2 BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.pdf · Konsolidasi (Consolidation) a.Jumlah kunjungan...
Transcript of 2 BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.pdf · Konsolidasi (Consolidation) a.Jumlah kunjungan...
13
2 BAB II
LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS
2.1 Telaah Hasil Penelitian Sebelumnya
Salah satu fokus kajian dalam penelitian ini yaitu respon masyarakat
lokal terhadap praktik pariwisata telah menjadi isu yang cukup banyak
diangkat oleh para peneliti di bidang pariwisata. Isu ini sangat penting untuk
diketahui dalam mengarahkan pariwisata berkelanjutan yang mampu
memberi manfaat bagi masyarakat lokal setempat. Terdapat beberapa
penelitian sebelumnya yang digunakan untuk melihat posisi dari penelitian
yang akan dilakukan ini berdasarkan kesamaan fokus dan lokus.
Penelitian pertama berjudul Local Responses to Tourism Development
on the North-Eastern Coast of Brazil: the Case of the Municipality of
Maragogi in Alagoas State oleh Kaspary dan Araujo pada tahun 2013.
Penelitian tersebut memiliki kesamaan fokus dengan penelitian yang akan
dilakukan ini yakni mengkaji respon masyarakat lokal terhadap praktik
pariwisata yang ada di daerahnya. Kesamaan lainnya dari penelitian tersebut
dapat dilihat dari sisi desain penelitian yang menggunakan satu lokasi
penelitian besar untuk kemudian dicari beberapa lokasi yang lebih
mengkhusus. Penelitian tersebut menemukan bahwa respon masyarakat
menunjukkan mereka dimarginalkan oleh dominasi pengusaha-pengusaha
besar. Alih fungsi lahan banyak terjadi pada salah satu kawasan di wilayah
14
tersebut yang meskipun mampu mengangkat kualitas hidup masyarakat lokal
setempat, namun pada kenyataannya mereka bukanlah lagi pemilik aset lokal
destinasi tersebut. Temuan pada wilayah lainnya juga menunjukkan bahwa
masyarakat lokal hanya mampu menjual ikan hasil tangkapannya ataupun
biskuit tradisional yang dibuatnya kepada restoran, bar, dan hotel yang ada di
wilayah tersebut. Meski memiliki persamaan fokus, terdapat beberapa
perbedaan dari penelitian yang akan dilakukan ini di antaranya perbedaan
karakter lokasi penelitian serta pemfokusan subjek penelitian yakni petani
lokal.
Masih memiliki kesamaan fokus dengan penelitian ini, penelitian
selanjutnya berjudul Respon Masyarakat terhadap Rencana Pengembangan
Kawasan Wisata (Studi Kasus Kawasan Wisata Nusa Ceningan, Desa
Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung) oleh Susanta
tahun 2003. Penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat penolakan dari
masyarakat lokal setempat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata
Nusa Ceningan yang dilakukan oleh investor. Masyarakat menyadari
pentingnya menjaga kelestarian alam yang mereka miliki sehingga pro kontra
pun terjadi di antara masyarakat, pemerintah, dan investor. Respon penolakan
yang ditunjukkan oleh masyarakat berupa inisiatifnya untuk melakukan
pemetaan potensi pariwisata bersama-sama dengan Yayasan Wisnu untuk
mengembangkan pariwisata di Nusa Ceningan berbasiskan ekowisata.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Setiawan pada tahun 2011 yang
berjudul Komodifikasi Pusaka Budaya Pura Tirta Empul dalam Konteks
15
Pariwisata Global. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa telah terjadi
proses komodifikasi terhadap situs Pura Tirta Empul. Berbagai renovasi serta
usaha-usaha yang dilakukan untuk mempercantik Pura ini dilakukan salah
satunya untuk kepentingan pariwisata. Dampak yang ditimbulkan pun
beragam mulai dari dampak positif yang mampu meningkatkan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat hingga berdampak negatif pada kebudayaan lokal
setempat yang dikomersialisasikan. Meskipun memiliki fokus penelitian yang
berbeda, penelitian yang dilakukan Setiawan tersebut memiliki kesamaan
lokus dengan penelitian ini yaitu di kawasan pariwisata Tampaksiring.
Penelitian selanjutnya berjudul Persepsi Petani terhadap Penetapan
Subak sebagai Warisan Budaya Dunia (Studi Kasus Subak Pulagan Kawasan
Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar) oleh Sarita, Windia, dan
Sudarta pada tahun 2013. Penelitian ini mencoba melihat persepsi dan
ekspektasi petani Subak Pulagan setelah ditetapkannya kawasan tersebut
menjadi WBD dari tiga aspek yakni pola pikir, sosial, dan kebendaan.
