2 TINJAUAN PUSTAKA Culcita Bintang laut adalah salah satu ... · Ciri-ciri yang menonjol adalah...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA Culcita Bintang laut adalah salah satu ... · Ciri-ciri yang menonjol adalah...
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Bintang Laut Culcita sp.
Bintang laut adalah salah satu spesies dari kelas Asteroidea, dan
merupakan kelompok Echinodermata. Filum Echinodermata terdiri atas lebih
kurang 6.000 spesies, dan semuanya hidup di air laut. Ciri-ciri yang menonjol
adalah kulit yang berduri dan simetris radial (Lariman 2011). Klasifikasi bintang
laut menurut James (1989) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Kelas : Asteroidea
Ordo : Forcipulata
Famili : Oreasteridae
Genus : Culcita
Spesies : Culcita sp.
Culcita sp. merupakan jenis bintang laut yang memiliki lengan, berbentuk
segi lima, tubuhnya tebal seperti roti. Warna tubuh dari bintang laut ini adalah
kuning kecoklatan. Hidupnya di daerah terumbu karang, dasar berpasir, dan
padang lamun. Bintang laut bentuknya mengikuti kontur permukaan bebatuan.
Hewan ini pada umumnya menempati daerah yang digenangi air. Bentuk
morfologi bintang laut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Bintang laut Culcita sp. dari Perairan Lampung Selatan
Bintang laut berbentuk simetris radial, permukaan bagian bawahnya
memiliki kaki tabung, yang masing-masing dapat bertindak sebagai cakram
penyedot. Bintang laut mengkoordinasikan kaki tabungnya untuk menempel pada
bebatuan dan atau untuk merangkak secara perlahan-lahan, sementara kaki tabung
4
tersebut memanjang, mencengkeram sekali lagi. Bintang laut juga menggunakan
kaki tabungnya untuk menjerat mangsa, antara lain remis dan tiram (Lariman
2011).
Bintang laut sebagaimana anggota filum echinodermata lainnya
mempunyai susunan tubuh bersimetri lima (pentraradial simetri), tubuh berbentuk
cakram yang di dalamnya terdapat sistem pencernaan, sistem respirasi, dan sistem
saraf. Tubuh dilindungi oleh lempeng kapur berbentuk perisai (ossicles). Mulut
dan anus terletak di sisi yang sama yaitu di sisi oral (Safitri 2010). Kehadiran
bintang laut biru Linckia laevigata dan bintang bantal Culcita novaeguinenae
merupakan pemandangan umum pada ekosistem terumbu karang. Bintang laut
pemakan poli karang (Acanthaster planci) relatif jarang dijumpai di perairan ini.
Penelitian bintang laut di Indonesia masih jarang dilakukan. Informasi kelompok
hewan ini biasanya merupakan hasil studi ekologi dan dipublikasikan sebagai
bagian dari filum Echinodermata (Aziz dan Al-Hakim 2007).
2.2 Senyawa Aktif Bintang Laut
Senyawa aktif dari bintang laut masih terbatas pada penemuan senyawa
yang belum diketahui aktivitasnya. Chludil et al. (2000) menyatakan bahwa
bintang laut memiliki komponen bioaktif berupa saponin. Saponin diperoleh dari
isolasi bintang laut Anasterias minuta yang memiliki kemampuan sebagai
sitotoksik, hemolisis, antifungi, dan antiviral. Isolasi dan purifikasi dari ekstrak
bintang laut ini menghasilkan senyawa steroidal glikosid yang memiliki
kemampuan sebagai antifungi. Struktur kimia dari steroidal glikosid dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur kimia dari steroidal glikosidSumber: Maier et al. (2007)
5
Senyawa aktif saponin secara fisiologi telah dipelajari dari bintang laut
dan timun laut. Senyawa aktif dari bintang laut dan timun laut tidak dapat
digunakan sebagai obat karena dapat membuat sel menjadi lisis. Glycosylated
ceramides dan saponin merupakan metabolit utama dari echinodermata. Senyawa
imbricatine dari bintang laut Dermasterias imbricata merupakan alkaloid
benzyltetrahydroisoquinolone pertama yang dihasilkan pada sel manusia (Samuel
et al. 2011). Wang et al. (2003) menemukan komponen aktif saponin yang
diisolasi dari bintang laut Certonardoa semiregularis yaitu senyawa
certonardosides. Bintang laut ini diambil dari pantai di Pulau Komun Korea.
