2014_kajian_pprf_BPJS.pdf

8
1 BPJS Kesehatan, Supply , dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan Oleh: Novijan Janis Kepala Subbidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan, dan Sosial Email: janis912@g mail.com Pendahuluan Pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia 2025 yaitu menjadi negara maju pada tahun 2025. Namun Pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi suatu tantangan dalam mewujudkan visi dimaksud. Para pakar dibidang SDM menyatakan bahwa kualitas SDM secara dominan ditentukan oleh kemudahan akses pada pendidikan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Bahkan UNDP (United Nations Development Programme) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia yang dua dari tiga indikatornya (peluang hidup, pengetahuan dan hidup layak) terkait dengan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi dari kesehatan, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan. Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Dengan terbitnya kedua undang-undang dimaksud, Pemerintah diwajibkan untuk memberikan lima jaminan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan tunjangan hari tua. Jaminan dimaksud akan dibiayai oleh perseorangan, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Dengan demikian, Pemerintah akan mulai menerapkan kebijakan Universal Health Coverage  dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dimana sebelumnya Pemerintah (Pusat) hanya memberikan pelayanan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI-Polisi. Kebijakan ini umumnya diterapkan di negara-negara yang menganut paham welfare state  yaitu negara di Eropa Barat dan negara jajahan mereka serta beberapa negara Amerika Latin. Perubahan kebijakan dalam layanan kesehatan dimaksud tidak terlepas dari himbauan World Health Assembly  (WHA), pada sidang ke-58 pada tahun 2005 di Jenewa, agar setiap negara anggota memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat khususnya bagi yang kurang mampu. Ada pun mekanisme yang digunakan adalah mekanisme asuransi kesehatan sosial. Hal ini pun sudah sejalan dengan

description

bpjs

Transcript of 2014_kajian_pprf_BPJS.pdf

  • 1

    BPJS Kesehatan, Supply, dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan

    Oleh: Novijan Janis Kepala Subbidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan, dan Sosial

    Email: [email protected]

    Pendahuluan

    Pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia 2025 yaitu menjadi negara maju pada tahun 2025. Namun Pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi suatu tantangan dalam mewujudkan visi dimaksud. Para pakar dibidang SDM menyatakan bahwa kualitas SDM secara dominan ditentukan oleh kemudahan akses pada pendidikan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Bahkan UNDP (United Nations Development Programme) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia yang dua dari tiga indikatornya (peluang hidup, pengetahuan dan hidup layak) terkait dengan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi dari kesehatan, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan. Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

    Dengan terbitnya kedua undang-undang dimaksud, Pemerintah diwajibkan untuk memberikan lima jaminan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan tunjangan hari tua. Jaminan dimaksud akan dibiayai oleh perseorangan, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Dengan demikian, Pemerintah akan mulai menerapkan kebijakan Universal Health Coverage dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dimana sebelumnya Pemerintah (Pusat) hanya memberikan pelayanan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI-Polisi. Kebijakan ini umumnya diterapkan di negara-negara yang menganut paham welfare state yaitu negara di Eropa Barat dan negara jajahan mereka serta beberapa negara Amerika Latin.

    Perubahan kebijakan dalam layanan kesehatan dimaksud tidak terlepas dari himbauan World Health Assembly (WHA), pada sidang ke-58 pada tahun 2005 di Jenewa, agar setiap negara anggota memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat khususnya bagi yang kurang mampu. Ada pun mekanisme yang digunakan adalah mekanisme asuransi kesehatan sosial. Hal ini pun sudah sejalan dengan

  • 2

    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

    Dalam implementasi SJSN, Pemerintah akan membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan akan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan akan menyelenggarakan program jaminan atas kecelakaan kerja, kematian, pensiun dan hari tua. Secara eksplisit, UU SJSN menyatakan bahwa 4 (empat) BUMN di bidang asuransi yaitu PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT Asabri (Persero), dan PT Askes (Persero) akan ditransformasi menjadi BPJS. Berkaitan dengan institusi BPJS Kesehatan, UU BPJS secara jelas menyatakan bahwa PT Askes (Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan.

