456 7 8 9 20 21 22 oMar OApr OMei OJun OJul Ags OSep...

3
REPUBLlKA o Selasa • Rabu 9 o Kamis 0 Jumat o Sabtu o Minggu 456 7 20 21 22 8 23 14 15 16 29 30 31 FOTO-FOTO EDI YUSUF /REPUBLlKA 10 @ 24 25 26 12 13 27 28 o Mar OApr OMei OJun ONov ODes OJul 0 Ags OSep OOkt Jangan Tungg O toritas kesehatan Indonesia masih berkutat pada angka kematian ibu dan bayi sebagai indikator kinerja kesehatan nasional. Kedua indikator m mang membaik. Tapi, perbaikan tersebut tidak dl- ikuti dengan infrastruktur dan program bagi an _ anak yang berhasil lahir hidup, namun berkebutuhan khusu . Meski belum ada survei menyeluruh, sepotong uji samp I di Kabupaten Sumedang yang berbatasan dengan Kota Ba dung memperlihatkan gejala ledakan kasus anak berkebu- tuhan khusus. Berikut wawancara Prof Or Anna Alisjahbana dr SpA, pendiri dan ketua umum Yayasan Surya Kanti, de- ngan wartawan Republika Palupi Annisa Auliani. Yayasan ini adalah satu lembaga nonprofit yang khusus mendeteksi dan menangani anak-anak dengan beragam kebutuhan khusus. Kapan yayasan ini mulai berdiri ? Yayasan mulai pada 1984, tapi pindah ke sini (lokasi terakhir yayasan, di Jl Terusan Cimuncang 9, Kota Bandung-Red) pada 2000. Sempat pin- dah-pindah, dengan klinik kecil sejak 1986. Angka kunjungan ke klinik per tahun 13-14 ribu. Ada apa dengan kesehatan Indonesia? Angkanya sekarang turun (yang datang ke klinik), Ya (ada kaitan dengan masalah ekonomi keluarga anak-anak berkebutuhan khusus). Kami menyediakan kuota 30 persen layanan untuk anak-anak tidak mampu dengan subsidi silang bi- aya dari anak-anak yang mampu. Setiap bulan, kami mendapat bantuan Rp 6 juta dari asosiasi wanita Jerman. Tapi, kebutuhan untuk subsidi anak-anak dari keluarga tidak mampu sekitar Rp 30 juta per bulan. Kami mencari donatur atau ban tu an, hari ke hari agar tetap bisa melayani anak-anak dari kalan an tak mampu ini. Kami tidak menggratiskan seluruh pasien ari kalangan tak mampu. Ada pertimbangan soal har- ga diri mereka juga. Kami tanyakan,dulu, berapa kesanggupan mereka. Misalnya, kalau sanggup membayar 25 persen biaya, kami subsidi yan 75 persen. Meskipun mereka tidak mampu, mereka juga tak mau begitu saja mendapat belas kasihan. Tetap saja ada yang 100 persen kami dukung. Bagaimana tren anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia? . Kami punya alat 'ukur untuk mengetes anak- anak usia empat bulan sampai lima tahun, apakah terlambat perkembangannya.(atau tidak). Dari Iima bidang, kalau anak terlambat merespons dua bidang maka disebut lambat berkembang. Kalau tiga atau lebih kami menyebutnya berisiko tinggi untuk cacat, 'berisiko tinggi untuk berkebut an khusus' istilah resminya. Lima bidang yang diuji adalah gerakan kasar, gerakan halus, persepsi, bicara, dan sosialisasi. '-- KlIplng Humas Onpad 2011

Transcript of 456 7 8 9 20 21 22 oMar OApr OMei OJun OJul Ags OSep...

Page 1: 456 7 8 9 20 21 22 oMar OApr OMei OJun OJul Ags OSep ...pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/republika...cat, belum ada. Dan (infrastruktur) cacat harus bareng dengan pendidikan.

REPUBLlKAo Selasa • Rabu

9o Kamis 0 Jumat o Sabtu o Minggu

456 720 21 22

823

14 15 1629 30 31

FOTO-FOTO EDI YUSUF /REPUBLlKA

10 @24 25 26

12 1327 28

oMar OApr OMei OJun ONov ODesOJul 0 Ags OSep OOkt

Jangan Tungg

O toritas kesehatan Indonesia masih berkutat padaangka kematian ibu dan bayi sebagai indikatorkinerja kesehatan nasional. Kedua indikator mmang membaik. Tapi, perbaikan tersebut tidak dl-ikuti dengan infrastruktur dan program bagi an _

anak yang berhasil lahir hidup, namun berkebutuhan khusu .Meski belum ada survei menyeluruh, sepotong uji samp I

di Kabupaten Sumedang yang berbatasan dengan Kota Badung memperlihatkan gejala ledakan kasus anak berkebu-tuhan khusus. Berikut wawancara Prof Or Anna Alisjahbanadr SpA, pendiri dan ketua umum Yayasan Surya Kanti, de-ngan wartawan Republika Palupi Annisa Auliani. Yayasan iniadalah satu lembaga nonprofit yang khusus mendeteksi danmenangani anak-anak dengan beragam kebutuhan khusus.

