204 Paper Fstpt Xiii Dak

16
PENYERAPAN ASPIRASI DAERAH DALAM PERHITUNGAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) INFRASTRUKTUR JALAN MENUJU PEMERATAAN Dwi Ardianta Kurniawan Peneliti pada Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Bulaksumur E – 9 Yogyakarta 55281 (P): 0274-556928, 0274-563984 (F): 0274- 552229 [email protected] Arif Wismadi Koordinator Forum Transportasi Perdesaan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Nariba Plaza Suite D9, Jl. Mampang Prapatan 39 Jakarta 12790 [email protected] Abstract Decentralization should improve the welfare of local citizens. Different fact which occurs in Indonesia reveals that there is a wrong mechanism in the implementation of decentralization. This research makes a hypothesis that the problem lays on the impropriate funding allocation, particularly on the distribution of Special Allocation Funding (Dana Alokasi Khusus - DAK). Hence, the research proposes a new method in arranging technical index as a basis of DAK establishment. With the model, it is hoped that DAK will be able to accommodate various field conditions and issues. This research uses preferential method to accommodate regional aspiration which has essential role in decentralization era. This method is used to determine the weight of indicators which in turn are correlated with standardized regional condition to establish the technical index of certain region. The calculation result shows that the arranged technical indexes reveal a high priority in disadvantaged/poor areas. It means that the technical indexes which are determined based on regional aspiration relatively capable to accommodate equality better than top down approach. It is hoped that the approach will encourage poor regions to promote itself by developing road infrastructure. Keywords: aspirasi daerah, bobot teknis, borda count, standarisasi, prioritas, anggaran PENDAHULUAN Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme 1

description

DAK

Transcript of 204 Paper Fstpt Xiii Dak

Infrastruktur Transportasi dan Perekonomian Perdesaan:

Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata, SemarangSimposium XII FSTPT, Universitas Petra Surabaya

PENYERAPAN ASPIRASI DAERAH DALAM PERHITUNGAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) INFRASTRUKTUR JALAN MENUJU PEMERATAAN Dwi Ardianta Kurniawan

Peneliti pada Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Bulaksumur E 9 Yogyakarta 55281

(P): 0274-556928, 0274-563984 (F): 0274-552229

[email protected] Wismadi

Koordinator Forum Transportasi Perdesaan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)Nariba Plaza Suite D9, Jl. Mampang Prapatan 39 Jakarta [email protected]

AbstractDecentralization should improve the welfare of local citizens. Different fact which occurs in Indonesia reveals that there is a wrong mechanism in the implementation of decentralization. This research makes a hypothesis that the problem lays on the impropriate funding allocation, particularly on the distribution of Special Allocation Funding (Dana Alokasi Khusus - DAK). Hence, the research proposes a new method in arranging technical index as a basis of DAK establishment. With the model, it is hoped that DAK will be able to accommodate various field conditions and issues.

This research uses preferential method to accommodate regional aspiration which has essential role in decentralization era. This method is used to determine the weight of indicators which in turn are correlated with standardized regional condition to establish the technical index of certain region.

The calculation result shows that the arranged technical indexes reveal a high priority in disadvantaged/poor areas. It means that the technical indexes which are determined based on regional aspiration relatively capable to accommodate equality better than top down approach. It is hoped that the approach will encourage poor regions to promote itself by developing road infrastructure.

