36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari...

15
36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Ida Susanti Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Telpon: (022) 2033097 ext. 120333; Fax: (022) 201110 Mobile phone: 0858 4686 9885 E-mail: [email protected]; [email protected] Abstrak: Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia dewasa ini telahsangat jelas diatur baik di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Walau demikian, data dari Kemen- terian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi menunjukkan bahwa dalam penegakannya, perundang-undangan tersebut ternyata masih banyak dilanggar. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa masalah-masalah yang terjadi dalam penyele- saian perselisihan hubungan industrial di Indonesia sehingga dapat ditemukan jalan keluar yang lebih baik dalam mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Melalui studi lapangan yang telah dilakukan, para responden telah menyatakan bahwa jangka waktu penyelesaian, hubungan antar institusi dan eksekusi merupakan hal yang paling banyak bermasalah. Sebagai contoh, jangka waktu maksimal penyelesaian sengketa baik melalui Pengadilan Hubungan Industrial maupun melalui mekanisme lainnya seperti mekanisme bipartit dan mediasi sangat banyak yang melanggar ketentuan yang berlaku. Selanjutnya, proses penegakan putusan yang sudah bersifat final dan mengikat melalui eksekusi juga banyak mengalami kesulitan. Dari berbagai sumber informasi dari penelitian lapangan yang sebelumnya telah kami lakukan, telah ditemukan bahwa masalah utama dari pelanggaran dan kesulitan yang terjadi tersebut adalah karena adanya keterlibatan dari berbagai organisasi seperti Dinas Ketenaga- kerjaan, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Umum dan Juru Sita Pengadilan di dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Di samping itu, penyelesaian perselisihan hubungan industrial juga diselesaikan dengan menggunakan Hukum Acara Perdata, walaupun pada dasarnya ada karakter yang berbeda di dalam Hubungan Industrial dengan Hubungan Keperdataan semata. Dapat disimpulkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 perlu dikaji ulang, ter- utama terkait dengan keterlibatan dari berbagai lembaga dalam penyelesaian perkara, yang menyebabkan proses penyelesaiannya menjadi time consuming dan eksekusi putusannya menjadi sulit dan mahal. Pada akhir tulisan, penulis mengusulkan berbagai saran perbaikan untuk membangun sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih memerhatikan konsistensinya dengan berbagai aturan yang lain dan lebih mengantisipasi kebutuhan para pihak yang bersengketa, dengan menggunakan hukum acara yang lebih kontekstual untuk masalah perselisihan hubungan industrial. Kata kunci: Hubungan; Industrial; Penyelelesaian; Perselisihan. Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 393/432

Transcript of 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari...

Page 1: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Ida Susanti Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan

Jl. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141

Telpon: (022) 2033097 ext. 120333; Fax: (022) 201110

Mobile phone: 0858 4686 9885

E-mail: [email protected]; [email protected]

Abstrak: Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia dewasa ini telahsangat jelas diatur baik di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan maupun di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Walau demikian, data dari Kemen-

terian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi menunjukkan bahwa dalam penegakannya, perundang-undangan tersebut ternyata masih banyak dilanggar.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa masalah-masalah yang terjadi dalam penyele-saian perselisihan hubungan industrial di Indonesia sehingga dapat ditemukan jalan keluar yang lebih baik dalam mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut.

Melalui studi lapangan yang telah dilakukan, para responden telah menyatakan bahwa

jangka waktu penyelesaian, hubungan antar institusi dan eksekusi merupakan hal yang

paling banyak bermasalah. Sebagai contoh, jangka waktu maksimal penyelesaian

sengketa baik melalui Pengadilan Hubungan Industrial maupun melalui mekanisme

lainnya seperti mekanisme bipartit dan mediasi sangat banyak yang melanggar

ketentuan yang berlaku. Selanjutnya, proses penegakan putusan yang sudah bersifat

final dan mengikat melalui eksekusi juga banyak mengalami kesulitan. Dari berbagai

sumber informasi dari penelitian lapangan yang sebelumnya telah kami lakukan, telah

ditemukan bahwa masalah utama dari pelanggaran dan kesulitan yang terjadi tersebut

adalah karena adanya keterlibatan dari berbagai organisasi seperti Dinas Ketenaga-

kerjaan, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Umum dan Juru Sita Pengadilan

di dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Di samping itu, penyelesaian

perselisihan hubungan industrial juga diselesaikan dengan menggunakan Hukum

Acara Perdata, walaupun pada dasarnya ada karakter yang berbeda di dalam Hubungan Industrial dengan Hubungan Keperdataan semata.

Dapat disimpulkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 perlu dikaji ulang, ter-utama terkait dengan keterlibatan dari berbagai lembaga dalam penyelesaian perkara, yang menyebabkan proses penyelesaiannya menjadi time consuming dan eksekusi putusannya menjadi sulit dan mahal.

Pada akhir tulisan, penulis mengusulkan berbagai saran perbaikan untuk membangun

sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih memerhatikan konsistensinya dengan berbagai aturan yang lain dan lebih mengantisipasi kebutuhan

para pihak yang bersengketa, dengan menggunakan hukum acara yang lebih kontekstual untuk masalah perselisihan hubungan industrial.

Kata kunci: Hubungan; Industrial; Penyelelesaian; Perselisihan.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 393/432

Page 2: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

PENDAHULUAN

Indonesia telah mengatur prosedur dan mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan

hubungan industrial melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI). Dalam upaya untuk menciptakan hubungan

industrial yang harmonis, perlu dibangun metode penyelesaian sengketa hubungan industrial

yang baik dan operasional. Sekalipun UUPPHI telah dibuat lebih dari satu dekade, namun di

lapangan ada banyak komplain terkait kelemahan dari peraturan tersebut. Tulisan ini akan

menelusuri pelaksanaan dan penegakan dari UUPPHI di Indonesia, terutama terkait

kelemahan dan kesulitan dalam melaksanakan peraturan tersebut.

Hubungan industrial memiliki karakter yang bercampur antara privat dan publik.

Eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dicapai melalui mekanisme bipartit, mediasi atau

konsiliasi merupakan hasil kesepakatan yang bersifat privat, sementara putusan Pengadilan

Hubungan Industrial lebih bersifat publik (karena telah melibatkan pejabat pengadilan dalam

proses penyelesaiannya). Percampuran karakter itu mengharuskan adanya sistem penyelesaian

perselisihan yang bukan mengandalkan pada sistem yang sudah ada, contohnya dengan

menggunakan prosedur dalam Hukum Acara Perdata, dengan memisahkan secara tegas kasus

di dalam hubungan industrial yang bersifat perdata atau bersifat pidana. Untuk kepentingan

tersebut, perlu ada pembangunan sistem penyelesaian perkara hubungan industrial yang lebih

terintegrasi.

METODE

Untuk menjabarkan kajian terhadap masalah termaksud, tim peneliti telah melakukan

pengambilan data dan/atau wawancara kepada perwakilan dari serikat pekerja, i.e. Konfe-

derasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia

Konsiliasi, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja

Indonesia; perwakilan pengusaha, yaitu dengan Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa

Barat, Asosiasi Pengusaha Indonesia Pusat dan Provinsi Jawa Barat; dan perwakilan dari

Pemerintah yang mencakup Kementerian Ketenagakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan dan

Transmigrasi, Bagian Pembinaan Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Provinsi DKI Jakarta, Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja Jawa Tengah.1

Tulisan ini hanya memberikan gambaran singkat untuk masalah paling mendasar yang

perlu dimuat di dalam perubahan kebijakan terkait penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan tidak dapat memotret hasil penelitian secara menyeluruh. Fokus dari masalah

yang akan dibahas di dalam tulisan ini akan mencakup:

Kelemahan mekanisme bipartit dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial;

Ketidakpatuhan para pihak terhadap jangka waktu penyelesaian sengketa;

Penggunaan kekuatan (power) untuk mempengaruhi jalannya penyelesaian perseli-sihan hubungan industrial;

Inkonsistensi hukum antara UUPPHI dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

1 Dalam tulisan ini tidak dijabarkan secara terinci metode penelitian yang dipergunakan oleh penulis. Hal tersebut tersedia

pada laporan penelitian yang lengkap, yaitu: “Study on Industrial Relations Dispute Settlement in Indonesia, Part B: Studyof Implementation of Industrial Relations Dispute Settlement”.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 394/432

Page 3: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial diantara pihak yang sama, yang melibatkan perselisihan dalam kategori yang berbeda;

Beban pembuktian di dalam sengketa hubungan industrial; dan

Kesulitan dalam mengeksekusi Perjanjian Bersama atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selanjutnya, tulisan ini tidak akan lagi menjabarkan informasi dasar tentang PPHI, seperti jenis-jenis perselisihan hubungan industrial dan mekanisme penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yang ada saat ini. Oleh karena itu, pembaca tulisan ini harus mencari informasi terkait hal-hal tersebut di dalam peraturan atau tulisan lain yang sesuai.

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Penyelesaian Perkara melalui Mekanisme Bipartit

Sebelum para pihak yang terlibat di dalam perselisihan hubungan industrial menye-lesaikan sengketa mereka dengan melibatkan pihak ketiga, mereka harus menyelesaikan

perselisihan mereka melalui mekanisme bipartit.2 Bila melalui mekanisme tersebut para pihak

tidak dapat mencapai kesepakatan, maka mereka selanjutnya akan menyelesaikannya dengan melibatkan pihak ketiga. Sebaliknya, bila kesepakatan dapat tercapai, maka mereka harus merumuskannya dalam sebuah Perjanjian Bersama, yang kemudian akan memiliki kekuatan

mengikat bagi para pihak.3 FSPMI, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)

dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia di Jawa Barat telah menyatakan bahwa dalam kenyataannya terdapat metode penyelesaian perselisihan yang sesuai untuk jenis perselisihan hubungan industrial tertentu, tergambar dalam Figur berikut:

Figur I:

JENIS PERSELISIHAN & MEKANISME PENYELESAIAN YANG SESUAI

•Mekanisme •Mekanisme Bipartit Bipartit

Perselisihan Perselisihan Hak Kepentingan

Perselisihan

Perselisihan Antar Setikat

Pekerja dalam

PHK

satu

Perushaan

•Pengadilan •Belum ter-

PHI identifikasi*)

Sumber: Wawancara dengan APINDO, KSPI, KSPSI, KSBSI and KSPSI Rekonsiliasi.4

2

3

4

Pasal 136 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hasil wawancara dapat disediakan berdasarkan permintaan.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 395/432

Page 4: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

*) Seluruh responden menyatakan bahwa mereka belum pernah terlihat di dalam perselisihan antar

serikat pekerja di dalam perusahaan yang sama. Oleh karena itu, mereka tidak dapat mengidentifi-kasikan mekanisme penyelesaian perselisihan sengketa apa yang sesuai untuk jenis perselisihan ini.

Lebih lanjut, mekanisme bipartit berdasarkan Pasal 1 butir 10 UUPPHI juga tidak di-tujukan untuk menyelesaian perselisihan antar serikat pekerja, mengingat perselisihan ini tidak melibatkan pengusaha atau pemberi kerja.

Salah satu wilayah yang menjadi wilayah penelitian ini adalah Jawa Tengah. Di

wilayah ini, dilaporkan data terkait jenis sektor usaha yang terlibat dalam perselisihan hubungan industrial, dan jenis mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang

diterapkan dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak:

Figur II: JUMLAH PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TAHUN 2016-2017*)

DIKELOMPOKKAN BERDASARKAN SEKTOR KERJA DI PROVINSI JAWA

TENGAH

Sektor Kerja

Jenis Perselisihan

Hak Kepentingan PHK Antar SP

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017

1. Industri 48 12 - - 26 6 - -

2. Hotel 1 - - - 1 1 - -

3. Telekomunikasi – Percetakan - 3 1 1 - 1 - -

– Media

4. LSM - 1 - - - - - -

5. Keuangan 6 1 - - 2 - - -

6. Pendidikan - - - - 1 - - -

7. Pertanian 1 - - - - - - -

8. Energi 1 - 4 - 1 - - -

9. Transportasi - - - - 2 - - -

TOTAL 57 17 5 1 33 8 0 0

*) Data hingga Mei 2017.

