2 Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura Dalam Mendukung Gap

download 2 Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura Dalam Mendukung Gap

of 13

Transcript of 2 Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura Dalam Mendukung Gap

  • 1

    Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura dalam Mendukung GAP

    Ir. I Made Supartha Utama, MS., Ph.D. Pusat Pengkajian Buah-Buahan Tropika (PPBT)

    Universitas Udayana PENDAHULUAN Produk pascapanen hortikultura segar buah-buahan dan sayur-sayuran adalah produk

    yang masih hidup dicirikan dengan adanya aktivitas metabolisme yaitu respirasi.

    Respirasi adalah proses oksidasi dengan memanfaatkan gula sederhana dimana

    dengan keterlibatan enzim dirubah menjadi CO2, H2O dan energi kimia berupa

    adenosin triphosphate (ATP) disamping energi dalam bentuk panas. Karena suplai

    karbohidrat terputus karena aktivitas fotosintesis terhambat setelah panen untuk produk

    sayuran dan suplai terputus dari tanaman induknya untuk buah-buahan, maka semua

    suplai untuk aktivitas respirasi hanya berasal dari tubuh bagian tanaman yang dipanen

    itu sendiri. Akibatnya, selama periode pascapanennya terjadi kemunduran-kemunduran

    mutu kesegarannya. Kemunduran ini akan dibarengi dengan tumbuh dan

    perkembangan agen-agen perusak lainnya seperti mikroorganisme pembusuk dan

    serangga perusak.

    Produk pascapanen hortikultura segar juga sangat mudah mengalami kerusakan-

    kerusakan fisik akibat berbagai penanganan yang dilakukan. Kerusakan fisik ini terjadi

    karena secara fisik-morfologis, produk hortikultura segar mengandung air tinggi (85-

    98%) sehingga benturan, gesekan dan tekanan sekecil apapun dapat menyebabkan

    kerusakan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata dan dapat tidak terlihat pada

    saat aktifitas fisik tersebut terjadi. Biasanya, untuk kerusakan kedua tersebut baru

    terlihat setelah beberapa hari. Kerusakan fisik ini menjadi entry point yang baik sekali

    bagi khususnya mikroorganisme pembusuk dan sering menyebabkan nilai susut yang

    tinggi bila cara pencegahan dan penanggulangannya tidak direncanakan dan dilakukan

    dengan baik.

    Makalah disajikan pada Pemberdayaan Petugas Dalam Pengelolaan OPT Hortikultura Dalam Rangka Mendukung Good Agriculture Practices (GAP). Dilaksanakan oleh Dept. Pertanian, Dirjen Hortikultura, Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura di Bali Tanggal 3 8 Juli 2006.

  • 2

    Saat panen, produk segar telah dilabui oleh beragam macam mikroorganisme di bagian

    permukaan produk dan dapat pula berada di dalamnya. Mikroorganisme patogenik

    yang berada di dalam produk dapat belum berkembang selama pertumbuhan bagian

    yang dipanen masih berada pada tanaman induknya dan melakukan pertumbuhan dan

    perkembangan setelah panen (infeksi laten). Mikroorganisme yang melabuhi

    permukaan produk beragam mulai dari yang saprofit dan patogenik. Bila terjadi

    kerusakan mekanis ataupun kemunduran fisiologis pada produk, maka mikroorganisme

    patogenik akan tumbuh dan berkembang menyebabkan pembusukan.

    Demikian pula dengan serangga pengganggu seperti lalat buah, peletakan telur lalat

    biasanya terjadi saat buah masih berkembang di lapangan. Telur ini baru tumbuh dan

    berkembang menjadi larva atau ulat setelah buah mengalami pemasakan selama

    periode pascapanennya.

    Beragam cara pengendalian telah dikembangkan dan digunakan untuk tujuan komersial

    baik dengan menggunakan bahan kimia, perlakuan fisik, musuh alami dan induce

    resistance. Keragaman ini juga dibarengi dengan adanya regulasi-regulasi

    penggunaannya terkait dengan aspek kesehatan masyarakat dan lingkungan.

