2 Difraksi Sinar X

36
Bab 2 Difraksi Sinar-X 2.1 Pendahuluan 2.2 Prinsip Difraksi Sinar-X 2.3 Kisi Kristal 2.4 Interaksi Sinar-X dengan Kristal 2.5 Teknik Eksperimen Difraksi Serbuk 2.5.1 Beberapa tujuan dari penyiapan spesimen 2.5.2 Beberapa kesalahan yang berasal dari spesimen 2.5.3 Penghalusan spesimen 2.5.4 Pemuatan spesimen pada sample holder 2-1

description

sinar x

Transcript of 2 Difraksi Sinar X

Bab 2

Difraksi Sinar-X

2.1 Pendahuluan

2.2 Prinsip Difraksi Sinar-X

2.3 Kisi Kristal

2.4 Interaksi Sinar-X dengan Kristal

2.5 Teknik Eksperimen Difraksi Serbuk

2.5.1 Beberapa tujuan dari penyiapan

spesimen

2.5.2 Beberapa kesalahan yang berasal dari

spesimen

2.5.3 Penghalusan spesimen

2.5.4 Pemuatan spesimen pada sample

holder

2.6 Aplikasi Difraksi Sinar-X

2.6.1 Identifikasi fasa

2.6.2 Dinamika fasa sebagai fungsi suhu

2-1

2.6.3 Penghalusan struktur (refinement)

2.6.4 Penentuan ukuran kristal

2-2

2.1 Pendahuluan

Difraksi sinar-X adalah sebuah metode analisis menggunakan instrumen yang digunakan secara luas pada beragam bidang penelitian. Penggunaannya mulai dari yang paling sederhana seperti penentuan fase untuk mengetahui produk dari suatu proses pembuatan bahan tertentu yang dilakukan secara rutin hingga penentuan struktur kristal dan penentuan dinamika struktur yang sangat rumit. Contoh penggunaan rutin difraksi sinar-X adalah pada analisis fasa penyusun semen pada pabrik pembuatan semen. Sementara itu aplikasi yang lebih rumit adalah seperti penentuan struktur suatu protein dan superkonduktor yang dapat bekerja pada suhu tinggi.

Mengingat luasnya cakupan mengenai metode difraksi sinar-X, maka pada buku ini ulasan yang disampaikan dibatasi pada aplikasi metode difraksi yang umum digunakan dalam penelitian-penelitian bidang katalis dan katalisis. Fokus ulasan pada buku ini lebih dipersempit kepada teknik difraksi fasa serbuk yang fasilitasnya mudah ditemukan di banyak laboratorium zat padat dan kristalografi di lembaga-lembaga penelitian maupun di perguruan tinggi atau universitas.

Pada buku ini, ulasan tentang teknik difraksi sinar-X dimulai dari prinsip dasar difraksi sinar-X yang meliputi proses pembangkitan sinar-X, interaksi sinar-X dengan atom dan kisi kristal, dan peralatan difraktometer serta contoh sederhana output dari proses analisis data difraksi. Selanjutnya akan diulas mengenai kisi kristal dan interaksi sinar-X monokromatis dengan kisi kristal tersebut kemudian diakhiri dengan contoh-contoh aplikasi dan penjelasannya pada penelitian bidang katalis.

2.2 Prinsip Difraksi Sinar-X

Sinar-X adalah radiasi elektromagnetik dengan energi foton antara 100 eV sampai 100 keV. Sinar ini digunakan dalam berbagai bidang seperti kedokteran, sipil (bangunan), keamanan, dan sains. Penggunaan sinar-X dalam bidang kedokteran dikenal sebagai Rontgen, sama seperti nama penemu radiasi sinar-X, yang digunakan untuk mendiagnosis suatu penyakit yang ada di dalam tubuh manusia. Pada bidang sipil, sinar-X digunakan untuk menganalisis kerusakan struktur internal, seperti retakan dari suatu beton, sehingga dapat mengetahui apakah suatu beton penunjang struktur masih layak pakai atau tidak. Pada bidang keamanan, sinar-X banyak digunakan untuk memeriksa apakah pada barang-barang bawaan terdapat barang-barang yang berbahaya. Pada bidang sains, sinar-X digunakan untuk menganalisis komposisi unsur-unsur kimia suatu bahan/zat dan juga mineralogi/struktur kristal dari suatu bahan. Untuk mengetahui mineralogi atau struktur kristal dari suatu bahan, teknik sinar-X yang digunakan adalah difraksi atau lebih lengkapnya disebut sebagai teknik difraksi sinar-X. Teknik ini secara umum lebih dikenal dalam bahasa inggrisnya sebagai X-Rays Diffraction (XRD).

Pada aplikasi difraksi, hanya panjang gelombang sinar-X yang pendek saja yang digunakan, yaitu antara beberapa Angstrom sampai 0,1 Angstrom (setara dengan 1 keV sampai 120 keV). Karena panjang gelombang sinar-X setara dengan ukuran

2-3

atom, maka sinar-X tersebut sangat ideal digunakan untuk membaca struktur dari susunan atom-atom di dalam suatu bahan atau material. Sinar-X yang berenergi tinggi ini dapat menembus hingga ke bagian dalam dari material sehingga dapat memberi informasi tentang struktur susunan atom-atom dari material itu secara utuh, bukan hanya pada permukaannya saja.

Gambar 2.1 Generator sinar-X (tabung sinar-X)

(A) (B)

Gambar 2.2 (A) Interaksi berkas elektron berenergi tinggi dengan atom yang menyebabkan perlambatan elektron dan menghasilkan foton Bremsstrahlung, (B) Bentuk khas radiasi Bremsstrahlung, di mana Channel setara dengan panjang gelombang dan Counts menunjukkan intensitas sinar-X

Sinar-X umumnya dihasilkan dari tabung sinar-X (Gambar 2.1) atau radiasi synchrotron. Di dalam tabung sinar-X, yaitu sumber utama sinar-X yang umum

2-4

Lintasan elektron datang

Foton Bremsstrahlung

mangkuk pemfokus

anoda

air pendingin

jendela

wadah/pelindung

vakumfilamen

digunakan di laboratorium instrumen sinar-X, sinar-X dihasilkan ketika berkas elektron yang dipercepat dengan medan bervoltase tinggi diarahkan untuk menumbuk suatu target padatan tertentu yang diam atau berputar. Saat elektron berenergi dan berkecepatan tinggi tersebut menumbuk atom-atom di dalam padatan target maka elektron-elektron itu mengalami perlambatan sekaligus melepaskan radiasi sinar-X dengan spektrum kontinu yang disebut radiasi Bremsstrahlung (Gambar 2.2).