Senyawa aktif dari bintang laut Certonardoa semiregularis memiliki aktivitas
sebagai sitotoksik dan antimikroba. Samuel et al. (2011) menyatakan, senyawa
imbricatine, benzyltetrahydroisoquinolone, lysastroside, dan certonardosides
memiliki fungsi sebagai antiviral dan anti-HIV.
Hasil penelitian Maier et al. (2007) menyatakan bahwa asterosaponin
memiliki potensi aktivitas biologis yang berguna sebagai sitotoksik, hemolisis,
dan sitostatis. Aktivitas antifungi diperoleh dari komponen dua sulfated
hexaglycosides dan dua sulfated polyhydroxylated steroidal xylosides yang
diisolasi dari bintang laut Patagonia Anasterias minuta.
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak
digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan
baku. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang
diinginkan dari suatu bahan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga
komponen yang diinginkan dapat larut. Metode dasar penyaringan adalah
maserasi, perkolasi, dan sokhletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut
diatas disesuaikan dengan kepentingan dalam kandungan senyawa yang
diinginkan (Harborne 1987).
Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat
kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstrak dengan senyawa
pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang
berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut.
Senyawa polar akan larut pada pelarut polar juga, begitu juga sebaliknya. Pelarut
6
yang digunakan harus memenuhi kriteria murah, mudah didapat, stabil secara
fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap, tidak terbakar, dan
selektif artinya menarik zat yang berkhasiat yang dikehendaki. Pelarut yang
digunakan dapat berupa kloroform, heksana (non polar), etil asetat (semi polar),
dan metanol (polar) (Sirait 2007).
2.4 Komponen Bioaktif dari Biota Laut
Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang
terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis.
Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik misalnya
polifenol dan komponen asam (phenolic acid). Komponen bioaktif tidak terbatas
pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang
memberikan aktivitas biologis fungsional, misalnya protein dan peptida
Senyawa fitokimia bukanlah zat gizi, namun kehadirannya dalam tubuh dapat
membuat tubuh lebih sehat, lebih kuat, dan lebih bugar (Robinson 1995).
Fitokimia atau kimia tumbuhan berada diantara kimia organik bahan alam
dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan erat dengan keduanya. Fitokimia ini
mencakup struktur kimianya, biosintesis, perubahan serta metabolismenya,
penyebaran secara alamiah, dan fungsi biologisnya. Senyawa fitokimia berpotensi
mencegah berbagai penyakit degeneratif dan kardiovaskuler (Harborne 1987).
Beberapa senyawa metabolit sekunder khususnya struktur dan aktivitas
biologisnya telah berhasil diisolasi dari hewan-hewan laut. Senyawa metabolit
sekunder tersebut mempunyai potensi sebagai obat. Senyawa bioaktif yang
menarik diteliti umumnya diisolasi dari spons laut, ubur-ubur, bintang laut, timun
laut, terumbu karang, moluska, echinodermata, dan krustasea. Senyawa bioaktif
yang telah diisolasi dari hewan laut yaitu steroid, terpenoid, isoprenoid,
nonisoprenoid, quinon, dan nitrogen heterosiklik (Sirait 2007). Pengujian
kualitatif terhadap komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan metode uji
fitokimia.
2.4.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu
atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem
siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai
7
kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas di bidang
pengobatan. Alkaloid sering bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal
tetapi hanya sedikit yang berupa cairan. Fungsi alkaloid dalam tumbuhan tetap
belum begitu pasti walaupun beberapa senyawa dilaporkan berperan sebagai
pengatur tumbuhan atau penolak dan pemikat serangga (Harborne 1987).
Biota laut yang memiliki kandungan alkaloid yaitu spons, moluska, dan
coelenterata. Sebagian besar alkaloid yang diisolasi dari hewan laut dapat
berfungsi sebagai antiviral, antibakterial, anti-inflamatori, antimalaria,
antioksidan, dan antikanker. Alkaloid pada hewan laut dapat dikelompokkan
menjadi pyridoacridine, indole, pyrrole, pyridine, isoquinoline guanidine dan
streroidal alkaloids (Kumar dan Rawat 2011).
