25.Penatalaksanaan Imobilisasi

29
Penatalaksanaan Imobilisasi dan Komplikasi Akibat Imobilisasi pada Orang Usia Lanjut Setiati S *, Harimurti K *, Laksmi PW *, Govinda AG *, Aries W ** *Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM ** Departemen Rehabiliasi medik FKUI / RSCM PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan persentase populasi usia lanjut Indonesia berdampak pada peningkatan masalah kesehatan yang berhubungan dengan warga usia lanjut. Proses menua mengakibatkan berkurangnya fungsi berbagai organ tubuh sehingga seringkali berbagai masalah kesehatan terjadi dalam satu waktu pada satu individu usia lanjut. Selain itu, kondisi akut suatu penyakit akan menguras cadangan faali berbagai organ tubuh yang memang sudah berkurang sehingga menurunkan status fungsional (kemandirian) seorang usia lanjut. Pada keadaan yang berat, mereka terpaksa harus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda, tidak dapat bergerak kecuali dengan bantuan orang lain. Kondisi ini menimbulkan berbagai komplikasi sistemik yang dapat mengantarkan pasien usia lanjut pada kondisi terminal dan kematian terutama jika dibiarkan tanpa perawatan yang baik dan benar sesuai prosedur medis. Kematian pada orang usia lanjut yang mengalami penurunan status fungsional (imobilisasi) umumnya karena emboli paru. Insidensi emboli paru meningkat sejalan peningkatan usia. Di Amerika Serikat, 1 di antara 200 usia lanjut yang dirawat (0,5%) mengalami emboli paru. Prevalensi kondisi medis kronik pada populasi usia lanjut juga lebih besar, 88% individu berusia lebih dari 65 tahun menderita paling sedikit satu kondisi medis kronis dan 69% lainnya memiliki dua atau lebih kondisi medis kronis. Komorbiditas ini berhubungan dengan tingginya insidensi disabilitas dan predisposisi bagi peningkatan risiko penurunan status fungsional. Di Indonesia, Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM sepanjang tahun 2005 menemukan 8,4% usia lanjut yang dirawat di ruang rawat geriatri mengalami imobilisasi. Tingginya insidensi imobilisasi pada usia lanjut serta komplikasi sistemiknya yang bisa mengancam jiwa memerlukan kesepahaman tentang tatalaksana imobilisasi serta komplikasinya.

description

ipd

Transcript of 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Page 1: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Penatalaksanaan Imobilisasi dan Komplikasi Akibat Imobilisasi pada Orang Usia Lanjut

Setiati S *, Harimurti K *, Laksmi PW *, Govinda AG *, Aries W **

*Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM

** Departemen Rehabiliasi medik FKUI / RSCM

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan persentase populasi usia lanjut Indonesia berdampak pada peningkatan masalah

kesehatan yang berhubungan dengan warga usia lanjut. Proses menua mengakibatkan berkurangnya

fungsi berbagai organ tubuh sehingga seringkali berbagai masalah kesehatan terjadi dalam satu waktu

pada satu individu usia lanjut. Selain itu, kondisi akut suatu penyakit akan menguras cadangan faali

berbagai organ tubuh yang memang sudah berkurang sehingga menurunkan status fungsional

(kemandirian) seorang usia lanjut. Pada keadaan yang berat, mereka terpaksa harus berbaring di tempat

tidur atau duduk di kursi roda, tidak dapat bergerak kecuali dengan bantuan orang lain. Kondisi ini

menimbulkan berbagai komplikasi sistemik yang dapat mengantarkan pasien usia lanjut pada kondisi

terminal dan kematian terutama jika dibiarkan tanpa perawatan yang baik dan benar sesuai prosedur

medis.

Kematian pada orang usia lanjut yang mengalami penurunan status fungsional (imobilisasi) umumnya

karena emboli paru. Insidensi emboli paru meningkat sejalan peningkatan usia. Di Amerika Serikat, 1 di

antara 200 usia lanjut yang dirawat (0,5%) mengalami emboli paru. Prevalensi kondisi medis kronik pada

populasi usia lanjut juga lebih besar, 88% individu berusia lebih dari 65 tahun menderita paling sedikit satu

kondisi medis kronis dan 69% lainnya memiliki dua atau lebih kondisi medis kronis. Komorbiditas ini

berhubungan dengan tingginya insidensi disabilitas dan predisposisi bagi peningkatan risiko penurunan

status fungsional. Di Indonesia, Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM sepanjang

tahun 2005 menemukan 8,4% usia lanjut yang dirawat di ruang rawat geriatri mengalami imobilisasi.

Tingginya insidensi imobilisasi pada usia lanjut serta komplikasi sistemiknya yang bisa mengancam

jiwa memerlukan kesepahaman tentang tatalaksana imobilisasi serta komplikasinya.

Page 2: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

IMOBILISASI: FAKTOR RISIKO DAN KOMPLIKASINYA

Definisi dan Pengertian

Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat perubahan fungsi fisiologis,

yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

mobilitas di tempat tidur, transfer, atau ambulasi selama lebih dari 3 hari.

Dalam praktek kedokteran dan rehabilitasi medik, imobilisasi digunakan untuk menggambarkan

sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan “deconditioning”. Mobilisasi

tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi, ketrampilan motorik, kondisi

fisik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variabel eksternal seperti keberadaan sumber-

sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi lingkungan), dan

kebijaksanaan institusional.

Imobilisasi menimbulkan penyulit yang bersifat sistemik mulai dari sistem kardiovaskular hingga

kejiwaan, serta masalah sosial dan lingkungan. Komplikasi tersebut umumnya dapat dihindari melalui

pengelolaan imobilisasi yang baik dan benar. Upaya meningkatkan kemampuan mobilisasi usia lanjut yang

mengalami imobilisasi, meskipun sedikit, dapat menurunkan insidensi dan beratnya penyulit, memperbaiki

kesejahteraan pasien dan memperingan tugas pramuwerdha.

Faktor Risiko Imobilisasi

Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut

(Tabel 1). Dari faktor penyebab imobilisasi tersebut, beberapa dapat dicegah atau ditatalaksana sehingga

tidak lagi menyebabkan imobilisasi, namun pada beberapa keadaan faktor-faktor penyebab imobilisasi itu

tidak dapat dihindari.

Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut

Gangguan muskuloskeletal Artritis Osteoporosis Fraktur (terutama panggul dan femur) Problem kaki (bunion, kalus) Lain-lain (misalnya penyakit Paget)

Gangguan neurologis

Strok Penyakit Parkinson Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati)

Penyakit kardiovaskular

Gagal jantung kongestif (berat) Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering) Penyakit vaskular perifer (klaudikasio yang sering)

Page 3: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Penyakit paru Penyakit paru obstruktif kronis (berat) Faktor sensorik Gangguan penglihatan

Takut (instabilitas dan takut akan jatuh) Penyebab lingkungan

Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti werdha) Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat

Nyeri akut atau kronik Lain-lain

Dekondisi (setelah tirah baring lama pada keadaan sakit akut) Malnutrisi Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan) Depresi Efek samping obat (misalnya kekakuan yang disebabkan obat antipsikotik) Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak bergerak

Komplikasi Akibat Imobilisasi

Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ

sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik. Sistem organ yang terkena

diantaranya sistem muskuloskeletal, kardiopulmonal, integumen, metabolik dan endokrin, neurologi dan

psikiatri, serta sistem gastrointestinal dan urinarius (Tabel 2).

Tabel 2. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ

Organ/Sistem Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi

Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi

Kardiopulmonal dan pembuluh darah

Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen maksimal (VO2 max), deconditioning jantung, penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agregasi trombosit, dan hiperkoagulasi

Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit

Metabolik dan endokrin Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa), hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral

Neurologi dan psikiatri Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi, dan rekrutmen neuromuskular yang tidak efisien

Traktus gastrointestinal dan urinarius

Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi kandung kemih, impaksi feses, dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran napas, dan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal

Page 4: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

PENATALAKSANAAN IMOBILISASI

Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami

imobilisasi, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status mental, status kognitif,

dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi (Tabel 3).