(A)

(B)

Gambar 2.3 (A) Interaksi berkas elektron berenergi tinggi dengan atom target, (B) Spektrum sinar-X yang dipancarkan oleh tabung sinar-X dengan target logam tembaga

2-5

Lintasan elektron datang

Elektron orbital yang terusir

Elektron datang

setelah interaksi

Emisi foton multiple

Emisi foton single

Intensitas

Panjang gelombang

Elektron-elektron berenergi tinggi dapat pula melontarkan elektron-elektron pada kulit terdalam pada atom-atom padatan target melalui proses ionisasi (Gambar 2.3). Akibat terlontarnya elektron di kulit terdalam itu, elektron-elektron bebas yang ada di kulit lebih luar dapat mengisi tempat yang kosong di kulit terdalam sekaligus melepaskan sinar-X yang bersifat diskrit dan khas untuk padatan target yang digunakan. Padatan target yang umum digunakan adalah Cu and Mo yang memancarkan sinar-X dengan energi berturut-turut 8 dan 14 keV atau sama dengan panjang gelombang 1,54 Å dan 0,8 Å. (Energi, E, suatu foton berhubungan dengan panjang gelombangnya berdasarkan persamaan:

(2.1)

di mana h adalah konstanta Planck dan c adalah laju perambatan sinar di ruang hampa).

Jika berkas sinar-X monokromatik (sinar-X dengan panjang gelombang tertentu) menumbuk suatu material, maka sinar-X tersebut dapat dipantulkan oleh atom-atom penyusun material sesuai dengan hukum pemantulan sinar tampak oleh cermin. Apabila atom-atom pada material tersebut tersusun dengan rapi dan berulang, sebagaimana terdapat pada material kristalin, maka akan diperoleh pola pantulan yang berulang serta mengikuti prinsip difraksi sinar tampak oleh celah sempit. Pola difraksi adalah pola gelap-terang dari sinar yang dipantulkan akibat interaksi berkas sinar yang saling melemahkan-menguatkan. Berkas dari dua atau lebih sinar dengan panjang gelombang dan fasa gelombang yang sama akan menghasilkan pola terang karena berkas-berkas sinar tersebut saling menguatkan. Sementara itu, berkas dua atau lebih sinar dengan fasa berbeda, walaupun panjang gelombangnya sama, akan menghasilkan pola gelap karena terjadi pelemahan. Untuk memenuhi kondisi tersebut, maka berkas sinar yang dipantulkan oleh dua buah bidang pemantul atau lebih hanya akan saling menguatkan apabila memenuhi persamaan sebagai berikut:

nλ = 2d sinθ (2.2)

di mana n adalah orde sinar (bilangan bulat, mulai dari 1), λ adalah panjang gelombang dari berkas sinar, d adalah jarak antar bidang pemantul, dan θ adalah sudut pantulan (sama dengan 90o dikurangi dengan sudut normal berkas sinar datang). Persamaan 2.2 di atas dikenal dengan Hukum Bragg, sedangkan skema proses pemantulan sinarnya ditunjukkan oleh Gambar 2.4.

Pada material kristalin, atom-atom penyusunnya tersusun sedemikian rupa sehingga bentuknya menyerupai bidang-bidang dengan jarak antar bidang yang tertentu dan tiap atom tersebut dapat memantulkan berkas sinar-X. Susunan atom-atom yang teratur seperti itu tidak terdapat pada material yang bersifat amorf, karena pada material amorf atom-atom penyusunnya tersusun secara acak. Apabila ada keteraturan susunan pada material amorf, maka keteraturan tersebut hanya terjadi/ada dalam jarak yang sangat pendek dan daerah yang sangat kecil saja. Oleh karena itu, hanya material yang bersifat kristalin saja yang dapat menghasilkan pola difraksi yang menunjukkan struktur kristalinnya, sedangkan fasa amorf tidak dapat.

2-6

Gambar 2.4 Difraksi sinar-X oleh kisi kristal (http://xray0.princeton.edu/~phil/Facility/Guides/XrayDataCollection.html)

Pola difraksi sinar-X dari suatu material kristalin adalah khas, sesuai dengan struktur kristalnya serta atom-atom penyusunnya. Contoh pola difraksi padatan α-Al2O3, yaitu suatu padatan kristalin dari oksida alumunium yang dikenal dengan nama corundum, ditunjukkan oleh Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Contoh difraktogram sinar-X material corundum (α -Al2O3)

Pola difraksi seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.5 di atas dihasilkan oleh instrumen difraktometer. Instrumen tersebut terdiri dari generator sinar-X (lampu sinar-X), goniometer, dan detektor yang dilengkapi dengan pembangkit tegangan tinggi. Contoh difraktometer modern ditunjukkan oleh Gambar 2.6, sedangkan skema komponen sebuah difraktogram ditunjukkan pada Gambar 2.7.

2-7

Bidang gelombang datang

Interferensi konstruktif ketika

nλ = 2d sin θHukum Bragg

Gambar 2.6 Difraktometer modern

Gambar 2.7 Diagram komponen difraktometer yang terdiri dari tabung sinar-X, spesimen, dan detektor. Tabung sinar-X bersifat stasioner, sementara spesimen berputar sebesar sudut θ, dan detektor berputar sebesar sudut 2θ

2-8

tabung sinar-X

celah aperture celah

soller

celah detektor

detektor

monokromator sekunder

sampel

2 tetha (2θ)

tetha (θ)

2.3 Kisi Kristal

Kristal merupakan kumpulan atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul yang tersusun secara berulang dan teratur di dalam suatu ruang. Untuk dapat disebut kristal, keteraturan susunan tersebut harus menjangkau jarak yang cukup panjang. Susunan atom, ion atau molekul yang membentuk kristal secara sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Susunan molekul-molekul membentuk sel satuan (unit cell) kemudian menjadi kristal

Garis-garis pada bidang yang membatasi satu sel satuan dengan sel satuan lainya disebut dengan kisi kristal (crystal lattice). Misalnya ada sekumpulan atom sejenis membentuk kristal berbentuk kubus seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.9. Garis-garis berwarna kuning pada satu sel satuan kubus merupakan garis kisi kristal. Titik-titik sudut yang menghubungkan garis-garis kisi disebut dengan titik kisi ( lattice point) yang berupa atom, ion ataupun molekul. Oleh karena itu, parameter-parameter yang diperlukan untuk menjelaskan suatu kisi kristal adalah panjang garis kisi dan sudut antar garis kisi.