Penelitian tersebut menyimpulkan persepsi yang timbul sangat positif dan
petani memiliki harapan yang besar untuk memiliki kehidupan yang lebih
baik di masa mendatang setelah ditetapkannya kawasan Subak Pulagan ini
menjadi WBD. Penelitian ini memiliki beberapa kesamaan di antaranya lokus
yang sama-sama berlokasi di kawasan Subak Pulagan serta kesamaan subjek
penelitian yakni para petani di lokasi tersebut. Meski demikian penelitian ini
memiliki perbedaan dari sisi fokus yaitu melihat respon petani setelah
berlangsungnya praktik pariwisata di kawasan Subak Pulagan.
16
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut, terlihat
bahwa penelitian terkait Relasi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata di
Persimpangan Jalan (Studi Komparasi Praktik Pariwisata pada Dua Subak di
Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar) belum dilakukan. Penelitian
ini dilakukan untuk menindaklanjuti hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sarita, Windia, dan Sudarta terkait persepsi petani setelah ditetapkannya DAS
Pakerisan sebagai WBD. Penelitian ini mengkaji praktik pariwisata, respon
dari petani lokal, serta sinergisitas sektor pertanian dan sektor pariwisata yang
kemudian dikomparasikan sehingga dapat lebih banyak menggali temuan-
temuan baru yang bervariasi. Hingga akhirnya temuan-temuan tersebut dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan pariwisata sinergis yang
berbasis subak di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
2.2 Landasan Konsep dan Teori Analisis
2.2.1 Teori Tourism Area Life Cycle
Tourism Area Life Cycle (TALC) ini diperkenalkan oleh Butler
pada tahun 1980. Menurut Butler (1980) sebuah area wisata pasti akan
mengalami sebuah siklus kehidupan area wisata yang terdiri dari empat
bagian, yaitu Discovery, Local Control, Institutionalism, dan Stagnation,
Rejuvenation or Decline. Namun, lebih lengkapnya TALC ini terbagi
menjadi tujuh tahapan yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai
berikut:
17
Tabel 2.1
Ciri-Ciri dari Masing-Masing Tahapan dalam TALC
No. Tahapan Ciri-Ciri
1. Eksplorasi
(Exploration)
a. Sebuah area wisata baru ditemukan oleh seseorang (seperti penjelajah, wisatawan, pelaku pariwisata,
masyarakat lokal, atau pemerintah).
b. Mulai dikunjungi oleh wisatawan walaupun dengan
jumlah yang sangat sedikit. c. Area wisata ini umumnya masih alami dan belum ada
fasilitas wisata bagi wisatawan.
2. Keterlibatan
(Involvement)
a. Jumlah kunjungan wisatawan mulai memperlihatkan peningkatan terutama pada hari-hari libur.
b. Pemerintah dan masyarakat lokal mulai ikut terlibat
dalam menunjang kegiatan kepariwisataan di area
wisata tersebut. Kontribusi yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat lokal misalnya
menyediakan fasilitas-fasilitas wisata, berinteraksi
dengan wisatawan, hingga mempermudah akses masuk walau dengan skala yang terbatas.
c. Mulai dilakukan promosi-promosi berskala kecil
untuk semakin memperkenalkan area wisata yang
bersangkutan.
3. Pembangunan
(Development)
a. Jumlah kunjungan wisatawan semakin meningkat.
b. Banyak investor asing dan lokal dari luar yang
berlomba-lomba menanamkan modalnya. c. Bermunculannya organisasi pariwisata, fasilitas
pariwisata yang lebih memadai, penyedia jasa
pelayanan wisatawan asing dan atraksi wisata buatan.
d. Masuknya tenaga kerja asing dan barang-barang impor guna menyesuaikan keinginan wisatawan.
4. Konsolidasi
(Consolidation)
a. Jumlah kunjungan wisatawan naik tapi tidak terlalu
signifikan. b. Kegiatan ekonomi diambil alih oleh perusahaan-
perusahaan jaringan internasional.
c. Berbagai macam fasilitas wisata dirawat, diperbaiki,
dibangun, dan ditingkatkan standarnya. d. Promosi semakin sering dilakukan.
5. Stagnasi
(Stagnation)
a. Jumlah kunjungan wisatawan telah mencapai puncak
tertingginya. b. Atraksi wisata alami sudah disesaki dengan atraksi
wisata buatan yang berdampak pada berubahnya citra
awal area wisata tersebut.
6. Penurunan
(Decline)
a. Fasilitas wisata yang ada beralih fungsi dari fungsi awalnya.
b. Wisatawan mulai jenuh dengan atraksi wisata yang
ada.
7. Peremajaan
(Rejuvenation)
a. Muncul inovasi-inovasi baru. b. Area wisata di tata ulang sehingga memberikan warna
baru.
Sumber: Butler dalam Pratiwi dkk, 2013.
18
Gambar 2.1
Tourism Area Life Cycle
Sumber: Butler, 1980.
Teori ini akan dipergunakan untuk mengidentifikasi level siklus
hidup area wisata yang sedang dialami oleh kawasan Subak Pulagan,
Tampaksiring dan kawasan Subak Penamparan, Pejeng Kawan dengan
berdasarkan pada praktik pariwisata yang berlangsung di kedua lokasi
tersebut.