Keywords: aspirasi daerah, bobot teknis, borda count, standarisasi, prioritas, anggaranPendahuluanDana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme pembiayaan daerah melalui tranfer pemerintah pusat. Undang-undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa DAK digunakan untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional dan kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD, kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah, sementara kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis. Ketiga kriteria tersebut menggunakan pendekatan top down yang menunjukkan kecilnya peran daerah untuk ikut terlibat dalam penetapan besaran DAK. Mekanisme pengalokasian DAK tersebut selama ini dinilai pemegang kebijakan di daerah masih belum transparan (Departemen PU, 2009). Beberapa contoh di lapangan misalnya terjadi pada alokasi DAK Jalan untuk Kabupaten Gunung Kidul yang lebih besar dibandingkan Kabupaten Sleman, sementara panjang jalan yang dimiliki Gunung Kidul lebih kecil. Kota Yogyakarta juga pernah mendapat alokasi DAK untuk irigasi, padahal keberadaan tanah sawah di kota tersebut relatif tidak signifikan (Seminar Bulanan Pustral, 2010). Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap pengalokasian DAK baik dari sisi besaran maupun sasaran pendanaan. Permasalahan mekanisme penganggaran tersebut berimplikasi lebih jauh terhadap tujuan DAK sebagai bagian Dana Perimbangan, yaitu mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta kesenjangan antar-Pemerintah Daerah. Tahun 2000 pada awal implementasi desentralisasi, pendapatan perkapita pada 20% kabupaten terkaya adalah tiga kali lipat dibandingkan 20% kabupaten termiskin. Prosentase penduduk miskin juga berbeda secara signifikan antar daerah yaitu 8,53% pada kwartil kabupaten terkaya dan 43,07% pada kwartil kabupaten termiskin (Chowdhury et.al, 2007). Hal ini merefleksikan ketidakadilan distribusi aktifitas ekonomi dan juga dukungan sumber data alam antar pemerintah daerah. Setelah era desentralisasi, fakta membuktikan bahwa mekanisme transfer pendanaan yang dilakukan dari pemerintah pusat ke daerah tidak mampu mengurangi kesenjangan fiskal yang terjadi. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pendapatan perkapita pada kecamatan terkaya di Indonesia sebesar 70 kali dibandingkan dengan penduduk pada kecamatan termiskin (Eckardt dan Shah, 2006). Kajian di berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi dan demokratisasi mampu mendorong kesejahteraan penduduk suatu negara. Kajian Foster dan Rosenzweig (2002) mengkaji bahwa demokratisasi mempengaruhi semangat kaum miskin di India untuk meningkatkan taraf hidup. Faguet (2004) meneliti bagaimana desentralisasi meningkatkan pilihan hidup bagi komunitas lokal di Bolivia dengan adanya redistribusi finansial dari pemerintah pusat ke daerah dalam bentuk hibah. Barankay dan Lockwood (2007) melaporkan peningkatan produktifitas dan efisiensi terkait dengan desentralisasi pada konteks penyediaan pendidikan pada wilayah bagian di Swiss.Uraian di atas menunjukkan bahwa desentralisasi seharusnya memberikan peningkatan kesejahteraan kepada penduduk di suatu wilayah. Adanya fakta yang berbeda di Indonesia menunjukkan adanya mekanisme yang salah dalam penerapan desentralisasi. Penelitian ini memiliki hipotesis bahwa kesalahan tersebut terjadi pada mekanisme pengalokasian anggaran, salah satunya pada penetapan prioritas DAK yang diberikan pemerintah pusat ke daerah. Untuk itu, kajian ini menyusun indeks teknis sebagai dasar penetapan prioritas DAK melalui preferensial methode yang diharapkan mampu mengakomodasi kondisi dan permasalahan di lapangan berdasarkan aspirasi daerah. Tingkat kelayakan model ini akan diverifikasi dengan nilai prioritas eksisting yang disusun berdasarkan indeks teknis dengan pendekatan top down. Metodologi Penelitian

Alur PikirAlur pikir kajian memiliki 3 aspek besar yang harus dilakukan, yaitu 1) menentukan variabel, indikator dan sub indikator yang selanjutnya nilainya distandarisasi, 2) menentukan bobot indikator berdasarkan metode voting, serta 3) melakukan verifikasi nilai prioritas dalam mendukung peningkatan kesejahteraan wilayah. Nilai indeks teknis dihitung berdasarkan nilai indikator suatu wilayah dan bobot teknis indikator yang dihasilkan dari survei lapangan. Untuk mengukur reliabilitas nilai indeks teknis dalam mendukung peningkatan kesejahteraan, dilakukan penyusunan matriks antara nilai prioritas dengan tingkat kesejahteraan wilayah yang diwakili oleh pendapatan perkapita penduduk berdasarkan pendekatan aspiratif dan top down. Alur penentuan indeks teknis disajikan secara skematis dalam Gambar 1.

