19-41-1-SM

11
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 18, No.1, 2013, halaman 17-27 ISSN : 1410-0177 17 KAJIAN PENGGUNAAN OBAT INTRAVENA DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI Hansen Nasif , Monalisa Yuned, Husni Muchtar Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang Indonesia E-mail : [email protected] ABSTRAK Injeksi merupakan salah satu cara pemberian obat yang biasa digunakan dalam mengobati penyakit. Injeksi saat ini telah menjadi prosedur pengobatan yang paling umum ditemukan di dunia dengan 16 milyar injeksi diberikan setiap tahunnya. Pasien sebaiknya tidak diberikan injeksi intravena bila terapi per oral dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari ketepatan pilihan penggunaan obat secara intravena mengacu pada sembilan kriteria penggunaan obat secara intravena (Scot, 2003; Mycek, 2001; Ansel, 1989). Penelitian dilakukan dengan metode observasi prospektif melalui pengamatan langsung pada kondisi pasien yang mendapatkan obat dalam bentuk sediaan intravena dengan memperhatikan juga data rekam medik nya. Teknik pengambilan sampel menggunakan metoda purposive sampling di SMF Ilmu Penyakit dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dari Mei sampai Agustus 2009. Setelah dilakukan penelitian di dapatkan penggunaan sediaan intravena untuk 81 orang pasien dengan 134 kali pemberian injeksi. Dalam penelitian ini masih ditemukan pemilihan penggunaan sediaan intravena yang tidak tepat yaitu pada 21 kali pemberian (15,7%) pada penggunaan furosemid, metoklopramide dan ranitidin. Farmasis sangat di butuhkan di ward/bangsal untuk memberikan rekomendasi farmasis supaya tidak terdapat keraguan dalam pemilihan penggunaan sediaan intravena sehingga peran farmasis sebagai drugs therapy advisor dapat dijalankan. Keyword : intravena, farmasis, pemilihan PENDAHULUAN Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis sesuai dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya (Tjay, 2002). Beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya bila tidak tepat pemberiannya Harrison, 1999). Rute pemberian obat terutama dipengaruhi oleh sifat obat, kestabilan obat, tujuan terapi ,kecepatan absorbsi yang diperlukan, kondisi pasien, keinginan pasien, dan kemungkinan efek samping (Siregar, 2005; Mycek 2001; Tjay, 2002). Pemakaian obat dikatakan tidak tepat apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali, sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Vance & Millington; 1986). Salah satu cara pemberian obat yang biasa digunakan dalam mengobati penyakit adalah dengan injeksi. Injeksi saat ini telah menjadi prosedur pengobatan yang paling umum ditemukan di dunia, 16 milyar injeksi diberikan setiap tahun (90% untuk terapi dan 10% untuk imunisasi).

description

sm

Transcript of 19-41-1-SM

Page 1: 19-41-1-SM

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 18, No.1, 2013, halaman 17-27 ISSN : 1410-0177

17

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT INTRAVENA DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD

DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

Hansen Nasif , Monalisa Yuned, Husni Muchtar

Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang Indonesia

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Injeksi merupakan salah satu cara pemberian obat yang biasa digunakan dalam mengobati

penyakit. Injeksi saat ini telah menjadi prosedur pengobatan yang paling umum ditemukan di

dunia dengan 16 milyar injeksi diberikan setiap tahunnya. Pasien sebaiknya tidak diberikan

injeksi intravena bila terapi per oral dapat dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari ketepatan pilihan penggunaan obat secara

intravena mengacu pada sembilan kriteria penggunaan obat secara intravena (Scot, 2003;

Mycek, 2001; Ansel, 1989). Penelitian dilakukan dengan metode observasi prospektif melalui

pengamatan langsung pada kondisi pasien yang mendapatkan obat dalam bentuk sediaan

intravena dengan memperhatikan juga data rekam medik nya. Teknik pengambilan sampel

menggunakan metoda purposive sampling di SMF Ilmu Penyakit dalam RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi dari Mei sampai Agustus 2009.

Setelah dilakukan penelitian di dapatkan penggunaan sediaan intravena untuk 81 orang

pasien dengan 134 kali pemberian injeksi. Dalam penelitian ini masih ditemukan pemilihan

penggunaan sediaan intravena yang tidak tepat yaitu pada 21 kali pemberian (15,7%) pada

penggunaan furosemid, metoklopramide dan ranitidin.

Farmasis sangat di butuhkan di ward/bangsal untuk memberikan rekomendasi farmasis

supaya tidak terdapat keraguan dalam pemilihan penggunaan sediaan intravena sehingga

peran farmasis sebagai drugs therapy advisor dapat dijalankan.