Tabel 3. Evaluasi Pasien Usia Lanjut yang Mengalami Imobilisasi

Evaluasi Keterangan

Anamnesis

- Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi - Kondisi medis yg merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi - Kondisi premorbid - Nyeri - Obat-obatan yang dikonsumsi - Dukungan pramuwerdha - Interaksi sosial - Faktor psikologis - Faktor lingkungan

Pemeriksaan Fisik

Status kardiopulmonal Kulit Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kaki Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik Gastrointestinal Genitourinarius

Status Fungsional Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) Barthel

Status Mental Antara lain dengan pemeriksaan geriatric depression scale (GDS)

Status Kognitif Antara lain dengan pemeriksaan mini-mental state examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)

Tingkat Mobilitas Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak

Pemeriksaan Penunjang Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut, ekokardiografi, dll) dan komplikasi akibat imobilisasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dll)

Tatalaksana Umum

• Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha

• Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan

ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari

sendiri, semampu pasien

• Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang

mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi

Page 5: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

• Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi

pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya

• Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau

kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan.

• Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan, dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi

vitamin dan mineral

• Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di

tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguatan otot-otot

(isotonik, isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan (misalnya berjalan pada satu garis lurus),

transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas.

• Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi

• Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet

Tatalaksana Khusus

• Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat Tabel 1)

• Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi

• Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten

• Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah

sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lebih lanjut

• Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut

yang mengalami disabilitas permanen

Strategi klinis untuk pengkajian dan penatalaksanaan keterbatasan mobilitas dapat dilihat pada

lampiran.

Page 6: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI AKIBAT IMOBILISASI

Tromboemboli Vena

Tromboemboli vena (venous thromboembolism, VTE) adalah penyakit vaskular yang kompleks yang

bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) atau emboli paru (pulmonary

embolism, PE). Insidensi tromboemboli vena meningkat pada kelompok usia 60 tahun atau lebih dan dapat

berakibat fatal bila tidak dicegah atau ditatalaksana secara optimal.

Selain imobilisasi lama, faktor risiko lain tromboemboli vena adalah pembedahan mayor, trauma

multipel, fraktur femur dan panggul, kelemahan ekstremitas bawah, usia lanjut, penyakit kardiopulmonal,

keganasan, pemakaian estrogen, serta trombofilia didapat maupun bawaan, yang umumnya faktor-faktor

risiko tersebut tidak berdiri sendiri.

Patogenesis timbulnya tromboemboli vena melibatkan tiga faktor (triad Virchow), yaitu kerusakan

dinding pembuluh darah, stasis vena, dan hiperkoagulasi. Imobilisasi secara langsung menyebabkan stasis

vena yang akan menghambat bersihan dan dilusi faktor koagulasi yang teraktivasi sehingga mudah terjadi

emboli.

Diagnosis

Secara klinis DVT maupun PE sulit didiagnosis. Gejala klinis klasik DVT meliputi bengkak, nyeri, dan

perubahan warna kulit pada ekstremitas yang terkena. Pada pemeriksaan fisik dapat diraba vena yang

mengalami trombosis, edema unilateral, perabaan yang hangat, tanda Homans (nyeri pada dorsofleksi

pasif kaki), dan dilatasi vena superfisial, yang dapat pula timbul pada beberapa keadaan lain seperti pada

cedera muskuloskeletal, selulitis, dan insufisiensi vena.

Wells dkk. mengembangkan suatu petunjuk prediksi klinis untuk memperkirakan kemungkinan

diagnosis DVT (Tabel 4a). Prediksi klinis ini bersama-sama dengan pemeriksaan lain seperti tes D-dimer

dan ultrasonografi (doppler) dapat memastikan atau menyingkirkan diagnosis DVT. Wells dkk. juga telah

mengembangkan petunjuk prediksi klinis untuk memperkirakan kemungkinan diagnosis PE (Tabel 4b), dan

bersama-sama dengan pemeriksaan penunjang seperti CT angiografi paru, ventilation-perfusion scanning,

angiografi, tes D-dimer, maupun ultrasonografi serial dipakai untuk memastikan diagnosis PE. Algoritme

diagnosis trombosis vena dalam dan emboli paru, serta rekomendasi profilaksis tromboemboli vena dapat

dilihat pada lampiran.

Page 7: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Tabel 4. Petunjuk Prediksi Klinis dari Wells untuk Diagnosis DVT dan PE

a. Trombosis Vena Dalam (DVT)

Gambaran Klinis Nilai

Kanker aktif (dlm terapi atau paliatif) 1 Paralisis, paresis, atau imobilisasi ekstremitas bawah 1 Tirah baring lebih dari 3 hari karena pembedahan (dlm 4 bulan) 1 Nyeri tekan terlokalisasi sepanjang distribusi vena dalam 1 Pembengkakan seluruh tungkai 1 Bengkak pada betis unilateral lebih dari 3 cm (di bawah tuberositas tibial) 1 Edema pitting unilateral 1 Kolateral vena superfisial 1 Ada diagnosis alternatif lain selain DVT dgn kemungkinan sama atau lebih -2

Total Nilai Interpretasi risiko berdasarkan nilai (kemungkinan DVT): nilai >3 risiko tinggi (75%) nilai 1-2 risiko sedang (17%) nilai <1 risiko rendah (3%)

b. Emboli Paru (PE)

Gambaran Klinis Nilai

Gejala klinis DVT 3 Diagnosis selain PE kurang mungkin 3 Frekuensi denyut jantung lebih dari 100 kali per menit 1,5 Imobilisasi dan pembedahan (dlm 4 minggu sebelumnya) 1,5 DVT atau PE sebelumnya 1,5 Hemoptisis 1 Keganasan 1

Total nilai Interpretasi risiko berdasarkan nilai (kemungkinan PE): nilai >6 risiko tinggi (78,4%) nilai 2-6 risiko sedang (27,8%) nilai <2 risiko rendah (3,4%)

Pencegahan

Umumnya pencegahan kejadian tromboemboli vena dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:

1. Metode Mekanik:

• Graduated compression stocking (GCS) dengan memakai stoking elastis yang dililitkan pada

ekstremitas dengan gradasi ketat menuju ringan, dari distal ke proksimal

• Intermitten pneumatic compression (IPC)

• Venous foot pump (VFP)

Page 8: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Metode mekanik tidak menimbulkan risiko perdarahan, namun hasilnya tidak seefektif penggunaan obat-

obat antikoagulan dan dapat menimbulkan bias pada saat dilakukan pemeriksaan penapisan terhadap timbulnya

tromboemboli vena, berupa angka positif-palsu sebesar 10-30%. The American College of Chest Physicians

(ACCP) hanya merekomendasikan penggunaan profilaksis mekanik ini untuk kelompok dengan risiko

perdarahan tinggi atau digunakan sebagai kombinasi dengan obat antikoagulan untuk meningkatkan

efektivitasnya.

2. Metode Farmakologi

Obat-obatan antitrombotik yang diberikan meliputi antiplatelet (aspirin, dipiridamol, ticlopidin,

clopidogrel, cilostazol) dan antikoagulan oral (coumarin) atau antikoagulan parenteral (unfractionated

heparin, low-molecular-weight heparin, fondaparinux).

• Aspirin atau obat antiplatelet lain

Digunakan bersama-sama dengan antikoagulan. ACCP tidak merekomendasikan penggunaan aspirin

atau obat antiplatelet lain sebagai pencegahan tunggal

• Antikoagulan

� Unfractionated heparin (UFH)

UFH sebagai profilaksis DVT dan PE diberikan dengan dosis rendah (5000 unit) secara subkutan

setiap 8 atau 12 jam. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan, UFH diberikan 1 atau 2 jam

menjelang pembedahan dilanjutkan tiap 8 jam (pada pasien dengan risiko tinggi) atau tiap 12 jam

(pada pasien dengan risiko menengah) sampai pasien dapat mobilisasi atau sampai pasien keluar dari

rumah sakit. Pada pasien nonbedah, termasuk usia lanjut yang mengalami imobilisasi lama, UFH 5000

unit subkutan tiap 12 jam diberikan sesegera mungkin sampai pasien mampu mobilisasi secara

adekuat. Pada beberapa keadaan, dimana faktor risiko tidak dapat diatasi dalam waktu singkat (seperti

keganasan, trombofilia, dan tromboemboli vena idiopatik), maka profilaksis dapat dilanjutkan dengan

antikoagulan oral.