Sumber: Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja – BP3TK Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan figur di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mayoritas perselisihan hubungan industrial terjadi di sektor industri. Lebih lanjut, data terkait mekanisme yang diper-gunakan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dapat digambarkan sebagai berikut:

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 396/432

Page 5: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Figur III:

JENIS MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA

PADA TAHUN 2016-2017*)

55

27

22

3 2 2 0 4 6 0

MEDIATION IN BIPARTITE MEDIATION CONSULTATION RESEND TO THE

PROGRESS MECHANISM MANPOWER BUREAU

2016 2017

*) Hingga Mei 2017.

Sumber: Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja – BP3TK Provinsi Jawa Tengah.

Data tersebut sejalan dengan hasil wawancara dengan seluruh responden, yang menye-

pakati bahwa mekanisme bipartit adalah mekanisme terbaik dan menguntungkan bagi pekerja maupun pengusaha. Walau demikian, seluruh responden serikat pekerja menyatakan bahwa

bila konflik yang dihadapi adalah perselisihan PHK, maka mekanisme yang paling tepat adalah melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Masalah yang Ditemukan dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Dalam penerapan UUPPHI, ternyata masih banyak permasalahan yang muncul di lapangan. Beberapa masalah yang dikemukakan oleh responden dapat dijabarkan sebagai berikut:

Ketidakpatuhan terhadap Jangka Waktu Penyelesaian

Masalah: KSBSI dan KSPSI Jawa Barat menyatakan bahwa di banyak kasus, dalamperselisihan hubungan industrial, majikan tidak memberikan respon yang positif bila diajak untuk menegosiasikan perselisihan mereka. Pengusaha sering tidak menghadiri undangan negosiasi yang telah terjadwal, mereka sering mengabaikan adanya perselisihan hubungan industrial diantara mereka, sehingga tidak merasakan perlu diadakannya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Padahal, sebagaimana kita sadari, penyelesaian

melalui negosiasi bipartit memiliki jangka waktu maksimal hanya 30 (tiga puluh) hari kerja.5

Oleh karena itu, di lapangan jangka waktu maksimum dari negosiasi seringkali dilampaui dan penyelesaiannya membutuhkan waktu yang kadang kala jauh lebih lama daripada yang

5 Hasil wawancara dapat disediakan berdasarkan permintaan.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 397/432

Page 6: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

seharusnya. Hal ini yang menyebabkan KSPI, KSPSI, KSBSI, KSPSI Rekonsiliasi, APINDO,

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Jakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum Bandung, berpendapat bahwa pada akhirnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini

sangat memakan waktu.

Solusi: Kelemahan dari ketaatan pada jangka waktu dalam mekanisme bipartit sangatsulit untuk dikoreksi. Sekalipun dengan tegas dinyatakan bahwa jangka waktu dari

mekanisme bipartit adalah maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja,6 namun tidak ada sanksi

hukum yang diterapkan terhadap pelanggaran jangka waktu tersebut. Selain itu, karena sifat dari negosiasi bipartit ini sangat tergantung pada kehendak dari para pihak, maka untuk mempersingkat jangka waktu penyelesaian sengketa, penulis mengusulkan perbaikan di bidang penyelesaian sengketa melalui Pengadilan. Hal yang dapat dilakukan untuk mempersingkat jangka waktu penyelesaian sengketa salah satunya melalui prosedur gugatan ringan (small claim procedure). Di berbagai negara, biasanya prosedur ini digunakan untuk

gugatan konsumen dan bisnis yang bernilai kecil dan tidak melibatkan penasihat hukum.7

Prosedur ini dapat menjadi alternatif, dan menjadi prosedur yang putusannya langsung bersifat final and binding. Walau demikian, kita harus memiliki ukuran yang jelas untuk dapat menentukan suatu gugatan dapat masuk ke dalam kategori ini, contohnya:

a. Gugatannya harus gugatan individual (tidak melibatkan serikat pekerja);

b. Gugatan tersebut berkaitan dengan perselisihan hak atau perselisihan PHK;

c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari nilai upah);

d. Pembuktian dapat dilakukan hanya menggunakan dokumen hukum saja, yang

harus telah diserahkan bersama-sama dengan dokumen gugatan.

Karena pembatasan kasus dari kualifikasi ini, seharusnya jangka waktu maksimal penyelesaian sengketa maksimal adalah 30 (tiga puluh) hari kerja, dan diselesaikan oleh satu orang Hakim Karir dari Pengadilan Negeri.

Penggunaan Kekuatan (Power) oleh Pekerja dan Pengusaha

Masalah: APINDO Jawa Barat telah mengkritik keterlibatan dari mobilisasi

kekuatanoleh serikat pekerja yang sedang terlibat dalam sidang di Pengadilan Hubungan

Industrial (PHI). KSPI juga telah mengkonfirmasi adanya tradisi menggerakkan anggotanya

ke pengadilan, bila sedang ada penyelesaian perkara di pengadilan. Pada umumnya serikat

pekerja menggerakkan anggotanya dalam mengawal proses litigasi, karena mereka berharap

untuk mendapatkan peradilan yang objektif. KSPI beranggapan bawa pengusaha memiliki

kedudukan sosial ekonomis yang lebih tinggi daripada pekerja. Oleh karena itu, kehadiran

dari massa pekerja di pengadilan diharapkan dapat memberi daya tekan dan menjadi

penyeimbang. Cara berpikir tersebut menggambarkan bahwa pekerja dan pengusaha masih

memiliki sikap bahwa dalam hubungan industrial para pihak adalah pihak yang berseberangan

dan memiliki kepentingan yang berbeda. Sikap ini akan membuat pekerja dan pengusaha sulit

untuk berada dalam hubungan industrial yang harmonis.

