1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

117
Ekstraksi Astasantin dari Tepung Kulit Udang dengan Metode Maserasi untuk Uji Aktivitas Antioksidan Skripsi Disusun untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh Erriska Rahma Putri 3325102418 Program Studi Kimia JURUSAN KIMIA i

Transcript of 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Page 1: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Ekstraksi Astasantin dari Tepung Kulit Udang dengan Metode Maserasi untuk Uji Aktivitas Antioksidan

Skripsi

Disusun untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains

OlehErriska Rahma Putri

3325102418

Program Studi KimiaJURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2014

i

Page 2: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

ii

ABSTRAK

Erriska Rahma Putri. Ekstraksi Astasantin dari Tepung Kulit Udang

dengan Metode Maserasi untuk Uji Aktivitas Antioksidan. Skripsi. Jakarta:

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri

Jakarta. 2014.

Telah dilakukan ekstraksi Astasantin dari tepung kulit udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan rasio perbandingan antara tepung kulit udang dengan pelarut, terhadap besar ekstrak Astasantin yang dihasilkan. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas antioksidan ekstrak yang didapat. Dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan FTIR. Setelah proses karakterisasi ekstrak diukur konsentrasinya menggunakann KCKT dan diuji aktivitas antioksidannya dengan metode DPPH. Waktu optimum untuk ekstraksi Astasantin dari tepung kulit udang dengan metode maserasi yaitu selam 5 hari. Rasio perbandingan optimum antara tepung kulit udang dengan pelarut pada proses maserasi yaitu, sebanyak 1:8 (5 gram tepung kulit udang dalam 40 mL pelarut aseton). Pengukuran panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer UV-Vis menghasilkan nilai 468 nm, hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa senyawa ekstrak yang dihasilkan berupa senyawa Astasantin. Karakterisasi spektrum infra merah menguatkan indikasi bahwa gugus fungsi yang terkandung dalam ekstrak merupakan gugus fungsi senyawa Astasantin, ini dibuktikan dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 3369,64 cm-1, 2924,09 cm-1, 1712,79 cm-1, dan 1620,21 cm-1. Hasil pengukuran konsentrasi ekstrak Astasantin menggunakan KCKT yaitu sebesar 7,466 ± 0,05 ppm. Uji aktivitas antioksidan ekstrak Astasantin dengan metode DPPH memberikan nilai IC50 sebesar 338,500 ppm.

Kata kunci : Astasantin, Tepung Kulit Udang, Pengaruh Waktu Maserasi, Pengaruh Rasio Pelarut, Spektrofotometer UV-Vis, Fourier Transform Infrared (FTIR), Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), Uji Aktivitas Antioksidan, Metode DPPH.

Page 3: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan proposal yang berjudul “Ekstraksi Astasantin dari Tepung

Kulit Udang dengan Metode Maserasi untuk Uji Aktivitas Antioksidan”.

Proposal ini disusun sebagai salah satu prasyarat lulus dalam mata kuliah

Skripsi.

Penulis tidak dapat menyelesaikan proposal ini tanpa bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Dr. Riskiono Slamet, M.Sc. sebagai dosen pembimbing I.

2. Dr. Erdawati, M.Sc sebagai dosen pembimbing II.

3. Dr. Yusmaniar, M.Si sebagai dosen mata kuliah Skripsi.

4. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan doa.

5. Segenap pihak yang telah berperan dalam proses penyelesaian

proposal ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak

kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari pembaca. Semoga proposal ini dapat memberikan manfaat bagi

pembaca pada khususnya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada

umumnya.

Jakarta, 16 Juni 2014

Penulis

ii

Page 4: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

iv

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK......................................................................................... i

KATA PENGANTAR......................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................... iii

DAFTAR TABEL............................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR.......................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................ viii

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .................................................................... 1

1.2. Identifikasi Masalah ............................................................ 2

1.3. Pembatasan Masalah ......................................................... 3

1.4. Perumusan Masalah ........................................................... 3

1.5. Tujuan Penelitian ................................................................ 4

1.6. Manfaat Penelitian .............................................................. 4

II. LANDASAN TEORI

2.1. Kajian Teori.......................................................................... 5

2.1.1. Udang...................................................................... 5

2.1.2. Ekstraksi ................................................................. 7

2.1.3. Astasantin (Pigmen Karotenoid) ............................. 15

2.1.4. Karotenoid Alami dalam Menangkal Radikal Bebas 16

2.1.5. Antioksidan.............................................................. 18

2.1.6. Ekstraksi Astasantin dari Tepung Udang dan

Astasantin Sebagai Antioksidan Alami.................... 22

2.1.7. Spektrofotometri UV-Vis.......................................... 23

2.1.8. Spektrofotometri Infra Merah................................... 26

iii

Page 5: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

v

2.1.8. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)................ 27

2.2. Kerangka Berpikir................................................................ 29

2.3. Penelitian Sebelumnya........................................................ 29

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tujuan Operasional Penelitian ........................................... 32

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 32

3.3. Alat dan Bahan .................................................................. 32

3.4. Prosedur ............................................................................ 33

3.4.1. Pembuatan Tepung Kulit Udang ............................ 33

3.4.2. Pengaruh Waktu Ekstraksi terhadap Jumlah

Ekstrak Astasantin yang didapatkan ..................... 33

3.4.3. Pengaruh Rasio Tepung Kulit Udang dengan

Pelarut Aseton terhadap Jumlah Ekstrak Astasantin

yang didapatkan...................................................... 33

3.4.4. Pemurnian Astasantin dan Penentuan

Panjang Gelombang Maksimum ............................ 34

3.4.5. Karakterisasi Ekstrak Astasantin

dengan Spektrofotometer Infra Merah ................... 35

3.4.6. Pengujian Konsentrasi Ekstrak Astasantin

dengan KCKT......................................................... 36

3.4.7. Uji Aktivitas Antioksidan dengan DPPH................... 37

IV. HASIL dan PEMBAHASAN

4.1. Preparasi Sampel ............................................................... 39

4.2. Pemurnian Sampel.............................................................. 40

4.3. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum........................ 42

4.4. Hasil Pengaruh Waktu Maserasi.......................................... 42

4.5. Hasil Pengaruh Rasio Tepung Kuli Udang dengan

Pelarut Aseton..................................................................... 44

4.6. Karakterisasi Ekstrak dengan FTIR..................................... 46

iv

Page 6: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

vi

4.7. Penentuan Konsentrasi Ekstrak dengan KCKT................... 48

4.8. Uji Antioksidan dengan Metode DPPH................................ 49

V. KESIMPULAN dan SARAN

5.1. Kesimpulan.......................................................................... 55

5.2. Saran................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 57

LAMPIRAN ...................................................................................... 63

v

Page 7: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

DAFTAR TABELHalaman

Tabel 1. Komposisi Kimia Limbah Udang dan Kulit Udang............... 6Tabel 2. Perbandingan Sifat Fisik dari Gas, Cairan, dan Fluida

Superkritis............................................................................ 11Tabel 3. Beberapa Jenis Pelarut Organik dan Sifat Fisiknya............. 14Tabel 4. Spektrum Cahaya Tampak dan Warna-Warna

Komplementer..................................................................... 24Tabel 5. Pengaruh Waktu Maserasi terhadap Jumlah Ekstrak

Astasantin............................................................................ 34Tabel 6. Pengaruh Rasio Tepung Kulit Udang : Volume Aseton

terhadap Jumlah Ekstrak Astasantin................................... 34Tabel 7. Interpretasi Spektra FTIR ................................................... 36Tabel 8. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan dengan DPPH ..................... 38Tabel 9. Panjang Gelombang Maksimum Pelarut untuk Ekstraksi

Astasantin............................................................................ 42Tabel 10. Hasil Absorbansi Ekstrak Astasantin dari Perlakuan Waktu

Maserasi.............................................................................. 43Tabel 11. Hasil Absorbansi Ekstrak Astasantin dari Perlakuan Rasio

Pelarut................................................................................. 44Tabel 12. Interpretasi Spektra FTIR.................................................... 46Tabel 13. Nilai Inhibisi terhadap Konsentrasi pada Uji Antioksidan..... 49Tabel 14. Kisaran Kekuatan Potensi Antioksidan................................ 51

DAFTAR GAMBAR

Halaman

i

vi

Page 8: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

ii

Gambar 1. Alat Soklet ............................................................................ 8

Gambar 2. Alat Craig ............................................................................. 9

Gambar 3. Model Kerja Alat Craig.......................................................... 10

Gambar 4. Struktur β-Karoten dan Astasantin........................................ 16

Gambar 5. Diagram Blok Spektrofotometer............................................ 25

Gambar 6................................................................................................ Spektra Infra Merah Ekstrak Astasantin 27

Gambar 7. Deskripsi kurva kalibrasi standar internal............................. 29

Gambar 8. Kerangka Berpikir................................................................. 30

Gambar 9. Alat Spektrofotometer Infra Merah ....................................... 35

Gambar 10. Pembuatan Tepung Kulit Udang ........................................ 39

Gambar 11. Ekstrak Astasantin Hasil Maserasi dengan 50 mL Aseton terhadap Waktu Maserasi ................................................. 40

Gambar 12. Ekstrak Astasantin Hasil Maserasi terhadap Volume Pelarut Aseton 50 mL Aseton Maserasi 5 Hari ............... 40

Gambar 13. Pemurnian Ekstrak Astasantin ........................................... 41

Gambar 14. Grafik Waktu Maserasi terhadap Nilai Absorbansi Ekstrak Astasantin ......................................................................... 43

Gambar 15. Grafik Rasio Pelarut Aseton terhadap Nilai Absorbansi Ekstrak Astasantin............................................................. 45

Gambar 16. Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsentrasi pada Metode DPPH................................................................. 52

vii

Page 9: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bagan Pembuatan Tepung Kulit Udang.............................. 63

Lampiran 2 Bagan Penentuan Waktu Optimum........................... 64

Lampiran 3 Bagan ekstraksi Astasantin (Penentuan Rasio Pelarut

Optimum)............................................................................. 65

Lampiran 4 Bagan Karakterisasi Ekstrak Astasantin dengan

Spektrofotometer Infra Merah.............................................. 66

Lampiran 5 Bagan Pengujian Konsentrasi Ekstrak Astasantin dengan

KCKT................................................................................... 67

Lampiran 6 Bagan Pembuatan Larutan DPPH 0,4 mM Uji Aktivitas

Antioksidan.......................................................................... 68

Lampiran 7 Bagan Pembuatan Larutan Blanko Uji Aktivitas

Antioksidan.......................................................................... 69

Lampiran 8 Bagan Pembuatan Larutan Uji Aktivitas Antioksidan 70

Lampiran 9 Pembuatan Larutan Kontrol Uji Aktivitas

Antioksidan.................................................................................. 71

Lampiran 10 Spektra Infra Merah Hasil Ekstrak Astasantin......... 72

Lampiran 11 Hasil Analisis Puncak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

untuk Standar Astasantin.................................................. 73

Lampiran 12 Hasil Analisis Puncak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

untuk Ekstrak Astasantin................................................... 74

Lampiran 13 Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Astasantin dengan

KCKT................................................................................. 75

Lampiran 14 Hasil Uji Antioksidan pada Ekstrak Astasantin dengan

DPPH................................................................................. 76

Lampiran 15 Perhitungan Aktivitas Antioksidan pada Metode DPPH

untuk Larutan Sampel Ekstrak Astasantin......................... 77

Lampiran 16 Perhitungan Aktivitas Antioksidan pada Metode DPPH

untuk Larutan Kontrol Asam Askorbat............................... 78

Lampiran 17 Perhitungan Nilai IC50 pada Metode DPPH........... 791viii

Page 10: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Udang adalah komoditas handalan sektor perikanan yang umumnya

diekspor dalam bentuk beku. Indonesia merupakan salah satu negara

pengekspor udang terbesar di dunia. Pada proses pembekuan udang

(cold storage) dihasilkan limbah sebanyak 60-70% dari berat udang,

dalam bentuk kepala dan kulit udang. Limbah sebanyak ini, jika tidak

ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi

lingkungan, karena dapat menyebarkan bau busuk dan ketidaknyamanan

bagi lingkungan sekitarnya.

Selama ini pemanfaatan limbah kulit udang hanya terbatas untuk

campuran pakan ternak serta sumber kitin dan kitosan. Salah satu alasan

pemanfaatan limbah kulit udang sebagai pakan ternak adalah kandungan

karotenoid yaitu pigmen Astasantin pada kulit udang yang dapat

meningkatkan warna kuning telur ayam dan itik serta mencerahkan warna

kulit ikan hias.

Penelitian mengenai karotenoid dari kulit udang sebagai pigmen,

masih jarang ditemukan dan umumnya penelitian terhadap kulit udang

lebih difokuskan untuk menghasilkan kitin dan kitosan. Hal ini

menyebabkan perlu dilakukan penelitian mengenai pigmen karotenoid

yang terdapat pada kulit udang.

Karotenoid pada kulit udang berada dalam bentuk kompleks

karoteno protein yang apabila diberi perlakuan panas dapat menyebabkan

renggangnya ikatan karotenoid dengan protein sehingga warna kulit

udang dapat mengalami perubahan dari gelap menjadi merah terang

(Hendry dan Houghton, 1996). Menurut Khanafari et al. (2007), jenis

pigmen karotenoid utama yang terdapat pada kulit udang ialah Astasantin.

Astasantin merupakan kelompok pigmen karotenoid jenis xantofil yang

memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan jenis pigmen

1

Page 11: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

2

karotenoid lainnya (Astawan dan Kasih, 2008; Hendry dan Houghton,

1996).

Salah satu metode untuk mengekstrak Astasantin dari limbah kulit

udang adalah maserasi dengan pelarut organik seperti aseton, metanol,

etanol, heksana, isopropanol, etil asetat, dan petroleum eter (Sachindra et

al., 2006). Menurut Mezzomo et al. (2011), metode maserasi dengan

pelarut aseton akan menghasilkan Astasantin bebas terbanyak diantara

jenis pelarut lainnya yaitu 131±2 g g−1ekstrak dan menurut Storebakken et

al. (2004), Astasantin bebas memiliki aktivitas antioksidan yang besar.

Selain itu metode maserasi dipilih karena tidak membutuhkan suhu tinggi

dalam pelaksanaannya sehingga sesuai dengan sifat pigmen Astasantin

yang yang tidak tahan pada suhu tinggi. Menurut Pu (2008), Astasantin

akan mulai terdegradasi pada suhu di atas 60°C, sehingga dalam

penelitian ini digunakan suhu maserasi yang tidak melebihi suhu 60°C.

Beberapa kegunaan Astasantin dalam industri pangan yaitu sebagai

pewarna, antioksidan, dan prekursor pembentukan vitamin A, (Hendry dan

Houghton, 1996). Oleh karena itu penelitian ini juga bertujuan untuk

melakukan uji terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak Astasantin dari

tepung kulit udang.

1.2. Identifikasi MasalahBerdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang dapat

muncul dalam penelitian ini diantaranya :

1. Bagaimana proses pembuatan tepung kulit udang dari limbah

udang?

2. Apa metode yang tepat untuk mengekstrak Astasantin dari tepung

kulit udang?