Gambar 2.9 Contoh kisi kristal

2-9

molekul unit sel

kristal

Tabel 2.1 Sistem kristal dan kisi kristal yang mungkin

Sistem kristal dan simetri

Kisi Bravais

triklinik(tidak ada)

monoklinik(1 diad)

sederhana berpusat dasar

ortorombik(3 diads saling tegak lurus)

sederhana berpusat dasar berpusat badan berpusat muka

heksagonal(1 hexad)

rombohedral(1 triad)

tetragonal(1 tetrad)

sederhana berpusat badan

kubus(4 triads)

sederhana berpusat badan berpusat muka

Karena susunan sel satuan pada kristal harus bersifat teratur dalam jangkauan yang luas, maka susunan tersebut dibatasi oleh sifat-sifat dan operasi simetri. Dengan batasan ini, maka hanya terdapat 7 sistem kristal yang mungkin terjadi pada kristal. Dari ke tujuh sistem kristal ini, hanya ada 14 sistem kisi yang mungkin ada yang

2-10

dikenal dengan sebutan kisi Bravais (Bravais lattice). Ketujuh sistem kristal dan kisi Bravais yang menyertainya ditunjukkan oleh Tabel 2.1.

Tabel 2.2 Jarak antar bidang pada kisi kristal kubus

Bidang Jarak antar bidang (d)

(100)

(110)

(111)

(hkl)

Gambar 2.10 Bidang-bidang kristal pada kisi kristal kubus

2-11

Kumpulan dari atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul penyusun kristal yang sama membentuk bidang-bidang kristal. Jika panjang garis kisi kristal dalam satu unit sel pada arah x, y, dan z berturut-turut adalah a, b, dan c, maka bidang-bidang kristal tersebut dapat diwakili oleh indeks Miller (hkl), dengan:

(2.3)

Setiap angka indeks pada indeks Miller adalah bilangan bulat mulai dari 0. Suatu bidang kristal dengan indeks Miller (100) merupakan bidang kristal yang memotong sumbu x pada titik a dari pusat koordinat, sedangkan bidang (200) berarti bidang yang memotong sumbu x pada jarak ½a dari pusat koordinat. Bidang (111) adalah bidang yang memotong sumbu x pada jarak a, sumbu y pada jarak b, dan sumbu z pada jarak c dari pusat koordinat. Oleh karena itu, untuk suatu sistem kubus dengan panjang kisi sebesar a0 akan memiliki bidang kristal dengan jarak (d) seperti ditunjukkan pada Tabel 2.2. Contoh dari bidang-bidang kristal yang terdapat pada kristal kubus ditampilkan pada Gambar 2.10.

2.4 Interaksi Sinar-X dengan Kristal

Bidang-bidang kristal sebagaimana dijelaskan pada sub-Bab 2.3 dalam proyeksi dua dimensi merupakan bidang pemantul sinar-X seperti yang dilukiskan oleh Gambar 2.4. Untuk suatu kristal kubus, misalnya kristal garam NaCl, akan terdapat beberapa bidang dengan jarak antar bidang (d) yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya, apabila seberkas sinar-X dijatuhkan kepada kristal tersebut dengan sudut pantul yang bervariasi mulai dari sudut kecil sampai sudut besar, maka sesuai dengan hukum Bragg akan dihasilkan pola terang-gelap yang jika diplotkan dalam grafik dua dimensi antara sudut datang (2θ) terhadap intensitas sinar-X yang dipantulkan (counts) akan membentuk kurva yang disebut difraktogram. Gambar 2.11 menunjukkan pola difraksi (difaktogram) yang dihasilkan oleh pemantulan sinar-X dengan λ = 1,54 Å oleh kristal kubus garam NaCl.

Gambar 2.11 Difraksi sinar-X yang dihasilkan oleh kubus NaCl

Intensitas puncak-puncak difraksi sebagai hasil pemantulan sinar-X dikontrol antara lain oleh atom dan sebarannya di dalam sel satuan serta jumlah bidang kristal yang memantulkan sinar-X tersebut. Pada pemantulan sinar-X, elektron-elektron dari atom penyusun kristal berperan di dalam memantulkan dan membelokkan sinar-X yang

2-12

menimpa sebuah atom penyusun kristal. Semakin banyak dan rapat elektron yang ada pada atom penyusun kristal menyebabkan semakin banyak pula berkas sinar-X yang dipantulkan atau dibelokkan. Oleh karena itu, kristal yang tersusun oleh atom-atom berelektron banyak (nomor atom besar pada tabel periodik unsur) akan menghasilkan intensitas pantulan yang lebih kuat daripada kristal yang tersusun oleh atom-atom ringan.

Selain jenis atom penyusun kristal, intensitas juga ditentukan oleh jumlah bidang pemantul sinar-X. Semakin besar jumlah bidang yang memantulkan sinar, maka semakin besar pula intensitas dari sinar-X yang dipantulkan. Suatu bahan dengan tingkat kekristalan tinggi secara otomatis akan memiliki jumlah bidang pemantul sinar-X yang lebih tinggi daripada bahan yang sama dengan tingkat kekristalan yang lebih rendah. Dengan sifat seperti ini, maka sinar-X dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekristalan (crystallinity) dari suatu bahan.

Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas pantulan suatu berkas sinar-X oleh kisi kristal disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas pantulan sinar-X

Faktor Keterangan

Faktor Polarisasi

Ketergantungan sudut sinar yang dipantulkan oleh elektron-elektron

Faktor struktur Ketergantungan pada pada posisi atom-atom di dalam sel satuan dan daya pemantulan atom-atom tersebut

Faktor Lorentz Faktor geometris yang bergantung pada jenis instrumen yang digunakan dan bervariasi terhadap sudut pantul sinar-X (q)

Multiplisitas Jumlah pantulan yang memberi kontribusi pada garis pantulan yang diamati

Faktor suhu Getaran termal dari atom-atom mengakibatkan penurunan intensitas

Faktor absorpsi Penyerapan sinar-X oleh sampel dan bergantung pada bentuk sampel serta geometri instrumen.

