2-Enkapsulasi
-
Upload
novidha-satya-ningtyas -
Category
Documents
-
view
380 -
download
19
description
Transcript of 2-Enkapsulasi
![Page 1: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/1.jpg)
3
II. TI�JAUA� PUSTAKA
2.1 E�KAPSULASI
Enkapsulasi adalah proses atau teknik untuk menyalut inti yang berupa suatu senyawa
aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan pelindung tertentu yang dapat mengurangi
kerusakan senyawa aktif tersebut. Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan
lingkungannya hingga material tersebut terlepas (release) ke lingkungan. Material inti yang
dilindungi disebut core dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti
disebut sebagai dinding, membran, atau kapsul (Kailasapathy 2002, Krasaekoopt et al. 2003).
Kapsul merupakan bahan semipermeabel, tipis, berbentuk bulat dan kuat dengan diameter
bervariasi dari beberapa mikrometer hingga millimeter (Anal dan Singh 2007).
Enkapsulasi dapat dilakukan pada bakteri probiotik untuk memberikan perlindungan
terhadap bakteri probiotik dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti panas dan
bahan kimia (Frazier dan Westhoff 1998). Enkapsulasi probiotik telah banyak dilakukan untuk
meningkatkan ketahanan atau viabilitas sel probiotik selama proses pembuatan produk dan
penyimpanan (Homayouni et al. 2008a, Capela et al. 2006; Krasaekoopt et al. 2006), serta
meningkatkan ketahanan selama dalam jalur pencernaan (pH rendah dan cairan empedu) (Sultana
et al. 2000, Picot dan Lacroix 2004, Mandal et al. 2006, Castilla et al. 2010). Enkapsulasi
beberapa kultur bakteri termasuk probiotik dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dan
mengubah menjadi bentuk serbuk agar lebih mudah dalam penggunaan (Krasaekoopt et al. 2003).
Enkapsulasi probiotik dapat diaplikasikan untuk produksi kultur starter susu
fermentasi dan produksi makanan-minuman probiotik yang menekankan aspek peningkatan
viabilitas sel dalam produk dan saluran pencernaan, serta untuk meningkatkan sifat sensorik
produk (Mortazavian et al. 2007). Sifat membran atau kapsul harus disesuaikan dengan tujuan
penggunaan probiotik terenkapsulasi pada suatu produk. Membran dirancang untuk melindungi
sel dan dapat melepaskan sel dengan laju pelepasan yang terkontrol pada kondisi yang spesifik
serta memungkinkan terjadinya difusi molekul yang berukuran kecil (sel, metabolit dan substrat)
melintasi membran (Vidyalakshmi et al. 2009). Sifat membran tersebut sangat bergantung pada
teknik enkapsulasi dan jenis bahan yang digunakan (Kailasapathy 2002, Kraaekoopt et al. 2003,
Mortazavian et al. 2007, Vidyalakshmi et al. 2009).
2.1.1 Teknik Ekstrusi
Teknologi untuk enkapsulasi probiotik dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Enkapsulasi probiotik di dalam larutan bahan pengkapsul, 2) Pengeringan larutan bahan
pengkapsul (Mortazavian et al. 2007). Tahapan enkapsulasi probiotik dapat dilakukan dengan dua
teknik, yaitu ekstrusi dan emulsi (Krasaekoopt et al. 2003). Teknik ekstrusi dilakukan dengan
cara menambahkan mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat,
kemudian diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl2) menggunakan syringe sehingga terbentuk
beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum dan jarak tetes
jarum dengan larutan CaCl2 (Krasaekoopt et al. 2003). Diagram alir enkapsulasi menggunakan
teknik ekstrusi dapat dilihat pada Gambar 1.