Efek samping pemakaian heparin adalah perdarahan dan trombositopenia. Efek samping ini

meningkat pada pasien di atas usia 65 tahun, pasien pasca pembedahan, ulkus peptikum, penyakit

liver, keganasan, dan diatesis perdarahan. Trombositopenia yang transien dapat timbul pada 10-20%

pasien, namun komplikasi perdarahan mayor hanya terjadi pada kurang dari 2% pasien.

Page 9: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

� Low-molecular-weight heparin (LMWH)

Berdasarkan rekomendasi ACCP, penggunaan LMWH lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko

tinggi timbulnya tromboemboli vena.

Jenis LMWH yang digunakan antara lain: enoxaparin (40 mg subkutan, sekali sehari), dalteparin

(5000 unit subkutan, sekali sehari), nadroparin (2850 unit subkutan, sekali sehari), dan tinzaparin

(3500-45000 unit subkutan sekali sehari). Umumnya penggunaan LMWH sebagai profilaksis pada

berbagai kondisi pembedahan maupun nonbedah adalah selama 10 hari atau sampai pasien mampu

ambulasi secara adekuat. Bila diperlukan pada keadaan-keadaan tertentu, penggunaan LMWH dapat

dilanjutkan dengan antikoagulan oral (warfarin) sebagai profilaksis tromboemboli vena jangka panjang.

� Fondaparinux, suatu antitrombin yang langsung bekerja menghambat faktor Xa

Penggunaan fondaparinux sebagai pencegahan dan terapi terhadap tromboemboli vena telah

disetujui di Uni Eropa dan Amerika Serikat (US FDA).

Trombositopenia dapat terjadi pula pada penggunaan fondaparinux. Fondaparinux

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat, pasien dengan perdarahan aktif,

endokarditis bakterial, dan pasien yang hipersensitif terhadap fondaparinux. Untuk tujuan profilaksis,

fondaprinux diberikan sekali sehari dengan dosis 2,5 mg secara subkutan.

� Antikoagulan oral: warfarin atau coumarin jenis lain (lihat topik pencegahan sekunder)

Beberapa upaya lain untuk mencegah kejadian tromboemboli vena meliputi:

• Latihan tungkai dan gerak sendi aktif maupun pasif sesuai toleransi pasien

• Elevasi kaki setinggi 15-20° dengan lutut sedikit fleksi dan posisi kepala tempat tidur rendah atau

mendatar

• Hindari duduk di kursi pada masa awal pasca operasi

• Gunakan stoking elastik anti-flebitis pada pasien dengan varises atau memiliki riwayat flebitis

• Jalan kaki dalam waktu singkat secara teratur pasca operasi

Page 10: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Terapi

Sebagai terapi farmakologi dapat diberikan obat-obatan antitrombotik yang meliputi antikoagulan

parenteral (UFH, LMWH, fondaparinux) dan trombolitik (streptokinase, alteplase).

• Antikoagulan

� UFH

Loading dose diberikan sebesar 80 unit/kgBB secara bolus kemudian dilanjutkan dengan dosis 18

unit/kgBB per jam melalui infus kontinu. Pemantauan dengan activated partial tromboplastin time

(APTT), yang diharapkan mencapai 1,5 sampai 2,5 kali kontrol. Insidensi perdarahan mayor pada dosis

terapeutik lebih tinggi dibandingkan profilaksis, namun efeknya dapat diharapkan segera berhenti 2 jam

setelah infus dihentikan.

� LMWH

Pemberian LMWH sama efektifnya dengan pemberian UFH. Enoxaparin diberikan dengan dosis 1

mg/kgBB dua kali sehari atau 1,5 mg/kgBB sekali sehari secara subkutan. Dalteparin dengan dosis 200

IU/kgBB per hari (sebagai dosis tunggal atau dua kali sehari). Tinzaparin dengan dosis 175 anti-

Xa/kgBB per hari untuk pengobatan DVT. Sementara untuk terapi PE, hanya enoxaparin dan tinzaparin

yang telah terbukti efektif dan diterima oleh FDA.

� Fondaparinux

Untuk terapi PE maupun DVT, fondaparinux diberikan secara subkutan sekali sehari dengan dosis

5 mg (untuk BB <50 kg), 7,5 mg (untuk BB 50-100 kg), atau 10 mg (untuk BB >100 kg).

• Trombolitik

Umumnya diberikan pada pasien PE masif atau dengan keadaaan hemodinamik tidak stabil. Antara

lain alteplase dengan dosis 100 mg yang diberikan secara infus intravena selama 2 jam, atau streptokinase

yang diberikan dengan loading dose 250.000 IU dilanjutkan dengan 100.000 IU per jam selama 24 jam.

Pemberian trombolitik langsung pada trombus melalui kateter tidak terbukti lebih superior bila dibandingkan

pemberian secara perifer. Efek samping perdarahan pada pemakaian trombolitik lebih besar dibandingkan

dengan UFH, LMWH, maupun fondaparinux.

• Fisioterapi

Setelah 48 jam pasca terapi antikoagulan, latihan lingkup gerak sendi pasif sampai aktif dengan bantuan

dan pemberian stoking elastis dapat diberikan.

Page 11: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Pencegahan sekunder dan terapi jangka panjang

Pasien dengan faktor risiko yang belum sepenuhnya dapat disingkirkan diperlukan pencegahan

sekunder terhadap DVT maupun PE. Antikoagulan oral warfarin (atau coumarin jenis lain) dengan dosis

yang dititrasi untuk mencapai international normalized ratio (INR) antara 2 sampai 3 terbukti dapat

mencegah berulangnya DVT maupun PE hingga 90% bila dibanding plasebo. Warfarin umumnya diberikan

3 sampai 4 hari sebelum terapi antitrombotik lain dihentikan. LMWH tidak banyak digunakan untuk

pencegahan sekunder mengingat besarnya biaya dan efek samping osteoporosis pada pemakaian jangka

panjang, namun pada pasien keganasan yang juga mengalami DVT penggunaannya perlu

dipertimbangkan karena terbukti mengurangi risiko berulangnya DVT hingga separuhnya bila dibandingkan

dengan penggunaan warfarin.

Ulkus Dekubitus

Ulkus dekubitus timbul akibat tekanan yang terus-menerus pada bagian tubuh (tulang) yang menonjol

dalam jangka waktu yang cukup lama. Empat faktor yang berpengaruh pada patogenesis timbulnya ulkus

dekubitus adalah tekanan, daya regang, friksi/gesekan, dan kelembaban.

Berdasarkan klasifikasi Shea yang telah dimodifikasi dan dipakai sebagai panduan klinis oleh The

Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR), ulkus dekubitus dibagi menjadi 4 stadium (Tabel 5)

dan berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan ulkus dan perbedaan temperatur antara ulkus

dengan kulit sekitarnya, ulkus dekubitus dapat dibagi menjadi tiga tipe (Tabel 6).

