4

24
Cyclo-oxygenase Lipo-oxygenase Prostaglandins SRS-A (LTC 4 , LTD 4 , LTE 4 ) PGD 2 LTB 4 PGE 2 PGF 2 Gambar. 3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat 1. Rangsangan Langsung pada Mastosit/Basofil Beberapa obat dan zat kontras secara langsung dapat merangsang mastosit jaringan dan basofil darah perifer untuk mengeluarkan mediatornya. Hal ini ditemukan pada pemberian opiat, antibiotik tertentu, pelemas otot, dekstran, zat kontras, dan lain-lain. Di samping itu beberapa faktor fisis seperti panas, dingin, tekanan dan lain-lain dapat secara langsung mempengaruhi pengeluaran mediator mastosit/basofil. 2. Idiopatik (Idiopathic Reccurent Anaphylaxis) Ada beberapa pasien yang mengalami reaksi anafilaktik berulang-ulang tanpa diketahui pencetus atau penyebabnya termasuk disini anafilaksis akibat latihan, sering terjadi sesudah makan-makanan tertentu sebelum latihan. Beberapa ibu mengalami anafilaktik berulang

description

mnxbcnxvcbnvx

Transcript of 4

Page 1: 4

Cyclo-oxygenase Lipo-oxygenase

Prostaglandins SRS-A (LTC4, LTD4, LTE4)

PGD2 LTB4

PGE2

PGF2

Gambar. 3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat

1. Rangsangan Langsung pada Mastosit/Basofil

Beberapa obat dan zat kontras secara langsung dapat merangsang mastosit

jaringan dan basofil darah perifer untuk mengeluarkan mediatornya. Hal ini

ditemukan pada pemberian opiat, antibiotik tertentu, pelemas otot, dekstran, zat

kontras, dan lain-lain. Di samping itu beberapa faktor fisis seperti panas, dingin,

tekanan dan lain-lain dapat secara langsung mempengaruhi pengeluaran mediator

mastosit/basofil.

2. Idiopatik (Idiopathic Reccurent Anaphylaxis)

Ada beberapa pasien yang mengalami reaksi anafilaktik berulang-ulang tanpa

diketahui pencetus atau penyebabnya termasuk disini anafilaksis akibat latihan,

sering terjadi sesudah makan-makanan tertentu sebelum latihan. Beberapa ibu

mengalami anafilaktik berulang yang tidak ditemukan penyebabnya (disebut

catamenial anaphylaxis), ternyata hipersensitif terhadap progesteron endogen dan

positif pada tes kulit dengan medroksiprogesteron. Sebagian di antaranya

mengalami anafilaksis bersiklus menurut fase luteal siklus haidnya. Pada

umumnya anafilaktik rekuren idiopatik tidak ditemukan penyebabnya dan

diagnosisnya didasarkan gejala klinis dan bukti peninggian kadar histamin dalam

urinnya.

Secara umum dan garis besar urutan proses dalam kejadian reaksi

anafilaktik/anafilaktoid dapat disebutkan sebagai berikut :

Page 2: 4

I. Perangsangan pada membran mastosit dan sel basofil, rangsangan dilakukan

oleh antigen IgE atau agregat imun yang lain atau langsung oleh faktor-faktor

kimiawi, fisis, atau neurogenik

II. Aktivasi enzim-enzim membran dan rangsangan kedua dari sitoplasma.

Terjadi degradasi metabolik asam arakidonat menjadi subunit-subunit aktif

dan penurunan rasio cAMP/cGMP dalam sel

III. Penglepasan mediator inflamasi

A. Yang siap langsung dilepas

- Histamin

- Serotonin

- Triptase

- NCF (Neutrophils Chmeotactic Factor)

- ECF (Eosinophils Chemotactic Factor)

B. Yang baru dibentuk dan segera dilepas :

- Leukotrin (LTB4, LTC4, LTD4)

- Tromboksan

- Prostaglandin (PGD2)

- Platelet Activating Factor (PAF)

- Kinin dan kaskade faktor hageman

IV. Respons patologis fungsional

- Peningkatan permeabilitas vaskular

- Vasodilatasi venul

- Konstriksi bronkus

- Kontraksi otot polos usus

- Dilatasi arteriol

V. Anafilaksis

- Urtikaria + angioedema

- Edema laring

- Asma

- Muntah, sakit perut, diare

- Hipotensi/renjatan

Page 3: 4

Gambar.4. IgE terdiri atas 2 rantai Berat (Epsilon) dan 2 rantai ringan

(Kappa/Lamda) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida

Gambar.5. Aktivasi Faktor Gagema

Tabel 2. Mediator yang dihasilkan sel Mast dan Basofil

Mediator Struktur Kimia Efek Fisiologis

1. Histamin 5-B-Imidazolyethylamine

(BNM=III)