Kapan yayasan ini mulai berdiri ?Yayasan mulai pada 1984, tapi pindah ke sini

(lokasi terakhir yayasan, di Jl Terusan Cimuncang9, Kota Bandung-Red) pada 2000. Sempat pin-dah-pindah, dengan klinik kecil sejak 1986.

Angka kunjungan ke klinik per tahun 13-14 ribu.Ada apa dengan kesehatan Indonesia?

Angkanya sekarang turun (yang datang keklinik), Ya (ada kaitan dengan masalah ekonomikeluarga anak-anak berkebutuhan khusus). Kamimenyediakan kuota 30 persen layanan untukanak-anak tidak mampu dengan subsidi silang bi-aya dari anak-anak yang mampu. Setiap bulan,kami mendapat bantuan Rp 6 juta dari asosiasiwanita Jerman. Tapi, kebutuhan untuk subsidianak-anak dari keluarga tidak mampu sekitar Rp30 juta per bulan. Kami mencari donatur atauban tu an, hari ke hari agar tetap bisa melayanianak-anak dari kalan an tak mampu ini.

Kami tidak menggratiskan seluruh pasien arikalangan tak mampu. Ada pertimbangan soal har-ga diri mereka juga. Kami tanyakan,dulu, berapakesanggupan mereka. Misalnya, kalau sanggupmembayar 25 persen biaya, kami subsidi yan 75persen. Meskipun mereka tidak mampu, merekajuga tak mau begitu saja mendapat belas kasihan.Tetap saja ada yang 100 persen kami dukung.

Bagaimana tren anak-anak berkebutuhan khusus diIndonesia? .

Kami punya alat 'ukur untuk mengetes anak-anak usia empat bulan sampai lima tahun, apakahterlambat perkembangannya.(atau tidak). DariIima bidang, kalau anak terlambat merespons duabidang maka disebut lambat berkembang. Kalautiga atau lebih kami menyebutnya berisiko tinggiuntuk cacat, 'berisiko tinggi untuk berkebut ankhusus' istilah resminya. Lima bidang yang diujiadalah gerakan kasar, gerakan halus, persepsi,bicara, dan sosialisasi. '--

KlIplng Humas Onpad 2011

Page 2: 456 7 8 9 20 21 22 oMar OApr OMei OJun OJul Ags OSep ...pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/republika...cat, belum ada. Dan (infrastruktur) cacat harus bareng dengan pendidikan.

Kalau nasional, kami belum pernah melakukanpengujian. Tapi, kami pernah survei di kawasanTanjungsari Kabupaten Sumedang. Anak-anakyang dibawa ke Posyandu, diuji memakai alat kami.Hasilnya, 30 persen terlambat perkembangannya.Yang berisiko tinggiberkebutuhan khusus, cukuptinggi, lima sampai sembilan persen. Kalau gizinyaburuk lebih tinggi lagi (keterlambatan perkem-bangannya), bisa sampai 70 persen. Ini kan rugi se-betulnya. Survei terakhir kami gelar pada 2008. Inikegiatan rutin lima tahun sekali.

Mengapa tren kasusnya demikian?Konsepnya begini, kita mengakui angka kema-

tian bayi menurun. (Tapi) kalau angka kematianitu menurun, otomatis angka disability naik. De-ngan kemajuan teknologi dan medis, anak-anakyang tadinya kemungkinan mati (sebelum ada ke-majuan-Red) bisa hidup, survive. Tapi, tidak adaprogram untuk para survivor ini.

Misalnya dari 15 kelahiran, tiga mati dan 12hidup. Setelah yang 12 ini hidup, kualitas hidup-nya bagaimana? Itu yang tidak terjawab. Itu yangingin saya jawab. Itu masalah dari angka-angkaini. We have to do something. Kalau misalnya limapersen saja (bayi lahir) cacat, bisa dibayangkanIndonesia ke depan seperti apa?!