Sumber: Hasil analisis, 2010Gambar 1Alur Penetapan Indeks Teknis Penganggaran JalanIdentifikasi Kriteria dan Indikator Penetapan DAKMekanisme penentuan alokasi DAK didasarkan pada Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut telah diidentifikasi parameter dan kriteria yang digunakan dalam penetapan besaran DAK, yaitu:

a.Parameter kondisi daerah, yang meliputi 3 kriteria yaitu:

1)Kriteria umum dengan variabel berupa kemampuan keuangan pemda,2)Kriteria khusus, dengan variabel meliputi: daerah otonomi khusus, dan karakteristik daerah, misalnya daerah pantai, kepulauan, perbatasan, dan lain-lain,3)Kriteria teknis, dengan variabel ditetapkan oleh Departemen Teknis. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 42/PRT/M/2007 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur, kriteria teknis untuk prasarana jalan meliputi:

1)Jalan provinsi, mencakup:

i.Panjang jalan provinsi (km)

ii.Panjang jalan provinsi tidak mantap (km)

iii.Kinerja jalan provinsi (dalam nilai kekasaran jalan),

iv.Kinerja pelaporan DAK subbidang jalan provinsi,

v.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).

2)Jalan Kabupaten/Kota, mencakup:

i.Panjang jalan kabupaten/kota (km)

ii.Panjang jalan kabupaten/kota tidak mantap (km)

iii.Kinerja jalan kabupaten/kota (dalam nilai pertambahan kemantapan jalan),

iv.Kinerja pelaporan DAK subbidang jalan kabupaten/kota

v.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).

b.Parameter tujuan alokasi DAK, yang secara umum meliputi:

1)Pengurangan kesenjangan pelayanan publik antar daerah,

2)Peningkatan kegiatan khusus daerah yang mendukung kegiatan di wilayahnya,

3)Penyediaan sarana dan prasarana fisik yang menjadi prioritas nasional.

Variabel yang disusun merupakan pengembangan dari variabel yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan tersebut, dengan memasukkan beberapa aspek penting yang dinilai relevan dengan pengembangan jaringan jalan.

Metode Standarisasi

Metode standarisasi merupakan cara untuk melakukan pembandingan antara satu kriteria dengan kriteria yang lain sehingga menghasilkan nilai pembandingan yang fair. Dengan adanya standarisasi, kriteria memiliki unit pengukuran yang seragam dan menghilangkan satuan yang semula digunakan. Kajian ini akan membahas transformasi skala linear (linear scale transformations) dikarenakan kriteria yang digunakan dapat digolongkan memiliki nilai-nilai tertentu/deterministic. Transformasi skala linear mengkonversi nilai-nilai asli dalam nilai standarisasi, yang dapat dibagi lagi menjadi 3 jenis yaitu maximum standardization, interval standardization dan goal standardization.

a.Maximum standardizationNilai-nilai dalam standarisasi ini ditentukan dalam fungsi linear antara 0 dan nilai tertinggi. Untuk nilai yang bersifat manfaat, nilai tertinggi diindikasikan dengan nilai 1, sementara untuk nilai yang bersifat biaya, nilai 1 mengindikasikan nilai terendah.

Rumus yang digunakan untuk kriteria manfaat adalah:

Sementara untuk kriteria biaya:

Maximum standardization memberikan hasil yang jelas ketika kriteria diukur dalam bentuk skala rasio, misalnya biaya atau waktu perjalanan. Keuntungan dari digunakannya maximum standardization adalah nilai standarisasi proporsional dengan nilai aslinya. Sedangkan kelemahannya adalah tidak mampu memperlihatkan perbedaan antar alternatif yang ditinjau.

b.Interval standardizationNilai dalam standarisasi ini berupa fungsi linear antara nilai absolut terendah dan nilai tertinggi. Adapun rumus yang digunakan adalah:

Kriteria manfaat:

Kriteria biaya:

Hasil dari standarisasi ini adalah positif baik untuk kriteria biaya dan manfaat yang bernilai antara 0 dan 1. Interval standardization memberikan hasil yang jelas ketika skala relatif digunakan, misalnya perubahan waktu perjalanan, pertumbuhan pendapatan dan perubahan suhu. Standarisasi ini dapat memberikan keuntungan untuk menggambarkan perbedaan, namun memberikan kerugian apabila perbedaan yang terjadi kecil dan tidak signifikan.

