2. LANDASAN TEORI 2.1. Teori Dasar 2.1.1. Gaya Kepemimpinan · 2. LANDASAN TEORI 2.1. Teori Dasar...
Transcript of 2. LANDASAN TEORI 2.1. Teori Dasar 2.1.1. Gaya Kepemimpinan · 2. LANDASAN TEORI 2.1. Teori Dasar...
7 Universitas Kristen Petra
2. LANDASAN TEORI
2.1. Teori Dasar
2.1.1. Gaya Kepemimpinan
Menurut Achmad Suyuti yang dimaksud dengan kepemimpinan adalah
proses mengarahkan, membimbing dan mempengaruhi pikiran, perasaan, tindakan
dan tingkah laku orang lain untuk digerakkan ke arah tujuan tertentu (dalam
Baihaqi, 2010, p.15). Pendapat lain menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah
kegiatan mempengaruhi dan mengarahkan tingkah laku bawahan atau orang lain
untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok (Kartono, 2005 p.39).
Sedangkan menurut Asmara, kepemimpinan adalah tingkah laku untuk
mempengaruhi orang lain agar mereka memberikan kerjasamanya dalam
mencapai tujuan yang menurut pertimbangan mereka adalah perlu dan bermanfaat
(dalam Asrofi, 2006, p.11).
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya sejarah
manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk
mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang
yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk
apa kelompok manusia itu dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena
manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu.
Menurut Yukl (2005), kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi
orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan
bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi
upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Robbins
(2006), kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Definisi kepemimpinan secara luas
meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi
perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki
kelompok dan budayanya.
Selain itu, kepemimpinan juga mempengaruhi interprestasi mengenai
peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas
8 Universitas Kristen Petra
untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok,
perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau
organisasi (Rivai, 2007). Demikian halnya Locander et al. menjelaskan bahwa
kepemimpinan mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi
hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling menguntungkan
kedua belah pihak (dalam Huang, et al 2010). Lok memandang kepemimpinan
sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu organisasi dalam upaya
menetapkan dan mencapai tujuan (dalam West dan Bocarnea 2008).
Menurut Rivai (2007), kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses
mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya
dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang
terkandung dalam hal ini yaitu:
1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun
pengikut.
2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara
pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota
kelompok bukanlah tanpa daya.
3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang
berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui
berbagai cara.
Siagian (2008) berpendapat bahwa peranan para pemimpin dalam organisasi
sangat sentral dalam pencapaian tujuan dari berbagai sasaran yang ditetapkan
sebelumnya. Menurut Siagian (2008) perilaku kepemimpinan memiliki
kecenderungan pada dua hal yaitu konsiderasi atau hubungan dengan bawahan
dan struktur inisiasi atau hasil yang dicapai. Kecenderungan kepemimpinan
menggambarkan hubungan yang akrab dengan bawahan misalnya bersikap ramah,
membantu dan membela kepentingan bawahan, bersedia menerima konsultasi
bawahan dan memberikan kesejahteraan. Kecenderungan seorang pemimpin
memberikan batasan antara peranan pemimpin dan bawahan dalam mencapai
tujuan, memberikan instruksi pelaksanaan tugas (kapan, bagaimana dan hasil apa
yang akan dicapai). Suatu gaya pemimpin atau manajer dalam organisasi
merupakan penggambaran langkah kerja bagi karyawan yang berada di bawahnya.
9 Universitas Kristen Petra
Mas’ud menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses yang digunakan
oleh pemimpin untuk mengarahkan organisasi dan pemberian contoh perilaku
terhadap para pengikut (anak buah) (dalam Nugraheny, 2009). Sedangkan gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang
pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin
tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang sama dalam memimpin
bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter tingkat
kemampuan dalam tugas setiap bawahannya.
Thoha menyatakan bahwa pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya
tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan
yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti
bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan
yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam
mempengaruhi para pengikutnya (dalam Mariam, 2009).
Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli tersebut menunjukkan bahwa
dalam suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga sebagian orang yang
mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti apa
yang menjadi kehendak dari pada atasan atau pimpinan mereka. Karena itu,
kepemimpinan dapat dipahami sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar
terbentuk kerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.
Apabila orang-orang yang menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh
kekuatan kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau
mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati.
Robbin (2006) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan
untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Kepemimpinan
menurut Siagian (2008) adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang
lain dalam hal ini para bawahannya sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau
melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak
disenangi. Sedangkan Yukl mengatakan kepemimpinan adalah proses untuk
mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu
dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk
10 Universitas Kristen Petra
memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama
(dalam Nurjanah 2008).
Dalam memelihara komitmen organisasi, peran seorang pemimpin sangat
dibutuhkan dan kepemimpinan yang efektif menjadi syarat utama. Katz dan Khan,
Koh et al, dan Mowday et al menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif dapat
membantu organisasi untuk bertahan dalam situasi ketidakpastian di masa datang
(dalam Desianty, 2005).
