265-271
-
Upload
indah-nurul-mutiah -
Category
Documents
-
view
16 -
download
0
Transcript of 265-271
Dari uraian tersebut di atas maka terlihat, betapa penting busur vulkanik dalam eksplorasi
mineral; busur vulkanik mempunyai makna ekonomis. Dengan mempelajari busur vulkanik masa
kini, maka diharapkan dapat pula dipahami dan dikenal busur vulkanik dan magmatik pada masa
lampau.
Busur Vulkanik Kwarter
Busur vulkanik masa kini atau zaman kwarter di Indonesia merentang mulai Aceh sampai
Sulawesi Utara, sepanjang lk. 7000 km. Busur vulkanik ini menyusuri Bukit Barisan, melintas
Selat Sunda, kemudian merentang sepanjang sumbu P. Jawa, lalu melintas ke P. Bali dan pulau-
pulau Nusa Tenggara, kemudian membelok ke utara membentuk setengah lingkaran di Laut
Banda dan berhenti di G. Banda Api. Selanjutnya meloncat ke deretan gunungapi di Maluku
Utara yaitu busur sebelah barat Halmahera. Bersamaan dengan itu terdapat pula busur gunungapi
di Sulawesi bagian utara termasuk sebuah gunungapi di Teluk Gorontalo yaitu G. Colo. Busur
Sulawesi Utara memanjang ke utara dan menyambung dengan busur gunungapi di Filipina.
Pada busur sepanjang lk. 7000 km ini, terdapat 129 gunungapi yang aktif dan lk. 500 gunungapi
yang dianggap sedang beristirahat pannjang. Sementara itu diperkirakan pula terdapat lk. 150
gunungapi yang pernah meletus dahsyat sehingga membentuk kaldera. Masa istirahat berkisar
antara beberapa tahun sampai bebrapa puluh tahun. Masa istirahat terlama yang sejauh ini
diketahnyambung dengan busur gunungapi di Filipina.
Pada busur sepanjang lk. 7000 km ini, terdapat 129 gunungapi yang aktif dan lk. 500 gunungapi
yang dianggap sedang beristirahat pannjang. Sementara itu diperkirakan pula terdapat lk. 150
gunungapi yang pernah meletus dahsyat sehingga membentuk kaldera. Masa istirahat berkisar
antara beberapa tahun sampai bebrapa puluh tahun. Masa istirahat terlama yang sejauh ini
diketahui adalah lk. 15.000 tahun seperti terjadi pada G. Anak Ranakah di Flores, berdasarkan
pada penentuan umur karbon-14 (Katili & Sudrajat, 1987).
Letusan gunungapi yang cukup besar terjadi lk. 1 kali dalam 3 tahun sedangkan letusan rutin
terjadi hamper terus menerus pada 11 gunungapi yaitu Marapi (Sumatera Barat), Krakatau (Selat
Sunda), Dieng (Jawa Tengah), Slamet (Jawa Tengah), Merapi (Jawa Tengah-D.I. Yogyakarta),
Semeru (Jawa Timur), Raung (Jawa Timur), Illi Boleng (Flores), Gamalama (Ternate), Soputan
(Sulawesi Utara) dan Sangeangapi (Sngir-Talaud).
Penyebaran gunungapi aktif dapat dirinci sebagai berikut :
Sumatera : 30 Flores : 25
P. Jawa : 35 Laut Banda : 9
Bali : 2 Sulawasi : 13
Lombok : 1 Kep. Sangihe : 5
Sumbawa : 2 Halmahera : 7
Dari frekuensi letusannya dapat diketahui gunungapi-gunungapi yang sering meletus atau pernah
meletus dalam kurun 400 tahun terakhir. Melaui catatan ini maka seringkali dibuat penggolongan
gunungapi menjadi tipe A yaitu yang meletus dalam sejarah (sejak lk. 400 tahun yang lau), tipe
B yaitu tidak pernah meletus dalam kurun waktu itu dan tipe C yang sudah tidak memperlihatkan
bentuk gunungapi akan tetapi masih mengeluarkan gas-gas yaitu pada fase solfatara atau
fumarole (Neuman van Padang, 1951, Kusumadinata, 1979). Tipe A berjumlah 79 gunungapi ,
tipe B 29 gunungapi dan tipe C jumlahnya 21 buah. Akan tetapi perlu diketahui bahwa sebuah
gunungapi dapat berpindah golongan oleh karena adanya peningkatan kegiatan.