2.4.2 Steroid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk
kristal, seringkali bertitik leleh tinggi, dan aktif optik. Triterpenoid ini dapat
dibagi menjadi empat golongan senyawa yaitu triterpena sebenarnya, steroid,
saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya
triterpena atau steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida (Sirait 2007).
Diterpenoid merupakan turunan dari terpenoid. Berdasarkan struktur
kimianya, diterpenoid digolongkan menjadi labdane, pimarane, abietane,
kauranes, marine, dan lain-lain. Diterpenoid memiliki aktivitas sebagai
antibakteri, antifungi, anti-inflamasi, antileishmanial, sitotoksik, dan antitumor.
Diterpenoid yang terdapat pada biota laut yaitu tipe labdane dan tipe marine. Tipe
labdane merupakan metabolit sekunder dari fungi, biota laut, insekta, dan
tumbuhan tinggi yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, sitotoksik, antiviral,
anti-inflamasi, dan antiprotozoa. Selain tipe labdane, tipe marine diterpenoid
merupakan salah satu diterpenoid alami dari biota laut yang memiliki potensial
untuk obat anti-inflamasi. Biota laut yang menghasilkan marine diterpenoid
adalah spons Axinella sp. (Heras dan Hortelano 2009).
8
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana
perhidrofenantrena. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat
pada setiap tumbuhan tingkat tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan
kampesterol. Sterol tertentu hanya terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah,
contohnya ergosterol yang terdapat dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain
terutama terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah tetapi kadang-kadang terdapat
pada tumbuhan tingkat tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga
coklat dan juga terdeteksi pada kelapa (Robinson 1995). Santalova et al. (2004)
menyatakan bahwa sterol yang diisolasi dari spons Rhizochalina incrustata
memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan hemolisis.
2.4.3 Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali
dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Flavonoid umumnya
terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid diklasifikasikan menjadi
flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron,
antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Harborne 1987).
Flavonoid dapat berguna bagi kehidupan manusia. Flavon dalam dosis
kecil bekerja sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh
darah kapiler. Flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diurematik dan sebagai
antioksidan pada lemak (Sirait 2007). Gavin dan Durako (2012) menyatakan,
senyawa aktif sitosolik flavonoid yang diisolasi dari lamun Halophila johnsonii
berfungsi sebagai antioksidan.
2.4.4 Saponin
Saponin adalah glikosida dan sterol yang telah terdeteksi pada lebih dari 90
suku tumbuhan. Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering
menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson 1995). Saponin sebagian
besar bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi dengan asam
(sukar larut dalam air), sebagian besar ada yang bereaksi dengan basa. Saponin
dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin dapat bersifat
toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Saponin yang beracun
disebut sapotoksin. Saponin dapat menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu
9
misalnya pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada
ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika (Sirait 2007). Chludil et al.
(2000) menyatakan bahwa struktur steroidal glikosid yang diisolasi dari bintang
laut Anasterias minuta memiliki kemampuan sebagai sitotoksik, hemolisis,
antifungi, dan antiviral.
2.4.5 Fenol hidrokarbon
Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berkaitan dengan
satu gugus atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan oleh gugus
metil atau glikosil. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor
dasar seperti kromofor pada benzokuinon. Kuinon terdiri atas dua gugus karbonil
yang berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat
dibagi menjadi empat kelompok untuk tujuan identifikasi yaitu, benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Sirait 2007). Hasil penelitian
Prajitno (2006) dalam Wiyanto (2010), hasil isolasi dari rumput laut Halimeda
opuntia mempunyai kandungan fenol yang memiliki aktivitas antibakteri.
2.5 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat
reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
terluarnya. Kestabilan atom atau molekul terjadi apabila radikal bebas bereaksi
dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini
akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan
menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini,
serta penyakit degeneratif lainnya (Winarsi 2007).