Tabel 5. Stadium Ulkus Dekubitus Berdasarkan Modifikasi Klasifikasi Shea

Stadium Manifestasi Klinis

Stadium I

Eritema nonblanchable pada kulit yang masih utuh atau perubahan warna kulit yang hangat, edema, dan berindurasi pada pasien dengan kulit gelap

Stadium II Sudah terjadi kehilangan lapisan kulit epidermis dan/atau dermis

Stadium III Ulkus sudah berkembang ke jaringan lunak dan ke lapisan fasia dalam

Stadium IV Jaringan otot dan tulang sudah terlibat

Tabel 6. Tipe Ulkus Dekubitus

Tipe Manifestasi Klinis Perkiraan Lama Perawatan

Normal Beda temperatur dengan kulit sekitarnya hingga di bawah lebih

kurang 2,5°C

6 minggu

Arteriosklerotik

Selain faktor tekanan, terdapat gangguan aliran darah akibat

arteriosklerotik. Beda temperatur dengan kulit sekitarnya <1°C

16 minggu

Terminal Terjadi pada pasien yang akan meninggal Tidak dapat sembuh

Page 12: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Komplikasi ulkus dekubitus meliputi nyeri, infeksi lokal, selulitis, osteomielitis, sepsis, dan kematian.

Selain imobilisasi dan terbatasnya tingkat aktivitas, faktor risiko lain timbulnya ulkus dekubitus adalah kulit

yang kering, meningkatnya suhu tubuh, tekanan darah yang rendah, usia yang lanjut, inkontinensia,

malnutrisi, diabetes melitus, insufisiensi vaskular, obesitas, hipoalbuminemia, demensia berat, dan

berubahnya tingkat kesadaran.

Pencegahan

Setiap pasien yang mengalami imobilisasi harus dilakukan penilaian risiko untuk terjadinya ulkus

dekubitus dengan menggunakan skala Norton (Tabel 7). Skor <14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk

terjadinya ulkus dekubitus. Skor <12 berkaitan dengan peningkatan risiko 50 kali lebih besar untuk

mendapatkan ulkus dekubitus, skor 12-13 memiliki risiko sedang, sedangkan skor >14 memiliki risiko

sangat kecil.

Tabel 7. Skala Norton untuk Mengukur Risiko Ulkus Dekubitus

Kondisi Pasien Keterangan Skor

Kondisi Fisik Umum Baik Cukup/lumayan Buruk Sangat buruk

4 3 2 1

Kesadaran Kompos mentis Apatis Confused Stupor

4 3 2 1

Tingkat Aktivitas Ambulatori Berjalan dengan bantuan Hanya bisa duduk Hanya bisa tiduran

4 3 2 1

Mobilitas Bergerak bebas Sedikit terbatas Sangat terbatas Tidak bisa bergerak/imobil

4 3 2 1

Inkontinensia Tidak ada Kadang-kadang Sering inkontinensia urin Inkontinensia urin dan alvi

4 3 2 1

AHCPR mensponsori suatu panduan untuk pencegahan ulkus dekubitus, yang meliputi pengkajian

faktor risiko, perawatan kulit dan terapi awal ulkus dekubitus, pencegahan/perlindungan terhadap efek

tekanan, gesekan, dan regangan, serta pemanfaatan program edukasi tentang ulkus dekubitus.

Page 13: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Pengkajian faktor risiko. Individu yang harus berbaring atau duduk dalam jangka panjang atau

mereka dengan ketidakmampuan untuk berubah posisi harus dianggap sebagai kelompok dengan risiko

tinggi untuk timbulnya ulkus dekubitus. Pengkajian faktor risiko ini dilakukan ketika masuk rumah sakit

untuk perawatan akut atau rehabilitasi, panti werdha, program perawatan di rumah, dan fasilitas perawatan

kesehatan lain. Risiko ulkus dekubitus harus dikaji ulang setiap ada perubahan dalam tingkat aktivitas atau

mobilitas.

Perawatan kulit dan terapi awal. Beberapa rekomendasi dibuat sebagai petunjuk praktis klinis

untuk mencegah ulkus dekubitus berdasarkan opini para ahli karena kurangnya bukti yang berbasis

penelitian, seperti yang diuraikan pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Rekomendasi Perawatan Kulit dan Terapi Awal untuk Pencegahan Ulkus Dekubitus

1. Amati kulit setiap hari secara sistematis. 2. Bersihkan kulit dengan bahan pembersih yang lembut secara rutin, hindari pemakaian air panas dan

minimalkan regangan dan gesekan pada kulit. 3. Kurangi kekeringan kulit karena kelembaban yang rendah dan paparan terhadap dingin, dan

gunakan pelembab untuk kulit kering. 4. Kurangi paparan kulit terhadap kelembaban karena inkontinensia, keringat, atau drainase luka. Jika

inkontinensia tidak dapat dikendalikan, setelah pengkajian dan terapi yang sesuai, gunakan bahan absorptif atau alas (underpad). Bahan topikal yang bekerja menghalangi kelembaban juga dapat digunakan.

5. Kurangi cedera kulit karena gesekan dan regangan dengan cara mengubah posisi, berpindah, dan berbalik; pelumas seperti minyak sayur atau krim; dan pelapis protektif, pembalut, atau alas di atas tulang yang menonjol.

6. Pastikan asupan gizi yang adekuat dan koreksi defisiensi nutrisi yang konsisten dengan seluruh target terapi.

7. Upayakan rehabilitasi yang sesuai dengan target terapi. 8. Catat seluruh intervensi dan hasil yang didapat.

Pencegahan efek akibat tekanan, gesekan, dan regangan. Mengubah posisi sesering

mungkin merupakan metode utama pencegahan ulkus dekubitus.

• Ubah posisi dengan punggung pasien miring 30o dari permukaan tempat tidur bergantian ke kiri atau kanan dan

telentang setiap 2-3 jam pada pasien dengan risiko tinggi dan 2-4 kali per hari pada pasien dengan risiko lebih

rendah

• Hindari posisi miring dengan punggung berada 90o terhadap permukaan karena akan memberikan tekanan

berlebihan pada trokanter mayor dan maleolus lateral.

• Gunakan bantal di antara tungkai, di bawah punggung, dan penyangga lengan untuk mempertahankan posisi

optimal, mencegah kontak antara tonjolan tulang yang satu dengan yang lainnya, antar ekstremitas maupun

Page 14: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

dengan alas tidur, dapat mengangkat tumit dari alas tempat tidur, dan menopang pasien pada posisi miring

lateral 30o

• Bagi pasien yang harus memposisikan kepala tegak (posisi duduk) di tempat tidur atau pasien dengan

kemampuan terbatas duduk di kursi roda, ubah posisinya setiap 1 jam atau pasien diminta untuk mengubah

tumpuan berat badannya setiap 15 menit

• Untuk mencegah gaya regangan, jangan mendudukkan pasien pada sudut 30o, pasien sebaiknya berbaring atau

duduk tegak, karena posisi duduk dengan sudut 30o tersebut menyebabkan lekukan (angulasi) pada pembuluh

darah di daerah gluteal dan sakrum sehingga aliran darah dapat terhambat.

• Untuk mencegah gesekan, gunakan pelindung pergelangan kaki dan tumit serta pasien harus diangkat dan

jangan digeser atau ditarik dari tempat tidur

• Untuk mencegah maserasi kulit, jaga agar kulit tetap kering (memakai alas berdaya serap tinggi untuk pasien

dengan inkontinensia) tapi licin (lubricated) dengan mengoleskan emolien tipis-tipis setelah mandi atau

inkontinens.

• Gunakan alat pengurang tekanan, gesekan, atau regangan (kasur air atau kasur udara/kasur anti-dekubitus),

pada pasien yang dengan teknik perubahan posisi saja tidak cukup atau tidak memungkinkan

• Hindari penggunaan alat bantu berbentuk seperti donat untuk kursi dan kursi roda

Edukasi dan pendekatan multidisplin. Edukasi terhadap tenaga kesehatan di seluruh tingkat

pelayanan kesehatan serta pasien, keluarga, dan pramuwerdha (caregivers) mengenai faktor risiko dan

perawatan pada pasien dengan faktor risiko dapat mengurangi insidensi ulkus dekubitus, demikian pula

bila pendekatan tim multidisiplin diterapkan.

Terapi

Sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh AHCPR, penatalaksanaan terhadap ulkus dekubitus

harus meliputi pendekatan sistemik, penggunaan kasur atau matras khusus, perawatan luka lokal,

pembedahan, dan terapi-terapi eksperimental.