3. Apa pelarut yang tepat untuk menghasilkan absorbansi ekstrak

yang besar?

4. Berapa lama waktu ekstraksi yang diperlukan untuk menghasilkan

absorbansi ekstrak yang besar?

Page 12: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

3

5. Berapa perbandingan rasio pelarut dengan massa tepung udang

yang diperlukan untuk menghasilkan absorbansi ekstrak yang

besar?

6. Apakah ekstrak yang didapatkan berupa senyawa Astasantin?

7. Berapa besar konsentrasi ekstrak Astasantin yang terdapat pada

ekstrak tepung kulit udang?

8. Berapa besar aktivitas antioksidan ekstrak Astasantin tepung kulit

udang?

1.3. Pembatasan MasalahPada penelitian ini, masalah yang dikaji dibatasi untuk mengetahui

waktu ekstraksi dan perbandingan rasio pelarut dengan massa tepung

udang terhadap absorbansi ekstrak Astasantin, menginterpretasikan

senyawa hasil ekstrak yang didapat dengan spektrofotometer infra merah,

mengetahui konsentrasi ekstrak Astasantin dari tepung kulit udang

dengan metode KCKT, dan pengujian aktivitas antioksidan dilakukan

menggunakan uji penangkapan radikal 1,1-difenil-pikrilhidrazil (DPPH).

1.4. Perumusan MasalahBerdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah pada

penelitian ini adalah :

1. Berapa lama waktu ekstraksi yang diperlukan untuk menghasilkan

ekstrak Astasantin yang besar?

2. Berapa perbandingan rasio pelarut dengan massa tepung kulit

udang yang diperlukan untuk menghasilkan

ekstrak Astasantin yang besar?

3. Apakah ekstrak yang didapatkan berupa senyawa Astasantin?

4. Berapa besar konsentrasi ekstrak Astasantin yang terdapat pada

ekstrak tepung kulit udang yang diukur menggunakan KCKT?

5. Berapa besar aktivitas antioksidan ekstrak Astasantin tepung kulit

udang jika diuji dengan metode DPPH?

Page 13: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

4

1.5. Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mendapatkan ekstrak Astasantin dari

tepung kulit udang dengan absorbansi ekstrak yang besar dan

mengetahui besar aktivitas antioksidan ekstrak Astasantin tepung kulit

udang dengan menggunakan metode DPPH.

1.6. Manfaat PenelitianPenelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai guna limbah kulit

udang, memberi informasi mengenai absorbansi, konsentrasi, dan

aktivitas antioksidan ekstrak Astasantin dari tepung kulit udang.

Page 14: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

BAB IILandasan Teori

2.1. Kajian Teori2.1.1. Udang

Udang adalah hewan yang hidup di perairan, khususnya sungai

maupun laut atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua

genangan air yang berukuran besar, baik air tawar, air payau, maupun air

asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa

ribu meter di bawah permukaan. Udang diklasifikasikan sebagai berikut :

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea (binatang berkulit keras)

Sub Kelas : Malacrostraca (udang-udangan tingkat tinggi)

Super Ordo : Eucarida

Ordo : Decapoda (binatang berkaki sepuluh)

Sub Ordo : Natantia (kaki digunakan untuk berenang)

Famili : Palaemonidae, Penaidae

(Departemen Kelautan dan perikanan Republik Indonesia, 2003)

Udang biasa dijadikan makanan laut (seafood). Sama seperti

seafood lainnya, udang mengandung sejumlah besar kalsium dan protein,

tetapi rendah kalori. Makanan dengan bahan utama udang merupakan

sumber kolesterol.

Dewasa ini budi daya udang tambak telah berkembang dengan

pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan

dalam meningkatkan ekspor non migas dan merupakan salah satu jenis

biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Indonesia merupakan salah satu

negara pengekspor udang terbesar di dunia dengan nilai ekspor antara

850 juta sampai 1 miliar dollar AS per tahun (Departemen Kelautan dan

Perikanan Republik Indonesia, 2006). Udang yang diekspor diantaranya

dalam bentuk beku (block frozen) yang terdiri dari produk head on (utuh),

headless (tanpa kepala) dan peeled (tanpa kepala dan kulit).

5

Page 15: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

6

Usaha ekspor udang tersebut menghasilkan limbah udang dalam

jumlah cukup besar yang terdiri dari bagian kepala, kulit dan ekor. Limbah

udang yang dihasiikan dari proses pembekuan udang, pengalengan

udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 60-70 % dari berat

udang. Dengan demikian, jumlah bagian yang terbuang dari usaha

pengolahan udang cukup tinggi.

Di Indonesia saat ini ada sekitar 170 industri pengolahan udang

dengan kapasitas produksi sekitar 500.000 ton per tahun. Diperkirakan,

dari proses pengolahan oleh seluruh unit pengolahan yang ada, akan

dihasilkan limbah sebesar 325.000 ton per tahun (Departemen Kelautan

dan Perikanan Republik Indonesia, 2006). Limbah sebanyak itu, jika tidak

ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi

lingkungan sebab limbah tersebut dapat menimbulkan bau busuk yang

memberikan ketidaknyamanan pada lingkungan. Sebagian kecil dari

limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang,

petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak serta pupuk.

Pemanfaatan limbah udang tidak hanya memberikan nilai tambah

pada usaha pengolahan udang, tetapi juga dapat menanggulangi masalah

pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang

dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang baik (Manjang, 1993).

Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari

protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen dan abu. Kulit udang

mengandung protein sebanyak (25 % - 40%), kalsium karbonat (CaCO3)

(45% - 50%) dan kitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen

tersebut tergantung pada jenis udangnya (Focher et al., 1992). Komposisi

kimia limbah udang dan kulit udang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Limbah Udang dan Kulit Udang (No et al, 1989)

Komposisi Limbah Udang Kulit Udang

Protein kasar (%) 35,8 16,9

Lemak (%) 9,9 0,6

Page 16: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

7

Serat Kasar (%) 13,20 0

Abu (%) 38,1 63,6

Ca (%) 12,3 24,8

Astasantin (ppm) 78 108

Astasantin merupakan pewarna alam yang sehat dan aman

dimakan, maka perlu diuji metode esktraksi yang paling banyak

mengekstrak Astasantin. Pada penelitian digunakan metode ekstraksi

dengan cara maserasi menggunakan pelarut aseton.

2.1.2. EkstraksiEkstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan

menggunakan pelarut yang tidak saling campur. Pemindahan komponen

dari padatan ke pelarut pada ekstraksi padat-cair melalui tiga tahapan,

yaitu difusi pelarut ke pori-pori padatan atau ke dinding sel, di dalam

dinding sel terjadi pelarutan padatan oleh pelarut, dan tahapan terakhir

adalah pemindahan larutan dari pori-pori menjadi larutan ekstrak.

Ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh waktu ekstraksi, suhu, pengadukan,

dan banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne, 1987). Tingkat

ekstraksi bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan

yang diekstrak sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah

kontak antara bahan dan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan

baik. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu ekstraksi

bertahap, ekstraksi kontinyu, ekstraksi counter current dan ekstraksi fluida

super kritis.

a. Ekstraksi Bertahap

Ekstraksi bertahap adalah metode ekstraksi yang paling mudah dan

sederhana, dan pada pengerjaannya hanya memerlukan corong pisah.

Pada metode ini larutan sampel yang akan diekstrak, dimasukkan ke

dalam corong pisah, kemudian tambahkan pelarut yang sesuai. Campuran

Page 17: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

A schematic representation of a Soxhlet extractor1: Stirrer bar2: Still pot (the still pot should not be overfilled and the volume of solvent in the still pot should be 3 to 4 times the volume of the soxhlet chamber)3: Distillation path4: Thimble5: Solid6: Siphon top7: Siphon exit8: Expansion adapter9: Condenser10: Cooling water in11: Cooling water out

B

A

C

8

tersebut kemudian digoncang beberapa lama sampai komponen yang

diekstrak berada dalam kesetimbangan dengan komponen yang terdapat

dalam sampel. Diamkan larutan sampai pelarut dan larutan sampel

terpisah. Pelarut yang mengandung komponen sampel yang diekstrak

dipindahkan ke dalam wadah lain untuk dianalisis Iebih lanjut.

b. Ekstraksi Kontinyu

Ekstraksi kontinyu dapat dilakukan dengan menggunakan sokletasi.

Sokletasi dilakukan dengan pemanasan, sehingga uap yang timbul

setelah dingin secara kontinyu akan membasahi sampel, secara teratur

pelarut tersebut akan kembali kedalam labu dengan membawa senyawa

kimia yang terekstrak oleh pelarut tersebut. Pada gambar 1 menunjukkan

bagian dari alat soklet. Perangkat untuk sokletasi terdiri dari kolom

ekstraksi (B) yang dilengkapi dengan pipa-pipa penghubung di salah satu

kolom, labu bulat (A), kondesor dan alat pemanas.

Gambar 1. Alat Soklet (anonim, 2013)

Jika sampel yang akan diekstrak berupa zat padat, maka zat tersebut

dihaluskan, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tabung yang terbuat

dari kertas yang kalis air. Selanjutnya tabung (kertas yang berisi sampel)

Page 18: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

9

tersebut dimasukkan ke dalam kolom B. Lalu dimasukkan beberapa butir

batu didih kedalam labu A. Susun alat seperti gambar 1 sokletasi. Isi labu

A dengan pelarut. Kemudian alirkan air pendingin, nyalakan alat pemanas,

sehingga pelarut dalam labu A mendidih. Uap dari labu A naik akan naik

ke kolom B melalui pipa C. Dalam kolom B, uap dari pelarut akan

terkondensasi menjadi cair, dan setelah beberapa lama, sampel yang ada

dalam tabung kertas akan terendam dengan cairan pelarut.

Karena labu A terus dipanaskan, maka uap dari pelarutnya terus

menerus terbentuk, dan tabung B lama kelamaan akan penuh dengan

pelarut. Jika permukaan pelarut sama tinggi dengan permukaan pipa di

sisi soklet, secara otomatis pelarut ini akan masuk ke dalam labu A sambil

membawa komponen yang terlarut. Proses ini terus berlangsung selama

alat pemanas dinyalakan. Akhirnya pada labu A akan terkumpul

komponen yang diekstraksi, dan pada kolom B tinggal komponen yang

tidak terekstraksi.

c. Ekstraksi Counter Current (Ekstraksi Craig)

Sebuah metode multiple ekstraksi cair-cair adalah ekstraksi

berlawanan, yang memungkinkan pemisahan zat dengan koefisien

distribusi yang berbeda (rasio). Lyman C. Craig pada tahun 1943

menciptakan desain cerdas untuk metode ekstraksi berlawanan yang

dikenal sebagai alat Craig seperti pada gambar 2.

Gambar 2. Alat Craig. Dioperasikan secara manual yang terdiri dari 25 tabung ( E.

Efstathiou, 2000)

Page 19: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

10

Prinsip kerja alat Craig adalah ekstraksi berganda yang dilakukan

berulang-ulang seperti pada gambar 3. Dalam perhitungannya diandaikan

bahwa koefisien distribusi (Kd) = 1, dan volume fasa organik maupun

volume fasa air jumlahnya sama.

Gambar 3. Model Kerja Alat Craig ( E. Efstathiou, 2000)

d. Ekstraksi Fluida kritis

Ekstraksi fluida superkritis adalah suatu proses ekstraksi

menggunakan fluida superkritis sebagai pelarut. Teknologi ekstraksi ini

memanfaatkan kekuatan pelarut dan sifat fisik dari komponen murni atau

campuran pada temperatur dan tekanan kritisnya dalam keseimbangan

fase (Palmer, 1995). Fluida superkritis adalah fluida dengan tekanan dan

suhu di atas titik kritisnya (Mc Hugh dan Krukonis, 1986), yaitu suatu

keadaan dimana fluida berada dalam keadaan seimbang antara fase gas

dan fase cairnya. Untuk beberapa zat misalnya suhu dan tekanan

kritisnya ialah 31°C dan 73 atm.

Fluida kritis mempunyai kerapatan dan daya pelarutan yang sama

dengan pelarut-pelarut cair, namun mempunyai karakteristik tertentu yaitu

daya difusinya sangat cepat dan viskositasnya sama dengan viskositas

Page 20: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

11

gas. Daya pelarutan yang mirip cairan dan difusi yang mirip gas ini

menghasilkan kondisi yang ideal untuk mengekstraksi zat dari berbagai

bahan dengan tingkat perolehan yang tinggi dalam waktu yang singkat.

Kerapatan fluida super kritis yang dapat divariasikan dan dikendalikan

dengan mengatur tekanan dan suhu.

Tabel 2. Perbandingan Sifat Fisik Dari Gas, Cairan, dan Fluida Superkritis (Sumber

: Hübshmann, H.J., 2009)

FaseDensitas(g.cm-3)

Difusivitas(cm2.s-1)

Viskositas (g.cm-1.s-1)

Gas 10-3 10-1 10-4

Fluida Superkritis 0,1-1,0 10-3-10-4 10-3-10-4

Cair 1 <10-5 10-2

Biasanya untuk ekstraksi fluida super kritis digunakan gas CO2. Sifat

gas CO2 yang non polar, mudah mencair, dan mudah melarutkan

senyawa-senyawa organik yang non polar. Daya larut dan sifat kepolaran

gas CO2 dapat ditingkatkan atau dikurangkan dengan memfariasikan suhu

dan tekanan.Tetapi jika peningkatan suhu dan tekanan tidak dapat

meningkatkan kepolarannya, sehingga tidak dapat melarutkan senyawa-

senyawa non polar, maka perlu ditambahkan sedikit pelarut lain “modifier”

seperti metanol, isopropanol, asetonitril, air atau benzena. Kelarutan

komponen dalam fluida superkritis tergantung pada densitas dari pelarut,

juga afinitas fisik kimia dari zat terlarut terhadap pelarut.

Selain itu menurut jenis bahan yang diekstrak, ekstraksi dibedakan

menjadi padat-cair, yaitu dengan cara sokletasi, perkolasi dan maserasi

dengan atau tanpa pemanasan. Metode lain yang lebih sederhana dalam

mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan seluruh bahan

dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tak terlarut.

Page 21: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

12

a. Sokletasi

Ekstraksi dengan menggunakan alat soklet ini dipakai untuk

mengekstrak senyawa organik dari bahan alam seperti daun, akar, dan

batang. Keuntungan ekstraksi dengan metode ini yaitu sampel dan pelarut

yang diperlukan sedikit, proses ekstraksi berlangsung cepat, dan dapat

mengambil senyawa organik dengan optimal. Kekurangan metode ini yaitu

tidak baik digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang dapat rusak

karena pemanasan (Dinda, 2008).

b. Perkolasi

PerkoIasi adalah ekstraksi dengan mengalirkan pelarut melalui

serbuk sampel bahan alam yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini

yaitu sampel padat telah terpisah dari ekstrak. Kekurangan metode ini

adalah, pelarut tidak melarutkan komponen secara optimal (Dinda, 2008).

c. Maserasi

Maserasi adalah perendaman sampel dalam pelarut organik pada

temperatur ruangan. Saat perendaman, senyawa bahan alam dapat

terekstrak karena terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat

perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar (Lenny, 2006).