Preferred orientation

Jika sampel yang digunakan pada analisis difraksi serbuk tidak memiliki susunan yang acak

Extinction Pengurangan daya difraksi pada kristal yang hampir sempurna

2.5 Teknik Eksperimen Difraksi Serbuk

Pada buku ini cakupan teknik difraksi yang digunakan dibatasi pada teknik difraksi serbuk dengan sistem optik Bragg-Brentano. Pada teknik ini sampel yang diamati berbentuk serbuk halus dan instrumen difraktometer menggunakan sistem optik Bragg-Brentano, di mana sampel diputar dengan sudut θ terhadap sudut datang sinar-X, sedangkan detektornya diputar dengan sudut 2θ dari sudut datang sinar-X.

2-13

Untuk menghasilkan data difraksi yang berkualitas baik, teknik difraksi sinar-X dengan sistem optik Bragg-Brentano mensyaratkan sampel yang akan diukur harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:a. Ukuran partikel sampel harus cukup kecil dan orientasinya bersifat acak agar

diperoleh kebolehjadian yang sama pada semua bidang kisi kristal yang ada untuk memantulkan sinar-X. Walau demikian, ukuran partikel tidak boleh terlalu kecil karena akan menyebabkan pelebaran puncak yang mengakibatkan hilangnya beberapa informasi penting dari struktur kristal.

b. Permukaan sampel yang akan diukur harus rata. Permukaan yang tidak rata akan menyebabkan distorsi pada berkas sinar-X yang dipantulkan.

c. Struktur sampel harus stabil, minimal tidak berubah selama proses pengambilan data difraksi berlangsung. Proses pengambilan data difraksi dapat berlangsung mulai dari beberapa menit sampai beberapa hari, tergantung pada kebutuhan dan jenis serta sifat bahan yang hendak diukur.

Untuk dapat memenuhi beberapa persyaratan sampel pada eksperimen difraksi serbuk, ada beberapa pilihan sample holder yang dapat digunakan. Sample holder yang tersedia mulai dari pelat kaca datar yang bagian tengahnya digosok hingga cekung sebagai penampung sampel, sampai sample holder yang terbuat dari bahan logam.

2.5.1 Beberapa tujuan dari penyiapan spesimen

Tujuan dari penyiapan spesimen adalah untuk menyiapkan bahan yang akan dianalisis dalam pengukuran dengan teknik difraksi sedemikian rupa, sehingga dimungkinkan untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang ingin diketahui tentang sampel tersebut. Tidak ada cara baku untuk penyiapan sampel, yang penting tujuan dari pengukuran tersebut dapat dicapai dengan mempertimbangkan waktu dan usaha yang diluangkan.

Dalam melakukan pengukuran/analisis menggunakan teknik difraksi, ada tiga parameter yang menjadi perhatian utama yaitu:

• Posisi dari puncak-puncak difraksi• Intensitas puncak difraksi• Sebaran intensitas sebagai fungsi sudut difraksi

Seberapa dekat parameter-parameter hasil percobaan difraksi tersebut di atas terhadap keadaan sesungguhnya dari sampel yang dianalisis akan menentukan banyaknya informasi yang dapat digali dari data percobaan difraksi. Dalam banyak hal, kesalahan penyiapan spesimen adalah penyebab utama dari penyimpangan hasil percobaan difraksi dari keadaan yang sesungguhnya. Semakin sempurna penyiapan sampelnya, semakin teliti, tepat, dan juga lebih banyak informasi yang diperoleh dari percobaan difraksi. Dengan demikian, tujuan analisis akan sangat menentukan bagaimana spesimen untuk percobaan difraksi harus disiapkan.

2-14

2.5.2 Beberapa kesalahan yang berasal dari spesimen

Dalam melakukan percobaan analisis difraksi akan banyak dijumpai kesalahan-kesalahan sistematik. Kebanyakan kesalahan tersebut memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan keadaan spesimen. Beberapa kesalahan sistematik yang berkaitan dengan spesimen adalah sebagai berikut:

Kesalahan Spesimen Datar (Flat Specimen Error): Terjadi karena permukaan spesimen yang datar adalah tidak sesuai dengan kelengkungan lingkar fokus.

Perbedaan Komposisi antara Sampel dengan Spesimen: Disebabkan oleh interaksi sampel dengan lingkungan saat penggerusan atau pengaruh irradiasi.

Specimen Displacement: Bentuk geometris dari peletakkan sampel menyebabkan penyimpangan posisi pada lingkar fokus.

Specimen Transparency: Daya tembus dari berkas sinar-X ke dalam spesimen yang tebal menyebabkan perubahan lokasi asal tempat difraksi terjadi.

Ketebalan Spesimen: Spesimen yang tipis cenderung menghasilakn posisi puncak yang akurat, namun spesimen yang tebal dapat menghasilkan intensitas yang lebih kuat.

Ketidakhomogenan Partikel: Ketidakhomogenan ukuran partikel-partikel dapat mengubah intensitas dan puncak yang terlihat.

Preferred Orientation: Orientasi partikel-partikel spesimen yang tidak acak menyebabkan penyimpangan intensitas dan membatasi jumlah puncak yang tampak.

2.5.3 Penghalusan spesimen

Analisis sinar-X untuk spesimen serbuk mensyaratkan ukuran serbuk yang sangat halus untuk menghasilkan signal to noise-ratio yang baik (dan menghindari fluktuasi intensitas), menghindari adanya spot-spot dominan, dan meminimalkan preferred orientation. Penghalusan serbuk menjadi partikel-partikel yang sangat halus juga memastikan kecukupan jumlah partikel yang terlibat di dalam proses difraksi. Ukuran partikel yang terbaik adalah sekitar 1-5 m, khususnya jika diinginkan untuk melakukan analisis kuantitatif. Walau demikian, untuk analisis kualitatif rutin, spesimen cukup digerus agar dapat melewati ayakan berukuran 325 mesh (45 m). Penghalusan dapat dilakukan secara manual ataupun menggunakan peralatan khusus untuk penghalusan seperi micronizer ataupun ball mill. Akan tetapi, penghalusan yang berlebihan dapat menyebaban distorsi kisi kristal sampel yang dianalisis dan memungkinkan terbentuknya lapisan amorf di bagian luar dari partikel serbuk.