![Page 2: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/2.jpg)
4
Gambar 1. Diagram alir enkapsulasi bakteri dengan teknik ekstrusi (Krasaekoopt et al. 2003)
Berbeda dengan teknik ekstrusi, teknik emulsi dilakukan dengan menyuspensikan
sebagian kecil polimer (alginat) ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak bunga
matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in
oil (w/o). Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi ditentukan
oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol dengan
kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt et al. 2003). Kelebihan dan kekurangan
teknik ekstrusi dan emulsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi
Ekstrusi Emulsi
Kelayakan teknologi Sulit untuk meningkatkan
skala produksi (scale up)
Mudah untuk meningkatkan
skala produksi (scale up)
Biaya Rendah Tinggi
Kemudahan Mudah Sulit
Ketahanan mikroorganisme 80 – 95% 80 – 95%
Ukuran beads 2 – 5 mm 25 µm – 2 mm
Sumber : Krasaekoopt et al. (2003)
Pada tahap pengeringan bahan pengkapsul berisi sel probiotik untuk mendapatkan sel
terenkapsulasi berbentuk serbuk atau granul dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu freeze
Pencampuran
Suspensi sel mikrobial Suspensi
natrium alginat
Suspensi sel
Diteteskan ke dalam
larutan CaCl2
Beads kalsium alginat
sel
Beads kalsium
alginat
Matriks
kalsium alginat
![Page 3: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/3.jpg)
5
drying (Sultana et al. 2000, Capela et al. 2006) dan Spray drying (Lian et al. 2003, Picot dan
Lacroix 2004). Enkapsulasi probiotik dengan teknik pengering semprot dan pengering beku
menghasilkan probiotik terenkapsulasi kering dalam bentuk serbuk atau granul, sedangkan teknik
emulsi dan ekstrusi menghasilkan probiotik terenkapsulasi dalam bentuk jel (hydrocolloid beads)
(Krasaekoopt et al. 2003). Namun, penggunaan teknik freeze drying relatif mahal dan sangat sulit
diaplikasikan pada skala industri (Mortazavian et al. 2007), sedangkan penggunaan teknik spray
drying membutuhkan suhu operasi yang tinggi sehingga kurang cocok diaplikasikan untuk
enkapsulasi probiotik (Kailasapathy 2002). Beberapa metode pengeringan yang telah digunakan
untuk mengeringkan jel kalsium alginat (beads) adalah hot air oven, vacuum drying, dan
microwave (Shariff et al. 2007).
Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan
probiotik terenkapsulasi dapat dievaluasi dari beberapa parameter kualitatif, diantaranya viabilitas
sel probiotik selama proses enkapsulasi dan pengeringan, pembuatan produk dan penyimpanan,
kelarutan beads dan kemampuan sel untuk release serta sifat mikrogeometri beads (bentuk dan
ukuran) (Mortazavian et al. 2007). Tingkat ketahanan bakteri probiotik setelah diberi beberapa
perlakuan dapat diukur dengan metode plate count (Roka dan Rantämaki 2010).
2.1.2 Bahan Pengkapsul
Enkapsulasi probiotik biasa dilakukan dalam sistem polimer yang bersifat lembut dan
tidak beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang biasa digunakan dalam proses
enkapsulasi bakteri probiotik adalah polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan
alginat), tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan
protein hewan (kasein, whey, skim, gelatin) (Rokka dan Rantamäki 2010).
Biopolimer yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah
alginat. Keuntungan penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik,
membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material sensitif seperti sel
bakteri probiotik, serta sel dapat release (Kailasapthy 2002).
2.1.2.1 Alginat
Alginat tergolong salah satu contoh hidrokoloid alami. Alginat merupakan kopolimer
rantai lurus dari residu asam β-(1-4)-D-manuronat (M) dan asam α-(1-4)-L-guloronat (G) yang
membentuk homopolimer M atau G dan blok heteropolimer MG (Cardenas et al. 2003). Struktur
molekul alginat dapat dilihat pada Gambar 2. Alginat telah digunakan secara luas untuk
enkapsulasi probiotik skala laboratorium (Rokka dan Rantamäki 2010). Garam alginat larut
dalam air, tetapi mengendap dan membentuk jel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat
membentuk jel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel, dan nano partikel
(Sarmento et al. 2007).