    PEMAHAMAN SISTEM PASCAPANEN Produk hortikultusa yang telah dipanen dari induk tanamannya masih melakukan

    aktivitas metabolisme namun aktivitas metabolismenya tidaklah sama dengan pada

    waktu produk tersebut masih melekat pada induknya. Berbagai macam stress atau

    gangguan dialaminya mulai dari saat panen, penanganan pascapanen, distribusi dan

    pemasaran, ritel dan saat ditangan konsumen seblum siap dikonsumsi atau diolah.

    Stress terjadi karena kondisi hidupnya tidak pada kondisi normal saat di lapangan.

    Kondisi stress diakibatkan oleh perlakuan-perlakuan pascapanennya seperti kondisi

    suhu, atmosfer, sinar serta perlakuan-perlakuan fisik diluar batas kehidupan normalnya. Stress adalah gangguan, hambatan atau percepatan proses metabolisme normal

    sehingga dipandang tidak menyenangkan atau suatu keadaan negatif.

    Produk tanaman yang telah dipanen, tidak hanya menjadi subjek stress mekanis saat

    dilepaskan dari tanaman induknya tetapi juga subjek dari satu seri stress selama

    periode pascapanennya. Sebagai konsekwensinya, periode pascapanen dapat

    dipandang sebagai peiode manajemen stress. Pada konteks ini, stress di definisikan

  • 3

    relatif terhadap penggunaan akhir produk. Beragam teknologi pascapanen yang telah

    dikembangkan pada intinya ditujukan untuk mengelola stress yang terjadi sehingga

    dapat bermanfaat bagi manusia. Pengelolaan stress ditujukan untuk memperpanjang

    masa kesegaran atau masa simpan produk. Untuk dapat melakukan pengelolaan yang

    baik maka penting pemahaman yang baik tentang karakteristik fisiologis, morfologis dan

    patologis produk serta adanya pertimbangan ekonomis-komersial yang menguntungkan

    terhadap cara pengelolaan yang akan dilibatkan.

    Stress primer dapat diakibatkan oleh kondisi fisiologis diluar dari keadaan normalnya

    serta adanya kerusakan mekanis yang biasanya diikuti oleh stress sekunder berupa

    tumbuh dan berkembangnya agen-agen perusak seperti mikroorganisme pembusuk dan

    larva dari serangga perusak.

    Salah satu pengelolaan stress pascapanen adalah untuk menghindari dan/atau

    menanggulangi terjadinya pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme dan

    serangga perusak produk segar tersebut. Berbagai cara telah dikembangkan untuk

    membunuh agen perusak tersebut terlebih lagi untuk keperluan ekspor, beberapa

    negara telah mensyaratkan untuk mememberikan perlakuan sebelum produk tersebut

    dikapalkan ke negara tujuan ekspor.

    MIKROORGANISME PENGGANGGU PASCAPANEN Kealamiahan Mikroorganisme Pengganggu

    Produk segar pascapanen dilabuhi oleh berbagai jenis mikroorganisme yang dapat

    digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) mikroorganisme penyebab penyakit pada jaringan

    produk tanaman (plant pathogenic microorganisms), 2) mikroorganisme penyebab

    penyakit pada manusia atau binatang (human or animal-pathogenic microorganisms),

    dan 3) mikroorganisme non-patogenik. Tabel 1 menunjukkan populasi mikroorganisme

    pada beberapa produk pascapanen sayuran.

    Secara umum mikroorganisme patogenik pada sayuran dan buah-buahan pada awal

    infeksinya berbeda jenisnya. Perbedaan jenis mikroorganisme yang tumbuh ini

    disebabkan oleh kondisi keasaman produk berbeda. Pada produk sayur-sayuran

    dimana keasaman umumnya rendah (pH>4.5) maka mikroorganisme yang tumbuh

    umumnya bakteri. Sedangkan pada produk buah-buahan dengan keasaman tinggi

  • 4

    (pH

  • 5

    buahan seperti anggur, apel dan sebagainya dapat memulai infeksinya saat produk

    masih di kebun. Contoh pathogen yang melakukan infeksi laten dapat dilihat pada

    Tabel 2.