2-15

Ketergantungan kualitas hasil analisis difraksi sinar-X dengan ukuran partikel dari spesimen yang dianalisis disebabkan oleh kenyataan bahwa teknik difraksi sinar-X didasarkan pada asumsi bahwa:a. Kristal serbuk spesimen memiliki orientasi yang acak.b. Terdapat cukup banyak partikel yang memberikan sumbangan terhadap sinar-X

yang terdifraksi.

Gambar 2.12 menunjukkan susunan sampel serbuk yang acak dan terarah pada sample holder berbentuk bundar.

Gambar 2.12 Serbuk pada sample holder yang memiliki sebaran yang acak (random) dan tersusun rapi (oriented)

Ukuran partikel yang besar akan menghalangi tercapainya keadaan acak dari spesimen serbuk. Selain keadaan acak, ukuran partikel juga sangat mempengaruhi intensitas puncak-puncak difraksi yang akan dihasilkan. Intensitas puncak difraksi sangat ditentukan oleh jumlah spesimen yang memberikan sumbangan pada puncak tersebut. Untuk spesimen yang disiapkan pada sample holder bervolume 20 mm3, kaitan antara jumlah partikel yang memberikan sumbangan kepada intensitas difraksi terhadap ukuran partikel disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Kaitan antara ukuran dengan jumlah partikel pada sample holder bervolume 20 mm3

Diameter partikel 40 μm 10 μm 1 μm

V/partikel 3,35 x 10-5 mm3 5,24 x 10-7 mm3 5,24 x 10-10 mm3

Partikel/mm3 2,98 x 104 1,91 x 106 1,91 x 109

Partikel dalam 20 mm3 5,97 x 105 3,82 x 107 3,82 x 1010

Tidak semua partikel yang dihitung pada Tabel 2.4 ikut memberikan sumbangan pada intensitas puncak difraksi, karena sumbangan itu juga ditentukan oleh sistem optik dari instrumen difraktometer. Untuk sample holder berukuran 20 mm3, telah dilakukan perhitungan bahwa jumlah partikel yang mungkin menyumbang intensitas puncak adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 2.5.

Jika telah terbiasa melakukan penyiapan spesimen untuk analisis difraksi sinar-X secara manual, tidaklah terlalu sulit untuk dapat menghasilkan partikel dengan ukuran sampai 10 m. Akan tetapi, seorang ahli yang terampil sekalipun akan mengalami

2-16

kesulitan apabila ingin melakukan penghalusan spesimen sehingga partikel-partikelnya berdiameter kurang dari 10 m.

Tabel 2.5 Kaitan antara diameter partikel dengan jumlah partikel yang mungkin memberikan sumbangan terhadap intensitas puncak (Np)

Diameter partikel 40 μm 10 μm 1 μm

NP 12 760 38000

Untuk pengukuran-pengukuran menggunakan difraksi sinar-X yang memerlukan ketelitian dan ketepatan yang sangat tinggi, yang membutuhkan partikel spesimen berukuran di bawah 10 m, penghalusan dapat dilakukan dengan menggunakan ball mill maupun micronizer. Penghalusan dengan menggunakan peralatan ini memerlukan cairan yang digunakan untuk memastikan bahwa partikel-partikel spesimen terdispersi secara merata pada saat proses ball milling maupun micronizing. Cairan yang umumnya digunakan adalah aseton atau alkohol yang keduanya sangat mudah menguap sehingga memudahkan dalam pengeringan. Contoh spesifik penggunaan micronizer terhadap ukuran partikel sebagai fungsi waktu dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Distribusi ukuran partikel serbuk setelah dihaluskan di dalam micronizer bergantung kepada lama penghalusannya. Gambar 2.13 menunjukkan bahwa semakin lama penghalusan dilakukan, semakin kecil rata-rata ukuran partikelnya, namun sebaran ukurannya tidak lagi bersifat normal. Untuk analisis rutin difraksi sinar-X, sebaran ukuran partikel sebagaimana dihasilkan pada proses penghalusan menggunakan micronizer selama 10 menit sudah cukup memadai.

2.5.4 Pemuatan spesimen pada sample holder

Pemuatan spesimen pada sample holder juga sangat berpengaruh terhadap kualitas data yang dihasilkan. Selain itu, teknik pemuatan spesimen juga sangat erat kaitannya dengan sifat dasar (nature) dari spesimen yang akan dianalisis.

Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam menyiapkan spesimen umumnya berkisar antara 1 sampai 2 gram. Untuk bahan spesimen yang dapat memberikan intensitas difraksi kuat, sampel sebanyak 10 sampai 20 mg yang ditempelkan pada permukaan double tape sudah cukup untuk dapat menghasilkan data yang cukup baik.

2.6. Aplikasi Difraksi Sinar-X

Difraksi sinar-X (XRD) merupakan teknik terbaik dalam penentuan komponen fasa penyusun suatu campuran. Hal ini terjadi karena pola intensitas dari masing-masing komponen bersifat khas dan menunjukan jumlah dari komponen yang ada, sehingga dalam aplikasinya XRD dapat digunakan untuk:

i. Identifikasi fasa ii. Dinamika fasa sebagai fungsi suhu

2-17

iii. Penghalusan struktur (refinement)iv. Penentuan ukuran kristal

Gambar 2.13 Pengaruh lama proses micronizing terhadap ukuran partikel padatan serbuk MoO3 (molibdat)

2-18

Ukuran Partikel μm)

(a) tanpa penghalusan

Ukuran Partikel μm)

(a) mikronisasi 10 menit

Ukuran Partikel μm)

(a) mikronisasi 30 menit

2.6.1 Identifikasi fasa

Aplikasi difraksi sinar-X dalam mengidentifikasi fasa suatu bahan adalah contoh yang paling sering digunakan. Pada identifikasi fasa, pola difraksi yang dihasilkan oleh sampel yang diukur (intensitas vs 2θ atau d) dibandingkan dengan database pola difraksi fasa yang telah diketahui. Hal ini dapat dilakukan karena pola difraksi suatu fasa tertentu bersifat khas, seperti pola sidik jari manusia.