Keuntungan metode ini adalah peralatan yang digunakan sederhana dan

balk untuk senyawa bahan alam yang tidak tahan panas. Kekurangan dari

metode ini adalah membutuhkan waktu lama dan banyak pelarut.

Menurut Harborne (1987), metode maserasi digunakan untuk

mengekstrak jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan

senyawanya yang kemungkinan bersifat tidak tahan panas sehingga

kerusakan komponen tersebut dapat dihindari. Kekurangan dari metode

ini adalah waktu yang relatif lama dan membutuhkan banyak pelarut.

Ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan prinsip kelarutan.

Prinsip kelarutan adalah like dissolve like, yaitu (1) pelarut polar akan

melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut nonpolar

Page 22: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

13

akan melarutkan senyawa nonpolar, (2) pelarut organik akan melarutkan

senyawa organik. Ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman

dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda

bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimum, baik jumlah ekstrak

maupun senyawa aktif yang terkandung dalam contoh uji.

Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub

bermuatan positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat

terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom penyusunnya. Dengan

demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul yang lain yang juga

mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya polaritas dari

suatu pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya

(Adnan, 1997). Menurut Stahl (2003), konstanta dielektrik (ε) merupakan

salah satu ukuran kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan pelarut

untuk menyaring daya tarik elektrostatik antara isi yang berbeda.

Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa seperti

komponen fenolik, karotenoid, tannin, dan asam-asam amino. Pelarut non

polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak

yang mudah menguap. Metanol merupakan senyawa polar yang umum

disebut sebagai pelarut universal karena selain mampu mengekstrak

komponen polar juga dapat mengestrak komponen non polar seperti lilin

dan lemak

Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari

jaringan tumbuhan kering adalah dengan proses ekstraksi

berkesinambungan atau bertingkat dengan menggunakan beberapa

pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya (Harborne 1987). Ekstraksi

berkesinambungan dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut

nonpolar (misalnya n-heksan atau kloroform) dilanjutkan dengan pelarut

semipolar (etil asetat atau dietil eter) kemudian dilanjutkan dengan pelarut

polar (metanol atau etanol). Pada proses ekstraksi akan diperoleh ekstrak

awal (crude extract) yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar,

semipolar, dan polar. Hasil ekstrak yang diperoleh tergantung pada

Page 23: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

14

beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode

ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel contoh uji, kondisi dan waktu

penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut

terhadap jumlah contoh uji.

Pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi harus memenuhi

beberapa persyaratan yaitu pelarut tersebut merupkan pelarut terbaik

untuk bahan yang akan diekstraksi dan pelarut tersebut harus terpisah

dengan cepat setelah pengocokkan. Beberapa jenis pelarut organik yang

umum digunakan disertai sifat-sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Beberapa Jenis Pelarut Organik dan Sifat Fisiknya (Nur dan Adijuwana, 1989)

PelarutTitik Didih

(°C)Titik Beku

(°C)Konstanta Dielektrik

Dietil eter 35 -116 4,3

Karbon disulfit 46 -111 2,6

Aseton 56 -95 20,7

Kloroform 61 -64 4,8

MetanoI 65 -98 32,6

Tetrahidrofuran 66 -65 7,6

Di-isopropil eter 68 -60 3,9

N-heksan 69 -94 1,9

Karbon

tetraklorida

76 -23 2,2

Etil asetat 77 -84 6,0

Etanol 78 -117 24,3

Benzena 80 5,5 23

Siklolieksana 81 6,5 2,0

Isopropanol 82 -89 18,3

Air 100 0 78,5

Dioksan 102 12 2,2

Toluena 111 -95 2,4

Asam asetat

glacial

118 17 6,2

Page 24: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

15

N.N dimetil

formamida

154 61 34,8

Dietilenaglikol 245 -10 37,7

Kelarutan suatu zat di dalam pelarut bergantung pada jenis ikatan di

dalamnya apakah polar atau non polar. Zat yang polar seperti air hanya

larut di dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut di

dalam pelarut non polar.

Metode maserasi dengan pelarut organik telah digunakan untuk

mengekstrak karotenoid dari limbah kulit udang karena tidak memerlukan

suhu tinggi dalam pelaksanaannya (Sachindra et al., 2006). Menurut Pu

(2008), Astasantin yang merupakan jenis karotenoid utama dalam kulit

udang akan mulai terdegradasi pada suhu di atas 60°C. Karotenoid yang

terdapat pada kulit udang berikatan dengan protein membentuk kompleks

karotenoprotein sehingga dalam metode maserasi diperlukan jenis pelarut

organik yang dapat memutuskan ikatan karotenoid dengan protein

(Hendry dan Houghton, 1996).

2.1.3. Astasantin (Pigmen Karotenoid)Astasatin merupakan sebuah pigmen warna karotenoid. Nama

karotenoid berasal dari pigmen utama wortel (Daucus carota). Karotenoid

merupakan kelompok pigmen alami yang berperan cukup baik dalam

memberikan warna kuning, oranye, dan merah. Warna itu adalah akibat

dari adanya ikatan rangkap dua yang terkonyugasi. Makin banyak ikatan

rangkap yang terkonyugasi dalam molekul, pita serapan utama makin

bergeser ke daerah panjang gelombang yang lebih tinggi; akibatnya, rona

makin merah. Diperlukan minimum tujuh ikatan rangkap terkonyugasi

sebelum warna kuning yang dapat diserap timbul. Warna yang dihasilkan

dari karotenoid merupakan warna sitentik, namun telah dianggap ‘sama

dengan pewarna alam’ dan karena itu tidak perlu pemeriksaan toksikologi

secara ketat seperti bahan tambah lain (DeMan, 1997).

Page 25: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

β-Karoten Astasantin

16

Karotenoid merupakan golongan besar senyawa yang tersebar luas

dalam produk yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Pigmen ini

terdapat dalam ikan dan krustasea, sayur dan buah, telur, produk susu,

dan serealia. Pada hewan air senyawa karotenoid banyak ditemukan pada

kulit, kulit, dan kerangka luar (eksoskeleton). Selain itu, karotenoid juga

dapat ditemukan pada bakteri, kapang, ganggang, dan tanaman hijau

(Hendry dan Houghton,1996). Karotenoid yang terkandung pada hewan

disebabkan oleh aktivitas hewan tersebut yang mengkonsumsi tumbuh-

tumbuhan yang mengandung komponen karotenoid, seperti inisalnya

warna merah muda pada salmon dan kulit udang yang disebabkan

adanya komponen karotenoid jenis Astasantin yang berasal dari tumbuh-

tumbuhan laut yang dimakannya (Schwartz, 1994).

Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, karotenoid digolongkan

menjadi dua kelompok pigmen, yaitu karoten dan xantofil. Karoten

memiliki susunan kimia yang hanya terdiri dari gugus C dan H seperti

alfa, beta, dan gamma karoten, sedangkan xantofil terdiri atas gugus

atom C, H, dan O. Contoh-contoh dari senyawa yang termasuk golongan

xantofil yaitu kantaxantin, Astasantin, kapaxantin, rodoxanthin, dan

torularhodin (Hendry dan Houghton, 1996). Menurut Khanafari et al.

(2007), Astasantin merupakan jenis karotenoid utama yang terdapat

pada kulit udang.

Gambar 4. Struktur β-Karoten dan Astasantin (DeMan, 1997)

2.1.4. Karotenoid Alami dalam Menangkal Radikal BebasKarotenoid merupakan kelompok pigmen warna dan antioksidan

alami yang dapat meredam radikal bebas. Sebagai pigmen warna,

karetonoid dapat memunculkan warna kuning jingga dan merah pada

tanaman maupun kulit hewan (Gross, 1991; Roddrigues-Amaya, 2004;

Page 26: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

17

Stahl dan Sies, 2003). Selain sebagai pigmen warna, karotenoid juga

merupakan sumber prekursor vitamin A, antioksidan, peningkatan daya

tahan tubuh, dan pengubahan metabolisme kanker (Zeb dan Mehmod,

2004).

Ditinjau karotenoid sebagai penangakap radikal bebas (antioksidan),

maka karotenoid dapat berfungsi sebagai pemadam oksigen singlet dan

pendeaktifasi radikal bebas (Palozza dan Krinsky, 1992; dalam Rodriguez-

Amaya, 2001). Strategi pertahanan karotenoid adalah yang paling

mungkin dalam pencarian dua spesies oksigen berupa molekul singlet

oksigen (1O2) dan peroksida radikal. Lebih lanjut karotenoid adalah

deaktivator efektif terhadap sensitaizer elektron exitasi molekul, dengan

melibatkan generasi dari radikal dan singlet oksigen. Interaksi dari

karotenoid dengan 1O2 tergantung kekuatan pemadaman proses fisika,

dimana terlibat langsung energi transfer diantara kedua molekul. Energi

dari molekul singlet oksigen berpindah ke molekul karotenoid, selanjutnya

diperoleh ground state (keadaan dasar) oksigen dan ketriplet exitasi

karotenoid (Stahl dan Sies, 2003). Kelebihan energi dari molekul yang

tereksitasi akan ditransfer melalui mekanisme pelepasan energi.

Mekanisme karotenoid sebagai pemadam oksigen singlet adalah:1O2 + 1Karotenoid 3O2 + 3Karotenoid

Energi akan dilepas melalui interaksi rotasi dan vibrasi antara

karotenoid triplet dengan pelarut untuk mengembalikan karotenoid

kekeadaan semula (He, dkk., 2000; Palva dan Russel, 1999; Pokorny dan

Gordon, 2001, Stahl dan Sies, 2003).3Karotenoid* 1Karotenoid + energi panas

Fungsi karotenoid sebagai pendeaktivasi radikal bebas terjadi

melalui proses transfer elektron. Reaksi karotenoid sebagai

pendeaktivasi radikal bebas adalah:

R* + Karotenoid RH + Karotenoid*

R’ + Karotenoid R- + Karotenoid+

Page 27: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

18

Karotenoid jenis Astasantin yang merupakan karotenoid utama pada

hewan golongan crustacea seperti lobster, udang, dan kepiting

merupakan jenis karotenoid yang memiliki aktifitas antioksidan terkuat

(Astawan dan Kasih, 2008). Menurut Naguib (2000), aktifitas antioksidan

pada Astasantin 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan jenis karotenoid

lainnya. Aktivitas antioksidan pada karotenoid didasarkan pada

kemampuan karoten untuk menangkal singlet oxygen dan radikal proksil.

Kemampuan karotenoid dalam menangkal singlet oxygen sangat

bergantung pada jumlah ikatan rangkap molekul yang terkonjugasi.

2.1.5. AntioksidanAntioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,

memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus,

antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya

reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid.

Tubuh dapat menghasilkan antioksidan yang berupa enzim yang

aktif bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut juga

ko-faktor. Antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh antara lain:

1. Superoksida dismulase

Antioksidan ini merupakan enzim yang bekerja bila ada

pembantunya yaitu berupa mineral-mineral seperti tembaga, mangan

yang bersumber pada kacang-kacangan, padi-padian. Dengan demikian

sangat diperlukan sekali mengkonsumsi bahan tersebut di atas.

Sayangnya kita lebih senang mengkonsumsi bahan yang enak dimakan.

Bagi orang yang mampu, kekurangan mineral dapat dilakukan dengan

meminum multivitamin dan suplemen mineral tetapi bagi orang yang

hidupnya biasa saja lebih balk mengkonsumsi mineral dari tanaman

karena banyak juga tanaman yang dapat menghasilkan SOD antara lain

brokoli, bayam, sawi dan juga hasil-hasil olahan seperti tempe.

2. Glutathione peroksidase

Page 28: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

19

Adalah enzim yang berperan aktif dalam menghilangkan H2O2 dalam

tubuh dan mempergunakannya untuk merubah glutathione (GSH) menjadi

glutathine teroksidasi (GSSG).

Enzim tersebut mendukung aktivitas enzim SOD bersama-sama

dengan enzim katalase dan menjaga absorbansi ekstrak oksigen akhir

agar stabil dan tidak berubah menjadi pro-oksidan. Makanan yang kaya

glutahione adalah kubis, brokoli, asparagus, alpukat dan kenari.

Glutathione sangat penting sekali melindungi selaput-selaput sel.

Senyawa ini merupakan tripeptida yang terdiri dari asam amino glisin,

asam glutamat dan sistein.

3. Katalase

Enzim katalase di samping mendukung aktivitas enzim SOD juga

dapat mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal

bebas menjadi oksigen dan air.

Enzim-enzim tersebut di atas dalam bekerjanya sengat

membutuhkan mineral-mineral penyusun sebagai berikut :

• Copper (Cu)

• Zinc (Zn)

• Selenium (Se)

• Manganese (Mn)

• Besi (Fe)

Berdasarkan sumbernya, antioksidan di luar tubuh dapat

dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik

(antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan

antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Kochar and

Rossell, 1990).

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa

antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b)

senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses

pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan

ditambahkan ke makanan sebagai bahan tam bahan pangan (Pratt, 1992).

Asupan bahan makanan yang mengandung antioksidan kuat

dibutuhkan bila kapasitas antioksidan dalam tubuh menurun. Terdapat

Page 29: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

20

banyak sekali jenis makanan yang memiliki kekuatan antioksidan,

misalnya β-karoten, vitamin A, E dan C.

Terdapat sekitar 732 jenis antioksidan dari golongan karotenoid.

Karotenoid tidak bisa disintesis oleh tubuh, karena itu antioksidan jenis ini

diperoleh dari asupan makanan. Terdapat dua kelas antioksidan dari

kelompok karotenoid, yaitu xantofil dan karoten. Antioksidan dari kelas

karoten misalnya β-karoten dan likopen, sedangkan dari kelas xantotil

contohnya Iutein dan Astasantin. Berdasarkan fungsinya, antioksidan

dapat dibedakan atas:

1. Antioksidan primer

Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal

bebas baru, karena antioksidan ini dapat merubah radikal bebas yang ada

menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum sempat

bereaksi. Antioksidan primer yang ada dalam tubuh adalah enzim

superoksida dismutase. Enzim ini sangat penting karena dapat melindungi

sel-sel tubuh dari serangan radikal bebas. Kerja enzim ini sangat

dipengaruhi oleh mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium

yang terdapat dalam makanan.

2. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi

menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai

sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contoh antioksidan

sekunder adalah vitamin E, vitamin C dan beta karoten yang dapat

diperoleh dari buah-buahan.

3. Antioksidan tersier

Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel

dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang

termasuk kelompok ini adalah jenis enzim, misalnya metionin sulfoksidan

reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim ini

bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker.

4. Oxygen scavenger

Page 30: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

21

Antioksidan yang termasuk oxygen scavenger mengikat oksigen

sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi. misalnya vitamin C.

5. Chelator /sesquesstrant

Antioksidan jenis ini mengikat logam yang mampu mengkatalisis

reaksi oksidasi, misalnya asam sitrat dan asam amino.

Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat

oksidasi Iemak. Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi,

propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal

asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak

stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen. Pada

tahap propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen

membentuk radikal peroksi. Radikal peroksi akan menyerang asarn lemak

menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru.

Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi

lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek

seperti aldehida dan keton yang bertanggungjawab atas flavor makanan

berlemak (Gordon, 1990).

Proses penuaan dan penyakit degeneratif seperti kanker

kardiovaskuler, penyumbatan pembuluh darah yang meliputi

hiperlipidemik, aterosklerosis, stroke, dan tekanan darah tinggi serta

terganggunya sistem imun tubuh dapat disebabkan oleh stres oksidatif.

Stres oksidatif adalah keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan

prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas

atau reactive oxygen species (ROS) dapat menimbulkan kerusakan

seluler dan genetika. Kekurangan zat gizi dan adanya senyawa xenobiotik

dari makanan atau lingkungan yang terpolusi akan memperparah keadaan

tersebut.

Umumnya masyarakat Jepang atau beberapa masyarakat Asia

jarang memiliki masalah dengan berbagai penyakit degeneratif. Hal ini

disebabkan oleh menu sehat tradisionalnya yang kaya zat gizi dan

komponen bioaktif. Zat-zat ini mempunyai kemampuan sebagai

Page 31: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

22

antioksidan, yang berperan penting dalam menghambat reaksi kimia

oksidasi yang dapat merusak makromolekul dan dapat menimbulkan

berbagai masalah kesehatan.

Peran positif antioksidan terhadap penyakit kanker dan

kardiovaskuler (terutama yang diakibatkan oleh aterosklerosis

(penyumbatan) dan penyempitan pembuluh darah) juga banyak diteliti.

Antioksidan berperan dalam melindungi lipoprotein densitas rendah (LDL)

dan sangat rendah (VLDL) dari reaksi oksidasi. Pencegahan

aterosklerosis ini dapat dilakukan dengan menghambat oksidasi LDL

menggunakan antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan pangan.

Untuk kanker dan tumor, banyak ilmuwan spesialis setuju bahwa penyakit

ini berawal dari mutasi gen atau DNA sel. Perubahan pada mutasi gen

dapat terjadi melalui mekanisme kesalahan replikasi dan kesalahan

genetika yang berkisar antara 10-15 %, atau faktor dari luar yang merubah

struktur DNA seperti virus, polusi, radiasi, dan senyawa xenobiotik dari

konsumsi pangan sebesar 80-85 %. Radikal bebas dan reaksi oksidasi

berantai yang dihasilkan berperan pada proses mutasi ini. Resiko ini dapat

dikurangi dengan mengkonsumsi antioksidan dalam jumlah yang cukup.

2.1.6. Ekstraksi Astasantin dari Tepung Kulit Udang Sebagai Antioksidan Alami

Ekstraksi Astasantin dari tepung kulit udang dapat dilakukan dengan

menggunakan metode maserasi, karena metode maserasi tidak

memerlukan suhu tinggi dalam pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan

sifat pigmen Astasantin yang merupakan jenis karotenoid utama pada kulit

udang yang tidak tahan pada suhu tinggi. Menurut Pu (2008), Astasantin

akan mulai terdegradasi pada suhu diatas 60°C, sehingga dalam

penelitian ini digunakan suhu maserasi yang tidak melebihi suhu 60°C.

Pada proses maserasi tepung kulit udang diperlukan suatu pelarut

yang tepat, menurut Sachindra et al. (2006) pelarut organik merupakan

pelarut yang baik untuk mengekstrak karotenoid dari limbah kulit udang.

Page 32: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

23

Karotenoid yang terdapat pada kulit udang berikatan dengan protein

membentuk kompleks karotenoprotein sehingga dalam metode maserasi

diperlukan jenis pelarut organik yang dapat memutuskan ikatan karotenoid

dengan protein (Hendry dan Houghton, 1996). Kelarutan suatu zat di

dalam pelarut bergantung pada jenis ikatan di dalamnya apakah polar

atau non polar. Zat yang polar seperti air hanya larut di dalam pelarut

polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut di dalam pelarut non polar.

Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa seperti

komponen fenolik, karotenoid, tannin, dan asam-asam amino. Pelarut non

polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak

yang mudah menguap.

Menurut Khanafari et al. (2007), jenis pigmen karotenoid utama yang

terdapat pada kulit udang ialah Astasantin. Astasantin merupakan

kelompok pigmen karotenoid jenis xantofil yang memiliki aktivitas

antioksidan tertinggi dibandingkan jenis pigmen karotenoid lainnya

(Astawan dan Kasih, 2008; Hendry dan Houghton, 1996). Menurut

Mezzomo et al. (2011), metode maserasi dengan pelarut aseton

mengandung Astasantin bebas terbanyak diantara jenis pelarut lainnya

yaitu 131±2 g g−1ekstrak dan menurut Storebakken et al. (2004), Astasantin

bebas memiliki antioksidan yang besar.

Struktur karotenoid mempengaruhi bioaktivitas yang dimilikinya,

seperti faktor ikatan rangkap, rantai terbuka, dan sedikitnya jumlah

substituen oksigen akan meningkatkan aktivitas antioksidan karotenoid (Di

Mascio et al., 1989). Salah satu cara meningkatkan aktivitas antioksidan

alami dari limbah kulit udang yaitu dengan maserasi menggunakan pelarut

aseton, hal ini dikarenakan hasil karotenoid yang didapat berupa

Astasantin dalam bentuk bebas. Ketidakstabilan Astasantin bebas

terhadap cahaya, oksigen, kadar asam, dan suhu tinggi membuat

Astasantin bebas ini mudah teroksidasi, degradasi, dan isomerisasi. Hal

tersebut membuat kemampuan Astasantin bebas sebagai antioksidan

dalam menangkap radikal bebas semakin meningkat (Storebakken, 2004).

Page 33: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

24

2.1.7. Spektrofotometri UV-VisTeknik spektroskopik adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia

yang mengamati interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi

elektromagnetik (REM). Terdapat tiga jenis spektrum yang dihasilkan

antara atom atau molekul dengan REM, diantaranya adalah hamburan,

absorpsi, dan emisi. Salah satu spektrum absorpsi REM adalah

spetrofotometri UV-Visibel (Mulja, 1995:19).

Spektrofotometri UV-Visibel (UV-Vis) merupakan teknik analisis

spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultra violet

(190 - 380 nm) dan sinar tampak (380 – 780 nm) dengan memakai

instrumen spektrofotometer (Mulja, 1995:26). Spektrofotometri UV – Vis

lebih banyak digunakan untuk analisis kuantitatif daripada kualitatif karena

melibatkan energi elektronik pada molekul yang dianalisis. Panjang

gelombang yang terpilih harus memiliki warna berbeda dengan sampel

(warna komplementer).Tabel 4. Spektrum Cahaya Tampak dan Warna-Warna Komplementer (Day, 2002)

Panjang Gelombang (nm)

Warna yang diabsorp

Warna komplementer

400-435 Violet Kuning-hijau

435-480 Biru Kuning

480-490 Hijau-biru Jingga

490-500 Biru-hijau Merah

500-560 Hijau Ungu

560-580 Kuning-hijau Violet

580-595 Kuning Biru

595-610 Jingga Hijau-biru

610-750 Merah Biru-hijau

Spektrofotometer UV-Vis terdiri dari beberapa bagian penting, yaitu:

sumber radiasi (sinar), monokromator, sel (tempat) sampel dan detektor

Page 34: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

25

yang dihubungkan dengan printer atau komputerisasi (Sitorus, 2009).

Runtunan instrumentasi ini akan menghasilkan nilai absorbansi yang

sesuai dengan panjang gelombang yang dikehendaki.

Gambar 5. Diagram Blok Spektrofotometer

(http://faculty.sdmiramar.edu/fgarces/LabMatters/Instruments/UV_Vis/Cary50.htm)

Hubungan antara besarnya absorbansi dan konsentrasi sampel

dirumuskan oleh Beer (1959). Dimana jika satuan konsentrasi adalah

molaritas (yaitu jumlah mol per liter), maka tetapannya adalah

keterserapan molar ().

Keterangan :

A : absorbansi

a : absorptivitas (tergantung satuan); a (ppm) dan ε (Molar)

c : konsentrasi larutan

b : tebal media/kuvet

: absorptivitas molar/epsilon (L mol-1 cm -1)

Page 35: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

26

2.1.8. Spektrofotometri Infra MerahSpektrofotometri infra merah merupakan suatu metode yang

mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada

pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau pada bilangan

gelombang 13.000 – 10 cm-1 (Giwangkara, 2007). Spektrofotometer infra

merah atau Fourier Transform Infra Red merupakan alat untuk

mendeteksi gugus fungsional, mengidentifikasi senyawaan dan

menganalisis campuran. Banyak pita absorpsi yang terdapat dalam

daerah yang di sebut daerah “sidik jari” spektrum. Spektrum FTIR suatu

sampel dapat di ketahui letak pita serapan yang dikaitkan dengan adanya

suatu gugus fungsional tertentu (Day dan Underwood, 1999).

Jenis instrumen untuk absorbsi inframerah ada dua macam yaitu

instrumen dispersi dan instrumentasi yang menggunakan Fourier

Transform (FTIR). Pada prinsipnya bentuk spektra yang diperoleh dari dua

metode tersebut adalah sama, namun kualitas dan cara memperoleh

spektra sangat berbeda. Perbedaan dari keduanya adalah bila pada

sistem dispersi menggunakan prisma (grating) sebagai pengisolasi

radiasi, maka pada sistem Fourier Trasform Infra Red (FTIR)

menggunakan interferometer yang dikontrol secara otomatis dengan

komputer. Pada sistem FTIR dipakai LADER yang berguna sebagai

radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi IR agar sinyal yang diterima

oleh detektor utuh lebih baik (Hayati, 2007).

Spektrokopi FTIR digunakan sebagai alat secara kualitatif untuk

menentukan gugus fungsi. Gugus fungsi dapat diintepretasi dengan

memeriksa puncak absorbsi dari spektrum FTIR. Widmer, et al. (1981)

menjelaskan struktur Astasantin pada umumnya memberikan serapan

sedang-kuat antara 3750-3000 cm-1 (uluran -OH), serapan yang cukup

kuat antara 2955-2935 cm-1 (uluran C-H asimetris dari alifatik jenuh dan

rantai samping aromatik), dan serapan lemah-sedang antara 1900-1650

(Uluran C=O). Adapun spektra infra merah yang dihasilkan seperti yang

terdapat pada gambar 6 berikut :

Page 36: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

27

Gambar 6. Spektra infra merah ekstrak Astasantin, (Widmer, 1981).

2.1.9. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)KCKT adalah istilah yang umum dipakai ilmuwan di Indonesia yang

merupakan singkatan dari Kromatografi Cair Kinerja Tinggi sebagai

pengganti istilah HPLC (High Performance Liquid Chromatography).

Manfaat dan tujuan penggunaan KCKT yaitu untuk mendapatkan

pemisahan suatu komponen senyawa yang baik dengan waktu proses

yang relatif singkat. Hasil yang didapat dari proses pemisahan suatu

komponen senyawa menggunakan KCKT disebut dengan kromatogram

KCKT.

Jika ditinjau dari sistem peralatannya maka KCKT termasuk

kromatografi kolom karena fasa diam yang digunakan ter “packing”

didalam kolom. Kolom kromatografi cair kinerja tinggi dibedakan menjadi

dua jenis, jika ditinjau dari fase diam dan fase geraknya (Mulja, 1995).

Kromatografi dengan kolom konvensional dimana fase diamnya “normal”

bersifat polar dan fasa geraknya bersifat non polar disebut kolom fase

normal. Sedangkan kromatografi dengan kolom yang fase geraknya

Page 37: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

28

bersifat polar dan fase diamnya bersifat non polar disebut kolom fase

terbalik. Fase diam pada kolom fase terbalik yang umum digunakan

antara lain adalah C18, C8, dan C2.

KCKT selain digunakan untuk pemisahan suatu komponen juga

dapat digunakan untuk mengetahui besar konsentrasi komponen yang

terkandung didalamnya. Penggunaan metode kurva kalibrasi absolut dan

standar internal dapat digunakan dalam penentuan konsentrasi suatu

komponen, yaitu setelah pemisahan preparatif dilakukan

pengidentifikasian berdasarkan waktu retensi, pengamatan pada spektrum

UV atau instrumen analitis lainnya.

Penentuan konsentrasi suatu komponen dilakukan dengan

membandingkan luas atau tinggi puncak standar dengan sampel. Kurva

kalibrasi dibuat terlebih dahulu dengan menggunakan standar. Pembuatan

kurva kalibrasi standar internal harus memperhatikan beberapa syarat

antara lain ialah standar harus memiliki sifat kimia yang mirip dengan zat

sampel dan puncak standar harus tampil relatif dekat dari zat sampel.

Adapun deskripsi kurva kalibrasi standar internal dapat dilihat pada

gambar 7.

Page 38: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

29

Gambar 7. Deskripsi kurva kalibrasi standar internal (Munson, 1981)

Menurut Meija et al. (1988), metode KCKT merupakan metode

identifikasi dan purifikasi karotenoid yang sedang berkembang pesat. Hal

ini disebabkan KCKT mempunyai kepekaan yang tinggi dan dapat

langsung digunakan dalam proses pemisahan serta penentuan

konsentrasi. Kelebihan lain dari metode identifikasi KCKT dibandingkan

metode identifikasi lainnya adalah kemampuannya untuk mendeteksi

isomer cis-trans pada karotenoid. Analisis dengan menggunakan KCKT

dilakukan dengan mengukur luas area peak yang tertentu dengan

mengacu karotenoid yang terbentuk pada retention time pada standar

yang digunakan (Hendry dan Houghton, 1996).

2.2. Kerangka BerpikirPada kulit udang banyak terdapat karotenoid. Karotenoid memiliki

pigmen warna Astasantin, dimana Astasantin dapat dihasilkan dengan

mengekstraksi tepung kulit udang menggunakan pelarut aseton tanpa

adanya pemanasan, sehingga metode ekstraksi yang tepat adalah

Page 39: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Kulit Udang

Karotenoid

Astasantin bebas

Antioksidan

Mengandung

Maserasi dengan aseton menghasilkan pigmen

Bermanfaat untuk meredam radikal bebas

30

maserasi. Penggunaan pelarut polar seperti aseton membuat Astasantin

bebas semakin banyak. Astasantin bebas ini dapat berperan sebagai

antioksidan alami dengan meredam radikal bebas.

Gambar 8. Kerangka Berpikir

2.3. Penelitian SebelumnyaPenelitian sebelumnya yang relavan dengan penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh Mezzomo et al. (2011). Penelitian yang

dilakukan oleh Mezzomo adalah penentuan metode ekstraksi terbaik

untuk menghasilkan konsentrasi karotenoid yang besar menggunakan

limbah udang P. brasiliensis dan P. paulensis. Metode ini dapat

meningkatkan nilai guna limbah udang.

Kelebihan lain dari penelitian Mezzomo adalah terdapatnya

beberapa macam perlakuan untuk mengekstrak karotenoid dari kulit

udang sehingga didapat konsentrasi karotenoid yang berbeda-beda.