6

7

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sistem prosedur gugatan ringan banyak dipergunakan di berbagai sistem hukum. Sebagai contoh, kita dapat melihat penerapan prosedur ini di Irlandia Utara, dalam Small Claims Procedure Rules, 1997 & 1999 yang telah diamandemen oleh Statutory Instrument No. 519 of 2009, Order 53A.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 398/432

Page 7: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Solusi: Harus dibuat pendidikan dan ketrampilan tentang ketrampilan negosiasi

dibidang hubungan industrial bagi pekerja dan pengusaha. Dalam program pendidikan

tersebut harus diajarkan pemahaman dan cara menemukan kepentingan bersama (common

interests) dari pekerja dan pengusaha, sehingga mereka akan lebih mudah bekerja sama

menemukan target bersama mereka. Dengan adanya kepentingan dan target bersama tersebut

yang ditemukan pada saat para pihak berselisih, mereka akan lebih mudah untuk berunding

dan memperjuangkan kepentingan sersama tersebut. Selain itu, pendidikan sikap mental yang

membangun rasa saling percaya dan bersama mencari solusi yang saling menguntungkan

terhadap sengketa yang sedang dihadapi menjadi sangat penting, guna menjamin tercapainya

hubungan industrial yang harmonis.

Ketidakoptimalan Penyelesaian Perselisihan melalui Mediasi dan Pengadilan

Masalah: Semua pihak yang gagal untuk menyelesaikan perselisihan

hubunganindustrialnya melalui mekanisme bipartit dapat memilih mediasi atau konsiliasi atau arbitrase untuk menyelesaikan kasusnya, dengan memerhatikan batasan yang ada dalam

perundang-undangan. Namun demikian, pada kenyataannya konsiliasi dan arbitrase adalah mekanisme yang nyaris tidak pernah dipergunakan oleh pihak yang bersengketa.

Figur IV: CAPAIAN TARGET PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDONESIA

TAHUN 2015 - 2016

Sumber: Direktorat Jenderal Pengawasan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial.

Dari data tersebut, tergambar bahwa dari segi kuantitas penyelesaian perselisihan

hubungan industrial melalui mediasi telah dilaksanakan dengan cukup berhasil, walaupun di

lapangan terdapat keluhan berkaitan dengan kualitas mediasi yang dilakukan oleh mediator.

Tiadanya standar pelayanan untuk memediasi perselisihan dan adanya sikap superior dari

mediator telah disinyalir oleh responden dari KSPI dan KSPI Rekonsiliasi sebagai penyebab

dari rendahnya kualitas proses mediasi yang dilakukan oleh mediator di Jakarta. Mereka

sering menerima Serikat Pekerja yang bersengketa untuk berkonsultasi di tempat yang tidak

seharusnya, contohnya di kantin sambil makan siang. Bahkan KSPI juga menyatakan bahwa

kinerja dari mediator juga seadanya. Ditambah dengan kesadaran bahwa pada dasarnya

setelah melalui mediasi, mereka masih dapat menyelesaikan perkara melalui PHI, hal ini

menyebabkan proses mediasi sering kali tidak berjalan secara optimal.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 399/432

Page 8: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Berdasarkan data pada tahun 2017 (hingga bulan April), tidak ada perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan melalui kedua mekanisme tersebut, sebagaimana tergambar di dalam figur berikut:

Figur V:

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

di Indonesia

Januari - April 2017

250

200

209

150

100

50

29

0 0 1

0

Bipartite Mediation Conciliation Arbitration In progress

Mechanism

Column1 209 29 0 0 1

Sumber: Direktorat Jeneral Pengawasan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial.

Berdasarkan pandangan APINDO cabang Jawa Barat dan seluruh responden dari

Serikat Pekerja, arbitrase dan konsiliasi tidak dipergunakan, karena di satu sisi para pihak

sudah familiar dengan mediasi dan sudah mengenal mediator di wilayahnya, dan di sisi lain

karenapenyelesaian melalui mediasi adalah cuma-cuma, sementara para pihak harus mem-

bayar biaya acara, bila mereka melakukan penyelesaian melalui arbitrase. Hal ini tentulah

membebani Serikat Pekerja atau pekerja, yang pada dasarnya tidak memiliki dana untuk itu.

Lebih lagi, semua responden dari penelitian ini masih meragukan keahlian dari konsiliator dan

arbiter. Rendahnya kepercayaan itu tentulah menjadi kendala untuk dimanfaatkannya kedua

mekanisme penyelesaian sengketa tersebut.

Solusi: Masalah biaya tentulah sulit diatasi, mengingat mediator adalah pegawai

dariDinas Ketenagakerjaan, sehingga berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu,

konsiliator dan arbiter adalah pihak-pihak swasta yang telah diangkat oleh Pemerintah untuk

menjadi konsiliator dan arbiter. Dengan demikian, mereka harus membiayai hidup mereka

sendiri. Sepanjang pembedaan pihak yang berwenang menjadi mediator, konsiliator dan

arbiter tetap seperti yang ada di dalam UUPPHI seperti sekarang, maka masalah perbedaan

biaya ini akan tetap ada. Oleh karena itu, peningkatan profesionalitas konsiliator dan arbiter

merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan, sehingga pengguna jasa akan merasa

bahwa penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase memang memiliki kualitas penyelesaian

yang lebih baik daripada mediasi.

Untuk meningkatkan proses mediasi, dibutuhkan juga adanya infrastruktur yang baik.