Penggolongan yang dibuat seperti tersebut di atas semata-mata dilakukan untuk mendapatkan
prioritas dalam penanganan gunungapi tersebut, antara lain mencakup pemantauan atau
pemasangan peralatan, penyiapan peta daerah bahaya, penyuluhan dan sebagainya. Prioritas
penanganan suatu gunungapi ditentukan oleh factor-faktor lainnya, seperti sifat dan jenis letusan,
frekuensi letusan, kondisi topografi, penyebaran bahaya dan jenisnya, kepadatan penduduk,
pembangunan di sekitarnya, dampak ekonomis dsb. Semua factor ini diberi bobot, sehingga
berdasarkan angka bobot itu, maka dapat ditetapkan urutan prioritas atau kerawanan bahaya (IB
Indeks Bahaya) gunungapi di Indonesia (Maahelumual,1980).
Semua factor ini, kecuali sifat dan jenis letusan, dapat sirekam dari sekarang. Kondisi yang
lainnya dinamis, seperti antara lain kepadatan penduduk, arah angina, erosi dan sebagainya.
Karena itu pengumpulan data harus dilakukan secara terus menerus dan dengan teratur. Sifat dan
jenis letusan pada masa lampau terekam pada keadaan geologi atau batuan gunungapi yang
dihasilkan oleh gunungapi tersebut. Urut-urutan batuan hasil gunungapi dapat menggambarkan
sejarah gunungapi tersebut dalam ruang dan waktu.
Dari pemetaan tubuh gunungapi dengan teliti dapat diperkirakan jenis dan sifat bahaya, serta
ekstensinya dan dengan demikian dapat diberikan bobot bahayanya. Selai itu dapat pula disusun
peta daerah bahaya atau zonasi bahaya.
Sejauh ini terdapat lk 2 sampai 3 juta penduduk yang bermukim di daerah bahaya I atau daerah
terlarang. Selain itu terdapat 10 sampai 20 juta penduduk yang bermukim di daerah waspada atau
Bahaya II yaitu daerah yang harus selalu siap untuk mengungsi.
Selain membawa bencana, gunungapi memberikan pula kesuburan. Bantuan yang dihasilkan
acapkali dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan seperti pasir, kerikil, dan batuan. Selain itu
dalam jalur gunungapi terkandung pula potensi panas bumi yang dapat membangkitkan listrik.
Dewasa ini diketahui bahwa tidak kurang dari 16 ribu MW listrik terkandung dalam potensi
panas bumi pada jalur gunungapi. Potensi sesungguhnya mungkin lebih besar (Radja, 1983).
Telah dibuktikan pula bahwa gunungapi menghasilkan cebakan logam, seperti dilakukan oleh
Kavalieris, 1994 yang menganalisa gas G. Merapi Jawa Tengah. Penyelidikan ini sampai kepada
kesimpulan bahwa kandungan Au, Ag, Mo, Pb, V dan W dalam gas G. Merapi relatif tinggi.
Busur Vulkanik Tua
Busur vulkanik tua yang dimaksudkan disini adalah busur vulkanik berumur pra-kwarter,
khususnya yang masih muda dikenal yaitu yang berumur tersier. Dalam literature lama antara
lain menurut Musper (1937) dan van Bemmelen (1949), batuan vulkanik berumur pra-kwarter ini
dinamakan formasi Andesit tua. Batuan ini dinamakan Formasi Andesit Tua karena kesamaan
komposisinya dengan hasil kegiatan vulkanik kwarter yang menghasilkan batuan andesit. Baik
jalur vulkanik kwarter maupun vulkanik tersier kedua-duanya menghasilkan batuan yang
berkomposisi andesit. Karena itu nama formasi andesit tua dipakai untuk menunjukkan batusn
vulkanik yang berumur tersier.