Pendekatan sistemik

• Perhatikan status hidrasi pasien dan tatalaksana dengan baik jika terdapat gangguan

• Berikan asupan nutrisi yang adekuat dengan memperhatikan pula kebutuhan mineral dan vitamin. Pada pasien

malnutrisi yang mengalami ulkus dekubitus, nutrisi yang diberikan setidaknya 30 sampai 35 kalori/kgBB/hari

dengan protein sebanyak 1,25 sampai 1,5 g/kgBB/hari untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang positif

Page 15: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

• Antibiotika sistemik diindikasikan pada pasien dengan sepsis, selulitis, dan osteomielitis atau sebagai

pencegahan terjadinya endokarditis bakterial pada pasien dengan penyakit jantung katup yang memerlukan

debrideman ulkus. Antibiotika yang diberikan sebagai terapi awal sambil menunggu hasil kultur haruslah yang

berspektrum luas untuk kuman gram-positif dan negatif, serta anaerob. Ampisilin-sulbaktam, imipenem,

meropenem, tikarsilin klavulanat, piperasilin tazobaktan, serta kombinasi klindamisin dengan siprofloksasin atau

dengan aminoglikosida merupakan pilihan yang sesuai untuk terapi inisial

Penggunaan tempat tidur atau matras khusus

• Air-fluidized bed, low-air-loss bed, atau tempat tidur khusus yang dapat mengubah posisi pasien secara otomatis

Perawatan lokal

• Ulkus dekubitus stadium I dan II umumnya tidak memerlukan pemberian terapi topikal, cukup menjaga

kelembaban dan kebersihan ulkus, dan diharapkan akan membaik dengan sendirinya

• Pada luka yang bersih namun tidak menyembuh atau tetap mengeluarkan eksudat setelah 2 sampai 4 minggu

dengan perawatan yang optimal, dapat dicoba pemberian antibiotika topikal seperti silver sulfadiazin selama 2

minggu

• Hindari penggunaan povidon-iodin, iodofor, natrium hipoklorit, hidrogen peroksid, serta asam asetat

• Lakukan debrideman luka secara adekuat bila terdapat jaringan nekrotik, meliputi debrideman dengan pisau

atau gunting, atau pendekatan mekanik berupa pembalutan, hidroterapi, irigasi, dekstranomer, terapi enzimatik,

atau teknik autolitik

• Setelah ulkus bersih dan granulasi atau epitelisasi telah mulai, pertahankan kelembaban daerah ulkus dan

sekitarnya tanpa menghambat penyembuhan jaringan dengan menggunakan dressing seperti transparent film,

hydrocolloid dressing, atau cukup kasa yang dibasahi dengan normal salin

• Tatalaksana nyeri pada luka, terutama nyeri yang timbul saat dilakukan debrideman

• Lakukan pijat manual sirkular pada tepi luka dekubitus, phonophoresis dengan transducer ultrasound dan ZnO2,

serta transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) berfrekuensi rendah pada tepi luka untuk memperbaiki

vaskularisasi daerah luka, granulasi, dan epitelisasi jaringan

Prosedur pembedahan

• Meliputi penutupan luka, cangkok kulit (skin graft) dan flap miokutaneus, serta membuang tulang yang menonjol

sebagai penyebab ulkus

• Tindakan radikal seperti amputasi kadang diperlukan pada ulkus yang infeksinya mengalami komplikasi atau

meluas.

Page 16: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Terapi eksperimental

• Sebagai terapi tambahan, namun umumnya masih belum cukup data untuk mendukung penggunaannya.

• Terapi oksigen hiperbarik serta beberapa jenis terapi topikal dan faktor pertumbuhan (growth factor) sedang

dikembangkan sebagai cara untuk mempercepat penyembuhan luka.

Hipotensi Ortostatik

Salah satu akibat komplikasi imobilisasi pada sistem kardiovaskular adalah hipotensi ortostatik yang

ditegakkan bila dijumpai penurunan tekanan darah sistolik >20 mmHg atau diastolik >10 mmHg yang

diukur segera dalam waktu 2-3 menit dari posisi berbaring ke posisi tegak dan dapat disertai keluhan

dizziness atau sinkop (hipotensi ortostatik simtomatik).

Pencegahan

Hipotensi ortostatik dapat dicegah dengan mobilisasi bertahap secepatnya, diutamakan agar

secepatnya dapat duduk di tempat tidur dengan kaki menggantung ke bawah sambil digerak-gerakan.

Terapi

Evaluasi obat-obatan yang dikonsumsi dan status hidrasi pasien karena penyebab hipotensi ortostatik

antara lain adalah penggunaan obat-obatan anti-hipertensi, diuretika, antiparkinson, antipsikotik,

antidepresi, dan vasodilator tertentu, serta defisit cairan tubuh atau berkurangnya volume darah.

Bila sudah terjadi hipotensi ortostatik, atasi penyebab yang reversibel dan dapat dilakukan latihan

rekondisi sebagai berikut:

- apabila memiliki tilt table dilakukan latihan menggunakan tilt table, yaitu secara bertahap alas tilt table

ditegakkan perlahan-lahan, mulai dari 5 derajat, kemudian dipertahankan 5 menit pada tiap perubahan posisi.

Latihan tersebut dilakukan minimal sekali sehari sampai pasien mampu beradaptasi dengan posisi tersebut

sambil perlahan ditingkatkan menuju posisi berdiri tegak

- apabila alat tilt table tidak tersedia, dapat diberikan latihan rekondisi yang dimulai dengan menegakkan

sandaran tempat tidur secara bertahap, setiap 30 derajat, dipertahankan 5 menit, sampai pasien mampu

duduk tegak di atas tempat tidur dengan tungkai lurus. Pertahankan posisi tegak selama mungkin setiap hari,

terutama saat pasien dalam keadaan bangun, minimal 3 kali sehari, selama 2 jam setiap duduk tegak (contoh:

saat pasien melakukan aktivitas makan dan minum)

- selalu perhatikan keluhan subyektif pasien, perubahan nadi dan tekanan darah. Hentikan penambahan posisi

apabila tanda-tanda hipotensi ortostatik muncul dan segera kembalikan pada posisi terakhir yang tidak

Page 17: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

mengakibatkan tanda-tanda tersebut muncul, pertahankan setiap perubahan posisi selama 5 menit sampai

pasien kembali dalam keadaan berbaring telentang

- setelah pasien mampu duduk tegak di atas tempat tidur tanpa disertai tanda-tanda hipotensi ortostatik, pasien

mulai diminta bergeser ke sisi tempat tidur, duduk dengan kedua lengan berpegangan atau menumpu pada

tempat tidur sebagai stabilisator dan tungkai menggantung ke bawah sambil digerakkan perlahan-lahan

menekuk dan lurus bergantian. Latihan ini dilakukan sampai pasien mampu duduk dengan punggung tegak

tanpa berpegangan. Posisi ini dilakukan terutama saat pasien sedang aktivitas makan dan minum

- setelah pasien mampu duduk di sisi tempat tidur, secara bertahap pasien dicoba berdiri berpegangan di

samping tempat tidur, berlatih memindahkan berat badan atau beban tubuh dari kaki kanan ke kiri serta

sebaliknya, sehingga aktivitas duduk dapat dilakukan di luar tempat tidur, pada kursi yang diletakkan di dekat

tempat tidur

- pasien dapat menggunakan stoking elastik pada abdomen dan ekstremitas bawah, terutama untuk mencegah

berkumpulnya darah pada daerah tersebut karena gerak kontraksi otot untuk memompa darah balik vena ke

jantung dari ekstremitas bawah kurang adekuat

Kontraktur

Kontraktur/deformitas terjadi akibat pemendekan serabut otot karena imobilisasi pada posisi non

fungsional, contohnya berbaring lama pada posisi tungkai menekuk, membuka keluar, atau drop foot

(pergelangan kaki dalam posisi plantar fleksi).