2.2.2 Teori Irritation Index
Teori Irritation Index (Irridex) ini diperkenalkan oleh Doxey di
tahun 1976 untuk mengetahui sikap masyarakat lokal dalam
menanggapi kegiatan pariwisata temasuk wisatawan yang berada di
daerah mereka. Teori Irridex dari Doxey ini menggambarkan perubahan
sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara linier (Pitana dan
Gayatri, 2005). Lebih lanjut keduanya menjelaskan bahwa sikap yang
mula-mula positif berubah menjadi semakin negatif seiring dengan
pertambahan jumlah wisatawan. Terdapat empat fase dari sikap
19
masyarakat lokal tersebut yang dapat dijelaskan pada Tabel 2.2 berikut
ini.
Tabel 2.2
Ciri-Ciri dari Masing-Masing Fase dalam Teori Irridex
No. Fase Ciri-Ciri
1. Euphoria
Menerima kehadiran wisatawan dengan senang hati dan gembira, masyarakat tidak menuntut apa pun dari wisatawan,
belum ada perencanaan yang matang dan kontrol yang jelas
terhadap kegiatan pariwisata yang ada.
2. Apathy
Masyarakat mulai melayani wisatawan dengan mengharapkan timbal balik, interaksi yang terjadi lebih
kearah komersialisasi, perencanaan yang dilakukan lebih
banyak berkaitan dengan pemasaran.
3. Annoyance
Masyarakat hampir mencapai titik jenuhnya dalam menerima kehadiran wisatawan bahkan mulai terganggu dengan
kegiatan pariwisata yang ada, perencanaan yang dilakukan
lebih ke arah peningkatan sarana prasarana dan justru bukan untuk menekan pertumbuhan.
4. Antagonism
Masyarakat mulai terang-terangan menunjukkan
ketidaksukaan mereka terhadap wisatawan yang hanya
dianggap sebagai pembawa masalah, perencanaan dikaji ulang dengan menggencarkan promosi untuk menaikkan
kembali reputasi destinasi yang telah memburuk.
Sumber: Doxey dalam Nagel, 1999.
Dalam penelitian ini, teori Irridex dari Doxey akan dipergunakan
untuk mengetahui tingkat penerimaan petani terhadap sektor pariwisata
di masing-masing wilayah subaknya dengan berpedoman pada respon
para petani. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi respon
tersebut dengan berpedoman pada fase-fase yang terdapat pada teori ini
sehingga dapat diketahui bagaimanakah sikap masyarakat lokal
terhadap praktik pariwisata yang ada.
2.2.3 Tosun’s Typology of Participation
Tipologi partisipasi ini diperkenalkan pertama kali tahun 1999
yang di desain khusus untuk mengkaji partisipasi masyarakat dalam
20
sektor pariwisata karena mengelaborasikan tiap tipe partisipasi
masyarakatnya dengan refrensi khusus terkait industri pariwisata
(Tosun, 2006). Tosun membagi bentuk partisipasi masyarakat tersebut
ke dalam tiga tipe partisipasi beserta karakteristiknya masing-masing
yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.3
Karakteristik dari Masing-Masing Tipe dalam Tosun’s Typology of Participation
No. Tipe Karakteristik
1.
Partisipasi
Paksaan
(Coercive
Participation)
a. Partisipasi bersifat top-down, partisipasi pasif, dimanipulasi dan dibuat-buat yang diciptakan sebagai pengganti
partisipasi yang sesungguhnya.
b. Partisipasi yang terjadi umumnya secara tidak langsung.
c. Tidak ada pembagian keuntungan bagi masyarakat lokalnya. d. Masyarakat sering dihadapkan hanya pada satu pilihan
sehingga cenderung menerima segala keputusan.
e. Sangat terasa dominasi pihak luar dibandingkan masyarakat lokal setempat (paternalisme).
2.
Partisipasi
Terdorong
(Induced Participation)
a. Partisipasi yang muncul masih bersifat top-down, partisipasi
pasif, dan termasuk pseudo-participation (partisipasi semu).
b. Partisipasi yang terjadi umumnya secara tidak langsung. c. Masyarakat lokal mendapat kesempatan mendengarkan dan
didengarkan tetapi belum tentu pandangan mereka
dipertimbangkan oleh pengambil keputusan (tokenisme). d. Masyarakat mulai memperoleh hak dalam pembagian
keuntungan.
e. Terdapat alternatif pilihan dari suatu usulan yang ditawarkan dan terdapat pula feedback dari masyarakat.
3.
Partisipasi
Spontan
(Spontaneous Participation)
a. Partisipasi yang muncul telah bersifat bottom-up, partisipasi
aktif, dan termasuk partisipasi asli.
b. Partisipasi dilakukan secara langsung c. Masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan.
d. Masyarakat memiliki kesempatan untuk melakukan
perencanaan sendiri, diberikan tanggung jawab manajerial, serta wewenang yang sepenuhnya.
Sumber: Tosun, 2006.