    Selanjutnya semua program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, PT Jamsostek (Persero), dan PT Askes (Persero) akan diambil alih oleh BPJS Kesehatan. Pada Buku Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 dinyatakan bahwa pada tahun 2014, Pemerintah menargetkan sebanyak 121,6 juta penduduk akan diberikan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Jumlah dimaksud diasumsikan berasal dari program Jamkesmas (96,4 juta jiwa), peserta yang dikelola oleh PT Askes (Persero) (17,2 juta jiwa), peserta Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) Jamsostek (5,5 juta jiwa), dan dari peserta Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU) dari pemerintah daerah (2,5 juta jiwa). Selanjutnya pada tahun 2019, Pemerintah menargetkan seluruh masyarakat yaitu sebanyak 257,5 juta jiwa akan dijamin oleh BPJS Kesehatan.

    BPJS dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan

    Keberhasilan dari upaya Pemerintah dalam menerapkan konsep SJSN khususnya pada jaminan kesehatan nasional diantaranya bergantung pada kondisi supply dan demand dari pelayanan kesehatan. Dalam ekonomi kesehatan, secara umum demand terhadap pelayanan kesehatan diartikan sebagai barang atau jasa yang benar-benar dibeli (realisasi penggunaan) oleh pasien. Istilah demand dibedakan dengan istilah need dan want. Need adalah barang atau jasa yang dipandang terbaik oleh pemberi jasa layanan kesehatan (dhi. dokter) untuk digunakan dalam rangka memperbaiki kesehatan pasien, sedangkan want adalah barang atau jasa yang diinginkan (diminta) oleh pasien, misalnya obat yang murah, obat yang bekerja cepat, dsb. Pembedaan dimaksud dianggap penting khususnya dalam

  • 3

    ilmu ekonomi kesehatan dan kesehatan masyarakat dengan tujuan untuk memperkecil gap (perbedaan) antara need dan want. Dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat memengaruhi keputusan dokter agar mengakomodasi keinginan pasien. Selanjutnya dengan pendidikan kesehatan, Pemerintah dapat memengaruhi pasien untuk mempertimbangkan keputusan dokter.

    Secara umum, demand diukur dengan tingkat keterpakaian tempat tidur (bed occupancy), jumlah kunjungan, jumlah tes diagnostik, dan sebagainya. Demand terhadap pelayanan kesehatan secara dominan sangat dipengaruhi beberapa faktor yaitu tarif (harga), penghasilan pasien, preferensi pasien, dan barang alternatif (ketersediaan dan harga). Hubungan faktor-faktor dimaksud dengan permintaan terhadap pelayanan kesehatan sangat variatif. Harga pelayanan kesehatan mempunyai hubungan negatif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan, semakin tinggi harga maka demand terhadap pelayanan kesehatan semakin menurun. Hubungan serupa juga terjadi antara ketersediaan barang alternatif dan demand terhadap pelayanan kesehatan. Sedangkan penghasilan dan preferensi pasien serta harga barang alternatif memiliki hubungan yang positif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan.

    Sudibyo Supardi dalam sebuah karya ilmiah di bidang kesehatan mengutip pernyataan Nico S. Kalangie yang menjelaskan bahwa demand terhadap pelayanan kesehatan pada masyarakat Indonesia dipenuhi melalui tiga cara yaitu pengobatan sendiri di rumah, pengobatan tradisional, dan pengobatan dengan tenaga medis profesional. Pengobatan dengan tenaga medis profesional adalah pengobatan dengan petunjuk dari tenaga kesehatan yang dilakukan di poliklinik, puskesmas dan rumah sakit. Sedangkan yang diartikan dengan pengobatan sendiri di rumah adalah pengobatan tanpa petunjuk tenaga kesehatan (dokter/perawat/tenaga ahli kesehatan lainnya). Ada pun pengobatan tradisional merupakan bentuk pengobatan yang menggunakan cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan medis modern baik yang dilakukan sendiri atau dengan petunjuk tenaga kesehatan tradisional.