Variasi perlakuan yang dilakukan oleh Mezzomo antara lain untuk

membandingkan konsentrasi ekstrak kulit udang antara kulit udang natural

(tanpa diberi perlakuan awal) dengan kulit udang yang diolah terlebih

dahulu menjadi tepung kulit udang. Pada proses ektraksi, Mezzomo

menggunakan variasi metode dan pelarut berbeda. Metode ekstraksi yang

digunakan antara lain maserasi, sokletasi, Ultrasound extraction (UE), dan

Hot and cold oil extraction (OilH and OilC). Variasi pelarut yang digunakan

Page 40: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

31

antara lain heksana, pencampuran heksana dengan isopropanol,

isopropanol, etanol, dan aseton.

Berdasarkan hasil penelitian Mezzomo kulit udang yang diolah

terlebih dahulu menjadi tepung kulit udang mengandung ekstrak

karotenoid lebih banyak, dari pada kulit udang yang tanpa perlakuan awal.

Pelarut terbaik untuk mengekstrak karotenoid berdasarkan penelitain

Mezzomo antara lain adalah aseton dan pencampuran antara heksana

dengan isopropanol. Metode terbaik untuk ekstraksi karotenoid adalah

maserasi. Metode maserasi menggunakan pencampuran pelarut heksana

dengan isopropanol akan menghasilkan ekstraksi karotenoid yang lebih

banyak dari pada metode maserasi menggunakan aseton, namun pigmen

karotenoid yang berupa Astasantin bebas yang dihasilkan lebih sedikit.

Pada penelitian Mezzomo tidak menjelaskan waktu maserasi dan

rasio penggunaan pelarut dengan massa tepung kulit udang, untuk

menghasilkan konsentrasi Astasantin yang besar. Selain itu Mezzomo

tidak memaparkan aktivitas antioksidan dari pigmen karotenoid yang

berupa Astasantin bebas.

Page 41: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tujuan Operasional PenelitianTujuan Operasional Penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Mengetahui waktu maserasi yang tepat untuk mendapatkan ekstrak

Astasantin yang besar dari tepung kulit udang.

2. Mengetahui rasio tepung kulit udang dengan pelarut aseton yang

tepat untuk mendapatkan ekstrak Astasantin yang banyak.

3. Mampu menginterpretasikan senyawa hasil ekstrak yang didapat

dengan spektrofotometer infra merah.

4. Mengetahui konsentrasi ekstrak ekstrak Astasantin yang didapat

dengan menggunakan KCKT.

5. Menguji aktivitas antioksidan ekstrak Astasantin tepung kulit udang

dengan menggunakan metode DPPH.

3.2.Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UNJ

Jakarta Timur. Waktu penelitian dari Januari sampai April 2013.

3.3. Alat dan BahanAlat yang diperlukan

Alat-alat gelas yang umum digunakan, corong pisah, spatula,

homogeniser, blender, pipet volumetrik, bulp, mikro pipet, aluminum foil,

neraca analitik, rotary evaporator, spektrofotometer UV-Vis,

spektrofotometri infra merah, dan KCKT.

Bahan yang diperlukan Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah kulit

udang yang diperoleh dari limbah kulit udang di pasar tradisional, larutan

aseton pro analisis dan Astasantin murni yang digunakan sebagai larutan

Page 42: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

33

standar. Bahan lainnya yang digunakan pada penelitian ini yaitu kitosan,

HCl 6 M, larutan n-heksana, metanol, asetonitril, dan senyawa 1,1-

dipheny1-2-picrylhydrazyl (DPPH).

3.4. Prosedur3.4.1. Pembuatan tepung kulit udang

Kulit udang dicuci, kemudian dikukus selama 10 menit pada suhu

100°C. Hal ini karena karotenoid pada kulit udang berada dalam bentuk

kompleks karotenoprotein, yang apabila diberi perlakuan panas dapat

menyebabkan renggangnya ikatan yang mengikat karotenoid dengan

protein sehingga warna udang dapat mengalami perubahan dari gelap

menjadi merah terang (Hendry dan Houghton, 1996). Dengan demikian

protein akan terdenaturasi berupa koagulasi dengan pengendapan di air.

Perlakuan selanjutnya adalah mengeringkan kulit udang pada suhu yang

tidak melebihi 60°C. Pengeringan dilakukan hingga didapatkan massa

yang stabil. Lalu kulit udang yang telah kering digiling sampai menjadi

tepung.

3.4.2. Pengaruh waktu ekstraksi terhadap jumlah ekstrak Astasantin yang didapatkan

Ekstraksi Astasantin dilakukan dengan metode maserasi, 5 gram

tepung kulit udang dilarutkan dengan 50 mL aseton. Perendaman

dilakukan selama beberapa hari pada suhu ruang dan setiap hari diaduk.

Esktrak dipisahkan dengan menggunakan kertas saring. Untuk

menghasilkan ekstrak yang banyak dengan absorbansi ekstrak yang

besar dilakukan maserasi pada waktu yang berbeda beda yaitu 3, 5, dan

7 hari seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.

Page 43: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

34

Tabel 5. Pengaruh Waktu Maserasi terhadap Jumlah Ekstrak Astasantin

Waktu maserasi (hari) *Absorbansi 3

5

7

*Nilai absorbansi didapatkan setelah ekstrak dimurnikan

3.4.3. Pengaruh rasio tepung kulit udang dengan pelarut aseton terhadap jumlah ekstrak Astasantin yang didapatkan

Proses optimasi dilanjutkan dengan mengganti perlakuan waktu

maserasi dengan rasio tepung kulit udang dan pelarut aseton. Setelah

didapatkan waktu yang optimum pada penelitian sebelumnya, meserasi

diulangi dengan mengganti volume pelarut menjadi 40 mL dan 45 mL

aseton. Proses maserasi dilakukan selama waktu optimum. Data yang

didapatkan berupa nilai absorbansi dan disajikan seperti pada tabel 6.

Proses pengukuran absorbansi dilakukan setelah ekstrak dimurnikan.Tabel 6. Pengaruh Rasio Tepung Kulit Udang : Volume Aseton terhadap Jumlah

Ekstrak Astasantin

No Rasio tepung kulit udang : pelarut *Absorbansi 1 1 : 8 (5 mL : 40 g)

2 1 : 9 (5 mL : 45 g)

*Nilai absorbansi didapatkan setelah ekstrak dimurnikan

3.4.4. Pemurnian Astasantin dan Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Sebelum dilakukan pengukuran absorbansi, ekstrak dari masing-

masing perlakuan maserasi dimurnikan terlebih dahulu, cara pemurnian ini

diadopsi dari penelitian Sachindra et al. (2006). Proses pemurnian

dilakukan dengan metode ekstraksi sederhana dengan menggunakan

corong pisah.

Page 44: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

35

Mula-mula ekstrak dimurnikan dengan petroleum eter. Penggunaan

petroleum eter berfungsi untuk menarik pelarut (aseton) dari ekstrak yang

dihasilkan. Untuk menghilangkan sisa aseton, ekstrak Astasantin kembali

diekstraksi dengan larutan garam NaCl 1% digunakan dan ekstrak yang

telah dipisahkan dari larutan garam ditambahkan dengan padatan natrium

sulfat anhidrat. Lalu filtrat disaring dan dialirkan gas nitrogen selama 5

menit, selanjutnya untuk mendapatkan ekstrak murni asatasantin

kemudian ekstrak dipekatkan dengan menggunakan alat rotary evaporator

dengan suhu 40oC (Sachindra, 2006).

Ekstrak yang telah bebas dari pelarut kemudian diukur

absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometri cahaya tampak.

Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan panjang

gelombang maksimum. Kisaran panjang gelombang yang digunakan

untuk mengukur absorbansi Astasantin adalah 460-490 nm (Rodriguez,

2001).

3.4.5. Karakterisasi Ekstrak Astasantin dengan Spektrofotometer Infra Merah

Karakterisasi senyawa yang terkandung dalam ekstrak yang

dihasilkan dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer infra

merah.Pada penelitian spektrofotometer infra merah yang digunakan ialah

Shimadzu IR untuk sampel berupa cairan, dengan tipe wadah sampel

ATR-8200 H/8200 HA.

Page 45: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

36

Gambar 9. Alat Spektrofotometer Infra Merah

Data yang diperoleh dari hasil spektrum infra merah berupa informasi

gugus-gugus fungsional yang menyusun suatu struktur senyawa. Gugus

tersebut diidentifikasi sesuai dengan yang ditunjukkan pada tabel 7.

Tabel 7. Interpretasi Spektra FTIR

No

Bilangan

Gelombang

(cm-1)

Range (cm-1)Intensitas

ReferensiVibrasi Referensi

1 3750-3000 Sedang-kuatUluran O-H dari ikatan hidrogen

intermolekuler

2 2955-2935 Sedang-kuat

Uluran C-H asimetris dari alifatik

jenuh dan rantai samping

aromatik

3 1900-1650 Lemah Uluran C=O

4 1665-1630 Lemah-sedang Uluran C=C dari alkena

3.4.6. Pengujian konsentrasi ekstrak Astasantin dengan KCKT

Penggunaan instrumen kromatografi cair kinerja tinggi juga dapat

digunakan untuk menghitung konsentrasi Astasantin yang terdapat dalam

ekstrak limbah kulit udang (Mezzomo et al., 2011). Adapun tahap

pengujian Astasantin menggunakan KCKT diadopsi dari penelitian

Mezzomo et al. (2001).

Proses pengujian kadar Astasantin menggunakan KCKT adalah

sebagai berikut, mula-mula sampel ekstrak Astasantin yang sudah

dimurnikan diencerkan dengan 2 mL pelarut n-heksana, lalu dilakukan

penghomogenisasian menggunakan homogeniser selama 5 menit.

Tahapan selanjutnya sebanyak 5 L ekstrak Astasantin diinjeksikan

kedalam injektor KCKT.

Page 46: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

37

Pengoperasian KCKT dilakukan dengan suhu kolom 40°C. Kolom

yang digunakan pada proses pemisahan yaitu kolom fasa balik C18. Fasa

gerak yang digunakan pada pengujian yaitu campuran antara asetonitril

dengan metanol (90:10, v/v). Laju alir pada pengujian diatur menjadi 0,8

mL/menit. Pengujian dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali

(triplicate)

3.4.7. Uji aktivitas antioksidan dengan DPPH

Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH (1,1-difenil

pikrilhidrazil). Parameter hasil pengujian dengan metode DPPH adalah

dengan IC (Inhibition Concentration), yaitu konsentrasi larutan sampel

yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas.

Radikal DPPH merupakan senyawa organik yang memiliki

kandungan nitrogen yang tidak stabil dengan nilai absorbansi yang kuat

pada panjang gelombang 517 nm dan memiliki warna ungu gelap. Warna

ungu pada DPPH akan tereduksi menjadi warna kuning apabila bereaksi

dengan senyawa antioksidan. Besarnya tingkat perubahan warna yang

terjadi diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Molyneux, 2004).

Pada pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH

dilakukan proses pembuatan larutan DPPH 0,4 mM adalah dengan cara

melarutkan DPPH sebanyak 7,4 mg (BM 394,32 g/mol) dan

melarutkannya dalam methanol pro analisis. Larutan kemudian

dipindahkan ke labu ukur 50 mL dan diencerkan sampai tanda batas.

Sampel dibuat menjadi larutan dengan berbagai variasi konsentrasi yaitu

5 μg/mL, 10 μg/mL, 25 μg/mL, 50 μg/mL dan 100 μg/mL. Kontrol positif

yang digunakan pada penelitian adalah larutan vitamin C. Perlakuan yang

sama seperti sampel, kontrol pun dibuat menjadi larutan dengan berbagai

variasi konsentrasi yaitu 3 μg/mL, 6 μg/mL, 9 μg/mL, 12 μg/mL dan 15

μg/mL. Masing-masing larutan sampel dan standar dengan berbagai

konsentrasi tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi dan

Page 47: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

38

dicampurkan dengan 1 mL larutan DPPH. Setelah dicampurkan, larutan

tersebut diinkubasi dalam penangas air 37oC selama 30 menit. Serapan

larutan diukur pada panjang gelombang serapan maksimum 515 nm

menggunakan spektrofotometer cahaya tampak.

Persentase inhibisi dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Hambatan (inhibisi) =  Serapan   blanko   –   Serapan   sampel  X 100%

Serapan blanko

Nilai IC50 (Inhibition Concentration 50) adalah konsentrasi

antioksidan (g/mL) yang mampu menghambat 50 % radikal bebas. Nilai

IC50 diperoleh dari perpotongan garis antara 50% daya hambat dengan

sumbu konsentrasi, kemudian dimasukkan ke dalam persamaan :

Y = a+bX

Berdasarkan literatur Y bernilai 50, sehingga  nilai X yang

menunjukkan besarnya IC50 dapat diketahui. Ekstrak yang dinyatakan

aktif dalam menangkal radikal bebas yaitu bila nilai IC50 kurang dari 100

g/mL.

Nilai IC50 didefinisikan sebagai konsentrasi dari senyawa antioksidan

yang dapat menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH dan pada

umumnya dinyatakan dalam satuan ppm. Semakin kecil nilai IC50 maka

aktivitas antioksidan dari sampel tersebut semakin baik. Data yang

diperoleh dinyatakan dalam tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan pada Ekstrak Astasantin dengan DPPH

NamaSampel

C(ppm) A1 A2 Ā A

BlankoInhibisi

(%)IC50

(ppm)Sampel

Vitamin C

Keterangan : C  (ppm) =konsentrasi (ppm)

A1= absorbansi simplo

A2= absorbansi duplo

Ā = absorbansi rata-rata

IC50 = Inhibisi konsentrasi 50

Page 48: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu dan rasio pelarut

aseton yang tepat untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak Astasantin

yang besar dari tepung kulit udang. Mengetahui konsentrasi ekstrak

Astasantin dari tepung kulit udang yang diukur dengan menggunakan

KCKT dan menguji aktivitas antioksidan ekstrak Astasantin tepung kulit

udang dengan menggunakan metode DPPH. Hasil penelitian diuraikan

menjadi beberapa bagian sebagai berikut :

4.1. Preparasi Sampel,

4.2. Pemurnian Sampel,

4.3. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum,

4.4. Hasil Pengaruh Waktu Maserasi,

4.5. Hasil Pengaruh Rasio Tepung Kulit Udang dengan Pelarut Aseton,

4.6. Karakterisasi Ekstrak dengan FTIR,

4.7. Penentuan Konsentrasi Ekstrak dengan KCKT, dan

4.8. Uji Antioksidan dengan Metode DPPH.

4.1. Preparasi SampelLimbah kulit udang yang telah dibersihkan, dikukus, dan

dikeringkan kemudian digiling. Hasil proses preparasi sampel

ditunjukkan pada gambar 10.

(a) (b) (c) (d)Gambar 10. Pembuatan tepung kulit udang. (a) Limbah kulit udang yang telah bersih,

(b) Kulit udang setelah dikukus, (c) Kulit udang setelah dikeringkan, dan (d) Kulit udang digiling hingga menjadi tepung.

Page 49: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

40

Warna kulit udang setelah proses pengukusan menjadi merah

terang, hal ini dikarenakan renggangnya ikatan yang mengikat

karotenoid dengan protein. Protein yang telah terlepas dari

karotenoid tersebut akan terdenaturasi dengan koagulasi dan

mengendap pada air.