Semua Dinas Ketenagakerjaan seharusnya memiliki mediator. Selanjutnya, seharusnya semua

Dinas Ketenagakerjaan dilengkapi dengan Ruangan Mediasi, sehingga pada saat konsultasi

dan mediasi, para pihak dapat diterima oleh mediator di ruang yang telah ditentukan. Di

samping itu, pelatihan bagi mediator tentang Hukum Ketenagakerjaan dan Hubungan

Industrial secara keseluruhan, serta pelatihan tentang tata kelola kasus merupakan ketrampilan

yang seharusnya dikuasai oleh mediator. Selain itu, peningkatan profesionalitas mediator juga

sangat penting, sehingga mediator akan melaksanakan fungsinya dengan baik tanpa merasa

superior dibandingkan para pihak yang bersengketa.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 400/432

Page 9: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Lebih lanjut lagi, untuk membuat kualitas dan standar kinerja mediator menjadi lebih terukur, diperlukan adanya peraturan yang menjabarkan tentang kode etik dan standar profesi mediator hubungan industrial.

Inkonsistensi Hukum antara UUPPHI dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAPS)

Masalah: Salah satu hal terpenting di dalam suatu sistem hukum adalah

adanyaperaturan-peraturan yang konsisten dan saling mendukung satu dengan lain. Karakteristik tersebut tidak dipenuhi oleh UUPPHI dan UUAPS. Hal ini terutama terkait

dengan status mediasi dan konsiliasi:

Dalam UUPPHI, mediasi dan konsiliasi dianggap sebagai mekanisme awal yang melibatkan pihak ke tiga, sebelum kasus tersebut diajukan ke tingkat yang lebih

tinggi, yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).8 Berarti, dalam

UUPPHI konsiliasi dan mediasi memiliki posisi yang lebih rendah daripada PHI. Artinya, mereka bukan merupakan mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa hubungan industrial, tetapi dianggap sebagai bagian dari upaya hukum bila mekanisme bipartit tidak membuahkan kesepakatan.

Dalam UUAPS, mediasi dan konsiliasi dapat dipergunakan sebagai mekanisme penyelesaian awal, sebelum para pihak menyelesaikan perkara melalui arbitrase. Oleh karena itu, mereka memiliki jalur yang berbeda dengan jalur penyelesaian melalui pengadilan. Oleh karena itu, bersama-sama dengan arbitrase, mereka meru-pakan

mekanisme penyelesaian alternatif, di luar penyelesaian melalui Pengadilan.9 Mereka

bukanlah mekanisme awal untuk menyelesaikan perkara melalui Pengadilan.

Solusi: Sangatlah penting hukum Indonesia menyelesaikan ketidakkonsistenan kedu-dukan mediasi dan konsiliasi di dalam UUPPHI dan UUAPS. Mediasi dan konsiliasi seharus-

nya ditempatkan sebagai bagian dari metode alternatif untuk menyelesaikan sengketa.10

Oleh

karena itu, kedua mekanisme tersebut harus tunduk kepada UUAPS. Pasal 5 dari UUPPHI seharusnya diperbaiki, dengan memerhatikan UUAPS, yang merupakan induk dari mediasi dan konsiliasi. Berarti, mediasi dan konsiliasi tidak dapat lagi diposisikan menjadi upaya hukum sebelum perkara dibawa ke Pengadilan, melainkan harus menjadi upaya hukum dari jalur alternatif, yaitu untuk menjadi upaya awal sebelum para pihak menyelesaikan perkara melalui arbitrase.

Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diantara Pihak yang Sama,

yang Melibatkan Perselisihan dalam Kategori yang Berbeda

Masalah: Dalam praktik, sangatlah penting untuk menentukan bagaimana hakim harusmemutuskan perkara, bila pihak yang sama terlibat dalam perselisihan hak atau per-selisihan kepentingan, bersama-sama dengan perselisihan PHK. Dalam situasi ini, hakim harus memu-

tuskan perselisihan hak atau perselisihan kepentingan, sebelum memutuskan perselisihan PHK-

nya.11

Peraturan ini secara yuridis tepat, karena apakah PHK akan dikabulkan atau ditolak,

seharusnya tergantung pada bagaimana hak atau kepentingan yang sedang diperseng-ketakan oleh para pihak dikabulkan atau ditolak oleh hakim. Masalah muncul bila para pihak terlibat dalam

perselisihan PHK, yang bersamaan dengan tuntutan pidana. Hal ini tidak tercakup di

8 Lihat: Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

9 Lihat: Pasal 6 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

10 Lihat: Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

11 Lihat: Pasal 86 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 401/432

Page 10: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

dalam Pasal 86 UUPPHI. Sebagai contoh, Mahkamah Agung melalui Putusan

Nomor83PK/Pid/2007 (PN Balai Bandung No. 659/Pid.B/2004/PN.BB) mengabulkan gugatan PHKdari Pengusaha. Sementara itu, perkara pidana yang terkait dengan kasus PHK

sedang berjalan. Pada akhirnya, sang pekerja diputuskan bebas dari tuntutan pidana. Hal ini membuat PHK yang sudah dikabulkan menjadi kehilangan dasar atau alasan untuk mem-

PHK-nya.

Solusi: Perlu diatur dengan jelas urutan dari penyelesaian perkara, bila sebuah perseli-

sihan hubungan industrial sedang diselesaikan bersama-sama dengan kasus lain (contohnya

kasus pidana). Mahkamah Agung sebenarnya telah mengatur hal ini:12

“Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata

atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu

putusanPengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

Kembali pada Putusan MA Nomor 83PK/Pid/2007, putusan tersebut telah sesuai

dengan Peraturan Mahkamah Agung. Namun demikian, pada akhirnya justru Putusan tersebut menimbulkan masalah. Oleh karena itu, harus diatur bahwa bila sebuah perselisihan PHK

sedang berlangsung bersama-sama dengan perkara jenis lain apapun, perkara PHK ini harus yang terakhir diputuskan.

Permasalahan Beban Pembuktian

Masalah: Dalam pembuktian di proses peradilan, para pihak harus menyediakandokumen atau data base atau kebijakan-kebijakan. Hal ini menimbulkan

kesulitan bagi pekerja atau Serikat Pekerja, karena biasanya mereka tidak (atau sangat terbatas) aksesnya terhadap dokumen atau database atau kebijakan tersebut.