Reseptor HI :

Vasokonstriksi, vasodilatasi,

COLLAGEN IN EXPOSED BASEMENT MEMBRANE

HAGEMAN FACTOR(FACTOR XII)

INTRINSIC COAGULATION

FIBRINOLYTIC ACTIVITY

KININ GENERATION

VASODILATIONHEMOSTATIC ALTERATIONS

INCREASED PERMEABILITY

Page 4: 4

meningkatkan permeabilitas vascular,

kontraksi otot polos bronkus

Reseptor H2:

Vasodilatasi, meningkatkan denyut

jantung, kontraksi miokard, sekresi

lambung, inhibitor sel T

2. ECF-A Asam tetrapeptida

(BM = 360 – 390)

Kemotaksis eosinofil

3. NEF Protein

(BM = > 75.000)

Kemotaksis neutrofil

4. SRS-A

(LTC4, LTD4, LTE4)

Lipo-oksigesae, produk

asam arakidonat

Meningkatkan permeabilitas vascular

kontraksi otot polos bronkus

5. Prostaglandin (PGD2,

PGE2, PGF2)

Siklo-oksigenase, produk

asam arakidonat

PGD2 : Kontraksi otot polos

bronkus

PGE2 : Dilatasi otot polos

bronkus

PGF2: Kontraksi otot polos

bronkus

6. LTB4 Lipo-oksigenase, produk

asam arakidonat

Kemotaksis eosinofil dan neutrofil

7. PAF Asetilgliseril eter

fosforilcolin (BM1000)

Agregasi platelet

II. 5. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3

tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit

sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1

sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih

dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen. 6,7

Page 5: 4

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat,

tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis

juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering

dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan

tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,

pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2

jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat   mencakup semua gejala-

gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring

dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan

gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.

Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda

dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai

kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan

sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan

kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat

disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang

irreversible. 5,6,8

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat

terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,

gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing,

dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah

rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan

pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. 1,4,5

  Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang

berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di

Page 6: 4

bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung

bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute yaitu

pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok   ujung hidungnya ke

arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic

crease garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic

facies terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners dan kelainan gigi geligi.

Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan

bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat

eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah,

dan diaphoresis. 4,6

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru   menurun,

penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan

penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah

atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor   Suara bisa serak bahkan tidak

ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas

yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi

napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena

bronkospasme atau edema mukosa.Selain itu juga terjadi batuk-batuk,   hidung

tersumbat, serta bersin-bersin. 4,6

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran

sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada

sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin,

tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang

menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada

ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran

Page 7: 4

urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya

mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN

dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine. 4,6

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis

sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul

pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan

spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang

kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark

usus. 4,6

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,

gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.

Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi

kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status

mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi

anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis

terjadi keretakan antar sel, sel membengkak,   disfungsi mitokondria, serta

kebocoran sel .4,6

Page 8: 4

Tabel 3. Manifestasi klinis reaksi Anafilaksis

II. 6. TES DIAGNOSTIK 4, 5, 6

Skin Prick Test (SPT)

Skin Prick Test (tes kulit epikutan) dan tes kulit intradermal

merupakan tes untuk mengetahui adanya IgE spesifik terhadap

obat tertentu yang berguna hanya untuk beberapa obat dengan

berat molekul rendah (penisilin, relaksan otot, barbiturat).

Karena reagen belum tersedia, klinisi harus membuat sendiri

reagennya. Meskipun kadang dapat dijumpai hasil positif pada

pemberian obat yang dapat melepaskan histamin tanpa melalui

perantaraan IgE, sepereti misalnya pada pemberian propofol atau

atracurium.

Radio Allergo Sorbent Assay (RAST)

Merupakan solid phase radioimmunoassay yang mengukur

circulating allergen spesific IgE antibodies. Kegunaannya terbatas

sebagai tes diagnosis alergi obat, karena seperti tes kulit,

immunochemistry dari kebanyakan obat belum diketahui. Tes ini

telah dikembangkan untuk penisilin (penicilloyl moiety), insulin,

chymopapain, relaksan otot, thiopental, protamine dan lateks

Page 9: 4

.

Tes Provokasi

Tes Provokasi oral dapat menjadi gold standar dalam menentukan

adanya alergi obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan

yang ketat dengan alat bantu resusitasi yang tersedia.

Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III

Tes hemaglutinasi (Coomb � s test direk atau indirek) telah

digunakan untuk menentukan adanya antibodi IgG dan IgM

spesifik untuk membantu diagnosis anemia hemolitik yang

diperantarai obat. Karena keterbatasannya (harus menjaga

kesegaran eritrosit yang terkonyugasi dengan obat ) sekarang

lebih banyak menggunakan metode Enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA). Yang terpenting adalah

menentukan hubungan IgG dan IgM dengan manifestasi klinis,

karena antibodi dapat positif tanpa kelainan imunopatologi.

Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV

Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang diperantarai sel

T, terutama eczematous, erupsi terinduksi obat. Tes ini dapat

diaplikasikan pada kelainan kulit karena obat serta rekasi

sistemik. Kegunaan metode ini tergantung dari pembawa obat dan

tempat aplikasinya. Patch test berguna untuk antikonvulsan

seperti carbamazepin dan penisilin. Metode ini terbatas

penggunaannya karena terbatasnya reagen yang sesuai dengan

determinan imunogenik dari obat.

Tes-tes lain

Page 10: 4

Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis dan perjalanan

respon inflamasi, tetapi hanya hal umum saja yang bisa

didapatkan (tipe infiltrat seluler, adanya edema). Pemeriksaan

imunohistokimia dapat memeberikan informasi tambahan.

Tryptase yang merupakan mast cell spesific protease dapat

meningkat pada reaksi anafilaksis. Konsentrasi yang meningkat

didapatkan pada obat anestesi, lateks dan beberapa antibiotik. Tes

lain yang dapat berguna antara lain basofil histamin release,

proliferasi limfosit, aktivasi komplemen dan tes lymphocyte

cytotoxicity. Tes-tes ini masih dalam penelitian, belum digunakan

untuk evaluasi ADR.

II.7. DIAGNOSIS 5

a. Anamnesis yang teliti : Obat-obatan/makanan yang didapat

b. Pemeriksaan fisik : Kelainan timbul secara akut/dapat juga

beberapa hari sesudah masuknya obat/makanan

c. Laboratorium :

- Histamin; meningkat sejak 5 – 30 menit post reaksi

- Triptase : dihasilkan dari sel mast

- Serum triptase : meningkat beberapa jam dan digunakan untuk

konfirmasi episode anafilaksis

II.8. DIAGNOSIS BANDING 5

a. Reaksi vasovagal

Sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak

pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis,

Page 11: 4

pada reaksi vasovagal, nadanya lambat dan tidak terjadi sianosis.

Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan

biasanya tidak terlalu rendah, seperti anafilaksis

b. Infark miokard akut

Gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.

Gejala ini sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tanda-tanda

obstruksi jalan nafas. Pemeriksaan EKG dan enzim akan membantu

diagnosis

c. Reaksi hipoglikemik

Disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien

tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tidak sadar. Tekanan darah

kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan

nafas. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan pemberian terapi glukosa

menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik.

II.9. PENGOBATAN 5,6,8

a. First line therapies

epinefrin, IV fluids dan oksigen

b. Second line therapi

anthistamin, kortikosteroid, glucagon, albuterol dan aminofilin untuk

mencegah reaksi anafilaksis ulangan dan penanganan lanjutan reaksi

anafilaksis.

Manajemen tindakan pada reaksi anafilaksis/anafilaktoid

Prioritas utama : ventilasi dan bebaskan jalan napas

1. Baringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dari kepala

2. Saluran nafas harus bebas

Page 12: 4

Apabila pasien tidak sadar dilakukan ekstensi kepala, dorong mandibula ke

depan dan buka mulut. Jika perlu dapat dilakukan intubasi trakea

3. Tornikuet dipasang proksimal dari tempat penyuntikan/gigitan binatang untuk

menghambat penyebaran antigen

4. Epinefrin diberikan 0,3 – 0,5 ml dalam larutan 1 : 1000 secara subkutan

5. Oksigen diberikan, karena biasanya terjadi hipoksemia akibat edema jalan

nafas bagian atas dan hipotensi

6. Jika hipotensi tidak membaik, berikan epinefrin 0,3 – 0,5 ml dalam larutan 1 :

1000 secara Sc atau IV

7. Aminofilin diberikan bila asma merupakan gejala utama

Dosis yang diberikan 5 – 6 mg/kgBB yang dilarutkan dalam larutan garam dan

diberikan intravena secara perlahan

8. Diberikan cairan intravena, dengan tujuan menigkatkan tekanan darah yang

timbul akibat hipovolemik. Cairan yang digunakan ialah larutan ringer laktat

atau plasma volume expanders

9. Monitor keadaan hemodinamik

Jika perlu, berikan obat inotropik dan zat vasoaktif

10. Jika terjadi henti napas dan henti jantung dilakukan resusitasi jantung paru

dan berikan obat-obat resusitasi

Semua pasien dengan anafilaksis sebaiknya diberikan anti histamin dan

kortikosteroid. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus, misalnya

difenhidramin 25 – 50 mg intravena secara perlahan-lahan. Kortikosteroid tidak

bermanfaat pada fase akut, tapi bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan

penyempitan saluran nafas, dapat diberikan metilprednisolon 125 mg intravena.