Selain itu Gibson et.al (2006) mengatakan bahwa kepemimpinan
(leadership) merupakan suatu usaha menggunakan pengaruh untuk memotivasi
individu dalam mencapai beberapa tujuan. Dalam menjalankan tugas pemimpin
memiliki tiga pola dasar gaya kepemimpinan yaitu yang mementingkan
pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerjasama, dan yang
mementingkan hasil yang dapat dicapai (Veithzal Rivai, 2007).
Menurut Heidjrachman dan Husnan gaya kepemimpinan adalah pola
tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan
tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu (dalam Dewi 2010, p.16).
Sedangkan menurut Tjiptono gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang
digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya (dalam Dewi 2010,
p.16). Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan
adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakan-tindakan) dari seorang pemimpin
yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, dalam Spencer, 2007).
Menurut Rivai (2007) gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari
tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh
bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten
dari falsafah, ketrampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang.
Gaya kepeimpinan menunjukkan secara langsung maupun tidak langsung, tentang
keyakinan seorang pemimpin terhadap kemampuan bawahannya. Artinya, gaya
kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah,
keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia
mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Flippo (1994) berpendapat gaya
kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu pola perilaku yang dirancang
11 Universitas Kristen Petra
untuk memadukan kepentingan-kepentingan organisasi dan personalia guna
mengejar beberapa sasaran.
Locander et.al., Yammarino et.al. menyatakan bahwa konsep transaksional
(transactional leadership) dan transformasional (transformational leadership)
berkembang dan mendapat perhatian banyak kalangan akademisi maupun praktisi
(dalam Mariam, 2009). Hal ini menurut Humphreys maupun Liu et.al., dalam
Mariam (2009) disebabkan konsep yang dipopulerkan oleh Bass pada tahun 1985
ini mampu mengakomodir konsep kepemimpinan yang mempunyai spektrum
luas, termasuk mencakup pendekatan perilaku, pendekatan situasional, sekaligus
pendekatan kontingensi. Oleh karena itu, penelitian ini memusatkan pada konsep
kepemimpinan transformasional dan transaksional, yaitu:
1. Kepemimpinan Transformasional
Jika kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada prinsip
pertukaran maka kepemimpinan transformasional (transformational
leadership) berdasarkan prinsip pengembangan bawahan (follower
development). Pemimpin transformasional mengevaluasi kemampuan dan
potensi masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu tugas/pekerjaan,
sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung jawab dan
kewenangan bawahan di masa mendatang. Sebaliknya, pemimpin
transaksional memusatkan pada pencapaian tujuan atau sasaran, namun
tidak berupaya mengembangkan tanggung jawab dan wewenang bawahan
demi kemajuan bawahan. Dvir et.al. menyatakan bahwa perbedaan tersebut
menyebabkan konsep kepemimpinan transaksional dan transformasional
diposisikan pada satu kontinum dimana keduanya berada pada ujung yang
berbeda (dalam Mariam, 2009).
Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara atasan
dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan transformasional lebih dari
sekedar pertukaran “komoditas” (pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi
sudah menyentuh sistem nilai (value system). Humphreys menyatakan
bahwa pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh
bawahannya dan mampu mengubah keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan
12 Universitas Kristen Petra
pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui
tujuan yang ditetapkan (dalam Mariam, 2009).
Bass et.al serta Humphreys, menjelaskan kemampuan pemimpin
transformasional mengubah sistem nilai bawahan demi mencapai tujuan
diperoleh dengan mengembangkan salah satu atau seluruh faktor yang
merupakan dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu : karisma
(kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau idealized influence),
inspirasi (inspirational motivation), pengembangan intelektual (intellectual
stimulation), dan perhatian pribadi (individualized consideration) (dalam
Mariam 2009, p.28). Idealized influence menurut Sarros dan Santora
merupakan perilaku (behavior) yang berupaya mendorong bawahan untuk
menjadikan pemimpin mereka sebagai panutan (role model) (dalam Mariam
2009, p.28). Pada mulanya, dimensi ini dinamakan karisma, namun karena
mendapat banyak kritik maka istilah karisma diubah menjadi pengaruh ideal
atau visi. Aspek kritikal karisma adalah kekuatan spiritual (transcendent
power) yang diyakini oleh bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga
bawahan percaya sepenuhnya dan mau melakukan apa saja demi
pemimpinnya (true believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh setiap
orang dan selama ini tidak tercakup dalam kajian kepemimpinan
transformasional, sehingga dimensi ini tidak tepat disebut karisma. Rafferty
& Griffin menyatakan bahwa kajian mengenai dimensi ini lebih terpusat
pada pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu menanamkan
visi tersebut dalam diri bawahan (dalam Mariam, 2009, p.29).
Bass et.al. menyatakan bahwa lebih jauh, pemimpin yang mempunyai
idealized influence selain mampu mengubah pandangan bawahan tentang
apa yang penting untuk dicapai pada saat ini maupun masa mendatang
(visi), juga mau dan mampu berbagi resiko dengan bawahan, teguh dengan
nilai, prinsip, dan pendiriannya, sehingga bawahan percaya, loyal, dan
menghormatinya (dalam Mariam, 2009, p.29).
