1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

7
Analisis, Juni 2012, Vol.1. No.1 : 86 – 92 ISSN 2252-7230 86 EFEKTIFITAS JAKSA SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN Effectiveness of Prosecutor’s Authority as Corrupt Criminal Investigator in South Sulawesi High Court Rahmawati Azis 1 , Aminuddin Ilmar 2 , Muhadar 3 1 Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan 2 Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin Makassar 3 Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin Makassar ABSTRAK Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang dirubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 menjadi filter pemberantasan korupsi, kejaksaan RI diharapkan sebagai ujung tombak terdepan di dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia. UU No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan menjadi dasar atas tugas dan kewenangan yang dimiliki kejaksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas kewenangan penyidkan Tindak Pidana Korupsi yang diberikan oleh Undang-undang kepada Kejaksaan R.I guna memberantas tindak pidana korupsi dan kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan R.I pada umumnya, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada khususnya dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Penelitian ini dilaksanakan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini normatif empiris yaitu survei lapangan dengan mewawancarai dan memberikan quisioner kepada para jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, sedangkan untuk mendapatkan data sekunder dilakukan studi kepustakaan dan dokumentasi. Pengambilan sampel dilakukan khusus di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas pelaksanaan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di makassar menunjukkan efektifitas yang cukup baik, hal tersebut tertuang dalam trend peningkatan penyidikan tindak pidana korupsi dan data penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Kata Kunci : kewenangan,jaksa penyidik korupsi ABSTRACT Law changed 31 year in 1999 wich from the law 20 year in 2001 to filter the eradication of investigating corruption,prosecutor RI are expected as the spearhead in the forefront of fighting corruption in indonesia. Law number 16 year in 2004 on the basis of the prosecutor’s duties and authority in owned by the prosecution. The research intends to acknowledge the effectiveness of crime investigations of corruption authority granted by law to RI prosecutors to covercome corruption and the obstacles encountered by the RI General Attorney particularly in investigating corruption. The research was carried out in South Sulawesi General Attorney. The methods which were used in doing the research was normative Empirical, it was field survey by interviewing prosecutors in South Sulawesi General Attorney, whereas to obtain secondary data done by library research and documentation. Sampling was done specifically in the Makassar General Attorney in South Sulawesi. The results showed that the effectiveness implementation of criminal investigation executed by Prosecutors in South Sulawesi High Court in Makassar shows a fairly good. it is stated that the trend of increasing corruption investigation and corruption data handling by the prosecutors in South Sulawesi High Court more becoming better and rapidly increasing. Keyword : authority, prosecutor of investigator a corruption

Transcript of 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

Page 1: 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

Analisis, Juni 2012, Vol.1. No.1 : 86 – 92 ISSN 2252-7230

86

EFEKTIFITAS JAKSA SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN

Effectiveness of Prosecutor’s Authority as Corrupt Criminal Investigator in South Sulawesi High Court

Rahmawati Azis1, Aminuddin Ilmar2, Muhadar3

1Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan 2Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin Makassar 3Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin Makassar

ABSTRAK

Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang dirubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 menjadi filter pemberantasan korupsi, kejaksaan RI diharapkan sebagai ujung tombak terdepan di dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia. UU No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan menjadi dasar atas tugas dan kewenangan yang dimiliki kejaksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas kewenangan penyidkan Tindak Pidana Korupsi yang diberikan oleh Undang-undang kepada Kejaksaan R.I guna memberantas tindak pidana korupsi dan kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan R.I pada umumnya, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada khususnya dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Penelitian ini dilaksanakan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini normatif empiris yaitu survei lapangan dengan mewawancarai dan memberikan quisioner kepada para jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, sedangkan untuk mendapatkan data sekunder dilakukan studi kepustakaan dan dokumentasi. Pengambilan sampel dilakukan khusus di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas pelaksanaan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di makassar menunjukkan efektifitas yang cukup baik, hal tersebut tertuang dalam trend peningkatan penyidikan tindak pidana korupsi dan data penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar yang dari tahun ke tahun terus meningkat.