KSPI, KSPSI, KSPSI Rekonsiliasi, KSBSI telah menyebutkan bahwa penyelesaian melalui mekanisme bipartit lebih menguntungkan bagi para pihak dalam perkara, karena

melalui mekanisme ini mereka tidak perlu menyediakan alat bukti tersebut, seperti bila

mereka menyelesaikan perkara melalui Pengadilan.

Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang harus menyediakan alat bukti ini? Siapa yang harus menanggung beban pembuktian? Berdasarkan tatacara pembuktian konvensional yang saat ini berlaku, pihak yang menyatakan kebenaran dari gugatan atau fakta di dalam

perkara harus menyediakan alat bukti untuk itu.13

Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya,

sangatlah sulit bagi pekerja atau Seikat Pekerja untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh majikannya, karena mereka memiliki akses yang sangat terbatas atau bahkan tidak memiliki akses terhadap alat bukti.

Solusi: Oleh karena itu, beban pembuktian yang konvensional ini tidak direkomen-

dasikan untuk pembuktian dalam kasus hubungan industrial. Pembuktian terbalik ini terutama

harus dipergunakan di saat pihak pekerja harus membuktikan adanya hubungan kerja di dalam

kasus yang dihadapi.14

YLBHI Jakarta telah menyarankan bahwa beban pembuktian harus

12 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956.

13 Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg (Peraturan tentang Hukum Acara Perdata), Pasal 1865 KUH Perdata. Bandingkan dengan: 2011, Burden of Proof by Louise Kaplow, Harvard John M. Olin Centre for Law, Economics and Business, Discussion Paper No. 710, November hal. 25; dan Yahya Harahap, 2011, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 554.

14 International Labour Office, 2006, Employment Relationship, Report V (1), International Labour Conference, hal. 30.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 402/432

Page 11: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

ditanggung oleh majikan, Karena mereka lah yang memiliki alat bukti (dokumen, kebijakan,

data base, dan lain-lain).15

Ketiadaan Prosedur Penyelesaian Perselisihan Terintegrasi

Masalah: Dewasa ini mekanisme untuk menyelesaikan hubungan industrial

yangmelibatkan pihak ketiga dibagi ke dalam dua karakteristik: a. mekanisme administrasi

oleh mediator (yang merupakan bagian dari pegawai Dinas Ketenagakerjaan) dan b.

mekanisme yudisial oleh PHI atau melalui arbitrase. Metode penyelesaian perselisihan

hubungan industrial seharusnya dilakukan secara menyatu melalui jalur yudisial (tidak dipisah

lagi ke dalam jalur yuridis dan jalur administratif). Di samping itu, perlu diingat bahwa

penyelesaian sengketa hubungan industrial di pengadilan dilakukan dengan menggunakan

Hukum Acara Perdata. Harus disadari bahwa perkara hubungan industrial memiliki

karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan dengan perkara perdata semata. Adanya

kedudukan tidak seimbang secara sosial ekonomi antara pekerja dan pengusaha, adanya

pemberlakuan hukum yang bersifat memaksa dalam perjanjian kerja membuat hubungan

industrial tidak dapat disamakan dengan hubungan keperdataan semata. Dalam hubungan

industrial, sering kali perkara juga melibatkan kasus perdata dan pidana. Sebagaimana telah

dijabarkan sebelumnya, pemisahan kasus PHI yang memiliki aspek perkara perdata maupun

pidana dalam satu sengketa ternyata berpotensi menimbulkan masalah. Bila di masa depan hal

itu dapat terjadi, penerapan Hukum Acara Perdata semata menjadi tidak tepat.

Solusi: perlu dilakukan penataan mekanisme mediasi dan menempatkannya di

dalamkonteks mekanisme yudisial. Dengan demikian, mediasi harus ditempatkan sebagai

jalur alternatif dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana dalam UUAPS.

Mediasi bukan prosedur awal sebelum perkara diajukan ke Pengadilan PHI. Dalam

penyelesaian perkara tersebut, seharusnya satu kasus PHI diselesaikan sebagai satu kasus

utuh, tanpa memisahkan kasus perdata atau pidananya. Hal ini dilakukan, agar tidak terjadi

lagi penyelesaian kasus yang ternyata pada akhirnya menimbulkan masalah (contohnya PHK

yang telah dijatuhkan, yang ternyata didasarkan pada tindak pidana yang kemudian

dinyatakan tidak terjadi). Artinya, harus dibuat Hukum Acara Hubungan Industrial, yang

secara tepat dapat memenuhi kebutuhan dan karakter dari sengketa hubungan industrial.

Kesulitan Mengeksekusi Perjanjian Bersama, Akta Perdamaian atau Putusan yang

Sudah Berkekuatan Hukum Tetap

Masalah: Salah satu contoh dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial,berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan AKATIGA, masalah yang dianggap penting adalah berkaitan dengan

sulitnya mengekse-kusi Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.16

Di

lapangan, tidak terlihat adanya konsistensi tentang tingkat kesulitan untuk mengeksekusi Putusan Pengadilan tersebut. Oleh karena itu, perlu dicari akar dari masalah yang dihadapi Indonesia dalam upaya menciptakan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih efektif dan efisien.

Seluruh responden baik dari pengusaha maupun dari Serikat Pekerja, dari YLBHI Jakarta

dan LBH Bandung telah mengkritik kesulitan dalam mengeksekusi Perjanjian Bersama,

15 YLBHI Jakarta, 2014, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, YLBHI Jakarta and MaPPI FH UI, hal. 63.

16 Suhadmadi, Endang Rokhani, Rina Herawati, Ika Kartika, 2015, Laporan Penelitian Pengadilan Hubungan Industrial(PHI), FSPMI–AKATIGA, hal. 56-57.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 403/432