Humphreys menyatakan bahwa idealized influence merupakan
dimensi terpenting kepemimpinan transformasional karena memberikan
inspirasi dan membangkitkan motivasi bawahan (secara emosional) untuk
13 Universitas Kristen Petra
menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian tujuan bersama (dalam
Mariam, 2009, p.29).
Inspirational motivation menurut Humphreys serta Rafferty dan
Griffin, memiliki korelasi yang erat dengan idealized influence (dalam
Mariam 2009, p.30). Seperti dijelaskan sebelumnya, pemimpin
transformasional memberi inspirasi kepada bawahan untuk memusatkan
perhatian pada tujuan bersama dan melupakan kepentingan pribadi. Inspirasi
dapat diartikan sebagai munculnya pandangan untuk menyatukan kedua
dimensi ini dalam satu konstruk. Namun dalam penelitian ini, idealized
influence dan inspirational motivation diposisikan sebagai dua konstruk
yang berbeda dimana idealized influence mempunyai makna lebih dalam
daripada inspirational motivation, atau dengan kata lain, inspirational
motivation merupakan sisi luar atau perwujudan idealized influence (dalam
Mariam, 2009, p.31).
Inspirational motivation menurut Humphreys berbentuk komunikasi
verbal atau penggunaan simbol-simbol yang ditujukan untuk memacu
semangat bawahan (dalam Mariam 2009, p.31). Pemimpin memotivasi
bawahan akan arti penting visi dan misi organisasi sehingga seluruh
bawahannya terdorong untuk memiliki visi yang sama. Bass et.al.,
menjelaskan bahwa kesamaan visi memacu bawahan untuk bekerja sama
mencapai tujuan jangka panjang dengan optimis. Sehingga pemimpin tidak
saja membangkitkan semangat individu tapi juga semangat tim (dalam
Mariam, 2009, p.31).
Rafferty & Griffin menyatakan bahwa intellectual stimulation,
merupakan faktor penting kepemimpinan transformasional yang jarang
memperoleh perhatian (dalam Mariam, 2009, p.32). Intellectual stimulation
merupakan perilaku yang berupaya mendorong perhatian dan kesadaran
bawahan akan permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian berusaha
mengembangkan kemampuan bawahan untuk menyelesaikan permasalahan
dengan pendekatan pendekatan atau perspektif baru. Rafferty & Griffin
menyatakan bahwa dampak intellectual stimulation dapat dilihat dari
peningkatan kemampuan bawahan dalam memahami dan menganalisis
14 Universitas Kristen Petra
permasalahan serta kualitas pemecahan masalah (problem solving quality)
yang ditawarkan (dalam Mariam, 2009, p.32).
Bass et.al serta Sarros dan Santora, berpandangan bahwa intellectual
stimulation pada prinsipnya memacu bawahan untuk lebih kreatif dan
inovatif dalam memahami dan memecahkan masalah (dalam Mariam 2009,
p.32). Bawahan didorong untuk meninggalkan cara-cara atau metode-
metode lama dan dipacu untuk memberikan ide dan solusi baru. Bawahan
bebas menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan mendapat
kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha meningkatkan moral
bawahan untuk berani berinovasi. Pemimpin bersikap dan berfungsi
membina dan mengarahkan inovasi dan kreativitas bawahan.
Individualized consideration atau perhatian pribadi. Individualized
consideration mengarah pada pemahaman dan perhatian pemimpin pada
potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap bawahannya. Pemimpin
menyadari perbedaan kemampuan, potensi, dan juga kebutuhan bawahan.
Pemimpin memandang setiap bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh
sebab itu, pemahaman pemimpin akan potensi dan kemampuan setiap
bawahan memudahkannya membina dan mengarahkan potensi dan
kemampuan terbaik setiap bawahan (dalam Mariam, 2009, p.32).
2. Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) mendasarkan
diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin dengan
bawahan. Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan tertentu
(misalnya, bonus) kepada bawahan jika bawahan mampu memenuhi
harapan pemimpin (misalnya, kinerja karyawan tinggi). Di sisi lain,
bawahan berupaya memenuhi harapan pemimpin disamping untuk
memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri dari
sanksi atau hukuman.
Menurut Bass et.al. dalam transactional leadership tercipta hubungan
mutualisme dan kontribusi kedua belah pihak akan memperoleh imbalan
(dalam Mariam, 2009, p.33). Sarros dan Santora (2001) menyebutkan
bahwa imbalan yang dikejar dua belah pihak lebih bersifat ekonomi.
15 Universitas Kristen Petra
Kebutuhan fisik dan materi bawahan berusaha dipenuhi oleh pemimpin dan
sebagai balasannya, pemimpin memperoleh imbalan berupa performa
bawahan yang tinggi.