Pencegahan

Untuk mencegah kontraktur/deformitas, dapat dilakukan body positioning/stretching:

- mobilisasi bertahap secepatnya

- proper positioning, dengan memosisikan pasien sedemikian rupa agar dapat berbaring dengan posisi sendi-

sendi penopang tubuh pada keadaan serupa dengan saat berdiri tegak, yaitu kepala, punggung, serta tungkai

dalam keadaan lurus, sedangkan sendi pergelangan kaki dalam posisi seperti saat berdiri tegak dimana

tungkai dan kaki membentuk sudut 90 derajat

- static splinting (pemberian foot board, ankle foot orthosis) agar sendi pergelangan dipertahankan pada posisi

fungsional

- apabila pasien mampu menggerakkan tungkai secara mandiri saat sedang berbaring, maka dapat dilakukan

gerakan-gerakan sederhana sesuai dengan kemampuan pasien; dimulai dengan gerakan dorso fleksi-plantar

fleksi pergelangan kaki yang dilanjutkan dengan menekuk lutut secara bergantian dengan menggeser tungkai

Page 18: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

pada tempat tidur, dari posisi lurus sampai menekuk secara berulang-ulang, minimal 3 kali sehari, 10 gerakan

untuk setiap tungkai atau sesuai kemampuan pasien

Terapi

Apabila sudah terjadi kontraktur atau terdapat keterbatasan gerak sendi, dilakukan latihan gerak

sendi ekstremitas aktif dan pasif disertai slow stretching minimal 1-2 kali sehari untuk menjaga seluruh

rentang gerak sendi. Untuk mempermudah stretching dapat diberikan ultrasound diatermi pada otot yang

hendak dilatih.

PENUTUP

Keberhasilan pembangunan kesehatan meningkatkan angka harapan hidup manusia Indonesia

berdampak pada peningkatan persentase populasi usia lanjut Indonesia dan masalah kesehatan yang

berhubungan dengan warga usia lanjut, salah satunya adalah imobilisasi. Imobilisasi dapat menimbulkan

berbagai komplikasi sistemik yang akan mengantarkan pasien usia lanjut pada kondisi terminal dan

kematian terutama jika dibiarkan tanpa perawatan yang baik dan benar sesuai prosedur medis. Tingginya

insidensi imobilisasi pada usia lanjut serta komplikasi sistemiknya yang bisa mengancam jiwa memerlukan

kesepahaman tentang tatalaksana imobilisasi serta komplikasinya.

Secara ringkas dapat disampaikan bahwa tatalaksana dalam masalah imobilisasi memerlukan

kerjasama tim interdisiplin, pasien, dan keluarga. Penatalaksanaan dimulai dari pengkajian geriatri

paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi. Berbagai kondisi medik dan faktor

eksternal yang mungkin merupakan faktor risiko terjadinya imobilisasi, serta penggunaan obat-obatan yang

mungkin memperberat keadaan imobilisasi, harus dievaluasi dan ditatalaksana secara optimal. Adanya

komplikasi akibat imobilisasi maupun infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang

mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya perlu ditemukenali dan

ditatalaksana secara komprehensif untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tatalaksana imobilisasi

dan komplikasi akibat imobilisasi meliputi tatalaksana farmakologi maupun non farmakologi berupa

berbagai latihan mobilitas, penggunaan alat bantu untuk berdiri dan ambulasi, serta manajemen miksi dan

defekasi.

Page 19: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

DAFTAR PUSTAKA

Anderson CL, Cutter NC. Immobility. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Etinger HW, Halter JB, Ouslander JG, penyunting.

Principles og Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hill; 1999. h. 1565-75.

Allman RM. Pressure ulcers. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Etinger HW, Halter JB, Ouslander JG, penyunting. Principles og Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hill; 1999. h. 1577-83.

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Immobility. Dalam: Essentials of Clinical Geriatrics. New York: McGraw-Hill; 2004. h. 245-78.

Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH. Venous thromboembolism: pathophysiology, clinical feature, and prevention. BMJ. 2002;325:887-90.

Covey C, Wyatt S. Diagnosis, investigation, and management of deep vein thrombosis. BMJ. 2003;326:1180-4.

Geerts WH, Pineo GF, Heit JA, dkk. Prevention of venous thromboembolism: The Seventh ACCP Conference on Antithrombotic and Thrombolytic Therapy. Chest. 2004;126:338-400.

Ramzi DW, Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: Part I. Diagnosis. Am Fam Physician. 2004;69:2829-36.

Ramzi DW, Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: Part II. Treatment dan prevention. Am Fam Physician. 2004;69:2841-8.

Buller HR, Davidson BL, Decousus H, dkk, for The Matisse Investigators. Fondaparinux or enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep venous thrombosis. Ann Intern Med. 2004;140:867-73.

The Matisse Investigators. Subcutaneous fondaparinux versus intravenous unfractionated heparin in the initial treatment of pulmonary embolism. N Engl J Med. 2003;349:1695-702.

Bauer KA, Eriksson BI, Lassen MR, Turpie AGG, for the Steering Committee of the Pentasaccharide in Major Knee Surgery Study. Fondaparinux compared with enoxaparinfor the prevention of venous thromboembolism after elective major knee surgery. N Engl J Med. 2001;345:1305-10.

Eriksson BI, Bauer KA, Lassen MR, Turpie AGG, for the Steering Committee of the Pentasaccharide in Major Knee Surgery Study. Fondaparinux compared with enoxaparinfor the prevention of venous thromboembolism after hip-fracture surgery. N Engl J Med. 2001;345:1298-304.

Lassen MR, Borris LC, Nakov RL. Use of the low-molecular-weight heparin reviparin to prevent deep-vein thrombosisafter leg injury requiring immobilization. N Engl J Med. 2002;347:726-30.

Ridker PM, Goldhaber SZ, Danielson E, dkk, for the PREVENT Investigators. Long term, low- intensity warfarin therapy for the prevention of recurrent venous thromboembolism. N Engl J Med 2003;348:1425-34.

Agnelli G, Prandoni P, Samtamaria MG, dkk, and the Warfarin Optimal Duration Italian Trial Investigators. Three months versus one year of oral anticoagulant therapy for idiopathic deep venous thrombosis. N Engl J Med 2001; 345:165-9.

Anderson FA, Spencer FA. Risk factors for venous thromboembolism. Circulation. 2003;107:I.9-I.16.

Kyrle PA, Minar E, Bialonczyk C, dkk. The risk of recurrent venous thromboembolism in men and women. N Engl J Med. 2004;350:2558-63.

American Geriatrics Society Guideline. The use of oral anticoagulant (warfarin) in older people. Am J Geriatr Cardiol. 2003;12(3):153-60.

Bates SM, Ginsberg JS. Treatment of deep-vein-thrombosis. N Engl J Med. 2004;351:268-77.

Koopman MMW, Prandoni P, Piovella F, dkk, for the Tasman Study Group. Treatment of venous thromboembolism with intravenous unfractionated heparin administered in the hospital as compared with subcutaneous low-molecular-weight heparin administered at home. N Engl J Med. 1996;334:682-7.

Hyers TM. Venous thromboembolism. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159-1-14.

Cohen AT, Davidson BL, Gallus AS, dkk, and ARTEMIS Investigators. Efficacy and safety of fondaparinux for the prevention of venous thromboembolism in older acute medical patients: randomised placebo controlled trial. BMJ. 2006;332:325-9.

Page 20: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Quinlan DJ, McQuillan A, Eikelboom JW. Low-molecular-weight heparin compared with intravenous unfractionated heparin for treatment of pulmonary embolism. A Meta Analysis of Randomized, Controlled Trial. Ann Intern Med. 2004;140:175-83.

Hirsh J, Lee AYY. How we diagnose dan treat deep vein thrombosis. Blood. 2002;99:3102-10.

Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J, dkk. Heparin-induced thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med. 1995;332:1330-5.