Makin muda seorang anak semakin kita takbisa mengarang apa penyakitnya. We have to ob-serve. Karena, perkembangan anak.juga tergan-tung lingkungan, ada atau tidak stimulasi.

Selain genetik, proses kehamilan dan lahir berma-salah, ada faktor lain yang membuat anak terlambatberkembang atau semakin tinggi risiko cacat?

Salah asuh. Anak itu harus diajak bicara,bermain. Stimulasi dengan bicara dan bermain.Itu belajar buat mereka. Anak yang seharusnyabisa makan sendiri, disuapi terus, bagaimanamandirinya?

Tapi, ada juga faktor infeksi di usia dini. Itubisa berpengaruh ke tumbuh kembang anak. Se-mua infeksi berisiko. Tapi, kalau sampai men ye-rang selaput otak, itu bisa vegetatif karenaotaknya tak berkembang. Kami ada pasien yangbegitu, infeksi selaput otak pada usia 17 hari danterlambatditangani.

Kalau dari semua faktor risiko itu, apa yang palingdominan?

Itu belum bisa jawab. Infeksi sekarang bisaditekan dengan imunisasi yang sudah jalan. Kasusvegetatif karena infeksi memprihatinkan karenasebenarnya lahir normal.

Kalau faktor genetik, itu anak buah saya, Lidia,bisa berkarya. Dia dulu pasien saya waktu diaumur lima tahun. Tapi, dia bisa jadi insinyur dariITB, lalu ambil degree di Inggris khusus untukmembuat alat-alat rehabilitasi.

Apa yang paling membuat Anda tertarik total ter-jun di bidang ini?

Saya dokter anak, khusus lagi. Khusus bayibaru lahir. Makanya selalu saya bilang, 'what'snext (setelah bayi lahir)?' Ini anak-anak yang sayabantu survive (dalam proses lahir), how do theysurvive? Tak pernah ada jawaban untuk itu. Inilah

mengapa saya nendirikan yayasan dan klinik iniI want to knou how they survive. Apakah intactsurvival atau tidak, bagaimana kualitas hidupnya?Itu feedback buat saya.

Dari 1984 sampai sekarang, bagaimana res ponspemerintah?

Berulang kali saya menerangkan ke pemerinta(mengenai ini), tapi tidak juga ada tindak lanjut.Kami punya test material untuk para ibu bisamenguji sendiri kemampuan anak-anaknya danhasilnya segitu. Kami buat manual what to do,stimulasi di rumah, yang bisa dilakukan ibu dankader desa. Ini bisa menurunkan kasus keterlam-batan perkembangan anak.

Tapi, anak-anak yang high risk untuk cacat kanmesti dirujuk (ke layanan kesehatan). Nah, sistemrujukan untuk anak-anak berisiko tinggi eacat initidak ada. Ini yang saya ributkan. Tidak ada infra-struktur untuk anak cacat. Sedangkan, the earlieryou intervene, the better result, dan itu kaitannyadengan the development of the brain. Ini yangdisebut golden period nol sampai tiga tahun, bisaextend sampai lima tahun, tapi beberapa bukumengatakan "six years is too late".

Saya sudah 27 tahun lakukan ini dan tak per-nah mendapat respons (pemerintah). Berapa kalisaya ketemu menteri, ada menteri datang ke sini.Saya sampaikan bahwa ini urgent, (karena) chzl-·dren can not wait. Tapi, jawabannya adalah'belum priority', priority is survival. Quality ofsurvivor is not priority, survival is priority, buthow the survivor life is not priority.

Mengapa responsnya begitu?Karena angka kematian adalah indikator status

kesehatan nasional. Sementara, berapa yang cacat,bukan indikator kesehatan nasional. Indikatornyakematian bayi dan kematian ibu, Saya kan dulu .Direktur Pusat Kerja Sama WHO yang menangarupenurunan kematian itu, sementara saya (pribadi)mendirikan (klinik) ini.Itu pun saya tidak tahu what next-nya, apa

yang akan terjadi dengan anak-anak yang bisabertahan hidup, bagaimana kualitas hidupnya.Jadi, yang kita perlukan sekarang saya p~kir begi-ni I have to create demand. Demand dari buttonup. Saya buat material deteksi dini itu untukmengukur persentase kondisi perkembangananak.