Keyword : intravena, farmasis, pemilihan

PENDAHULUAN

Obat merupakan semua zat baik

kimiawi, hewani, maupun nabati yang

dalam dosis sesuai dapat menyembuhkan,

meringankan, atau mencegah penyakit

berikut gejalanya (Tjay, 2002). Beberapa

obat dapat menimbulkan efek samping

yang serius atau berpotensi menimbulkan

efek yang berbahaya bila tidak tepat

pemberiannya Harrison, 1999).

Rute pemberian obat terutama

dipengaruhi oleh sifat obat, kestabilan obat,

tujuan terapi ,kecepatan absorbsi yang

diperlukan, kondisi pasien, keinginan

pasien, dan kemungkinan efek samping

(Siregar, 2005; Mycek 2001; Tjay, 2002).

Pemakaian obat dikatakan tidak tepat

apabila kemungkinan untuk memberikan

manfaat kecil atau tidak ada sama sekali,

sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak

sebanding dengan kemungkinan efek

samping atau biayanya (Vance &

Millington; 1986).

Salah satu cara pemberian obat

yang biasa digunakan dalam mengobati

penyakit adalah dengan injeksi. Injeksi

saat ini telah menjadi prosedur pengobatan

yang paling umum ditemukan di dunia, 16

milyar injeksi diberikan setiap tahun (90%

untuk terapi dan 10% untuk imunisasi).

Page 2: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

18

Namun, injeksi yang diberikan tersebut

seringkali tidak diperlukan dan kerapkali

tidak aman. Salah satu jenis injeksi adalah

injeksi intravena. Pemberian obat dengan

injeksi intravena memberikan reaksi

tercepat yaitu kurang lebih 18 detik karena

obat yang dimasukkan melalui satu

pembuluh darah langsung bereaksi menuju

sel dan jaringan, sehingga efeknya lebih

cepat dan kuat (Tjay, 2002).

Sediaan injeksi intravena

digunakan antara lain bila: obat dirusak

oleh asam lambung atau obat tidak

diabsorbsi, obat diabsorbsi tetapi

dikeluarkan cepat akibat metabolisme

lintas pertama, makanan mempengaruhi

absorbsi, jika pasien tidak mau atau tidak

dapat menelan, usus tidak berfungsi

dengan baik, diperlukan absorbsi yang

sangat cepat, diperlukan kadar yang tinggi

dalam jaringan, diperlukan pelepasan obat

perlahan dan sediaan oral tidak dapat

memenuhi ketentuan tersebut, dan

bilamana diperlukan penyesuaian dosis

secara terus menerus (Scot, 2003; Mycek,,

2001; Ansel, 1989). Injeksi intravena tidak

diberikan untuk obat yang menimbulkan

endapan dengan protein atau butiran darah

(Tjay, 2002). Pasien sebaiknya tidak

diberikan injeksi intravena bila terapi per

oral dapat dilakukan karena terapi per oral

pada umumnya lebih aman, lebih murah

dan lebih mudah digunakan (Scot, 2003).

Injeksi intravena dapat

menimbulkan masalah antara lain: tekanan

darah yang turun mendadak hingga terjadi

syok, nyeri pada saat memasukkan jarum,

ekstravasasi, masuknya bakteri melalui

kontaminasi menyebabkan hemolisis,

trombophlebitis, embolise, reaksi alergi,

gangguan kardiovaskuler dan pulmonar

karena peningkatan natrium dan volume

cairan dalam sistem sirkulasi dan reaksi

yang tak diinginkan lainnya karena

pemberian terlalu cepat obat konsentrasi

tinggi kedalam plasma dan jaringan-

jaringan (Tjay, 2002; Mycek,2001; Scot,

2003).

Injeksi intravena juga dapat

menimbulkan masalah dalam hal

penyimpanan dan pembuangan peralatan

bekas pakai untuk menghindari risiko HIV

dan hepatitis. Disamping itu, berbeda dari

obat yang diberikan melalui oral, obat

yang diberikan dengan cara ini tidak dapat

diambil kembali seperti dengan emesis

atau pengikatan dengan activated charcoal

sehingga resiko toksisitas obat lebih tinggi

(Mycek,2001; Scot, 2003; Ansel, . 1989).

Rute ini juga sering tanpa manfaat yang

lebih besar (Siregar, 2005).

Berdasarkan keadaan ini, maka

dianggap perlu melakukan penelitian

tentang Kajian Penggunaan Obat Secara

Intravena di SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi ini untuk

mengkaji tepat atau tidakkah tenaga

kesehatan dalam mengambil keputusan

untuk memberikan terapi intravena kepada

pasien dengan mempertimbangkan

berbagai aspek yang telah disebutkan di

atas sehingga tujuan terapi dapat tercapai

dengan baik dan sedapat mungkin

menghindari efek samping atau efek

toksik terapi.