The Columbus Investigators. Low-molecular-weight heparin in the traetment of patients with venous thromboembolism. N Engl J Med. 1997;337:657-62.

Simonneau G, Sors H, Charbonnier B, dkk, for the THESEE Study Group. A comparison of low-molecular-weight heparin and unfractionated heparin for acute pulmonary embolism. N Engl J Med. 1997;337:663-9.

Levine M, Gent M, Hirsh J, dkk. A comparison of low-molecular-weight heparin administered primarily at home with unfractionated heparin administered in the hospital for proximal deep-vein thrombosis. N Engl J Med. 1996;334:677-81.

Hull R, Raskob G, Pineo G, dkk. A comparison of subcutaneous low-molecular-weight heparin with warfarin sodium for prophylaxis against deep-vein thrombosis after hip or knee implantation. N Engl J Med;329:1370-6.

Warkentin TE, Kelton JG. Temporal aspects of heparin-induced thrombocytopenia. N Engl J Med. 2001;344:1268-92.

European Pressure Ulcer Advisory Panel. Pressure Ulcer Treatment Guideline. Available at http://www.epuap.org/gltreatment.html Diakses pada 30 Maret 2006.

Nestle Clinical Nutrition. Pressure Ulcer Care Guidelines.

Lyder CH. Pressure ulcer prevention and management. JAMA. 2003;289:223-6.

Adelman AM. Orthostatic hypotension. Dalam: Adelman AM, Daily MO. Eds. 20 Common Problems Geriatics. Singapore: McGraw-Hill Book Co; 2001. h. 419-420.

Knight AL. Skin ulcer. Dalam: Adelman AM, Daily MO. Eds. 20 common problems Geriatics. Singapore: McGraw-Hill Book Co; 2001. h. 389-409.

Thind K, Feigenbaum L. Disability and rehabilitation. Dalam: Lonergen ET. a Lange Clinical Manual Geriatrics. 1st ed. London: Prentice Hall International Inc; 1996. h. 406-14.

Tierney LM. Vascular disease. Dalam: Lonergen ET. a Lange Clinical Manual Geriatrics. 1st ed. London: Prentice Hall International Inc; 1996. h. 119-20.

Lonergan ET, Stone JT. Pressure sores. Dalam: Lonergen ET. Lange Clinical Manual Geriatrics. 1st ed. London: Prentice Hall International Inc; 1996. h. 508-14.

Mix CM, Specht DP. Achieving functional independence. Dalam: Braddom RL. Physical medicine and rehabilitation.2nd ed. Philadelphia: WB Saunders; 2000. h. 517-34.

Pranarka K. Dekubitus. Dalam: Darmojo RB, Martono H. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. h. 215.

DiPonio LA. Deep venous thrombosis. Dalam: Brammer CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; 2002. h. 231-7.

Kipp DA, Spires MC. Pressure ulcers: prevention and care. Dalam: Brammer CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; 2002. h. 281-95.

Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and bed rest. Dalam: Brammer CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; 2002. h. 221-8.

Alterations in blood pressure: hypertension and orthostatic hypotension. Dalam: Porth CM. Penyunting. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 5th ed. Philadelphia: Lippincott; 1998. h. 379-82.

Page 21: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 1

INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARTHEL (AKS BARTHEL)

No Fungsi Skor Keterangan Nilai Skor

1 Mengendalikan rangsang pembuangan tinja

0 1 2

Tak terkendali/tak teratur (perlu pencahar) Kadang-kadang tak terkendali (1x seminggu) Terkendali teratur

2 Mengendalikan rangsang berkemih

0 1 2

Tak terkendali atau pakai kateter Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1x/ 24 jam) Mandiri

3 Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat gigi)

0 1

Butuh pertolongan orang lain Mandiri

4 Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram)

0 1 2

Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain Mandiri

5 Makan 0 1 2

Tidak mampu Perlu ditolong memotong makanan Mandiri

6 Berubah sikap dari berbaring ke duduk

0 1 2 3

Tidak mampu Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk (2 orang) Bantuan minimal 1 orang Mandiri

7 Berpindah / berjalan 0 1 2 3

Tidak mampu Bisa (pindah) dengan kursi roda Berjalan dengan bantuan 1 orang Mandiri

8 Memakai baju 0 1 2

Tergantung orang lain Sebagian di bantu (misalnya mengancing baju) Mandiri

9 Naik turun tangga 0 1 2

Tidak mampu Butuh pertolongan Mandiri

10 Mandi 0 1

Tergantung orang lain Mandiri

TOTAL SKOR

Keterangan : Skor AKS BARTHEL

20 : Mandiri 5 – 8 : Ketergantungan berat

12-19 : Ketergantungan ringan 0 – 4 : Ketergantungan total

9 – 11 : Ketergantungan sedang

Page 22: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 2

ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT)

Status mental Nilai

A. Umur ...................... tahun

B. Waktu / jam sekarang ..........................

C. Alamat tempat tinggal ..........................

D. Tahun ini ..........................

E. Saat ini berada di mana .............................

F. Mengenali orang lain (dokter, perawat, penanya)

G. Tahun kemerdekaan RI ................................

H. Nama Presiden RI ..................................

I. Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir ..........

J. Menghitung terbalik (20 s/d 1) ..........................

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

0. Salah 1. Benar

K. Perasaan hati (afeksi) A. Baik B. Labil C. Depresi

D. Gelisah E. Cemas

Total Skor :

(diisi oleh petugas)

Keterangan:

Skor AMT 0-3 : Gangguan ingatan berat 4-7 : Gangguan ingatan sedang 8-10 : Normal

Page 23: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 3

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

Nama Responden : Nama Pewawancara :

Umur Responden : Tanggal Wawancara :

Pendidikan : Jam mulai :

Nilai Maksimum

Nilai Responden

5 5

( )

( )

ORIENTASI Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa? Sekarang kita berada dimana? (Nama rumah sakit atau instansi, jalan, nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)

3

( )

REGISTRASI Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, misalnya : Satu detik untuk tiap benda. Kemudian mintalah responden mengulang ke tiga nama benda tersebut. Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah, ulangi penyebutan ke tiga nama benda tersebut sampai responden dapat mengatakannya dengan benar : (bola, kursi, sepatu) Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : --------- kali.

5

( )

ATENSI DAN KALKULASI Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah. Berhenti setelah 5 kali hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan lain, ejalah kata dengan lima huruf, misalnya ’ DUNIA’ dari akhir ke awal / dari kanan ke kiri : ’AINUD’. Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar.

3

( )

MENGINGAT Tanyakan kembali nama ke tiga benda yang telah disebut di atas. Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.

9

( )

BAHASA a. Apakah nama benda ini? Perlihatkanlah pinsil dan arloji (2 nilai)

b. Ulangi kalimat berikut: ”JIKA TIDAK, DAN ATAU TAPI” (1 nilai ) c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini :

Peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu pada pertengahan dan letakkan di lantai. ( 3 nilai )

d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut : ” PEJAMKAN MATA ANDA” (1 nilai) e. Tulislah sebuah kalimat ! (1 nilai)

f. Tirulah gambar ini ! (1 nilai

Page 24: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

Jumlah nilai :

( )

Tandailah tingkat kesadaran responden pada garis absis di bawah ini dengan huruf ’X’ SADAR SOMNOLEN STUPOR KOMA Jam selesai : Tempat wawancara :

Lembar Lampiran MMSE (BAHASA) :

• BACALAH DAN LAKSANAKANLAH PERINTAH BERIKUT : ”PEJAMKAN MATA ANDA ! ”

• TULISLAH SEBUAH KALIMAT ! ......................................................................................................................................................................................................................................................................................................

• TIRULAH GAMBAR INI !

Page 25: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 4

GERIATRIC DEPRESSION SCALE (GDS)

No. Pertanyaan Jawaban

1. Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda? YA TIDAK

2. Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan anda? YA TIDAK

3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? YA TIDAK

4. Apakah anda sering merasa bosan? YA TIDAK 5. Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? YA TIDAK

6. Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran bahwa anda tidak dapat keluar dari pikiran anda?

