MOTTOrepository.ub.ac.id/4707/1/Theresia%20Intan%C2%A0... · 2020. 8. 18. · MOTTO “Janganlah...
Transcript of MOTTOrepository.ub.ac.id/4707/1/Theresia%20Intan%C2%A0... · 2020. 8. 18. · MOTTO “Janganlah...
MOTTO
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah
dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan
dengan ucapan syukur”
Filipi 4:6
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI
Judul : INTEGRASI POLITIK IDENTITAS DI TENGAH
KENTALNYA BUDAYA MELAYU (Studi Kasus Kota
Tanjungpinang)
Disusun oleh : Theresia Intan Anggraeni
NIM : 135120500111043
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Ilmu Politik
Konsentrasi : Metode
Malang, 26 Juli 2017
Ketua Majelis Penguji Sekertaris Majelis Penguji
H.B. Habibi Subandi, S.Sos., MA Faqih Alfian.,S.IP., M.IP
NIK. 201204 84905 1 001 NIK. 201405 861216 1 001
TANDA PENGESAHAN SKRIPSI
INTEGRASI POLITIK IDENTITAS DI TENGAH KENTALNYA BUDAYA
MELAYU
( Studi Kasus Kota Tanjungpinang)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Theresia Intan Anggraeni
NIM. 135120500111043
Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana Ilmu Politik
pada tanggal 26 Juli 2017
Tim Penguji :
Ketua Majelis Penguji Sekertaris Majelis Penguji
H.B. Habibi Subandi, S.Sos., MA Faqih Alfian.,S.IP., M.IP
NIK. 201204 84905 1 001 NIK. 201405 861216 1 001
Anggota Majelis Penguji I Anggota Majelis penguji II
Wawan Sobari, S.IP., MA., Ph.D Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si
NIP. 19740801 200801 1 009 NIP. 19641230 199303 1 002
Malang, 26 Juli 2017
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prof. Dr.Unti Ludigdo, S.E., M.Si., Ak
NIP. 196908141994021001
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya
di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
pihak lain untuk mendapatkan karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan
disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam nashkah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-
unsur jiplakan, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah
saya peroleh (S-1) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (UU) No 20 Tahun 2003, Pasal 25 ayat 2 dan pasal 70.
Malang, 26 Juli 2017
Mahasiswa
Theresia Intan Anggraeni
NIM. 135120500111043
ABSTRAK
Theresia Intan Anggraeni (2017), Integrasi Politik Identitas di Tengah Kentalnya
Budaya Melayu (Studi Kasus Kota Tanjungpinang). Dibawah Bimbingan dari H B
Habibi Subandi, S.Sos., MA dan Faqih Alfian S.IP.,M.IP.
Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana pembentukan identitas bersama
Kota Tanjungpinang dan menjadikan Melayu sebagai identitas kedaerahan. Terdapat
fenomena isu pluralitas diusung oleh etnis Tionghoa yang merupakan penduduk asli
juga di Kota Tanjungpinang untuk menciptakan multikulturalisme di masyarakat.
Penelitian ini melihat bagaimana eksistensi Melayu era reformasi saat ini dan
munculnya isu pluralitas yang diusung oleh etnis Tionghoa. Jenis penelitian yang
dilakukan ini adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif bertujuan untuk lebih
mengetahui fenomena yang ada di Kota Tanjungpinang, dengan menggunakan teori
politik identitas David Brown dan Jonathan D. Hill & Thomas Wilson bahwa politik
identitas terbentuk secara internalisasi dan naturalisasi. Teknik pengumpulan data
menggunakan metode wawancara dengan informan kunci dan pendukung. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa identitas Melayu hanya diakui sebagai identitas
kedaerahan dalam bentuk seni dan budaya dan tidak adanya diskriminasi rasial
terhadap etnis Tionghoa Kota Tanjungpinang dikarenakan sejarah masa lalu di Kota
Tanjungpinang. Pengalaman sejarah dan pengalaman kultural di Kota tanjungpinang
inilah yang memberikan kekhasan sendiri dalam membentuk identitas.
Kata Kunci: Politik Identitas, Melayu, Multikulturalisme, Etnis, Tanjungpinang
ABSTRACT
Theresia Intan Anggraeni (2017), Integration of Identity Politics in the Middle of
Malay Culture (Case Study of Tanjungpinang City). Thesis Supervisors: Hb Habibi
Subandi S.Sos., MA, Faqih Alfian S.IP., M.IP.
This research describes how to form a common identity in Tanjungpinang
City and making Malay as the regional identity. There is a pluralism issue which
carried by Ethnic Tionghoa (Chinese). They are also native inhabitants in
Tanjungpinang City who will creating multiculturalism in society. this research about
how the existence of Malay in this current reform era and the emergence of the
pluralism issue carried by Ethnic Tionghoa (Chinese). The type of this research is
qualitative by using descriptive approach with an aim to know more about the real
phenomena which exist in Tanjungpinang City. It was using politic theory of identity
according to David Brown and Jonathan D. Hill & Thomas Wilson’ theory. They
state that politic of identity formed internally and naturally. The researcher use
qualitative method as the data collection technique by asking the key informant and
its supporters. The result of this research showed that Melayu as an identity only
recognized as the regional identity in art and culture form and there is no racial
discrimination against Ethnic Tionghoa (Chinese) in Tanjungpinang City. It causes
by the past and cultural history of Tanjungpinang City which give the uniqueness in
forming the identity.
Keywords: Politic of Identity, Malay, Multiculturalism, Ethnic, Tionghoa (Chenese),
Tanjungpinang
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME karena dengan rahmat, karunia, serta
pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Integrasi
Politik Identitas di Tengah Kentalnya Budaya Melayu (Studi Kasus Kota
Tanjungpinang). Proses penyusunan skripsi ini, tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak yang telah mendorong terwujudnya laporan ini dari mulai
untuk penulisan, baik dari segi tenaga, pemikirin dan juga ide-ide. Oleh karen itu
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak H B Habibi Subandi, S.Sos., MA dan Faqih Alfian S.IP.,M.IP.selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
masukan,kritikan,serta dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini dan banyak
memberikan cerita juga tentang kehidupan disela-sela bimbingan dan
merekomendasikan dua penguji bergelar Doktor yang memberikan sedikit
drama disaat waktu ujian.
2. Kedua orangtua saya,Ibu Wid dan Bapak Kendro yang selalu mendoakan
perjalanan kuliah saya dari awal hingga akhir, yang mengembleng saya untuk
selalu kuat dalam pengerjaan skripsi yang ternyata seperti drama telenovela
dan kedua saudari saya, kak Niken yang sudah memberikan nutrisi yang sehat
dalam pengerjaan skripsi dan Ayas yang mensupport kakaknya untuk cepat
menyelesaikan skripsi di semester 8 ini.
3. Deswita,Dayu dan Feby walaupim kalian tidak di Malang tapi hiburan
kalian,candaan kalian untuk mensupport saya menyelesaikan skripsi inii dan
menyuruh untuk cepat-cepat meninggalkan Malang.
4. Furqan, Maikaronika yang telah menjadi motivasi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini dan teman yang dibutuhkan yang selalu ada serta
memberikan support kepada adiknya, dan juga Hani yang ikut membantu
mensupport penulis.
5. Geng Indroisme terutama Ega yang sangat membantu saya dalam
mengerjakan skripsi penulis dan bantuan tebengan dari semester 2,
Dina,Bayu,Agung,Tyo,Sarah,Hyram yang juga hadir menghibur dan
terkadang memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini dan untuk
duo krucil Lili Dian yang sudah memberikan rumah singgah untuk
menyelesaikan skripsi.
6. Andhika Satryo,Irsan Malik,Wira,Pandu,Bebe,Lady,Audrey,Yayan Hidayat,
Ario,Razi,Acul,Pandu, Danu, Kaleg,Fahrianto,Nazula,Irene,Rino dan teman-
teman yang tidak disebutkan karena kemampuan mengingat penulis terbatas
terimakasih telah membantu,mendukung dan menemani penulis diperkuliahan
ini.
7. Teman-teman di Tanjungpinang yang telah membantu penulis dalam
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat di harapkan demi
terciptanya perbaikan-perbaikan kedepannya, Penulis juga berharap agar hasil dari
skripsi ini dapat bermanfaaat bagi seluruh pembaca khususnya mahasiswa/i Ilmu
Politik Universitas Brawijaya dan juga mahasiswa di seluruh Indonesia.
Malang, 26 Juli 2017
Theresia Intan Anggraeni
DAFTAR ISI
MOTTO
……………………………………………………………..………………………...…
..1
TANDA PERSETUJUAN
SKRIPSI……………………..…….……….………………….…...2
TANDA PENGESAHAN SKRIPSI
........................................... ……...………………….………………………………....3
PERNYATAAN ORISINALITAS
SKRIPSI………………………………………………….4
ABSTRAK
. ……………………………………………………...………………………………...5
KATA PENGANTAR
...................... ……………………………………………………………..…………...7
DAFTAR
ISI……………………………………………...………………………...….………10
DAFTAR TABEL
............. ………………………………………………………………………..……..13
DAFTAR ISTILAH
................ ……………………………………………………………………….……15
BAB I PENDAHULUAN
………………………………………………………………….……Error! Bookmark
not defined.
1.1.Latar
Belakang……………………………………………………………………...………
…………Error! Bookmark not defined.
1.2. Fokus Masalah .................................................................... Error! Bookmark not defined.
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................ Error! Bookmark not defined.
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
...... …………………………………………………………...…..Error! Bookmark not
defined.
2.1. Politik Identitas ................................................................... Error! Bookmark not defined.
2.2 Landasan Konseptual .......................................................... Error! Bookmark not defined.
2.2.1 Etnis .............................................................................. Error! Bookmark not defined.
2.2.2. Etnisitas ........................................................................ Error! Bookmark not defined.
2.2.3 Multikulturalisme.......................................................... Error! Bookmark not defined.
2.3 Penelitian Terdahulu ............................................................ Error! Bookmark not defined.
2.3.1. Integrasi Politik di Kalimantan Barat : Studi Kasus Kabupaten KetapangError! Bookmark not defined.
2.3.2 Bisnis, Kekuasaan, Dan Identitas (Studi terhadap Perilaku Politik Etnis
Tionghoa di Bangka Belitung Pasca Orde Baru) ................... Error! Bookmark not defined.
2.3.3. Menguat Politik Identitas di Ranah Lokal ................... Error! Bookmark not defined.
2.4 Kerangka Pemikiran ........................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB III METODOLOGI
PENELITIAN……………………………………………………..Error! Bookmark
not defined.
3.1. Metode Penelitian ............................................................... Error! Bookmark not defined.
3.2. Lokasi Penelitian ................................................................ Error! Bookmark not defined.
3.3. Fokus Penelitian ................................................................. Error! Bookmark not defined.
3.4. Teknik Pengumpulan Data ................................................. Error! Bookmark not defined.
3.5. Pemilihan Informan ............................................................ Error! Bookmark not defined.
3.6. Instrumen Penelitian ........................................................... Error! Bookmark not defined.
3.7. Sumber Data ....................................................................... Error! Bookmark not defined.
3.8. Teknik Analisis Data .......................................................... Error! Bookmark not defined.
3.9. Keabsahan Data .................................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB IV Identitas dan Karakteristik Kota
Tanjungpinang……….....………………………Error! Bookmark not defined.
4.1 Penyajian Data Umum ......................................................... Error! Bookmark not defined.
4.1.1 Kota Tanjungpinang Secara Geografis ......................... Error! Bookmark not defined.
4.1.2 Kota Tanjungpinang Secara Demografis ...................... Error! Bookmark not defined.
4.1.3 Suasana Kota Tanjungpinang ....................................... Error! Bookmark not defined.
4.1.4. Kota Tanjungpinang dalam Dimensi Sejarah .............. Error! Bookmark not defined.
4.2 Data Fokus Penelitian .......................................................... Error! Bookmark not defined.
4.2.1 Menggali Jejak Sejarah dan Identitas Etnis Tionghoa di TanjungpinangError! Bookmark not defined.
4.2.2 Sosial Budaya dan Aktivitas Politik Masyarakat Kota TanjungpinangError! Bookmark not defined.
4.2.3 Aktivitas Politik ............................................................ Error! Bookmark not defined.
4.2.4 Budaya Melayu dan Pendefinisian Ulang Identitas ..... Error! Bookmark not defined.
BAB V PEMBENTUKAN IDENTITAS DI KOTA TANJUNGPINANG
............................................................ ………………….Error! Bookmark not defined.
5.1 Politik identitas Etnis Tionghoa dalam Isu Pluralitas Sebagai Identitas di Kota
Tanjungpinang ........................................................................... Error! Bookmark not defined.
5.2 Pembentukan Identitas di Kota Tanjungpinang dalam Bingkai Kedai Kopi.Error! Bookmark not defined.
5.3 Eksistensi Melayu di Kota Tanjungpinang di Era ReformasiError! Bookmark not defined.
5.3.1 Integrasi Budaya Kota Tanjungpinang yang Dibangun di Tengah Masyarakat
dengan Kentalnya Budaya Melayu ............................................ Error! Bookmark not defined.
BAB VI PENUTUP
......... ……………………………………………………………………………..Error!
Bookmark not defined.
6.1. Kesimpulan ......................................................................... Error! Bookmark not defined.
6.2 Saran .................................................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA
............. …………………………………………………………………………..Error!
Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL
2.1. Tabel Pola Gerakan Identitas
………………………..…………………….……………..…12
2.3. Penelitian
Terdahulu…………………………………………………………..…………….23
3.1. Informan
Penelitian……………………………………………………………..…………..32
4.1. Pembagian Kecamatan dan Kecamatan di Kota
Tanjungpinang……………………..….....38
4.2. Jumlah Penduduk berdasarkan
Suku……………………………………………………..…40
DAFTAR GAMBAR
4.1. Peta Kota
Tanjungpinang……………………………................................…………….…40
5.1 Taman Budaya
Senggarang……….…………………………………………………………72
5.2 Kedai Kopi di
Tanjungpinang..............................................................................................78
DAFTAR ISTILAH
Akau : tempat makan terbuka
BPS : Badan Pusat Statistik
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
GANDI : Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi
Hokkien : Bahasa Ibu Tiongkok
Kapitan : Bupati
Kec : kecamatan
Kepri : Kepulauan Riau
Kesbangpol : Kesatuan Bangsa dan Politik
KomNas HAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Pileg : Pemilihan Legislatif
Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah
Residentie Riouw : Sebutan Riau sebelum menjadi provinsi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dari
Sabang hingga Merauke, didiami oleh masyarakat yang majemuk ditandai oleh
kekhasan kebudayaan yang sangat beragam dan masing-masing memiliki ciri yang
sangat beragam dan masing-masing memiliki ciri yang sangat banyak jumlahnya.
Kemajemukan itu menjadi simbol kebangsaan yang diikat oleh satu semboyan yaitu
Bhineka Tunggal Ika.
Ke-bhineka-an ini menjadi pengikat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam
mengusir penjajahan pada masa lalu. Kemudian seiring berjalannya waktu berbagai
dinamika mewarnai kehidupan sosial politik negeri ini yang memberikan dampak
pada sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai kultur yang selama ini
diagung-agungkan sebagai khasanah budaya nusantara mengalami pergeseran hingga
pada pola tingkah laku masyarakat pendukungnya sebagai dampak dari dinamika
perkembangan itu. Hal ini yang menyebabkan munculnya politik identitas.
Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang
terkontruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses
internalisasi secara terus menerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu
jalinan interaksi sosial (Buchari & Sri Astuti, 2014). Politik identitas mendapat
tempat yang istimewa beberapa tahun terakhir. Ketika membahas suatu etnis atau
suatu kelompok maka teori politik ini muncul untuk membantu analisis sebuah
fenomena atau permasalahan. Dalam literatur politik, politik identitas dibedakan
antara identitas politik dengan politik identitas. Identitas politik menjelaskan
kontruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu
komunitas politik sedangkan politik identitas mengacu pada bagaimana mekanisme
politik pengorganisasian identitas baik identitas politik ataupun sosial sebagai sumber
dan sarana politik
Sebelum kita membahas bagaimana politik identitas dibentuk di Kota
Tanjungpinang, Secara geografis provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara
tetangga, yaitu Singapura, Malaysia dan Vietnam yang memiliki luas wilayah
251.810,71 km² dengan 96 persennya adalah perairan dengan 1.350 pulau besar dan
kecil telah menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan (BPS, 2015). Ibukota provinsi Kepulauan Riau
berkedudukan di Tanjung Pinang. Provinsi ini terletak pada jalur lalu lintas
transportasi laut dan udara yang strategis dan terpadat pada tingkat internasional serta
pada bibir pasar dunia yang memiliki peluang pasar.
Secara budaya dan sejarah, Kepulauan Riau selalu menjadi milik dari alam
melayu yang didasari pada silsilah keturunan kerajaan. Wilayah ini telah menjadi
daerah kekuasaan dari kesultanan melaka-johor yang dikuasai oleh dinasti melayu
yang bertempat tinggal di semenanjung melayu (1400-1699) yang kemudian menjadi
pusat kekuasaan dari kesultanan Riau-Lingga yang diatur oleh koalisi dari dinasti
melayu dan bugis yang berkedudukan di Kepulauan Riau (1722-1911). Hal ini
menjelaskan asal mula kemelayuan, yaitu sebuah kategori afiliasi budaya yang pada
dasarnya diasosiasikan dengan ketaatan pada islam, bahasa melayu, dan adat-adat
kebiasaan melayu (Lenhart,1997).
Suku melayu merupakan penduduk asli dan kelompok suku bangsa yang
dominan di Tanjungpinang, selain itu terdapat juga suku Bugis dan Tionghoa yang
sudah ratusan tahun berbaur dengan suku Melayu dan menjadi penduduk tetap
semenjak zaman Kesultanan Johor Riau dan Residentie Riouw. Suku Bugis awalnya
menetap di Kampung Bugis dan suku Tionghoa banyak menempati Jalan Merdeka
dan Pagar Batu. Suku Jawa mulai ramai mendatangi Tanjung Pinang pada tahun
1960, pemukiman awal suku Jawa terletak di Kampung Jawa.
Kota Tanjungpinang merupakan kota yang majemuk. Berbagai etnis, suku dan
budaya bangsa, tumbuh dan berkembang di Tanjungpinang. Namun kemajemukan
tersebut terkadang memicu masalah. Hal ini patut dibahas karena menyangkut
identitas Bangsa Indonesia yang multikulturalisme. Meskipun ingin menciptakan
sebuah provinsi atas dasar etnis yang akan menguntungkan bagi orang-orang melayu,
dalam realita populasi di kota Tanjungpinang tidak hanya satu etnis saja. Dengan
demikian akan jauh lebih sulit untuk menekan kemelayuan lokal sebagai penanda
sebuah identitas provinsi ini, untuk mengatasi hal ini, elit melayu dan para akademisi
lokal di kepri berusaha menghidupkan kembali suatu solidaritas melayu „serumpun‟
yang bersifat trans-nasional. Tetapi pada saat yang sama perkawinan campuran sangat
umum, khususnya di daerah perkotaan, yang membuat masalah-masalah identitas
etnis semakin kompleks serta bagaimana etnis yang menjadi memiliki jumlah yang
cukup banyak seperti Jawa dan Tionghoa mulai memainkan perannya dalam
partisipasi politik.