Page 12: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Akta Perdamaian, Putusan Arbitrase atau Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Eksekusi dari hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut juga dilaku-kan

dengan menggunakan prosedur dalam Hukum Acara Perdata.17

Perjanjian Bersama, Akta

Perdamaian, Putusan Arbitrase yang telah didaftarkan atau Putusan yang sudah berkekuatan

hukum tetap harus dilakukan dengan mengirimkan permohonan eksekusi.18

Dalam praktik, pihak pekerja atau Serikat Pekerja sering mengalami kesulitan untuk mengeksekusi Putusan atau kesepakatan tersebut. Mereka memiliki keterbatasan pengetahuan

maupun biaya untuk mengeksekusi,19

apalagi bila besarnya nilai yang akan dieksekusi relatif

kecil, sehingga menjadi tidak sebanding dengan biaya eksekusi dan kompleksitas prosedur eksekusi yang harus dijalani. Sangat disayangkan bahwa selama penelitian, data tentang biaya eksekusi tidak dapat ditemukan. Data yang ditemukan adalah Rencana Anggaran Belanja Pengadilan Jakarta Pusat, yang pada tahun anggaran 2016 menganggarkan biaya kasasi,

peninjauan kembali dan eksekusi sebesar Rp238.582.000,00.20

Anggaran tersebut akan di-

pergunakan untuk mengeksekusi putusan dari gugatan yang nilainya di bawah

Rp150.000.000,00.21

Dari penganggaran tersebut, kita sama sekali tidak dapat mengambil

kesimpulan tentang besarnya biaya eksekusi dari masing-masing kasus. Pasal 58 UUPPHI juga tidak mengelaborasi cara menghitung biaya eksekusi untuk kasus yang nilainya di atas Rp150.000.000,00. Di samping itu, pekerja dan Serikat Pekerja juga mengeluhkan biaya legalisir dan materai untuk dokumen yang dipergunakan dalam pembuktian, yang besarnya adalah Rp11.000,00 untuk masing-masing dokumen. Mengingat dalam pembuktian ada banyak sekali dokumen yang harus dilegalisasi, maka hal itu juga menjadi beban bagi pekerja

atau Serikat Pekerja.22

Kesulitan untuk mengeksekusi Perjanjian Bersama, Akta Perdamaian, Putusan Arbitrase yang telah didaftarkan atau Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap juga tergambar di dalam data yang dimiliki Pengadilan Negeri Jakarta Pusat:

FIGUR VI:

EKSEKUSI PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TAHUN 2015

No. EKSEKUSI

TOTAL

KASUS HUBUNGAN INDUSTRIAL

(1) (2) (3)

1. Eksekusi yang sedang dilakukan (sisa tahun sebelumnya) 245

2. Permohonan eksekusi yang baru dimohonkan 61

3. Eksekusi yang berhasil diselesaikan 10

4. Permohonan eksekusi yang dicabut 0

5. Total perkembangan eksekusi dalam tahun 2015 296

17 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

18 Pasal 7 ayat (5) dan (6), Pasal 13 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), dan Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

19 Surya Tjandra (Editor), 2012, Catatan Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial, Trade Union Rights Centre, hal. 133-138.

20 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,(2016, Rincian Kertas Kerja Satker T.A. 2016.

21 Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

22 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2014, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, YLBHI Jakarta and MaPPI FH UI, hal. 68-69.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 404/432

Page 13: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Source: Database of Registrar Office in Industrial Relations Court in Central Jakarta District Court.

Dari data tersebut, sangat jelas bahwa dalam satu tahun PHI di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat hanya mampu mengeksekusi 10 (sepuluh) buah kasus, dari 296 (dua ratus sembilan puluh enam) kasus yang seharusnya dieksekusi di tahun tersebut, yaitu tidak lebih

dari 4% (empat persen) dari total kasus. Hal ini menggambarkan betapa buruknya tingkat

keberhasilan mengeksekusi oleh pengadilan.

Solusi: Saat ini Indonesia tidak memiliki peraturan yang jelas untuk

mengeksekusiPerjanjian Bersama, Akta Perdamaian, Putusan Arbitrase yang telah didaftarkan

atau Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Juga tidak ada standar pelayanan yang

harus diberikan kepada pemohon. Untuk meminimalisir tidak efisiennya proses eksekusi,

perlu dibuat StandarOperational Procedure, yang akan mencakup prosedur dan otoritas yang

berwenang dalameksekusi, jangka waktu eksekusi, dokumen pelengkap untuk pelaksanaan

eksekusi, dan yang terpenting serta menimbulkan daya memaksa adalah denda terhadap pihak

yang tidak bersedia melaksanakan eksekusi dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

KESIMPULAN

Berdasarkan masalah yang telah dianalisa sebelumnya, pada akhir tulisan ini dapat diberikan kesimpulan singkat terkait dengan hal-hal terpenting yang harus dilakukan untuk mereformasi sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia:

UUPPHI memiliki inkonsistensi dengan UUAPS, terkait dengan kedudukan mediasi dan

konsiliasi di dalam PPHI. Mediasi dan rekonsiliasi di dalam PPHI merupakan upaya

hukum yang dipergunakan sebelum para pihak dalam perkara diajukan kepada Pengadilan

Hubungan Industrial, sementara menurut UUAPS mediasi dan konsiliasi ditentukan

sebagai upaya hukum alternatif, di luar penyelesaian melalui Pengadilan. Untuk menjaga

konsistensi dalam sistem hukum Indonesia, diperlukan penataan kembali mediasi dan

konsiliasi di dalam konteks alternatif penyelesaian sengketa. Artinya, mediasi dan

konsiliasi tidak dapat ditempatkan sebagai bagian dari penyelesaian perkara awal, sebelum

para pihak mengajukan perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Dalam praktik, penyelesaian perkara pidana yang berjalan bersama dengan kasus yang lain

dilakukan berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1956, yaitu harus menangguhkan putusan

kasus pidananya. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam kasus PHK yang terjadi

bersama-sama dengan perkara pidana, di mana dasar putusan PHK-nya seharusnya

didasarkan pada putusan pidana tersebut. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya seseorang

yang ter-PHK, padahal kemudian perkara pidananya membebaskan yang bersangkutan dari

tuntutan pidana. Di samping itu, dewasa ini UUPPHI hanya mencakup hukum susbstantif

dan mekanisme PPHI. Sementara itu, hukum acara terkait dengan PPHI disandarkan pada