YA TIDAK

7. Apakah anda merasa mempunyai semangat yang baik setiap saat? YA TIDAK

8. Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda? YA TIDAK

9. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda? YA TIDAK

10. Apakah anda sering merasa tidak berdaya? YA TIDAK

11. Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? YA TIDAK

12. Apakah anda lebih senang berada di rumah daripada pergi ke luar rumah dan melakukan hal-hal yang baru?

YA TIDAK

13. Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa depan anda? YA TIDAK

14. Apakah anda merasa memiliki banyak masalah dengan daya ingat anda dibandingkan kebanyakan orang?

YA TIDAK

15. Apakah menurut anda hidup anda saat ini menyenangkan? YA TIDAK

16. Apakah anda sering merasa sedih? YA TIDAK

17. Apakah saat ini anda merasa tidak berharga? YA TIDAK

18. Apakah anda sangat mengkhawatirkan masa lalu anda? YA TIDAK

19. Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan menyenangkan? YA TIDAK

20. Apakah sulit bagi anda untuk memulai sesuatu hal yang baru? YA TIDAK

21. Apakah anda merasa penuh semangat? YA TIDAK

22. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan? YA TIDAK

23. Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang lebih baik dari anda? YA TIDAK

24. Apakah anda sering merasa sedih terhadap hal-hal kecil? YA TIDAK

25. Apakah anda sering merasa ingin menangis? YA TIDAK

26. Apakah anda mempunyai masalah dalam berkonsentrasi? YA TIDAK

27. Apakah anda merasa senang ketika bangun di pagi hari? YA TIDAK

28. Apakah anda lebih memilih untuk tidak mengikuti pertemuan-pertemuan sosial/ bermasyarakat?

YA TIDAK

29. Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan? YA TIDAK

30. Apakah pikiran anda secerah biasanya? YA TIDAK

Skor: hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal

• Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1.

• Skor antara 5 – 9 menunjukkan kemungkinan besar depresi

• Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi

Page 26: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 5

Bila tidak bermasalah pertimbangkan untuk program latihan jasmani

Gambar 1. Strategi klinis untuk pengkajian dan penatalaksanaan keterbatasan mobilitas

Kaji tingkat mobilitas : Nonambulatori atau ambulatori

Kaji lama dan konsekuensinya

Kaji beratnya hambatan untuk perbaikan: - Defisit kognitif berat - Keterbatasan mobilitas yang berkepanjangan - Gangguan fisik ireversibel

- Kurangnya target dari pasien dan keluarga

Hambatan besar: sedikit atau tidak ada potensi

Tidak ada hambatan yang besar: potensial untuk perbaikan mobilitas

Asuhan untuk masalah mobilitas yang menetap - Tingkat asuhan yang diperlukan - Pelatihan bagi pramuwerdha (caregiver) - Peralatan - Adaptasi Lingkungan

Upaya untuk memperbaiki mobilitas - Kaji kemampuan mobilitas secara detil - Pengkajian & tatalaksana medis dari

gangguan - Pengkajian & tatalaksana biomekanik

dgn rehabilitasi dan latihan - Tim pengkajian dan asuhan untuk

hambatan psikologis, sosial dan lingkungan

Tidak ada perbaikan

Perbaikan

Page 27: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 6 TROMBOSIS VENA DALAM

Gejala pada tungkai dan dengan klinis adanya

trombosis vena dalam

Tentukan probabilitas adanya DVT

Probabilitas rendah Probabilitas sedang atau tinggi

Pemeriksaan D-Dimer ` Pemeriksaan ultrasonografi vena

Negatif Positif atau tidak tersedia Negatif Positif

Trombosis vena Pemeriksaan ultrasonogrfi Pemeriksaan Terdapat trombosis

dalam dapat vena D-Dimer vena dalam

disingkirkan

Negatif Positif Negatif Positif Terapi

Trombosis vena Terdapat trombosis Trombosis vena Pemeriksaan

dalam dapat vena dalam dalam dapat lebih lanjut

disingkirkan disingkirkan (misal: pemeriksaan II

ultrasonografi vena,

Terapi venografi)

Gambar 2. Algoritme diagnosis trombosis vena dalam

Page 28: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 7

EMBOLI PARU

Gejala dan tanda klinis emboli paru

Perkirakan probabilitas klinis adanya emboli paru

Pemeriksaan pencitraan paru

(dapat dipilih)

CT Pulmonary angiography Ventilation-perfusion lung scan

Positif Negatif Hasil scan normal

Diagnosis Pemeriksaan tungkai bawah Probabilitas rendah Evaluasi lebih lanjut

emboli paru dengan ultrasonografi kompresi atau sedang dari untuk diagnosis lain

pemeriksaan scan

(non diagnostik)

Terapi Negatif Positif

Probabilitas klinis Diagnosis emboli paru Probabilitas tinggi

Dari pemeriksaan scan

Rendah Sedang Tinggi Terapi Probabilitas klinis

Pemeriksaan angiografi Rendah Sedang atau tinggi

D-Dimer atau

Ultrasonografi

Serial Angiografi Diagnosis emboli paru

Negatif Positif Negatif Positif Terapi

Evaluasi Diagnosis emboli Evaluasi Diagnosis emboli

lebih lanjut paru lebih lanjut paru

untuk diagnosis untuk diagnosis

lain lain

Terapi Terapi

Gambar 3. Algoritme diagnosis emboli paru

Page 29: 25.Penatalaksanaan Imobilisasi

LAMPIRAN 8

PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA PADA PASIEN YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT

Gambar 4. Panduan rekomendasi dan konsensus bebas tromboemboli vena

Evaluasi Faktor Risiko

Apakah mobilitas pasien berkurang dan apakah ada faktor risiko lain?

(lihat tabel 1)

Tabel 1. Faktor Risiko

Tromboemboli Vena

- Usia >40 tahun - ICU - Riwayat tromboemboli vena (trombosis vena dalam atau emboli paru)

- Obesitas - Strok iskemik (non-hemoragik) - Gagal jantung & penyakit paru kronik

- Gagal napas & pneumonia - Infeksi berat - Trombofilia - Gangguan active-collagen vaskular

- Gangguan inflamasi - Kateterisasi vena sentral & vena

varikosa

Pasien harus dievaluasi tiap hari untuk memonitor timbulnya faktor risiko tromboemboli vena

selama perawatan

Timbul faktor risiko untuk tromboemboli vena

selama perawatan

TATALAKSANA PROFILAKSIS

Profilaksis terhadap

tromboemboli vena

Tidak

Ya

Ya

Tabel 2. Kemungkinan Kriteria Eksklusi untuk Profilaksis

Tromboemboli Vena

Kriteria Eksklusi

Adakah kemungkinan kriteria eksklusi untuk profilaksis farmakologi (antikoagulan)?

(lihat tabel 2)

Indikasi untuk penggunaan metode mekanik (misalnya intermittent

pneumatic compression)

PROFILAKSIS • Low-molecular-weight heparin (LMWH) Diberikan sampai terdapat perbaikan kondisi klinis pasien

• UNFRACTIONATED HEPARIN (UFH) 5000 IU setiap 8 jam Diberikan sampai terdapat perbaikan kondisi klinis pasien

Uji klinik merekomendasikan penggunaan profilaksis farmakologi selama 7-12 hari, meskipun terapi jangka pendek dan panjang

sesuai dengan faktor klinis atau lama perawatan

Ya

Tidak

Semua pasien harus diskrining dan dipertimbangkan untuk profilaksis terhadap trombosis vena dalam

- Perdarahan aktif - Hipersensitif terhadap UFH atau LMWH

- Insufisiensi ginjal bermakna (tes klirens kreatinin <30 ml/menit)

- Koagulopati - Heparin induced trombocytopenia - Bedah intrakranial atau intraokular

- Anestesia epidural/spinal (24 jam)