Mengambil contoh kecil bagaimana etnis Tionghoa mulai menjalankan prinsip
pluralisme, di Kepulauan Riau tepatnya Kota Tanjungpinang adanya agenda yang
dibuat oleh walikota Tanjungpinang yaitu “Revitalisasi Budaya Melayu” setiap
tahunnya akan tetapi ini menjadi perdebatan dan mulai ditentang oleh sebagian tokoh
etnis Tionghoa karena mereka juga menginginkan pemerintah sadar bahwa kota
Tanjungpinang adalah kota yang pluralis-multietnis bukan hanya milik satu etnis.
Sejarah silam tentang etnis Tionghoa di Kota Tanjungpinang memang sedikit
sekali atau hampir tidak tercatat dalam sejarah namun setelah reformasi peningkatan
partisipasi politik oleh etnis Tionghoa ini sangat tinggi. Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena kaum Tionghoa yang berperan penting dalam ekonomi politik dan hubungan
antara investor dari Singapura yang masuk ke Kepri yang di pegang oleh sebagian
besar masyarakat etnis Tionghoa di Kepri. Dapat dilihat dalam lingkup Provinsi
Kepulauan Riau khususnya kota Tanjungpinang sudah banyak aktor-aktor politik
yang muncul dari kalangan etnis Tionghoa seperti Bobby Jayanto yang pada priode
2004-2009 menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Tanjungpinang dan dia adalah etnis
Tionghoa pertama yang menjadi ketua DPRD di Indonesia, Hendry Frankim yang
pernah menjabat sebagai anggota DPD dari daerah pemilihan Kepulauan Riau, , Rudy
Chua sebagai anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau periode 2009-2014 dan 2014-
2019 Dapil I (Tanjungpinang) serta Reni dan Beni yang pernah dan sedang menjabat
lagi sebgai anggota DPRD Kota Tanjungpinang 2009-2014 2014-2019. Kekuatan
yang mereka bangun tidak hanya dari sektor identitas politik etnis saja, dengan
sendirinya banyak kebijakan-kebijakan yang memihak terhadap etnis tionghoa karena
khususnya dalam sektor ekonomi
Berdasarkan fakta-fakta yang muncul, melihat kondisi diatas membuktikan
kontribusi dan partisipasi politik serta kepercayaan akan wakilnya etnis Tionghoa di
Kota Tanjungpinang cukup besar di era Reformasi ini. politik identitas yang dicoba
ditransformasi ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai pemerintahan
daerah sampai pergantian pimpinan puncak.
Hal inilah yang membuat penulis mencoba meneliti dan berusaha untuk
menggambarkan bagaimana politik identitas dibangun oleh etnis Tionghoa ditengah
kentalnya budaya Melayu dan etnis Melayu yang mentransformasikan diri dalam
identitas Melayu yang lebih terbuka serta tersirat masih adanya isu Putra Daerah
Melayu untuk menjadi pemimpin dan mengamati bagaimana wujud dan pola interaksi
antar etnis di Tanjungpinang guna mencapai pemahaman kehidupan di Kota
Tanjungpinang.
1.2. Fokus Masalah
Peneliti ingin lebih dalam menelurusi
1. Bagaimana eksistensi etnis Melayu yang sekarang dalam pembentukan
identitas di Kota Tanjungpinang di era reformasi ?
2. Sejauh mana isu pluralitas diusung oleh etnis Tionghoa untuk dijadikan
identitas bersama di Kota Tanjungpinang?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui sejauh mana etnis Tionghoa mengedepankan pluralis sebagai
identitas bersama di kota Tanjungpinang
2. Peran warga etnis Tionghoa yang terjun ke aktivitas politik di Kota
Tanjungpinang.
3. Faktor yang mendorong pendefinisian identitas Melayu pada zaman reformasi
4. Sejauh mana eksistensi etnis Melayu dan budaya Melayu di era sekarang ini
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada ilmu politik
2. Memberi sumbangan informasi bagi peneliti berikutnya yang berminat
melakukan penelitian pada materi atau pembahasan yang sama
3. Sebagai bekal wawasan dan pengetahuan bagi peneliti dalam
mengembangkan kemampuan berpikir dan belajar menganalisis pemasalahan
yang ada
4. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai wilayah kepulauan riau khususnya Tanjungpinang dalam
pembangunan masyarakat
5. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi
pemerintah maupun masyarakat kota Tanjungpinang tentang pluralisme.
6. Meminimalisasi kemungkinan terjadi kebangkitan etnis yang sering
dipergunakan oleh etnis tertentu untuk membuat tuntutan-tuntutan demi
kepentingan etnis tersebut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Politik Identitas
Teori adalah seperangkat konstruk (variabel) yang saling berhubungan, definisi,
dan proporsi yang menyajikan suatu pandangan atau keterbukaan secara sistematis
tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut. (Kerlinger & Simatupang, 1994).
Selanjutnya dipembahasan akan diuraikan mengenai teori yang menjelaskan dan
mendukung secara akademik data penelitian, sebagai berikut: Secara teoritis
munculnya politik identitas merupakan fenomena yang disebabkan oleh banyaknya
faktor seperti : aspek struktural berupa disparitas ekonomi masa lalu dan juga masih
berlanjutnya kesulitan ekonomi saat ini yang telah memberikan alasan pembenaran
upaya pemisahan diri sebuah kelompok primordial yang bertautan dengan aspek
keterwakilan politik dan istitusional serta memang terbentuk karena adanya
masyarakat pluralistik. Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan
melembaganya partisipasi dan keterwakilan politik masyarakat secara komprehensif
telah memicu munculnya kebijakan yang diskriminatif dan eksklusif yang pada
akhirnya memperkuat alasan kebangkitan politik identitas.
Politik identitas ini bersifat laten dan potensial yang dimana sewaktu-waktu
dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan dan dapat
dijelaskan secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik
yang terkontruksi dari akar budaya masyarakat setempat dan mengalami proses
internalisasi secara berkala di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan
interaksi sosial (Buchari S. A., 2014).
Menurut Barker (2005), Karena terdorong perjuangan politik serta minat
terhadap filsafat dan bahasa, ’identitas’ berkembang menjadi tema utama kajian
budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisitas, dan orientasi seks, juga tema-
tema lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan erat dengan politik identitas.
Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan polifik yang fokus
perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. sementara
Kemala Chandakirana (1989) clalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan,
menyebutkan bahwa:
“Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin
sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi "orang asli" yang
menghendaki kekuasaan dan mereka bagi "orang pendatang" yang
harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas
sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi-alat untuk menggalang
politik--guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya".
Pemaknaan politik identitas Agnes Heller dan Kemala Chandrakirana memiliki
perbedaan fokus yang dimana Agnes menekankan pada perbedaan merupakan
kategori dalam gerakan politik sedangkan Kemala melihat politik identitas sebagai
alat. Namun pada bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran
penafsiran dengan mengatakan bahwa di dalam politik identitas tentu saja ikatan
kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang
potensial serta menjadi surnber kekuatan untuk aksi-aksi politik. Pemahaman ini
berimplikasi pada kecenderungan untuk:
1. Ingin mendapat pengakuan dan perlakuan orang setara atau dasat hak-hak
sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun sosial-budaya.
2. Demi rnenjaga dan melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas
kelompok yang bersangkutan.
3. Loyalitas terhadap etnisitas yang dimilikinya.
Dari tiga kriteria tersebut, selanjutnya Von Beyme membuat analisis lanjutan
dengan melihat politik identitas melalui pola gerakan, motivasi yang ingin dicapai.
Tabel 2.1. Tabel Pola Gerakan Politik Identitas
Model Pola keterangan Pola Aksi Tujuan
Gerakan
Pra modern Perpecahan objektif (dimana
ada perpecahan fundamental
pasti ada gerakan sosial yang
menyeluruh
Mobilisasi
secara ideologi
atau aspirasi
pemimpin
Perampasan
Kekuasaan
Modern Pendekatan kondisional
(keterpecahan membutuhkan
sumber-sumber dimobilisasi)
Keseimbangan
mobilisasi dari
atas dan partipasi
dari bawah
Pembegalan
kekuasaan
Post-modern Gerakan dari dinamika sendiri.
Protes muncul dari berbagai
macam kesempatan individual.
Kesadaran diri Otonomi
Tidak terdapat suatu
pepercahan dominan
Sumber : (Abdillah, 2002)
Kebangkitan politik identitas di Indonesia tentunya tidak semata-mata
bertumpu pada perubahan politik nasional yang pada awalnya bersifat terpusat dan
terfokus dengan kendali rezim Orde Baru dan mendorong lahirnya otonomi daerah
serta berkembangnya politik identitas di seluruh Indonesia. Sri Astuti Buchari dalam
bukunya (2014) menggambarkan,otonomi dan demokrasi merupakan isu sentral yang
mewarnai dunia politik Indonesia. Dengan diterapkannya otonomi daerah, disini
terlihat awal lahirnya kebali sebuah masyarakat dengan segala bentuk dinamikanya
dalam konteks kebangkitan kembali masyarakat dalam sosok yang baru.
Sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang kemudian
memberikan kekuasaan dan kewenangan yang begitu besar kepada masyarakat di
daerah untuk memilih kepala daerahnya atau perwakilannya dikursi legislatif secara
langsung melalui pemilihan, hal inilah yang memunculkan sebuah fenomena baru
yaitu fenomena politik identitas. Munculnya fenomena politik identitas diberbagai
daerah dipicu oleh adanya demokratisasi dan desentralisasi dalam implementasi
otonomi daerah yang nyata. Menurut Jumadi (Buchari S. A., 2014) Permasalahannya
adalah sekarang proses rekruitmen kepemimpinan di daerah memberi ruang kepada
primordialisme yang memfasilitasi semakin berkembangnya semangat kesukuan dan
kedaerahan.
Teori yang akan digunakan sebagai alat analisa dalam skripsi ini, yakni teori
politik identitas yang disebutkan oleh David Brown bahwa identitas kelompok
menunjang kontruksi sosial untuk mempromosikan keterwakilan kelompoknya dan
untuk pada suatu momen tertentu dapat dibangkitkan demi kepentingan kelompoknya
(Subianto, 2009) dan dikuatkan dengan pendekatan politik identitas Jonathan D. Hill
dan Thomas M.Wilson bahwa politik identitas mengacu pada praktik dan nilai
politik yang berdasarkan berbagai identitas politik dan sosial yang berjalan secara
“naturalisasi” dari identitas individu menjadi identitas kolektif dan itu terjadi di setiap
aspek sosial maupun institusi.
Selain upaya politik identitas, identitas etnis juga digunakan sebagai instrumen
dalam politik. Etnisitas merupakan identitas yang berkaitan dengan kebudayaan,
identitas etnis juga dapat menjadi basis bagi suatu kelompok masyarakat ketika
menyuarakan tuntutannya. Di dalam teori David Brown, menjelaskan bahwa akan ada
kelompok identitas dominan dan kelompok identitas marginal di satu sisi dan terjadi
di negara multikultur dan identitas nasional dapat mengurangi permasalahan yang ada
pada politik identitas. (Hartriani & Wardani, 2014)
David Brown menyebutkan didalam masyarakat di Asia Tenggara setelah masa
kolonial menyebutkan terdapat dua pola pembentukan identitas nasional yaitu :
1. Ethnocultural Nasionalim mencerminkan bahwa keseluruhan status dan
keanggotaan dalam komunitas bangsa hanya diberikan pada mereka yang
memiliki atribut etnik tertentu yang dianggap dominan. Dan mereka yang
dianggap mewarisi kelompok etnik yang dominan yang mendapat setatus
yang lebih tinggi.
2. Multicultural Nasionalism yaitu nasionalisme dibangun berdasarkan
perbedaan budaya masing-masing kelompok pembentuknya (Brown, 1989).
Pada dasarnya, politik identitas adalah aliran politik yang ingin melibatkan
seseorang atau kelompok masyarkat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti
suku,agama,etnis,jenis kelamin dan orientasinya. Hal ini menunjukkan bahwa
eksistensi dan dinamika politik identitas dalam suatu negara sebenarnya merupakan
normal terjadi, apalagi dalam tatanan atau kontruksi sosial masyarakat yang
pluralistik atau bersifat multikultur.
Dengan kata lain, bentuk demografi suatu negara-bangsa yang plural akan
memperlihatkan aneka ragam etnis sebagai suati variable yang nyata, dimana antara
etnis yang satu dengan lainnya memiliki variasi, baik dalam kuantitas (jumlah),
karakteristik, nilai-nilai hidup yang dianut, dan sistem nilai kehidupan lainnya yang
mereka miliki sebagai kebudayaannya. Dengan kata lain, kehadiran politik identitas
bersifat given dan dinamis dalam kemajemukan suatu negara agar tetap bergulir
dalam kerangka penciptaaan kesatuan dalam keragaman demi kuatnya suatu negara
kesatuan (Buchari S. A., 2014).
Membaca buku Sri Astuti Buchari yang dimana membahas satu kesimpulan
dari Seminar Internasional bertemakan “Politik Identitas” dikatakan bahwa politik
identitas ini terkait dengan upaya upaya mulai sekedar penyaluran aspirasi untuk
mempengaruhi kebijakan penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang
berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas
keprimordialan. Dalam kasus ini, di Tanjungpinang, politik identitas tercermin secara
konkrit dalam dinamika politik lokal mulai dari upaya memasukkan nilai-nilai salah
satu budaya yaitu budaya Melayu dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 yang
dimana diwajibkan memakai baju kebesaran Melayu yang disebut baju kurung dalam
instansi dan institusi pendidikan pada hari jadi atau hari yang sudah ditentukan dan
juga dengan adanya politik identitas proses rekruitmen kepemimpinan daerah yang
masih berdasarkan kesukuan dan didominasi Melayu. Terlihat masih ada semangat
kesukuan yang bersifat mempertahankan agar tidak hilang dan menjadi global tetapi
di lain pihak, muncul suatu gagasan bahwa sebuah kota harus memiliki rasa
pluralistik walaupun Melayu takkan hilang.
2.2 Landasan Konseptual
2.2.1 Etnis
Kata etnis berasal dari kata Yunani ethos,yang merujuk pada pengertian bangsa
atau orang. Menurut Martin Bulmer, “etnis atau kelompok etnis adalah kolektivitas
dalam populasi yang besar, memiliki jalur keturunan yang secara umum sama,
terlepas dari apakah itu nyata atau sekedar kepercayaan, mempunyai memori terhadap
masa lalu yang sama, dan fokus kultural terhadap satu atau lebih elemen-elemen
simbolik yang menjelaskan identitas kelompoknya, misalnya agama, kekeluargaan
bahasa, teritori bersama, nasionalitas dan tampilan fisik yang relatif sama
(Sochmawardiah, 2013)
Menurut Ratcliffe (2006), kelompok etnis memiliki kesamaan asal usul dan
nenek moyang, memiliki pengalaman atau pengetahuan masa lalu yang sama,
mempunyai identitas kelompok yang sama, dan kesamaan tersebut tercermin dalam
lima factor yaitu, kekerabatan, agama, bahasa, lokasi pemukiman kelompok dan
tampilan fisik.
2.2.2. Etnisitas
Kata etnisitas berarti ciri-ciri yang dimiliki suatu kelompok masyarakat,
terutama ciri-cirinya yang terkait dengan ciri-ciri sosiologis atau antropologis,
misalnya ciri-ciri yang tercemin pada adat istiadat yang dilakoninya, agama yang
dianutnya, bahasa yang digunakan, dan asal usul nenek moyangnya. Kelompok etnik
ini dapat diidentifikasi dalam lingkungan budaya yang lebih luas melalui berbagai
cara, seperti dari riwayat kehadirannya di tengah lingkungan budaya yang lebih luas,
dari praktek keagamaan yang dilakukannya, diskriminasi yang diperolehnya dan dari
kelompok masyarakat yang lebihbesar. Selain itu, anggota kelompok etnik memiliki
ciri fisik yang khas (Ramsey, G, Leslie, Vold, Edwina, & Battle, 2003)
Konsep etnisitas dapat dikaji dari dua sisi (Chriost, 2003). Pertama menurut
pandangan primordialis adalah identitas individu sebagai anggota kelompok etnis dan
identitas kelompoknya yang berakar dari budayanya dan diwariskan oleh nenek
moyangnya kepadanya. Identitas ini diperoleh sejak dia lahir dan dipegangnya hingga
dia meningggal. Pandangan ini mengklaim bahwa etnisitas adalah identitas intrinsik
etnis yang bersifat primordial dan statis. Kedua menurut pandangan instrumentalis
adalah identitas kelompok etnis yang lahir dari kepentingan untuk menciptakan
kaplingan pembatas antara kelompok etnisnya dengan kelompok etnis yang lain.
Artinya, identitas tersebut diciptakan untuk menunjukkan bahwa kelompok etnisnya.
Dalam konsep seperti ini, etnisitas dipahami sebagai sumberdaya atau alat yang
dimiliki suatu kelompok etnis untuk memobilisasi dalam rangka memenuhi barang
dan jasa ekonomis maupun sosial. Dalam pemahaman yang paling ekstrim dari
pandangan ini ialah bahwa seseorang dapat menglain identitas etnik tertentu dalam
rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam suatu lingkungan tertentu.
Dengan demikian menurut pandangan ini etnisitas ini tidak lah bersifat statis;
melainkan bersifat dinamis.
2.2.3 Multikulturalisme
Setiap manusia mesti mempelajari kultur masyarakatnya. Di antara unsur
budaya yang paling signifikan yang harus dipelajari seseorang adalah nilai (values),
norma (norms) dan peranan (rules). Nilai-nilai sebuah kultur mengidentifikasi yang
diangap ideal – tujuan paling tinggi dan standar paling umum untuk memastikan baik
dan buruk atau yang disukai dan yang dibenci. Norma, sebaliknya, cukup spesifik. Ia
merupakan kaidah yang mengatur prilaku (rules governing behavior). Norma
menetapkan prilaku yang diperlukan, yang dapat diterima, atau yang dilarang dalam
keadaan tertentu.
Norma mengidentifikasikan bahwa seseorang seharusnya, seyogyanya, atau
semestinya bertindak atau tidak bertindak dengan cara tertentu. Nilai dan norma
saling terkait. Nilai membenarkan norma. Contohnya, nilai harga diri manusia dapat
dikemukakan untuk menjelaskan norma melarang mencemoohkan orang yang cacat
tubuh. Memanggil dengan julukan yang terkait dengan cacat fisiknya bukan saja
melanggar norma, tetapi juga secara moral salah. Sedangkan peranan (role) adalah
kumpulan norma yang terkait dengan kedudukan tertentu dalam suatu masyarakat. Ini
berarti norma-norma ini menjelaskan bagaimana kita mengharapkan seseorang dalam
kedudukan tertentu berbuat atau tidak berbuat. Struktur sosial ditata oleh peranan.
Dalam setiap situasi sosial, kita memiliki peranan yang relatif jelas untuk dijalankan:
mahasiswa, teman, perempuan, suami, pejalan kaki, polisi, perawat, isteri, dan lain-
lain. Masing-masing peranan ini melibatkan adanya suatu “scenario” yang
diharapkan masing pemilik peran untuk mengikutinya.
Multikulturalisme merupakan pola pikir yang menuntut kesediaan untuk
menerima kehadiran kelompok dan sistem nilai lain dalam kehidupan bersama tanpa
memperdulikan perbedaan budaya, stratifikasi sosial, jender, dan agama. Konsep ini
sejalan dengan menyatakan multikulturalisme sebagai ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dan keserajatan manusia baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat sekaligus dengan kebudayaannya (Suparlan, 2004)
Dapat dilihat juga bagaimana gagasan Kymlicka tentang multikulturalisme
berangkat dari pemikiran budaya adalah landasan dasar bagi masyarakat
multikultural. Oleh karena itu, sistem politik yang ideal adalah yang menyediakan
kesempatan yang sama bagi setiap kelompok budaya untuk mengekspresikan
identitas dan aspirasinya (Kymlicka, 2003) .