    Mikroorganisme pembusuk dengan mudah menguinfeksi produk melalui luka yang

    diakibatkan penanganan selama periode pascapanennya. Contoh dari mikroorganisme

    yang menginfeksi produk lewat luka adalah Rhizopus sp. yang dikenal dengan nama

    penyakitnya busuk rhizopus, Panicillium digitatum dan Penicillium italicum yang dikenal

    sebagai grey dan blue molds pada buah jeruk.

    Infeksi langsung pada produk pascapanen utuh dapat dilakukan dengan adanya enzim

    pektolitik yang dihasilkan oleh mikroorganisme itu sendiri yang dapat melunakkan

    jaringan produk terutama dinding sel yang tersusun oleh polisakarida pektat. Enzim

    pektinase yang berperan untuk melunakkan jaringan tersebut meliputi pectin metal

    esterase (PME), pectin lyase (PE) endopolygakturonase (Endo-PG) dan

    exopoligalakturonase (Exo-PG).

    Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penyebaran Mikroorganisme Patogen

    Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran mikroorganisme pathogen penyebab pembusukan serta besarnya susut yang terjadi selama periode pascapanennya adalah

    factor pra-panen dan pasca-panen. Faktor pra-panen ditentukan oleh cuaca, kondisi

    fisiologis tanaman, sanitasi kebun dan adanya penyemprotan pestisida. Sedangkan

    factor pasca-panen ditentukan oleh cara penanganan, sanitasi dan pengemasan.

    Seperti disebutkan sebelumnya bahwa produk pascapanen dilabuhi oleh berbagai

    macam mikroorganisme dan tingkat populasinya sangat tergantung pada kondisi pra

    panennya. Kondisi hujan dan kelembaban tinggi sangat menguntungkan untuk

    pertumbuhan mikroorganisme penyebab pembusukan. Tanpa dilakukan penyemprotan

    pestisida yang memadai maka sumber inokulum penyakit akan tinggi populasinya.

    Demikian pula dengan sanitasi kebun yang jelek tanpa adanya sirkulasi udara memadai

    dengan kerapatan gulma tinggi akan menyengkan sekali sebagai lingkungan tempat

    tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme pembusuk.

    Fisiologis tanaman saat tumbuh kurang baik terutama dukungan pertumbuhannya

    seperti nutrisi dalam tanah dan kondisi lingkungan atmosfernya maka dapat

    berpengaruh terhadap rentannya produk yang dipanen terhadap serangan

    mikroorganisme pathogen. Disamping itu kematangan produk saat panen juga

  • 6

    berpengaruh terhadap masa simpan pascapanennya. Bila dipanen dalam keadaan

    masak maka kepekaan terhadap serangan mikroorganisme tinggi shingga hanya dapat

    disimpan dalam waktu singkat. Bila produk dipanen dalam keadaan matang tetapi

    belum masak maka daya simpannya akan semakin lebih panjang jika pengendalian

    lingkungan penundaan pemasakan dikendalikan dengan baik.

    Cara penanganan pascapanen menentukan masa simpan. Cara penanganan yang

    kurang baik seperti penanganan yang cenderung menimbulkan pelukaan dan

    kemunduran fisiologis yang cepat akan berakibat pada pertumbuhan mikroorganisme

    pembusuk dengan cepat pula. Perlakuan-perlakuan pascapanen sering diberikan untuk

    menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme pembusuk. Namun

    demikian, adanya pembusukan oleh mikroorganisme adalah akibat sekunder dari

    penanganan yang salah selama periode pascapanennya. Seperti pada produk yang

    mengalami luka maka akan sangat memudahkan mikroorganisme tumbuh pada bagian

    luka tersebut. Kemunduran mutu fisiologis biasanya diikuti oleh serangan

    mikroorganisme pembusuk sibagai akibat sekunder karena degradasi jaringan yang

    mempermudah infeksi dan enzim pektolitik untuk melunakan jaringan. Pada Tabel 3

    memperlihatkan beberapa factor pra-panen, panen dan pasca-panen yang

    menyebabkan tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogenik.

