4088950 jurnal-korupsi

download 4088950 jurnal-korupsi

If you can't read please download the document

Transcript of 4088950 jurnal-korupsi

KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA

1

KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

ABSTRAK

Bangsa Indonesia di mata dunia dianggap sebagai bangsa terkorup di Asia. Image negartif ini dilekatkan setelah anggaran dana yang seharusnya dinikmati rakyat dalam bentuk pemberdayaan sumber daya manusia maupun pembangunan fisik dikorupsi oleh para pejabatnya, sehingga tidak heran kalau para pejabat Indonesia kaya-kaya dari hasil korupsi yang dilakukan, sementara rakyatnya dalam kemiskinan. Akibat merajalelanya korupsi ini jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin terpaut jauh.Ironisnya wabah korupsi tidak lagi dilakukan secara individu dengan malu-malu dan sembunyi-sembunyi. Sekarang trend terbaru korupsi dilakukan secara berjamaah, tanpa tedeng aling-aling. Korupsi telah mengakar kuat dalam budaya bangsa yang katanya religius ini, sehingga level korupsi di Indonesia sudah termasuk korupsi sistemik.Kalau sudah demikian halnya, maka seharusnya setiap elemen warga bangsa menyatakan perang terhadap tindak korupsi ini demi menyelamatkan nama baik bangsa yang susah payah dirintis oleh para founding fathers bangsa ini dan juga untuk menyelamatkan masa depan generasi yang akan datang. Perang terhadap korupsi bisa dilakukan dengan segala upaya mulai dari reformasi birokrasi, penegakan supremasi hukum dan juga memaksimalkan peranan agama. Upaya terakhir (maksimalisasi peranan agama) menurut penulis bisa dilakukan dengan mencoba merombak doktrin-doktrin agama yang bisa dijadikan senjata untuk ikut memberantas korupsi.Penelitian ini merupakan usaha konkrit dalam rangka merealisasikan usaha tersebut. Oleh karena itu, yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep-konsep hukum Islam tentang korupsi dan bagaimana pula kontribusinya terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan digunakan teori hukum pidana Islam yaitu mengenai pembagian dan operasionalisasi jinayah atau jarimah serta penerapan sanksi-sanksinya.. Dengan menggunakan teori tersebut, penulis akhirnya berkesimpulan bahwa korupsi dalam hukum Islam bisa disamakan dengan ghulul, syariqah, khianat dan risywah. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: pertama, Memaksimalkan hukuman. Hukuman-hukuman dalam bentuk fisik perlu diwacanakan dan kalau bisa diterapkan bahkan kalau perlu sampai hukuman mati. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Hukum harus tegak dan diberlakukan adil tanpa pandang bulu termasuk kalaupun korupsi dilakukan oleh para pejabat tinggi yang memiliki power dan pengaruh yang kuat. Ketiga, Perubahan dan perbaikan sistem. Perubahan dalam sistem birokrasi pemerintahan dan sistem hukum di Indonesia harus segera dilakukan mengingat sistem yang ada sudah bobrok. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).

PENDAHULUANIndonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong merupakan negeri terkorup di Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand, Malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling korup berada pada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67; Singapura 0,5 dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai dari 0 derajat sampai 10. Kompas, 4 Maret 2004 Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country. Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp.300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi. http: / b.domaindlx.com / samil / 2004 / read news. tajuk.Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, pejabat dan birokrat di negara ini dicap sebagai tukang rampok, pemalak, pemeras, benalu, self seeking, dan rent seeker, khususnya di hadapan pengusaha baik kecil maupun besar, baik asing maupun pribumi. Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang dan Korea Selatan yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk melebarkan sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga negara. [email protected] semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang miskin semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah diperoleh, sikap konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan kepada pola produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi yang telah tersedia. http: / b.domaindlx.com / samil / 2004 / read news. tajuk. Korupsi memang sudah mengakar kuat dan masuk ke setiap lini kehidupan bangsa Indonesia, oleh karenanya segala daya dan kekuatan bangsa ini harus dicurahkan untuk memberantas penyakit kronis ini. Salah satu kekuatan yang masih tersisa menurut penulis adalah kekuatan agama, apalagi bangsa ini adalah bangsa yang religius. Mayoritas penduduknya beragama Islam yang salah satu doktrin agama tersebut adalah menentang segala bentuk pengambilan atau penguasaan hak dengan cara yang bathil. Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim maka penting dan logis kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia.Sejauh pengetahuan penulis, kata korupsi secara literer memang tidak ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Terlebih lagi kalau menelusuri konsep hukum Islam untuk ikut memberantas tindakan korupsi.Demi kepentingan penelitian ini, penulis telah melakukan survey of prior literatures yang berkaitan dengan tema penelitian ini misalnya buku berjudul Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya karya Andi Hamzah Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1984). Buku ini membahas tentang korupsi yang terjadi di Indonesia mulai dari sejarahnya, sebab-sebab, akibat sampai peraturan dan institusi pemberantasannya. Kemudian karya S.H. Alatas yang berjudul Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer S. H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1986). Buku ini merupakan buku saku mengenai korupsi, dibahas di dalamnya tentang definisi korupsi, fungsi, sebab-sebab, dan cara pencegahannya. Buku lainnya adalah Controlling Corruption buah karya Robert Klitgaard yang dialihbahasakan oleh Hermoyo dengan judul Membasmi Korupsi Robert Klitgaard, Controlling Corruption, diterjemahkan oleh Hermoyo dengan Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). Buku ini secara komprehensif menjelaskan tentang korupsi mulai dari sasaran, pengertian, penyebab sampai pada upaya-upaya atau kebijakan pemberantasannya. Hanya saja buku ini tidak secara khusus membahas korupsi di Indonesia, meski demikian buku ini tetap penting untuk dibaca. Kemudian buku karangan Lilik Mulyadi, SH. Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya menjelaskan tindak pidana korupsi sebagai salah satu bagian dari hukum pidana khusus, maka tindak pidana korupsi mempunyai kekhususan tertentu, ditinjau dari aspek hukum acara dan hukum materialnya Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000). Kemudian literatur keislaman yang berkaitan dengan masalah korupsi adalah buku yang berjudul Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam tulisan Dr. Muhammad Yusuf al-Qardawi. Dalam sub bab hubungan masyarakat, pada bagian hurmah al-amwal (melindungi harta benda) menekankan bahwa Islam membenarkan hak milik pribadi, maka Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang Muhammad Yusuf al-Qardawi, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut: Al Maktab al-Islami, 1994), hlm. 298..Adapun yang berbicara tentang suap dijelaskan di dalam buku at-Tazir fi Asy-Syariah Al-Islamiyah karya Abd Al-Azis Amir. Suap dikategorikan sebagai salah satu bentuk jarimah tazir. Dalam buku tersebut hanya mencontohkan kasus penyuapan terhadap hakim yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana supaya hukumannya diringankan. Selanjutnya al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyah al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyah, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973) hlm. 219. menyebutkan bahwa perbuatan tindak pidana yang menurut ketentuan-ketentuan syara adanya larangan yang diancam dengan hukuman had dan tazir, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai tindak pidana apabila diancamkan hukuman terhadapnya.Sebuah skripsi yang ditulis Nurul Khoiriyah Darmawati Nurul Khoiriyah Darmawati, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta, skripsi Fak. Syariah, 2004) tidak diterbitkan., berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyimpulkan bahwa korupsi digolongkan ke dalam jarimah tazir yang macam dan batasan hukumnya diserahkan kepada penguasa selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah serta dapat mewujudkan al maslahah al ammah. Di samping itu, UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.Kemudian ada buku yang sepertinya berasal dari kumpulan ceramah berjudul Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama diterbitkan oleh LP3 UMY Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M. Ag. Dkk, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama, (Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2004). Buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut menjelaskan tentang korupsi dari sudut pandang agama-agama, tetapi lebih menekankan kepada aspek moralnya saja. Dengan kata lain, pemberdayaan agama untuk menjalankan fungsinya sebagai moral force dalam rangka pemberantasan korupsi.