Kata Kunci : kewenangan,jaksa penyidik korupsi

ABSTRACT

Law changed 31 year in 1999 wich from the law 20 year in 2001 to filter the eradication of investigating corruption,prosecutor RI are expected as the spearhead in the forefront of fighting corruption in indonesia. Law number 16 year in 2004 on the basis of the prosecutor’s duties and authority in owned by the prosecution. The research intends to acknowledge the effectiveness of crime investigations of corruption authority granted by law to RI prosecutors to covercome corruption and the obstacles encountered by the RI General Attorney particularly in investigating corruption. The research was carried out in South Sulawesi General Attorney. The methods which were used in doing the research was normative Empirical, it was field survey by interviewing prosecutors in South Sulawesi General Attorney, whereas to obtain secondary data done by library research and documentation. Sampling was done specifically in the Makassar General Attorney in South Sulawesi. The results showed that the effectiveness implementation of criminal investigation executed by Prosecutors in South Sulawesi High Court in Makassar shows a fairly good. it is stated that the trend of increasing corruption investigation and corruption data handling by the prosecutors in South Sulawesi High Court more becoming better and rapidly increasing.

Keyword : authority, prosecutor of investigator a corruption

Page 2: 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

kewenangan, jaksa penyidik korupsi ISSN 2252-7230

87

PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara yang

sedang berkembang perlu melakukan pembangunan di segala bidang. Hakekat suatu pembangunan adalah proses perubahan terus menerus menuju suatu peningkatan kehidupan masyarakat. Dengan demikian pembangunan senantiasa akan menimbulkan perubahan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam segala aspek kehidupan.

Tindak pidana korupsi di Indonesia Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu juga terdapat UU yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yang kemudian secara berturut-turut mengalami perubahan sebanyak 4 (empat) kali. Yang pertama, berubah adalah PERPU NO 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU No 1 Tahun 1961. Yang kemudian berubah untuk kedua kalinya menjadi UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian berubah untuk ketiga kalinya menajdi UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan yang keempat disempurnakan berubah menjadi UU NI 21 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No 31 tahun 1999.

Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No 20 tahun 2001 menjadi andalan untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut diharapkan mampu memenuhi dan menjawab perkembangan kebutuhan masyarakat dalam upaya mencegah dan memberantas secara lebih efektif Tindak Pidana Korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta pada masyarakat pada umumnya.

Selain UU No 31 tahun 1999 yang dirubah menjadi UU No 20 tahun 2001 menjadi filter pemberantasan korupsi, Kejaksaan Republik Indonesia juga diharapkan sebagai ujung tombak

terdepan di dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I menjadi dasar tentang tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan R.I. Atas dasar kewenangan tersebut, Kejaksaan Agung Republik .Indonesia diharapkan mampu bertindak untuk memberantas korupsi. Telah banyak berbagai upaya baik berupa surat edaran maupun petunjuk teknis telah dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung R.I. Salah satu upaya yang menarik penulis adalah Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung No: SE-001/A/JA/01/2003 tanggal 15 Januari 2003 tentang peningkatan Penanganan Tindak Pidana Korupsi.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan efektifitas kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang diberikan oleh Undang-undang kepada Kejaksaan R.I guna memberantas tindak korupsi di Indonesia dan untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan R.I pada umumnya , Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada khususnya dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian Penulis dalam penelitiannya

menggunakan penelitian yang bersifat empiris namun penulis berupaya menggabungkannya dengan penelitian normatif. Terjadinya penggolongan kajian hukum ke dalam spesialisasi timbul dari kehendak untuk membuat dan menegakkan batas yurisdiksi kewenangan yang jelas dan tegas demi kepentingan profesionalisme.

Lokasi Penelitian Dalam melakukan penelitian

dilapangan, penulis memilih lokasi penelitian pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Kota Makassar dengan pertimbangan bahwa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan merupakan level tertinggi struktur Kejaksaan pada tingkat

Page 3: 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

Rahmawati Azis, Aminuddin Ilmar, Muhadar ISSN 2252-7230

88

Provinsi. Selain itu penulis memper-timbangkan bahwa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan memiliki Jaksa berbagai macam latar belakang, dari yang struktural maupun fungsional, dari golongan jaksa yang pada level bawah (gol III/a) hingga golongan Jaksa yang pada level tertinggi (Gol IV/d), sehingga penulis berharap dapat mengakomodasi Jaksa secara keseluruhan pada wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer, data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara (interview) kepada para Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Data sekunder, data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan data telaah dari beberapa tulisan kritis dan artikel hukum yang sangat update.

