2012_12_23 HAL 20.pdf

1
Email Redaksi: [email protected]/Untuk Opini: [email protected] www.harianpelita.com 20 www.pelitaonline.com - pertama dan penting Bagaimana minat dan ketertarikan perempuan kepada bidang politik, mengingat selama ini politik dipersepsi se- bagai dunia laki-laki? Minat sebenarnya tinggi, tapi penerimaan parpol dan ma- syarakat belum terlalu ramah terhadap perempuan. Kalau parpol berkomitmen untuk membuka ruang ke perempuan, maka 30 persen perempuan, baik di kepengurusan maupun di legislatif, itu hal mudah untuk dicapai. Sekarang tinggal kemauan parpol untuk membuka dan berkomitmen den- gan hal itu. Sekitar 50 persen pemilih itu kan perempuan. Kalau par- pol berkomitmen menjalankan 30 persen keterwakilan perem- puan, dan kalau pun dibuka tidak hanya sebatas pada pen- calegan tapi dili- batkan dalam kepengurusan har- ian. Karena kalau- pun diberi ruang di pancalegan, ban- yak perempuan yang tidak diberi peran dan tang- gung jawab untuk posisi pengambilan kebijakan. Kalau alasannya perempuan tidak mampu, itu san- gat klise. Kenapa perempuan tidak mampu? Sebab, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses yang ada, hanya sebagai pengumpul suara saja, pendamping, itu tidak bisa membuat perempuan maju. Undang-Undang Pemilu yang baru telah “mewajibkan” keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar caleg. Apa ini sudah merupakan kemajuan progresif? Itu sudah hal yang maju walaupun kami berharap target- nya lebih dari itu. Namun, aturan itu tidak memuat sanksi kepada parpol jika tidak mengakomodasinya. Kenapa parpol tidak bisa memenuhi kepengurusan 30 persen di nasional? Sebab, karena di kabupaten/kota dan provinsi pun tidak ada perempuan dalam posisi strategis. Apa alasan filosofi di balik affirmative action untuk perempuan? Kepentin- gan perem- puan har- us disuara- kan dalam politik dan kebijakan. Mungkin bisa laki-laki menyuara- kan aspirasi perempuan tapi tidak bisa maksi- mal kare- na punya pengalaman berbeda. 30 per- sen itu am- bang batas, critical mass (titik kritis) ketika 30 perempuan itu hadir dalam kom- posisi atau struktur bisa mempengaruhi kebijakan. 30 per- sen itu diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan yang ada. Keterwakilan perempuan di DPR dari periode ke peri- ode meningkat meskipun masih jauh di bawah 30 pers- en. Bagaimana melihat fenomena ini? Jadi PR kita bersama. Pada 2014 harus mampu 30 pers- en agar ada kebijakan yang ramah gender dan perempuan. Apa peran perempuan anggota parlemen sudah maksi- mal atau masih berperan di pinggiran dan menjadi subor- dinat politisi laki-laki? Kenapa itu yang harus ditanyakan? Selama ini ada 80 pers- en laki-laki tidak pernah dipertanyakan kinerjanya, maksi- mal atau belum. Kok 18 persen perempuan selalu dipertan- yakan. Sejujurnya, cukup banyak keberhasilan yang dilaku- kan 18 persen itu. Saat ini tengah dibahas RUU Kesetaraan Gender. Apa saja yang mesti dirumuskan dalam RUU itu? Itu melengkapi dan mempertangungjawabkan peran Neg- ara dalam pengarusutamaan gender. Jangka pendeknya itu agar ada daya paksa lebih ketika menjadi UU. Inpres yang ada belum berjalan maksimal sebab tidak ada daya paksa ke Pemda untuk pengarusutamaan gender. Subtansinya leb- ih luasnya, untuk meningkatkan pendidikan sensitive gen- der di Indonesia. Bias gender apa saja yang biasanya menghambat per- an perempuan dalam bidang politik? Apa pandangan ke- agamaan tertentu berperan di sini? Ada yang masih terkekang budaya, keluarga, keagamaan, tapi tidak semuanya juga. Harus satu-satu bicara itu. Ada yang sudah lepas dari persoalan itu tapi di parpol dimargin- alkan juga. Tidak bisa mengambil generaliasi. Di legislatif, mungkin hambatannya di parpol. Tapi kalau bagi masyara- kat yang belum di politik, ada hambatan di keluarga, buda- ya, dan agama. Kita juga semestinya tidak selalu menyalah- kan budaya patriarki. Bagaimana dengan keterwakilan perempuan di pemer- intahan? Belum banyak yang bisa masuk dalam posisi pengambi- lan keputusan. Tak itu saja, hampir semua deputi di Ke- menterian Pemberdayaan Perempuan itu laki-laki. Kita ber- syukur Kementerian Kesehatan sudah berturut-turut dipe- gang perempuan. Tapi perempuan kan tidak pernah pegang posisi men- teri luar negeri atau dalam negeri? Akses terbatas, akses untuk naik karir. Banyak yang tidak bisa mengakses syarat naik karir sehingga tidak bisa ke ja- batan strategis. Kesempatan untuk mengikuti kenaikan karir sangat terbatas bagi perempuan. (eboy) SENIN | 24 Desember 2012/10 Shafar 1434 H Kabar dari Senayan WAWANCARA Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif G ENDER menjadi aspek dominan dalam poli- tik. Dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalam- nya. Hubungan gender dengan politik dapat ditemukan mulai dari lingkungan keluarga anta- ra suami dan istri sampai pada tataran kemasyarakatan yang lebih luas, misalnya dalam poli- tik praktis. Tataran hubungan kekuasaan itu pun bervaria- si, mulai dari tataran simbo- lik, dalam penggunaan baha- sa dan wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah perburuhan, migrasi, kekerasan, tanah, dan keter- wakilan perempuan dalam par- tai politik. Upaya affirmative action un- tuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelak- sanaan Pemilu 2009, peraturan perundangundangan telah me- ngatur kuota 30 persen perem- puan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon ang- gota legislatifnya. Undang-Un- dang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, De- wan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Dae- rah (pemilu legislatif)—yang ke- mudian direvisi Undang-Un- dang Nomor 8 Tahun 2012— serta UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik—direvisi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011—telah memberi- kan mandat kepada parpol un- tuk memenuhi kuota 30 persen bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Pasal 8 butir d UU Nomor 10 Tahun 2008, misalnya, menye- butkan penyertaan sekurang kurangnya 30 persen keter- wakilan perempuan pada ke- pengurusan parpol tingkat pu- sat sebagai salah satu per- syaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legis- latif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30 persen keter- wakilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota mengumumkan persen- tase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Semen- tara di Pasal 2 ayat 3 UU Par- pol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol me- nyertakan 30 persen keterwa- kilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 ten- tang kepengurusan parpol dise- butkan juga tentang penyusu- nannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan pa- ling rendah 30 persen. Keteta- pan kuota 30 persen sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring de- ngan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3 persen). Sementa- ra itu, dalam Pemilu 1999, pe- milu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9 persen). Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanju- tan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan pada awal Abad ke-20 tercapai. Kam- panye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perem- puan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan domi- nasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukan- lah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen. Melihat tabel di atas, keter- wakilan perempuan dari peri- ode ke periode mengalami pe- ningkatan, dan bahkan apabila kita melihat perkembangan dari periode 1999-2004 hingga 2009- 2014 kenaikannya cukup sig- nifikan yaitu 9 persen, mening- kat menjadi 17,7 persen. Namun capaian keterwakilan perempuan pada masing-ma- sing provinsi masih bervaria- si jumlahnya, terdapat bebera- pa provinsi yang tidak ada ke- terwakilan perempuan, seperti Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Aceh. Sementara keterwakilan pe- rempuan pada Dewan Perwa- kilan Daerah (DPD) pencapaian- nya sedikit lebih baik dibanding dengan keterwakilan perem- puan di DPR. Keterwakilan perempuan di DPD menurut hasil pemilu tahun 2004 sebe- sar 19,8 persen dan meningkat menjadi 22,7 persen pada pemi- lu 2009. Namun demikian capa- ian ini tidak diikuti oleh semua provinsi, seperti pada provinsi Bali dan Provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPD tidak ada. Sementara terdapat 2 provinsi yang mencapai 37 per- sen yaitu provinsi Papua Barat dan Kepulauan Riau. (man) Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif secara nasional dari periode ke periode mengalami peningkatan. Namun capaian tersebut pada masing-masing provinsi masih bervariasi. Bahkan, terdapat beberapa provinsi yang tidak ada keterwakilan perempuan. Peneliti Women Research Institute Ika Wahyu Priaryani: “Akses Naik Karir Terbatas bagi Perempuan” Persentase Anggota DPR menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Periode 1999-2004 2004-2009 2009-2014 Laki-laki 91% 89,3% 82,4% Perempuan 9% 10,7% 17,6% Sekitar 50 persen pemilih itu adalah perempuan. Kalau parpol berkomitmen menjalankan 30 persen keterwakilan perempuan, dan kalau pun dibuka tidak hanya sebatas pada pencalegan tapi dilibatkan dalam kepengurusan harian.