Gambar 2. Struktur molekul natrium alginat (ptp2007.files.wordpress.com)
![Page 4: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/4.jpg)
6
Penambahan kation divalen (misalnya Ca2+
) yang berfungsi sebagai penaut silang
antar molekul alginat, akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi yang akan membentuk jel
matriks kalsium alginat. Kapsul kalsium alginat sangat berpori yang memungkinkan air dapat
berdifusi keluar masuk matriks (Rokka dan Rantamäki 2010). Ikatan yang terbentuk antara Ca2+
dengan alginat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh kation Ca2+
terhadap struktur alginat (blog.khymos.org)
Penggunaan alginat sebagai bahan enkapsulasi sering dikombinasikan dengan bahan
lainnya, diantaranya dengan penambahan prebiotik (Hi-Maize) (Sultana et al. 2000, Homayouni
et al. 2008a), terigu dan polard (Widodo et al. 2003) sebagai bahan pengisi (filler), chitosan
sebagai coating (Krasaekoopt et al. 2004), dan pektin untuk membentuk kompleks alginat-pektin
yang lebih kuat (Castilla et al. 2010).
2.1.2.2 Skim, Sodium Caseinate, dan Whey
Selain bahan berbasis polisakarida, bahan berbasis protein juga sering digunakan pada
proses enkapsulasi bakteri probiotik (Rokka dan Rantamäki 2010). Bahan berbasis protein seperti
gelatin, skim, whey, dan caseinate digunakan sebagai bahan pembawa (carriers) pada
enkapsulasi probiotik menggunakan teknik spray drying (Lian et al. 2003, Picot dan Lacroix
2004, Triana et al. 2006). Penggunaan bahan berbasis protein sebagai bahan enkapsulasi pada
teknik spray drying dikarenakan sifatnya yang memiliki kemampuan mengemulsi serta mampu
melindungi sel bakteri dari panas (thermoprotectan). Bakteri yang dienkapsulasi dengan teknik
spray drying akan release sempurna di dalam produk susu fermentasi (Krasaekoopt et al. 2003).
Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau
seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu kecuali lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak (Buckle et al. 1987). Karena lemaknya telah dipisahkan, susu skim hanya
mengandung 0,5 – 2,0% lemak (Varnam dan Sutherland 1994).
Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat
digolongkan menjadi dua bagian, yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi protein yang
menggumpal ketika susu diasamkan pada pH 4,6 pada suhu sekitar 30 oC, sedangkan fraksi yang
tertinggal setelah pengendapan kasein disebut whey. Pada susu sapi dan kerbau, komposisi kasein
dan whey adalah berkisar 80:20 (Fox dan McSweeney 1998).
Kasein sangat stabil terhadap suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 100 oC selama 24 jam
atau pemanasan suhu 140 oC selama 20 menit tidak menyebabkan terjadinya koagulasi. Berbeda
dengan whey yang terdenaturasi sempurna pada pemanasan 90 oC selama 10 menit. Kasein
merupakan fosfoprotein yang mengandung 0,85% fosfor, sedangkan whey tidak mengandung
fosfor (Fox dan McSweeney 1998).
Salah satu produk turunan kasein adalah sodium caseinate. Sodium caseinate
diproduksi dari susu skim yang diasamkan hingga pH 4,6. Pada pH ini, senyawa kompleks dari
kalsium fosfat larut dan kasein menggumpal (presipitasi). Untuk menghilangkan garam, laktosa,
dan whey, kasein yang terpresipitasi dilarutkan kembali dengan menambahkan senyawa alkali
![Page 5: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/5.jpg)
7
(NaOH) hingga pH ~ 8,5 (Buckle et al. 1987) untuk menghasilkan produk caseinate. Setelah itu
dikeringkan menggunakan spray dryer untuk mendapatkan bentuk serbuk. Sodium caseinate
kering biasanya mengandung 90 – 94% protein, 3 – 5% kadar air, 6 – 7% abu, dan 0,7 – 1,0%
lemak (Bassette dan Acosta 1988).