Waldman et.al. mengemukakan bahwa kepemimpinan transaksional
“beroperasi” pada sistem atau budaya yang sudah ada (existing) dan
tujuannya adalah memperkuat strategi, sistem, atau budaya yang sudah ada,
bukan bermaksud untuk mengubahnya (dalam Mariam 2009, p.33). Oleh
sebab itu, pemimpin transaksional selain berusaha memuaskan kebutuhan
bawahan untuk “membeli” performa, juga memusatkan perhatian pada
penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan dan berupaya
melakukan tindakan korektif. Humphreys serta Yammarino, menyebutkan
bahwa kepemimpinan transaksional paling banyak ditemui dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga berkembang menjadi paradigm praktek kepemimpinan
dalam organisasi (dalam Mariam 2009, p.33).
Kepemimpinan transaksional menurut beberapa pakar memiliki dua
karakter yang dinamakan contingent reward dan management by exception.
Pemimpin transaksional yang mempunyai karakter contingent reward akan
menjelaskan tujuan dan sasaran yang hendak dicapainya dan mengarahkan
bawahan untuk mencapainya. Bass et.al., Humphreys menyatakan bahwa
besar kecilnya imbalan (reward) akan tergantung pada (contingent)
sejauhmana bawahan mencapai tujuan dan sasaran tersebut (dalam Mariam,
2009, p.34). Sedangkan pemimpin transaksional berkarakter management by
exception dapat dibagi lagi ke dalam dua sifat, yaitu aktif dan pasif.
Pada active management by exception, pemimpin menetapkan tujuan
dan sasaran yang hendak dicapai berikut standar kerja yang harus dipatuhi.
Jika terjadi penyimpangan, pemimpin tidak segan menjatuhkan sanksi
kepada bawahan. Pemimpin dengan sifat seperti ini akan cenderung
mengawasi bawahan dengan ketat dan segera melakukan tindakan korektif
apabila muncul penyimpangan, kekeliruan, atau kesalahan. Sementara
passive management by exception pemimpin menghindari tindakan korektif
atau “keributan” dengan bawahan selama tujuan dan sasaran yang disepakati
bersama tercapai (dalam Mariam, 2009, p.34).
16 Universitas Kristen Petra
Bass et.al. maupun Sarros dan Santora, menjelaskan bahwa karakter
contingent reward menggambarkan hubungan timbal balik yang positif
antara pemimpin dengan bawahan, karena pemimpin memberikan
penjelasan dan pengarahan dalam proses mencapai tujuan sebagai upaya
memacu performa bawahan (dalam Mariam 2009, p.34). Di sisi lain,
bawahan terdorong untuk mengerahkan kemampuan terbaik karena besar
kecilnya imbalan akan tergantung pada sejauhmana mereka mencapai
tujuan.
Sebaliknya, active management by exception menurut Yammarino
et.al dapat berdampak negatif terhadap kinerja bawahan karena bawahan
takut membuat kesalahan untuk menghindari sanksi sehingga merasa
bekerja di bawah tekanan (dalam Mariam 2009, p.35). Kondisi ini
menyebabkan proses organisasi tidak akan berjalan efektif. Sedangkan
passive management by exception tidak mendorong bawahan untuk bekerja
dengan giat. Selama target tercapai dan sistem organisasi berjalan
sebagaimana mestinya maka semua orang merasa bahagia. Tidak ada
petualangan atau tantangan baru dalam bekerja. Sarros & Santora
menyatakan bahwa kondisi tersebut akan membawa kejenuhan pada
bawahan sehingga kinerja organisasi tidak akan maksimal (dalam Mariam,
2009, p.35). Penelitian Shea, Christine M., yang berjudul: The Effect of
Leadership Style on Performance Improvement on a Manufacturing Task,
mengatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap
peningkatan kinerja (dalam Mariam 2009, p.36). Memberikan kontribusi
yang memperkuat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan.
Hasil penelitian Yammarino et.al. membuktikan kepemimpinan
transformasional memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja karyawan yang
lebih kuat dibandingkan kepemimpinan transaksional (dalam Mariam 2009,
p.37).
Demikian pula dengan Humphreys yang menegaskan bahwa
hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan
transformasional lebih dari sekedar perukaran “komoditas” (pertukaran
imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value system)
17 Universitas Kristen Petra
(dalam Mariam 2009, p.37). Pemimpin transformasional mampu
menyatukan seluruh bawahannya dan mampu mengubah keyakinan
(beliefs), sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan demi mencapai
tujuan, bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Soon Hee Kim (2002), hasil dari analisis multiple regression
memperlihatkan bahwa penggunaan gaya manajemen partisipatif oleh
manajer secara positif dihubungkan dengan tingkat yang tinggi dari
kepuasan kerja. Banyak manajer, pemimpin perserikatan dan akademis
membagi kepercayaan bahwa praktek manajemen partisipatif mempunyai
pengaruh positif yang substansial terhadap kinerja dan kepuasan dalam
pekerjaan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, Yammarino et.al. menyimpulkan
terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dengan
kinerja karyawan dan hubungan tersebut lebih kuat jika dibandingkan
hubungan kepemimpinan transaksional dengan kinerja karyawan (dalam
Mariam 2009, p.38). Hasil penelitian Yammarino et.al. membuktikan
kepemimpinan transformasional memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja
karyawan yang lebih kuat dibandingkan kepemimpinan transaksional
(management by exception) (dalam Mariam 2009, p.38).