Tipologi partisipasi masyarakat oleh Tosun ini digunakan untuk
mengetahui sinergisitas sektor pertanian dan sektor pariwisata di
masing-masing wilayah subak. Berbagai hasil temuan di lapangan akan
dianalisis untuk kemudian dicocokkan dengan karakteristik dari tiga
21
tipe yang ada. Karakteristik yang paling mendekati dengan keadaan di
lapangan akan menunjukkan sinergisitas sektor pertanian dengan sektor
pariwisata di lokasi penelitian.
2.2.4 Aspek-Aspek Praktik Pariwisata
Secara garis besarnya, pengertian pariwisata adalah perjalanan
yang dilakukan oleh seseorang keluar dari daerah asalnya dengan
jangka waktu lebih dari 24 jam untuk melepaskan penatnya. Ketika
melakukan perjalanan dan selama beraktivitas di daerah tujuan wisata
tersebut ia tidak mencari nafkah. Pernyataan yang serupa diungkapkan
oleh Sihite (dalam Marpaung dan Bahar, 2000) sebagai berikut:
“ Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan orang untuk
sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat
lain meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan
dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati kegiatan
pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang
beraneka ragam. ”
Pariwisata merupakan sebuah industri besar yang melibatkan
berbagai pihak dalam mendukung setiap kegiatan di dalamnya. Hal ini
sesuai dengan pengertian pariwisata menurut UU No.10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan yaitu sebagai berikut:
“ Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat,
pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. ”
Menurut Cooper dkk (1993) keberhasilan dari praktik pariwisata
yang dijalankan mengacu pada empat aspek dasar yang tergabung
22
dalam 4A yaitu attraction (atraksi), amenities (sarana prasarana
pariwisata), access (akses), dan ancillary services (organisasi pariwisata
dan promosi). Keempat komponen tersebut memiliki porsinya masing-
masing dalam menjalankan roda kegiatan pariwisata yang ada, yaitu
sebagai berikut:
a) Attraction merupakan daya tarik utama orang melakukan perjalanan,
atraksi memiliki dua fungsi yaitu sebagai daya pikat, perangsang
seseorang untuk melakukan perjalanan, dan sebagai pemberi
kepuasan kepada pengunjung.
b) Amenities merupakan jasa atau fasilitas-fasilitas yang disediakan
termasuk di dalamnya fasilitas restoran atau rumah makan, agen
perjalanan, serta toko-toko yang menyajikan barang khas daerah.
c) Access merupakan komponen penting dalam sistem kepariwisataan
yang tidak hanya mencakup aksesibilitas namun juga mencakup
moda transportasi yang tersedia.
d) Ancillary Services yang mencakup organisasi pariwisata dan
kegiatan promosi yang dapat dilakukan oleh pemerintah atau swasta
untuk semakin mengembangkan industri pariwisata yang ada.
Kegiatan promosi ini dapat dilakukan dengan memasang iklan
melalui kegiatan kehumasan maupun memberikan insentif, misalnya
potongan tiket masuk.
23
Berdasarkan amatan sementara terhadap praktik pariwisata yang
berlangsung di dua lokasi penelitian yakni kegiatan bersepeda yang
terdapat di Subak Pulagan, Tampaksiring dan pembangunan akomodasi
berupa villa di Subak Penamparan, Pejeng Kawan, maka definisi
praktik pariwisata yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi
menurut UU No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Selain itu
digunakan juga konsep 4A menurut Cooper dkk (1993) yang terdiri atas
attraction, amenities, access, dan ancillary services. Konsep-konsep ini
diperlukan untuk melihat praktik pariwisata yang berlangsung di
kawasan Subak Pulagan, Tampaksiring dan Subak Penamparan, Pejeng
Kawan.
2.2.5 Subak sebagai Warisan Budaya Dunia
Pada dasarnya warisan adalah sesuatu yang telah ada sejak masa
lampau, hidup bersama kita saat ini, dan akan kita berikan kepada
generasi penerus berikutnya. Hal ini didukung oleh definisi warisan
menurut UNESCO (2008) sebagai berikut:
“ Heritage is our legacy from the past, what we live with today, and
what we pass on to future generations. ”
Setelah Perang Dunia I yaitu tahun 1972, UNESCO mendorong
berbagai upaya untuk mengidentifikasi, melindungi, dan melestarikan
warisan budaya dan warisan alam yang ada di seluruh dunia. Warisan
budaya yang dimaksud yaitu monumen, areal bangunan, dan situs yang
memiliki nilai sejarah, nilai estetika, nilai arkeologi, nilai etnologi,
24
ataupun nilai antropologi. Sementara warisan alam adalah formasi fisik,
biologis, dan geografis yang merupakan habitat dari hewan dan
tumbuhan yang dilindungi, serta area yang memiliki nilai penelitian,
nilai konservasi, dan nilai estetis (UNESCO, 2008).
WBD sangat erat kaitannya dengan kegiatan pariwisata.