Pandangan konservatif memandang budaya sebagai sesuatu “ready-made” bagi
terciptanya masyarakat multikultur, sedangkan pandangan kritis melihat budaya
sebagai “proses” yang dinamis dalam menuju masyarakat multikultural. Peneliti
memandang multikulturalisme dalam penelitian ini melihat budaya bagian dari proses
menuju masyarakat multikultural yang awalnya memiliki rasa primordial terhadap
budayanya dan multikulturalisme hadir sebagai penengah untuk menghormati
kesetaraan dan memajukan pemikiran pengetahuan bahwa ketika seseorang itu belajar
budaya lain diluar budayanya, maka dengan mengakui dan menghargai perbedaan di
antara budaya-budaya tersebut.
2.3 Penelitian Terdahulu
2.3.1. Integrasi Politik di Kalimantan Barat : Studi Kasus Kabupaten Ketapang
Penelitian terdahulu ini dilakukan oleh Achyar Asmu’ie sebagai disertasi di
Universitas Indonesia,2006. Penelitian ini bertujuan menemukan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap integrasi politik di Kabupaten Ketapang sebagai satu-satunya
kabupaten yang belum pernah mengalami konflik etnis di tengah stigma buruk yang
disandang oleh Kalimantan Barat yang terkenal sebagai daerah rawan konflik etnis.
Masalah penelitian difokuskan kepada bagaimana faktor-faktor kondisi sosial dan
karakter budaya masyarakat, peran aktif para pemimpin informal, dan pembinan
integrasi politik oleh pemerintah sehingga berpengaruh terhadap integrasi politik di
kabupaten tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sentimen
primordial dari Clifford Geerthz yang menyatakan bahwa perbedaan suku, budaya,
bahasa, dan agama merupakan sumber konflik. Kemudian teori kesetiaan fanatik
ikatan primordial dari Maswacli Rauf, peran negara dari Arif Budirnan, intervensi
birokrasi dari Burhan Magenda dan Howard Wriggin, serta peran informal leader dari
Wriggin. Metode penelitian yang digunaakan adalah kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan rnelalui penelitian kepustakaan, wawancara. Perbedaan dari penelitian ini
adalah letak pada teorinya dan lokasi penelitian.
2.3.2 Bisnis, Kekuasaan, Dan Identitas (Studi terhadap Perilaku Politik Etnis
Tionghoa di Bangka Belitung Pasca Orde Baru)
Penelitian terdahulu ini dilakukan oleh Ibrahim, S.fil., M.si Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,2013.
Penelitian ini mengenai perilaku politik Tionghoa di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung dan bagaimana identitas Tionghoa dipersepsikan dan diposisikan oleh
elemen-elemen eksternal. Studi penelitian ini telah menunjukkan bahwa bangkitnya
aktivitas politik Tionghoa dalam berbagai kandidasi masih ditandai oleh ikutan
identitas sebagai basis-basis pemenangan dan orientasi..
Teori yang dipakai adalah teori sentimen primordial Clifford Greetz. Perspektif
primordialis melihat identitas sebagai sesuatu yang sudah pasti dan given serta
menekankan faktor kekuatan emosi sebagai penguat dalam afiliasi dengan melihat
aspek agama, bahasa, adat-istiadat, dan sebagainya .Pengumpulan data dilakukan
dengan cara wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi. Studi ini
pun menggunakan perspektif konstruktivisme yang melihat bahwa elit politik
Tionghoa mereproduksi, mereduksi, memilih, dan menegosiasikan identitasnya dalam
ruang-ruang politik yang fleksibel dan situasional.
Studi ini menghasilkan beberapa temuan penting. Pertama, ada dua jalur utama
yang dipilih oleh elit politik Tionghoa di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu
jalur formal dan jalur informal. Jalur formal ditempuh dengan cara berpolitik dalam
dunia elektoral dan kepartaian dengan orientasi utama pada kepentingan bisnis dan
demokratisasi berbayang alih kelas-alih eksistensi. Sementara jalur informal
ditempuh dengan cara menanamkan pengaruh pada kekuasaan untuk kepentingan
perluasan agenda bisnis. Di atas dua jalur tersebut, identitas dan finansial adalah dua
instrumen penting yang bermain. Kedua, memahami perilaku politik Tionghoa berarti
memahami bagaimana tiga titik pembahasan saling bermain dan membentuk piramida
politik, yaitu bisnis, kekuasaan, dan identitas.
Rahoyo mengemukakan (Rahoyo, 2010) ,berdasarkan temuan penelitiannya
mengemukakan salah satu cara baru untuk mengidentifikasi mereka adalah dengan
klaim tipe ideal yang seharusnya melekat dalam diri orang Tionghoa, yaitu
seharusnya kaya. Jika tidak kaya, maka orang-orang Tionghoa itu sendiri akan
menanggalkan identitas ke-tionghoa-annya dan akan lebih memilih membangun
hubungan dengan penduduk pribumi.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Ibrahim, S.fil., M.si adalah
sedangkan studi kasus yang melihat politik identitas etnis Tionghoa dan metode
penelitian yaitu sama-sama menggunakan metode penelitian deskriptif. Perbedaan
penelitian terletak pada pendekatan yang dipakai dan objek penelitian. Penulis
meggunakan pendekatan deskriptif sedangkan Ibrahim S.fil. M.si menggunakan
pendekatan pengalaman.
2.3.3. Menguat Politik Identitas di Ranah Lokal
Penelitian terdahulu ini dilakukan oleh Muhtar Haboddin,Jurusan llmu
Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang.. Penelitian ini mencoba meneliti dan
memahami dimana proses desentralisasi potitik ternyata diiringi dengan isu putra
daerah. sebuah isu yang sarat makna dan sangat mengkhawatirkan bukan hanya
proses demokrasi lokal akan terancam, tetapi juga menjadi petunjuk mernudarnya
semangat nasionalisme. memaparkan bagaimana proses menguatnya politik identitas
di ranah lokal khususnya di Provinsi Riau-Kalimantan Tengah-Kalimantan Barat dan
Irian Jaya berlangsung. Pertama-tama, makalah ini akan memaparkan gagasan teoritik
mengenai politik identitas, dilanjutkan dengan pelacakan apa penyebabnya.
Pada bagian yang lain, dipaparkan pula praktek-praktek politik identias pada
masa Orde Baru yang tidak diberi ruang alias ditabukan oleh pemerintah tetapi pada
masa reformasi politik identitas malah menguat. Sebelum ditutup, tulisan ini
memberikan jalan tengah perihal penataan politik identitas sebagai jalan keluar yang
bisa dilakukan oleh para aktor politik ditingkat 1oka1.
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu
Nama Achar Asmu’ie Ibrahim S.fil., M.si Muhtar
Habbodin
Judul Penelitian Integrasi Politik di
Kalimantan Barat :
Studi Kasus
Kabupaten Ketapang
BISNIS,
KEKUASAAN,
DAN IDENTITAS
(Studi terhadap
Perilaku Politik
Etnis Tionghoa di
Bangka Belitung
Pasca Orde Baru)
Menguatnya
Politik Identitas
di Ranah Lokal
Teori Teori sentimen
primordial Clifford
Greetz
Sentimen Primordial Politik Identitas
Von Beyme
Kajian Penelitian ini
membahas bahwa
masyarakat
kabupaten Ketapang
pada kenyataannya
tidak memiliki
konflik etnis
walaupun di
provinsinya sering
terjadi konflik.
Penelitian ini
membahas mengenai
perilaku politik
Tionghoa di Provinsi
Kepulauan Bangka
Belitung dan
bagaimana identitas
Tionghoa
dipersepsikan dan
diposisikan oleh
elemen-elemen
eksternal.
Penelitian ini
membahas
Politik identitas
yang terjadi di
Riau,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Barat dan lrian
Jaya, yang
menjadi fokus
kajian dalam
artikel ini,
menunjukkan
kuatnya isu ini.
lsu ini
digunakan oleh
aktor politik
ketika
melakukan
negosiasi
dengan entitas
politik
lainnya.
Sumber : diolah oleh penulis,2017
2.4 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran di sini adalah fokus alur dari penelitian yang akan diteliti.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mencoba membuat sebuah kerangka
pemikiran yang digunakan sebagai sebuah acuan dalam pelaksanaan penelitian dan
juga dalam menyusun laporan hasil dari penelitian. Kerangka pemikiran ini
melibatkan teori politik identitas dan konsep etnis serta etnisitas. .
Sumber : diolah oleh penulis,2017
Penyusunan kerangka pemikiran dalam penelitian ini juga bertujuan untuk
memfokuskan penelitian ke dalam objek kajian yang diteliti agar bahasanya tidak
terlalu luas, sehingga mengakibatkan hasil penelitian yang tidak sesuai dengan
konsep awal penelitian. Adapun konsep pemikiran yang dirancang dalam penelitian
yang berjudul Integrasi di Tengah Kentalnya Budaya Melayu (Studi Deskriptif Politik
Identitas di Kota Tanjungpinang)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode adalah cara evaluasi, analisis, dan seleksi berbagai alternative cara atau
teknik, metode digunakan untuk melakukan penelitian ilmiah (Suharto, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk memahami lebih dalam dan rinci suatu fenomena yang
diambil dan yang terjadi secara sistematis sehingga mampu memberikan hasil
penelitian yang optimal sehingga dapat dijadikan sebuah karya tulisan yang
mempunyai nilai ilmiah. Untuk mendapatkan itu, suatu penelitian harus
menggunakan metode atau jenis penelitian yang disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang akan di teliti untuk mendukung proses penelitian serta
mendapatkan data dan informasi yang benar.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang
dimana metode ini disebut penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukkan
pada kondisi alamiah (natural setting) (Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D, 2008) . Penelitian yang digunakan oleh peneliti merupakan
penelitian kualitatif ydengan pendekatan deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
membuat suatu gambaran atau menjelaskan suatu gambaran atau menjelaskan suatu
informasi secara sistematis, faktual dan akurat. Metodelogi kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Pola deskriptif yang digunakan oleh penulis dalam metode kualitatif merupakan
cara pendeskripsian atau menggambarkan realitas sosial yang kompleks yang ada
dimasyarakat. Penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif memiliki ciri–ciri
yaitu berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat ini, menguraikan satu variabel
saja, apabila ada variabel lain maka akan diuraikan satu persatu dan variabel yang
diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan terhadap variabel (Kountur, 2007).
Tujuan dari penelitian deskriptif sendiri untuk menggambarkan karakteristik
dari individu maupun situasi kelompok tertentu sehingga data yang didapatkan tidak
berupa angka-angka melainkan kata-kata, gambar, serta catatan lapangan. Jenis
penelitian deskriptif tidak menjelaskan suatu hubungan, tidak membuat prediksi
ataupun hipotesis (Moleong J. L., 2004)
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat peneliti akan melakukan penelitian sesuai
dengan keadaan dan fakta di lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat
menunjang proses penelitian tersebut. Lokasi penelitian disesuaikan dengan
permasalahan yang akan diteliti sehingga hasil yang nantinya akan diperoleh dapat
tercapai secara optimal. Lokasi penelitian berada di Kota Tanjungpinang Provinsi
Kepulauan Riau. Lokasi penelitian dipilih karena Tanjungpinang memiliki
kebudayaan Melayu yang sangat kental dan juga kedekatan dengan etnis Tionghoa
3.3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan tahapan awal dalam perencanaan penelitian. Fokus
penelitian adalah bagian yang penting mengingat melalui penelitian harus dapat
membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti. Fokus penelitian ditujukan
agar penelitian ini dapat lebih terarah dan lebih terperinci serta tidak menyimpang
dari rumusan masalah yang telah ditetapkan di awal. Fokus yang sebenarnya dalam
penelitian kualitatif diperoleh setelah dilakukannya penelitian umum. Dari penelitian
umum ini akan memperoleh gambaran umum menyeluruh yang masih pada tahap
permukaan tentang situasi sosial (Sugiyono, 2008, p. 209)
Fokus penelitian ini adalah :
1. Aktivitas politik etnis Tionghoa dalam mengusung sebuah kota yang pluralis
2. Peran pemerintah kota dalam membentuk politik identitas yang pluralis
3. Karakteristik budaya Melayu di masa sekarang ini dan simbol Melayu sebagai
identitas kedaerahan.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun beberapa teknik pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti. Antara
lain adalah:
1. Teknik In depth interview atau wawancara
Wawancara merupakan data primer yang diperlukan peneliti sebagai
acuan dalam menjawab pertanyaan rumusan masalah. Data ini berupa,
percakapan antara peneliti dengan informan kunci, dengan cara anya jawab .
Pertanyaan langsung ini dilakukan dengan alat perekam dan di catat oleh
peneliti (Soehartono, 2008). Teknik seperti ini untuk mengurangi atau
mencegah terjadinya kesalahpahaman dalam penulisan ulang dalam transkrip
wawancara yang dibuat oleh peneliti.
Apa yang akan diwawancara dengan informan dapat bersifat informasi
masa lalu, masa sekarang dan masa depan yang dimana bisa menjadi sumber
data primer bagi peneliti. Informan yang ada di lapangan, dapat berasal
darimana saja, maka dari itu peneliti sudah mempersiapkan daftar informan
untuk mendapatkan informan yang jelas sesuai dengan kebutuhan dari data
peneliti. Daftar informan yang dibuat peneliti pun diatur menurut kapasitas
informan dalam menjawab pertanyaan rumusan masalah penelitian.
Mengadakan wawancara langsung dengan narasumber. Informan yang
didapatkan menggunakan purposive sampling maka dari itu peneliti sudah
menpersiapkan daftar informan yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan
permasalahan pada penelitian ini.
2. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dengan cara pengamatan
secara langsung di lapangan terhadap apa yang ingin diteliti untuk menguatkan
data wawancara. Menurut Michael Quinn Patton (Patton, 2009),, observasi
memiliki banyak manfaat, antara lain:
1. Dengan berada di lapangan, peneliti lebih mampu memahami konteks data
dalam keseluruhan situasi, dan dapat memperoleh pandangan yang
menyeluruh
2. Pengalaman langsung memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan
induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep-konsep atau pandangan
sebelumnya.Pandangan induktif membuka kemungkinan melakukan
penemuan.
3. Di lapangan peneliti tidak hanya dapat mengadakan pengamatan, akan tetapi
juga memperoleh kesan-kesan pribadi.
4. dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkapkan oleh
informan dalam wawancara karena bersifat sensitive atau sengaja ingin
menutup-nutupi karena dapat merugikan sebelah pihak.
5. Dengan cara terjun langsung ke lapangan, peneliti dapat memperoleh
gambaran secara langsung mengenai kondisi umum objek yang ingin diteliti,
selain itu juga peneliti mempunyai banyak kesempatan atau mendapatkan data
yang lebih bnyak yang dapat dijadikan dasar untuk mendapatkan data yang
nyata dan akurat.
3. Teknik Dokumentasi
Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2001) dokumen merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk karya-karya momental,, tulisan, gambar
dari seseorang atau sebelumnya. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan
harian, biografi, peraturan, kebijakan dan life histories.Dokumen yang berbentuk
gambar misalnya foto, sketsa dan gambar hidup. Dokumen yang berbentuk karya
misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain.
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif dan akan diperoleh dokumentasi dipilih untuk
menunjang fakta-fakta lapangan yang ditemui dalam proses penelitian. Cara untuk
memperoleh data tentang suatu masalah dengan menelusuri dan mempelajari data
primer, baik dari dokumen, arsip, buku, jurnal, dan artikel baik cetak maupun online,
serta bahan lain yang terkait dengan penelitian.gambaran yang jelas mengenai isi dan
substansi kebijakan yang telah ada (Arikunto, 1998). Dokumentasi yang diambil bisa
bagian historis dari budaya Melayu dan Tionghoa yang ada di Tanjungpinang,
ataupun bukti pendukung untuk melengkapi penelitian ini.
3.5. Pemilihan Informan
Informan adalah orang yang berperan sebagai sumber informasi, secara harfiah
informan menjadi guru bagi peneliti (Spardley, 1977). Pada penelitian kualitatif,
penentuan informan dilakukan pada saat memasuki lapangan dan selama penelitian
berlangsung. Untuk menentukan informan yang akan dipilih dalam penelitian
terdapat berbagai teknik pengambilan informan yang akan digunakan, dimana salah
satunya teknik pengambilan informan ini tidak memberi peluang atau kesempatan
sama bagi tiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi informan (Suyanti,
2005).
Tabel 3.1
Informan Penelitian
No. Nama Informan Keterangan
1. Suparno Ketua DPRD, tokoh
Melayu
2. Bobby Jayanto Tokoh politik etnis
Tionghoa, Mantan Ketua
PSMTI
3. Yudhanto Satyagraha Dosen Politik Budaya
4. Wan Kamar Kepala Kesatuan Bangsa
dan Politik Kota
Tanjungpinang
5. Aseng Anggota PSMTI
Sumber : diolah oleh penulis,2017
3.6. Instrumen Penelitian
Secara definisi, instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Adapaun instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Interview Guide (Pedoman Wawancara)
Materi atau poin yang digunakan sebagai dasar serta acuan dalam
menjalankan wawancara terhadap informan. Sebelum bertemu narasumber untuk
diwawancari, peneliti telah menyiapkan pedoman wawancara yang menjadi acuan
ketika proses wawancara. Namun, proses tanya jawab tidak hanya terpaku pada
pedoman wawancara, melainkan pertanyaan yang dilontarkan menyesuaikan
ketika proses wawancara berlangsung, selain informasi verbal dari narasumber,
informasi juga didapatkan melalui respon-respon non-verbal narasumber.
(Kriyantono, 2006)
2. Pedoman Dokumentasi
Merupakan garis besar data yang dibutuhkan dalam menunjang penelitian
seperti buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, dan
sebagainya.
3. Field Note (Buku Catatan)
Catatan lapangan yang digunakan oleh peneliti saat melakukan wawancara.
Hasil pengamatan atau temuan yang ditemukan pada proses pengumpulan data
saat studi lapangan.
3.7. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian, penulis harus menghasilkan data-data yang sesuai
dengan fokus permasalahan yang sedang diteliti. Untuk pencarian data tersebut
dibagi dalam dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh
peneliti atau orang yang mengumpulkan data dengan cara wawancara narasumber
yang sudah dipilih dan memiliki potensi untuk memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh peneliti. Selain itu juga bisa didapatkan dengan cara melakukan
turun lapang dengan pengumpulan data dalam bentuk catatan atau rekaman baik
video, gambar, mapun suara tentang situasi yang sedang terjadi di lapangan.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder meliputi dokumen, arsip, catatan, dan laporan dari
berbagai pihak yang mendukung penelitian ini, seperti produk kebijakan dan
lainnya. Secara definisi data sekunder merupakan data yang tidak secara langsung
berhubungan dengan responden. Dalam pengumpulan data sekunder dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Studi Literatur : pengumpulkan data yang diperoleh dari jurnal, buku-
buku, karya ilmiah, berbagai pendapat ahli yang sesuai dengan permasalahan
yang sedang di teliti.
2. Dokumentasi : pengumpulan data yang didapatkan dari intansi terkait
dan data yang sudah ada secara tertulis di lokasi penelitian tersebut.