    Tabel 3. Faktor pra-panen, panen dan pasca-panen yang berinteraksi dengan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme pambusuk.

  • 7

    Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pascapanen Produk yang digunakan untuk pengendalian mikroorganisme pembusuk pascapanen

    harus digunakan setelah mempertimbangkan beberapa factor kritis sebagai berikut:

    o Jenis pathogen yang terlibat dalam pembusukan o Lokasi pathogen di dalam produk o Waktu terbaik untuk pengendalian pembusukan tersebut. o Kematangan dari produk o Lingkungan selama penyimpanan, transportasi dan pemasarannya.

    Produk yang dipilih untuk pengendalian pembusukan akibat mikroorganisme harus

    mempertimbangkan factor di atas apakah dengan bahan kimia atau pengendalian

    secara biologis.

    Beberapa fungisida terdapat digunakan untuk pengendalian pembusukan oleh

    mikroorganisme, dibandingkan dengan fungisida pra-panen yang jenisnya banyak, jenis

    fungisidia pascapanen lebih sedikit. Beberapa jenis fungisida yang digunakan

    pascapanen, sekarang ini tidak lagi diijinkan karena kaitannya residu yang diidentifikasi

    berpengaruh toksik kaitannya dengan kesehatan manusia dan factor lingkungan.

    Beberapa produk sudah kehilangan daya racunnya karena tumbuhnya resistansi pada

    mikroorganisme pembusuk. Contoh bahan fungisida pascapanen yang sedang

    digunakan adalah thiabendazole, dichloran, dan imazalil. Akan tetapi, resistansi

    terhadap thiabendazole dan imazalil meningkat maka penggunaan sebagai bahan kimia

    efektif berkurang.

    Beberapa bahan pengawet antimicrobial sebagai bahan tambahan pada makanan

    secara umum tidak dipang sebagai perlakuan pascapanen namun dapat mengendalikan

    pembusukan, dan dalam beberapa kasus hanya cara inilah pengendaliannya. Produk

    ini meliputi sodium benzoate, parabens, sorbic acid, propionic acid, SO2, acetic acid,

    nitrites and nitrates, dan antibiotics such as nisin (Chichester and Tanner, 1972).

    Contohnya di California, gray mold yang menyerang anggur dikendalikan dengan

    fumigasi menggunakan SO2 (Luvisi et al., 1992). Permintaan akan perlakuan fungisida

    pascapanen sangat menguat khususnya dengan hilangnya iprodione di tahun 1996.

    Pengendalian biologis penyakit pascapanen merupakan pendekatan baru dan

    memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengendalian biologis

    konvensional:

    o Kondisi lingkungan dapat dipelihara dan ditetapkan

  • 8

    o Agen pengendalian biologis dapat lebih efisien o Efektif biaya untuk produk pascapanen

    Agen pengendali biologis yang pertama dikembangkan untuk digunakan pascapanen

    adalah strain Bacillus subtilis (Pusey and Wilson, 1984). Strain bakteri ini

    mengendalikan busuk coklat pada peach, tetapi saat formulasi komersial dibuat,

    pengendalian memadai tidak dapat dicapai (Pusey, 1989). Belakangan ini strain

    Pseudomonas syringae van Hall didapatkan mengendalikan Blue dan Gray Mold

    terhadap pome fruit (Janisiewicz and Marchi, 1992). Sekarang ini dijual secara komersial

    untuk pengendalian penyakit pascapanen (Janisiewicz and Jeffers, 1997). Walau

    biocontrol tidak diragukan lagi keefektivannya, namun sering tidak memberikan hasil

    yang konsisten. Hal ini mungkin disebabkan efikasinya juga dipengaruhi langsung oleh

    jumlah inokulum pathogen yang ada (Roberts, 1994).