4.2. Pemurnian SampelTepung kulit udang dimaserasi menggunakan pelarut aseton

dengan masing-masing perlakuan. Hasil ekstraksi tepung kulit udang

dengan pelarut aseton dapat dilihat pada gambar 11.

(a) (b) (c)

Gambar 11. Ekstrak Astasantin hasil maserasi dengan 50 mL aseton terhadap waktu maserasi. (a) Waktu maserasi 3 hari, (b) Waktu maserasi 5 hari, dan (c) Waktu maserasi 7 hari.

(a) (b)

Gambar 12. Ekstrak Astasantin terhadap volume pelarut aseton waktu maserasi 5 hari. (a) Volume aseton 40 mL, (b) Volume aseton 45 mL.

Page 50: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

41

Berdasarkan gambar 11 terlihat bahwa warna ekstrak hasil

maserasi bebeda pada masing-masing waktu maserasi. Pada waktu

maserasi 5 hari terlihat warnanya paling cerah daripada warna

ekstrak lainnya. Sedangkan pada gambar 12 terlihat warna ekstrak

dengan volume aseton 40 mL lebih pekat, daripada warna ekstrak

dengan volume aseton 45 mL.

Ekstrak yang dihasilkan kemudian dimurnikan. Hasil yang

didapatkan setelah pemurnian ekstrak dapat dilihat pada gambar 13.

(a) (b) (c) (d) (e)Gambar 13. Pemurnian ekstrak Astasantin. (a) Waktu maserasi 3 hari, (b)

Waktu maserasi 5 hari, (c) Waktu maserasi 7 hari, (d) Volume aseton 40 mL, dan (e) Volume aseton 45 mL.

Gambar 13 menunjukkan perbedaan warna masing-masing

ekstrak setelah dimurnikan. Pada ekstraksi dengan pengaruh waktu,

terlihat bahwa warna ekstrak hasil maserasi selama 5 hari lebih

pekat daripada ekstrak lainnya. Untuk warna yang dimunculkan pada

ekstraksi pengaruh rasio terlihat sama antara ekstrak dengan volume

aseton 40 mL maupun 45 mL.

Warna ekstrak setelah proses maserasi terlihat lebih pekat

daripada sebelum ekstraksi. Hal tersebut dapat dikarenakan ekstrak

sudah bebas dari pelarut. Berkurangnya volume ekstrak setelah

dimurnikan juga menguatkan dugaan bahwa pelarut pada ekstrak

telah menguap.

Page 51: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

42

4.3. Penentuan Panjang Gelombang MaksimumUntuk mengetahui hasil ekstrak terbanyak dari masing-masing

perlakuan, dilakukan pengukuran absorbansi dari tiap ekstrak, pada

panjang gelombang maksimum. Pengukuran absorbansi ekstrak

menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Rentang panjang

gelombang yang digunakan pada pengukuran adalah 700nm –

300nm.

Berdasarkan pengukuran absorbansi ekstrak didapatkan

panjang gelombang maksimum pada 468 nm. Panjang gelombang

tersebut sesuai dengan panjang gelombang maksimum untuk

pengukuran Astasantin dengan pelarut petroleum eter (Rodriguez-

Amaya, 2001). Hal ini dikarenakan pada proses pemurnian ekstrak,

pelarut aseton telah habis terekstrak oleh petroleum eter.

Tabel 9. Panjang Gelombang Maksimum Pelarut untuk Ekstraksi Astasantin (Rodriguez, 2001).

PelarutPanjang Gelombang

Maksimum (nm)Aseton 480

Benzena, Kloroform 485

Etanol 478

Petroleum Eter 468

4.4. Hasil Pengaruh Waktu MaserasiParameter yang diuji pada penelitian ini adalah nilai absorbansi

dari ekstrak Astasantin tepung kulit udang. Pengukuran absorbansi

dilakukan pada panjang gelombang makasimum, yaitu pada panjang

gelombang 468 nm. Data hasil pengaruh waktu terhadap nilai

absorbansi disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 14.

Page 52: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

43

Tabel 10. Hasil Absorbansi Ekstrak Astasantin dari Perlakuan Waktu Maserasi

Waktu Maserasi Absorbansi

3 hari 0,819

5 hari 0,919

7 hari 0,438

Gambar 14. Grafik Waktu Maserasi terhadap Nilai Absorbansi Ekstrak Astasantin. Sumbu X merupakan waktu maserasi tepung kulit

udang. Sumbu Y merupakan nilai absorbansi dalam satuan nm.

Hasil dari grafik waktu maserasi terhadap nilai absorbansi

ekstrak Astasantin dapat diketahui, bahwa terjadi penaikan nilai

absorbansi pada hari ke-5. Hal ini dikarenakan selama

berlangsungnya maserasi terjadi pemecahan membran sel bahan

akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga

senyawa yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut

organik. Semakin lama waktu maserasi terhadap bahan, maka

semakin banyak pula membran sel yang pecah sehingga semakin

3 Hari 5 Hari 7 Hari0

0.10.20.30.40.50.60.70.80.9

1

0.8190.919

0.438000000000003

Grafik Waktu Maserasi terhadap Nilai Absorbansi Ekstrak Astasantin

Grafik Waktu Maserasi terhadap Nilai Absorbansi Ekstrak Astasantin

Waktu Maserasi

Abso

rban

si

Page 53: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

44

banyak Astasantin dalam bentuk yang tersedia maupun bebas yang

terbentuk.

Pada proses maserasi selama 7 hari terjadi penurunan nilai

absorbansi. Hal ini disebabkan karena pelarut aseton yang

higroskopis sehingga mempengaruhi kejenuhan pelarut terhadap

sampel.  Aseton  merupakan  pelarut  yang mudah menguap dimana

titik didihnya mencapai 56,2 oC (Science Lab.com). Hal ini

menunjukkan bahwa waktu optimal untuk melakukan maserasi

Astasantin dari tepung kulit udang pada suhu ruang adalah selama 5

hari, hasil serupa ditunjukkan pula pada penelitian Mezzomo (2011).

4.5. Hasil Pengaruh Rasio Tepung Kulit Udang dengan Pelarut Aseton

Setelah didapatkan waktu optimum maserasi, kemudian proses

optimasi dilanjutkan untuk mengetahui rasio tepung kulit udang

dengan pelarut. Pada penelitian ini proses maserasi dilakukan

selama waktu optimum yaitu selama 5 hari dan maserasi dilakukan

pada suhu ruang. Selanjutnya untuk pengukuran absorbansi

dilakukan pada panjang gelombang maksimum yaitu 468 nm. Hasil

yang didapatkan pada proses optimasi kedua ini disajikan pada

Tabel 11 dan Gambar 15.

Tabel 11. Hasil Absorbansi Ekstrak Astasantin dari Perlakuan Rasio PelarutRasio

Tepung Kulit Udang : Pelarut

Volume Pelarut

(mL)Absorbansi

1:8 40 2,882

1:9 45 2,582

Page 54: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

45

Gambar 15. Grafik Rasio Pelarut Aseton terhadap Nilai Absorbansi Ekstrak Astasantin. Sumbu X merupakan volume pelarut aseton. Sumbu Y merupakan nilai absorbansi dalam satuan nm.

Nilai absorbansi maksimum dari grafik rasio pelarut ditunjukkan

pada rasio 1:8 dimana, 5 gram tepung kulit udang dimaserasi

dengan 40 mL pelarut aseton. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert-

Beer terhadap persamaan molaritas, dimana nilai absobansi akan

berbanding terbalik dengan volume suatu larutan.

Berdasarkan hukum Lambert-Beer dapat diketahui bahwa nilai

absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi dan nilai

konsentrasi pada persamaan molaritas akan berbanding terbalik

dengan volume pelarut yang digunakan. Jika ditarik kesimpulan

maka nilai absorbansi pun akan berbanding terbalik dengan volume

pelarut, sehingga jika volume pelarut semakin kecil nilai absorbansi

akan semakin besar.

Hasil yang didapatkan dari pengaruh waktu maserasi dan rasio

volume aseton terhadap nilai absorbansi ekstrak Astasantin ialah,

40 mL aseton 45 mL aseton2.4

2.5

2.6

2.7

2.8

2.9

3

2.882

2.582

Grafik Rasio Pelarut Aseton terhadap Nilai Absorbansi Ekstrak Astasantin

Grafik Rasio Pelarut Aseton terhadap Nilai Absorbansi Ek-strak Astasantin

Volume Pelarut Aseton

Abso

rban

si

Page 55: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

46

nilai panjang gelombang pengukuran absorbansi ekstrak sesuai

dengan panjang gelombang ekstraksi Astasantin dengan pelarut

petroleum eter. Pada penelitian optimasi waktu maserasi, didapatkan

waktu maserasi yang menghasilkan nilai absorbansi tertinggi ialah

selama 5 hari. Selanjutnya pada penelitian optimasi rasio pelarut

untuk ekstraksi Astasantin, didapatkan bahawa rasio 1:8 (5 gram

Astasantin dilarutkan pada 40 mL aseton) merupakan rasio yang

dapat menghasilkan nilai absorbansi tertinggi.

4.6. Karakterisasi Ekstrak dengan FTIRKarakterisasi ekstrak Astasantin dilakukan dengan

menggunakan spektrofotometer infra merah, sehingga dapat

diketahui gugus fungsi yang terdapat pada ekstrak. Hasil yang

didapat dari pengukuran panjang gelombang maksimum pada

spektrofotometri UV-Vis didukung dengan spektra FTIR yang

ditunjukkan pada Lampiran 10. Interpretasi gugus fungsi yang

tedapat pada ekstrak disajikan pada Tabel 12.Tabel 12. Interpretasi Spektra FTIR

No

Bilangan

Gelombang

(cm-1)

Range (cm-1)Intensitas

ReferensiVibrasi Referensi

1 3369,64 3750-3000 Sedang-kuatUluran O-H dari ikatan

hidrogen intermolekuler

2 2924,09 2955-2935 Sedang-kuat

Uluran C-H asimetris

dari alifatik jenuh dan

rantai samping aromatik

3 1712,79 1900-1650 Lemah Uluran C=O

4 1620,21 1665-1630 Lemah-sedang Uluran C=C dari alkena

5 1463,97 1475-1300 Sedang Lentur C-H

6 1377,17 Lentur C-H

Page 56: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

47

7 1220,94 1300-1200 Lemah Tekuk C-H

8 1170,79 1115-1090 Sedang-kuatGoyangan C=C dari

alkena

9 1049,28 1060-1020 Kuat Uluran C-O dari alkohol

10 960,55

1000-650 LemahTekukan CH kibasan

dari –CH=CH2

11 916,19

12 840,96

Hasil analisis pola serapan FTIR yang didapatkan dari

penelitian ini menunjukkan adanya uluran O-H dari ikatan hidrogen

intermolekuler pada daerah panjang gelombang 3369,64 cm -1.

Vibrasi ulur C-H asimetris dari aromatik CH3 memberikan serapan

pada bilangan gelombang 2924,09 cm-1. Vibrasi ulur C=O

ditunjukkan dengan adanya serapan pada 1712,79 cm-1 dan vibrasi

ulur C=C dari alkena ditunjukkan oleh serapan pada daerah 1620,21

cm-1.

Adanya serapan sedang pada bilangan gelombang 1463,97

dan 1377,17 cm-1 akibat dari vibrasi lentur C-H dan serapan lemah

pada bilangan gelombang 1220,94 cm-1 merupakan akibat dari

vibrasi tekuk C-H. Sedangkan serapan sedang-kuat pada bilangan

gelombang 1170,79 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi uluran C=C

dari alkena. Serapan kuat pada bilangan gelombang 1049,28 cm-1

merupakan akibat dari vibrasi uluran C-O dari alkohol dan serapan

lemah ditunjukkan pada bilangan gelombang 960,55; 916,19; dan

840,96 merupakan vibrasi tekukan CH kibasan dari –CH=CH2 .

Berdasarkan hasil pengamatan spektra FTIR dapat diketahui

bahwa gugus fungsi yang terdapat pada ekstrak adalah gugus O-H

dari ikatan hidrogen intermolekuler, C-H dari alifatik CH3, CH simetris

dari CH2, C=C dari alkena, CH2, C-O dari alkohol. Hasil yang

Page 57: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

48

didapatkan ini sesuai dengan komponen penyusun Astasantin dan

dengan spektrum infra merah Astasantin yang dipaparkan oleh

Widmer et al. (1981).

4.7. Penentuan Konsentrasi Ekstrak dengan KCKTTahap penelitian selanjutnya ialah pengujian konsentrasi

ekstrak Astasantin yang telah didapat dengan menggunakan

instrumen kromatografi cair kinerja tinggi. Pengujian konsentrasi

ekstrak Astasantin dengan instrumen KCKT dilakukan di

Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan -

Badan Penelitian Pengembangan Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hasil yang didapatkan di lampirkan pada Lampiran 12 dan

Lampiran 13. Berdasarkan grafik didapatkan puncak standar dan

puncak sampel yang muncul pada panjang gelombang 460 nm.

Panjang gelombang yang dihasilkan sesuai dengan kisaran panjang

gelombang ekstrak Astasantin dengan pelarut petroleum eter.

Berdasarkan hasil yang didapat, puncak standar muncul pada

menit ke 13,624, dengan luas area sebesar 29,080. Sedangkan

puncak sampel muncul pada menit ke 13,280 dengan luas area

sebesar 29,080.

Berdasarkan perhitungan konsentrasi ekstrak Astasantin yang

terlampir pada Lampiran 14, diketahui bahwa besar konsentrasi

sampel (ekstrak Astasantin) yaitu sebesar 7,466 ± 0,05 ppm. Hal ini

disebabkan nilai luas area puncak standar standar lebih besar

daripada luas area puncak sampel.

4.8. Uji Antioksidan dengan Metode DPPHTerhadap ekstrak Astasantin yang telah didapat, selanjutnya

dilakukan uji antioksidan menggunakan metode penangkapan radikal

Page 58: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

49

DPPH. Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH

dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian

Bioteknologi-LIPI. Nilai Inhibisi terhadap konsentrasi pada uji

antioksidan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Nilai Inhibisi terhadap Konsentrasi pada Uji AntioksidanNama

SampelC

(ppm) Ā Inhibisi(%)

Sampel

5 0,798 0,125

10 0,786 1,690

25 0,779 2,503

50 0,770 3,630

100 0,677 15,332

Vitamin C

3 0,480 39,987

6 0,264 66,959

9 0,042 94,806

14 0,035 95,620

15 0,029 96,370

Keterangan : C  (ppm) = konsentrasi (ppm)

Ā = absorbansi rata-rata

Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 13 terlihat jika

konsentrasi meningkat maka nilai absorbansi akan semakin rendah.

Absorbansi yang rendah dari campuran reaksi mengindikasikan

penangkapan aktivitas radikal yang tinggi (Gulcin, 2003). Penurunan

nilai absorbansi terjadi karena adanya donasi atom hidrogen dari

sampel ke DPPH (reduksi DPPH). Donasi proton ini membuat DPPH

yang bersifat radikal tereduksi menjadi 1,1difenil-2-pikrilhidrazin yang

bersifat non radikal. Sedangkan sampel yang bereaksi dengan

radikal DPPH diubah menjadi suatu senyawa baru yang bersifat

stabil.