Studi Bass et.al. juga menunjukkan pengaruh yang lebih kuat
kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan dibandingkan
kepemimpinan transaksional (dalam Mariam 2009, p.38). Bass et.al.
menjelaskan kepemimpinan transformasional fokus pada pengembangan
diri bawahan, mendorong bawahan berpikir dan bertindak inovatif untuk
menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dan sasaran organisasi,
memacu optimism dan antusiasme terhadap pekerjaan sehingga seringkali
kinerja karyawan yang ditunjukkan bawahan melebihi harapan (dalam
Mariam 2009, p.38). Kondisi tersebut berlawanan dengan gaya
kepemimpinan transaksional yang lebih mementingkan target berdasarkan
prinsip pertukaran yang justru dapat berdampak negatif dalam jangka
panjang.
18 Universitas Kristen Petra
Penelitian Humphreys dalam lingkup industri jasa lebih jauh
membuktikan peranan kritikal kepemimpinan transformasional dalam
meningkatkan kinerja karyawan (dalam Mariam 2009, p.38). Bono dan
Judge secara empiris juga menemukan kepemimpinan transformasional
mempengaruhi kinerja karyawan (dalam Mariam 2009, p.39). Kinerja dalam
penelitian Bono dan Judge diukur dari banyak aspek, baik yang bersifat
obyektif maupun subyektif, sehingga mereka menyimpulkan bahwa
kepemimpinan transformasional akan mempengaruhi kinerja karyawan
dalam situasi apapun (dalam Mariam 2009, p.39).
Menurut Heidjrachman dan Husnan (2008, p.173) seorang pemimpin
harus memiliki sifat perceptive artinya mampu mengamati dan menemukan
kenyataan dari suatu lingkungan. Untuk itu ia harus mampu melihat,
mengamati, dan memahami keadaan atau situasi tempat kerjanya, dalam
artian bagaimana para bawahannya, bagaimana keadaan organisasinya,
bagaimana situasi penugasannya, dan juga tentang kemampuan dirinya
sendiri. la harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk
memilih gaya kepemimpinan yang akan digunakan, perlu dipertimbangkan
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Meskipun banyak faktor yang
perlu dipertimbangkan, Haris dalam Heidjrachman dan Husnan (2008,
p.173) membaginya ke dalam 4 (empat) faktor yaitu:
1) faktor dalam organisasi
2) faktor bawahan
3) faktor pimpinan manajer
4) faktor situasi penugasan
2.1.2. Kepuasan Kerja
Karyawan yang memiliki sikap perjuangan, pengabdian, disiplin, dan
kemampuan profesional sangat mungkin mempunyai prestasi kerja dalam
melaksanakan tugas sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna. Menurut
Hamid, et al. karyawan yang profesional dapat diartikan sebagai sebuah
pandangan untuk selalu perpikir, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin,
19 Universitas Kristen Petra
jujur, loyalitas tinggi, dan penuh dedikasi demi untuk keberhasilan pekerjaannya
(dalam Sunarto, 2005).
Pengertian di atas, menggambarkan bahwa penyempurnaan di bidang
personalia hanya selalu mendapat perhatian untuk menuju karyawan yang
profesional dengan berbagai pendekatan dan kebijaksanaan. Untuk itu, diperlukan
adanya pembinaan, penyadaran, dan kemauan kerja yang tinggi untuk mencapai
kinerja yang diharapkan. Apabila karyawan penuh kesadaran bekerja optimal
maka tujuan organisasi akan lebih mudah tercapai.
Peningkatan sikap, perjuangan, pengabdian, disiplin kerja, dan kemampuan
profesional dapat dilakukan melalui serangkaian pembinaan dan tindakan nyata
agar upaya peningkatan prestasi kerja dan loyalitas karyawan dapat menjadi
kenyataan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi loyalitas karyawan adalah kepuasan
kerja karyawan. Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional
karyawan yang terjadi maupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja
karyawan dan perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang
memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan (Martoyo, 2004, p.142).
Dalam hal kepuasan kerja, Gilmer (1966) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja adalah kesempatan untuk maju, keamanan kerja,
gaji, perusahaan dan manajemen, faktor intrinsik dan pekerjaan, kondisi kerja,
aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, dan fasilitas (dalam Parwanto, 2009).
Sementara itu, menurut Heidjrachman dan Husnan mengemukakan beberapa
faktor mengenai kebutuhan dan keinginan pegawai, yakni: gaji yang baik,
pekerjaan yang aman, rekan sekerja yang kompak, penghargaan terhadap
pekerjaan, pekerjaan yang berarti, kesempatan untuk maju, pimpinan yang adil
dan bijaksana, pengarahan dan perintah yang wajar, dan organisasi atau tempat
kerja yang dihargai oleh masyarakat (Heidjrachman dan Husnan, 2008, p.194).
Menurut Loeke, kepuasan atau ketidakpuasan karyawan tergantung pada
perbedaan antara apa yang diharapkan (dalam Mukhyi dan Sunarti, 2007).