    Iradiasi untuk pengendalian mikroorganisme pathogen dapat dilakukan. Namun, walau

    sinar ultraviolet mempunyai pengaruh letal terhadap bakteri dan jamur yang ditempatkan

    pada sinar langsung, tidak ada bukti mengurangi pembusukan pada buah dan sayuran

    dalam kemasan (Hardenburg et al., 1986). Belakangan ini dosis rendah sinar UV (254

    nm UV-C) mengurangi busuk coklat pascapanen pada peach (Stevens et al., 1998).

    Pada kasus iniperlakuan sinar mempunyai dua pengaruh yaitu mengurangi inokulum

    pathogen dan menginduksi resistansi dari produk yang diperlakukan. Namun demikian,

    hal ini belum praktis sebagai perlakuan pascapanen dan masih memerlukan penelitian

    lebih lanjut.

    Pengelolaan suhu yang baik sangat kritis untuk pengendalian penyakit pascapanen dan

    perlakuan lainnya dipandang sebagai suplemen terhadap pendinginan (Sommer, 1989).

    Jamur pembusuk buah umumnya tumbuh optimal pada suhu 20 sampai 25 C dan

    dapat dibagi menjadi suhu pertumbuhan minimum 5 sampai 10 C atau -6 sampai 0 C.

    jamur dengan pertumbuhan minimum di bawah -2 C tidak dapat dihentikan secara

    sempurna dengan pendinginan tanpa mengakibatkan pembekuan buah. Namun suhu

    serendah memungkinkan diinginkan karena memperlambat pertumbuhan secara berarti

    dan mengurangi pembusukan.

    Perubahan konsentrasi gas O2 dan CO2 sering terjadi disekitar buah dan sayuran

    (Spotts, 1984). Dengan mengendalikan gas tersebut yang sering disebut sebagai

    controlled atmosphere dapat berpengaruh terhadap perlambatan proses kemunduran

    fisiologis produk serta terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme

  • 9

    selama produk tersebut disimpan. Menurunkan konsentrasi O2 dan meningkatkan CO2

    di atas 5%; dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme perusak.

    SERANGGA PENGGANGGU PASCAPANEN Secara umum serangga pengganggu yang terjadi pada produk pascapanen adalah

    merup[akan investasi laten atau bagian stadia pertumbuhannya telah ada dalam buah

    sebelum dipanen. Seperti contohnya lalat buah meletakkan telurnya di dalam buah saat

    masih di kebun dan produk tersebut masih relative muda. Telur tidak dapat tumbuh dan

    berkembang karena kondisi lingkungan belum memungkinkan seperti keasaman yang

    tinggi. Namun setelah dipanen dimana produk masuk pada periode pemasakan maka

    telur akan menetas dan berkembang menjadi larva atau ulat yang sangat tidak dapat

    diterima oleh konsumen apabila dijual terlebih lagi di ekspor. Walau terjadi

    perkembangan pasar bebas secara global sekarang ini namun Phytosanitary Restriction

    (PR) berlanjut membatasi perdagangan.

    Pengendalian serangga pascapanen adalah sangat kritis untuk perdagangan

    internasional. Tujuan pengendalian ini adalah untuk melindungi darah-daerah industri

    pertanian dari introduksi hama serangga perusak. Pengembangan p[erlakuan khusus

    untuk komoditi dan serangga tertentu memerlukan banyak data penelitian. Waktu yang

    dibuthkan untuk pengembangan perlakuan hama serangga sampai dapat diterima

    secara komersial membutuhkan waktu cukup panjang (5-10 tahun).

    Cara Pengendalian Serangga Hama

    Beberapa cara pengendalian serangga hama telah dikembangkan yaitu; 1) pendekatan

    system, 2) pest-free zone, 3) inspeksi dan sertifikasi, dan 4) perlakuan pascapanen.

    Dalam pendekatan system, tidak ada cara pengendalian tunggal yang sempurna.