Proses pembandingan pola difraksi dari sampel yang diukur terhadap pola difraksi yang sudah terekam di dalam database pada awalnya dilakukan secara manual. Umumnya empat puncak difraksi dengan intensitas terkuat pada suatu fasa tertentu dijadikan acuan. Pembandingan mula-mula dilakukan berdasarkan indeks intensitas terkuat kemudian diikuti oleh pembandingan tiga puncak terkuat berikutnya. Umumnya, jika keempat puncak difraksi database dan hasil pengukuran adalah sama, maka hampir dipastikan bahwa fasa dari sampel yang diukur adalah sama dengan fasa pembandingnya di dalam database tersebut.

Metode pembandingan fasa secara manual seperti ini sudah ditinggalkan sejak teknologi komputer sudah sedemikian maju. Dengan teknologi komputer yang tersedia, proses pembandingan dilakukan dengan program-program Search and Match yang banyak tersedia. Beberapa contoh program tersebut di antaranya adalah Philips X'pert High Score dari PANanlytical, Jade(TM) dari MDI Materials Data, dan Match dari Crystal Impact. Walaupun terdapat beragam program Search and Match, database fasa yang tersedia untuk sampel serbuk hanya ada dua yaitu yang disediakan oleh ICDD (International Centre for Diffraction Data) dan JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards). Database fasa tersebut tersedia dalam format PDF (Powder Diffaction File) yang tersedia hingga versi 4+ dengan 29.607 data mineral dan 341.540 data zat organik (http://www.icdd.com/products/pdf4.htm#organics, 27 November 2008).

Gambar 2.14 Difraksi sinar-X fasa cair sampel Yttrium Aluminum Garnet (Y3Al5O12 = YAG) pada substrat SiC

2-19

2θ (derajat)

Inte

nsi

tas

(co

un

ts)

Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan identifikasi fasa secara ringkas adalah sebagai berikut:1. Kumpulkan data difraktogram dari sampel dengan difraktometer yang sesuai.2. Identifikasi posisi puncak-puncak difraksi dan intensitasnya.3. Lakukan Search and Match menggunakan program yang tersedia dan database

yang mutakhir.

Contoh berikut adalah identifikasi fasa Yttrium Aluminum Garnet (Y3Al5O12 = YAG) pada substrat silikon karbida (SiC) dengan menggunakan difraksi sinar-X (Gambar 2.14). Pada difraktogram, adanya α-SiC polytype 4H dan 6H ditunjukkan pada puncak difraksi pada 2θ = 43,3 dan 49,8 untuk tipe 4H dan 2θ = 34,1 dan 45,3 untuk tipe 6H. Yttrium Aluminum Garnet (Y3Al5O12 = YAG) dapat diamati pada 2θ = 27,8 dan 29,7. Dengan teknik difraksi sinar-X yang dilengkapi oleh database fasa dan program search and match, maka proses identifikasi fasa dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah dengan tingkat akurasi yang tinggi.

2.6.2 Dinamika fasa sebagai fungsi suhu

Dalam bidang katalis dan material padat, seringkali dibutuhkan informasi tentang dinamika struktur kristal bahan padatan yang terjadi pada suhu yang berbeda-beda. Hal ini terkait dengan sifat dan kereaktifan bahan padatan yang berbeda-beda apabila berada pada suhu lingkungan yang berbeda pula.

Gambar 2.15 Dinamika struktur kristal α-Bi2Mo3O12 sebagai fungsi suhu

2-20

Gambar 2.16 Difraktogram sinar-X selama proses kalsinasi dari (a) 10% Co/ZrO2 dan (b) 10% Co-ZrO2. () = ZrO2 monoklinik, () = Co3O4, dan () ZrO2

tetragonal

Sebagai contoh, bahan semikkonduktor YBa2Cu3O7 yang berubah menjadi superkonduktor pada suhu 90 K yang ditengarai merupakan fungsi dari struktur kristalnya. Selain itu, suatu fasa dapat berubah menjadi fasa lainnya, baik secara

2-21

Dua-theta (derajat)

Dua-theta (derajat)

Inte

nsi

tas

(a.u

.)In

ten

sita

s (a

.u.)

dapat balik (reversible) maupun tidak dapat balik (irreversible). Misalnya, orang ingin mengetahui pada suhu berapa fasa γ-Al2O3 berubah menjadi fasa α-Al2O3?

Untuk aplikasi penentuan dinamika struktur sebagai fungsi suhu maka diperlukan alat tambahan pada difraktometer yang umum dipakai untuk identifikasi fasa, yaitu pemanas sampel. Contoh aplikasi dinamika suhu ini ditunjukkan pada Gambar 2.15 yang merupakan data difraktogram mentah dari penentuan kaitan antara struktur α-Bi2Mo3O10 dengan aktivitasnya sebagai katalis oksidasi parsial (Fansuri et al., 2003).

Contoh lain yang terkait dengan perubahan struktur sebagai fungsi suhu ditunjukkan pada katalis Co yang disupport oleh ZrO2. Gambar 2.16a menunjukkan struktur katalis Co yang disupport oleh ZrO2 yang dikenai pemanasan mulai dari suhu 100 sampai 800 oC. Keberadaan dan struktur support ZrO2 monoklinik ditunjukkan oleh bidang-bidang kisi [-111], [111], [-112] yang sesuai dengan puncak difraksi pada 2θ = 28,5o; 31,5o; dan 40,7o. Dengan naiknya suhu dari 100 C menjadi 800 oC, partikel Co yang awalnya terdistribusi merata pada permukaan ZrO2 mulai teroksidasi dan membentuk kristal Co2O3 sekaligus mengalami peningkatan ukuran. Hal ini ditunjukkan oleh semakin runcingnya puncak-puncak [311], [222], dan [400] pada garis difraksi 2θ = 36,9o; 38,6o; dan 44,9o yang merupakan puncak-puncak difaksi khas fasa Co2O3. Sedangkan Gambar 2.16b menunjukkan pola difraksi dari material yang dibuat dengan mencampurkan Co dan Zirkonia yang keduanya berada dalam fasa amorf untuk selanjutnya dikalsinasi hingga suhu 700 oC. Campuran masih bersifat amorf pada suhu kalsinasi sampai 450 C, di mana ZrO2 tetragonal mulai terbentuk.Selain perubahan struktur fasa sebagai fungsi suhu, teknik difraksi dengan suhu yang berubah dapat pula digunakan untuk mengikuti reaksi fasa padat yang terjadi seperti pada pembuatan spinel MgAl2O4 dari campuran padat MgO dan Al2O3 yang dipanasi di dalam sebuah tungku/furnace seperti pada Gambar 2.17.