Transcript of 2012_12_23 HAL 20.pdf

  • Email Redaksi: [email protected]/Untuk Opini: [email protected]

    www.harianpelita.com

    20www.pelitaonline.com - pertama dan penting

    Bagaimana minat dan ketertarikan perempuan kepada bidang politik, mengingat selama ini politik dipersepsi se-bagai dunia laki-laki?

    Minat sebenarnya tinggi, tapi penerimaan parpol dan ma-syarakat belum terlalu ramah terhadap perempuan. Kalau parpol berkomitmen untuk membuka ruang ke perempuan, maka 30 persen perempuan, baik di kepengurusan maupun di legislatif, itu hal mudah untuk dicapai. Sekarang tinggal kemauan parpol untuk membuka dan berkomitmen den-gan hal itu.

    Sekitar 50 persen pemilih itu kan perempuan. Kalau par-pol berkomitmen menjalankan 30 persen keterwakilan perem-puan, dan kalau pun dibuka tidak hanya sebatas pada pen-

    calegan tapi dili-b a t k a n d a l a m kepengurusan har-ian. Karena kalau-pun diberi ruang di pancalegan, ban-yak perempuan yang tidak diberi peran dan tang-gung jawab untuk posisi pengambilan kebijakan.

    Kalau alasannya perempuan tidak mampu, itu san-gat klise. Kenapa perempuan tidak mampu? Sebab, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses yang

    ada, hanya sebagai pengumpul suara saja, pendamping, itu tidak bisa membuat perempuan maju.

    Undang-Undang Pemilu yang baru telah mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar caleg. Apa ini sudah merupakan kemajuan progresif?

    Itu sudah hal yang maju walaupun kami berharap target-nya lebih dari itu. Namun, aturan itu tidak memuat sanksi kepada parpol jika tidak mengakomodasinya. Kenapa parpol tidak bisa memenuhi kepengurusan 30 persen di nasional? Sebab, karena di kabupaten/kota dan provinsi pun tidak ada perempuan dalam posisi strategis.

    Apa alasan filosofi di balik affirmative action untuk perempuan?

    K e p e n t i n -gan perem-puan har-us disuara-kan dalam politik dan kebijakan. M u n g k i n bisa laki-laki menyuara-kan aspirasi perempuan tapi t idak bisa maksi-mal kare-na punya pengalaman berbeda.