    Sejumlah cara diintegrasikan untuk mengendalikan serangga hama yang dapat berada

    pada produk dalam kemasan. Sepertti halnya integrated Pest Management,

    pengendalian dapat mulai dari kebun dan lingkungan sekitarnya, pengendalian

    kematangan saat panen, inspeksi saat pengemasan, pengembangan prosedur

    pencucian khusus, dan sebagainya. Dalam pendekatan system ini, perlakuan khusus

    pascapanen tidak diperlukan, namun produk sering membutuhkan inspeksi dan

    sertifikasi sebelum dikapalkan.

  • 10

    Sedangkan Pest-Free Zone adalah daerah pertumbuhan yang telah disertifikasi bebas

    dari hama-hama tertentu. Dibutuhkan program pembatasan ketat terhadap perpindahan

    produk dari daerah terinfestasi ke daerah PFZ. Produk yang diekspor dari PFZ tidak

    perlu memenuhi perlakuan karantina khusus, tetapi inspeksi dan sertifikasi dibutuhkan.

    Contohnya daerah Florida ditetapkan atau disertifikasi sebagai daerah bebas Caribbean

    fruit fly.

    Perlakuan pascapanen ditujukan untuk membunuh atau mensterilkan hama serangga

    dengan kerusakan minimum pada produk. Perlakuan apapun yang akan diberikan

    harus mempertimbangkan respon dari komoditi tersebut terhadap perlakuan tersebut.

    Respon dari komoditi terhadap perlakuan karantina bervariasi tergantung pada kultivar

    dan kematangan. Dengan demikian, pada saat akan diberikan perlakuan, selalu

    diadakan inspeksi terhadap mutu produk terkait dengan kultivar dan kematangannya

    sehingga kemungkinan kerusakan-kerusakan sudah dapat diantisipasi sebelumnya.

    Perlakuan tertentu sering merupakan kebutuhan dan dipersyaratkan setiap saat produk

    dikapalkan/ekspor dengan tujuan tertentu. Kebanyakan perlakuan dilakukan sebelum

    dikapalkan, tapi beberapa produk diperlakukan selama transport atau saat tiba di daerah

    tujuan.

    Fumigasi

    Cara pengendalian hama pascapanen yang umum, mudah dan murah adalah dengan

    cara fumigasi. Namun di masa akan datang, penggunaan kebanyaan fumigant

    tampaknya akan menurun karena pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan

    manusia. Cara pengendalian kedepan akan lebih mengarah dengan perlakuan fisik dari

    pada kimia yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen terhadap bahaya

    residu kimia. Contoh fumigant yang sering digunakan untuk pengendalian hama

    pascapanen adalah methyl bromide, phosphine dan hydrogen cyanide.

    Methyl bromide (CH3Br) adalah biosida paling umum digunakan dan ditoleransi oleh

    berbagai komoditi, namun masa depan penggunaannya masih belum menentu. Bahan

    kimia ini berupa gas toksik dan penggunaannya membutuhkan prosedur keselamatan

    yang ketat. Fumigasi dengan gas ini dilakukan di karantina Jepang untuk beberapa

    produk hortikultura seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Phospine biasa digunakan untuk

    pengendalian serangga pada buah kering dan kacang-kacangan. Namun untuk

    kebanyakan komoditi segar dirusak oleh gas ini, bereaksi lambat dan tidak mempunyai

    kemampuan berpenetrasi seperti methyl bromide. Bahan kimia ini merupakan potensial

  • 11

    carinogenik dan penggunaan di masa depan masih dipertanyakan. Sedangkan

    hydrogen cyanide (HCN) dalam bentuk gas digunakan untuk pengendalian serangga

    California Red Scale pada jeruk yang dikapalkan dari California ke Arizona.

    Kebanyakan komoditi segar dirusak oleh gar ini dan sangat mematikan sehingga

    penggunaannya sangat terbatas.