Sumber radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh (endogenous) yang
terbentuk sebagai sisa proses metabolisme (proses pembakaran) protein atau
karbohidrat dan lemak yang kita konsumsi. Radikal bebas dapat pula diperoleh
dari luar tubuh (exogenous) yang berasal dari polusi udara, asap kendaraan
bermotor, asap rokok, berbagai bahan kimia, makanan yang terlalu hangus
(carbonated), dan lain sebagainya. Beberapa contoh radikal bebas antara lain:
anion superoksida (2O2•), radikal hidroksil (OH•), nitrit oksida (NO•), hidrogen
peroksida (H2O2), dan sebagainya. Radikal bebas yang terbentuk di dalam tubuh
10
akan merusak beberapa target seperti lemak, protein, karbohidrat, dan DNA
(Molyneux 2004).
Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan
oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya.
Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron.
Sebagai dampak dari kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk radikal bebas
baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk
berpasangan dengan radikal sebelumnya. Bila dua senyawa radikal bertemu,
elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan
bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa
radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan terjadi tiga
kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak
berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2) radikal bebas
menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, (3) radikal
bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007).
2.6 Antioksidan
Secara umum antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Antioksidan sangat
bermanfaat bagi kesehatan. Antioksidan merupakan zat yang dapat menetralkan
radikal bebas, atau suatu bahan yang berfungsi mencegah sistem biologi tubuh
dari efek yang merugikan yang timbul dari proses ataupun reaksi yang
menyebabkan oksidasi yang berlebihan (Kumalaningsih 2006).
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan
dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang
diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil
ekstraksi bahan alami).
2.6.1 Antioksidan sintetik
Berdasarkan jenisnya antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan,
ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia,
yaitu Butyl Hydroxyanisole (BHA), Butyl Hydroxytoluene (BHT), propil galat,
dan Tertiary Butyl Hydroquinone (TBHQ). Antioksidan tersebut merupakan
11
antioksidan sintetik yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial
(Buck 1991).
BHA memiliki kemampuan antioksidan (carry through, kemampuan
antioksidan baik dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-tahap pengolahan
maupun stabilitasnya pada produk akhir) yang baik pada lemak hewan dalam
sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada minyak tanaman.
BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual
dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk
penambahan ke materi pengemas (Coppen 1983 dalam Trilaksani 2008).
Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan
memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA.
Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena
relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat
mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik
cairnya 148oC, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga
kemampuan antioksidannya rendah. Propil galat memiliki sifat berbentuk kristal
padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis
dengan BHA dan BHT (Kumalaningsih 2006).
2.6.2 Antioksidan alami
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa
antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan
sebagai bahan tambahan pangan. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini
adalah multifungsional dan dapat bereaksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap
radikal bebas, (c) pengkelat logam, dan (d) peredam terbentuknya singlet oksigen
(Pratt 1992).
Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu,
kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari. Senyawa antioksidan
alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat
berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-
asam organik polifungsional. Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol
12
alam terbesar dan terdapat dalam semua tumbuhan hijau. Kebanyakan dari
golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-
sifat antioksidan baik didalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida
(Hernani dan Rahardjo 2006).
Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami,
seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-buahan,
sayur-sayuran, dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini mengandung jenis
senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam
askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin,
produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain (Winarsi 2007).
Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir
disetiap minyak tanaman, tetapi saat ini telah dapat diproduksi secara kimia.
Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipid
karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari tokoferol belum
diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Aktivitas
antioksidan tokoferol didalam jaringan hidup cenderung α->β->γ->δ-tokoferol,
tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik δ->γ->β->α-tokoferol
(Kumalaningsih 2006).
β-karoten merupakan scavengers (pemulung) oksigen tunggal. Vitamin C
pemulung superoksida dan radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E
merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density
Lipoprotein (LDL) (Hariyatmi 2003).
Vitamin C mempunyai efek multifungsi, tergantung pada kondisinya.
Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat logam,
pereduksi, dan penangkap oksigen. Tubuh sangat memerlukan vitamin C,
kekurangan vitamin C dalam darah menyebabkan beberapa penyakit antara lain
asma, kanker, diabetes, dan penyakit hati. Vitamin ini dapat dikonsumsi dalam
bentuk sintetik atau makanan-makanan yang kaya vitamin C seperti jeruk,
strawbery, brokoli, tomat, kiwi, anggur, dan ubi jalar (Hernani dan Raharjo 2006).