Lalu?Sekarang, ketika ditemukan anak-anak high

risk, mau diapakan nih? Mau dibawa ke sini ter-lalu jauh, terutama untuk kalangan tak mampu.Infrastruktur sama sekali belum ada (untuk anak-anak berisiko cacat ini). Misalnya, rujukan perta-ma ke Puskesmas, lalu ke RS di kabupaten/kota,dan seterusnya. Dokter yang menerimanya punmalah bertanya "harus diapain?" Mereka di pen-didikannya tidak disiapkan. (Akhirnya) tenaga ke-sehatan bilang "dah tunggu saja, nanti kalau su-dah besar juga hilang". Decission seperti itu se-ring. Padahal, sekali lagi, six years is too late dangolden period adalah nol sampai tiga tahun.

Sistem rujukan infrastruktur khusus untuk ea-cat, belum ada. Dan (infrastruktur) cacat harusbareng dengan pendidikan. Pendidikan untukanak-anak cacat ini harus bagaimana. Ini bukanhanya sekarang, tapi sejak 27 tahun lalu palingtidak. Sekarang lebih parah, ketika angka kema-tian bayi lebih rendah. -

Bagaimana seharusnya pendidikan untuk anak ea-cat? Sistem inklusi? .

Inklusi di Indonesia masih tahap awal,

Page 3: 456 7 8 9 20 21 22 oMar OApr OMei OJun OJul Ags OSep ...pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/republika...cat, belum ada. Dan (infrastruktur) cacat harus bareng dengan pendidikan.

pengertiannya saja beda-beda. Inklusi yangsesungguhnya adalah dia (anak eacat) ikut kuriku-lum biasa sekolah biasa. Tapi, di sini merekaduduk dengan ada helper, ada terapi khusus, dandisebut inklusi. Dan saya kesalnya, mereka me-nerapkan inklusi dengan harga tinggi.

Jadi, kita harus mendorong pemerintah untuk jugamembuat program lanjutan setelah keselamatan ke-lahiran?

Betul. Yang penting, bagaimana kualitas hidupanak-anak yang survive. Dengan menurunnyaangka kematian, lebih banyak anak survivebagaimana kualitas kehidupannya ? '

Apa yang harus jadi program awal pemerintah un-tuk itu?

Pertama, deteksi dini, pada golden period. Sayapernah dapat kasus berat, tapi langsung ditanganisedini mungkin, sekarang normal tuh. Selalu ada'sisa', seperti delusi atau hiperaktif, tapi setidak-nya mentalnya berkembang. .

Tentu ada peran orang tua. Kita bisa melayaniberapa orang sih. Kita tak akan bisa tanpa peranorang tua. Makanya saya sedih sekali denganbanyak kasus perceraian setelah mendapatkananak bermasalah, gara-gara saling menyalahkan.Terutama di kasus anak-anak autis.

.Yangpenting, tangani sekarang, don't wait,children. can not wait. Apalagi, golden age hanyasegitu waktunya.

Persentase 'kesembuhan' dengan penanganandini?

Tergantung penyakitnya. Kita harus realistis.Tapi, kami harapkan yang berat jadi moderatmoderat jadi ringan. '

Apa yang sering membuat penanganan anakbermasalah terlambat?

Or~g tua yang begitu tahu anaknya cacat, lalusho?p.m~. pengar ada pengobatan di sana, dengarlagi di siru, Kami kalau kerja dengan orang tua,kami tegaskan we have to go to certain perioddaripada sekadar denial (bahwa anaknyabermasalah). Kalau orang tua bisa menerima kon-disi anaknya, barulah kami bisa bekerja samadengan mereka untuk menangani anaknya. Kalaumereka tetap denial dan beritual sana-sini tanpamengobati anaknya, kami hanya bisa tunggu(karena) it is human. '

Tantangan lain?Pendidikan untuk child development sedikit

sekali. Buktinya, kami beri training, selalu penuh.

Dokter umum kan seharusnya gerbang awalmendeteksi kondisi kesehatan masyarakat. Ada per-soalan dengan kepedulian dokter?

Se~ikit sekali (yang peduli). Saya pernah buatsurvei karena dasarnya saya suka riset. Semuadokter ~pesialis dalam praktik mereka pasti seringbuat prtmary health scan. Tapi, berapa persen sihyang menguji perkembangan? Dalam praktik~ereka, r=» health scan hanya timbang, ting-gi, imumsasi, Dan, hasilnya memang sedikit sekaliyang melaukan uji perkembangan.

Padahal, ketika saya tanya berapa orang tuayang mengelu? anaknya ada masalah, jawabannyaadalah mayontas. _ ed: joko sadewo

ANNA ALISJAHBANATempat/tanggal Lahir: Jakarta, 20 Februari 1931Pendidikan

• Medical School, University Indonesia (1950-1956)

• Medical Assistant, University MunichJerman (1957-1958 ) ,

• Graduate as Medical doctor, University IndonesiaJakarta (1962) ,

• Graduate as Pediatrician, School of Medicine,Padjadjaran University, Bandung (1968).