Sebaliknya, apabila yang didapat karyawan lebih rendah daripada yang
diharapkan akan menyebabkan karyawan tidak puas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan kerja yaitu: jenis pekerjaan, rekan
20 Universitas Kristen Petra
kerja, tunjangan, perlakuan yang adil, keamanan kerja, peluang menyumbang
gagasan, gaji/upah, pengakuan kinerja, dan kesempatan bertumbuh.
Merujuk pada berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan dalam rangka
peningkatan kinerjanya adalah: (a) faktor psikologik, merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketenteraman
dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan; (b) faktor sosial,
merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik sesama
karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya;
(c) faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi. jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan
ruangan, suhu penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur,
dan sebagainya; (d) faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan
jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji,
jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan
sebagainya.
Salah satu sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia pada
suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang
bersangkutan. Kepuasan kerja tersebut diharapkan pencapaian tujuan organisasi
akan lebih baik dan akurat. Hasil penelitian Herzberg menyatakan bahwa faktor
yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri,
tanggung jawab, dan kemajuan (Kotler dan Armstrong, 2007, p.71). Handoko
menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan
memandang pekerjaan mereka (dalam Parwanto, 2009).
Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan
mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan
prestasi kerja. Kepuasan kerja dapat dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan,
dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah
kepusasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil
kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik.
21 Universitas Kristen Petra
Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih
mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting.
Kepuasan kerja di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang
dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari
hasil kerjanya agar dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Karyawan yang
lebih suka menikmati kepuasannya di luar pekerjaan lebih mempersoalkan balas
jasa daripada pelaksanaan tugas-tugasnya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan
luar pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional
yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Karyawan
yang menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan akan merasa
puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak. Tidak ada tolok ukur
tingkat kepuasan yang mutlak karena setiap individu karyawan berbeda standar
kepuasannya. Indikator kepuasan kerja hanya dapat diukur dengan kedisiplinan,
moral kerja, dan pergantian (turnover) kecil maka secara relatif kepuasan kerja
karyawan baik. Sebaliknya Hasibuan menyatakan bahwa jika kedisiplinan, moral
kerja, dan turnover karyawan besar maka kepuasan kerja karyawan di perusahaan
berkurang (dalam Parwanto, 2009).
Teori kepuasan kerja menurut Wesley dan Yulk dapat diterangkan menurut
tiga macam teori, yaitu, pertama, discrepancy theory mengemukakan bahwa untuk
mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang
seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian, Locke (1969)
menerangkan bahwa kepuasan kerja tergantung pada discrepancy antara should he
(expectation, needs atau values) dengan apa yang menurut perasaannya atau
persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Dengan demikian,
orang akan merasa puasbila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan
persepsinya atas kenyataan karena batas minimum yang diinginkan telah
terpenuhi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wanous dan Lawler dalam
Parwanto (2009) mengemukakan bahwa sikap karyawan terhadap pekerjaannya
tergantung pada bagaimana ketidaksesuaian (discrepancy) yang dirasakan.
Kedua, equity theory yang dikembangkan oleh Adam (1963). Pada
prinsipnya teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas sepanjang
mereka merasa ada keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas suatu
22 Universitas Kristen Petra
situasi diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain
yang sekelas, sekantor, maupun di tempat lain. Teori ini mengidentifikasi elemen-
elemen equity meliputi tiga hal, yaitu: (a) input, adalah sesuatu yang berharga
yang dirasakan oleh pegawai sebagai masukan terhadap pekerjaannya; (b) out
comes, adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai dari hasil
pekerjaannya; (c) comparisons persona, adalah perbandingan antara input dan out
comes yang diperolehnya.
Ketiga, Two factor theory yang dikemukakan oleh Herzberg (1966). Prinsip-
prinsip teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu
tidak merupakan variabel yang kontinyu (dalam Parwanto, 2009). Berdasarkan
hasil penelitiannya Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap
seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: (a) statisfers atau
motivator, faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan
yang terdiri dari: achievement, recognition, work it self, responsibility dan
advancement; dan (b) dissatifiers atau hygiene factors, yaitu faktor-faktor yang
terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, seperti: company policy and
administration, supervision tehnical, salary, interpersonal relations, working
condition, job security dan status.
Secara historis, karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja akan
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Masalahnya adalah terdapatnya karyawan
yang kepuasan kerjanya tinggi tidak menjadi karyawan yang produktivitasnya
tinggi. Banyak pendapat mengemukakan bahwa kepuasan kerja yang lebih tinggi,
terutama yang dihasilkan oleh prestasi kerja, bukan sebaliknya. Prestasi kerja
lebih baik mengakibatkan penghargaan lebih tinggi. Bila penghargaan tersebut
dirasakan adil dan memadai, maka kepuasan kerja karyawan akan meningkat
karena mereka menerima penghargaan dalam proporsi yang sesuai dengan
prestasi kerja mereka.
Kondisi kepuasan atau ketidakpuasan kerja tersebut menjadi umpan balik
yang akan mempengaruhi prestasi kerja di waktu yang akan datang. Jadi,
hubungan prestasi dan kepuasan kerja menjadi suatu sistem yang berlanjut.