Pasien dengan anafilaksis yang keadaannya tidak stabil, sebaiknya

dipindahkan ke ICU semua pasien yang menerima epinefrin, harus diobservasi

minimal 6 jam. Jika keadaannya sudah pulih, pasien boleh dipulangkan.

Page 13: 4

Tabel.4. Dosis obat untuk reaksi anafilaksis dan alergi 6

Drug Adult Dose Pediatric Dose

Epinephrine IV single dose: 100 g of

1:100.000 IV over 5-10

min

IV infusion –4 g/min

SC: 0.3 – 0.5 mL 1:1000

IV infusion: 0.1 – 0,3

g/min maximum 1.5

g/kg/min

SC: 0.01 mL/kg of 1:1000

IV fluids: NS or LR 1 – 2 L 20 mL/kg

Diphenhydramine

(Benadryl)

25-50 mg q6h IV, IM, or

PO

1 mg/kg q6h IV, IM or PO

Ranitidine (Zantac) 50 mg IV over 5 min 0.5 mg/kg IV over 5 min

Methylprednisolone

(Solumedrol)

125 mg IV 1 – 2 mg/kg IV

Albuterol Single treatment : 2.5 mg

nebulized (0.5 ml 0.5%

solution)

Continuous nebulization: 5

– 10 mg/h

Single treatment: 1.25 mg

nebulized (0.25 mL 0.5%

solution)

Continuous nebulization: 3 –

5 mg/h

Glucagon I mg IV q%min untul

hypotension resolves,

followed by 5 – 15 g/min

infusion

50 g/kg IV q5min

Aminophylline 5 – 6 mg/kg IV 5 – 6 mg/kg IV

Prednisone 40 – 60 mg/d divided bid

or qd

1 – 2 mg/d divided bid or qd

Page 14: 4

Gambar 6. Algoritma reaksi anafilaktik 9

II.10. PENCEGAHAN 5

a. Hindari alergen penyebab

b. KIT anafilaktik

Page 15: 4

Pasien yang sensitif sengatan serangga atau makanan harus selalu

membawa kit anafilaktik yang terdiri dari semprit berisi adrenalin dan

tablet anti histamin

c. Desensitisasi

Sengatan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah

dengan cara desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang dari dosis

rendah sampai dianggap cukup dalam jangka waktu lama

BAB III

RINGKASAN

Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai

oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung

dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi

Page 16: 4

antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam

sirkulasi. Reaksi anafilaktik merupakan kasus kegawatan, karena anafilaksis yang

berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi. Syok anafilaktik merupakan salah satu

manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh

adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan

disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.

Gambaran klinis anafilaksis dapat mulai dalam beberapa detik atau menit

sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun

diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru menjadi berat, tetapi

kadang-kadang langsung berat. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan

ialah gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,

mual, pusing, lemas, dan sakit perut. Gejala dari reaksi anafilaktik juga dapat muncul

pada multiorgan, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat gagal nafas, aritmia

ventrikel atau syok yang irreversibel.

Diagnosis dari reaksi anafilaktik harus ditegakkan secara cepat dan tepat,

melalui anamnesis yang teliti untuk mengetahui alergen penyebab, pemeriksaan fisik,

laboratorium, serta dengan beberapa test kepekaan pada kulit.

Pada penanganan reaksi anafilaktik yang menjadi prioritas utama adalah

ventilasi dan bebaskan jalan napas. Aminofilin diberikan bila asma merupakan gejala

utama dengan dosis 5 – 6 mg/kgBB yang dilarutkan dalam larutan garam dan secara

diberikan intravena dan perlahan. Diberikan cairan intravena, untuk menigkatkan

tekanan darah yang timbul akibat hipovolemik. Monitor keadaan hemodinamik.

Semua pasien dengan anafilaksis sebaiknya diberikan anti histamin dan

kortikosteroid. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus, misalnya

difenhidramin 25 – 50 mg intravena secara perlahan-lahan. Kortikosteroid tidak

bermanfaat pada fase akut, tapi bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan

penyempitan saluran nafas, dapat diberikan metilprednisolon 125 mg intravena.

Page 17: 4