3.8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah salah satu bagian terpenting dari penyusunan
laporan penelitian. Pada penelitian kali ini valdiasi merupakan keseimbangan antara
data yang dilaporkan dengan data di lapangan. Pengujian validitas dapat dilakukan
dengan perpanjangan pengamatan di lapangan, melakukan pengamatan dengan lebih
cermat dengan model triangulasi data (bentuk waktu, teknik, ataupun sumber),
analisis kasus maupun mengadakan member check.
Penelitian ini penulis menetapkan bahwa metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif deskriptif. Analisa data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan
dengan jalan kerja data, mengorganisasikan data, memilah-milah data menjadi satuan
data yang mampu dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola
hubungan yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat
disimpulkan dan dilaporkan, di lain pihak, proses analisa data kualitatif dapat berjalan
secara baik (Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, 2008):
1. Mencatat seluruh hasil yang diperoleh di lapangan, kemudian memberikan
kode agar sumber data tetap ditelusuri.
2. Mengumpulkan, memilah- milah, menglarifikasikannya, dan me
3. Mengumpulkan,memilah-milah,mengklarifikasikannya,dan
mensintesiskannya, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya.
4. Berpikir dengan jalan membuat kategori data mempunyai makna, mencari dan
menemukan pola dan hubungan serta temuan umum.
3.9. Keabsahan Data
Untuk menghasilkan penelitian yang lebih akurat, dibutuhkan pengujian
keabsahan data. Dalam melakukan keabsahan data ini, penulis melakukan beberapa
cara, antara lain :
1. Memperpanjang masa observasi atau penambahan waktu penelitian,
Memperpanjang masa observasi juga berguna untuk menyempurnakan
data karena mungkin pada saat penelitian mengalami beberapa kendala
dan membutuhkan waktu yang lebih agar mendapatkan data penelitian
yang optimal.
2. Triangulasi sumber data, Triangulasi sumber data merupakan teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu (Moleong L. J., 2006, p. 330) .Tujuan triangulasi data dilakukan
dalam penelitian ini adalah untuk mengecek kebenaran data dengan
membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang diperoleh dari
sumber lain yang berkaitan., pada berbagai fase penelitian di
lapangan.Tetapi lebih penting lagi adalah bisa mengetahui alasan-alasan
terjadinya perbedaan.
3. Membicarakan dan berdiskusi dengan orang lain yang mengerti.
Mendiskusikan hasil data dengan orang lain yang lebih paham tentang
tema penelitian yang sedang dilakukan.
4. Menggunakan bahan referensi lainnya sebagai pembanding dan untuk
mempertajam analisa data yang sedang diolah.
BAB IV
Identitas dan Karakteristik Kota Tanjungpinang
4.1 Penyajian Data Umum
4.1.1 Kota Tanjungpinang Secara Geografis
Dahulu Kota Tanjungpinang merupakan daerah penyangga Kerajaan Bentan
yang merupakan pusat perdagangan dan pelayaran, dan sebagai pusat perdagangan
oleh Belanda untuk menyaingi Singapura yang dikuasai Inggris. Letak geografis Kota
Tanjungpinang sangat strategis, yaitu pada posisi silang perdagangan dan pelayaran
dunia, antara timur dan barat Kota Tanjungpinang terdapat Samudra Hindia dan Laut
Cina Selatan merupakan aset berharga yang turut berperan terhadap pertumbuhan
perdagangan.
Kota Tanjungpinang merupakan kota otonom yang memiliki sejarah panjang.
Sebagai kota sejarah, kota gurindam, kota budaya, kota pantun ataupun kota syair.
Tanjungpinang memiliki kekhasannya sendiri. Oleh karena itu maka Tanjungpinang
dapat dikatakan sebuah kota yang kental akan budayanya. Sebagai negeri induk dan
pusat pembinaan serta pengembangan Bahasa Inondeia, Tanjungpinang telah
memberikan banyak inspirasi bagi kalangan budayawan, sastrawan, dan seniman
untuk menempatkan kota ini sebagai sebuah kota yang unik dan inspiratif untuk
dicontoh baik dalam berbudaya maupun dalam politiknya.
Gambar 4. 1 Peta Kota Tanjungpinang menurut Kecamatan
Sumber : Google,2017
Secara geografis wilayah Kota Tanjungpinang terletak antara 0 51’30” – 0
59’8” Lintang Utara dan 104 24’ – 104 34’ Bujur Timur dengan luas wilayah 239,5
km2 dengan baas-batas sebagai berikut :
1. Batas Utara : Teluk Bintan Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan
2. Batas Selatan : Selat karas, kelurahan Mantang Baru Kabupaten Bintan
3. Batas Timur : Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan
4. Batas Barat : Selat Karas, Kelurahan Pangkil Kecamatan Teluk Bintan
Kabupaten Bintan
Kota Tanjungpinang terdiri dari 4 kecamatan yaitu Kecamatan Bukit Bestari,
Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang Barat dan
18 kelurahan seluas 239,5km2 dengan jumlah penduduk keseluruhan ( jumlah
penduduk) dan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.1
Pembagian Kecamatan dan Kelurahan di Kota Tanjungpinang
No. Kecamatan dan Kelurahan Luas Wilayah
(hektar/ha)
I Kecamatan Tanjungpinang Barat 460 ha
1 Kelurahan Tanjungpinang Barat 161 ha
2 Kelurahan Kamboja 90 ha
3 Kelurahan Kampong Baru 154 ha
4 Kelurahan Bukit Cermin 55 ha
II Kecamatan Tanjungpinang Kota 3.581 ha
1 Kelurahan Tanjungpinang Kota 64 ha
2 Kelurahan Penyengat 111 ha
3 Kelurahan Kampung Bugis 1.967 ha
4 Kelurahan Senggarang 1.439 ha
III Kecamatan Bukit Bestari 4.651 ha
1. Kelurahan Tanjungpinang Timur 183 ha
2 Kelurahan Tanjung Unggat 128 ha
3 Kelurahan Tanjung Ayun Sakti 161 ha
4 Kelurahan Dompak 3.747 ha
5 Kelurahan Sungai Jang 432 ha
IV Kecamatan Tanjungpinang Timur 6.004 ha
Kelurahan Kampung Bulang 212 ha
Kelurahan Melayu Kota piring 381 ha
Kelurahan Air Raja 1.933 ha
Kelurahan Pinang Kencana 1.574 ha
Kelurahan Batu Sembilan 1.904 ha
Total Luas Wilayah 14.696 ha
Kota Tanjungpinang
Sumber: RDTR Kota Tanjungpinang 2016
4.1.2 Kota Tanjungpinang Secara Demografis
Penduduk Kota Tanjungpinang cenderung mengalami peningkatan yang cukup
signifikan setiap tahunnya. Salah satu penyebab terjadinya peningkatan penduduk
tersebut adalah adanya urbanisasi yaitu perpindahan penduduk yang datang ke Kota
Tanjungpinang. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama arus urbanisasi
tersebut. Jika dilihat Tanjungpinang adalah sebuah kota yang sedang dan mulai
berkembang baik dalam bidang pembangunan fisik maupun pembangunan
ekonominya dan dengan ditetapkannya Menurut (BPS, 2015) Kota Tanjungpinang
sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Dengan demikian banyak pendatang dari
berbagai daerah mencoba untuk mengadu nasib di Kota Tanjungpinang. Penduduk
pada tahun 2011 berjumlah 230.380 jiwa dengan tingkat kepadatan 962 jiwa/km2.
Jumlah Kepala Keluarga sebanyak 65.115 Kepala Keluarga.
Nama tempat dan kampung di Kota Tanjungpinang ;
1. Penyengat
2. Kampung Jambat
3. Kampung Bulang
4. Kampung Datok
5. Kampung Ladi
6. Kampung Tengah
7. Kampung Bugis
8. Batu Kucing
9. Kemboja
10. Gudang Minyak
11. Kampung Bukit Cermin
12. Potong Lembu
13. Kampung Tambak
14. Bakar Batu
15. Teluk Keriting
16. Bukit Semprong
17. Kampung Jawa
18. Tanjung Unggat
19. Kampung Baru
20. Kampung Kolam
21. Pantai Impian
Sesuai data yang diperoleh penulis dari dinas kependudukan dan catatan sipil
Kota Tanjungpinang tahun 2012 menyatakan bahwa etnis tionghoa merupakan suku
terbanyak ke-3 dari keseluruhan suku yang ada di Kota Tanjungpinang yaitu sekitar
42.736 jiwa.
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk berdasarkan Suku
No
.
Suku Jumlah No. Suku Jumlah
1. Melayu 64.111 13. Madura 821
2. Jawa 61.458 14. Aceh 693
3. Tionghoa 42.736 15. Lombok 498
4. Minang 22.313 16. Betawi 424
5. Batak 14.745 17. Ambon 411
6. Bugis 5.583 18. Nias 327
7. Sunda 5.169 19. Sumbawa 270
8. Bawean 2.942 20. Bali 115
9. Banjar 1.690 21. Tim-tim 114
10. Flores 1.141 22. Dayak 104
11. Manado 961 23. Sanger 92
12. Alemban 955 24. Banten 83
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tanjungpinang 2012
4.1.3 Suasana Kota Tanjungpinang
Kota Tanjungpinang dikenal juga dengan julukan kota Gurindam. Hal tersebut
dikarenakan Kota Tanjungpinang merupakan tempat kelahiran Raja Ali Haji yang
melahirkan sebuah karya sastra yaitu Gurindam 12 serta merupakan sosok pahlawan
nasional. Bagi orang Melayu dan masyarkat yang tinggal di Kota Tanjungpinang,
Gurindam merupakan bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat
dengan irama akhir yang sama dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Gurindam 12
berisi tentang ibadah (agama), kewajiban raja (kepemimpinan), kewajiban anak dan
kewajiban orangtua (budi pekerti luhur), hidup dalam masyarakat (sosial dan
budaya). Hal ini yang membentuk suasana kota menjadi tenang dan aman karena
nilai-nilai luhur melayu tidak boleh hilang. Bagi orang Melayu, diluar orang Melayu
adalah tamu yang harus dihormati maka jika kita melihat bagaimana kota ini
memiliki toleransi yang cukup tinggi dalam kehidupan sosial baik ke orang Melayu
maupun diluar orang Melayu.
Kota Tanjungpinang memiliki karakteristik yang tidak dapat ditemukan pada
kota-kota lain di Indonesia, ketika berjalan ke daerah pasar ataupun kota maka bahasa
yang akan didengar adalah bahasa Hokkien dan rata-rata pedagang disana beretnis
Tionghoa dan ketika anda ke kedai kopi maka beda lagi bahasanya, bahasa Melayu
yang akan terdengar dan sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Tanjungpinang itu
sendiri. Kadang, orang Melayu menawar dengan aksen cina ataupun bahasa Hokkien.
Walaupun telah menjadi ibukota dari provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang
tetap terasa seperti kota yang biasa saja tidak menjadi metropolitan seperti di Batam.
Tidak terlihat ada indomaret, seven eleven, alfamart tapi adanya swalayan-swalayan
kecil milik warga Tanjungpinang. Mal hanya satu, dan baru ada pada tahun 2016
sebelumnya masyarakat Tanjungpinang sudah nyaman berbelanja di toko-toko biasa
karena memiliki kualitas bagus dan diimpor dari negara tetangga (Singapura,
Malaysia) ataupun dari China. Bukan tanpa alasan, masyarakat Tanjungpinang telah
hidup lama dengan barang-barang dari luar karena dulu katanya tidak ada akses
barang-barang Indonesia dibawa ke Kepulauan Riau.
Kota Tanjungpinang dikenal juga sebagai kota AKAU atau kota kuliner, karena
kota Tanjungpinang menampilkan wajah kota yang berbeda antara siang dan malam.
Dari pagi hingga siang, kota Tanjungpinang akan terlihat sepi dijalan ramai dikedai
kopi, di malam hari kota Tanjungpinang terlihat riuh dengan pusat jajanan selera
rakyat atau dikenal dengan pujasera. Disamping menyajikan menu-menu nasional,
pujasera Tanjungpinang juga mempertahankan eksistensi makanan tradisional seperti
nasi dagang, nasi lemak, lakse, bubur pedas, roti canai, otak-otak, nasi ayam, soup
ikan, tumis ketam, bilis gulung dan lain-lain. Makanan yang disebutkan ini memang
khas dan menjadi daya tarik turis ataupun wisatawan yang datang ke kota
Tanjungpinang dan merupakan makanan khas Melayu juga etnis Tionghoa
(Setyadiharja & Nugraha, 2016).
4.1.4. Kota Tanjungpinang dalam Dimensi Sejarah
Didalam jurnal penelitian (Faucher, Popular discourse on identity politics and
decentralisation in Tanjung Pinang public schools, 2006) Tanjungpinang sudah
sangat dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Sebagai pusat kerajaan Melayu Riau-
Lingga-Johor, sebagai pusat kerisdenan pada zaman Belanda dan Jepang serta sebagai
ibukota Provinsi Riau, ibukota Kabupaten Kepulauan Riau, Ibukota Tanjungpinang
dan ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Dari sudut sejarah, di Pulau Penyengat sendiri
banyak peninggalan sejarah yang sampai saat ini masih dapat dinikmati dan dilihat
oleh pengunjung. Peninggalan sejarah itu seperti Mesjid Sultan Penyengat, maka para
pembesar kerajaan Melayu, benteng Bukit Kursi dan sebagainya. Di kawasan
senggarang yang notabene beretnis Tionghoa terdapat peninggalan sejarah leluhur
berupa Kompleks Vihara Dharma Sanata dan Klenteng Tao Sa Kong. (Setyadiharja &
Nugraha, 2016)
Masyarakat lebih mengenal asal nama Tanjungpinang dari penggalan nama,
yaitu sebuah tanjung yang banyak ditumbuhi pohon pinang. Pohon pinang merupakan
petunjuk bagi pelayar yang akan masuk ke Bintan Tanjungpinangyang merupakan
pintu masukke sungai Bintan dimana terdapat kerajaan Bentan yang berpusat di bukit.
Namun yang jelas, merujuk pada buku ceritera yang ditulis Sulalatus Salatin,
kawasan kota ini merupakan bagian dari Kerajaan Melayu, setelah jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis, Sultan Mahmud Syah menjadikan kawasan ini sebagai pusat
pemerintahan Kesultanan Johor, sebelum diambil alih oleh Belannda terutama
setelah Belanda menundukkan perlawanan Raja Haji Fisabilillah tahun 1784.
(Setyadiharja & Nugraha, 2016)
Menurut catatan Tomi Oires, pada abad-abad ke 15 dan ke-16 sudah banyak
pedagang dating ke pelabuhan-pelabuhan di wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka.
Salah satunya Bintan (pulau tempat kota Tanjungpinang). Namun tidak dijelaskan
secara pasti apakah pulau Bintan ini telah menjadi Bandar dagang atau tidak,
setidaknya catatan ini melaporkan ada 60 nama etnis pendatang di Malaka dan bahasa
Melayu menjadi “bahasa Islam”, bahasa komunikasi antar berbagai etnis Islam yang
berbeda (Lombard,2000).
Berdasarkan data sekunder yang didapat, pada masa kolonial Belanda,
Tanjungpinang ditingkatkan statusnya menjadi pusat pemerintahan dari Residentie
Riouw pemerintah Hindia Belanda. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia,
menjadi ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau. Setelah menjadi Kota Administratif
Kabupaten Kepulauan Riau hingga tahun 2000, berdasarkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2001, pada tanggal 21 Juni 2001, statusnya menjadi Kota Tanjungpinang.
Pusat pemerintahan yang semulanya berada di pusat Kota Tanjungpinang di
pemukiman padat penduduk kemudian dipindahkan ke Senggarang (bagian utara
kota) sebagai pusat pemerintahan. Hal ini ditujukan untuk mengimbangi kesenjangan
pembangunan dan kepadatan penduduk yang selama ini berpusat di Kota Lama
(bagian barat kota).
Kota Tanjungpinang adalah salah satu peninggalan kerajaan Melayu yang
mempunyai peran penting dalam kebudayaan Melayu. Sebagai sebuah Kota Otonomi
Tanjungpinang terus berbenah diri untuk majudan brkembangyang dikenal sebagai
Kota Gurindam. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, telah terjadi perubahanparadigma dalam Pemerintahan Daerah, yang
semula lebih berorientasi sentralistik menjadi desentralistik dan menjalankan otonomi
seluas-luasnya. Salah satu aspek penting kebijakan otonomi daerah dan desentralistik
adalah meningkatkan pelayanan umum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah.
Kota Tanjungpinang awalnya merupakan pusat pemerintahan Kabupaten
Bintan, yang dahulunya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Laju pertumbuhan
diberbagai sektor kehidupan masyarakat dan laju gerak pembangunan serta letaknya
yang berdekatan dengan negara Singapura dan Malaysia menjadikan Kota
Tanjungpinang sebagai sebuah kota administratif.
Pada tanggal 18 Oktober 1983, Kota administratif Tanjungpinang diresikan
dengan diterbitkannya peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1983 tentang
Pembentukan Kota Administratif Tanjungpinang. Kemudian berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2001 Tanjungpinang dinaikkan statusnya menjadi daerah
Otonom Kota Tanjungpinang. Perubahan status pemerintahan diikuti dengan
pemekaran kecamatan yang semula terdiri dari 2 kecamatan menjadi 4 kecamatan.
(BPS, 2015)
Peresmian Kota Administratif Tanjungpinang dilakukan oleh Menteri Dalam
Negeri Supardjo Rustam pada tanggal 26 Desember 1983. Sebagai walikota
Tanjungpinang berturut-turut adalah sebagai berikut: (Kesbangpol, 2015)
1. Asmuni Hasymi, S.H (1983 – 1985)
2. Drs. H. Muhammad Sani (1985 – 1993)
3. Drs. H Andi Rivai Siregar (1993 – 1996)
4. Dra. H. Suryatati A.Manan (1996 – 2012)
5. Lis Darmansyah (2012 - 2017)
Daerah provinsi Kepulauan riau khususnya kota tanjungpinangmeruapakn salah
satu yang sangat potensial. Sebagian besar suku bangsa yang mendiami daerah ini
adalah suku bangsa Melayu yang merupakan suku bangsa asli daerah ini, masyarakat
Melayu Riau sebagaimana juga masyarakat suku bangsa Melayu di daerah lainnya
memiliki sifat keterbukaan terhadap kaum pendatang sehingga tidak mengherankan
jika daerah ini dihuni juga oleh berbagai suku bangsa lainnya yang mendiami daerah
tersebut sejak lama.
4.2 Data Fokus Penelitian
4.2.1 Menggali Jejak Sejarah dan Identitas Etnis Tionghoa di
Tanjungpinang
Kedatangan warga Tionghoa ke Pulau Bintan sendiri diperkirakan sudah terjadi
sejak sekitar 300 tahun yang lalu ini dibuktikannya ada batu nisan orang Cina lokal di
Senggarang yang usianya lebih dari 300 tahun. Batu nisan itu berada ditengah-tengah
perkebunan warga. Menurut Bobby, pada umumnya mereka yang dating di abad 17
merupakan petani yang didatangkan oleh Sultan dan membuka lahan perkebunan
Gambir. Tanjungpinang di abad 17 memang terkenal sebagai pengekspor gambir ke
berbagai penjuru dunia. Petani-petani generasi awal asal China yang merantau dating
tanpa alamat pasti. Sama sekali tidak memiliki kekerabatan di kawasan ini. Namun
karena kondisi politik di daratan China yang mengancam nyawa serta keselamatan
mereka, karena itulah keputusan pun harus diambil. Mereka nekat terus berlayar ke
selatan entah berapa lama waktu perjalanan hingga mereka sampai di bumi Melayu.