Keterkaitan tersebut terlihat dari banyaknya situs-situs WBD yang
menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan. Keberadaan WBD ternyata
mampu mewujudkan pariwisata berkelanjutan di suatu destinasi wisata.
Menurut UNESCO (2008) terdapat tujuh aksi untuk meningkatkan
kemampuan WBD dalam mendorong terwujudnya pariwisata
berkelanjutan tersebut, yaitu:
a) Membangun kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu
mengelola situs WBD dengan menekankan pada perencanaan
pengembangan pariwisata berkelanjutan.
b) Melatih masyarakat lokal untuk dapat berpartisipasi dan memperoleh
keuntungan dari kegiatan pariwisata yang ada.
c) Mempromosikan produk-produk lokal hingga ke tingkat
internasional.
d) Meningkatkan kepedulian dan membangun kebanggaan masyarakat
lokal melalui kampanye konservasi.
e) Menyisihkan keuntungan pariwisata yang didapat untuk kepentingan
konservasi dan perlindungan terhadap situs WBD.
25
f) Berbagi keahlian dan pengetahuan dengan situs dan area yang
dilindungi lainnya.
g) Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya perlindungan
terhadap WBD yang menjadi bagian industri pariwisata.
Salah satu situs WBD yang memiliki daya tarik wisata dimata
wisatawan tersebut salah satunya adalah subak yang terdapat di Pulau
Bali. Subak merupakan suatu sistem irigasi di Bali yang telah ada sejak
ratusan tahun lalu yaitu sekitar 1071 Masehi (Suwena dan Widyatmaja,
2013). Kata Subak berasal dari kata kasuwakan yang berarti saluran air.
Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik
sosioagraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang
mengelola air irigasi di lahan sawah (Windia dkk, 2005). Hal serupa
juga dijelaskan oleh Surata (2013) yang mendefinisikan subak sebagai
organisasi tradisional para petani di Bali yang terutama bertujuan untuk
mengelola irigasi air dan pola tanam padi di sawah.
Subak dipercaya merupakan wujud konkrit dari filosofi Tri Hita
Karana yang dimiliki oleh Bali. Hal ini dijelaskan secara rinci oleh
Surata (2013) yang mendeskripsikan komponen-komponen pendukung
subak dengan keterkaitannya terhadap aspek-aspek dalam Tri Hita
Karana yaitu sebagai berikut:
26
a) Parahyangan, yang terdiri dari dua hal mendasar yaitu pura dan
beragam upacara untuk memelihara hubungan harmonis dengan
Tuhan.
b) Pawongan, yang terdiri atas krama subak, organisasi subak, dan
peraturan atau awig-awig.
c) Palemahan, mencakup benda mati, makhluk hidup, dan lanskap
subak.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam sistem subak ini
terdapat suatu organisasi perkumpulan orang-orang yang tergabung
dalam krama subak. Krama subak merupakan masyarakat hukum adat
Bali yang bersifat sosioagraris-religius berdiri sejak dahulu kala dan
berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang
pengaturan air dan lain-lain untuk persawahan dari sumber air di dalam
suatu daerah (Perda Bali No. 02/DPRD/1972).
Meski secara keunikan budaya telah diakui sebagai WBD, tidak
semua subak di Bali masuk ke dalam situs tersebut. Lanskap subak
yang dilindungi oleh UNESCO yaitu lanskap Subak Catur Angga
Batukaru yang terdapat di Jatiluwih, Tabanan dan lanskap Subak
Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, Gianyar. Lanskap subak yang
berada di sepanjang DAS Pakerisan justru memiliki keunikannya
tersendiri karena memiliki nilai historis yang tinggi dan masih belum
banyak diketahui orang. DAS sendiri merupakan ekosistem yang terdiri
27
dari unsur utama vegetasi, tanah, air, dan manusia dengan segala upaya
yang dilakukan di dalamnya. Sebagai suatu ekosistem, di DAS terjadi
interaksi antara faktor biotik dan fisik yang menggambarkan
keseimbangan masukan dan keluaran berupa erosi dan sedimentasi.
Menurut UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, dalam pasal
1 ayat 11 disebutkan pengertian DAS adalah sebagai berikut:
“ Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan
daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. ”
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian DAS adalah
sebagai berikut:
a) Suatu wilayah daratan yang menampung, menyimpan kemudian
mengalirkan air hujan ke laut atau danau melalui satu sungai utama.
b) Suatu daerah aliran sungai yang dipisahkan dengan daerah lain oleh
pemisah topografis sehingga dapat dikatakan seluruh wilayah
daratan terbagi atas beberapa DAS.
c) Unsur-unsur utama di dalam suatu DAS adalah sumber daya alam
(tanah, vegetasi, dan air) yang merupakan sasaran dan manusia yang
merupakan pengguna sumber daya yang ada.
d) Unsur utama (sumber daya alam dan manusia) di DAS membentuk
suatu ekosistem dengan segala peristiwa yang terjadi pada suatu
unsur di dalamnya yang akan mempengaruhi unsur lainnya.