    Demand (realisasi penggunaan) terhadap pelayanan kesehatan pada masyarakat Indonesia dengan menggunakan tenaga medis profesional saat ini masih sangat rendah. Hal ini tergambar dari Tabel 1 yang menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia cenderung untuk memilih pengobatan sendiri di rumah baik menggunakan obat medis atau obat tradisional. Penggunaan metode pengobatan ini umumnya dilakukan untuk menanggulangi sakit ringan dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah sebelumnya mendapat perawatan dari tenaga kesehatan. Pada umumnya, motivasi dari pengobatan cara ini adalah lebih praktis (tidak perlu mengantri di rumah sakit), biaya lebih murah (harga jasa layanan kesehatan dari tenaga medis profesional yang tinggi), jarak yang jauh ke lokasi

  • 4

    tersedianya pelayanan kesehatan tenaga medis profesional dan rasa kecewa terhadap pelayanan kesehatan dimaksud.

    Tabel 1. Demand Terhadap Jasa Layanan Kesehatan (dalam %)

    No. Persentase penduduk 2008 2009 2010 2011 2012

    1. Mengobati sendiri 65,59 68,41 68,71 66,82 67,71

    2. Menggunakan jasa layanan kesehatan

    34,41 31,59 31,29 33,18 32,29

    Sumber: BPS, diolah.

    Namun demikian, masyarakat sebenarnya cenderung untuk menggunakan tenaga medis profesional dalam memenuhi kebutuhan atas pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat dari Tabel 2 yang menjelaskan bahwa masyarakat lebih memilih obat medis modern daripada obat tradisional. Selain itu, preferensi masyarakat dimaksud menunjukkan bahwa harga dari jasa tenaga medis kesehatan profesional masih belum terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu, dengan asumsi bila harga pelayanan kesehatan dari tenaga medis profesional dapat terjangkau maka masyarakat akan memilih menggunakan tenaga medis dimaksud dalam memenuhi kebutuhan akan pengobatan (layanan kesehatan) daripada pengobatan sendiri, Pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan Universal Health Coverage dengan konsep SJSN. Pada dasarnya konsep SJSN dan BPJS ini akan berperan dalam meningkatkan demand (realisasi penggunaan) terhadap pelayanan kesehatan khususnya pemakaian tenaga medis profesional. Dengan demikian, secara umum akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sehingga dapat mewujudkan Visi Indonesia 2025.

    Tabel 2. Demand Terhadap Jenis Obat (dalam %)

    No. Persentase penduduk 2008 2009 2010 2011 2012

    1. Menggunakan obat medis modern 77,74 75,76 72,42 76,37 75,67

    2. Menggunakan obat tradisional 22,26 24,24 27,58 23,63 24,33

    Sumber: BPS, diolah.

    Dalam rangka meningkatkan demand terhadap pemakaian tenaga medis profesional, maka Pemerintah akan menanggung iuran asuransi kesehatan bagi masyarakat tidak mampu dan mewajibkan pemberi kerja untuk turut menanggung iuran asuransi kesehatan sehingga para pekerja akan memiliki kemampuan untuk menjangkau harga pelayanan kesehatan dimaksud. Pada dasarnya, jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu

  • 5

    sudah ditanggung oleh Pemerintah Pusat (dhi. Kementerian Kesehatan) dengan program Jamkesmas dan oleh Pemerintah Daerah dengan program PJKMU. Namun belum semua masyarakat tercakup dalam Jamkesmas dan belum semua daerah menerapkan program PJKMU. Di samping itu penggunaan asuransi kesehatan oleh individu masih banyak yang memakai produk asuransi dengan cakupan penyakit berat (operasi dan/atau rawat inap) saja sedangkan untuk penyakit ringan akan langsung ditanggung individu tanpa melalui produk asuransi. Demand terhadap layanan kesehatan akan meningkat karena BPJS akan memasukkan masyarakat kurang mampu dari daerah yang belum menerapkan jamkesda dan memberikan jaminan kesehatan dasar bagi individu yang hanya memakai produk asuransi dengan cakupan penyakit berat. Sebagai ilustrasi, pada grafik berikut dijelaskan persentase jumlah penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dalam bentuk apapun.