METODOLOGIDalam membedah korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam perspektif hukum Islam penulis menggunakan kerangka teori pembagian jinayah atau jarimah dalam hukum pidana Islam. Jinayah dalam hukum Islam merupakan tindakan yang dilarang oleh syara karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara pengertian jarimah, menurut al-Mawardi: Larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau tazir al Mawardi, Al-Ahkam, hlm. 219..Jinayah atau jarimah dalam ketentuan hukum Islam memiliki sanksi yang berupa had dan tazir. Perbedaannya had ketentuan sanksinya sudah dipastikan oleh nash sementara tazir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.Menurut Makhrus Munajat, Drs. Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm. 5. apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara dengan tujuan agar seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah perbuatan yang sangat merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dampak yang ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas terhadap moral masyarakat (al akhlak al karimah), kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pantas kalau korupsi dalam hukum positif dimasukkan sebagai extraordinary crime, kejahatan luar biasa. Setelah menyebutkan pembagian jinayah dan jarimah dalam hukum Islam penulis kemudian menelusuri tujuan-tujuan pemidanaan dalam Islam yaitu untuk menjaga hak-hak asasi manusia yang lima; jiwa, agama, akal, harta dan keturunan. Untuk mendukung teori ini penulis menggunakan pendekatan normatif dengan cara mencari norma-norma dalam hukum Islam baik berupa teks al-Quran maupun hadis Nabi yang berkaitan dengan korupsi dan pemberantasannya.Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melakukan konstruksi pemikiran dengan berpijak pada konsep umum tentang korupsi dan pemberantasannya lalu memformulasikannya dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan yang bersifat khusus, parsial dan kasuistik yakni kasus korupsi dan pemberantasannya di Indonesia. Langkah selanjutnya adalah menganalisis data-data yang terkumpul, yaitu pertama, menganalisis data-data mengenai korupsi dan pemberantasannya di Indonesia yang terkumpul sebagai dasar dalam penarikan kesimpulan. Kedua, menganalisis seperangkat postulat hukum Islam yang bisa dinisbatkan dengan korupsi untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan kasus korupsi di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASANPerspektif Hukum Islam Mengenai Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia

Islam datang untuk membebaskan dan memerangi sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik yang melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Tindak korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam, perbuatan dosa atau perbuatan salah disebut jinayah Luwis Maluf, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Fikr, 1954) ham. 88 atau jarimah Ahmad Hanafi, Asas-asa Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 2. Abd al-Qodir Awdah mendefinisikan Jinayah: Perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya Abd al-Qodir Awdah, at-Tasyri al-Jinai al-Islami, (Bairut: Dar al-Kutub, 1963), I: 67. Jadi jinayah merupakan tindakan yang dilarang oleh syara karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara mengenai pengertian jarimah, al-Mawardi mendefinisikannya: Larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau tazir al Mawardi, Al-Ahkam, hlm. 219.Jinayah atau jarimah dalam ketentuan hukum Islam memiliki sanksi yang berupa had dan tazir. Perbedaannya had ketentuan sanksinya sudah dipastikan oleh nash sementara tazir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.Menurut Makhrus Munajat, Drs. Makhrus Munajat, Dekonstruksi, hlm. 5 apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara dengan tujuan agar seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah perbuatan yang sangat merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dampak yang ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas terhadap moral masyarakat (al akhlak al karimah), kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pantas kalau korupsi dalam hukum positif dimasukkan sebagai extraordinary crime, kejahatan luar biasa. Meskipun tindak korupsi secara jelas merupakan perbuatan salah dan termasuk kategori jinayah atau jarimah namun secara jelas syara tidak menyebutkan kata korupsi dalam nash-nash baik al-Quran maupun hadis. Oleh karena itu, maka dibutuhkan ijtihad misalnya dengan menggunakan metode qiyas (analogi) untuk menemukan persamaan korupsi dalam literatur hukum Islam, melihat unsur-unsur umum-khusus jarimahnya Unsur-unsur umum jarimah meliputi 1) unsur formil, yaitu setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nash atau undang-undang yang mengaturnya. Dalam hukum positif biasanya disebut asas legalitas. 2) unsur materiil, yaitu adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam disebut ar-rukn al-madi. Dan 3) unsur moril, yaitu pelaku jarimah adalah orang yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam hukum pidanan Islam unsur ini disebut ar-ruknu al-adabi. Sementara unsur khusus adalah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah yang lainnya. Baca Abd Qadir Awdah, at-Tasyri, I: 121, Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah Wa al Jamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968) hlm. 48, dan Ahmad Hanafi, Asas-asashlm. 36., dan menentukan sanksinya.Sejauh penelitian penulis, kata korupsi secara literer memang tidak ditemukan dalam khasanah Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa dicari dan ditelusuri dalam Islam. Tindakan korupsi bisa dianalogikan dengan Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan risywah, untuk lebih jelsnya akan kami uraikan satu demi satu berikut ini:Pertama Ghulul. Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanah hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi. (H. R. Abu Daud). Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nailu al-Authar, Juz VIII., (Kairo Dar al-Hadits, t.t.), hlm. 278.