Gambar 2.17 Difraktogram hasil reaksi Al2O3 dengan MgO membentuk MgAl2O4

2-22

Dua-theta (derajat)

Inte

nsita

s (c

ps)

Gambar 2.17 menunjukan bahwa reaksi antara Al2O3 dan MgO membentuk MgAl2O4

dapat dimonitor menggunakan difraksi sinar-X. Mula-mula campuran reaksi Al2O3 dan MgO menghasilkan pola difraksi sinar-X yang merupakan gabungan dari masing-masing fasa murninya. Selama proses reaksi, terbentuk pola pantulan baru (Gambar 2.17(a) dan Gambar 2.17(b)) yang merupakan gabungan pola Al2O3 dan MgO.

2.6.3 Penghalusan struktur (refinement)

Penghalusan struktur dari data difraksi merupakan metode lanjut dari analisis difraksi sinar-X. Untuk data difraksi yang dihasilkan dari sampel berupa serbuk, metode yang banyak digunakan adalah metode Rietveld (Rietveld, 1967; Rietveld, 1969). Pada metode Rietveld ini diperlukan model struktur untuk dibandingkan dengan struktur terukur.

Metode pencocokan pola difraksi terhitung (model) dengan pola difraksi terukur (data eksperimen) pada metode Rietveld dilakukan dengan menghaluskan parameter-parameter dalam pola difraksi model (terhitung) yang dinyatakan dalam ekspresi intensits difraksi (yci) pada Persamaan 2.4.

(2.4)

dimana, i adalah indeks untuk sebuah titik yang terhitung, s adalah faktor skala, K merupakan indeks Miller (h, k, l untuk sebuah puncak refleksi Bragg), LK mengandung faktor polarisasi, Lorentz, dan multiplisitas, │FK│adalah faktor struktur untuk refleksi Bragg ke-K, φ merupakan fungsi profil puncak, 2θi dan 2θK adalah sudut-sudut detektor yang berhubungan dengan titik ke-i dan puncak Bragg ke-K, PK adalah fungsi preferred orientation, A menyatakan faktor absorpsi dan ybi menyatakan intensitas latar pada data ke-i (Young, 1996).

Penyusunan pola terhitung (model) memerlukan beberapa data masukan. Data masukan yang diperlukan antara lain informasi struktur (seperti data unit sel, space group, koordinat atom) dan informasi instrumen yang digunakan selama pengambilan data terukur (seperti data panjang gelombang, banyaknya cacah (step-scan), fungsi bentuk, dan lebar puncak). Data informasi struktur dapat diperoleh dari database ICSD.

Pola difraksi model dalam prosedur penghalusan Rietveld dapat dikatakan optimum bila besar S dari kudrat selisih antara plot pengamatan dengan pola terhitung (Persamaan 2.5) berharga paling rendah.

(2.5)

dimana wi adalah faktor bobot untuk titik i yang ditetapkan sebagai nilai resiprokal variansi intensitas terhitung pada titik data ke-i, yi adalah intensitas terukur pada titik data ke-i, yci merupakan intensitas terhitung pada data ke-i.

2-23

Tahapan analisis Rietveld dilakukan melalui beberapa langkah yang saling berkesinambungan. Pertama, pengumpulan data difraksi sampel. Kedua, pengidentifikasian fasa dalam sampel dari data difraksi eksperimen berdasarkan referensi (data ICDD/PDF) yang sesuai data kimia sampel. Ketiga, penyusunan model (pola terhitung). Keempat, penghalusan paramater-parameter hingga diperoleh selisih kuadrat terkecil antara pola difraksi eksperimen dengan pola terhitung. Proses tersebut dapat diilustrasikan pada sampel rutil (TiO2) seperti pada Gambar 2.18.

Gambar 2.18 Tahapan analisis Rietveld (a) pola terukur yang diperoleh dari data difraksi eksperimen sampel, (b) pola difraksi dari referensi untuk identifikasi fasa dalam sampel dari data difraksi eksperimen, (c) model (pola terhitung) yang telah disusun berdasarkan informasi data struktur, data fisika difraksi, dan data instrumen difraksi, (d) penghalusan pola model hingga didapatkan kecocokan dengan pola terukur, data terukur ditunjukkan oleh tanda + dan pola model ditunjukkan oleh garis tebal, sedangkan garis di bawahnya menunjukkan perbedaan profil puncak.

2-24

(a)

(b)

(c)

(d)

Indeks keberhasilan atau nilai R banyak digunakan dalam kristalografi untuk menilai keberhasilan penghalusan dengan metode Rietveld. Kriteria keberhasilannya sebagai berikut:

1. R- Profil (Rp)

(2.6)

2. R-Profil terbobot (Rwp)

(2.7)

3. R-Bragg (RB)

(2.8)

4. Indeks GOF (Goodness of Fit), biasa dilambangkan dengan χ

(2.9)

dengan

(2.10)

di mana N adalah jumlah titik data dan P adalah jumlah parameter yang terlibat dalam penghalusan.

Untuk memperoleh kecocokan dua kurva (pola model dan pola terukur) yang dapat diterima, dapat digunakan pedoman tiga karakter dasar pola difraksi, yaitu tinggi, posisi, lebar, dan bentuk puncak difraksi. Posisi puncak difraksi berhubungan dengan parameter kisi, asimetri, dan parameter instrumen, seperti pergeseran spesimen dan kesalahan 2θ. Tinggi puncak adalah pengaruh dari parameter faktor skala, parameter termal, asimetri, dan preferred orientation. Lebar dan bentuk puncak dipengaruhi oleh parameter bentuk puncak (U, V, W, dan HL) dan asimetri (Pratapa, 2004). Hal ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.19.