28
Berpedoman pada konsep-konsep yang telah dijelaskan, maka
akan digunakan beberapa konsep terkait penelitian ini yaitu konsep
WBD yakni sebuah kawasan yang memiliki ciri khas serta keunikan
kombinasi alam dan budaya dari negara yang bersangkutan. Kawasan
tersebut juga memiliki nilai sejarah, nilai estetika, nilai arkeologi, nilai
etnologi, dan nilai antropologi yang kuat, kemudian digunakan juga
konsep subak menurut Windia (2005) yakni suatu masyarakat hukum
adat yang memiliki karakteristik sosioagraris-religius, yang merupakan
perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah, serta
konsep DAS menurut UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Konsep-konsep itu akan dipergunakan untuk membatasi masing-masing
hal tersebut dalam penelitian ini.
2.2.6 Konsep Respon
Respon merupakan balasan atau tanggapan seseorang terhadap
sesuatu. Proses merespon dilatarbelakangi oleh tiga hal yakni sikap,
persepsi, dan partisipasi. Respon juga dapat memulai atau membimbing
tingkah laku individu yang bersangkutan karena tanggapan yang
dihasilkan merupakan pengaruh dari lingkungan tersebut (Swastha dan
Handoko, 1997).
Menurut Thursone (dalam Azwar, 2007) respon merupakan
jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka,
pemahaman yang mendetail, rasa takut, ancaman, dan keyakinan
tentang suatu hal yang khusus. Pengungkapan sikap dapat diketahui
29
melalui pengaruh atau penolakan, penilaian, suka atau tidak suka, serta
kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi.
Sementara itu Arida (2009) lebih spesifik menjelaskan respon
masyarakat adalah tanggapan yang diberikan oleh masyarakat setelah
adanya suatu program tertentu. Menurutnya terdapat tiga kategori jenis
respon masyarakat, yaitu respon positif (menerima), respon negatif
(tidak menerima atau kurang menerima), dan respon netral (setengah
menerima dan setengah menolak).
Lebih lanjut Blumer (dalam Ritzer, 2010) menjelaskan terdapat
sebuah model yang dikenal dengan model stimulus respon. Model ini
menekankan keutamaan peristiwa eksternal yakni tindakan manusia
dilihat sebagai respon terhadap rangsangan yang terjadi di dunia luar.
tindakan manusia dapat sekaligus disengaja dan kreatif, sang aktor
memperhitungkan, mengenal, menilai, dan memutuskan pilihan dari
berbagai alternatif tindakan yang ada.
Berdasar pada beberapa konsep terkait respon seperti yang telah
dijelaskan di atas, maka yang dimaksud dengan respon dalam penelitian
ini adalah sikap atau tanggapan baik positif, netral maupun negatif yang
muncul karena adanya rangsangan berupa interaksi yang terbentuk di
lingkungan objek yang bersangkutan. Definisi ini digunakan untuk
melihat respon masyarakat lokal di kawasan Subak Pulagan,
Tampaksiring dan kawasan Subak Penamparan, Pejeng Kawan yang
timbul karena adanya praktik pariwisata di lokasi tersebut.
30
2.2.7 Konsep Petani
Petani adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan
pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Secara garis besar
terdapat tiga jenis petani, yaitu petani pemilik lahan, petani pemilik
yang sekaligus juga menggarap lahan, dan buruh tani. Petani umumnya
bertempat tinggal di perdesaan dan sebagian besar di antaranya,
terutama yang tinggal di daerah-daerah yang padat penduduk seperti
Asia Tenggara, hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu dalam UU No. 19 Tahun 2013 Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang dimaksud dengan petani
dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 3 sebagai berikut:
“ Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau
beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. ”
Kehidupan petani identik dengan kehidupan perdesaan. Marzali
(2003) membedakannya menjadi peladang atau pekebun, peisan (dari
bahasa Inggris Peasant), dan petani pengusaha atau farmer. Peasant
atau yang biasa juga disebut sebagai petani kecil, merupakan golongan
terbesar dalam kelompok petani di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Dalam kesesuaiannya dengan konteks yang diteliti dalam
penelitian ini, maka pengertian petani akan mengacu pada definisi yang
telah dijelaskan dalam UU No.19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
31
petani dalam penelitian ini adalah warga negara Indonesia perseorangan
dan/atau bersama keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang
tanaman pangan.
2.2.8 Konsep Wisatawan
Wisatawan merupakan sebutan bagi seseorang yang melakukan
perjalanan wisata (Pitana dan Gayatri, 2005) yang juga sesuai dengan
pendapat Yoeti (1996) berikut ini.
“ Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan, dalam bahasa Inggris
dapat disebut dengan istilah traveler. ”
Meski wisatawan mengunjungi suatu destinasi wisata selama
beberapa hari, namun tujuannya hanya untuk bersenang-senang dan
bukan untuk bekerja, hal ini dinyatakan jelas berdasarkan United
Nation Conference on Travel and Tourism yang diselenggarakan di
Roma pada tahun 1963 (dalam Pitana dan Gayatri, 2005) berikut.