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini guna memperoleh data dan informasi adalah wawancara, pengumpulan data yang dilakukan peneliti secara lansung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan penelitian kepada para narasumber atau responden studi dokumentasi, dan observasi.

Analisis Data Dalam analisis data, dipisahkan data

mana yang terkait serta data mana yang tidak terkait. Data yang terkumpul dianalisis setelah melalui proses klasifikasi berupa pengelompokkan data ke dalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Klasifikasi data merupakan langkah awal mengadakan perubaha data mentah menuju pada pemanfaatan data sehingga dapat terlihat kaitan satu sama lainnya, juga tindaka ini sebagai awal penafsiran untuk analisis. Berbagai data yang diperoleh oleh penulis akan dituangkan dalam tulisan ini mengguna-kan metode deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Undang-undang No 31 tahun 1999

yang dirubah menjadi UU No 20 tahun 2001 menjadi filter pemberantasan korupsi, Kejaksaan Republik Indonesia juga diharapkan sebagai ujung tombak terdepan di dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I menjadi dasar tentang tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan R.I. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi dan wewenang Kejaksaan selaku Penyidik tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan profesionalisrne yang tinggi dan didukung dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta peraturan penunjang berupa petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pimpinan. Hal ini diharapkan nantinya Kejaksaan dapat menjadi motor penggerak penegakan hukum di lndonesia utamanya dalam bidang penyidikan tindak pidana korupsi. Dari hasil penelitian penulis di Kejaksaan tinggi Sulawesi Selatan menunjukkan efektifitas yang cukup baik, hal tersebut tertuang dalam tabel peningkatan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal tersebut sesuai dengan data penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan yang dari tahun ke tahun terus meningkat.

Sebagai bagian dari sistem hukum, maka institusi kejaksaan beserta personil penyidik didalamnya yang diberi wewenang oleh undang-undang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, diharapkan mampu melaksana-kan wewenang tersebut dengan efektif dan efesien dalam proses penegakan hukum utamanya penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Hal tersebut dimaksudkan agar kelemahan penyidik kejaksaan sebagai sebuah sistem hukum dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak serta merta berpengaruh negative terhadap sistem hukum lainnya yang pada akhirnya dapat

Page 4: 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

kewenangan, jaksa penyidik korupsi ISSN 2252-7230

89

berimplikasi pada lemahnya penegakan hukum itu sendiri.

Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Beberapa kasus korupsi yang disidik oleh penyidik kepolisian maupun kejaksaan sejak tahun 2008 hingga tahun 2011 dimakassar, terhadap tersangka ada yang dilakukan tindakan hukum penahanan dan kemudian ditangguhkan, dan ada pula yang tidak dilakukan penahanan sama sekali. Tindakan hukum penggeledahan bahkan tidak pernah dilakukan.

Tindakan hukum penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harta benda tersangka tindak pidana korupsi, menurut penulis seharusnya menjadi salah satu skala prioritas penyidik dalam rangka mengefektifkan proses penyelesaian perkara korupsi, utamanya dalam hal upaya mengumpulkan alat bukti sebanyak mungkin.

Penangkapan, penahanan, penggele-dahan dan penyitaan harta benda tersangka tindak pidana korupsi dapat menjadi salah satu bagian strategis yang jitu bagi penyidik untuk menyakinkan publik tentang kinerja penyidik dalam menangani perkara korupsi.

Penangkapan, penahanan, penggele-dahan dan penyitaan harta benda tersangka tindak pidana korupsi juga menjadi sangat urgen dalam perspektif pencitraan institusi penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan. Salah satunya adalah karena dapat menjadi indikator bagi publik tentang bagaimana profesionalisme dan kinerja penyidik melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi dengan cara-cara yang luar biasa, sebagaimana

karakter kejahatan korupsi yang juga merupakan kejahataan luar biasa

Sebagai bagian dari sistem hukum, maka institusi kejaksaan beserta personil penyidik didalamnya yang diberi wewenang oleh undang – undang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, diharapkan mampu melaksanakan wewenang tersebut dengan efektif dan efesien dalam proses penegakan hukum utamanya penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Indikator keberhasilan penyidik tindak pidana korupsi dalam mengemban tugas memberantas KKN, antara lain adalah keberhasilan membangun animo dan mendorong aspirasi masyarakat agar memiliki akses untuk berperan aktif membantu mengungkap tindak pidana korupsi dengan cara memberikan informasi sebanyak mungkin kepada institusi penyidik.