    3 0 p e r -sen itu am-bang batas, critical mass (titik kritis) ke t ika 30 perempuan i t u h a d i r dalam kom-posisi atau struktur bisa mempengaruhi kebijakan. 30 per-sen itu diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan yang ada.

    Keterwakilan perempuan di DPR dari periode ke peri-ode meningkat meskipun masih jauh di bawah 30 pers-en. Bagaimana melihat fenomena ini?

    Jadi PR kita bersama. Pada 2014 harus mampu 30 pers-en agar ada kebijakan yang ramah gender dan perempuan.

    Apa peran perempuan anggota parlemen sudah maksi-mal atau masih berperan di pinggiran dan menjadi subor-dinat politisi laki-laki?

    Kenapa itu yang harus ditanyakan? Selama ini ada 80 pers-en laki-laki tidak pernah dipertanyakan kinerjanya, maksi-mal atau belum. Kok 18 persen perempuan selalu dipertan-yakan. Sejujurnya, cukup banyak keberhasilan yang dilaku-kan 18 persen itu.

    Saat ini tengah dibahas RUU Kesetaraan Gender. Apa saja yang mesti dirumuskan dalam RUU itu?

    Itu melengkapi dan mempertangungjawabkan peran Neg-ara dalam pengarusutamaan gender. Jangka pendeknya itu agar ada daya paksa lebih ketika menjadi UU. Inpres yang ada belum berjalan maksimal sebab tidak ada daya paksa ke Pemda untuk pengarusutamaan gender. Subtansinya leb-ih luasnya, untuk meningkatkan pendidikan sensitive gen-der di Indonesia.

    Bias gender apa saja yang biasanya menghambat per-an perempuan dalam bidang politik? Apa pandangan ke-agamaan tertentu berperan di sini?

    Ada yang masih terkekang budaya, keluarga, keagamaan, tapi tidak semuanya juga. Harus satu-satu bicara itu. Ada yang sudah lepas dari persoalan itu tapi di parpol dimargin-alkan juga. Tidak bisa mengambil generaliasi. Di legislatif, mungkin hambatannya di parpol. Tapi kalau bagi masyara-kat yang belum di politik, ada hambatan di keluarga, buda-ya, dan agama. Kita juga semestinya tidak selalu menyalah-kan budaya patriarki.

    Bagaimana dengan keterwakilan perempuan di pemer-intahan?

    Belum banyak yang bisa masuk dalam posisi pengambi-lan keputusan. Tak itu saja, hampir semua deputi di Ke-menterian Pemberdayaan Perempuan itu laki-laki. Kita ber-syukur Kementerian Kesehatan sudah berturut-turut dipe-gang perempuan.

    Tapi perempuan kan tidak pernah pegang posisi men-teri luar negeri atau dalam negeri?

    Akses terbatas, akses untuk naik karir. Banyak yang tidak bisa mengakses syarat naik karir sehingga tidak bisa ke ja-batan strategis. Kesempatan untuk mengikuti kenaikan karir sangat terbatas bagi perempuan. (eboy)

    SENIN | 24 Desember 2012/10 Shafar 1434 H

    Kabar dari Senayan

    JIKA Anda harus menebak mana dari negara berikut ini: Peru, Rwanda, Belarus, dan Perancis, yang memiliki re presentasi terbesar perempuan di parlemen? Jawaban yang benar adalah Rwanda, dimana seten-gah anggota majelis rendah adalah perempuan. Sementara itu, Peran-cis angkanya ha nya 12 persen.

    Menurut Inter-Parliamenta-ry Union (IPU), organisasi par-lemen internasio nal, negara-nega-ra berkembang dan bukan negara demokrasi lama yang justru pal-ing mampu untuk memastikan ke-adilan gender dalam parlemen.