Whey merupakan bagian cair dari susu atau serum susu yang dipisahkan dari curd
dalam pembuatan keju dan pembuatan kasein. Whey mengandung semua komponen susu kecuali
kasein. Whey terdiri atas protein susu terlarut, laktosa, vitamin, dan mineral. Protein whey terdiri
atas α-laktalbumin dan β-laktoglubolin (Mulvihill dan Grufferty 1997). Berdasarkan proses
koagulasi kasein, whey dibedakan menjadi sweet whey (rennet whey), yaitu hasil koagulasi kasein
secara enzimatis dan acid whey, yaitu koagulasi kasein menggunakan asam.
Beberapa produk turunan kasein dan whey yang telah dikomersialkan, diproduksi dari
susu skim atau whey. Produk berbasis protein ini digunakan sebagai bahan tambahan pada
industri pangan. Kasein dan caseinate umumnya dibuat dari susu skim yang ditambahkan asam
klorida atau asam sulfat atau melalui fermentasi asam laktat. Setelah dicapai titik isoelektrik,
kasein dinetralkan kembali untuk menghasilkan produk caseinate. Protein yang tersisa dalam
whey setelah kasein dipisahkan dari susu dimanfaatkan kembali untuk memproduksi whey protein
concentrate melalui presipitasi dengan penambahan polifosfat atau senyawa anion polivalen,
ultrafiltrasi, adsorpsi penukar ion, filtrasi jel, atau presipitasi menggunakan kombinasi asam dan
panas. Whey protein concentrate juga diproduksi dengan mengombinasikan proses elektrodialisis,
pemekatan, kristalisasi laktosa, dan pengeringan (Morr dan Richter 1988). Perbedaan komposisi
susu sapi, skim, sodium caseinate, dan Whey protein concentrate dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komponen susu sapi, skim, sodium caseinate, dan whey protein concentrate
Komponen Susu sapia Skim bubuk
a
Sodium
caseinatea
Whey protein concentrate
(WPC 35)b
Air (%) 87,4 3,0 5,0 4,8
Lemak (%) 3,5 0,9 1,2 4,2
Protein (%) 3,5 35,9 89,0 35,5
Laktosa (%) 4,8 52,2 0,3 47,5
Abu (%) 0,7 8,0 4,5 8,0 Sumber : a Tamime dan Robinson (1989)
b Early (1998)
2.2 VIABILITAS PROBIOTIK TERE�KAPSULASI
Upaya untuk meningkatkan viabilitas probiotik telah banyak dilakukan. Peningkatan
viabilitas probiotik selama proses produksi, penyimpanan, dan terhadap kondisi pencernaan
banyak dilakukan dengan penggunaan cryoprotectant, thermoprotectant dan alginat ataupun
dengan menggunakan prebiotik.
Capela et al. (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus dan
Lb. casei dengan teknik emulsi menggunakan 3% alginat dan CaCl2 0,1 M pada 200 rpm. Proses
enkapsulasi memberikan peningkatan viabilitas probiotik pada yoghurt selama pengeringan beku
dan setelah penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 21 oC.
Krasaekoopt et al. (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb.
acidophillus 547 (koleksi kultur di University of Queensland, Australia), Lb. casei 01 (produksi
Chr. Hansen Pty Ltd., Australia), dan B. bifidum ATTC 1994 (CSIRO starter koleksi kultur,
Australia) dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2% yang diberi perlakuan khusus dengan
penyalutan citosan 0,4% untuk meningkatkan stabilitas beads. Viabilitas sel terenkapsulasi lebih
![Page 6: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/6.jpg)
8
besar 1 siklus log selama penyimpanan 4 minggu dibandingkan dengan sel bebas (tidak
dienkapsulasi).