2-25

Gambar 2.19 Penghalusan parameter tinggi, posisi, dan lebar, bentuk puncak difraksi, dan nilai R. (a) Pola difraksi terukur kristal MgO, (b) pola model MgO yang belum dihaluskan, (c) perubahan posisi puncak model cocok dengan puncak terukur, (d) tinggi puncak model menyesuaikan dengan puncak terukur, (e) bentuk, tinggi, dan posisi puncak model sudah menyesuaikan puncak terukur

Penghalusan dapat dikatakan selesai jika nilai R sudah tidak berfluktuasi. Penghalusan tidak hanya sekedar mendapatkan nilai R seminimal mungkin, tetapi perlu diperhatikan apakah struktur yang didapatkan tidak menyalahi arti fisis yang sebenarnya.

Data keluaran yang didapatkan dari penghalusan berupa data struktur kristal yang meliputi parameter kisi, koordinat atom, perhitungan panjang ikatan, data parameter termal, dan parameter faktor skala. Faktor skala yang didapatkan dari penghalusan Rietveld digunakan sebagai masukan pada penentuan komposisi fasa. Adapun Persamaan 2.11 berikut digunakan dalam perhitungan persen berat fasa dalam abu layang dan produk kristalisasinya (Hill dan Howard, 1987).

Rp = 12,89Rwp = 20,78RB = 2,69χ2 = 2,73

Rp = 20,26Rwp = 26,07RB = 5,37χ2 = 4,3

Rp = 89,83Rwp = 112,22RB = 36,01χ2 = 79,6

Rp = 52,46Rwp = 61,48RB = 33,74χ2 = 29,89

(a) (b)

(c) (d)

(e)

2-26

(2.11)

di mana %Wj merupakan persen berat relatif dari fasa j pada campuran yang berisi n fasa, sedangkan S, Z, M, dan V masing-masing adalah faktor skala Rietveld, jumlah unit formula per unit sel, massa dari unit formula, dan volume dari tiap unit formula.

Jika ditambahkan internal standar (s) sebanyak Ws ke dalam campuran, maka % berat absolut dari fasa yang teridentifikasi dihitung dengan Persamaan 2.12 (Howard dan Hunter, 1997).

(2.12)

2.6.4 Penentuan ukuran kristal

Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab terdahulu, pola difraksi sinar-X dari suatu bahan dipengaruhi pula oleh ukuran kristal. Ukuran partikel kristal yang kecil akan menyebabkan pelebaran puncak difraksi. Perubahan pola difraksi akibat perbedaan ukuran kristal diilustrasikan oleh Gambar 2.20.

2-27

Inte

nsi

tas

Inte

nsi

tas

Gambar 2.20 Pengaruh ukuran kristal terhadap lebar puncak difraksi

Analisis ukuran partikel berdasarkan pelebaran puncak difraksi dapat dilakukan menggunakan metode Rietveld. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menaksir ukuran kristal adalah Persamaan 2.13 berikut (Pratapa et al., 2002):

(2.13)

di mana λ adalah panjang gelombang sinar-X, HL adalah komponen pelebaran puncak Lorentzian sampel, sedangkan HLS adalah komponen pelebaran puncak Lorentzian standard bila menggunakan fungsi Voight untuk pencocokan pola difraksi.

Daftar Pustaka

Bish, D.L. dan Post, J.E. (1989), Modern Powder Diffraction. Reviews in Mineralogy, Vol. 20, Mineralogical Society of America, Washington DC

Brindley, G.W. dan Brown, G. (1980), Crystal structures of Clay Minerals and Their Identification, Mineralogical Society Monograph No. 5, Mineralogical Society, London

Connolly, R. (2005), Sample Preparation and Systematic Diffractometer Errors

Cullity, B.D. (1978), Elements of X-ray Diffraction, 2nd edition, Addison-Wesley Publishing Co., Menlo Park, CA

Fansuri, H., Pham, G.H., Wibawanta, S., Zhang, D.K., dan French, D. (2003), “The relationship between structural and catalytic activity of a- and g-bismuth-molybdate catalysts for partial oxidation of propylene to acrolein”, Surface Review and Letters, Vol 10, No. 1&2, hal. 549-553

Iyengar, S.S. (1997), Sample Preparation for Clays In Preparation of Specimens for X-ray Fluorescence and X-ray Diffractuion Analysis, Wiley-VCH, NY

Jackson, M.L. (1979), Soil Chemical Analysis - Advanced Course, 2nd edition, the Author, Madison, Wis. 53705

http://www.icdd.com/products/pdf4.htm#organics, 27 November 2008

http://xray0.princeton.edu/~phil/Facility/Guides/XrayDataCollection.html

Howard, C.J. dan Hunter, B.A. (1997), LHPM Manual, A Computer Program for Rietveld Analysis of X-ray and Neutron Powder Diffraction Patterns, Australian Institute of Nuclear Science and Engineering, Sydney

2-28

Klug H. P. dan Alexander, L.E. (1974), X-ray Diffraction Procedures, John Wiley and Sons, Inc., New York, 996p

Kunze, G.W. (1965), “Pretreatments for mineralogical analysis. In C.A. Black (ed) Methods of soil analysis. Part I. Physical and mineralogical properties including statistics of measurement and sampling”, American Society of Agronomy, Vol. 9, hal. 568-577

Moore, D.M. dan Reynolds Jr., R.C. (1989), X-ray Diffraction and the Identification and Analysis of Clay Minerals, Oxford University Press, Oxford

Pratapa, S., O'Connor, B. H., dan Hunter, B. (2002), “A comparative study of single line and rietveld strain-size evaluation procedures using MgO ceramics”, Journal of Applied Crystallography, Vol. 35, hal. 155-162

Rietveld, H.M. (1967), “Line profiles of neutron powder-diffraction peaks for structure refinement”, Acta Crystallographica, Vol. 22, No. 1, hal. 151-152

Rietveld, H. (1969), “A profile refinement method for nuclear and magnetic structures”, Journal of Applied Crystallography, Vol. 2, No. 2, hal. 65-71

Young, R.A. (1993), The Rietveld Method. The International Union of Crystallography Monographs on Crystallography, Vol. 5, Oxford University Press, New York

2-29

2-30