Jadi semua komisi atau hadiah yang diterima seorang petugas atau pejabat dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya. Misalnya seorang staf sebuah kantor pemerintahan dalam pembelian inventaris kantornya dia mendapat discount dari si penjual, maka discount tersebut bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik kantor. Contoh lainnya yang sering terjadi adalah seorang pejabat menerima hadiah dari calon tender supaya calon tender yang memberi hadiah tersebut yang mendapat tender tersebut. Hal inilah yang terjadi pada anggota KPU.Ghulul juga adalah pencurian dana (harta kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial Syekh Muhammad al-Hamid, Rudud ala Abathil, Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 1997), hlm. 126.. Contohnya adalah kasus pencurian Farid Faqih cs. (terlepas benar tidaknya) terhadap barang-barang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban bencana alam berupa gempa dan tsunami di Aceh. Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif misalnya mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut.Kedua sariqah (pencurian). Menurut Syarbini al-Khatib yang disebut pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk memiliki yang dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Mesir: dar al-Bab al-halabi wa Awladuhu, 1958), hlm. 158. Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang. Muhammad Yusuf al-Qardawi, Al-Halal, hlm. 298. Orang yang melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang yang beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: Pencuri tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman Ibn Hajar al-Asqolani, Fathu al-Bari, Juz 12, (ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth.) hlm. 81.Pencurian uang negara juga tidak boleh karena uang tersebut adalah untuk kesejahteraan umum di mana umat Islam bisa mengambil manfaat darinya. Dalam konteks Indonesia, umat Islam-lah yang paling banyak akan memanfaatkan uang tersebut karena mereka adalah mayoritas. Namun demikian umat non-Muslim juga berhak memanfaatkan uang negara tersebut karena Islam menyuruh supaya memenuhi hak-hak mereka secara sempurna dan tidak dikurangi dan supaya hidup damai berdampingan dengan mereka dan saling menjaga jiwa dan harta mereka. Syekh Muhammad al-Hamid, Rudud ala Abathil, hlm. 126.Yang paling ironis apabila pencurian yang dilakukan oleh petugas atau pejabat yang berwenang untuk mengurus uang atau kekayaan negara. Oleh karena itu, menurut hukum Islam petugas atau pejabat yang bertugas mengurus uang tersebut apabila melakukan pencurian dia berdosa dan kesalahannya jauh lebih besar dan lebih banyak dan ia termasuk golongan orang yang berkhianat, karena menjaga amanat termasuk kewajiban Islam dan khianat dilarang secara mutlak. Ketiga Khianat. Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat khianat adalah salah satu sifat orang munafiq sebagaimana sabda Rasulullah SAW. bahwa tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberi amanah berkhianat.Oleh karena itu, Allah SWT. sangat membenci dan melarang khianat. Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Al-Anfal 8: 27.