~~i Ahnisa Auli~_ni

Surya Kanti. Nama ini d!pilih menjadi nama yaya nbukan sekadar enak didengar, melainkan nam ini :menyimpan sebuah pesan harapan. "Da~i bah a

Sanskerta," kata Anna Alisjahbana, pendiri sekaligus etuaumum yayasan. Pesan dalam nama itu adalah "dala kege-lapan masih ada seberkas cahaya harapan".

Menantu sastrawan besar Sutan Takdir Alisjahbanbukan sehari dua hari menekuni pelayanan kesehataanak berkebutuhan khusus. Bila pendirian yayasan njadia?uan ~~k~ ~etidakn~a 2! tujuh tahun sudah dia m gab-dlkan din dl bldang im, Sejek awal, yayasan didirika untukmenangani bayi dan anak yang berisij<o tinggi menja i cacat.

Rasa miris menjadi hal yang menggerakkan hati na un-t~k pan~angmenyer~h mengelola yayasannya. Sima sajakisah Riana Herllanti (10 tahun). Terlahir normal dan ibubernama Tati Juwita, otak Riana tak lagi bisa berke bangsetelah terse rang infeksi pada usia 17 hari.

Nahas, pengobatan pun telat didapatkan Riana. umahsakit besar di Kota Bandung pun tak berbuat banya ,bahkan untuk sekadar menginformasikan yayasan nna.Baru saat Riana berusia lima tahun, Tati mendapa an infor-masi tentang Yayasan Sur'ya Kanti. Tak banyak yan bisa dl-lakukan pada usia tersebut, bahkan hingga hari lnl, .

Bukan perkara ringan memutar roda operasiona yayasan.Memang areal yang kini ditempati cukup luas. Tapi kata istrialmarhum mantan rektor ITB Iskandar Alisjahbana 'ni, pem-bangunan gedung yayasan dulu adalah bantuan d i yayasanJerman. Operasional berikutnya harus dia upayak pon-tang-panting dengan mencari donatur dan mengge ar pelatih-an. Yayasan sosial seperti miliknya pun tetap har s memba-yar beragam pajak.

Belum lagi, ada komitmen moral untuk menye iakan kuo-ta 30 persen untuk melayani pasien dari kalanga tak rnarn-pu. Kalaupun ada bantuan rutin, adalah dari asosiasi wanitaJerman, dengan nominal Rp 6 juta per bulan. Unt kmelayani kuota yang juga bersubsidi silang dari pasien lain,per bulan membutuhkan dana sekitar Rp 30 juta Keuanganyayasan pun hampir selalu defisit.

Soal perhatian dan kepedulian, sepertinya me ang belumberjodoh dengan yayasan. Tak peduli berapa kali audiensi dansebaliknya dikunjungi menteri, pelayanan untuk ak berkebu-tuhan khusus belum menjadi prioritas pemerinta . Bila be-ragam penghargaan diterima Anna dari luar negeri, sebaliknyatak satu pun yang datang dari Indonesia. "Bukan saya mintapenghargaan, tapi kepedulian. Itu saja," tegas Anna.

Kesulitan menggandeng dokter spestatls adalah persoal-an lain yang terus menjadi pemikiran Anna. Gara-garanyaadalah aturan, setiap dokter spesialis hanya boleh ber- .praktik maksimal di tiga lokasi. Mungkin yayasan sosial nir-laba bukan tempat menarik menjadi pengisi "slot" lokasipraktik. Program probono semacam praktik pembela, menu-rut Anna, bisa saja dilakukan para dokter spesialis itu, tapitidak sebagai perseorangan. "Harus ada siste dari perne-nntah. Itu yang tidak ada," kata dia.

~i usia senjanya, sepertinya kegelisahan Anna tentangnasib generasi penerus tak juga surut. Apalagi, dia sudahmernbuktjkan, anak-anak berkebutuhan khusus bisa memopunyai .kontribusi besar bila ditangani dengan epat sedinirnungkin.

Salah satu stafnya, Lidia, adalah mantan pasiennya pu-luhan tahun silam, berkebutuhan khusus kare a faktorgenetik. Tapi, Lidia membuktikan, dia bisa m [adi insinyurlulusan ITB, berpenampilan ok, bisa melanju an studi keInggris dan menekuni perancangan alat bant untuk anak-anak berkebutuhan khusus. _ ed:joko sadewo

Lagi-Lagi AbsennKepedulian ...