    Tabel 4. Perlakuan Karantina Hasil Pertanian di Jepang

    Jenis Komoditas Dosis, lama dan suhu Fumigasi

    MB 48.5 g/m3, 2 jam, 5oC

    MB 40.5 g/m3, 2 jam, 10oC

    MB 32.5 g/m3, 2 jam 15oC

    MB 24.5 g/m3, 2 jam 20oC

    Buah/Sayuran segar (Jeruk, apel,

    pear)

    MB 16.0 g/m3, 2 jam 25oC

    Kol, bawang, labu, kiwi MB 48.5 g/m3, 3 jam

    MB 32.5 g/m3, 2 jam 20oC Bawang putih, jahe

    MB 48.5 g/m3, 2 jam 20oC

    Perlakuan Suhu Tinggi atau Rendah Perlakuan dengan suhu baik tinggi maupun rendah merupakan alternative yang banyak

    diteliti karena kelebihan-kelebihan seperti non-chemical, tidak meninggalkan residu dan

    aman bagi pekerja. Namun demikian, beberapa kekurangan dari cara ini adalah

    berpotensi merusak produk bila tidak dilakukan secara hati-hati, biaya energi tinggi,

    waktu perlakuan relative lama dibandingkan dengan fumigasi serta suhu dan waktu

    yang tepat harus dieksplorasi untuk mampu efektif dalam mengendalikan serangga

    dimana tidak menyebabkan kerusakan pada produk.

    PPQ treatment Manual (USDA APHIS website) mengijinkan perlakuan dingin untuk

    mengendalikan Mediteranean Fruit Fly (lihat Tabel 5), Oriental Citrus Mite, Mexican Fruit

    Fly, Queensland Fruit Fly, Natal Fruit Fly, Lychee Fruit Borer dan Peca Weevil.

    Perlakuan ini efektif untukserangga tropika, namun komoditi tropika umumnya tidak

    toleran dengan cara dingin ini karena menyebabkan chilling injury. Cara ini baik untuk

  • 12

    komoditi yang dapat disimpan pada suhu rendah seperti apel, pear, anggur, buah kiwi,

    persimmon dan delima.

    Tabel 5. Perlakuan suhu dingin untuk Mediteranian Fruit Flies

    Suhu Lama Pendinginan (hari) 0 C atau kurang 10

    0.6 C atau kurang 11 1.1 C atau kurang 12 1.7 C atau kurang 14 2.2 C atau kurang 16

    Sumber: USDA APHIS PPQ Treatment Manual (www..aphis.usda.gov/ppq/manuals/online-manual.htm)

    Beberapa perlakuan panas umum digunakan seperti perlakuan air panas untuk mangga

    dan lychee, perlakuan udara panas seperti high temperature force air (HTFA) untuk

    mangga, papaya dan berbagai buah jeruk. HTFA adalah modifikasi perlakuan dari

    udara panas dengan kecepatan aliran udara tinggi untuk mempercepat pemanasan

    dengan RH rendah untuk mengurangi kerusakan produk. HTFA untuk pengendalian

    lalat buah buah papaya adalah pertama dengan suhu 41C kemudian dengan suhu

    47.2C selama 6 jam.

    Perlakuan Kombinasi Perlakuan kombinasi paling umum dilakukan dengan methyl bromide dan perlakuan

    dingin. Perlakuan dingin dapat diberikan sebelum atau sesudan fumigasi. Dengan

    kombinasi ini memungkinkan penggunaan dosis methyl bromide yang rendah dan

    perlakuan lebih singkat bila dikombinasikan dengan pendinginan.

    Perlakuan pencucian dengan detergen dan aplikasi pelilinan dapat mengendalikan false

    red mite (Brevipalvus chilensis) dari anggur. Sedangkan penggunaan surfaktan dan

    klorin dapat mengendalikan semut hitam pada buah manggis dan rambutan (Utama dkk,

    2006).

    DAFTAR PUSTAKA

    Utama, I M. S., L. P. Nocianitri, and Ananggadipa. 2006. Effort in Controlling Black Ants on Mangosteen Fruits. Poster presented on the National Seminar on The Importance of Postharvest Technology in Escalating Competitiveness of Indonesias Horticultural Products. Denpasar 28 August 2006.