Menurut Strauss dan Sayles kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi dini
(dalam Parwanto 2009). Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak
23 Universitas Kristen Petra
akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi
frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja
rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan tidak
melakukan kesibukan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan yang harus
dilakukan.
Dessler mengemukakan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja
biasanya mempunyai catatan kehadiran dan peraturan yang lebih baik, tetapi
kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan dan kadang-kadang berprestasi
lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja (dalam
Parwanto, 2009). Oleh karena itu, kepuasan kerja mempunyai arti penting baik
bagi karyawan maupun perusahaan, terutama untuk menciptakan keadaan positif
di lingkungan kerja perusahaan.
Menurut Marihot (2005, p.291), pengukuran kepuasan karyawan dapat
diukur dengan menggunakan alat ukur sebagai berikut:
a) Kepuasan dengan Gaji
b) Kepuasan dengan Promosi
c) Kepuasan dengan Rekan Kerja
d) Kepuasan dengan Atasan
e) Kepuasan dengan Pekerjaan Itu Sendiri
2.1.3. Kinerja Karyawan
Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance
(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).
Pengertian kinerja (prestasi kerja) merupakan hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005,
p.67). Secara definitif Bernardin dan Russel, menjelaskan kinerja merupakan
catatan out come yang dihasilkan dari fungsi karyawan tertentu atau kegiatan yang
dilakukan selama periode waktu tertentu (Sulistiyani dan Rosidah, 2003, p.223).
Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan
sehingga mereka mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi
kepada instansi atau organisasi termasuk kualitas pelayanan yang disajikan.
24 Universitas Kristen Petra
Davis menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah
faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). hal ini sesuai
dengan pendapat (dalam Mangkunegara, 2005, p.67) yang merumuskan bahwa:
a. Human Performance = Ability + Motivation
b. Motivation = Attitude + Situation
c. Ability = Knowledge + Skill
Sasaran kinerja yang menetapkan adalah individual secara spesifik, dalam
bidang proyek, proses, kegiatan rutin dan inti yang akan menjadi tanggung jawab
karyawan. Sedangkan menurut (Ruky, 2001, p.149), sasaran kinerja dapat
ditetapkan sebagai berikut, pimpinan unit yang bersangkutan dengan kesempatan
bawahannya yaitu para pimpian sub-unit, menyatakan bahwa sasaran yang harus
mereka capai dalam kurun waktu tahun ini misalnya adalah sasaran bersama dan
menjadi sasaran-sasaran kecil bagi tiap bagian dari unit tersebut.
Sasaran kinerja adalah kinerja karyawan, sehingga diperoleh informasi yang
akurat tentang kinerja tersebut, apakah memuaskan atau tidak. Unit-unit di tingkat
bawah mungkin telah menjadi sasaran yang mereka tetapkan, dan sebaliknya
mereka yang ada di puncak mungkin belum memenuhi sasaran.
Bernardin dan Russel menyebutkan adanya 6 kriteria primer untuk mengukur
kinerja yaitu (dalam Soedjono 2005) :
a. Kualitas
Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau memenuhi
tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.
b. Kuantitas
Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan.
c. Ketepatan waktu
Dapat menyelesaikan pada waktu yang telah ditetapkan serta
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang lain.
d. Efektivitas
Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada di perusahaan untuk
meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.
25 Universitas Kristen Petra
e. Kemandirian
Dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan guna menghindari hasil yang
merugikan.
f. Komitmen kerja
Tingkat di mana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan
perusahaan dan tanggung jawab dengan perusahaan.
2.1.4. Kepuasan Konsumen
Dari kedua perspektif teoritis dan empiris, kepuasan pelanggan adalah kunci
daya saing perusahaan dan dapat dianggap sebagai inti dari keberhasilan dalam
dunia bisnis saat ini yang sangat kompetitif (Bitner dan Hubbert, 2006). Sebagian
besar manajer telah menempatkan perhatian yang signifikan terhadap kepuasan
pelanggan untuk meningkatkan profitabilitas dan pangsa pasar (Bhote, 2006).
Bagaimanapun juga, kepuasan pelanggan adalah faktor kunci bagi perusahaan
untuk mempertahankan pelanggan mereka, membangun loyalitas pelanggan dan
mendapatkan keuntungan lebih (Reichheld, 2006) dan sebagai jalan untuk
diferensiasi kompetitif (Su, 2004).
Kepuasan pelanggan sering didefinisikan sebagai perbandingan pasca
pembelian pelanggan antara harapan pra-pembelian dan kinerja yang diterima
(Oliver, 2005). Menurut Zeithaml dan Bitner. (2008), kepuasan pelanggan
didasarkan pada keseimbangan antara harapan pelanggan dan pengalaman
pelanggan dengan produk dan jasa. Mereka juga menunjukkan bahwa ketika
sebuah perusahaan mampu mengangkat pengalaman pelanggan ke tingkat yang
melebihi ekspektasi yang diinginkan oleh pelanggan, maka pelanggan akan puas.