Terlihat pula pada Tabel 13 hubungan antara konsentrasi

dengan nilai inhibisi ialah berbanding lurus. Semakin besar

konsentrasi sampel yang ditambahkan maka semakin besar nilai

Page 59: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

50

inhibisinya pula. Pada Tabel 13, terlihat bahwa larutan kontrol positif

asam askorbat memiliki nilai inhibisi (aktivitas antioksidan) yang

tinggi, sedangkan pada sampel yang diujikan, ekstrak Astasantin

memiliki aktivitas antioksidan yang kurang baik. Aktivitas antioksidan

merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak, untuk

menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen

penghambatan.

Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas

antioksidan adalah dengan menentukan harga IC50. Harga IC50 telah

ditentukan dari penelitian ini. IC50 (Inhibition Concentration)

merupakan konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat

menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikalnya. Zat yang

mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga IC50

yang rendah (Brand-Williams et al., 1995). Nilai IC50 dapat digunakan

untuk menyimpulkan seberapa besar sampel berpotensi sebagai

antioksidan. Range terkait kuat atau lemahnya potensi antioksidan

berdasarkan nilai IC50 terangkum pada tabel kisaran kekuatan

potensi antioksidan berikut :

Tabel 14. Kisaran Kekuatan Potensi Antioksidan (Brand-Williams et al., 1995)

Kisaran nilai IC50 Kekuatan potensi antioksidan

< 50 Sangat Kuat Berpotensi

50 – 100 Kuat

100 – 150 Sedang

150 – 200 Lemah

>200 Tidak Berpotensi

Penentuan harga IC50 dapat dilakukan dengan mencari

persamaan regresi hubungan persentase inhibisi dengan

Page 60: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

51

konsentrasi. Persamaan regresi sampel dan kontrol dapat dilihat

pada Gambar 16 berikut ini :

Page 61: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

(a)

(b)

Gambar 16. Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsentrasi pada Metode DPPH. (a) Kontrol Positif (Vitamin C), (b) Ekstrak Astasantin; Sumbu X merupakan konsentrasi ekstrak Astasantin dalam satuan ppm. Sumbu Y merupakan nilai inhibisi dalam satuan %.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000.000

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

16.000

18.000

0.1251.690

2.5033.630

15.332

f(x) = 0.15093864013267 x − 1.07966832504146R² = 0.922050503236156

Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsentrasi

Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsentrasi pada Metode DPPH

Linear (Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsen-trasi pada Metode DPPH)

Konsentrasi (ppm)

Inhi

bisi

(%)

IC50 : 338,500 ppm

2 4 6 8 10 12 14 16 18 200.000

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

39.987

66.959

94.806 95.62096.370

f(x) = 4.35384220532319 x + 37.822283269962R² = 0.79943942626825

Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsentrasi

Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsentrasi

Linear (Grafik Hubungan Inhibisi dengan Konsen-trasi)

Konsentrasi (ppm)

Inhi

bisi

(%)

IC50 : 2,797 ppm

Page 62: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

53

Berdasarkan persamaan regresi dari Gambar 16 dapat

diketahui nilai IC50 dari larutan kontrol dan ekstrak Astasantin. Nilai

IC50 ini diketahui dengan cara menetapkan nilai 50 pada Y, sehingga

x (nilai IC50) akan didapatkan. Adapun data untuk mendapatkan nilai

IC50 dan perhitungan nilai IC50 telah disajikan pada Lampiran 15,

Lampiran 16 dan Lampiran 17.

Pada larutan kontrol asam askorbat nilai IC50 yang didapat yaitu

sebesar 2,797 ppm. Hal ini membuktikan bahwa larutan asam

askorbat memiliki potensi yang sangat kuat sebagai antioksidan.

Dilihat dari nilai IC50 yang didapat < 50 yaitu 2,797 dengan kata lain,

asam askorbat dikatakan sangat aktif sebagai antioksidan karena

hanya memerlukan konsentrasi sebesar 2,797 ppm untuk mampu

meredam 50% radikal bebas (Darmanto, 2005). Vitamin C memiliki

aktivitas antioksidan yang cukup tinggi karena vitamin C memiliki 4

gugus hidroksil. Menurut May (1999) vitamin C sebagai antioksidan

dapat memberikan satu atau dua elektronnya untuk menstabilkan

radikal bebas.

Selanjutnya dari grafik hubungan persentase inhibisi dengan

konsentrasi pada ekstrak Astasantin, didapatkan nilai IC50 sebesar

338,500 ppm. Nilai IC50 pada senyawa Astasantin menunjukkan

bahwa Astasantin tidak berpotensi sebagai antioksidan jika ditinjau

dari pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Hal ini

dapat dikarenakan ikatan ganda terkonjugasi Astasantin yang tidak

mampu mempengaruhi kation radikal dari senyawa DPPH, sehingga

tidak terjadi interaksi penyumbangan proton atau elektron kepada

radikal DPPH atau dengan kata lain tidak terjadi reduksi radikal

DPPH menjadi DPPH-H. Menurut Sowmya dan Sachindra (2012)

Astasantin dapat menangkap radikal bebas dengan baik jika

pengujian antioksidan dilakukan dengan metode ABTS radical-

scavenging assay. Uji aktivitas antioksidan Astasantin juga baik

dilakukan dengan menggunakan metode bleaching terhadap β-

Page 63: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

54

karoten, dimana pada metode tersebut β-karoten akan mengalami

destruksi oleh produk degradasi asam linoleat (Saleha, 2009).

Namun nilai IC50 yang didapatkan pada pengujian antioksidan

dengan metode Astasantin ini lebih baik dari penelitian Hartono

(2011), dimana nilai IC50 terbaik yang didapatkannya mencapai 2.963

ppm. Hal tersebut dikarenakan pemilihan pelarut yang tepat juga

sangat penting. Pada penelitian Hartono (2011) digunakan pelarut

untuk maserasi adalah n-heksana, isopropanol, dan campuran

keduanya, sedangkan pada penelitian ini digunakan pelarut aseton.

Pemilihan pelarut aseton dikarenakan hasil ekstrak yang didapat

merupakan Astasantin dalam bentuk bebas. Ketidakstabilan

Astasantin bebas terhadap cahaya, oksigen, kadar asam, dan suhu

tinggi membuat Astasantin bebas ini mudah teroksidasi, degradasi,

dan isomerisasi, sehingga kemampuan Astasantin bebas sebagai

antioksidan dalam menangkap radikal bebas semakin meningkat

(Storebakken, 2004).

Page 64: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

BAB VKESIMPULAN dan SARAN

5.1. KesimpulanPada penelitian ini telah dilakukan ekstraksi, pemurnian,

karakterisasi, pengujian konsentrasi dan uji antioksidan ekstrak Astasantin

dari tepung kulit udang. Pada proses ekstraksi ditentukan waktu maserasi

dan rasio perbandingan tepung kulit udang dengan pelarut yang tepat,

perlakuan tersebut supaya didapatkan ekstrak dalam jumlah banyak.

Berdasarkan hasil penelitian, untuk mendapatkan ekstrak Astasantin

terbanyak proses maserasi dilakukan selama 5 hari, dengan rasio

perbandingan tepung kulit udang dan pelarut aseton sebanyak 1:8, yaitu 5

gram tepung kulit udang dimaserasi dengan 40 mL aseton. Parameter

banyak atau sedikitnya ekstrak yang didapatkan berdasarkan pengukuran

absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Panjang gelombang

maksimum yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebesar 468 nm.

Panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang untuk

ekstrak Astasantin dengan pelarut petroleum eter. Ekstrak yang

didapatkan kemudian dikarakterisasi dengan spektrofotometer infra

merah. Bilangan gelombang yang didapatkan dari spektra infra merah

diantaranya 3369,64 cm-1, 2924,09 cm-1, 1712,79 cm-1, dan 1620,21 cm-1.

Bilangan gelombang tersebut menunjukkan bahwa gugus fungsi yang

terdapat pada ekstrak merupakan gugus fungsi senyawa Astasantin.

Selanjutnya konsentrasi ekstrak Astasantin diukur menggunakan KCKT

dan didapatkan konsentrasi ekstrak sebesar 7,466 ± 0,05 ppm. Ekstrak

Astasantin kemudian diuji aktivitas antioksidannya menggunakan metode

DPPH dan didapatkan nilai IC50 sebesar 338,500 ppm. Nilai IC50 ini

menunjukkan bahwa Astasantin kurang efektif dalam mengikat radikal

bebas berupa DPPH, karena tidak terjadi reduksi radikal DPPH menjadi

DPPH-H.

Page 65: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

5.2. SaranPerlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengujian aktivitas

antioksidan ekstrak Astasantin dari tepung kulit udang menggunakan

pelarut aseton. Adapun pengujian aktivitas antioksidan yang disarankan

antara lain dengan menggunakan metode ABTS radical scavenging

assay, Singlet oxygen quenching, dan Reducing activity.

56

Page 66: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisa Bahan Makanan.

Yogyakarta : Andi.

Anonim. 2013. Soxhlet extractor.

http://en.wikipedia.org/wiki/Soxhlet_extractor. (Diakses pada tanggal

23 November 2013, pukul 13.12 WIB).

Anonim. 2004. UV Visible Absorption Spectroscopy.

http://faculty.sdmiramar.edu/fgarces/LabMatters/Instruments/UV_Vis/

Cary50.htm. (Diakses pada tanggal 14 Desember 2013, pukul 02.19

WIB).

Arab, L., S. Steck-Scott and P. Bowen. 2001. Partisipation of Lycopen and

Betacarotene in Carcinogenesis: Defenders, Aggresors, or Passive

Bystanders. Epidemiologic Reviews, Vol 23. No 2, p.221-229

Arifin, Z., Adiwijaya, D., Komaruddin, U., dan Susanto, A. 2007.

Penerapan Best Management Practises (BMP) pada Budidaya

Udang Windu. Jepara : Departemen Kelautan dan Perikanan

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembang

Budidaya Air Payau.

Astawan, M., Kasih, L.A. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan.

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Brand-Williams, W., Cuvelier, M.E., Berset C. 1995. Use of Free Radical

Method to Evaluate Antioxidant Activity, cit. Journal of

Pharmacheutical 3: 96-105.

Britton, G, Jensen, S.L., and Pfander, H. 1995. Carotenoids Volume IA:

Isolation and Analysis. Birkhauser Verlag. Berlin p: 211.

Britton, G, Jensen, S.L., and Pfander, H. 1995. Carotenoids Volume

IB:Spectroscopy. Birkhauser Verlag. Berlin p: 211.

Darmanto, W. 2005. Pemanfaatan Polysaccharide Krestine (PSK) dalam

Menurunkan Radikal Bebas pada Darah Mencit Akibat Induksi 2-

Methoxyethanol. Jurnal ILMU DASAR Vol. 6 No. 2, 2005 : 96-102.

Page 67: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

58

Day, R. A. dan A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi

Keenam. Jakarta: Erlangga.

DeMan, John. 1997. Kimia Makanan Edisi Kedua. Penerjemah

Padmawinata, K. Bandung : ITB Press.

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2006. Industri

Kitin: Dari Limbah Menjadi Bernilai Tambah, Jakarta.

Dinda. 2008. Ekstraksi. http://www.medicafarma.com/ekstraksi (Diakses

pada tanggal 5 November 2013, pukul 21:05 WIB).

E. Efstathiou, C. 2000. Countercurrent Extraction - Craig Apparatus. http://www.chem.uoa.gr/applets/AppletCraig/Appl_Craig2.html.

(Diakses pada tanggal 9 Desember 2013, pukul 23:00 WIB).

Erdawati. 2011. Bahan Ajar Kimia Analitik. Jakarta : UNJ.

Giwangkara, E.G. 2007. Spektrofotometri Infra Merah.

http://persembahanku. Word press

.com/2007/06/26/spektrofotometri-infra-merah/. (Diakses pada

tanggal 5 Juni 2014, pukul 23:00 WIB).

Gordon, M.H. 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. Di

dalam: B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsivier Applied

Science, London.

Gross, Jeana. 1991. Pigments In Vegetables (Chlorophylls and

Carotenoids). Van Nostrand Reinhold. New York. 7: 75.

Gulcin, I. 2003. Antioxidant and Analgesic Activities of Turpentine of Pinus

nigra arn. Subsp. Pallsiana (Lamb.) Holmboe. Journal of

Ethnopharmacology 86: 51-58.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Edisi kedua. Bandung: ITB.

Hartono, Gary. 2011. Karakterisasi Aktivitas Antioksidan Ekstrak

Karotenoid dari Cangkang Udang Windu (Peneaus monodon Fab.).

Karawaci : Universitas Pelita Harapan.

Hayati, E.K. 2007. Buku Ajar Dasar-Dasar Analisis Spektroskopi. Malang :

Universitas Negeri Malang. Hal:39.

Page 68: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

59

Hendry, G.A.F., Houghton, J.D. 1996. Natural Food Colorants 2nd Edition.

London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras

Blackie Academic & Professional.

Houghton, PJ dan Raman, A. 1998. Laboratory Handbook for The

Fractination of Natural Extract : Methods of Extraction and Sample

Clean-up. London : Chapman and Hall Ltd.

Hübshmann, Joachim. 2009. Handbook of GC/MS. WILEY-VCH Verlag

GmbH & Co. KGaA, Weinheim

Hugh, M. A. dan V. J. Krukonis. 1986. Supercritical Fluid Extraction :

Principles and Practisce. Buster Worth Publischers, Stochom. USA.

Khanafari, A., Saberi, A., Azar, M., Vosooghi, Gh. Jamili,Sh.,

Sabbaghzadeh. 2007. Extraction of Astaxanthin Esters From Shrimp

Waste By Chemical and microbial Methods. Iranian Journal of

Environment, Health, and Science Engineering. 4 (2) : 93-98.

Kochar, S.P. and B. Rossell. 1990. Detection Estimation and Evaluation of

Antioxidants in Food System. di dalam: B.J.F. Hudson, editor. Food

Antioxidants. Elvisier Applied Science. London.

Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida.

Sumut: USU Respository.

http://librarv.usu.ac.id/downloadfimipa/06003488.pdf senyawa.

(Diakses pada tanggal akses 5 November 2013, pukul 20.30 WIB).

Manjang, Y. 1993. Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap

Mutu Khitosan. Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) :138-143.

Meija, E.A., E. Hudson, E. Gonzalez., D. Meijia., dan F. Vazque. 1988.

Carotenoid Contents and Vitamin A Activity of Some Common

Cultivars of Mexican Peppers as Determined by HPLC. Journal of

Food Science. 53 : 1448-1451.

Molyneux, P. 2004. The Use of Stable Free Radicals Diphenylpirylhydrazyl

(DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal of

Science Technology. 26 : 211-219.

Page 69: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

60

Mulja, M.H., 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga University

Press.

Naguib, M. A., 2000. Antioxidant Activities of Astaxanthin and Related

Carotenoids. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 48 : 1150-

1154.

May, J. M. 1999. In Ascorbic Acid An Antioxidant For The Plasma

Membrane. Faseb Journal. Vol. 13. Hal. 995-1006.