Purwandhani et al. (2007) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb.
acidophilus SNP 2 dengan teknik ekstrusi dan emulsi satu lapis menggunakan alginat 3% dan
CaCl2 0,1 M serta enkapsulasi dua lapis (double coating) dengan penambahan skim sebagai lapis
pertama. Enkapsulasi dengan metode emulsi menghasilkan ukuran beads yang lebih kecil (50 –
100 µm) dibandingkan metode ekstrusi (2,5 – 4mm). Sel probiotik terenkapsulasi memiliki
ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan sel bebas. Metode ekstrusi
menghasilkan ketahan sel yang lebih tinggi dibandingkan metode emulsi.
Widodo et al. (2003) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. casei teknik
ekstrusi menggunakan alginat 1% dengan penambahan bahan pengisi (filler) pollard 2% dan
tepung terigu 2% dengan konsentrasi larutan CaCl2 5%. Enkapsulasi dengan pollard
menghasilkan viabilitas Lb. casei lebih tinggi (2,4 x 108 sel/ml) dibandingkan dengan tepung
terigu (9,3 x 107 sel/ml). Laju pengasaman dalam mencapai pH 4,5 pada Lb. casei terenkapsulasi
lebih lambat 1 jam dibandingkan Lb. casei bebas.
Sultana et al. (2000) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Bifidobacterium dan
Lb. casei dengan teknik emulsi menggunakan alginat 2%, CaCl2 0,1 M, dan dengan perlakuan
khusus berupa penambahan prebiotik pati jagung (Hi-maize, Starch Australia Ltd) sebagai filler
sebanyak 0 – 4%. Penambahan filler (Hi-maize) meningkatkan rendemen dan jumlah Lb. casei
yang terenkapsulasi dalam beads. Namun, filler yang terlalu banyak (4%) akan menurunkan
rendemen beads.
Nazzaro et al. (2009) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus
dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2%, CaCl2 0,05 M, dan dengan perlakuan khusus
berupa penambahan 1% prebiotik inulin dan 0,15% xanthan gum. Lb. acidophilus terenkapsulasi
memiliki kemampuan tumbuh baik dalam jus wortel dan bertahan selama 8 minggu penyimpanan
pada suhu 4 oC. Enkapsulasi mampu meningkatkan viabilitas sel selama fermentasi dan
penyimpanan (5,59 x 1012
dan 4,35 x 1010
untuk probiotik terenkapsulasi vs 4,47 x 1010
dan 2,08 x
108
untuk probiotik bebas). Selain itu enkapsulasi dengan alginate-inulin-xanthan gum mampu
meningkatkan viabilitas sel secara signifikan dibandingkan sel bebas.
Castilla et al. (2010) melakukan penelitian mengenai sifat tekstur dari Lb. casei
terenkapsulasi dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat-pektin (1:2, 1:4, dan 1:6). Hasil
menunjukan bahwa diameter beads meningkat seiring dengan peningkatan proporsi pektin.
Penggunaan alginat : pektin dengan perbandingan 1:4 dan 1:6 mampu meningkatkan viabilitas sel
pada simulasi kondisi pencernaan.
Tingkat kematian B. longum yang terenkapsulasi dalam beads kalsium-alginat
menurun secara proporsional dengan meningkatnya konsentrasi alginat (Lee dan Heo 2000).
Mandal et al. (2006) melakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi natrium alginat 0%,
2%, 3% dan 4% terhadap viabilitas Lb. casei NCDC 298 pada pH 1,5. Hasil yang didapatkan
menunjukan viabilitas Lb. casei NCDC 298 meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
alginat dan alginat 4% memiliki viabilitas tertinggi.