Menurut ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah muamalah. Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 913. Jarimah khianat terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis dan harganya sedikit maupun banyak. Ahmad Abu al-Rus, Jaraim al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa al-Syaik Bi Duuni Rasiid, (Iskandariyah, al-Maktabah al-Jamii al-Hadits, 1997), hlm. 580.Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka dikhianati, Rasulullah melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan pula. Sabda beliau:Sampaikan amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu (H. R. Ahmad dan Abu Daud) CD-ROM Mausuah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-Hasib, 1991.

Ketiga risywah. Secara harfiyah, suap (risywah) berarti batu bulat yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun. Muhammad Al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz II, (Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964), hlm. 1. Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahim an-Nakhai suap adalah Suatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mendefinisikan suap dengan Memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan maslahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uag tip. Abu Abdul Halim Ahmad. S., Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), hlm. 20-21. Sedangkan menurut terminologi fiqh, suap adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia mengikuti kemauannya. Muhammad Amin Ibn Abidin, Rad al Mikhtar Ala al Dar al Mukhtar Hashiyat Ibn Abidin, juz VII, (Beirut: Dar al Ihya, 1987), hlm. 5.Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah SWT.:Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Al-Maidah: 5: 42.

Baik yang menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW. sebagai bentuk ketidaksukaan beliau terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah SAW. bersabda:Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap. CD-ROM Mausuah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-Hasib, 1991. lihat juga di kitab Shohih Ibn Hibban hlm. 457.Riwayat yang lain, at-Tabrani dalam Al-Kabir-nya dari Tsaubah r.a. berkata: Abu al-Qasim Sulayman ibn Ahmad at-Tabrani, al-Mujam al-Kabir, editor: Hamdi Abd al-Majid al-Salafi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1985) Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap dan si perantara. Artinya orang yang menjadi perantara suap bagi keduanya.

Suap dengan segala bentuknya haram hukumnya. Di antara bentuk suap adalah hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah. Bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait perkara atau urusan, telah membiasakan saling memberi hadiah jauh sebelum menjadi pejabat, namun setelah menduduki jabatan terjadi peningkatan volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya. Muhammad Amin Ibn Abidin, Rad al Mikhtar, juz IV, hlm. 34. Seorang pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya. Ibid., Juz V, hlm. 373.Umar bin Abdul Aziz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi hadiah kemudian berkata: Rasulullah pernah menerima hadiah. Lalu Umar menjawab: hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah risywah (suap). Muhammad Yusuf al-Qardawi, Al-Halal, hlm. 230. Pokoknya setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan haram hukumnya karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah. Seorang pejabat diperbolehkan menerima hadiah dengan catatan si pemberi hadiah bukan orang yang sedang terkait perkara dan urusan dengannya. Jika seseorang kehilangan haknya dan dia hanya bisa mendapatkan hak tersebut dengan cara menyogok atau seseorang tertindas, ia tidak mampu menolaknya kecuali dengan menyogok, maka lebih baik ia bersabar sampai Allah memudahkan baginya kepada jalan terbaik untuk menghilangkan ketertindasan tersebut dan bisa memperoleh haknya. Tetapi apabila tetap menggunakan sogok dalam kondisi seperti itu, maka dosanya ditanggung orang yang menerima sogok sedangkan orang yang menyogok tidak berdosa. Para ulama sebagian besar mendasarkan pendapat tersebut kepada hadits orang-orang yang menjilat yang meminta zakat kepada Nabi kemudian Nabi memberi kepada mereka padahal mereka tidak berhak. Diriwayatkan dari Umar, Nabi bersabda: Apabila salah satu di antara kamu mengeluarkan zakat dari sisiku dengan cara mengempitnyamembawa zakat tersebut di bawah ketiaknyasesungguhnya zakat itu baginya adalah api! Wahai Rasulullah bagaimana anda memberikan kepadanya padahal anda tahu bahwa zakat itu baginya adalah api? Rasulullah mejawab: apa yang harus aku lakukan? Mereka menolak kecuali masalahku dan Allah menolak kekikiran untukku. CD-ROM Mausuah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-Hasib, 1991.