“ Setiap orang yang mengunjungi negara yang bukan merupakan
tempat tinggalnya, untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari
pekerjaan atau penghidupan dari negara yang dikunjunginya.”
Beragamnya jenis pariwisata yang berkembang saat ini, maka
beragam pula jenis wisatawan yang ada sesuai dengan aktivitas wisata
yang dilakukan oleh wisatawan yang bersangkutan. Jenis wisatawan
yang umumnya ditemui di Bali adalah wisatawan massal yang datang
dengan jumlah besar secara bersamaan. Hal ini tidak terlepas dari
semakin menjamurnya budget hotel dan city hotel yang saling bersaing
menawarkan harga termurah sebagai salah satu ciri berkembangnya
32
mass tourism di Bali saat ini. Selain itu, jenis wisatawan lainnya yakni
ekowisatawan juga mulai melirik berbagai aktivitas wisata alternatif
yang tumbuh di pelosok-pelosok Bali. Ekowisatawan merupakan jenis
wisatawan yang peduli terhadap lingkungan serta pro terhadap
masyarakat lokalnya.
Weaver (2001) membedakan ekowisatawan menjadi dua tipe
sesuai dengan temuannya di Australia. Tipologi ekowisatawan tersebut
dikelompokkan dengan melihat jenis aktivitas ekowisata yang
dilakukan oleh ekowisatawan yang bersangkutan sehingga terdapat dua
spektrum, yakni ekowisatawan hard activity dan ekowisatawan soft
activity (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1).
Berdasarkan Gambar 2.1 terlihat bahwa ekowisatawan hard activity
merupakan jenis wisatawan yang aktif dengan memiliki ciri-ciri
berkomitmen terhadap lingkungan, berupaya meningkatkan
keberlanjutan, aktivitasnya tergolong spesial dan perjalanan panjang,
berskala kecil, serta menekankan pada pengalaman personal.
Gambar 2.2
Tipologi Ekowisatawan
Sumber: Weaver, 2001.
33
Sementara itu ekowisatawan soft activity memiliki ciri-ciri kurang
berkomitmen terhadap lingkungan, tidak memperhatikan keberlanjutan,
aktivitasnya tidak spesifik, berskala besar, dan menginginkan pelayanan
yang tinggi sehingga tergolong ekowisatawan pasif. Tipologi
ekowisatawan menurut Weaver (2001) inilah yang akan digunakan
untuk mengklasifikasikan jenis wisatawan yang berkunjung ke Subak
Pulagan, Tampaksiring dan Subak Penamparan, Pejeng Kawan.
2.2.9 Alih Fungsi Lahan dalam Sektor Pariwisata
Utomo dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan adalah
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian
peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara
garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan yang makin
bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan
yang lebih baik. Hal ini ditegaskan oleh Pasandaran (2006) yang
menyatakan terdapat tiga faktor penyebab alih fungsi lahan yaitu
kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan
peningkatan jumlah penduduk.
Ada beberapa penyebab tingginya alih fungsi lahan di antaranya
rendahnya tingkat keuntungan bertani padi sawah, tidak dipatuhinya
peraturan tata ruang (lemahnya penegakkan hukum tentang tata ruang),
34
keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalih
fungsian lahan sawah, dan rendahnya koordinasi antara lembaga dan
departemen terkait dengan perencanaan penggunaan lahan (Agus dkk,
2001). Dalam kaitannya dengan pariwisata Bali, alih fungsi lahan ini
terjadi karena tingginya tingkat permintaan terhadap sarana sarana
pariwisata. Hal ini juga dipengaruhi oleh bentuk pariwisata yang
dikembangkan yaitu pariwisata massal.
Definisi alih fungsi lahan menurut Utomo dkk (1992) akan
dijadikan acuan dalam penelitian ini. Sehingga alih fungsi lahan dalam
penelitian ini adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi
lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan
potensi lahan itu sendiri. Konsep ini digunakan untuk menggambarkan
alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan Subak Penamparan, Pejeng
Kawan.
2.2.10 Pariwisata Berbasis Masyarakat sebagai Bentuk Sinergi Sektor
Pertanian dan Sektor Pariwisata
Sinergi tidak jauh berbeda dengan kerjasama. Hal ini terlihat dari
asal kata sinergi yaitu syn-ergo dari bahasa Yunani yang berarti
bekerjasama (Hampden-Turner, 1990). Walton (1999) juga menegaskan
sinergi adalah hasil dari kerjasama (co-operative effort), sehingga
kerjasama merupakan inti untuk menghasilkan kualitas sinergi yang
maksimal. Meski demikian, sesungguhnya sinergi lebih dari sekedar
35
bekerjasama, karena bersinergi merupakan suatu creative cooperation
karena mampu menciptakan solusi atau gagasan yang lebih baik dan
penuh inovasi baru (Covey, 1989).