2.7 Mekanisme Antioksidan
Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe
pertama yaitu pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan
13
menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E. Tipe kedua yaitu pereduksi,
dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat pemulung, misalnya
vitamin C. Tipe ketiga yaitu pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan,
seperti Fe2+ dan Cu2+, misalnya flavonoid. Keempat adalah antioksidan sekunder,
mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil, pada manusia
dikenal SOD, katalase, dan peroksida (Hariyatmi 2004).
Antioksidan sekunder seperti asam sitrat, asam askorbat, dan esternya,
sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan
antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat member efek sinergis sehingga
menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekerja
dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada
medium (sistem makanan), (b) meregenerasi antioksidan utama, (c) mengkelat
atau mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan, (d) menangkap oksigen, (e)
mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Pratt 1992).
Enzim antioksidan dibentuk dalam tubuh, yaitu superoksida dismutase
(SOD), glutation peroksida, katalase, dan glutation reduktase. Sedangkan
antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga yang utama, yaitu β-karoten,
vitamin C, dan vitamin E (Shahidi 1997 dalam Hariyatmi 2004).
Vitamin E yang larut dalam lemak ini merupakan antioksidan yang
melindungi PUFAs dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh
radikal bebas. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan
yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit
degeneratif, serta mampu menghambat peroksida lipid pada makanan (Hariyatmi
2003).
2.8 Uji Aktivitas Antioksidan
Kandungan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui
melalui uji aktivitas antioksidan. Pengukuran aktivitas antioksidan dapat
menggunakan beberapa metode. Salah satu metode yang umum digunakan yaitu
dengan menggunakan radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil (DPPH). Prinsip
metode-metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antioksidan adalah
mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa
14
antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam
(Nurjanah 2009).
Metode radikal bebas stabil DPPH merupakan radikal sintetik yang larut
dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol. Pengukuran aktivitas antioksidan
dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH
(dalam metanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar
tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas
antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya
untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan
semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux 2004). Prinsip
penurunan nilai absorbansi digunakan untuk mengetahui kapasitas antioksidan
suatu senyawa. Berikut merupakan struktur diphenylpycrilhydrazil dan
diphenylpycrilhydrazine pada Gambar 3.
Gamar 3 Struktur diphenylpycrilhydrazil dan diphenylpycrilhydrazine
Molyneux (2004) menyatakan, hasil dari metode DPPH umumnya dibuat
dalam bentuk IC50 (inhibitory concentration 50), yang didefinisikan sebagai
konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan tereduksi
aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50
akan semakin kecil. Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik jika nilai
IC50-nya semakin kecil. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas
antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat
kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 μg/mL, kuat untuk IC50 antara 50-100 μg/mL,
sedang jika IC50 bernilai 100-150 μg/mL, dan lemah jika IC50 bernilai
150-200 μg/mL.
15
2.9 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi serapan dimana fase
diam berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak berupa zat
cair yang disebut larutan pengembang. Campuran yang akan dipisah, berupa
larutan, ditotolkan berupa bercak. Setelah plat atau lapisan diletakkan dalam
bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Senyawa yang
tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi). Pemisahan senyawa aktif ekstrak
bintang laut dapat menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (KLT). Teknik ini
merupakan suatu cara pemisahan komponen senyawa kimia di antara dua fase,
yaitu fase gerak dan fase diam (Kartasubrata 1987 dalam Hanani et al. 2005).
Teknik tersebut hingga saat ini masih digunakan untuk mengidentifikasi
senyawa-senyawa kimia, karena murah, sederhana, serta dapat menganalisis
beberapa komponen secara serempak. Teknik standar dalam melaksanakan
pemisahan dengan KLT diawali dengan pembuatan lapisan tipis adsorben pada
permukaan plat kaca. Tebal lapisan bervariasi, bergantung pada analisis yang akan
dilakukan (kualitatif atau kuantitatif). Pemisahan komponen kimia dari ekstrak
kasar secara KLT bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen yang
terdapat dalam ekstrak tersebut (Marliana et al. 2005). Percobaan dibuat dengan
berbagai eluen untuk menghasilkan pemisahan senyawa (fraksi) yang terbaik.