    Grafik 1. Persentase Cakupan Nasional Jaminan Kesehatan Tahun 2011

    Sumber: Dr.drg. Yulita Hendartini, M.Kes., AAK (Peneliti Pusat KP-MAK FK UGM). Memperhatikan potensi pertambahan jumlah demand atas layanan kesehatan, maka

    dapat diprediksi bahwa akan terjadi penambahan beban fiskal bagi Pemerintah khususnya dari penerapan konsep SJSN ini. Namun demikian, tingkat keberhasilan implementasi SJSN tidak semata-mata apakah beban fiskal akan bertambah atau berkurang. Dalam ilmu ekonomi kesehatan dijelaskan bahwa kesehatan masyarakat akan berdampak kepada kondisi ekonomi secara makro. Secara sederhana dapat dipahami bahwa kesehatan seseorang yang buruk akan berdampak kepada menurunnya produktifitas orang tersebut dan dapat menularkan kesehatan buruknya kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan konsep SJSN harus dilihat dari faktor jumlah fiskal pada layanan kesehatan dan produktifitas masyarakat. Di sinilah peran BPJS Kesehatan untuk mengendalikan biaya layanan kesehatan pada tingkat yang wajar.

    Jamkesmas

    32%

    Jamsostek

    2%

    Askes

    7%

    Jamkes Swasta

    3%Asuransi Swasta

    1%

    Jamkesda

    15%Jaminan lainnya

    4%

    Belum Punya

    Jamkes/Asuransi

    37%

  • 6

    BPJS dan Pengendalian Supply Terhadap Layanan Kesehatan

    Secara umum, supply terhadap pelayanan kesehatan diartikan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang disampaikan kepada pasien oleh kombinasi antara tenaga pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik dan laboratorium klinis). Faktor yang mempengaruhi supply terhadap pelayanan kesehatan adalah Man, Money, Material, Method, Market, Machine, Technology, Time, dan Information. Faktor-faktor dimaksud dikenal dengan 6M, 2T, dan 1I. Penjelasan dan contoh dari faktor dimaksud adalah sebagaimana dalamTabel 3.

    Tabel 3. Determinan Supply Terhadap Layanan Kesehatan

    1. Man Sumber daya manusia yang menyediakan layanan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Contoh: dokter, dokter spesialis, bidan, perawat, farmasis, tenaga administrasi, dan lain sebagainya.

    2. Money Biaya yang muncul dalam penyediaan layanan kesehatan. Contoh: biaya operasional, biaya investasi dan biaya lain-lain.

    3. Material

    Material yang berhubungan dengan logistik pelayanan kesehatan. Misal: obat, alat suntik, bahan dasar obat, dan lain sebagainya.

    4. Method Manual atau SOP yang ada pada fasilitas layanan kesehatan (rumah sakit, klinik dan laboratorium klinis). Misal: Standar Pelayanan Minimal (SPM), prosedur tindakan medis dan lain-lain.

    5. Machine Peralatan yang digunakan dalam penyediaan layanan kesehatan. Misal: peralatan laboratorium, peralatan medis (utama dan penunjang) seperti dental chair, dan lain-lain.

    6. Market Wilayah kerja pelayanan kesehatan.

    7. Teknologi Teknologi yang digunakan dalam pemberian layanan kesehatan.

    8. Time Waktu yang digunakan dalam pemberian layanan kesehatan.

    9. Informasi Informasi terkait dengan layanan kesehatan dalam bentuk media internet, pamflet dan leaflet.

    Sumber: Makalah Dasar Ilmu Ekonomi Supply tahun 2010, FKM UNAIR.