Asal-usul pendatang perdana warga China ke Bintan juga tertulis di batu nisan
mereka. Di batu nisan diketahui dari mana mereka berasal. Mulai dari tahun
kelahiran, meninggal, hingga kematian. Dialek yang dipakai juga bisa diketahui dari
sebuah nisan. Selain di Tanjungpinang, persebaran orang-orang etnis Tionghoa juga
banyak di Senggarang. Hal itu terlihat adanya kelenteng di Senggarang yang usianya
lebih dari 200 tahun. Pada masa itu di Senggarang memang banyak didiami kalangan
pengusaha besar, yang merupakan pemilik lahan atau juragan perkebunan karet dan
gambir.Selain menguasai lahan di daerah Tanjungpinang dan Senggarang, mereka
juga membuka perkebunan gambir sampai ke pedalaman Bintan termasuk Lagoi dan
ditempuh dengn berjalan kaki hingga berhari-hari. Hal ini bukan yang baru bagi
warga Tionghoa karena sudah sering dilakukan ketika mereka masih berdiam di
daratan Tiongkok.
Menurut Bobby, dalam penelurusannya menemukan suatu kesimpulan bahwa
diperkirakan saat itu, satu di antara anggota keluarga besar mereka mengabdi di
kerajaan terlibat persoalan politik. Penguasa saat itu mungkin tidak senang.
“Ada hukum yang berlaku pada saat itu, kalau satu orang
dianggap sebagai pemberontak, maka tidak saja dia yang dibunuh, tapi
keluarganya juga akan ikut dibunuh. Tujuannya mungkin agar tidak
terjadi balas dendam.”
(Wawancara,12 April 2017)
Dilanjutkan lagi oleh Bobby Jayanto, sehingga untuk menyelamatkan diri dari
ancaman pembunuhan pihak yang berkuasa,tidak ada pilihan lain kecuali segera
angkat kaki dari daratan Tiongkok dan lari ke pulau bintan.
Masyarakat etnis Tionghoa yang berada menetap Kota Tanjungpinang memiliki
karakteristik tempat tinggal yang dimana memenuhi kawasan kota dan pelabuhan
atau dekat dengan laut mulai dari Kamboja, Potong Lembu, Bakar Batu, Jalan
Merdeka, Tambak, Pelantar I sampai III. Seperti yang diungkapkan oleh Wan Kamar
selaku ketua KESBANGPOL Kota Tanjungpinang yang mengatakan bahwa :
“Ditelisik dari sejarah, mereka etnis Tionghoa dulu tinggal
dipinggiran laut karena faktor geografis juga. Dulu kan tidak ada
transportasi macam sekarang ini dulu itu kalau mau mengunjungi
saudara dari tepi laut ke tepi laut karena menggunakan pompong
(re:perahu kecil) jadi lebih mudah kalau mereka membangun tempat
tinggal diatas laut ataupun pinggir laut. Apalagi mereka etnis
Tionghoa ini berdagang yang dimana juga menjual dagangannya ke
Malaysia dan Singapura jadi menurut mereka tinggal dipinggir laut
lebih pas.”
(Wawancara,3 Mei 2017)
Pada saat memasuki kawasan Kota Tanjungpinang maka akan terlihat pada sisi
kanan ataupun sisi kiri dengan bentuk rumah atau ruko (rumah ruko) dengan ornamen
Tionghoa. Sejak dulu, masyarakat Tionghoa memang mempunyai simbol tertentu
yang akan dikenal oleh siapa saja yang melihatnya,salah satunya adanya tempat
sembahyang ataupun dupa diatas rumah serta kaca diatas pintu. Tanpa melihat
parasnya, setiap orang yang memandang rumah dengan ciri-ciri diatas sudah pasti
mengetahui bahwa tuan rumah tersebut berasal dari etnis Tionghoa.
Ketika berada dalam lingkungan yang heterogen, mereka masih bisa tetap
menonjolkan identitas kesukuan mereka. Masyarakat Tionghoa menetap di
Tanjungpinang tidak hanya semata-mata untuk berdomisili saja, namun mereka juga
datang dengan membawa sejumlah kebudayaan dan adat istiadat kesukuan mereka di
tempat mereka akan tinggal dan menetap untuk menjalani kehidupannya sehari-hari.
etnis Tionghoa memiliki kekuatan yang besar untuk mempertahankan kebudayaan
serta ciri khas mereka di tengah masyarakat yang beragam. Kebudayaan serta adat
istiadat Tionghoa tetap mereka jaga sejak zaman nenek moyang mereka dulu.
Meskipun saat ini, modernisasi dan globalisasi semakin berkembnag, namun
masyarakat Tionghoa tetap memegang teguh adat budaya Tionghoa tanpa takut
terseret oleh budaya lainnya.
Perayaan Cap Go Meh di kota Tanjungpinang adalah perayaan wajib dan
diadakan secara besar oleh masyarakat etnis Tionghoa didaerah yang mana ditinggali
dan didominasi oleh etnis Tionghoa seperti merayakan di Jalan Merdeka sebelah
Vihara Bahtra Sasana yang sudah dibangun sejak tahun 1875.
4.2.2 Sosial Budaya dan Aktivitas Politik Masyarakat Kota Tanjungpinang
Kota Tanjungpinang adalah bagian yang tak terpisahkan dari kosmopolitanisme
dan dinamika pergulatan kepentingan global Selat Malaka, sejak terbilang abad yang
lalu hingga kini. Sejak kerajaan Malaka dilahkan portugis pada tahun 1511 hingga
kini, sejumlah titik yang kini berada di kota Tanjungpinang menjadi pusaran yang
memantik gagasan dan menggerakkan tindakan-tindakan kesejarahan yang lingkar
gelombangnya menjangkau spectrum luas kawasan alam Melayu. Sebagai kota kecil,
Tanjungpinang merupakan saksi mata sebuah kontras antara pola lama dan baru yang
muncul dalam ruang ekologis dan kultural sejak berabad lampau (Chou dan Derks,
1997)
Masyarakat Kota Tanjungpinang terdiri dari berbagai suku bangsa, namun tetap
hidup rukun berdampingan antara satu dan lainnya. Suku bangsa Melayu sebagai
masyarakat tempatan memiliki rasa solidaritas yang tiggi terhadap suku bangsa
pendatang ke daerah ini. Hal itu tidak terlepas dari ciri khas budaya Melayu yang
selalu terbuka bagi siapa saja yang dating ke daerah mereka tanpa membeda-bedakan
asal-usul dan latar belakang sosial budaya. yang terpenting adalah mereka para
pendatang tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan adat dan istiadat serta
adat sopan santun masyarakat melayu yang menjunjung tinggi rasa toleransi dan
saling menghargai antara satu dan lainnya.
Jatuhnya Orde Baru dan implementasi undang-undang otonomi daerah telah
memberikan kesempatan-kesempatan baru bagi elit lokal untuk memperkuat dan
mengkonsolidasikan jangkauan pengaruh mereka. Sebagaimana terjadi di sejumlah
provinsi dan kabupaten, contoh-contoh konflik telah menyebar luas, seringkali dalam
konteks perebutan kekuasaan dan restrukturisasi sosial dan politis yang sangat
kompleks. Dalam banyak kasus, konflik-konflik itu secara popular diartikulasikan
melalui bahasa politik identitas etnis dan keagamaan. Begitupula, kepekaan etnis dan
keagamaan yang dahulu ditekan di masa orde baru, sekarang terbuka lebar.
Kepulauan Riau khususnya Tanjungpinang, kota administratif sampai sejauh ini
terbebas dari ketegangan-ketegangan yang akut serta kekerasaan memuncak.
Meskipun begitu, di antara kelas menengah perkotaan dan antara generasi yang satu
dengan yang lain membentuk suatu polarisasi ideologis telah terjadi. Berbagai usaha
untuk mengkonseptualkan “masyarakat Kepri” oleh para politikus dan cendekiawan
menunjukkan bagaimana penekanan yang semakin besar terhadap identitas
kedaerahan sedikit demi sedikit sudah mengarah kepada identitas nasional.
Dekatnya jarak dengan Malaysia dan singapura telah menciptakan sebuah
paradoks menarik. Di satu pihak, Malaysia dan Singapura telah menjadi salah satu
sumber dalam membentuk identitas bagi orang-orang Melayu di Kepulauan Riau
sebagai basis kekuatan ekonomi dan budaya yang penting. Di pihak lain, justru akibat
kedekatan geografis dengan Malaysia, dan khususnya Singapura menjadikan identitas
nasional terlihat samar. (Faucher, 2007) Seperti yang diungkapkan oleh Aseng, selaku
anggota PSMTI Tanjungpinang,
“Kami dulu ditengah-tengah ya dibilang nasionalis ya nasionalis
tapi kami juga punya keluarga di singapura,ya intinya dulu
Tanjungpinang ini tak diliat kali lah identitas nasionalnya, ya identitas
orang melayu aja tapi orang luar kan nilai kami melayunya sama kaya
Malaysia juga.”
(Wawancara pada tanggal 4 April 2017)
Seperti yang diungkapkan oleh Aseng selaku warga Cina lokal dan pernah
menjabat di organisasi PSMTI (Persatuan Sosial Marga Tionghoa Indonesia) yang
menetap di Kota Tanjungpinang yang mengatakan bahwa :
“Kami kan disini juga udah lama, jangan hanya itu itu saja yang
dikhususkan. Tanjungpinang punya semua lah, kami cina lokal juga orang
asli Tanjungpinang.”
(Wawancara pada 4 April 2017)
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa adanya semangat pluralis dalam
pembentukan sebuah identitas kota dari salah satu etnis lokal yang dimana memiliki
misi yang sama dengan pembentukan identitas kota Tanjungpinang yaitu,
Menumbuhkan rasa memiliki terhadap daerah terutama bagi pemukimnya dan
menjadi promosi historis bagi pendatang dan pengunjung yang datang ke
Tanjungpinang sesuai dengan promosi kota “Tanjungpinang Kampong Kite”.
4.2.3 Aktivitas Politik
Berbicara mengenai politik, maka akan berbicara mengenai berbagai hal
kehidupan manusia yang sebanrnya lingkupnya tak terbatas. Politik menurut sebagian
orang adalah sesuatu yang dapat diputar-balikkan, fakta yang benar terkadang bisa
menjadisalah, demikian sebaliknya.
Di Kota Tanjungpinang, masyarakat awam tidak begitu memahami seperti apa
itu politik dan permasalahan politik yang dimana memiliki tingkat permasalahan yang
berbeda, misalnya di lingkungan pemerintahan atau kenegaraan dan lingkungan
daerah (Provinsi,Kabupaten dan kota). Masyarakat Tanjungpinang yang terdiri dari
berbagai suku banngsa yang hidup dalam suatu wilayah Kota Otonom memiliki
lembaga legislatif di tingkat kota dan memiliki satu pemerintahan kota. Dalam bidang
politik pada tingkat legislatif di wilayah Kota Tanjungpinang, menurut mereka
masing-masing orang atau anggota atau calon legislatif masing-masing memiliki
kepentingan baik kepentingan pribadi, kelompok, maupun kedaerahan. Berbagai
kepentingan itu tentu menjadi salah satu tujuan yang ingin mereka capai.
Latar belakang sosial budaya yang beraneka ragam seperti: ras, etnik, adat,
bahasa, agama dan lain sebagainya, akan memberikan nuansa tersendiri dalam
menjalankan aktivitas politik yang mereka lakukan. Tidak dapat dipungkiri baik
secara langsung maupun tidak, keanekaragaman latar belakang sosial budaya pasti
akan mempengaruhi prilaku mereka dalam aktivitas politik.
4.2.4 Budaya Melayu dan Pendefinisian Ulang Identitas
Salah satu LSM yang paling vokal dalam meneggakan identitas kemelayuan di
Kepulauan Riau, KKBM (Kekerabatan Keluarga Besar Melayu), mempromosikan
suatu identitas Melayu yang mirip gagasan Malaysia tentang bumiputera bahwa
seseorang dianggap Melayu dalam konsep ideal masyarakat Kepri, orang itu harus
berbahasa Melayu, beragama Islam, dan mengikuti adat Melayu. Interpretasi ini
memberikan ruang bagi para politikus lokal yang menyuarakan revitalisasi terhadap
tradisi-tradisi Melayu, tetapi mereka sendiripun tidak mempunyai latar belakang
Melayu murni. (Faucher, 2007) Dengan demikian, Melayu menjadi sempit lokal,
homogen, dan stagnan.
Festival Revitalisasi Budaya Melayu yang diadakan di Senggarang,
Tanjungpinang, diduga hendak meruntuhkan anggapan atau mitos bahwa Melayu
tidak sesempit itu dan produksi seni yang diusung Husnizar Hood adalah wujud dari
pemberontakan itu. Kolaborasi seni dan budaya lokal dengan budaya global
sebenarnya bukan hanya dilakukan terhadap Melayu saja, tetapi juga terhadap tarian
Jawa, Dayak dan Bali.Dengan demikian, sesuatu kebudayaan materiil itu dapat
mengalami kolaborasi dan adaptasi bahkan terkooptasi oleh budaya lain diluar
lokalitas tadi. Sebagian mengatakan yang penting “ruhnya Melayu”.
Identitas Melayu itu bersifat ekspansif, artinya berusaha me-Melayu-kan orang
yang kita anggap belum Melayu. Bukan malah sekarang dengan penegasan ke-
Melayu-an kita justru mempersempit konteks Melayu itu sendiri. Karena itu Melayu
selama ini yang terlihat kecil, rendah diri, dikucilkan dan tak berperanan dalam
pembangunan bangsa. Sejarah Melayu di kawasan kepulauan Riau ini dari dulu sekali
bersifat terbuka dan menerima asimilasi dari berbagai suku dan budaya baik yang
berasal dari nusantara ini maupun dari luar nusantara seperti Cina, Arab, India, dan
Eropa sekalipun. Jadi adalah kemunduran apabila identitas Melayu dipersempit,
sehingga sangat mudah diperalat untuk kepentingan dukungan politik atau
memobilisasi massa. Seperti yang diungkapkan Kemala Chandakirana (1989) dalam
artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa:
“Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin
sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi "orang asli" yang
menghendaki kekuasaan dan mereka bagi "orang pendatang" yang
harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar
untuk dijadikan alat memanipulasi-alat untuk menggalang politik--
guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya".
Hal ini memberikan peluang bagi mereka yang menunjukkan diri sebagai orang
melayu atau “orang asli” untuk memimpin sebagai putra daerah yang bisa
menyebabkan pro kontra di masyarakat karena pembangunan yang ingin di
wujudkan terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan golongan bahkan belum tentu
mewakili orang Melayu sendiri. Di pendefinisian ulang identitas Melayu, untuk
membongkar sekat-sekat pro kontra dalam masyarakat membangun kebersamaan
untuk mewujudkan impian Kepulauan Riau khususnya Tanjungpinang yang
sebenarnya dan dengan tujuan agar identitas kemelayuan tidak menjadi sekat dengan
etnis-etnis yang lain dan mampu membentuk suatu masyarakat yang multikultural.
BAB V
PEMBENTUKAN IDENTITAS DI KOTA TANJUNGPINANG
5.1 Politik identitas Etnis Tionghoa dalam Isu Pluralitas Sebagai Identitas di
Kota Tanjungpinang
Pembauran total masyarakat Tionghoa ke masyarakat pribumi tidak pernah
muncul sebagai bentuk kecenderungan utama dalam pemikiran politik masyarakat
Indonesia dikarenakannya kebijakan pemerintah Belanda yang membentuk
masyarakat plural, dimana setiap kelompk etnis memelihara identitasnya sendiri dan
kalangan nasionalis Indonesia memusatkan upaya-upaya mereka untuk mencapai
kemerdekaan bagi Indonesia dengan sasarab utama mereka adalah Belanda bukan
etnis Tionghoa (Suryadinata, 2015)
Kehidupan etnis Tionghoa mulai berubah ketika masuknya zaman Orde baru
yang dimana menggunakan hukum sebagai alat untuk mendiskriminasikan etnis
tionghoa di Indonesia. Secara sistematis dan kodffgnsisten. Rezim Orde Baru telah
membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis tionghoa dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mengucilkan etnis tionghoa di
Indonesia menjadi apolitics dan tidak dapat terjun ke kontestasi politik yang ada
sehingga tidak ada representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun di
badan legislatif.
Hal ini patut dibahas karena menyangkut identitas Bangsa Indonesia yang
multikulturalisme. Secara psikologis menimbulkan rasa takut dan enggan sebagian
besar etnis Tionghoa untuk berpolitik, akan tetapi Politik etnik mulai muncul untuk
mempertahankan etnisnya dalam mempertahankan identitas sosial di Indonesia.
Setelah etnis Tionghoa memasuki wilayah politik yang dulunya bentuk partisipasi
etnis Tionghoa pada saat itu hanya memiliki hak memilih dan tidak berhak untuk
dipilih, kemudian Pada tanggal 16 september 1998 presiden Bj Habibie
mengeluarkan Inpres No.26/1998 menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non
pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan
program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Melalui
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2002, tentang Penetapan Tahun Baru Imlek,
tahun baru Imlek telah di akui sebagai salah satu hari besar nasional. (Suryadinata,
2015)
Bahkan sejak pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid atau disapa Gus
Dur, warga Tionghoa memperoleh hak-hak yang sama dengan warga negara
Indonesia lainnya, disamping itu semakin pudarnya tabu perbedaan suku, ras dan
agama. Di dalam ruang demokrasi yang ada sekarang ini masih ada persoalan yang
dirasakan masyarakat etnis Tionghoa, salah satunya yang penting adalah keterlibatan
mereka di kancah politik. Beredar berbagai hipotesis tentang bentuk partisipasi politik
kelompok masyarakat ini setelah selama zaman kepemimpinan Presiden Soeharto
dipaksa agar selalu menjauhi politik dan berurusan dengan bentuk kegiatan ekonomi
dan perdagangan.
Era reformasi yang terjadi sekitar sebelas tahun lalu mengubah nasib etnis
Tionghoa di Indonesia, termasuk di Kepulauan Riau. Selama kurun waktu itu etnis
Tionghoa berupaya meruntuhkan "tembok imajinasi" yang mengekang kebebasan
mereka sebagai Warga Negara Indonesia yang sah. Meruntuhkan "tembok imajinasi"
yang menakutkan etnis Tionghoa itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Butuh waktu untuk menghilangkan luka lama," Interaksi sosial antaretnis dan
pembuktian adanya persamaan hak akan menghancurkan "tembok imajinasi" yang
telah berjaya menyengsarakan etnis Tionghoa selama sekitar 30 tahun. (Panama,
2009)
Kebrutalan-kebrutalan sosial dengan mengkambinghitamkan warga keturunan
banyak terjadi akhir-akhir ini. Mengapa orang-orang keturunan Tionghoa seringkali
dijadikan kambing hitam? Kalau dulu di Indonesia terkenal dengan konsep Ali-Baba,
yaitu golongan Ali yang merupakan warga Indonesia asli sengaja dikedepankan untuk
meng-cover bisnis para Baba yang merupakan warga keturunan Tionghoa sehingga
mempermudah segala pengurusannya. Akan tetapi yang terjadi sekarang adalah
konsep dari kebalikkannya Baba-Ali yaitu golongan Baba yang merupakan warga
keturunan Tionghoa sengaja dijadikan tameng untuk bisnis-bisnis besar padahal yang
berada di belakang itu semua adalah para Aliyang merupakan warga Indonesia asli
yang justru lebih banyak memegang kendali dan mengantongi keuntungan. Akibat
dari konsep Baba-Ali ini, warga keturunan Tionghoa menjadi sorotan masyarakat
sebagai golongan berduit dan memicu kecemburuan sosial, meskipun sebenarnya
mereka hanya orang dibalik layar. Di samping itu, warga keturunan Tionghoa yang
dianggap sukses hanyalah segelintir saja dari keseluruhan warga keturunan Tionghoa
di Indonesia karena masih banyak mereka yang melarat atau hidup dibawah garis
berkecukupan. (Nafsiah , 2000)
Sama halnya, di Kepulauan Riau khususnya Tanjungpinang, yang dimana
daerah ini merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah masyarakat etnis
Tionghoa cukup banyak dibuktikan dengan jumlah penduduk kelompok etnis
Tionghoa sebanyak 42.739 berada di urutan ketiga dari 202.215 jiwa yang ada di
Kota Tanjungpinang setelah etnis Jawa dan etnis Melayu(BPS, 2015). Jumlah etnis
Tionghoa yang cukup banyak tak cukup untuk mereka mendapat perlakuan yang
sama dalam bidang politik ataupun pemerintahan walaupun tidak secara fisik adanya
bentuk diskriminasi rasial tapi mereka merasakan seperti untuk terjun ke dunia politik
mereka masih dilihat sebelah mata dan ketakutan-ketakutan bahwa ketika etnis
Tionghoa menguasai pemerintahan atau politik berarti mereka juga yang
mengendalikan perekonomian kota Tanjungpinang.