Oliver (2005) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi kesenjangan
yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual dari produk atau
jasa. Kotler (2007) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai perasaan senang
atau kecewa seorang pelanggan yang dihasilkan dari membandingkan kinerja
produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan / harapannya. Kim et al.
(2008) menekankan bahwa kepuasan pelanggan adalah sikap yang dibentuk
pasca-pembelian melalui perbandingan kualitas produk dan layanan bahwa
pelanggan mengharapkan untuk menerima hasil dari pertukaran yang dilakukan.
26 Universitas Kristen Petra
Menurut Dutka kepuasan konsumen dapat diukur dengan menggunakan
beberapa hal sebagai berikut (dalam Samuel dan Foedjiawati 2005):
1. Atribut yang berkaitan dengan produk yang terdiri dari:
a. Value price relationship, merupakan hubungan antara harga yang
ditetapkan oleh perusahaan yang dibayar oleh konsumen dengan nilai
yang diperoleh konsumen.
b. Product quality, merupakan penilaian dari mutu suatu produk.
c. Product features, merupakan ciri – ciri tertentu yang dimiliki oleh suatu
produk sehingga berbeda dengan produk yang ditawarkan pesaing.
d. Product design, merupakan proses untuk merancang gaya dan fungsi
produk yang menarik dan bermanfaat.
e. Product reliability and consistency, merupakan keakuratan dan
keandalan makanan yang dijual perusahaan meliputi produk yang dijual
dijamin kualitasnya.
f. Range of product or service, merupakan banyaknya jenis produk atau
layanan yang ditawarkan perusahaan.
2. Atribut yang berkaitan dengan layanan yang terdiri dari:
a. Guarantee or warranty, merupakan jaminan yang diberikan perusahaan
terhadap produk yang dapat dikembalikan bila kinerja produk tersebut
tidak memuaskan.
b. Complaint handling, merupakan sikap perusahaan dalam menghadapi
keluhan-keluhan yang disampaikan oleh konsumen, yaitu penanganan
keluhan yang disampaikan konsumen secara langsung.
c. Resolution of problems, merupakan kemampuan perusahaan untuk
membantu memecahkan masalah yang dihadapi konsumennya meliputi
penyelesaian setiap keluhan konsumen.
3. Atribut yang berkaitan dengan pembelian yang terdiri dari:
a. Courtesy, yaitu kesopanan, rasa hormat, perhatian dan keramahtamahan
yang diberikan perusahaan dalam melayani para pelanggannya.
b. Communication, yaitu merupakan proses penyampaian informasi oleh
karyawan perusahaan kepada konsumennya.
27 Universitas Kristen Petra
c. Ease or convenience acquisition, yaitu kemudahan untuk mendapatkan
pengetahuan tentang produk dari perusahaan.
d. Company reputation, yaitu reputasi yang dimiliki perusahaan dalam
mempengaruhi pandangan konsumen terhadap perusahaan tersebut yang
akan mengurangi ketidakpastian dan resiko dalam keputusan pembelian.
e. Company competence, yaitu kemampuan suatu perusahaan untuk
mewujudkan permintaan yang diajukan oleh konsumen dalam
memberikan pelayanan.
Dalam penelitian ini, indikator kepuasan konsumen yang akan masuk dalam
penelitian hanya atribut yang berkaitan dengan produk (dalam Samuel dan
Foedjiawati 2005). Hal ini dikarenakan objek sasaran penelitian tertuju pada
bagian produksi, oleh karena itu kepuasan konsumen yang akan diteliti adalah
kepuasan konsumen atas produk PT. Siantar Top.
28 Universitas Kristen Petra
2.2. Kerangka Berpikir
Gambar 2.1. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Konsumen
melalui Kepuasan dan Kinerja Karyawan
2.3. Hipotesis
H1: Gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kepuasan kerja
H2: Kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan
H3: Kinerja karyawan berpengaruh terhadap kepuasan konsumen
Kepuasan Konsumen: Atribut yang berkaitan dengan produk - Value price relationship - Product quality - Product features - Product design - Product reliability and consistency - Range of product or service (Dutka 1994; dalam Samuel dan Foedjiawati, 2005)
Kinerja Karyawan: Kualitas Kuantitas Ketepatan Waktu Efektivitas Kemandirian Komitmen kerja Tanggungjawab (Bernardin dan Russel, 1993; dalam Soedjono, 2005)
Gaya Kepemimpinan:
dan
Kepemimpinan Transformasional - Pengaruh Ideal - Inspirasi - Pengembangan Intelektual - Perhadian Pribadi
(Bass et.al, 2003 dan Humphreys, 2002; dalam Mariam, 2009)
Kepuasan Kerja: Kepuasan dengan Gaji Kepuasan dengan Promosi Kepuasan dengan Rekan Kerja Kepuasan dengan Atasan Kepuasan dengan Pekerjaan Itu Sendiri (Marihot, 2005)
Kepemimpinan Transaksional - Contingen Reward - Management by exception
(Bass et.al., 2003; Humphreys, 2002; Yammarino et.al., 1993; dalam Mariam, 2009)