  • 13

    El-Ghaouth, A. And Wilson, C.L. 1995. Biologically-based technologies for the control of postharvest diseases. Posth. News Inform 6: 5-11N.

    Swinburne, T.R. 1983. Quiescence infections in postharvest diseases. In Postharvest Pahology of Fruit and Vegetables. Denis C. (ed). Academic Pres., London: 1-67.

    Hurst, W.C. 1998. Food Safety Hazards Associated with Fresh Produce. Training presentation produced by Food Science and Technology, University of Georgia, Athens, GA 30602.

    USDA APHIS PPQ, www..aphis.usda.gov/ppq/manuals/online-manual.htm

    (Hardenburg, R.E., A.E. Watada and C.Y. Wang. 1986. The commercial storage of fruits and vegetables, and florist and nursery stocks. USDA Agric. Handbook No. 66.

    (Chichester, D.F. and F.W. Tanner. 1972. Antimicrobial food additives. In: T.E. Furia (ed) CRC Handbook of Food Additives, Vol. 1, CRC Press, Boca Raton FL, pp. 115-184.

    Luvisi, D.A., H.H. Shorey, J.L. Smilanick, J.F. Thompson, B.H. Gump and J. Knutson. 1992. Sulfur dioxide fumigation of table grapes. Univ. Calif., Div. Agric. Nat. Res., Bull. No. 1932.

    Pusey, P.L. and C.L. Wilson. 1984. Postharvest biological control of stone fruit brown rot by Bacillus subtilis. Plant Dis. 68:753-756.

    Pusey, P.L. 1989. Use of Bacillus subtilis and related organisms as biofungicides. Pesticide Sci. 27:133-140.

    Janisiewicz, W.J. and Marchi, A. 1992. Control of storage rots on various pear cultivars with a saprophytic strain of Pseudomonas syringae. Plant Dis. 76:555-560.

    Janisiewicz, W.J. and S.N. Jeffers. 1997. Efficacy of commercial formulation of two biofungicides for control of blue mold and gray mold of apples in cold storage. Crop Prot. 16:629-633.

    Sommer, N.F. 1989. Suppressing postharvest disease with handling practices and controlled environments. In: J.H. LaRue and R.S. Johnson (ed) Peaches, Plums, and Nectarines Growing and Handling for Fresh Market. Univ. Calif., DANR Pub. No. 3331, pp. 179-

    Roberts, R. 1994. Integrating biological control into postharvest disease management strategies. HortScience 29:758-762.

    Stevens, C., V.A. Khan, J.Y. Lu, C.L. Wilson, P.L. Pusey, M.K. Kabwe, E.C.K. Igwegbe, E. Chalutz and S. Droby. 1998. The germicidal and hormetic effects of UV-C light on reducing brown rot disease and yeast microflora of peaches. Crop Protection 17:75-84.

    Spotts, R.A. 1984. Environmental modification for control of postharvest decay. In: H.E. Moline (ed) Postharvest Pathology of Fruits and Vegetables: Postharvest Losses in Perishable Crops, Univ. of Calif., Agric. Exp. Station, Bull. No. 1914 (Pub. NE-87), pp. 67-72.

    Beberapa fungisida terdapat digunakan untuk pengendalian pembusukan oleh mikroorganisme, dibandingkan dengan fungisida pra-panen yang jenisnya banyak, jenis fungisidia pascapanen lebih sedikit. Beberapa jenis fungisida yang digunakan pascapanen, sekarang ini tidak lagi diijinkan karena kaitannya residu yang diidentifikasi berpengaruh toksik kaitannya dengan kesehatan manusia dan factor lingkungan. Beberapa produk sudah kehilangan daya racunnya karena tumbuhnya resistansi pada mikroorganisme pembusuk. Contoh bahan fungisida pascapanen yang sedang digunakan adalah thiabendazole, dichloran, dan imazalil. Akan tetapi, resistansi terhadap thiabendazole dan imazalil meningkat maka penggunaan sebagai bahan kimia efektif berkurang.