikan-ikan berpindah dan
menghambat reproduksi kerang-kerangan atau dengan kata lain memutuskan
rantai makanan yang telah stabil.
Berdasarkan pengamatan, hasil wawancara di lapangan dan penelusuran
pustaka terkait, dibeberapa pesisir Kota Bau-bau kondisi estuaria sudah terganggu,
khususnya pada daerah reklamasi Pantai Kamali dan muara Sungai Bau-bau. Hal
ini berarti telah mengancam keberlanjutan ekosistem estuaria di Kota Bau-bau
dalam menopang kehidupan masyarakat dan pembangunan di wilayah tersebut.
Adanya beberapa industri kimia meskipun berskala rumah tangga di Kecamatan
Wolio dan Murhum, yang dilalui oleh Sungai Bau-bau, kemudian juga masih
dijadikannya muara Sungai Bau-bau sebagai dermaga oleh sebagian kapal-kapal
motor antar pulau yang membuang limbahnya seperti minyak dan oli ke muara
sungai telah menimbulkan ancaman serius pada ekosistem ini. Di tambah lagi
dengan lambatnya debit air pada muara Sungai Bau-bau akibatnya terjadinya
pendangkalan sungai oleh sedimentasi yang berlebihan.
Salah satu ancaman yang serius terhadap kualitas lingkungan estuaria adalah
berlangsungnya proses perlumpuran dan turbiditas dari daerah sungai (Prasetyo et
al. 2000 dalam Mutia, 2007). Perlumpuran dan turbiditas yang tinggi serta
didukung oleh berbagai faktor lingkungan, seperti kecepatan arus, akan sangat
mempengaruhi proses sedimentasi di daerah estuaria yang pada akhirnya akan
mempengaruhi berbagai organisme yang berada di dasar perairan (sedimen).
Dahuri et al. (2001) menyatakan kebanyakan organisme estuaria merupakan
organisme yang rentan. Hal ini disebabkan organisme estuaria banyak yang hidup
66
di dekat batas-batas toleransinya. Apabila terjadi perubahan faktor-faktor
lingkungan di perairan estuaria seperti suhu, salinitas, dan oksigen akan sangat
mengganggu organisme tersebut. Beberapa biota-biota air seperti udang, kepiting
dan kerang-kerangan di Pantai Kamali dan muara Sungai Bau-bau telah terbukti
semakin berkurang atau bahkan hilang dikawasan tersebut berdasarkan
wawancara dengan penduduk dan stakeholder setempat.
Hal ini utamanya disebabkan hancurnya ekosistem estuaria yaitu ekosistem
padang lamun dan terumbu karang yang dulu pernah ada diwilayah ini, akibat
pembangunan reklamasi pantai dan semakin meningkatnya transportasi kapal-
kapal antar pulau-pulau ke Kota Bau-bau. Penimbunan untuk reklamasi yang
dilakukan pada kawasan pesisir Kamali telah menyebabkan hancurnya ekosistem
estuaria khususnya padang lamun dan terumbu karang yang juga berfungsi
sebagai rumah bagi biota-biota air dalam melakukan pemijahan, mencari makan
dan sebagainya.
Kawasan Pantai Kamali berdasarkan hasil analisis citra landsat TM tahun
1990, memiliki luas ekosistem padang lamun dan alga kurang lebih 1,67 hektar,
terumbu karang 2,1 hektar dan tidak ada mangrove (Gambar 5). Hasil updeting
data spasial MCRP silika Bapedalda Sultra dalam Laporan Kondisi Substrat
Pesisir Sultra tahun 2007 lalu menegaskan bahwa ekosistem padang lamun dan
terumbu karang sudah sangat langka ditemukan di kawasan Pantai Kamali pada
tahun tersebut (Bapedalda Sultra, 2007). Berdasarkan informasi selanjutnya dari
Dinas Perikanan Kota Bau-bau tahun 2011 ini, luas ekosistem padang lamun
tinggal 0,098 hektar dan terumbu karang 0,47 hektar. Hal ini menegaskan bahwa
luas ekosistem padang lamun di kawasan Pantai Kamali telah menurun sebesar
1,572 hektar. Luas ekosistem terumbu karang juga telah menurun sebesar 1,63
hektar.
Reklamasi untuk pembangunan pelabuhan Dublin di Irlandia telah
menyebabkan peningkatan konsentrasi logam dalam sedimen permukaan di zona
pasang surut sehingga memiliki efek buruk pada biota-biota pantai di muara
Sungai Tolka diwilayah tersebut. Proyek ini juga telah menyempitkan
tenggorokan muara Tolka (Buggy and Tobin, 2006). Reklamasi atas lahan juga
mengubah kecenderungan suksesi intrinsik fauna tanah melalui mekanisme yang
67
kompleks dan berinteraksi, yang menghasilkan penyederhanaan dan perubahan
struktur fungsi suatu komunitas (Wu et al. 2002). Perubahan komposisi trofik dan
komunitas atas fauna bawah tanah disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan,
yang mana pada akhirnya mempengaruhi fungsi ekosistem melalui perubahan
struktur jaringan makanan dan jalur dekomposisi.