Hukum Acara Perdata. Mengingat adanya perbedaan mendasar antara kasus perdata

dengan kasus hubungan industrial, diperlukan Hukum Acara Perselisihan Hubungan

Industrial, yang mencakup juga proses pemeriksaan, pembuktian, urutan pemutusan

perkara yang berkaitan dengan dua kasus PHI yang berbeda, atau antara kasus PHI dengan

kasus perdata atau pidana, tata cara melakukan eksekusi Perjanjian Bersama, Akta

Perdamaian, Putusan Arbitrase yang telah didaftarkan atau Putusan yang sudah berke-

kuatan hukum tetap. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan aturan yang lebih

komprehensif tentang Hukum Acara Perselisihan Hubungan Industrial yang terpisah dan

tidak dapat semata-mata mengikuti Hukum Acara Perdata.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 405/432

Page 14: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

Perlu diperhatikan juga bahwa terkait dengan pembuktian di dalam Hukum Acara PHI

yang diusulkan di atas, karena pekerja atau Serikat Pekerja tidak memiliki atau sangat

terbatas kemampuannya untuk menyediakan alat bukti, maka sangat diperlukan diterap-

kannya pengalihan beban pembuktian melalui pembuktian terbalik. Beberapa kriteria yang

dapat dipergunakan untuk menerapkan sistem pembuktian terbalik ini contohnya:23

a. Pekerja atau Serikat Pekerja tidak memiliki akses terhadap alat bukti;

b. Bila pekerja atau Serikat Pekerja yang berkedudukan sebagai penggugat secara substansial dirugikan oleh kebijakan atau aturan dari tergugat, kriteria-kriteria atau praktik-praktik dalam hubungan industrial;

c. Bila penerapan pembuktian terbalik akan membantu pekerja atau Serikat Pekerja;

d. Bila penerapan pembuktian terbalik tersebut sangat masuk akal dalam semua keadaan.

Selanjutnya, untuk menghindarkan penyelesaian kasus PHI yang berjangka waktu lama di

dalam Hukum Acara PHI yang diusulkan di atas, diharapkan juga mengakomodasi prosedur

gugatan ringan (small claim procedure), yang harus diselesaikan contohnya dalam jangka

waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, perkara diselesaikan oleh Hakim Karir Pengadilan Negeri dan

putusannya harus langsung bersifat final dan mengikat. Bila sistem ini akan diadopsi,

diperlukan adanya kriteria untuk menggunakan prosedur gugatan ringan, contohnya:

a. Gugatannya harus gugatan individual (pihaknya bukan Serikat Pekerja atau Asosiasi Pengusaha);

b. Yang dapat menggunakan prosedur ini adalah perselisihan hak dan perselisihan PHK;

c. Nilai dari gugatan harus dibatasi (contohnya tidak melampaui 10 (sepuluh) kali

daripada upah minimum di tempat sengketa;

d. Proses pembuktiannya hanya melibatkan dokumen-dokumen, yang harus dimasukkan bersama-sama dengan gugatan.

Untuk membuat Perjanjian Bersama, Akta Perdamaian, Putusan Arbitrase yang telah didaftarkan atau Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat dieksekusi, di dalam

Hukum Acara PHI yang diusulkan tersebut juga tersebut harus mencakup juga standar pelayanan eksekusi, Standar Operational Procedure dari eksekusi, yang memungkinkan

penyelesaian PHI sungguh-sungguh dapat diselesaikan dengan tuntas.

ACKNOWLEDGMENTS

Tulisan ini merupakan bagian dari dan disarikan dari penelitian yang dilakukan oleh Ida

Susanti (bersama tiga orang pengumpul data, i.e. Winny Sanjaya, Arifin Suryo dan Fauzi al

Hamin Hadi), ketiganya terafiliasi pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,

Bandung, Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan atas kerjasama dengan InternationalLabour

Organization,berjudul “Study on Industrial Relations Dispute Settlement in Indonesia,Part B:

Study of Implementation of Industrial Relations Dispute Settlement”, bagian ke dua daridari

penelitian tentang “Study on Industrial Relations Dispute Settlement in Indonesia.”

23 Spencer Keen, 2007, A Shifting Balance, New Law Journal, 27 October 2007.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 406/432

Page 15: 36. REFORMASI HUKUM INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN ... · PHI Sumber: Wawancara ... c. Nilai dari gugatan tidak melampaui nilai tertentu (contohnya maksimum 10 (sepuluh) kali dari

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ida Susanti, 2017, Study on Industrial Relations Dispute Settlement in Indonesia, Part B: Studyof Implementation of Industrial Relations Dispute Settlement, International LabourOrganization – Jakarta Office.

International Labour Office, 2006, Employment Relationship, Report V (1),InternationalLabour Conference.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 2016, Rincian Kertas Kerja Satker T.A. 2016.

Suhadmadi, Endang Rokhani, Rina Herawati, dan Ika Kartika, 2015, Laporan PenelitianPengadilan Hubungan Industrial (PHI), FSPMI–AKATIGA.

Surya Tjandra (Editor), 2012, Catatan Akademik Rancangan Undang-Undang PengadilanHubungan Industrial, Trade Union Rights Centre, Jakarta.

Yahya Harahap, 2011, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika.

YayasanLembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2014, Membaca Pengadilan HubunganIndustrial di Indonesia, YLBHI Jakarta dan MaPPI FH UI.

Jurnal:

Louise Kaplow, 2011, Burden of Proof, Harvard John M. Olin, Centre for Law, Economics andBusiness, Discussion Paper No. 710, November.

Perundang-undangan:

Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956.

Staatblad No. 23 Tahun 1847 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Staatblad No. 16 Tahun 1848 tentang Herzien Inlandsch Reglement (Reglemen Indonesia yangdiperbaharui).

Staatblad 1927 No. 227 tentang Rechtreglement voor de Buitengewesten (Reglemen HukumDaerah Seberang).

North Ireland Small Claims Procedure Rules, 1997 & 1999.

North Ireland Statutory Instrument No. 519 of 2009, Order 53A.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 407/432