c.Goal standardizationGoal standardization adalah serupa dengan interval standardization, namun nilai tertinggi dan terendah masing-masing nilai referensi ditentukan secara spesifik. Nilai tertinggi ini adalah nilai ideal atau tujuan yang ingin dicapai dari kriteria tersebut sementara nilai terendah adalah nilai minimum kriteria tersebut. Nilai standarisasi disusun dalam bentuk fungsi linear. Rumus untuk kriteria manfaat adalah:

Sementara untuk kriteria biaya:

Hasil nilai standarisasi adalah positif baik untuk kriteria manfaat atau biaya. Goal standardization dapat digunakan misalnya untuk melihat tingkat polusi udara, apakah telah mencapai ambang batas yang ditentukan pada nilai tertentu atau belum. Keuntungan dari goal standardization adalah hasil standarisasi adalah independen dan tidak terpengaruh nilai-nilai dalam satu kriteria yang digunakan.

Dalam kajian ini digunakan maximum standardization dan interval standarization untuk melakukan standarisasi berdasarkan karakteristik data yang digunakan.

Metode Pembobotan berdasarkan Aspirasi DaerahCara paling mudah untuk melakukan pembobotan adalah dengan memperkirakan secara langsung tingkat kepentingan masing-masing kriteria dibandingkan kriteria lainnya dengan memberikan nilai pada masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingannya. Cara ini disebut pendekatan dengan cara pembobotan dan penilaian (weights and scores).

Dalam penentuan bobot variabel juga dilakukan penilaian arah manfaat yang diharapkan dalam pengalokasian anggaran sektor jalan, berupa tanda positif (+) dan negatif (-). Tanda (+) menunjukkan semakin besar nilainya semakin mendapatkan prioritas untuk mendapatkan DAK, sementara tanda (-) menunjukkan semakin kecil nilainya semakin mendapatkan prioritas untuk mendapatkan DAK.

Untuk mengolah hasil aspirasi daerah, dilakukan perhitungan bobot dari tiap kriteria, indikator dan sub indikator. Untuk menggabungkan aspirasi tersebut digunakan dengan metode voting dengan preferensial method berdasarkan aspirasi pemegang kebijakan di daerah. Dalam studi ini, metode yang digunakan adalah borda count, yang dinilai merupakan metode paling tepat untuk menentukan tingkat penting variabel dari beberapa variabel yang ditinjau (lihat selengkapnya dalam Spatial Decission Support System, Echols & Shadily, 1992). Rangkuman Metode yang Digunakan dan Sumber DataKriteria, indikator dan sub indikator yang diusulkan dalam pengalokasian DAK, beserta metode standarisasi, kategori dan sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 1Metode dan Sumber Data Kriteria/Indikator/Sub IndikatorMetode StandarisasiKategoriSumber data

Kriteria Output

- Jaringan Jalan

- Panjang jalanMaximum standarizationManfaatDepartemen Pekerjaan Umum

- Panjang jalan tidak mantapMaximum standarizationManfaatDepartemen Pekerjaan Umum

- Ruas Jalan

- Lebar jalanMaximum standarizationManfaatDepartemen Pekerjaan Umum, IRMS

- Kualitas permukaan (nilai IRI)Interval standarizationBiayaDepartemen Pekerjaan Umum, IRMS

Kriteria Outcome

- Kapasitas

- Volume LHRMaximum standarizationManfaatDepartemen Pekerjaan Umum, IRMS

- V/C ratioInterval standarizationManfaatDepartemen Pekerjaan Umum, IRMS

- Kualitas

- Kecepatan Maximum standarizationManfaatDepartemen Pekerjaan Umum, IRMS

- Biaya Operasi Kendaraan Maximum standarizationBiayaDepartemen Pekerjaan Umum, IRMS