Bermula batuan ini ditemukan di daerah Lampung (Sumatera bagian Selatan), dan
penyebarannya melebar ke P. Jawa sepanjang Jawa bagian selatan, kemudian P. Lombok,
Sumbawa, Flores dan pulau-pulau sebelah timur P. Flores di P. Bali penyebarannya terbatas
karena tertutup batuan gunungapi masa kini. Akan tetapi di Lombok jalur gunungapi Tersier ini
muncul kembali.
Melihat pada bentuk topografinya, Pannekoek (1949) misalkan memperkirakan adanya
pengangkatan pada batuan ini dan membentuk sayap geatinklin jalur Jawa yang merentang dari
Sumatera bagian selatan sampai Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan konsep Cloos (1936), pada
puncak (crest) antiklin terbentuk terban-terban Van Bemmelen (1949) menyebutnya sebagai
Zona depresi P. Jawa. Melalui daerah lemah ini muncul kegiatan gunungapi Kwarter yang
menutup seluruh depresi.
Berdasarkan pendekatan dari teori tektonik lempeng maka banyak diantara terban ini khususnya
yang terdapat di Sumatera, adalah merupakan patahahn “transcurrent” atau patahan mendatar
yang berkaitan dengan pembenturan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Benua Eurasia
(Katili & Hehuwat, 1967). Verstappen (1971) merinci patahan sepanjang sumatera ini dengan
teliti, khususnya dengan memanfaatkan potret udara. Patahan-patahan ini dianggapnya sebagai
graben atau terban-terban.
Busur vulkanik yang lebih tua lagi yaitu yang berumur Mesozoikum atau Pleozoikum sudah
mengalami metamorfosa atau sudah habis tererosi. Karena itu batuan yang tersisa adalah batuan
magmatic atau plutonik yang merupakan bagian dalam dari kegiatan vulkanik. Batuan ini dalam
kegiatan gunungapi dikenal sebagai kantong-kantong magma. Busur-busur magmatic masih
dapat dikenali di Sumatera dan Kalimantan. Busur vulkanik yang tertua yang diketahui adalah
berumur Kapur Atas.
Semula orang menrangkan busur magmatic ini dengan pendekatan konsep cekungan (sinklin)
yang pada fase penutup mengalami kegiatan magmatic. Dengan konsep ini kemudian
Westerveld(1952) merekonstruksi peta jalur-jalur magmatic yang dipakainya sebagai konsep
dalam eksplorasi mineral logam dasar. Konsep ini sampai sekaran masih sering dipergunakan
sebagai dasar. Disana-sini terdapat modifikasi terutama karena pendekatannya lain yaitu
diantaranya dari sudut teori tektonik lempeng (Katili 1984, Sunarya,1989). Sebelumnya van
Bemmelen (1933) mengaplikasikan teori Haarmann (1930) dan membuat jalur=jalur magmatic
terutama di Indonesia bagian barat. Teori undasi van Bemmelen dengan teliti menggambarkan
jalur magmatic yang secara ritmik menyebar di Sumatera dan Kalimantan Barat dan menerus ke
Kalimantan Tengah dan Timur. Akan tetapi aplikasinya di tempat lain amat sulit.
Dalam kaitannya dengan penyebaran mineral logam khususnya emas dam tembaga, Charlile
dan Mitchell (1994), mengewnal busur-busur magmatic yang mencakup seluruh Indonesia
sebagai dasar untuk eksplorasi mineral tersebut. Jalur magmatic tersebut sebagai hasil amalisis
dan pendekatan dari Teori Tektonik Lempeng yang ditunjang dengan data dari hasil-hasil
penyelidikan yang lebih mutakhir seperti dari Simanjuntak (1986), Sikumbang (1990), dan
sebagainya, dan hasil pemetaan Sumatera Utara dari Direktorat Geologi yang bekerjasama