Hasil Kinerja Wujud Efektifitas Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Jumlah penanganan perkara tindak pidana Korupsi khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari Januari 2008 hingga Desember 2011 menunjukkan adanya peningkatan (tabel.1), dan grafik jumlah penanganan perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (grafik.1). Untuk rekapitulasi secara keseluruhan penanganan perkara tindak pidana korupsi khususnya dalam tahap penyidikan dan penuntutan se wilayah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada tahun 2008, 2009, 2010, 2011. (tabel.2).

Page 5: 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

Rahmawati Azis, Aminuddin Ilmar, Muhadar ISSN 2252-7230

90

Tabel 1. Jumlah penanganan perkara Tindak pidana Korupsi pada Kejati Sulsel

2008 2009 2010 2011

PENYELIDIKAN 1 3 10 13

PENYIDIKAN 6 12 25 10

PENUNTUTAN 13 11 14 14

Grafik 1. Jumlah Penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi pada Kejati Sulsel

Tabel 2. Rekapitulasi penyidikan dan penuntutan se wilayah Hukum Kejati Sulsel

2008 2009 2010 2011

PENYIDIKAN 54 75 167 118

PENUNTUTAN 76 95 130 119

Dalam berbagai dimensi, kendala-

kendala yang dihadapi penyidik dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yaitu: Kurangnya peran serta masyarakat melapor tindak pidana korupsi. Pada umumnya masyarakat dan LSM pemerhati korupsi memiliki animo untuk memberikan informasi dugaan tindak pidana korupsi kepada instansi penyidik yang berwenang, akan tetapi masyarakat sering kali dihinggapi keraguan sebab dilain sisi mereka meminta perlindungan kepada penyidik agar identitasnya dirahasiakan, namun disisi lain penyidik justru terfokus menggali informasi lebih dalam kepada

pelapor yang bersangkutan secara terbuka, bahwa pelapor yang justru diminta untuk melengkapi bukti-bukti kongkrit atas laporannya, padahal sepengetahuan si pelapor bahwa pengumpulan bukti-bukti yang lebih mendalam adalah tugas penyidik.

Keterbatasan personil jaksa Dibidang Tindak Pidana Khusus terdapat 7 orang jaksa, 4 orang fungsional dan 3 orang struktural. Kurangnya personil jaksa menjadi salah satu kendala dalam penyelesaian tindak pidana korupsi karena jumlah tersebut tidak seimbang dengan perkara yang masuk. Selain itu para jaksa tersebut masih dibebani

0

5

10

15

20

25

30

2008 2009 2010 2011

PENYELIDIKAN

PENYIDIKAN

PENUNTUTAN

Page 6: 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

kewenangan, jaksa penyidik korupsi ISSN 2252-7230

91

perkara tindak pidana umum, sehingga sering kali pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi bertabrakan dengan jadwal sidang perkara tindak pidana umum. Integritas penyidik dalam pengungkap tindak pidana korupsi. Selain itu integritas merupakan tata sikap yang terwujud melalui pola perilaku jujur dan konsisten. Pola perilaku yang jujur dan konsisten merupakan satu kesatuan tata sikap yang mutlak harus dimiliki dan di implementasikan oleh seorang penyidik dalam menjalankan tugas-tugas penegakan hukum. Jikalau tata sikap tersebut itu dimiliki oleh penyidik, maka akan sulit bagi para pelaku korupsi untuk mempengaruhi kerja-kerja dan keputusan-keputusan penyidik dalam proses penyelesaian suatu penyidikan, apalagi jika mereka ingin diajak berkompromi dengan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya.