Kriteria Impact

- Keselamatan

- Jumlah kecelakaanMaximum standarizationBiayaDepartemen Kesehatan

- Tingkat fatalitasInterval standarizationBiayaDepartemen Kesehatan

- Lingkungan

- Tingkat polusi udaraInterval standarizationBiayaData Potensi Desa, BPS

- Keberadaan ruang hijauInterval standarizationManfaatData Potensi Desa, BPS

Kriteria Administratif

- Pelaporan

- Kelengkapan pelaporanMaximum standarizationManfaatDepartemen Keuangan

Sumber: Hasil analisis, 2010Perhitungan Indeks TeknisIndeks teknis alokasi DAK untuk prasarana jalan diperoleh dengan menjumlahkan perkalian antara bobot variabel dengan besaran variabel yang telah distandarisasi, yang secara matematis adalah sebagai berikut:

dengan:

ITi = Indeks Teknis daerah i

Vi = nilai variabel daerah i

Bi = bobot variabel

Metode VerifikasiAnalisis reliabilitas nilai indeks teknis berdasarkan aspirasi daerah dilakukan dengan membandingkan dengan nilai indeks teknis berdasarkan pendekatan top down yang selama ini diterapkan pada wilayah yang sama. Untuk dapat diperbandingkan, dilakukan standarisasi dengan rumus:

dengan:

=nilai standarisasi

=nilai indeks teknis

=nilai rata-rata indeks teknisSD= Standar Deviasi indeks teknisBerdasarkan standarisasi dapat dibentuk kwadran antara nilai standarisasi prioritas dengan nilai standarisasi pendapatan perkapita suatu wilayah. Kondisi ideal adalah ketika prioritas tinggi penganggaran diberikan pada wilayah dengan kesejahteraan rendah.

Hasil Pengolahan DATA

Hasil penentuan indeks teknis jalan pada indikator yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 2Nilai Indeks Teknis Jalan Kriteria/Indikator/Sub IndikatorBobot TeknisKriteria/Indikator/Sub IndikatorBobot Teknis

Kriteria OutputKriteria Impact

- Jaringan Jalan - Keselamatan

- Panjang jalan0,11 - Jumlah kecelakaan0,09

- Panjang jalan tidak mantap0,11 - Tingkat fatalitas0,07

- Ruas Jalan - Lingkungan

- Lebar jalan0,07 - Tingkat polusi udara0,05

- Kualitas permukaan0,09 - Keberadaan ruang hijau0,05

Kriteria OutcomeKriteria Administratif

- Kapasitas - Pelaporan

- Volume LHR0,07 - Kelengkapan pelaporan0,14

- V/C ratio0,07TOTAL1,00

- Kualitas

- Kecepatan 0,05

- Biaya Operasi Kendaraan 0,05

Sumber: Hasil perhitungan, 2010 (diolah)

Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa kelengkapan pelaporan memiliki bobot terbesar, yaitu 0,14. Hal ini dikarenakan sub indikator tersebut merupakan sub indikator tunggal dalam kriteria administratif, sehingga memiliki bobot yang tidak terbagi dengan sub indikator lainnya. Variabel yang memiliki kriteria besar adalah panjang jalan dan panjang jalan tidak mantap, yaitu 0,11. Sementara sub indikator yang memiliki bobot kecil adalah kecepatan, Biaya Operasi Kendaraan, tingkat polusi udara dan keberadaan ruang hijau, masing-masing berbobot 0,05. Berdasarkan kondisi tiap provinsi serta nilai indeks teknis yang dihasilkan, prioritas tertinggi didapatkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur, diikuti Lampung, Bengkulu dan Papua. Adapun provinsi yang mendapatkan prioritas terendah adalah Provinsi Banten, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Bali. Selengkapnya hasil perhitungan tersebut beserta nilai eksisting prioritas yang saat ini dimiliki oleh Kementerian Departemen Pekerjaan Umum dan PDRB perkapita masing-masing provinsi disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3Hasil Perhitungan Prioritas Alokasi DAK Jalan Tingkat ProvinsiNo PrioritasProvinsiNilai perhitungan*)Nilai eksisting**)PDRB/kapita 2005 (ADHK 2000)