Sementara itu Ansoff (1968) dalam lingkup kebijakan bisnis
mendefinisikan sinergi sebagai suatu efek yang diperoleh dari
kombinasi berbagai sumber daya organisasi, yang dapat menghasilkan
sesuatu yang nilainya lebih besar dari jumlah nilai masing-masing
bagiannya. Hal serupa juga dinyatakan oleh Kanter (1989) yang
menjelaskan sinergi adalah interaksi dari usaha yang menghasilkan
keuntungan lebih besar dan melampaui apa yang dapat dilakukan oleh
masing-masing unit jika melakukannya sendiri-sendiri. Sinergi ini
dianggap sebagai suatu gagasan baru yang terbentuk dari berbagai
macam gagasan yang diajukan oleh banyak pihak dan dilandasi oleh
pola pikir atau konsep baru. Lebih lanjut Sulasmi (2006) menambahkan
gagasan baru tersebut diperoleh dari hasil perpaduan antara cara-cara
untuk menyelesaikan masalah dengan gagasan yang telah dijalankan
oleh pihak-pihak yang saling percaya dan bersikap saling mendukung.
Untuk menciptakan sinergi antara beberapa bagian berbeda yang
dalam hal ini yaitu sektor pertanian dan sektor pariwisata tentu
diperlukan keterlibatan kedua belah pihak. Keterlibatan tersebut dapat
terlihat dari kontribusi yang diberikan masing-masing sektor demi
terwujudnya praktik pariwisata tersebut. Kontribusi itu sendiri memiliki
36
makna keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan.
Sehingga dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi ataupun tindakan.
Jika dikaitkan dengan pariwisata, kontribusi yang diberikan dapat
dilihat dari segi ekonomi secara tidak langsung maupun langsung
(Wahab, 1985), yaitu sebagai berikut:
a) Kontribusi langsung, antara lain kontribusi terhadap neraca
pembayaran dan kontribusi bagi penyedia lapangan kerja dalam
mendistribusikan pendapatan.
b) Kontribusi tidak langsung, antara lain multiplier effect, hasil dalam
memasarkan produk-produk pariwisata, dan hasil untuk sektor
pemerintah.
Kontribusi tersebut nantinya akan memperlihatkan apakah sektor
pertanian dan sektor pariwisata telah bersinergi untuk menjalankan
pariwisata yang ada. Pariwisata yang dimaksud tentu pariwisata
berbasis masyarakat yang pro terhadap keadaan lokal setempat. Secara
umum pariwisata berbasis masyarakat lokal atau yang juga dikenal
dengan istilah Community Based Tourism (CBT) adalah sebuah konsep
pengembangan suatu destinasi wisata melalui pemberdayaan
masyarakat lokal yang masyarakatnya turut andil dalam perencanaan,
pengelolaan, dan pemberian suara berupa keputusan dalam
pembangunannya. Jenis pariwisata ini merupakan alternatif dari
pariwisata mainstream yang ada saat ini (Goodwin dan Santilli, 2009)
37
Masyarakat yang terlibat dalam CBT memiliki kendali yang besar
dalam keterlibatannya untuk mengembangkan dan mengelola kegiatan
pariwisata yang mampu memberikan keuntungan ekonomi tidak hanya
bagi masyarakat yang terlibat langsung, namun juga bermanfaat bagi
masyarakat yang terlibat secara tidak langsung karena menimbulkan
multiplier effect (WWF International, 2001; Häusler dan Strasdas,
2003). Pengelolaan dengan konsep CBT ini juga sesuai dengan prinsip-
prinsip dalam pariwisata berkelanjutan karena skalanya yang kecil
namun mampu memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat lokal
(The Mountain Institute, 2000).
Pernyataan serupa juga dijelaskan oleh Suansri (2003) sebagai
berikut:
“ CBT adalah pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan
lingkungan, sosial, dan budaya. CBT merupakan alat bagi
pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan atau dengan kata lain CBT merupakan alat bagi pembangunan pariwisata
berkelanjutan. ”
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka konsep yang akan
digunakan dalam penelitian ini yaitu konsep sinergi menurut Kanter
(1989), yakni interaksi dari usaha yang menghasilkan keuntungan lebih
besar dan melampaui apa yang dapat dilakukan oleh masing-masing
unit jika melakukannya sendiri-sendiri, kemudian digunakan juga
konsep kontribusi yaitu segala sesuatu yang diberikan oleh pelaku
pariwisata kepada petani lokal dan sebaliknya di masing-masing
wilayah berlangsungnya praktik pariwisata tersebut yang dapat berupa
38
materi ataupun non-materi, serta digunakan pula definisi pariwisata
berbasis masyarakat oleh Suansri (2003). Konsep-konsep tersebut akan
digunakan untuk melihat sinergi yang tercipta dari keterkaitan sektor
pertanian dengan sektor pariwisata dalam menjalankan praktik
pariwisata di kawasan Subak Pulagan, Tampaksiring dan kawasan
Subak Penamparan, Pejeng Kawan.