2.3 BAKTERI ASAM LAKTAT
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang atau
bulat, tidak membentuk spora, serta memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama
proses fermentasi. Genus BAL yang biasa digunakan dalam produk pangan adalah genus
Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc,
![Page 7: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/7.jpg)
9
Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weissella
(Axelsson 2004). Selama proses fermentasi, BAL dapat menghasilkan metabolit-metabolit yang
menimbulkan perubahan rasa dan bentuk atau tekstur makanan serta menghambat pertumbuhan
bakteri pathogen dan pembusuk. Metabolit-metabolit tersebut antara lain asam organik (asam
laktat dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin yang semuanya memiliki
aktivitas antimikroba (Shah 2007).
Berdasarkan fermentasi heksosa dan jenis asam yang dihasilkan terdapat dua
kelompok BAL, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada kelompok homofermentatif,
asam laktat merupakan satu-satunya produk hasil fermentasi, sedangkan pada kelompok
heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga memproduksi etanol dan asam asetat
sebagai produk samping (Fardiaz 1992). Metabolisme glukosa oleh bakteri asam laktat dapat
terjadi melalui dua jalur fermentasi, yaitu fermentasi homolaktat (glikolisis atau Embden-
Meyerhof pathway) yang menghasilkan asam laktat dan fermentasi heterolaktat yang
menghasilkan asam laktat dan etanol (Axelsson 2004, Tamime et al. 2006).
Bakteri asam laktat homofermentatif sering digunakan dalam pengawetan pangan
karena produksi asam laktat dalam jumlah besar dan mampu menghambat bakteri penyebab
kerusakan makanan dan pathogen lain. Bakteri asam laktat heterofermentatif dimanfaatkan
dalam pembentukan flavor dan komponen aroma seperti asetaldehid dan diasetil, tetapi kedua
jenis bakteri asam laktat tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan asam organik, hidrogen
peroksida dan bakteriosin (Gomes dan Malcata 1999).
Peranan utama BAL dalam industri pangan adalah sebagai kultur starter produk-
produk yang melibatkan proses fermentasi atau produk pangan fungsional yang memiliki
pengaruh positif terhadap kesehatan (Tamime et al. 2006). Selain memiliki efek mengawetkan
pada produk fermentasi yang diinginkan, beberapa bakteri asam laktat yang tergolong bakteri
probiotik dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan dan menjaga keseimbangan
mikroba alami yang tinggal di dalam tubuh manusia (Fuller 1992). Beberapa kriteria yang harus
dimiliki oleh bakteri probiotik adalah tahan terhadap asam lambung, tahan terhadap garam
empedu, bersifat antagonis terhadap bakteri pathogen, aman digunakan oleh manusia,
memproduksi senyawa anti bakteri, mempunyai sifat penempelan pada usus manusia,
berkolonisasi dalam saluran usus manusia, aman dalam makanan (Reid 1999). Sejumlah genus
bakteri dan khamir yang digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Leuconostoc,
Pediococcus, Bifidobacterium, dan Enterococcus, tetapi spesies utama yang dipercaya memiliki
karakteristik probiotik adalah Lb. acidophilus, Bifidobacterium spp., dan Lb. casei (Shah 2007).
Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter dalam produk-produk susu
fermentasi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mesofilik dan termofilik. Kultur starter mesofilik
ditumbuhkan pada suhu 10 – 40 oC dengan suhu optimum 30
oC, sedangkan kultur starter
termofilik memiliki suhu optimum pertumbuhan antara 40 – 50 oC. Beberapa spesies yang
tergolong mesofilik adalah Lactococcus lactis ssp. lactis, Lactococcus lactis ssp. cremoris, dan
Leuconostoc lactis. Kelompok bakteri termofilik dibagi menjadi dua genus, yaitu Lactobacillus
dan Streptococcus (Mäkinen dan Bigret 2004).
Lactobacillus casei merupakan salah satu bakteri probiotik yang telah dimanfaatkan
secara komersil untuk memproduksi susu fermentasi. Beberapa strain Lb. casei memproduksi
diasetil dari sitrat, spesies ini digunakan sebagai starter dalam produk susu fermentasi di Jepang,
yaitu Yakult (Mäkinen dan Bigret 2004).