1 Nanggroe Aceh Darussalam 0,037 0,042 8.384.000

2 Sumatera Utara 0,037 0,044 7.060.000

3 Sumatera Barat 0,034 0,027 6.386.000

4 Riau 0,032 0,031 17.314.000

5 Riau Kepulauan - 0,018 4.788.000

6 Jambi 0,038 0,025 4.027.000

7 Sumatera Selatan 0,036 0,037 7.318.000

8 Bangka Belitung 0,030 0,026 4.121.000

9 Bengkulu 0,038 0,040 7.883.000

10 Lampung 0,038 0,046 6.308.000

11 Jawa Barat 0,035 0,031 4.473.000

12 Banten 0,029 0,020 5.066.000

13 Jawa Tengah 0,035 0,037 7.064.000

14 DIY 0,031 0,011 6.436.000

15 Jawa Timur 0,033 0,025 6.228.000

16 Kalimantan Barat 0,037 0,041 3.639.000

17 Kalimantan Tengah 0,036 0,042 2.286.000

18 Kalimantan Selatan 0,030 0,022 5.787.000

19 Kalimantan Timur 0,034 0,032 7.290.000

20 Sulawesi Utara 0,034 0,029 6.568.000

21 Gorontalo 0,032 0,022 32.852.000

22 Sulawesi Tengah 0,038 0,036 5.987.000

23 Sulawesi Selatan 0,031 0,027 5.111.000

24 Sulawesi Barat - 0,023 4.850.000

25 Sulawesi Tenggara 0,031 0,031 4.089.000

26 Bali 0,031 0,030 2.196.000

27 NTB 0,035 0,033 2.604.000

28 NTT 0,043 0,043 2.530.000

29 Maluku 0,036 0,041 11.858.000

30 Maluku Utara 0,033 0,038 n.a

31 Papua 0,038 0,029 n.a

32 Papua Barat - 0,023 n.a

*) berdasarkan aspirasi daerah

**) berdasarkan pendekatan top downSumber: Hasil perhitungan (2010), Kementerian Pekerjaan Umum (2009)Hubungan prioritas dan pendapatan perkapita dalam bentuk matriks adalah sebagai berikut:

Gambar 2Matriks Hubungan Prioritas dan KesejahteraanSecara umum hasil yang didapatkan memperlihatkan kecenderungan hasil perhitungan yang memberikan prioritas tinggi pada wilayah-wilayah yang memiliki kesejahteraan rendah (kwadran II). Di sisi lain, perhitungan eksisting memperlihatkan kecenderungan prioritas rendah pada daerah-daerah yang memiliki kesejahteraan rendah (kwadran I) maupun prioritas tinggi pada tingkat kesejahteraan tinggi (kwadran IV). Analisis

Hasil perhitungan tersebut memperlihatkan bahwa indeks teknis yang disusun berdasarkan aspirasi pemegang kebijakan di daerah memberikan prioritas tinggi pada wilayah yang masih tertinggal. Hal tersebut menunjukkan bahwa indeks teknis berdasar aspirasi daerah relatif mengakomodasi pendekatan pemerataan dibandingkan pertumbuhan. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa prioritas tinggi alokasi anggaran diberikan kepada wilayah yang secara ekonomi tertinggal (NTT, Papua, Bengkulu), memiliki akses tinggi ke ibukota negara (Lampung) serta daerah yang memiliki luas wilayah besar (Papua). Sementara prioritas rendah diberikan kepada provinsi-provinsi baru yang relatif memiliki luas wilayah kecil (Banten, Bangka Belitung), wilayah dengan sumber daya alam tinggi (Kalimantan Selatan), wilayah dengan sumber daya perikanan dan pariwisata (Sulawesi Tenggara) dan wilayah pariwisata dengan luas wilayah kecil dan kualitas jalan sudah relatif baik (Bali). Hasil ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang selama ini timbul terkait penerapan desentralisasi di Indonesia yang dinilai belum mampu mendorong pemerataan pendapatan antar wilayah sebagaimana ditengarai oleh Eckardt dan Shah (2006). Peran infrastruktur jalan sebagai stimulus bagi pertumbuhan ekonomi sebagaimana dikaji oleh banyak ahli (lihat misalnya Todaro dan Smith (1994), World Development Report (1994), Ali dan Permia (2003) dan Andersen et.al (2006)) diharapkan akan menjadi salah satu pendekatan yang digunakan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, bukan hanya dalam konteks pertumbuhan, namun juga dalam pemerataan pada wilayah yang masih tertinggal. KesimpulanBeberapa kesimpulan hasil penelitian adalah:

a.Mekanisme pengalokasian anggaran, terutama Dana Alokasi Khusus (DAK) selama ini didasarkan atas nilai indeks teknis yang ditetapkan secara top down oleh pemerintah. Kajian ini diharapkan dapat menjadi alternatif perhitungan indeks teknis berdasar aspirasi daerah. c.Hasil kajian memperlihatkan bahwa nilai indeks teknis berdasar aspirasi daerah memberikan prioritas tinggi pada wilayah yang tertinggal. Dengan demikian, pengalokasian anggaran jalan berdasarkan indeks teknis tersebut diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kesejahteraan melalui penanganan jalan di suatu wilayah. Ucapan Terima kasihUcapan terima kasih disampaikan kepada pengelola Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada beserta staf yang memberikan kesempatan mengakses data dan referensi terkait.

Daftar Pustaka

Ali, Ifzal; Ernesto M. Pernia; January 2003, Infrastructure and Poverty Reduction, What is the Connection?, Asian Development Bank, Manila, Philippines

Anderson, Edward; Paolo de Renzio and Stephanie Levy, March 2006, The Role of Public Investment in Poverty Reduction: Theories, Evidence and Methods, Overseas Development Institute 111 Westminster Bridge Road London SE1 7JD, UK

Andrew D. Foster, Mark R. Rosenzweig, 2002, Democratization, Decentralization and the Distribution of Local Public Goods in a Poor Rural Economy

Anwar Shah (ed), 2006, Local governance in developing countries, World Bank, USA

Departemen Keuangan, 2000 2006, Peraturan Menteri tentang Dana Alokasi Khusus

Departemen Pekerjaan Umum, 2007, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 42/PRT/M/2007 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur

Departemen Pekerjaan Umum, 2009, Penyusunan Kriteria dan Formula Penentuan Bobot Teknis Jalan ke Depan (BD-4), Jakarta

Iwan Barankay, Ben Lockwood, 2006, Decentralization and the Productive Efficiency of Government: Evidence from Swiss Cantons, Forschungsinstitut zur Zukunft der Arbeit Institute for the Study of Labor

Jean-Paul Faguet, 2002, Does decentralization increase government responsiveness to local needs? Evidence from Bolivia, Journal of Public Economics 88 (2004) 867 893, Centre for Economic Performance and Development Studies Institute, London School of Economics, Houghton Street, London WC2A 2AE, UK

John M. Echols and Hassan Shadily, 1992, Spatial Decission Support System, ITC, NederlandShyamal Chowdhury, Futoshi Yamauchi and Reno Dewina, 2007, Governance Decentralization and Infrastructure Provision in Indonesia, Japan Bank for International Cooperation (JBIC)

Bobot akhir sub indikator =

Bobot kriteria * bobot indikator * bobot sub indikator

Bobot kriteria: nilai kriteria/total nilai kriteria

Bobot indikator: nilai indikator/total nilai indikator pada kriteria yang sama

Bobot sub indikator: nilai sub indikator/total nilai sub indikator pada indikator yang sama

Metode voting

Aspirasi daerah: survei lapangan

Penetapan prioritas = Nilai standarisasi x bobot

Pembobotan indikator: metode borda count

Standarisasi nilai sub indikator

Penentuan kriteria, indikator, sub indikator

Aspirasi daerah

Top down

II

I

IV

III

Nilai prioritas eksisting Kementerian PU

Matriks prioritas vs kesejahteraan

Standarisasi pendapatan perkapita

Pendapatan perkapita

187

_1338715347.unknown

_1338715576.unknown

_1338963682.unknown

_1338963691.unknown

_1338963710.unknown

_1338789311.unknown

_1338715356.unknown

_1338715319.unknown

_1338715323.unknown

_1338715314.unknown

_1338715280.unknown