Dengan demikian, kalau konsep-konsep tersebut di atas dikontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia maka bisa diklasifikasikan menjadi empat macam. Pertama, apabila korupsi uang negara dilakukan oleh pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul. Contohnya bisa kita lihat dalam kasus korupsi dana haji, BLBI, kasus-kasus korupsi anggota DPR/DPRD, kemudian yang masih hangat (ketika penelitian ini dilakukan) penyalahgunaan wewenang anggota KPU dalam masalah tender proyek PEMILU 2004 yang lalu dan kasus-kasus lainnya. Kedua, apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan pencurian dan ghulul. Bentuk seperti ini bisa kita lihat misalnya pada kasus illegal logging yang telah merugikan uang negara trilliunan rupiah, kasus pencurian Farid Faqih cs. terhadap barang-barang bantuan kemanusiaan untuk korban gempa dan tsunami di Aceh dan lain sebagainya. Ketiga, apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau barang dan dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan ghulul dan pengkhianatan. Bentuk korupsi seperti ini biasanya sangat mungkin terjadi pada dana-dana bantuan kemanusiaan yang seharusnya disalurkan kepada korban bencana. Masih segar dalam ingatan kita kasus Akbar Tanjung yang telah menyelewengkan uang negara sebesar 40 miliar yang seyogyanya dana tersebut untuk bantuan terhadap rakyat yang sedang tertimpa krisis moneter. Dana tersebut malah diselewengkan untuk membiayai partainya pada Pemilu 1999 yang lalu. Keempat, apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery) kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka kedua hal tersebut termasuk kategori risywah. Hal yang semacam ini yang menimpa anggota KPU, Mulyana W Kusumah dan juga pengacara Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh dalam kasus mark up pembelian helikopter untuk operasional PEMDA Nangroe Aceh Darussalam. Dengan mengetahui kategorisasi dan persamaan korupsi dalam terma Islam atau hukum Islam kita bisa menentukan sanksi-sanksinya. Semisal kalau korupsi kita kategorikan pencurian, al-Quran secara jelas telah menjelaskan sanksinya yaitu potong tangan meskipun menurut Syahrur teks tersebut mengandung pengertian hukuman dalam batas maksimal Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Quran: Qiraah Muashirah, Damaskus: al-Ahali li at-Tabaah wa an-Nashr wa at-tawzi, 1990, hlm. 455. Tapi bukankah tindakan korupsi juga mengandung unsur pemberatan dengan melihat dampak yang ditimbulkannya. Dalam KUHP Indonesia disebutkan bahwa penyalahgunaan jabatan dan penggunaan atribut kebangsaan ketika melakukan tindak pidana sanksinya bisa ditambah sepertiga. KUHP pasal 52 menyatakan: Bilamana seorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. Kemudian pasal 52a menyatakan: Bilamana pada waktu melakukan kejahatan, digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga.Menurut penulis, untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dari sudut pandang hukum Islam paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan. Empat usaha tersebut adalah: pertama, memaksimalkan hukuman. Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena termasuk jarimah tazir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dengan tetap mengacu kepada tujuan syara dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain. Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi, hlm. 976. Hakim juga bisa merujuk atau menjadikan bahan pertimbangan bentuk-bentuk sanksi mengenai korupsi yang ada dalam hukum Islam. Misalnya kalau penyalahgunaan wewenang atau jabatan (ghulul) sanksinya adalah membakar hartanya, memukul dan atau mengarak keliling pelakunya bahkan bisa sampai hukuman mati. Kedua, Penegakan Supremasi hukum. Untuk memberantas korupsi di Indonesia hukum harus tegak, lembaga peradilan harus amanah dan bebas dari segala intervensi siapapun, sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, lembaga peradilan harus memberikan jaminan rasa adil bagi setiap warga tanpa pandang bulu.Ketiga, Perubahan dan Perbaikan Sistem. Pemberantasan korupsi sangat erat kaitannya dengan sistem birokrasi yang jelimet di Indonesia dan sistem hukum, oleh karena itu keduanya harus segera dibenahi.Keempat, Revolusi kebudayaan (mental). Untuk memberantas tindakan korupsi tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan revolusi kebudayaan, yakni dengan mengubah secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata perilaku sebagai akar budaya politiknya.