Lactobacillus casei merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang, non motil,
tidak membentuk spora dan bersifat heterofermentatif. Lactobacillus casei tergolong
![Page 8: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/8.jpg)
10
mikroaerofilik dengan suhu pertumbuhan optimum 30 oC dengan rentang 10
oC hingga 40
oC.
Beberapa strain mampu bertahan pada suhu 63 oC (Foster et al. 1961). Keberadaan Lactobacillus
dalam saluran pencernaan penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem mikroba dalam usus.
Lactobacillus casei tergolong bakteri probiotik karena mampu bertahan dalam lambung dan
cairan empedu, mampu mencapai dan berkoloni pada selaput lendir usus kecil, menghasilkan
asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri merugikan dan memacu pertumbuhan
bakteri seperti Bifidobacteria (Widodo 2003).
Pada proses enkapsulasi probiotik, bakteri ditumbuhkan terlebih dahulu didalam
media MRS broth pada kondisi optimum pertumbuhannya untuk memproduksi sel bakteri. Waktu
panen bakteri probiotik untuk dienkapsulasi adalah pada akhir fase eksponensial (log) atau awal
memasuki fase stasioner karena memiliki jumlah populasi yang optimum. Menurut Stanley
(1998), pada fase stasioner jumlah sel bakteri asam laktat mencapai 108 – 10
9 cfu/ml. Ding dan
Shah (2008) menumbuhkan beberapa spesies Lactobacillus dan Bifidobacterium pada MRS broth
selama 18 jam pada suhu 37 oC sebelum dienkapsulasi. Penelitian yang dilakukan Harmayani et
al. (2001) menumbuhkan Lactobacillus sp. Dad 13, Lb. acidophilus D2 dan Lb. plantarum dalam
MRS broth selama 16 – 18 jam (saat memasuki awal fase stasioner). Kondisi inkubasi untuk
menumbuhkan bakteri asam laktat pada kultur kerja (bulk starter) adalah selama 4 – 6 jam pada
suhu 37 – 42 oC (Stanley 1998). Pembuat kultur kerja Lactobacillus casei sebagai starter dadih
susu sapi dilakukan dengan menginokulasikan Lactobacillus casei ke dalam susu sapi segar yang
telah disterilisasi dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 4 jam, yaitu hingga akhir fase lag atau
awal memasuki fase log (Suprihanto 2009).
2.4 DADIH
Dadih merupakan produk olahan susu tradisional Indonesia khas daerah Sumatra
Barat. Dadih tergolong susu fermentasi seperti yoghurt dan kefir (Sirait 1993). Akan tetapi, dadih
terbuat dari susu kerbau yang difermentasi secara alami pada suhu ruang standar selama dua
malam (Sugitha 1995). Dadih yang diproduksi di Sumatra Barat, dibuat dengan bahan dasar susu
kerbau yang difermantasi di dalam tabung bambu dan tanpa penambahan starter lalu ditutup
dengan daun pisang. Fermentasi pada dadih diperkirakan dilakukan oleh mikroorganisme yang
dapat berasal dari bambu (Azria 1986, Zakaria et al. 1998), daun pisang serta susu kerbau
(Yudoamijoyo et al. 1983).
Gambar 4. Proses pembuatan dadih tradisional (Sirait 1993)
Sampai saat ini dadih masih dibuat secara tradisional dan belum ada standar proses
pembuatan, sehingga pada setiap pembuatan dadih di berbagai daerah diperoleh dadih dengan
kualitas yang berbeda-beda dalam hal rasa, aroma, dan tekstur (Sirait 1993). Proses pembuatan
dadih secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi dadih secara tradisional tidak
Inkubasi pada
suhu ruang
selama 48 jam
Susu kerbau
Bambu Ditutup dengan
daun pisang
![Page 9: 2-Enkapsulasi](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022082202/55cf9dc7550346d033af24aa/html5/thumbnails/9.jpg)
11
ditambahkan starter, sehingga konsistensi rasa, aroma dan tekstur sulit untuk dijaga pada
produksi berikutnya. Menurut Sirat (1993), dadih yang baik adalah berwarna putih dan memiliki
aroma dan konsistensi seperti susu asam (yoghurt).