    Ada kecenderungan mengejut-kan. Negara seperti Kuba misal-nyayang terus dikritik Ameri-ka Serikat terkait catatan hak asa-si manusia justru berada di uru-tan ke-8. Perempuan politisi di Kuba memperoleh 36 persen kursi di parlemen kamar tunggal, Majelis Nasional Kekuasaan Rakyat.

    Lalu ada Belarus, yang kerap disebut sebagai kediktatoran ter-akhir di Eropa. Belarus memi-liki sekitar 30 per sen keterwakilan perempuan di ke dua lembaga leg-islatf, baik bawah maupun atas. Belarus ada di peringkat ke-21 leb-ih tinggi dibandingkan negara-neg-ara yang kerap melontarkan kritik, termasuk Lithuania (32), Polandia (48), Kanada (47), dan Inggris (52).

    Negara-negara Arab juga mu-lai mengejutkan. Negara-negara itu tampaknya mengambil lang-kah besar. Uni Emirat Arab, mis-alnya, paling signifikan dalam me-naikan jumlah perempuan di lemba-ga legislatif pada tahun ini, yakni di atas 20 persen. Namun, tetap masih ada pengecualian di kawasan terse-

    but. Arab Saudi adalah negara dima-na perempuan masih tidak dapat me-milih, apalagi mencalonkan diri dalam

    pemilu.Kuota perempuan di legislatif

    SISTEM kuota seringkali merupa-kan langkah penting dan awal un-tuk membantah gagasan tradision-

    al bahwa perempuan tak mampu ber-peran dalam politik dan pemerintah-an. Irak dan Afghanistan, ketika mem-

    bentuk peme rintahan pertama mere-ka pascaperang, menetapkan bagian tertentu dari kursi anggota parlemen bagi perempuan.

    Penerapan kuota dinilai mampu me-

    nerobos stereotip genderdan tak ja-rang memicu lahirnya undang-undang yang lebih baik dan adil. Kami men-

    emukan perempuan yang bera-da di parlemen cenderung memba-wa berbagai jenis sensitivitas dan kepekaan pada isu-isu sosial dari-pada laki-laki. Hasilnya cenderung mengarah pada legislasi, anggaran, dan program-program yang lebih peka jender, dan karena itu lebih baik dalam banyak hal, kata An-ders Johnson, Sekjen IPU.

    Praktikkan yang Anda khotbahkan

    Amerika Serikat, kampiun de-mokrasi dan HAM, ternyata hanya menempati peringkat ke-67. Kaum perempuan hanya memperoleh 16,3 persen kursi di DPR dan 16 persen di Senat. Tapi setidaknya Amerika Serikat masih le bih baik dibandingkan Perancis yang mun-cul pada tempat ke-86. Perempuan hanya 12,2 persen dari anggota Majelis Nasional dan 16,9 persen dari Senat.

    Johnson mengatakan bebera-pa ne gara demokrasi lama tak melakukan sesuatu apa pun un-tuk meningkatkan peran perem-puan dalam politik dan pemerin-tahan.

    Negara-negara yang justru pal-ing bersinar dalam hal ini adalah negara-negara berkembang, baik itu di Amerika Latin, Afrika, dan di kawasan Arab juga. Kami in-gin negara-negara demokrasi lama, dimulai dengan Amerika Serikat,

    Perancis, dan beberapa ne gara lain, untuk belajar dari negara-ne gara itu dan mempraktikkan di dalam negeri apa yang mereka khotbahkan ke luar negeri, katanya. (man)

    WAWANCARA

    Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif

    GENDER menjadi aspek dominan dalam poli-tik. Dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalam-nya. Hubungan gender de ngan politik dapat ditemukan mulai dari lingkungan keluarga anta-ra suami dan istri sampai pada tataran kemasyarakatan yang lebih luas, misalnya dalam poli-tik praktis. Tataran hubu ngan kekuasaan itu pun bervaria-si, mulai dari tataran simbo-lik, dalam penggunaan baha-sa dan wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah perburuhan, migrasi, kekerasan, tanah, dan keter-wakilan perempuan dalam par-tai politik.