Mezzomo, N., J. Martínez, S.R.S. Ferreira, J. 2009. Supercritical Fluids 51

(1) 10.

Mezzomo, Natália., Maestri, Bianca., Dos, Santos, R.L. 2011. Pink shrimp

(P. brasiliensis and P. paulensis) residue: Influence of extraction

method on carotenoid concentration. Science Direct Journal of

Talanta. 85 :1383-1391.

Munson, J.W., 1981, Phrarmaceutical Analysis: Modern Methods, Part A

and B, diterjemahkan oleh Harjana dan Soemadi, Airlangga

University Press, Surabaya.

No, H.K., Meyers, S.P.,Lee, K.S. 1989. Crawfish Chitosan as Coagulant in

Recovery of Organic Compounds from Seafood Processing Streams,

Jounal of Agricultural and Food Chemistry. 37 : 575-579

Nur, M. A. dan Adijuwana, H. A. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis

Biologi. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.

Palmer, MV and Ting, SS. 1995. Application for Supercritical Fluid

Technology in Food Processing. Food Chemistry. 52 : 345-352.

Palozza P, Krinsky NI. 1992. Antioxidant effects of carotenoids in vivo and

in vitro: An overview. Meth Enzymol. 213 : 403-420.

Perdigão N.B., F.C. Vasconcelos, I.H.A. Cintra, M. Ogawa. 1995. Boletim

Técnico Científico da CEPENE. 3 (1) 234.

Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants from Plant Material. di dalam : M.T.

Huang, C.T. Ho, clan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food

and Their Effects on Health H. American Society, Washington DC.

Page 70: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

61

Pu, J. 2008. Development of Stable Microencapsulated Astaxanthin

Powders Using Extracted Astaxanthin from Crawfish and Shrimp By

Products. Jiangnan : A Thesis From Departement of Food Science

Jiangnan University.

Pu, Jing. 2011. Optimization of Purification Conditions of Radish

(Raphanus Sativus L.) Anthocyanin-Rich Extracts Using Chitosan.

Science Direct Journal of LWT - Food Science and Technology. 44 :

2097-2103.

Rodriguez-Amaya DB & Kimura M. 2004. HarvestPlus Handbook for

Carotenoid Analysis. International Food Policy Research Institute,

Washington DC.

Saleha, S. dan Murniana. 2009. Aktivitas Antioksidan Astaxanthin dari

Limbah Kulit Udang. Aceh : Universitas Syiah Kuala.

Sachindra, N. M., Bhaskar, N., Mahendrakar, N. S. 2006. Recovery of

Carotenoid from Shrimp Waste in Organic Solvents. Science-Direct

Journal of Waste Management. 26 : 1092-1098.

Schwartz, S.J. 1994. Pigment Analysis. Introduction to the Chemical

Analysis of Foods. Boston : Jones and Bartlet.

Sitorus, Marham. 2010. Kimia Organik Umum. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sowmya, R. dan Sachindra, N. M. 2012. Evaluation of antioxidant activity

of carotenoid extract from shrimp processing byproduct by in vitro

assays and in membrane model system. Science Direct Journal of

Food Chemistry. 134 : 308-314.

Stahl, W., Sies, H. 2003. Antioxidant Activity of Carotenoids. Molecular

Asfects of Medicine. 24 : 345-351.

T. Storebakken, M. Sorensen, B. Bjerkeng, J. Harris, P. Monahan, H.

Stephen. 2004. Aquaculture. 231489

Widmer, E. Widmer,E., Zell,R., Lukác,T., Casadei,M.,S chönholzer,P., dan

Broger,E.A. 1981. Technische Verfahren zur Synthese von

Carotinoiden und verwandten Verbindungen aus Oxo-isophoron. I.

Page 71: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

62

Modifizierung der Kienzle-Mayer-Synthese von (3S,3'S)-Astaxanthin.

Jurnal Helv. Chim. Acta. 64 :2405-2418

Winarno F.G., Fardiaz S., Fardiaz D. 1973. Ekstraksi, Kromatografi, dan

Elektroforesis. Bogor : Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian.

Yan, X., Chuda, Y., Suzuki, M., Nagata, T. 1999. Fucoxanthin as The

Major Antioxidant in Hijikia fusiformis, a Common Edible Seaweed.

Biosci. Biotechnol. Biochem. 63 : 605-607.

Zeb, Alam dan Mehmood, Sultan. 2004. Carotenoid Contents from

Various Sources and Their Potential Helth Applications. Pakistan

Journal of Nutrition. 3 (3) : 199-204.

Page 72: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Dikukus selama 10 menit pada suhu 100°C.Dikeringkan hingga didapat massa yang stabil.Digiling sampai menjadi tepung.

Kulit Kepala dan Kulit udang yang telah dicuci

Tepung Kulit Udang

LAMPIRAN

Lampiran 1. Bagan Pembuatan Tepung Kulit Udang

Page 73: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Dicampur dengan 50 mL asetonDimaserasi selama 3 hari pada suhu ruang

5 gr tepung kulit udang

Ekstrak Astasantin

Dialirkan gas nitrogen selama 5 menitDipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40o CDiukur absorbansinya pada panjang gelombang optimum dengan menggunakan spektrofotometer.

* Proses ekstraksi diulangi dengan waktu maserasi selama 5 dan 7 hari.

Dimurnikan dengan petroleum eter dalam corong pisah Ditambahkan dengan NaCl 1 %Diekstraksi kembali dan ditampung fasa organik

Fasa Organik

Ditambahkan Na2SO4 anhidratDisaring dan filtrat ditampung

Filtrat fasa Organik

Lampiran 2. Bagan ekstraksi Astasantin (Penentuan Waktu Optimum)

64

Page 74: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Dicampurkan dengan 40 mL asetonDimaserasi pada waktu optimum

5 gr tepung kulit udang

Ekstrak Astasantin

Dialirkan gas nitrogen selama 5 menitDipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40o CDiukur absorbansinya pada panjang gelombang optimum dengan menggunakan spektrofotometer.

* Proses ekstraksi diulangi dengan volume aseton 45 mL

Dimurnikan dengan petroleum eter dalam corong pisah Ditambahkan dengan NaCl 1 %Diekstraksi kembali dan ditampung fasa organik

Fasa Organik

Ditambahkan Na2SO4 anhidratDisaring dan filtrat ditampung

Filtrat fasa Organik

Lampiran 3. Bagan ekstraksi Astasantin (Penentuan Rasio Pelarut Optimum)

65

Page 75: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Dilihat spektrumnya dengan spektrofotometer infra merah pada bilangan gelombang 750-4000 cm-1

Secuplikan larutan ekstrak Astasantin

Spektrum Infra Merah Ekstrak Astasantin

Lampiran 4. Bagan Karakterisasi Ekstrak Astasantin dengan

Spektrofotometer Infra Merah

66

Page 76: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Ekstrak Astasantin yang telah dihomogenisasi

Diambil 5 L ekstrak Astasantin dan diukur kadar Astasantin menggunakan KCKT pada suhu 40°C.

Dioven pada suhu 30oCDiencerkan dengan 1 mL n-heksana.Dihomogenisasi dengan homogeniser selama 5 menit.

Secuplikan ekstrak Astasantin

Lampiran 5. Bagan Pengujian Konsentrasi Ekstrak Astasantin dengan

KCKT

67

Page 77: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Larutan DPPH

Dilarutkan dengan metanol pro analisis hingga 50 mL.Ditempatkan dalam botol gelap.

Untuk setiap pengujian larutan dibuat baru

7,9 mg DPPH

Lampiran 6. Bagan Pembuatan Larutan DPPH 0,4 mM Uji Aktivitas Antioksidan

68

Page 78: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Larutan Blanko

Dipipet ke dalam tabung reaksi yang telah ditara 5 mLDitambahkan metanol pro analisis hingga tanda batas dan dihomogenkan

Mulut tabung ditutup dengan aluminium foil

1 mL larutan DPPH 1mM

Lampiran 7. Bagan Pembuatan Larutan Blanko Uji Aktivitas Antioksidan

69

Page 79: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Mulut tabung ditutup dengan alumunium foilDiinkubasi dalam penangas air 37oC selama 30 menit

Larutan Induk

Dilarutkan ke dalam  5,0 mL metanol pro analisis

5 mg ekstrak

Dipipet ke dalam 5 buah tabung reaksi yang telah ditara 5 mL sebanyak 50, 100, 250, 500 dan 1000 LDitambahkan 1,0 mL larutan DPPHDitambahkan dengan metanol pro analisis sampai 5 mL.Dihomogenkan

5 L/mL 10 L/mL 50 L/mL25 L/mL 100 L/mL

Larutan Uji

Diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum (kisaran 500-530 nm) dengan menggunakan spektrofotometer cahaya tampak.

Lampiran 8. Bagan Pembuatan Larutan Uji Aktivitas Antioksidan

70

Page 80: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Larutan Induk

Dilarutkan ke dalam  5,0 mL metanol pro analisis

3 mg vitamin C

Dipipet ke dalam 5 buah tabung reaksi yang telah ditara 5 mL sebanyak 250, 200, 150, 100 dan 500 LDitambahkan 1,0 mL larutan DPPHDitambahkan dengan metanol pro analisis sampai 5 mL.Dihomogenkan

15 L/mL 14 L/mL 6 L/mL9 L/mL 3 L/mL

Larutan Kontrol

Lampiran 9. Pembuatan Larutan Kontrol Uji Aktivitas Antioksidan

Diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum (kisaran 500-530 nm) dengan menggunakan spektrofotometer cahaya tampak.

71

Page 81: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

72

Lampiran 10. Spektra Infra Merah Hasil Ekstrak Astasantin

7501000

12501500

17502000

25003000

35004000

1/cm

0 20 40 60 80

100

%T

3369.64

2924.09

1712.79

1620.21

1463.97

1377.17

1220.94

1170.79

1049.28

960.55

916.19

840.96

astaxanthin (cair)

Page 82: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

73

Page 83: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Lampiran 11. Hasil Analisis Puncak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Untuk Standar Astasantin

0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 min

-50

0

50

100

150

200

250

mAU

13.6

24/2

9080

Puncak standar pada menit ke-13,624; dengan luas area sebesar 29,080

pada panjang gelombang 460 nm.

13.4 13.5 13.6 13.7 13.8 min

5.0

5.5

6.0

6.5

7.0

7.5

8.0

mAU

475nm470nm465nm460nm455nm450nm445nm

73

Page 84: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Lampiran 12. Hasil Analisis Puncak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

untuk Ekstrak Astasantin

Puncak sampel pada menit ke-13,280; dengan luas area sebesar 52,582

pada panjang gelombang 460 nm

13.25 13.50 13.75 14.00 min

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

5.0

5.5mAU

475nm470nm465nm460nm455nm450nm445nm

0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 min

-5

0

5

10

15

20

25

30

mAU

13.2

80/5

2582

74

Page 85: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

76

Lampiran 13. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Astasantin dengan KCKT

Diketahui

Konsentrasi standar Astasantin : 13,5 ppm

Luas area puncak standar : 52,582

Luas area puncak sampel (ekstrak Astasantin) : 29,080

Ditanya

Berapa besar konsentrasi sampel (ekstrak Astasantin) yang didapatkan?

Jawab

Faktor respon = Luasarea puncak standarkonsentrasi standar

Faktor respon = 52,582

13,5 ppm

Faktor respon = 3,895 ppm-1

Konsentrasi sampel (ppm) = Luasarea puncak sampel

Faktor respon

Konsentrasi sampel (ppm) = 29,080

3,895 ppm⁻ ᶦKonsentrasi sampel (ppm) = 7,466 ppm

Page 86: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Lampiran 14. Hasil Uji Antioksidan pada ekstrak Astasantin dengan

DPPH

NamaSampel

C(ppm) A1 A2 Ā A

BlankoInhibisi

(%)IC50

(ppm)Sampel 5 0,799 0,797 0,798

0,799

0,125

338,500

10 0,783 0,788 0,786 1,690

25 0,779 0,779 0,779 2,503

50 0,776 0,764 0,770 3,630

100 0,685 0,668 0,677 15,332

Vitamin C 3 0,509 0,450 0,480 39,987

2,7976 0,259 0,269 0,264 66,959

9 0,041 0,042 0,042 94,806

14 0,033 0,037 0,035 95,620

15 0,030 0,028 0,029 96,370

Keterangan :

C  (ppm)  : konsentrasi (ppm)

A1 : absorbansi simplo

A2 : absorbansi duplo

Ā : absorbansi rata-rata

IC50 : Inhibisi konsentrasi 50

76

Page 87: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

Lampiran 15. Perhitungan Aktivitas Antioksidan pada Metode DPPH

untuk Larutan Sampel Ekstrak Astasantin

Konsentrasi 5 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)Serapanblanko

×100 %

Inhibisi(%)=(0,799−0,798)0,799

×100%Inhibisi (% )=0,125%

Konsentrasi 10 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)Serapanblanko

×100 %

Inhibisi(%)=(0,799−0,786)

0,799×100%Inhibisi (% )=1,690 %

Konsentrasi 25 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)

Serapanblanko×100 %

Inhibisi(% )=(0,799−0,779)0,799

×100 %Inhibisi (% )=2,503 %

Konsentrasi 50 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)

Serapanblanko×100 %

Inhibisi (% )= (0,799−0,770 )0,799

×100 %Inhibisi (% )=3,630 %

Konsentrasi 100 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanS ampel)

Serapan blanko×100 %

Inhibisi(% )=(0,799−0,677)0,799

×100 %Inhibisi (% )=15,332 %

Lampiran 16. Perhitungan Aktivitas Antioksidan pada Metode DPPH

untuk Larutan Kontrol Asam Askorbat

Konsentrasi 3 ppm

Inhibisi(% )=(Ser apanBlanko−SerapanSampel)Serapanblanko

×100 %

Inhibisi(%)=(0,799−0,480)

0,799×100%Inhibisi (% )=39,987 %

Konsentrasi 6 ppm

777

Page 88: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

79

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)

Serapanblanko×100 %

Inhibisi(% )=(0,799−0,264)0,799

×100 % Inhibisi (% )=66,959 %

Konsentrasi 9 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)

Serapanblanko×100 %

Inhibisi(% )=(0,799−0,042)0,799

×100 %Inhibisi (% )=94,806 %

Konsentrasi 14 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)

Serapanblanko×100 %

Inhibisi (% )= (0,799−0,035 )0,799

×100 %Inhibisi (% )=95,620 %

Konsentrasi 15 ppm

Inhibisi(% )=(SerapanBlanko−SerapanSampel)

Serapanblanko×100 %

Inhibisi(% )=(0,799−0,029)0,799

×100 %Inhibisi (% )=96,370 %

Lampiran 17. Perhitungan Nilai IC50 pada Metode DPPH

a. Ekstrak Astasantin

Persamaan regresi linier pada grafik : Y = 0,150x

50 = 0,150x

X = 50

0,150

IC50 = 338,500

a. Vitamin C

Persamaan regresi linier pada grafik : Y = 4,353x

50 = 4,353x

X = 50

4,353

Page 89: 1.Erriska R P (SPS + Bab 4) REVISISIAN 1 bu erda.docx

80

IC50 = 2,797