Walaupun begitu, ketika di kota-kota lain merasakan sebuah diskriminasi rasial
terhadap mereka etnis Tionghoa seperti, pembunuhan massal di Jawa 1946-1948,
peristiwa rasialis Mei 1963 di Bandung, kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar
seperti Jakarta, Medan, Solo, Bandung dan lain-lain, Tanjungpinang cukup berjaga-
jaga. Pada (Komnas HAM & GANDI, 2006) yang berisikan :
“Adalah benar bahwa ada kemajuan terhadap penghapusan
aturan hukum yang mengatur segregasi, namun penghapusan tersebut
tidak menjamin efektifitas pencegahan dan penyelesaian segregasi
yang ada. Contoh kasus tentang SBKRI dalam Para. 117, 118, 119,
walaupun sudah ada Kepres No. 56 tahun 1996 yang mencabut
tentang SKBRI, namun dalam prakteknya SKBRI masih berlaku
dibeberapa daerah. Riset yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia - Indonesia (Komnas HAM) dan GANDI (Gerakan
Perjuangan Anti Diskriminasi) di 4 (empat) kota yaitu Tanjung Pinang
dan Batam, Medan, Manado dan Pontianak menemukan bahwa
SBKRI masih berlaku. SBKRI untuk pengurusan akta kelahiran anak
dari perkawinan campuran. Dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk
(KTP), bagi anak warga keturunan diminta melampirkan SBKRI
bersama Kartu Keluarga (Kasus di Tanjung Pinang).”
Seperti yang diungkapkan oleh Wan Kamar selaku ketua Kesbangpol (Kesatuan
Bangsa dan Politik) Kota Tanjungpinang yang mengatakan bahwa
“itu semua atas perintah pusat, kita hanya mengikuti apalagi
waktu itu kita masih menjadi ibukota kabupaten didalam provinsi
Riau yang dimana masih diatur oleh pemerintah pusat”
(Wawancara pada 3 Mei 2017)
Etnis Tionghoa memiliki sejarah yang cukup panjang, karena mereka
didatangkan oleh Sultan Kerajaan Riau Lingga untuk menjadi petani gambir dan
akhirnya memiliki kedekatan dengan orang-orang Melayu Tanjungpinang dan
berasimilasi dengan budaya Melayu. Tak banyak juga mereka yang terusir dari
kotanya pindah ke Tanjungpinang.
Seperti yang diungkapkan oleh Bobby Jayanto selaku tokoh etnis Tionghoa
Kota Tanjungpinang yang mengatakan bahwa :
“waktu itu memang ada yang untuk sementara waktu orang-
orang kami (etnis Tionghoa) menetap sementara waktu untuk
menghindari kerusuhan yang terjadi di kotanya. Mereka lari dulu
ke Singapura lalu ke daerah Kepulauan Riau salah satunya ke kota
Tanjungpinang”
(Wawancara,12 April 2017)
Sebenarnya Kota Tanjungpinang merupakan sebuah kota yang pada awalnya
ditempati oleh dua etnis: etnis Melayu dan etnis Tionghoa yang masih dipengaruhi
oleh kerajaan Malaka. Semenjak pemerintah pusat mencanangkan program
transmigrasi, kini pulau kecil ini ditempati oleh berbagai etnis dari seluruh Indonesia.
Asimilasi terjadi antara suku Melayu dengan suku Tionghoa. Seperti dari segi bahasa,
orang keturunan Tionghoa di Bangka pada umumnya menggunakan bahasa Cina
(Hakka) yang dipengaruhi bahasa Melayu atau sebaliknya, orang-orang Melayu yang
menggunakan beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Cina (Idi, 2009).
Begitupun di Tanjungpinang, penggunaan bahasa masih sangat kental kedaerahannya,
ditunjang dekatnya ke Singapura dan Malaysia maka biasanya orang Tionghoa atau
disebut cina lokal menggunakan bahasa Hokkien ataupun orang Melayu
menggunakan bahasa melayu totok ataupun campuran bahkan etnis lain seperti
Batak,Bugis,Padang dan Flores yang telah tinggal lama di Tanjungpinang
menggunakan dialek Melayu karena kuatnya bahasa Melayu di kota Tanjungpinang.
Seperti yang dikatakan Faucher dalam konteks ini, adopsi Melayu sebagai
kerangka identitas utama, seperti pro- ditimbulkan oleh mayoritas elit politik dan
intelektual Tanjung Pinang, tidak masuk akal untuk responden muda saya. Sebagai
salah satu mahasiswa Melayu bertanya, 'Mengapa seorang Minangkabau atau Jawa
bahkan etnis Tionghoa mau disebut Melayu?
Seperti yang diungkapkan oleh Bobby Jayanto selaku tokoh etnis Tionghoa
Kota Tanjungpinang yang mengatakan bahwa :
“dari penelurusan yang saya lakukan, keberadaan Tionghoa
dan Melayu memiliki hubungan yang erat. Hal ini bisa dilihat dari
istilah capitan. Mereka dipercaya menjalankan usaha untuk
menambah pendapatan kas daerah. Dari zaman Belanda, mereka
disebut Kapitan yang artinya mirip Bupati atau Wedana. Kapitan ini
dipercaya untuk mengatur pajak. Salah satu Kapitan dari etnis
Tionghoa Tanjungpinang”
(Wawancara pada 12 April 2017)
Hal ini menjadi menarik, melihat kondisi diatas yang membuktikan kontribusi
dan partisipasi politik etnis Tionghoa di Kota Tanjungpinang cukup besar, padahal
ditinjau dari sejarah pembentukan Provinsi Kepri adalah kekuatan kemelayuan dari
etnis melayu yang ingin adanya Provinsi Melayu yakni Kepulauan Riau itu sendiri.
Sejarah silam tentang etnis Tionghoa di Kota Tanjungpinang memang sedikit
sekali atau hampir tidak tercatat dalam sejarah namun setelah reformasi peningkatan
partisipasi politik oleh etnis Tionghoa ini sangat tinggi. Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena kaum Tionghoa yang berperan penting dalam ekonomi politik dan hubungan
antara investor dari Singapura yang masuk ke Kepri yang di pegang oleh sebagian
besar masyarakat etnis Tionghoa di Kepri. Dapat dilihat dalam lingkup Provinsi
Kepulauan Riau khususnya kota Tanjungpinang sudah banyak aktor-aktor politik
yang muncul dari kalangan etnis Tionghoa seperti Bobby Jayanto yang pada priode
2004-2009 menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Tanjungpinang dan dia adalah etnis
Tionghoa pertama yang menjadi ketua DPRD di Indonesia, Hendry Frankim yang
pernah menjabat sebagai anggota DPD dari daerah pemilihan Kepulauan Riau, , Rudy
Chua sebagai anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau periode 2009-2014 serta Reni
dan Beni yang pernah sebgai anggota DPRD Kota Tanjungpinang 2009-2014.
Berdasarkan fakta-fakta yang muncul, melihat kondisi diatas membuktikan kontribusi
dan partisipasi politik etnis Tionghoa di Kota Tanjungpinang cukup besar di era
Reformasi ini.
Perubahan-perubahan politik yang terjadi pasca 1998 memang berlangsung
begitu cepat. Kesempatan-kesempatan terus terbuka untuk kalangan etnis Tionghoa
karena mereka tidak diposisikan lagi sebagai warga kelas dua dalam kehidupan
politik ini yang dimana mereka terbatas hanya untuk sektor perdagangan di negeri ini.
Hak-hak mereka dipulihkan serta kesempatan dibuka seluas-luasnya dan kondisi
politik ini yang kemudian juga memberikan warna jejak dalam perjalanan warga etnis
Tionghoa yang terjun ke dunia politik. Namun sejatinya masih ada persoalan
mengenai identitas dan dan pengakuan terhadap keberadaan mereka.
Di negara multi-etnis lainnya, seperti negara-negara tetangga Singapura atau
Malaysia, televisi sesekali menjadi jendela populer untuk menampilkan keharmonisan
etnis yang ada. Meskipun rezim Orde Baru menginvestasikan sejumlah besar sumber
daya dalam memproyeksikan gambar yang sama dari keragaman etnis dan harmoni,
hanya disebut kelompok etnis pribumi dalam catatan. Walaupun Konstitusi
menetapkan prinsip persamaan di depan hukum, Indonesia Tionghoa dikategorikan
dalam administrasi negara resmi dan setengah resmi kurang, atau selain, "asli"
Indonesia. Lebih buruknya lagi. mereka kadang-kadang dianggap mencemari diri
otentik Indonesia itu sendiri. Tak jarang mereka yang beretnis Tionghoa
menggunakan nama Indonesia selain untuk mempermudah administrasi mereka juga
ingin diakui sebagai orang Indonesia dan cinta tanah air.
Warga keturunan Cina pada saat itu harus membawa kartu identifikasi dengan
nomor yang berbeda. Ekstra kertas kerja dan biaya yang diperlukan dari mereka di
setiap hubungan hukum dengan pelayanan publik. Semua sekolah dan perguruan
tinggi memberlakukan kuota maksimum tertentu untuk Indonesia Tionghoa mencari
masuk. Profesi selain perdagangan hanya minimal terbuka bagi mereka, jika sama
sekali. Pengunjung yang masuk Indonesia akan diinformasikan pada formulir bea
cukai bahwa setiap bahan cetak di karakter Cina jatuh dalam kategori yang sama item
ilegal sebagai pornografi, senjata dan narkotika.
Segregasi Etnis di Indonesia Orde Baru mengakibatkan "pengecualian untuk
warga Cina", di mana di seluruh enam hal berturut-turut presiden Soeharto (masing-
masing lima tahun), "tidak pernah ada seorang menteri kabinet 'Cina', meskipun
menteri seperti itu fitur biasa juga tidak akan satu menemukan jenderal atau pegawai
negeri senior keturunan Cina yang jelas. Ekonomi politik etnis Cina pada Orde Baru
sejauh mana didasarkan pada aktif dan sadar. Hal ini menunjukkan, bagaimana sangat
diperlukan lain etnis ini untuk reproduksi diri asli. Jika orang Cina tidak diinginkan,
minoritas ini bisa saja terpinggirkan, hancur, atau hanya diabaikan. Kenyataan bahwa
"masalah Cina" tetap dalam jangka pertumbuhan ekonomi mengesankan
menunjukkan bahwa mungkin pada kenyataannya tidak menjadi masalah sama sekali.
(Heryanto, 2008)
Saat ini persamaan dan kesederajatan menjadi hal yang sangat penting bagi
setiap individu, kelompok budaya untuk mengekspresikan identitas dan aspirasinya
secara bebas dan terbuka. Hal ini yang melandasi dasar pemikiran politik identitas
dalam penelitian ini. Gelombang demokrasi yang menandai adanya reformasi total
dalam kehidupan bermasyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara telah disikapi secara antusias oleh masyarakat di daerah untuk mengelola
dan menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan budaya dan potensi atau nilai lokal
yang ada.
Dialog internal dan interaksi sosial membangun suatu ikatan antar individu di
dalam masyarakat berdasarkan budaya dan psikologis seseorang dalam suatu
komunitas sosial budayanya untuk berpartisipasi secara aktif menghasratkan tujuan
hidup yang akan dicapai atau sekiranya diperjuangkan. Jika proses pembentukannya
dalam kondisi tertekan (identitas resisten) dengan adanya dominasi pihak lain maka
akan muncul identitas atau disebut juga politik identitas . Menguatnya politik
identitas yang berbasis simbol kesukuan,adat, agama, dan nilai-nilai kultural yang
dianut merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang secara melekat sebagai suatu
gerakan sosial yang normal dalam dinamika dan gerak sosial suatu etnis (Buchari,
2014).
Identitas kelompok atau identitas etnis yang telah disusun dengan baik tersebut
merupakan dasar untuk mengangkat kepentingan kelompoknya dalam wujud
semangat dan perilaku sosial politik,sehingga dalam suatu kesempatan dan adanya
peluang atau ruang gerak untuk melakukan hal itu, maka identitas yang telah
terkontruksi tadi akan dibangkitkan untuk kepentingan kelompoknya. Pendekatan
politik berbasis identitas ini efektif untuk konteks etnis Tionghoa yang selama ini
menginginkan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang pluralis dan
mengonsolidasikan kelompok etnisnya .
Namun, dalam suatu bangunan dan tatanan kebudayaan yang memegang
prinsip multikultural, maka perjuangan politik identitas harus diletakkan dalam
kerangka kesatuan dalam keragaman, artinya bahwa semua manusia seharusnya dapat
menerima perbedaan dan kesetaraan. Prinsip harus menjadi pijakan dalam mengambil
setiap tindakan. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar multikulturalisme yakni cultural
liberty, bahwa dalam kebebasan manusia merupakan kapabilitas sentral bagi
kehidupan manusia untuk hidup bedasarkan kesempatan utuk memiliki pilihan-
pilihan yang dimiliki. Perwujudnnya dalam suatu demokrasi sebagai bentuk suatu
demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan, maka pendekatan prosedur untuk
membentuk pemerintahan melibatkan partisipasi secara demokratis bagi setiap unsur/
elemen di dalam masyarakat yang pluralistik.
Seperti yang diungkapkan oleh Bobby Jayanto selaku tokoh etnis Tionghoa
Kota Tanjungpinang yang mengatakan bahwa :
“saya selalu sampaikan pada warga kita disini ,kita hidup di
alam yang mana mayoritas Melayu. Kita harus mempelajari sejarah ,
antara orang etnis Tionghoa dan etnis Melayu hubungannya dekat
sekali dan sudah terjalin lama sekali . Paling penting adalah menjaga
sikap toleransi kita sehingga kita bisa menjaga, merawat kehidupan
kita secara kondusif. Ini yang didambakan semua orang, ketika
waktu itu setelah kerusuhan Mei 1998 mereka (non etnis Tionghoa)
masih dalam tahap bersebrangan tidak bisa menerima etnis Tionghoa
tapi di Tanjungpinang kita masih bisa hidup nyaman, mengantar
anak sampai depan sekolah”
(Wawancara pada 12 April 2017)
Di dalam buku Tiger from Archipelago “Sebuah Biografi Bobby Jayanto”
(Putra, Patria, & Haris, 2011) :
“saya waktu itu sangat yakin dan memberikan pemahaman
kepada mereka bahwa tempat yang kita tinggal aman. Hal ini karena
hubungan emosional yang sudah terbentuk selama ini antara etnis
Tionghoa dan Melayu yang sudah berjalan bagus. Saya punya
keyakinan disini tidak akan berpengaruh, kita lalu beranikan diri
Saya telepon mereka ( pengusaha-pengusaha etnis Tionghoa) dan
beritahu bahwa kita tak perlu eksodus. Saat itu memang sejumlah
warga etnis Tionghoa sudah takut dan gelisah sehingga ada
keinginan untuk pindah ke Singapura. Kita bilang tak usah
terpancing dengan hal-hal yang terjadi di Jawa. Hasil pertemuan
dengan Kakansospol dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Mupida)
menyatakan bahwa tak akan terjadi yang demikian disini. Akhirnya
banyak yang bertahan. Saya pantau di pelabuhan, suasana tetap
normal. Dan terbukti, disini tak ada kerusuhan apalagi penjarahan. “
Usaha-usaha pemerintah yang tidak memihak pedagang cina pada umumnya
tidak berhasil dikarenakan orang Cina mematuhi peraturan tersebut dengan
membayar pajak perorangan. Untuk kasus Cina di Tanjungpinang peraturan dan
kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah tidaklah berdampak negated karena roda
perekonoian tergantung pada Singapura dan Malaysia. Keadaan di Tanjungpinang
justru akan memburuk bukan ketika etnis Tionghoa membuat tindakan ataupun
gerakan tetapi ketika Tanjungpinang terjadi konfrotasi dengan Malaysia atau
Singapura.
Jika pada gambaran ini kita tambahkan arus migran terbaru, orang bisa
menyatakan bahwa setidak-tidaknya di Tanjungpinang sudah tercipta suatu jaringan
pluralistis multietnis setelah desentralisasi (Carole Faucher,2014:581). Didalam
pluralisme, terdapat juga proses adaptasi antara masyarakat didalamnya. Adaptasi
adalah merupakan suatu proses penyesuaian diri manusia terhadap suatu keadaan
tertentu. Didalam adaptasi itu sendiri terdapat beberapa point penting didalamnya,
yakni komunikasi dan toleransi.
Para pemimpin daerah di Kota Tanjungpinang mempromosikan bahwa pada
dasarnya Melayu merupakan identitas territorial yang ada dan hal inilah yang di
gugat oleh masyarakat cina lokal atau tionghoa yang sudah lama tinggal di Kota
Tanjungpinang dan etnis-etnis lain. Masyarakat Tanjungpinang seakan mengacu
kepada kemelayuan, tetapi dalam menjalankan praktik kemelayuan itu hanya diterima
dalam produk seni, yaitu kebudayaan sebagai seni pertunjukkan bukan politik.
Kelompok seni pertunjukkan Melayu terkemuka di Tanjungpinang ini memiliki
keanggotaan rata-rata bukan dari asli Melayu. Mengingat kembali, pada saat walikota
Tanjungpinang saat itu (re: Hj. Suryatati A Manan) mendukung acara tahunan
Revitalisasi Budaya Melayu pada bulan Juli 2014, ia dikritik oleh orang-orang cina
lokal di Senggarang karena mengabaikan sebuah ciri yang telah diyakini meresap di
Kota Tanjungpinang yaitu pluralistik. Tidak lama kemudian, hasil berdialog dengan
para tokoh masyarakat dan budayawan maka diselengarakan Revitalisasi Budaya
Pluralistik, yang meliputi pertunjukkan-pertunjukkan oleh kelompok non Melayu.
Gambar 5.1 Taman Budaya Senggarang
Sumber : Dokumen Pribadi, 2017.
Dengan terbukanya pola kehidupan masyarakat Kota Tanjungpinang membuat
semakin mudahnya masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang untuk mengeksplore dan
memperkenalkan budaya mereka apalagi sejarah mengatakan bahwa di salah satu
tempat yang ada di kota Tanjungpinang yakni senggarang adalah tempat awal mula
masuknya orang-orang tiongkok di Tanjungpinang.