    Upaya affirmative action un-tuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelak-sanaan Pemilu 2009, peraturan perundangundangan telah me-ngatur kuota 30 persen perem-

    puan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon ang-gota legislatifnya. Undang-Un-dang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, De-wan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Dae-rah (pemilu legislatif)yang ke-mudian direvisi Undang-Un-dang Nomor 8 Tahun 2012serta UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politikdirevisi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011telah memberi-kan mandat kepada parpol un-tuk memenuhi kuota 30 per sen bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

    Pasal 8 butir d UU Nomor 10 Tahun 2008, misalnya, menye-butkan penyertaan sekurang kurangnya 30 persen keter-wakilan perempuan pada ke-pengurusan parpol tingkat pu-sat sebagai salah satu per-syaratan parpol untuk dapat

    menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legis-latif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30 persen keter-wakilan perempuan.

    Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persen-tase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Semen-tara di Pasal 2 ayat 3 UU Par-

    pol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol me-nyertakan 30 persen keterwa-kilan perempuan.

    Lebih jauh, di Pasal 20 ten-tang kepengurusan parpol dise-butkan juga tentang penyusu-nannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan pa-ling rendah 30 persen. Keteta-pan kuota 30 persen sendiri

    sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring de-ngan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3 persen). Sementa-ra itu, dalam Pemilu 1999, pe-milu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9 persen).

    Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanju-tan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan pada

    awal Abad ke-20 tercapai. Kam-panye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perem-puan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan domi-nasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukan-lah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.

    Melihat tabel di atas, keter-wakilan perempuan dari peri-ode ke periode mengalami pe-ningkatan, dan bahkan apabila kita melihat perkembangan dari periode 1999-2004 hingga 2009-2014 kenaikannya cukup sig-nifikan yaitu 9 persen, mening-kat menjadi 17,7 persen.

    Namun capaian keterwakilan perempuan pada masing-ma-sing provinsi masih bervaria-si jumlahnya, terdapat bebera-pa provinsi yang tidak ada ke-terwakilan perempuan, seperti Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Aceh.

    Sementara keterwakilan pe-rempuan pada Dewan Perwa-kilan Daerah (DPD) pencapaian-nya sedikit lebih baik diban ding dengan keterwakilan perem-puan di DPR. Keterwakilan perempuan di DPD menurut hasil pemilu tahun 2004 sebe-sar 19,8 persen dan meningkat menjadi 22,7 persen pada pemi-lu 2009. Namun demikian capa-ian ini tidak diikuti oleh semua provinsi, seperti pada provinsi Bali dan Provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPD tidak ada. Sementara terdapat 2 provinsi yang mencapai 37 per-sen yaitu provinsi Papua Barat dan Kepulauan Riau. (man)

    Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif secara nasional dari periode ke periode

    mengalami peningkatan. Namun capaian tersebut pada masing-masing provinsi masih

    bervariasi. Bahkan, terdapat beberapa provinsi yang tidak ada keterwakilan perempuan.

    Peneliti Women Research Institute Ika Wahyu Priaryani:

    Akses Naik Karir Terbatas bagi Perempuan

    Di Banyak Negara, Perempuan Masih Langka dalam Politik

    Persentase Anggota DPR menurut Jenis Kelamin

    Jenis Kelamin Periode 1999-2004 2004-2009 2009-2014

    Laki-laki 91% 89,3% 82,4%

    Perempuan 9% 10,7% 17,6%

    grafic.indd 1 12/24/2012 12:27:37 AM

    Sekitar 50 persen pemilih itu adalah perempuan.

    Kalau parpol berkomitmen menjalankan 30 persen

    keterwakilan perempuan, dan kalau pun dibuka

    tidak hanya sebatas pada pencalegan tapi dilibatkan

    dalam kepengurusan harian.