    Dari determinan-determinan supply layanan kesehatan dimaksud, man merupakan determinan yang paling dominan dalam menentukan kondisi determinan lainnya. Hal ini dapat dipahami karena determinan lain disediakan dan dikelola oleh determinan man. Secara umum kondisi atau kualitas dari determinan dimaksud akan menentukan kualitas

  • 7

    pelayanan kesehatan. Dengan pertimbangan bahwa tingkat keberhasilan konsep SJSN turut dipengaruhi oleh kinerja supplier dari pelayanan kesehatan maka BPJS Kesehatan perlu mengendalikan semua determinan dari supply layanan kesehatan khususnya determinan man.

    Sebagaimana telah diketahui bahwa BPJS Kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes (Persero). Secara umum, karakter dasar PT Askes (Persero) adalah sebuah entitas milik negara (Badan Usaha Milik Negara) yang mencari profit di bidang asuransi kesehatan. Selama ini PT Askes (Persero) sudah menerapkan metode managed care dalam mengendalikan biaya dan mutu layanan kesehatan sehingga dapat mengurangi biaya pelayanan yang tidak perlu yang pada akhirnya dapat meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan. Dalam menerapkan pengendalian biaya layanan kesehatan, PT Askes (Persero) memberikan batasan atas fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Tabel 4. Sedangkan untuk mengendalikan biaya dari obat, PT Askes (Persero) menggunakan Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) sebagai acuan standar obat yang dijamin dan bila obat yang ditetapkan oleh dokter (man) melebihi standar dimaksud maka pasien akan menanggung biaya dimaksud. Dengan pembatasan-pembatasan dimaksud PT Askes (Persero) telah mengendalikan pembengkakan biaya yang berasal dari determinan man.

    Tabel 4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada PT Askes (Persero)

    Jenis Manfaat Fasilitas Pelayanan Kesehatan

    Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) Puskesmas dan Klinik, Dokter Keluarga Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) RSUD Kab/Kota, RSUD Pprovinsi, RS

    Swasta & RSU vertikal

    Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) Puskesmas dengan tempat tidur Rawat Jalan Tingkat Manfaat Katastrofik (hemodialisa, operasi jantung, dsb)

    RSUD Kab/Kota, RSUD Provinsi, RS Swasta & RSU vertikal

    Manfaat Khusus RSUD Kab/Kota, RSUD Provinsi, RS Swasta & RSU vertikal

    Sumber: Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019.

    Selanjutnya PT Askes (Persero) juga menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan laba sebagaimana tergambar dalam Tabel 5. Hal ini menjadi pesan bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat umum bahwa BPJS Kesehatan mempunyai kemampuan dalam

  • 8

    mengelola demand dan supply layanan kesehatan. Sehingga probabilitas atas keberhasilan dari penerapan konsep SJSN cukup besar.

    Tabel 5. Kinerja PT Askes (Persero) (dalam juta Rp)

    Keterangan 2008 2009 2010 2011

    Pendapatan Usaha 5.630.909 6.863.009 7.897.636 9.242.911

    Pendapatan Lain-Lain 189.574 999.381 1.077.137 978.171

    Laba Bersih 1.136.819 2.176.919 1.802.362 1.436.728

    Sumber: LKPP Kementerian BUMN.

    Kesimpulan

    Implementasi dari kebijakan SJSN dan BPJS akan meningkatkan demand terhadap pelayanan kesehatan khususnya dari masyarakat yang selama ini kurang mampu membeli jasa kesehatan sehingga akan berpengaruh kepada penambahan beban fiskal. Namun, penambahan beban fiskal akan diimbangi oleh penambahan produktivitas masyarakat yang berdampak kepada perkembangan ekonomi makro.

    Kemampuan BPJS Kesehatan dalam mengendalikan demand dan supply dari layanan kesehatan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari penerapan konsep SJSN. Melihat kinerja PT Askes (Persero) yang akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dapat disimpulkan bahwa ada potensi keberhasilan dari implementasi konsep SJSN dimaksud.