Banyak sekali yang terpengaruh dan mempelajari budaya Tionghoa disana
sehingga budaya melayu mulai tergeser dan hanya menjadi pertunjukan seni saja.
Kebangkitan etnis Tionghoa dalam dunia politik mulai dibuktikan secara perlahan
mereka merasa harus masuk ke legislatif untuk dapat melaksanakan aspirasi-aspirasi
dari mereka yang kadang diabaikan. Mereka bersatu dan memikirkan bukan kepada
satu etnis utama yang berasal dari kelompoknya tapi masalah-masalah yang ada di
Tanjungpinang. Mereka menganggap bahwa mereka harus turut andil dalam
membangun identitas keberagamaan. Seperti yang diungkapkan oleh Bobby Jayanto
selaku tokoh etnis Tionghoa Kota Tanjungpinang yang mengatakan bahwa :
“Apapun partainya, tapi dia dari etnis Tionghoa kita akan
dukung. Mereka ada;ah contoh keberanian bahwa etnis Tionghoa di
Indonesia itu punya hak yang sama. Saya dan Rudi berbeda partai,
tapi karena dia punya tekad yang tinggi untuk terjun ke dunia politik
maka saya dukung dia datang ke saya”
(wawancara, 12 April 2017)
Pemikiran ini juga dituangkan oleh Schumpeter dalam buku The Clash of
Civilization (Huntington, 1997) “demokrasi itu pada dasarnya membangun
pemerintahan atas kehendak rakyat dan kebaikan bersama. Yang pada tahap
pendekatannya diluar masalah persamaan etnis, para pemimpin pemerintahan dipilih
melalui pemilihan umum yang adil,jujur dan berkala. Hal tersebut yang diinginkan
oleh masyarakat etnis Tionghoa,agar mereka dapat bersaing dalam pilkada (pemilihan
kepala daerah) maupun pileg (pemilihan legislatif) dan memenangkannya dalam
persaingan yang sehat dan seadil-adilnya agar kehendak masyarakat etnis Tionghoa
yang terabaikan bisa terwujud dan demi kebaikan bersama agar baik etnis Tionghoa
maupun etnis Melayu bisa bersama-sama menjalin sebuah bentuk kesatuan dalam
mencapai identitas yang baik untuk kota Tanjungpinang.
Diakui bahwa proses penyelenggaraan pilkada ataupun pileg masih sarat akan
isu putra daerah yang dimana ditonjolkannya tokoh-tokoh Melayu sebagai orang
“asli” yang mampu merangkul setiap elemen masyarakat dan lebih mengerti
permasalahan dan secara tersirat menyingkirkan etnis lawan yang berjuang.
5.2 Pembentukan Identitas di Kota Tanjungpinang dalam Bingkai Kedai Kopi.
Kedai kopi merupakan suatu ruang publik yang menyediakan makanan ringan
dan minuman baik panas maupun dingin yang bahan utamanya adalah kopi. Menurut
Habermas ruang publik merupakan arena dimana debat berlangsung, dimana
merupakan tempat pembentukan ide, pengetahuan, dan kontruksi opini yang bersifat
kolektif dipakai bersama, serta ruang opini publik yang dibentuk sebagai hasil
komunikasi. Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan
bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan
untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang public dapat
digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan
budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia.Bermakna memiliki arti
kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas
dengan konteks sosial (Ritzer & Goodman, 2011)
Kedai kopi bisa dikatakan juga sebagai ruang publik karena kedai kopi
merupakan pusat interaksi sosial masyarakat karena memberikan kesempatan
masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan membuang waktu bersama membicarakan
dari hal yang penting maupun tidak penting. Ngopi adalah ungkapan terhadap orang
yang ingin menikmati kopi atau minuman lainnya atau sekedar duduk-duduk
diwarung kopi dan mengobrol sesama pengunjung kedai kopi.
Kedai kopi menjadi tanda yang mengukuhkan keberadaan baru bagi
masyarakat, melalui bertemunya beragam orang , suku , agama , lembaga, status
sosial dan bahkan identitas yang multikultur. Dalam pandangan yang lebih luas, kedai
kopi juga bagian dari subkultur yang mempertemukan berbagai budaya dan identitas
baru. Dalam forum yang terdapat pada kedai kopi bukan saja terdapat hanya sekadar
persoalan keakraban, didalamnya kerap terjadi pertukaran informasi, wacana, dan
pengembangan wawasan, bahkan hiburan sekalipun. Salah satu bentuk hiburan yang
terdapat pada forum kedai kopi tersebut dapat tergambarkan melalui tradisi berpuisi
yang sudah menjadi tradisi Melayu yang turun menurun di Kota Tanjungpinang dan
dilestarikan seperti berikut ini:
Kedai Kopi
Karya : Suryatati A.Manan
Dikotaku sejak dahulu kedai kopi sangat akrab
Di telinga masyarakat
Baik tua maupun yang muda terutama bagi kaum pria
Bagi kaum wanita sekali-kali jika jalan pagi
Bersama suami atau teman
Setelah berolahraga taichi, jala santai atau berlari-lari kecil
Disekitar pinggir laut
Sangat menyenanglan duduk di kedai kopi
Menghirup secangkir kopi panas atau segelas te obeng
Alias teh es manis
Nikmat sekali ditemani sepiring martabak India alias prata
Atau yang lainnya.
Kedai kopi di kotaku bukannya memang pagi-pagi
Sehingg masyarakat yang berolahraga pagi
Tak perlu membawa bekal sendiri
Singgah di kedai kopi lebih santai
Bisa ketemu teman, bisa bertambah kawan
Bisa medapat sekilas info
Bisa membahas berbgai isu mutakhir
Dari isu lokal sampai isu global
Dikupas tuntas, tanpa batas
Semakin lama semakin asyik, semakin lama semakin menggelitik
Apalagi yang terkait dengan politik
Macam-macam politik beradu licik
Ada politik adu domba, ada politik menembak diatas kuda,
Ada politik bermuka dua
Tak terasa hari dah siang, kopipun dah habis
Assalamualaikum Wr.Wb
(A Manan, 2007)
Puisi ini cukup mewakili keberadaan dan keberagaman suku yang berbaur
dalam satu lingkungan sosial politik dan budaya di Kota Tanjungpinang. Sebuah
gambaran didalam puisi tentang keadaan atau suasana kedai kopi yang ada di Kota
Tanjungpinang karena merupakan salah satu tempat bagi sebagian warga masyarakat
Tanjungpinang saling berinteraksi antara satu dan lainnya yang tidak menutup
kemungkinan antar etnis juga. Keberadaan kedai kopi bukan sebatas singgah untuk
minum dan makan tetapi lebih dari itu. Terkadang kedai kopi dijadikan sebagai ajang
untuk berkumpul dan ngobrol bahkan saling bercengkrama serta saling bertukar
informasi, tak jarang membahas politik.
Seperti yang diungkapkan oleh Suparno selaku Ketua DPRD Kota
Tanjungpinang yang mengatakan bahwa :
“ Kebiasaan ngopi merupakan resapan budaya Melayu yang
dimana kebiasaan ngopi sebelum memulai dan mengakhiri aktifitas
dan dilakukan di kedai kopi. Tanjungpinang itu punya yang tak
dipunya daerah lainnya. Tanjungpinang ini trennya kedai kopi
banyak dan penuh. Silahturahmi kedai kopi itu luar biasa, dari bisnis
organisasi sama temen-temen di dunia politik berbaur disitu. Kita
perbandingkan dengan instansi-instansi seperti kepolisian, DPRD
biasanya ada coffee morning. Artinya untuk silahturahminya untuk
menyatukan perbedaan-perbedaan kan menyampaikan harapan, ide-
ide nah di kedai kopi ini biasanya dianggap suasananya terjalin
dengan persaudaraan kalo resmi2 kan orang nak nak ngomong kan
segan, kikuk sikit tak nyaman tapi begitu suasananya ngopi biasa
berdialog dan sahut-sahutan. Nah, saya piker kebiasaan itu dalam
konteks positifnya sering membaur di kedai kopi dengan latar
belakang personal macam-macam ada wartawannya, ada buruhnya
ada pns ada orang-orang partai politik. Sehingga kebiasaan
perbedaan diluar itu diperdebatkan dikedai kopi tetapi karena
suasananya kita lagi ngopi jadi tidak berakhir konflik. Hebatnya di
Tanjungpinang ini, semangat kekeluargaan di dalam kedai kopi
sangat luar biasa”
(Wawancara, 3 April 2017)
Masyarakat penguna atau konsumen dari warung dan kedai kopi dapat
dikatakan berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya. Namun mereka
berhubungan secara akrab dan saling menghargai antara satu dan lainnya. Canda dan
gurauan sesama masyarakat dalam lingkup pergaulan yang ada di warung kopi sering
memang terlihat kasar karena bahasa yang digunakan atau candaan orang Melayu.
Seperti baru-baru ini, saat peneliti mencoba suasana duduk di kedai kopi tidak jauh
dari meja peneliti ada bapak-bapak yang lagi berdiskusi tentang pilkada (pemilihan
kepala daerah) di DKI Jakarta ataupun membahas aksi-aksi dalam proses pilkada
kemarin. Meja yang tak jauh dari peneliti berbicara “untunglah aku tinggal kat
pinang, pening pala aku asek nak demo je cem tak punya kerje” (bersyukur saya
tinggal di Tanjungpinang,pusing kepala saya lihat orang berdemo seperti tidak punya
kerja) dan temannya menimpali “orang tu bela agama bang, tak apalah biar
bertambah pahale disurge daripada engkau asek nak ngopi je pagi siang malam tak de
bantu istri kat rumah hahahaha” ( mereka itu bela agama bang, tidak apa-apa biar
bertambah pahala di surga daripada kamu tiap hari ngopi tidak membantu istri
dirumah) satu lagi temannya menimpali “yang penting takde yang berangkat kesane
je dahlah, jaoh. Bantu walikote je lah” (yang penting tidak ada yang berangkat kesana
aja sudahlah, jauh. Kita bantu walikota saja)
Seperti itulah kira-kira pembicaraan salah satu meja ataupun meja yang lain
mungkin membahas masalah pekerjaan ataupun basa-basi untuk saling mengenal satu
sama lain menambah relasi. Hal yang tidak perlu dianehkan ketika di kedai kopi
Tanjungpinang satu meja hanya satu orang hanya untuk menikmati kopi saja lalu
pulang dan bisa juga untuk mencari teman ngobrol.
Gambar 5.2 Kedai Kopi yang biasanya di Tanjungpinang
Sumber: Dokumentasi oleh Penulis
Kedai kopi berbeda dengan rumah makan atau cafe-cafe semacam Starbuck
yang sering kita dapati di kota-kota besar atau bahkan di kota-kota lain. Orang-orang
yang datang ke kedai kopi tujuan utamanya bukanlah untuk minum kopi atau makan
siang, tapi biasanya hanya untuk mebuang-buang waktu. Memang kalau dilihat
sekilas kesannya negatif. Mereka hanya duduk-duduk mengobrol tanpa melakukan
hal yang produktif. Bagi orang luar yang berkunjung ke Tanjungpinang mungkin
akan berpikir bahwa masyarakat disini "pemalas dan tukang bual".
Seperti yang diungkapkan oleh Suparno selaku Ketua DPRD Kota
Tanjungpinang dan penggagas silahturahmi kedai kopi yang mengatakan bahwa :
“memang sih orang kalo liat kita orang ni tak ada kerjaan, tapi
belum tentu ngopi hanya sekedar ngopi. Bahkan kami pun DPRD
kadang lebih sering ke kedai kopi untuk mendengarkan aspirasi
masyarakat. Di Kedai kopi nih hampir semua profesi ada duduk kat
situ bahkan wartawan ataupun jurnalis dan kedai kopi kan banyak
laki-laki yang sudah beristri ataupun belum tapi mereka punya andil
besar juga untuk menyampaikan aspirasi orang rumah dia”
(Wawancara,3 April 2017)
Tapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar, kedai kopi sebagai ruang publik
ternyata juga memegang peranan sosial yang cukup penting di Tanjungpinang. Kedai
kopi bukan sekadar tempat untuk hangout tetapi juga merupakan sarana yang efektif
untuk bersosialisasi. Selain itu kedai kopi juga merupakan pusat informasi bermacam
aktivitas serta tempat berdiskusi, mulai dari soal agama, budaya, bisnis, dan bahkan
politik. Salah satu bentuk resapan budaya Melayu inilah yang digadang mampu
sebagai jembatan untuk menjaga keutuhan dan keberagaman masyarakat Kota
Tanjungpinang.
Masyarakat multikultur haruslah memiliki perangkat nilai semacam itu. Dengan
kata lain adalah suatu keharusan, bahwa perangkat nilai yang didasarkan pada
moralitas bersama dapat mengatur kehidupan masyarakat, baik di dalam ruang publik
maupun di dalam ruang privat. Tanpa perangkat nilai semacam itu, kehidupan
bermasyarakat di dalam masyarakat multikultur tidak akan mungkin dapat terjadi dan
kedai kopi bisa menjadi solusi untuk menciptakan keberagaman dari berbagai suku
yang ada di Tanjungpinang tidak hanya etnis Tionghoa dan Melayu saja.
5.3 Eksistensi Melayu di Kota Tanjungpinang di Era Reformasi
Ada keraguan muncul dari beberapa „pendukung Melayu‟ seperti yang
tercermin dalam mengatakan bahwa Melayu sukar dipersatukan (Melayu sulit
untuk bersatu). Didalam jurnal (Al Azhar, 1997), studi kasus di Riau biasanya
fokus terhadap dua topik baik mencari kebesaran warisan Melayu atau pencarian
identitas Melayu yang dapat diterima oleh semua kelompok. Yang pertama dapat
memperkuat rasa percaya diri orang Melayu sebagai orang yang bermartabat,
sedangkan topik kedua upaya untuk merumuskan ciri-ciri dan karakteristik
kemelayuan yang tidak hanya mampu menahan budaya asing, tetapi juga
memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perubahan global serta
mengurangi rasa etnosentris bagi orang-orang Melayu.
Sejarah Melayu di kawasan Kepulauan Riau dari dulu seharusnya memiliki
sifat terbuka dan menerima asimilasi dari berbagai suku dan budaya baik yang
berasal dari nusantara maupun luar nusantara. Tren berpikir yang menganggap
budaya Melayu atau perkataan Melayu terkurung atau dipersempit dengan
dicirikan dengan beragama Islam dan menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa ibu dalam berkomunikasi sebagaimana yang digunakan di Malaysia. Hal
ini yang coba dirubah oleh sebagian tokoh-tokoh Melayu salah satunya Huznisar
Hood. Didalam Revitalisasi Budaya Melayu dia mencoba memperlihatkan bahwa
budaya Melayu tidak bersifat stagnan, lokal, dan primordial.
“produksi seni Melayu kontemporer yang saya usung sebenarnya
merupakan wujud dari pemberontakan itu bentuk yang saya tawarkan adalah
kolaborasi seni dan budaya lokal dengan budaya global. Ini sebenarnya sudah
dilakukan oleh Dayak, Jawa, dan Bali.” (Husnizar Hood, wawancara dalam
dokumentasi topomini Kota Tanjungpinang)
Tapi keraguan muncul juga di antara beberapa 'pendukung Melayu', seperti
yang tercermin dalam mengatakan Melayu sukar dipersatukan (Melayu sulit untuk
bersatu). Hari ini pandangan ini dipegang oleh banyak orang yang khawatir
tentang orang Melayu di Kepulauan Riau. Studi dan percakapan di Riau biasanya
fokus pada salah satu dari dua topik berikut: baik mencari kebesaran warisan
Melayu atau pencarian identitas Melayu yang dapat diterima oleh semua
kelompok. Melalui revitalisasi budaya Melayu ini, yang pertama dapat
memperkuat rasa percaya diri orang Melayu sebagai orang yang bermartabat,
sedangkan yang kedua upaya untuk merumuskan ciri-ciri dan karakteristik
kemelayuan yang tidak hanya mampu menahan ancaman budaya asing, tetapi juga
memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perubahan global.
Melayu di kawasan perbatasan kepulauan Riau khususnya Tanjungpinang
tidak saja merupakan etnis mayoritas, etnis yang datang misalnya Batak, Jawa,
Minang dan sebagainya menyesuaikan adat istiadat kebudayaan Melayu. Seperti
yang dikatakan oleh Wan Kamar selaku Kepala KesBangPol Kota Tanjungpinang
yang mengatakan bahwa :
“Menelisik sejarah, Melayu itu sifatnya terbuka untuk
beradaptasi dengan etnis lain dengan kata lain orang melayu sebagai
tuan rumah, mereka (etnis diluar Melayu) tamu. Kita harus saling
menghargai. Apalagi orang Melayu sangat menjunjung tinggi budaya
Melayu.”
(Wawancara, 3 Mei,2017)
Sistem kekerabatan dan lokalitas cenderung diwarnai oleh tradisi-tradisi
etnis Melayu. Unsur-unsur budaya baru yang diserap dari kehidupan masyarakat
lokal segera menjadi bagian penting bagi masyarakat pendatang di pulau tersebut.
Dominan lama tidaknya unsur budaya lama yang masih mewarnai kehidupan para
pendatang etnis diluar kawasan perbatasan tentu sangat tergantung dari partisipasi
mereka dalam kehidupan masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi mereka
dalam kehidupan masyarakat setempat akan semakin mudah mereka
meninggalkan unsur-unsur budaya lama yang pernah menjadi bagian kehidupan
mereka. Semisal, orang-orang Bugis atau Jawa sejak tahun 1970-1980an dan tak
pernah kembali ke tanah mereka karena sudah menjadi seperti orang-orang
Melayu yang kehidupan sosial kulturalnya merupakan bagian dari etnis Melayu.
(Deedes, 2015)
Didalam media online (Pahlevi, 2016) juga dengan judul : Lis Darmansyah
Permudah Budak Melayu Bisa Jadi PNS di Pemko Tanjungpinang mengatakan
bahwa :
“Indentitas melayu harus terus dipertahankan dan diwariskan
kepada putra-putri melayu di Kota ini, generasi kita harus ada
eksistensinya, karena merekalah yang akan mengelola kearifan lokal
dan menjaga budaya melayu yang ada di Provinsi Kepri, khususnya
Kota Tanjungpinang,”
Dikatakan Lis dalam berita, Pemerintah telah berupaya agar generasi melayu
dapat eksistensinya di daerah sendiri. Salah satunya pada saat penerimaan CPNS
beberapa waktu lalu, pemerintah lebih mengutamakan menerima anak-anak
tempatan, anak tempatan merupakan sebuah panggilan anak-anak yang sudah lahir
di kota Tanjungpinang dan juga bisa diluar suku melayu. Bisa dibilang persyaratan
bagi anak daerah tidak sulit, karena kita memberi ketentuan IPK yang lebih
standar dibandingkan orang-orang yang berasal dari luar Tanjungpinang. Oleh
karena itu, lanjut Lis, upaya untuk mempertahankan eksistensi generasi melayu,
bukan hanya tugas pemerintah semata, tetapi tugas bersama. Dikatakan lagi :
” Mari kita sama-sama berpikir untuk membangun generasi
melayu yang bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ajak Lis
kepada seluruh tamu yang hadir. Sebagai budak Melayu, kata Lis,
dirinya memiliki kewajiban moral dan tanggungjawab terhadap
eksistensi generasi melayu, keberadaan anak tempatan harus kuat di
tanah sendiri.”