KESIMPULAN

Bahwa pelaksanaan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menunjukkan efektifitas yang cukup baik hal tersebut tertuang dalam trend peningkatan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal tersebut sesuai dengan data penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Namun menurut penulis masih diperlukan adanya perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan.

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan selaku penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya terdapat faktor-faktor yang menjadi kendala antara lain : Modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin komplek, memerlukan kecermatan dan ketelitian yang luar biasa dari penyidik untuk mengungkap dan membuktikan adanya suatu tindak pidana korupsi. Subjek hukum tindak pidana

korupsi yang cenderung dilindungi korps/ institusinya, atasannya, atau kerabatnya serta sulitnya menghimpun bukti permulaan. Majemen kualitas dan kuantitas sumber daya penyidik yang masih perlu ditingkatkan. Sarana dan prasana dalam hal kepentingan penyidikan yang belum memadai, misalnya dalam hal kendaraan operasional yang terbatas, tidak adanya alat-alat canggih penyadapan yang diharapakan dpaat membantu mempercepat penanganan perkar tindakla pidana korupsi. Terbatasnya anggaran dana penyidikan yang ada dimana hal tersebut membatasi kuantitas penyidikan tindak pidana korupsi yang akan dilakukan.

Pelaksanaan fungsi dan wewenang Kejaksaan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi hendaknya dilakukan dengan memperhatikan secara jelas, cermat dan teliti terhadap semua peraturan perundang-undangan yang menyangkut tindak pidana korupsi, sehingga diharapkan institusi Kejaksaan selaku penyidik dapat menjalankan fungsi dan wewenangnya tersebut dengan profesionalisme yang tinggi dan dapat dipertanngungjawabkan secara hukum. Meskipun proses penyidikan tindak pidana korupsi sebagian menggunakan aturan yang terdapat dalam KUHAP, seharusnya untuk mempermudah pelaksanaannya, diatur tersendiri dalam Undang-Undang khusus tentang tindak pidana korupsi yang disajikan secara lengkap, hal ini juga untuk menghindari perbedaan persepsi atau interprestasi dalam penerapan hukum lebih lanjut, guna mempermudah penanganan perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan, petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang diatur secara internal oleh pimpinan Kejaksaan hendaknya tidak bersifat menghambat perkara korupsi dikarenakan pengaruh kepentingan kepentingan tertentu.

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang Kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi hendaknya tidak menjadi batu

Page 7: 1e0a6207e09310f85637d9b63e92120a

Rahmawati Azis, Aminuddin Ilmar, Muhadar ISSN 2252-7230

92

sandungan dalam proses hukum. yang sedang berlangsung, namun hal ini harus diupayakan segera untuk dipikirkan oleh intitusi Kejaksaan dengan mengadakan perubahan mekanisme penanganan tindak pidana korupsi guna mengurangi kendala yang akan dihadapi dengan cara melakukan evaluasi tiap tahun terhadap penanganan tindak pidana korupsi yang kemudian nantinya hasil evaluasi tersebut dapat merumuskan segala bentuk kendala yang dihadapi dan kemudian secara bersama-sama merumuskan solusi atau kebijakan yang ditempuh.disarnping itu, peranan Pemerintah dan DPR sangat dibutuhkan dalam hal pembuatan kebijakan peraturan yang dapat mempermudah penanganan perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan utamanya dalam proses penyidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. (2008). Menguak Tabir Hukum. Jakarta. Kencana.

Aswanto. (2011) Bahan Kuliah Tindak Pidana Korupsi. Program Pasca sarjana kelas kerjasama antara

Universitas Hasanudin dan Kejaksaan Agung R.I.

Caherudin. (2008). Strategi pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Aditama Bandung.

Hamzah,Andi. (1984). Korupsi di Indonesia Masalah dan pemecahannya. Jakarta. PT. Gramedia.

Hartanti, Evi. (2007) Tindak Pidana Korupsi ( edisi kedua ) Jakarta.Sinar Grafika

KUHAP dan pejelasannya.

Lopa, Baharuddin. (2001). Kejahatan Korupsi dan penegakan Hukum. Jakarta, Kompas.

Undang-undang R.I No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Undang-undang R.I No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang R.I No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999.

www.kejaksaan.go.id