DESAIN PENELITIAN

METODE

Penelitian dilaksanakan di RSUD

Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

dimulai pada tanggal 25 Mei 2009 hingga

14 Agustus 2009.

Penelitian dilakukan dengan Metoda

Observasi Prospektif.

Data didapat dari rekam medik dan

dengan memperhatikan kondisi pasien

rawat inap di SMF Ilmu Penyakit Dalam

Page 3: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

19

yang diberi pengobatan secara intravena di

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.

Penetapan sampel dilakukan dengan

Metoda Purposive Sample.

Data yang diambil adalah data

rekam medik yang meliputi No. Rekam

medik, nama pasien, jenis kelamin, umur,

tanggal masuk, alamat, keluhan, diagnosis,

jenis obat yang diberikan, cara pemberian

serta kondisi pasien saat pengambilan data

ini.

Penarikan kesimpulan dilakukan

berdasarkan pada analisis hasil ketepatan

penggunaan obat secara intravena sesuai

dengan anjuran literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Setelah dilakukan penelitian, maka

diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Jumlah pasien yang mendapat

terapi intravena adalah sebanyak

81 pasien dengan 134 kali

pemberian obat injeksi.

2. Obat-obat injeksi intravena yang

ditemukan dan berapa kali

dinjeksikan adalah sebagai

berikut:

Tabel 1. Jenis obat injeksi yang diberikan

dan jumlah pemberiannya.

No Jenis obat Injeksi Jumlah

injeksi

1

2

3

4

5

6

Cefotaksim

Ceftriaxon

Dopamin

Aminophylin

Metoklopramid

Vitamin K

17

10

1

4

14

12

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Vitamin C

Ranitidin

Furosemid

Piracetam

Asam Traneksamat

Tramadol

Neurotropik

(Alinamin)

Calcium Glukonas

Ketorolak

Deksamethason

2

19

23

1

13

3

1

4

1

9

3. Dari 81 pasien terdapat 113 kasus

penggunaan terapi Injeksi

intravena yang telah tepat dan 21

kasus penggunaan terapi injeksi

intravena yang kurang tepat.

4. Obat-obat yang kurang tepat

digunakan secara injeksi intravena

antara lain: Furosemid,

Metoklopramid dan Ranitidin

Pembahasan

Pada penelitian ini diperoleh pasien

yang mendapat terapi injeksi intravena

Cefotaxim sebanyak 17 pasien dan yang

mendapat terapi injeksi Ceftriaxon

sebanyak 10 pasien. Di SMF Ilmu

Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi, Cefotaxim dan

Ceftriaxon termasuk jenis antibiotika yang

sering digunakan.

Sefalosporin generasi ketiga ini digunakan

secara perenteral pada infeksi serius yang

resisten pada amoksisilin dan sefalosporin

generasi pertama, juga untuk profilaksis

pada bedah jantung, usus, ginekologi, dan

lain-lain (Tjay, 2002).

Cefotaxim dan Ceftiaxon telah

tepat diberikan secara injeksi. Menurut

literatur suatu obat tepat diberikan secara

intravena bila diperlukan aksi obat yang

cepat dibandingkan bila diberikan dengan

rute lain, pasien tidak dapat menelan obat

secara oral atau tidak dapat mengabsorbsi

obat tersebut, pengobatan mempunyai

Page 4: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

20

waktu paruh yang sangat pendek dan harus

diadministrasikan secara terus menerus,

dan pengobatan yang hanya efektif bila

diberikan secara intravena (Cheever,

2008).

Rute untuk terapi cefotaxim dan

ceftriaxon telah tepat diberikan secara

parenteral khususnya injeksi intravena

karena Cefotaxim Sodium dan Ceftriaxon

Sodium tidak di absorbsi secara baik pada

GastrointestinaI dan harus diberi secara

parenteral (American Hospital Formulary

Services (AHFS) Drug Information, 2008).

Sediaan Cefotaxim dan Ceftriaxon hanya

tersedia untuk pemberian parenteral

(Widodo, 1993), namun efek negatif yang

paling sering dilaporkan bila golongan

Cephalosporin khususnya Cefotaxim dan

Ceftriaxon diberikan secara parenteral

adalah reaksi lokal yang ditimbulkan di

lokasi suntikan. Phlebitis dan

thrombophlebitis adakalanya terjadi

dengan pemberian obat ini secara IV

(American Hospital Formulary Services

(AHFS) Drug Information, 2008).

Phlebitis atau trombophlebitis

adalah inflamasi yang terjadi pada bagian

dalam pembuluh darah halus. Hal ini

dapat terjadi karena batas jarum menembus

vena atau karena obat bersifat korosif dan

merusak vena. Gejalanya antara lain

perasaan yang sangat nyeri, disertai dengan

kemerahan pada kulit, kadang-kadang

disepanjang vena ( Siregar, 2005).

Dopamin

Dopamin adalah neurotransmitter

sentral yang sebagai prekusor adrenalin.