Proyek reklamasi di Kawasan Industri Pelabuhan Tianjin secara signifikan
telah mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan distribusi fitoplankton,
sehingga berdampak negatif pada pertumbuhan dan distribusi zooplankton yang
memakan fitoplankton. Pekerjaan pengerukan tersebut di bagian bawah telah
secara langsung memberi dampak lingkungan hidup terhadap benthos dan
menyebabkan kepunahan benthos. Selain itu, proyek tersebut juga telah membawa
tanah-sumber polutan, limbah industri dan sebagainya yang mengakibatkan
pengaruh negatif terhadap kehidupan laut. Proyek tersebut juga secara signifikan
mempengaruhi lingkungan laut dan menyebabkan penurunan keanekaragaman
hayati serta perubahan struktur masyarakat (Li et al. 2010).
5.2.2.3. Padang Lamun
Syarat dasar habitat padang lamun adalah perairan yang dangkal, memiliki
substrat yang lunak dan perairan yang cerah (Dahuri et al. 2001). Syarat lainnya
adalah adanya sirkulasi air yang membawa bahan nutrien dan substrat serta
membawa pergi sisa-sisa metabolisme. Padang lamun juga membutuhkan
intensitas cukup yang tinggi, sehingga tanaman ini tidak bisa tumbuh pada
kedalaman 20 m, kecuali bila perairan tersebut sangat jernih dan transparan.
Berdasarkan wawancara di lapangan dan penelusuran pustaka terkait, di
wilayah Kota Bau-bau padang lamun tersebar disepanjang pesisir kota tersebut
dan berdasarkan hasil analisis citra landsat TM tahun 1990 terdapat 1,67 hektar
ekosistem padang lamun (Gambar 5). Berdasarkan informasi selanjutnya dari
Dinas Perikanan Kota Bau-bau tahun 2011 ini, luas ekosistem padang lamun
tinggal 0,098 hektar. Hal ini menegaskan bahwa luas ekosistem padang lamun di
kawasan Pantai Kamali telah menurun sebesar 1,572 hektar.
Hilangnya ekosistem padang lamun akan menurunkan fungsi ekosistem
tersebut secara ekologis di kawasan pesisir khususnya di Pantai Kamali. Fungsi
68
ekologis padang lamun adalah sebagai produsen primer, pendaur ulang unsur
hara, penstabil substrat, dan penangkap sedimen; sebagai habitat dan makanan
serta sebagai tempat berlindung bagi organisme laut lainnya; dan sebagai substrat
bagi perifiton (Nienhuis, 1993 dalam Hamid, 1996). Selain itu padang lamun juga
mempunyai berbagai peranan yang besar dalam memfiksasi unsur hara, tempat
perlindungan dan mencari makan, tempat asuhan berbagai anak-anak ikan,
sebagai stabilisator dasar perairan, mencegah atau melindungi pantai dari erosi,
dan mempunyai peranan penting dalam daur hara. Hal ini sangat terkait dengan
keberadaan ekosistem lainnya di wilayah pesisir seperti mangrove dan terumbu
karang dalam menunjang keberadaan biota-biota pesisir serta beberapa aspek
lainnya seperti fungsi fisik dan sosial ekonomi.
Dampak negatif dari kondisi saat ini atas hilangnya ekosistem padang lamun
terkait dengan masyarakat nelayan khususnya di Pantai Kamali adalah
berkurangnya tangkapan nelayan tersebut, seiring semakin langkanya di jumpai
biota-biota pantai seperti ikan Baronang, kepiting, udang dan lain-lain. Hal ini
pada akhirnya telah menyebabkan penurunan tingkat perekonomian dan
kesejahteran masyarakat nelayan di kawasan Pantai Kamali khususnya dan di
Kota Bau-bau umumnya.
Permasalahan utama yang mempengaruhi padang lamun di Kota Bau-bau
khususnya kawasan Pantai Kamali adalah adanya kegiatan pengerukan dan
penimbunan pantai atau reklamasi, dan terbawanya partikel-partikel tanah oleh air
hujan dan masuk ke sungai lalu diteruskan ke laut. Hal ini menyebabkan lamun
tidak dapat hidup dengan baik karena air laut sudah tercemari oleh partikel-
partikel tanah yang berasal dari tanah reklamasi dan erosi tanah.
Penurunan atau hilangnya biota-biota laut di Pantai Kamali dan muara
Sungai Bau-bau berdasarkan wawancara dengan penduduk dan stakeholder
setempat, telah mengindikasikan musnahnya padang lamun diwilayah tersebut
yang dulu pernah ada. Hal ini juga didukung dari hasil updeting data spasial
MCRP silika Bapedalda Sultra dalam Laporan Kondisi Substrat Pesisir Sultra
tahun 2007 lalu yang menegaskan bahwa ekosistem padang lamun dan terumbu
karang sudah langka ditemukan di kawasan Pantai Kamali pada tahun tersebut.