Proses terjadinya dadih melibatkan berbagai macam mikroorganisme. Secara
tradisional, kemungkinan terbesar mikroorganisme tersebut berasal dari bambu yang digunakan
sebagai wadah pembuatan dadih atau dari susu kerbau. Bambu yang umum digunakan untuk
pembuatan dadih adalah bambu gombong (Gigantochloa verticillata) dan bambu ampel
(Bambusa vulgaris) (Azria 1986). Hasil isolasi BAL pada dadih terdiri dari 36 strain genus
Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactococcus (Ngatirah et al. 2000, Pato 2003).
Berbeda dengan yoghurt pada umumnya yang terbuat dari susu sapi, bahan baku
utama dadih terbuat dari susu kerbau. Susu kerbau memiliki konsentrasi total padatan yang lebih
tinggi dibandingkan susu sapi. Perbedaan komposisi susu sapi dengan susu kerbau dapat dilihat
pada Tabel 3. Unsur utama pada susu adalah laktosa yang mempunyai peranan penting dalam
industri susu. Hal ini dikarenakan laktosa mudah diuraikan oleh bakteri (Eckles et al. 1984).
Tabel 3. Komposisi susu sapi dan susu kerbau dari beberapa spesies (dalam %)
Spesies
Dalam susu Dalam total padatan
Air Le-
mak
Padatan non lemak Le-
mak
Padatan non lemak
Pro Lak Abu Pro Lak Abu
Sapi 87,20 3,70 3,50 4,90 0,70 28,90 27,34 38,28 5,47
K. Cina 76,80 12,60 3,70 3,70 0,86 54,31 26,03 15,94 3,71
K. Filipina 78,46 10,35 4,32 4,32 0,84 48,05 27,30 20,06 3,90
K. india 82,46 7,38 5,48 5,48 0,78 42,81 20,88 31,78 4,52 Keterangan : K = kerbau, Pro = protein, Lak = laktosa Sumber : Henderson (1971)
Perbedaan komposisi bahan baku susu fermentasi akan menghasilkan produk dengan
komposisi yang berbeda pula. Menurut Yudoamijoyo et al. (1983), dadih memiliki kandungan
lemak dan protein yang lebih tinggi dibandingkan yoghurt yang dibuat dari susu sapi (Tabel 4).
Hasil analisis proksimat pada dadih yang dilakukan Sirait et al. (1984) menunjukan hasil yang
bervariasi dengan rataan kadar air 82,10%, kadar protein 6,99%, kadar lemak 8,08%, dan pH
4,99.
Tabel 4. Komposisi kimia yoghurt dan dadih (dalam %)
pH T.A Protein Lemak Karbo-
hidrat Abu Kadar air
Yoghurt 3,4 1,490 3,91 0,07 4,32 0,92 90,78
Dadih A 4,1 1,278 5,93 5,42 3,34 0,96 84,35
Dadih B 4,0 1,320 7,57 6,48 3,79 1,13 81,03 Keterangan : T.A = titrable acidity (sebagai asam laktat)
Kadar air = 100% - total bahan kering (%)
A dan B adalah sampel dadih yang berasal dari daerah berbeda Sumber : Yudoamijoyo et al. (1983)
Berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas dadih telah dilakukan. Taufik (2004)
melakukan modifikasi proses produksi dadih dengan menggunakan susu sapi yang dievaporasi
hingga 50% volume awal untuk mendapatkan total padatan yang menyerupai susu kerbau dan
dengan penambahan starter bakteri probiotik L. plantarum, L. acidophilus, dan B. bifidium.