KESIMPULAN

Sebagai hasil dari penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut:Konsepsi hukum Islam tentang korupsi khususnya di Indonesia paling tidak ada empat, yaitu ghulul (penyalahgunaan wewenang), sariqah (pencurian atau penggelapan), khianat, dan risywah (suap atau sogok).Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul. Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan pencurian dan ghulul. Kemudian apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau barang dan dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan ghulul dan pengkhianatan. Terakhir apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery) kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka kedua hal tersebut termasuk kategori risywah. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: pertama, Memaksimalkan hukuman. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Ketiga, Perubahan dan Perbaikan Sistem. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).

DAFTAR PUSTAKAAhmad. S., Abu Abdul Halim, Suap Dampak Dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.al Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973al-Asqolani, Ibn Hajar, Fathu al-Bari, Juz 12, ttp., al-Maktabah al-Salafi, tth.Alatas, Syed Hussein, Corruption and Destiny of Asia, Simon and Schuster, Malaysia, 1999. al-Azhari, Muhammad, Tahdzib al-Lughah, juz II, Kairo: Dar al-Qawmiyyah, 1964.al-Hamid, Syekh Muhammad, Rudud ala Abathil, Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 1997.al-Khatib, Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Mesir: dar al-Bab al-halabi wa Awladuhu, 1958. Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Bab al-halabi, 1973.al-Qardawi, Muhammad Yusuf, Al-Halal wa al-Haram,ttp: Dar Ihya al Kitab al-Arabiyah, tt.al-Rus, Ahmad Abu, Jaraim al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khianat al-Amanah wa al-Syaik Bi Duuni Rasiid, Iskandariyah, al-Maktabah al-Jamii al-Hadits, 1997.al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Nailu al-Authar, Juz VIII., Kairo Dar al-Hadits, t.t. at-Tabrani, Abu al-Qasim Sulayman ibn Ahmad, al-Mujam al-Kabir, editor: Hamdi Abd al-Majid al-Salafi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1985Awdah, Abd al-Qodir, at-Tasyri al-Jinai al-Islami, juz I, Bairut: Dar al-Kutub, 1963CD-ROM Mausuah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Libarmij al-Hasib, 1991.Dahlan, Abd. Azis (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.Darmawati, Nurul Khoiriyah, Tinjauan Hukum Islam terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta, skripsi Fak. Syariah, 2004. Skripsi tidak diterbitkan.Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1984Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967http: / b.domaindlx.com / samil / 2004 / read news. tajuk.http: //www.hizbut.tahrir.or.id/modules.php.Ibn Abidin, Muhammad Amin, Rad al Mikhtar Ala al Dar al Mukhtar Hashiyat Ibn Abidin, juz VII, Beirut: Dar al Ihya, 1987.Ilyas, H. Yunahar, Dkk, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2004Klitgaard, Robert, Controlling Corruption, diterjemahkan oleh Hermoyo dengan Membasmi Korupsi, Cet. 2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.Kompas, 4 Maret 2004Maluf, Luwis, al-Munjid, Bairut: Dar al-Fikr, 1954Moeljatno, Prof., SH., KUHP, cet. ke-20, Jakarta: Bumi Aksara, 1999Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, [email protected], Muhammad, Al-Kitab Wa Al-Quran: Qiraah Muashirah, Damaskus: al-Ahali li at-Tabaah wa an-Nashr wa at-tawzi, 1990