Di dalam berita online disebutkan bahwa pemuda daerah atau dalam bahasa
Melayu “Budak Melayu” sekarang bersifat luas tidak lagi ditujukan kepada orang
asli keturunan Melayu. Ini menunjukkan bahwa adanya pendefinisian ulang
identitas budaya melayu lebih terbuka. Walaupun memang masih mensiratkan
keputra daerahan tapi lebih dipahami semisal orangtuanya bersuku Bugis sudah
lama mendiami kota Tanjungpinang dan anaknya lahir di Tanjungpinang maka
anak itu bisa disebutkan anak Melayu karena tumbuh dan besar di tanah Melayu.
Sebenarnya ini adalah menanamkan identitas dalam konteks ke lokalitas yang
dianggap pada nantinya menjaga budaya Melayu.
Eksistensi Melayu di Kota Tanjungpinang juga bisa dilihat bagaimana
pemerintah mendukung dan mendorong kegiatan budaya seperti Festival Tari
Zapin, Gawai Seni, Festival Sungai Carang dan juga Festival Pulau Penyengat.
Tradisi lisan juga selalu dipertahankan seperti pantun, gurindam, dan syair yang
diselipkan setiap acara atau kegiatan sebagai pembuka. Di kota Tanjungpinang,
pada setiap acara atau kegiatan bahkan didalam acara perkawinan jika kita tidak
berpantun maka acara tersebut dianggap sesuatu yang kurang afdol.
Demi melestarikan budaya Melayu di Kota Tanjungpinang, pemerintah juga
dari dulu telah memasukkan pengembangan kurikulum lokal di Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama yaitu bahasa Arab Melayu. Perkembangan zaman
telah membuat sejarah Melayu lokal tidak menjadi perhatian yang cukup besar di
generasi muda. Di zaman millennial ini yang seharusnya generasi muda melayu
mampu melestarikan kebudayaan Melayu begeser mengikuti tren ibukota dan
mulai asing dengan bahasa Melayu yang digunakan sebab Bahasa Melayu yang
digunakan oleh generasi tua lebih kepada bahasa Melayu “totok” dan generasi
muda berbahasa Melayu campuran. Salah satu faktor adalah masuknya budaya pop
Indonesia dan Media Indonesia dan banyak hal yang berubah secara cepat.
(Faucher, 2006)
Kenapa eksistensi Melayu banyak digaungkan oleh tokoh-tokoh Melayu?
Budaya Melayu merupakan budaya yang memberikan kontribusi besar dalam
sejarah Indonesia dimana pahlawan nasional lokal Raja Haji Fisabililah (1727 –
1784) membuat gagasan-gagasan bahasa Indonesia yang diserap dari budaya
Melayu (Faucher, 2007). Mempertahankan eksistensi Melayu di Kota
Tanjungpinang untuk menghidupkan kembali kebanggaan etnis dalam konteks
identitas Melayu yang lebih luas dan terbuka.
5.3.1 Integrasi Budaya Kota Tanjungpinang yang Dibangun di Tengah
Masyarakat dengan Kentalnya Budaya Melayu
Didalam penelitian Carole Faucher menjelaskan pembentukan provinsi
Kepri (Kepulauan Riau) menjadi sangat penting untuk orang Melayu lokal ketika
sebagian besar ekonomi lokal berada di tangan etnis Tionghoa. Sebelum
pembentukan provinsi yang terpisah, Kepri adalah sebuah kabupaten yang terdiri
dari untaian pulau-pulau yang letaknya dekat dengan Singapura ataupun Malaysia.
Tanjungpinang sampai pada tahun 2001 merupakan ibukota kabupaten sebelum
akhirnya menjadi ibukota provinsi. Dimulai pada saat jatuhnya Suharto sebagai
presiden dan adanya awal proses desentralisasi, virua pemekaran juga merasuki
para pemimpin lokal di Tanjungpinang, ketika muncunya gagasan-gagasan
pertama tentang pemisahan Riau daratan, dengan ibukotanya Pekanbaru, dan
Kepulauan Riau disodorkan pada publik (Faucher, 2006).
Hubungan antara kemelayuan dan mewarnai pembentukan provinsi baru
menegaskan dan dirumuskan pada sejumlah kesempatan semenjak Huzrin Hood
yang saat itu menjabat sebagai kepala distrik Kepulaua Riau yang pada saat itu
masih Provinsi Riau. Dalam desain yang diusulkan untuk Provinsi Kepri, Huzrin
Hood digambarkan dua aspek khusus untuk nusantara :
1. Kepulauan Riau adalah “real” pusat kebudayaan Melayu di Indonesia, ide
menantang pemimpin lahan Riau utama yang menemukan pusat
kemelayuan di Pekanbaru
2. Atribut maritim provinsi harus menjadi dasar ekonomi baru
Huzrin Hood menyatakan lebih lanjut bahwa harus memperkuat posisi
daerah jika ingin maju secara ekonomi dan menjadi benar-benar kompetitif. Inti
dari gagasannya adalah membentuk sebuah provinsi Melayu tersendiri ke
Kepulauan Riau. Meskipun Huzrin Hood dan mungkin orang-orang dibalik
gagasannya seakan ingin menciptakan sebuah provinsi atas dasar etnis yang akan
menguntungkan bagi orang-orang Melayu, dalam realita sebagian besar dari
populasi Batam,Karimun,Bintan dan Tanjungpinang adalah migran.
Dengan demikian akan lebih sulit menanamkan kemelayuan lokal sebagai
sebuah penanda identitas bagi provinsi baru ini khususnya Kota Tanjungpinang
sebagai ibukota provinsi. Wan Kamar menyebutkan bahwa :
“Karena ketika ada upaya mendefinisikan masyarakat
Tanjungpinang berdasarkan kemelayuan maka diyakini dengan kata
lain, ketika kemelayuan kuat, disitu pembangunan ekonomi yang kuat
tapi mandeg karena akan ditentang oleh minoritas Tionghoa yang
memang menguasai sektor ekonomi.”
(Wawancara,3 Mei 2017)
Bukan hanya etnis Tionghoa saja, melainkan etnis lain yang sudah tinggal
lama di Kota Tanjungpinang yang merasa juga bagian dari Kota Tanjungpinang.
Dengan demikian, bangkitnya budaya dan komunitas lokal dalam bentuk politik
identitas hendaknya dalam koridor untuk tetap mendeklarasikan komitmen pada
demokrasi dan berpegang teguh pada Pancasila sebagai kritalisasi nilai-nilai
budaya bangsa, sehingga dalam aktualisasi dan penjabarannya dipahami sebagai
upaya mencari titik temu solidaritas kolektif bangsa yang majemuk dalam satu
hasrat memelihara dan melestarikan kehidupan bersama dalam satu tatanan hidup
harmoni penuh kemuliaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
(Buchari, 2014).
Multikulturalisme di Kota Tanjungpinang masuk dalam klasifikasi
Multikultural Otonomis yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok
kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya
dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang
secara kolektif bisa diterima. Fokus pokok kelompok ini adalah untuk
mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan
kelompok dominan yang artinya mereka menantang kelompok kultural dominan
dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok dapat eksis
sebagai mitra yang sejajar.
Perpat (Persatuan Pemuda Tempatan) Kota Tanjungpinang memberikan
ruang untuk menciptakan masyarakat multikultural. Organisasi ini merupakan
organisasi yang mewadahi pemuda-pemudi asli Tanjungpinang baik suku Melayu,
Tionghoa, dan lain-lain untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusi untuk
kota Tanjungpinang dan menciptakan toleransi antar etnis.
Di dalam berita media online (HaluanKepri, 2015) Amat Tantoso
mengungkapkan bahwa :
“Saya dan sejumlah warga Tionghoa yang lahir dan mengabdi
di tanah Melayu, terpanggil untuk mengikuti serta berpartisipasi
dalam memberdayakan masyarakat tempatan untuk berperan aktif
dalam peran pembangunan di Provinsi Kepri”
Untuk itu, pihaknya juga melibatkan warga tempatan keturunan Tionghoa
masuk dalam kepengurusan Perpat Provinsi dan kabupaten/kota sehingga ikut
serta dalam membawa perubahan terhadap kondisi sosial masyarakat tempatan.
Tidak hanya Tionghoa, orang-orang Melayu, Bugis, Jawa dan Batak juga ikut
serta. Penuturan Oktavio Bintana dalam berita media online yang sama
(HaluanKepri, 2015) :
" Kita harus bahu-membahu tanpa mengeluh dan pantang
menyerah dalam usaha membawa perubahan pada kondisi sosial
masyarakat tempatan. Dengan demikian kita tidak menjadi penonton
di negeri sendiri."
Antusiasme dalam menyambut perubahan sistem politik yang lebih
demokratis membentuk perilaku politik etnis bersama yang melahirkan
semangat kolektif, secara empiris telah semakin membuka peluang bagi
upaya demokratisasi dan partisipasi masyarakat sipil yang lebih luas dalam
perpolitikan dan kehidupan sosial di kota Tanjungpinang.
Dalam masyarakat multikultural, identitas bersama lebih ditekankan
pada pembentukan identitas nasional . Identitas nasional memungkinkan
individu –individu dan komunitas-komunitas yang berbeda, untuk menyatu
dalam suatu bingkai bernama komunitas politik dan menganggapnya
sebagai milik mereka, dan untuk kemudian membentuk rasa setia untuknya
(Buchari S. A., 2014).
Identitas nasional yang ada pada Kota Tanjungpinang memberikan
sebuah kekhasan bahwa secara geopolitik memang penduduk Indonesia tapi
adanya kedekatan dan budaya-budaya yang sama dengan negara tetangga
yaitu Malaysia. Hal ini lah yang memberi corak atau kekhasan sendiri
bagaimana integrasi politik dibentuk dengan menekankan identitas
kebersamaan yaitu identitas nasional tapi juga memiliki kedekatan
persaudaraan atau kekebaratan pada budaya yang sama dengan negara
tetangga yaitu Malaysia dan Singapura dan tidak pernah menjadi masalah
yang serius sampai pada saat ini karena karakteristik masyarakat Kota
Tanjungpinang yang memilikirasa kekerabatan.
Karena alangkah baiknya ketika suatu kota mampu mengedepankan
kebersamaan dengan membongkar sekat-sekat perbedaan, agar menjadikan
Kota Tanjungpinang sebagai kota yang nyaman untuk dijadikan tempat
hidup tanpa harus takut konflik kesukuan yang mendominasi dan bisa
memberikan contoh.
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman sejarahnya, Kepulauan Riau memang merupakan
pusat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru daerah dengan beragam
adat dan suku yang kemudian menjadi entitas Melayu Kepulauan walaupun sulit
mendefinisikan identitas yang jelas di Kota Tanjungpinang. Gagasan-gagasan
tokoh Melayu yang didasarkan pada sejarah kesultanan dan bangsawan Melayu
dan disisi lain tidak didukung oleh orang Melayu kebanyakan yang bersifat tidak
melihat budaya Melayu golongan atas. Konsep identitas dalam penelitian ini lebih
kepada identitas kebudayaan yang tidak hanya dibentuk oleh suatu yang statis,
melainkan senantiasa berproses dan dinamis.
Berdasarkan pengalaman sejarahnya, Kepulauan Riau memang merupakan
pusat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru daerah dengan beragam adat
dan suku yang kemudian menjadi entitas Melayu Kepulauan walaupun sulit
mendefinisikan identitas yang jelas di Kota Tanjungpinang. Gagasan-gagasan tokoh
Melayu yang didasarkan pada sejarah kesultanan dan bangsawan Melayu dan disisi
lain tidak didukung oleh orang Melayu kebanyakan yang bersifat tidak melihat
budaya Melayu golongan atas. Konsep identitas dalam penelitian ini lebih kepada
identitas kebudayaan yang tidak hanya dibentuk oleh suatu yang statis, melainkan
senantiasa berproses dan dinamis.
Kehidupan multietnis di kota Tanjungpinang tergolong cukup rukun, antara
satu dan lainnya saling menghargai dan menghormati. Namun tidak menutup
kemungkinan dapat terjadinya konflik yang disebabkan oleh beberapa hal. Ketika
etnis Tionghoa dikota-kota lain mengalami diskriminasi rasial maka berbeda di Kota
Tanjungpinang. Adanya hubungan sejarah dan keterikatan antara etnis Tionghoa dan
Melayu dalam sejarah di Kota Tanjungpinang sehingga tidak menyebabkan politik
identitas yang bersifat resisten. Usaha etnis Tionghoa dalam menunjukkan diri untuk
lebih diakui dalam dunia politikyang diprakarsai oleh Bobby Jayanto sebagai Ketua
DPRD kota Otonom yang beretnis Tionghoa pertama di Indonesia pada tahun 2002
sekarang dibuktikan dengan adanya wakil-wakil dari etnis Tionghoa seperti Reni,
Rudy Chua dan Hendry Frankim
Hal unik juga ditemui di Kota Tanjungpinang, bahwa kedai kopi yang tersebar
diseluruh sudut kota menjadi jembatan pembentukan identitas bersama dengan
menjadikan kedai kopi tempat bersilahturahmi antar kelompok ..
Banyaknya budaya etnis di kota Tanjungpinang yang sudah memiliki kemajuan
bahwa tidak ada watak ‘superioritas’ ataupun ‘etnosentrisme’ yang memandang
rendah etnis lainnya menunjukkan bahwa keterbukaan budaya Melayu terhadap
budaya-budaya etnis lainnya bahwa Melayu tidak bersifat tertutup lagi atau mutlak.
Budaya Melayu saat ini bersifat terbuka agar mampu berjalan di era global dan tidak
terkikis oleh kecenderungan generasi muda yang melupakan sejarah budaya Melayu
Terakhir, masih adanya keterkaitan antara karakteristik etnis dan perilaku
politik suatu masyarakat di kota Tanjungpinang yang merujuk pada kebudayaan yang
dibawa ke panggung politik untuk menekankan suatu bentuk kepemilikan budaya dan
didominasi oleh Melayu. Budaya Melayu akan tetap menjadi identitas kedaerahan
tapi hanya sebagai bentuk identitas daerah dan bukan lagi sebagai alat politik untuk
memobilisasi yang digaungkan untuk isu Putra Daerah dalam kampanye-kampanye
pemilihan eksekutif ataupun legislatif di Kota Tanjungpinang
6.2 Saran
Penelitian tentang politik identitas dalam etnis dan budaya dapat
dikembangkan lagi oleh peneliti selanjuntya dengan teori yang luas dan berbeda
untuk memahami peristiwa sosial yang terjadi di Tanjungpinang ataupun daerah
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdillah, U. (2002). Politik ldentitas Etnis. Magelang: Indonesia Tera.
Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Buchari, & Sri Astuti. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Faucher, C. (2007). Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. In H. S. Nordhlot, v.
G. Klinken, & I. Karang-Hoogenboom, Politik Lokal di Indonesia (p. 590). Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Huntington, S. P. (1997). The Clash of Civilization. New York: Touchstone Book
BPS. (2015). Provinsi Kepulauan Riau dalam Angka 2015. Kepulauan Riau: Badan
Pusat Statistik.
Idi, A. (2009). Asimilasi Cina Melayu di Bangka. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nafsiah , S. (2000). PROF. HEMBING,Pemenang The Star of Asia Award. Pertama
di Asia Ketiga di Dunia. Jakarta: Prestasi Insan Indonesia.
Suryadinata, L. (2015). Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Putra, T. A., Patria, R., & Haris, A. (2011). The Tiger from Archipelago:Sebuah
Biografi Bobby Jayanto. Tanjungpinang: Katabaca.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
sampai dengan Perkembangan Teori Sosial Post-Modern. Bantul: Kreasi
Wacana.
Setyadiharja, R., & Nugraha, Y. S. (2016). Toponimi: Asal-usul Nama Daerah Kota
Tanjungpinang. Tanjungpinang: Badan Perpustakaan,Arsip dan Museum Kota
Tanjungpinang.
Jemma, P. (2006:45). Kekerasan Anti Tionghoa di Indonesia 1996-1997. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Kerlinger, F. N., & Simatupang, L. R. (1994). Asas-asas Penelitian Behavioral.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kountur, R. (2007). Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit PPM
Kriyantono, R. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Kymlicka, W. (2003). Kewargaan Multikultur (edisi terjemahan) . Jakarta: LP3ES.
Moleong, L. J. (2006). Moleong Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya Offset.
Patton, M. Q. (2009). Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purdey , J. (2006). Kekerasan Anti Tionghoa di Indonesia 1996-1997. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Rahoyo, S. (2010). Dilema Tionghoa Miskin. Yogyakarta: Tiara Wacana.
ochmawardiah, H. A. (2013). Diskriminasi rasial dalam hukum HAM : studi tentang
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Bantul: Yogyakarta Genta Publishing.
Soehartono, I. (2008). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Spardley, J. P. (1977). Metode Etnograf. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suharto, I. (2004). Perekayasaan Metodologi Penelitian . Yogyakarta: ANDI.
Suparlan, P. (2004). Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: KIK Press.
Suryadinata, L. (2005). Pemikiran politik etnis Tionghoa Indonesia. Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Suyanti, B. (2005). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Indonesia.
JURNAL
Lubis, N. A. (April 2006 ). MULTIKULTURALISME DALAM POLITIK: Sebuah
Pengantar Diskusi. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol. II No.
1, 3.
Al Azhar. (1997). Malayness in Riau. Brill, 765-773.
Deedes, A. R. (2015). Melayu di Atas Tiga Bendera: Konstruksi Identitas
Nasionalisme Masyarakat Perbatasan di Kepulauan Batam. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, 150.
Faucher, C. (2006). Popular discourse on identity politics and decentralisation in
Tanjung Pinang public schools. Asia Pacific Viewpoint, 273-285.
Heryanto, A. (2008). Southeast Asean Identities "Culture and Politic of
Representation in Malaysia, Singapore and Thailand. ISBN13: 978-0-415-
46112-2 (hbk), 8.
Komnas HAM, & GANDI. (2006). SBKRI : Analisis dan Hasil Pemantauan. Jakarta:
Kesbangpol. (2015). Data Walikota Tanjungpinang. Tanjungpinang: Kesbangpol.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tanjungpinang. (2012).
Castells, M. (2010). The Power Identity . Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd.
Ramsey, G, P., Leslie, Vold, R. D., Edwina, & Battle. (2003). Multicultural education
: A Source Book. 2nd ed. London: Routledge Palmer.
Setiawan, R. (2012). SOLIDARITAS MEKANIK KE SOLIDARITAS ORGANIK
(Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile Durkheim). Tanjungpinang: Pusat TIK
UMRAH & Tim Pengelola Web.
Subianto, B. (2009). "Ethnic Politics and The Rise of the Dayak Bureaucrats in Local
Election" dalam Deeping Democracy in Indonesia?Direct Elections for Local Leaders
(Pilkada). Pasir Panjang,Singapura: ISEAS.
Tanjungpinang, D. K. (2012).
ARTIKEL
HaluanKepri. (2015, Maret 18). HaluanKepri.com. Retrieved June 8, 2017, from
Newa: http://www.haluankepri.com/batam/75350-perpat-lakukan-
pembenahan-organiasi-.html
Dedi. (2013, Januari 11). AntaraKepri.com. Retrieved Mei 26, 2017, from Politik:
http://kepri.antaranews.com/berita/23454/anggota-legislatif-ppib-dipilih-
bukan-karena-partainya
Pahlevi, F. (2016, Agustus 3). Lis Darmansyah Permudah Budak Melayu Bisa Jadi
PNS di Pemko Tanjungpinang. Tanjungpinang, Kepulauan Riau, -.
Panama, N. (2009, 9 5). Politik. Retrieved 5 25, 2017, from Kompas.com:
http://properti.kompas.com/read/2009/09/05/01381094/etnis.tionghoa.terus.be
rupaya.runtuhkan.tembok.imajinasi