Pada dosis rendah bekerja langsung

terhadap reseptor DA1 dengan efek

vasodilatasi dan penderasan sirkulasi

ginjal. Dosis sedang menstimulasi reseptor

ß1-adrenergik dengan efek inotrop positif

dan peningkatan volume menit jantung.

Pada dosis tinggi, bekerja secara tak

langsung terhadap reseptor α1-adrenergik

dengan efek vasokonstriksi dan

meningkatkan tekanan darah. Dopamin

terutama digunakan pada keadaan shock,

antara lain sesudah infark jantung dan

bedah jantung terbuka, juga pada

dekompensasi yang bertahan (Tjay, 2002).

Pada penelitian ini diperoleh pasien

yang mendapat terapi injeksi intravena

Dopamin sebanyak satu pasien. Dopamin

mempunyai waktu paruh sangat pendek

yaitu kurang lebih 2 menit. Bila diberikan

secara oral, administrasi dopamin secara

cepat akan dimetabolisme pada jalur

gastrointestinal. Dopamin di metabolisme

pada hati, ginjal dan plasma oleh

monoamine oksidase (MAO) dan cathecol-

O-methiltransferase (American Hospital

Formulary Services (AHFS) Drug

Information, 2008). Neurotransmiter ini

merupakan prekusor langsung dari

adrenalin dan noradrenalin, dan

diinaktifkan oleh MAO, sehingga secara

oral tidak aktif (Tjay, 2002).

Dopamin merupakan obat yang

dirusak pada jalur gastroistestinal bila

diberikan secara oral dan karena waktu

paruh yang sangat pendek, yaitu kurang

lebih dua menit, dopamin memerlukan

penyesuaian dosis yang terus menerus.

Dopamin hanya tersedia dalam bentuk

sediaan parenteral (Kumpulan Data Klinik

Farmakologi) sehingga dopamin telah tepat

diberikan secara injeksi intravena.

Page 5: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

21

Tabel 2. Sembilan Alasan Penggunaan obat

secara Intravena pada penelitian ini

(Scot,2003;Mycek, 2001;

Ansel,1989) :

.

Keterangan

A : Obat dirusak oleh asam lambung atau

obat tidak diabsorbsi

B : Obat diabsorbsi tetapi dikeluarkan

cepat akibat metabolisme lintas pertama

C : Makanan mempengaruhi absorbsi

D : Pasien tidak mau atau tidak dapat

menelan

E : Usus tidak berfungsi dengan baik

F : Diperlukan aksi obat yang sangat cepat

G :Diperlukan kadar yang tinggi dalam

jaringan

H :Diperlukan pelepasan perlahan dan

sediaan oral tidak dapat memenuhi

ketentuan tersebut

I :Diperlukan penyesuaian dosis secara

terus menerus

Dopamin Hidrochlorida digunakan

secara infus intravena menggunakan

pompa infus atau peralatan lainnya untuk

mengatur kecepatan aliran. Jika mungkin,

obat diinfuskan ke dalam antecubital vein

(American Hospital Formulary Services

(AHFS) Drug Information, 2008). Dosis

yang biasa diberikan untuk pasien dewasa

adalah 1-5 mcg/kg/menit sampai 20

mcg/kg/menit. Titrasi dilakukan sampai

didapatkan respon yang diharapkan. Infus

boleh ditingkatkan 4 mcg/kg/menit pada

interval 10-30 menit sampai respon

optimal tercapai (Departeman Kesehatan

Republik Indonesia, 2007).

Dosis injeksi yang biasa diberikan

di SMF Ilmu Penyakit Dalam adalah

200mg/5ml. Perhatian khusus harus

diberikan untuk menghindari ektravasasi.

Dopamin harus diadministrasikan secara

terus-menerus dengan catheter intravena

panjang ke dalam pembuluh darah yang

besar, lebih baik lagi pada antecubital

fossa dibandingkan pada tangan maupun

pergelangan kaki. Jika pembuluh darah

yang besar tidak tersedia dan kondisi

pasien memaksa, pembuluh darah pada

bagian tangan atau pergelangan kaki dapat

digunakan untuk administrasi dopamin dan

tempat injeksi harus dipilih pembuluh

darah sebesar mungkin. Tempat injeksi

harus dimonitor dengan hati-hati. Jika

ektravasasi terjadi, 10-15 mL injeksi

sodium chloride yang mengandung

phentolamin mesylate harus diinfiltrasikan

(menggunakan alat suntik dengan jarum

yang baik sekali) secara menyeluruh pada

area yang terkena efek, yang mana

diidentifikasi dari dinginnya,

kekerasannya, bentuk yang pucat

N

o

Nama Obat

injeksi

A B C D E F G H I

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1

0

1

1

1

2

1

3

1

4

1

5

1

6

Cefotaksim

Ceftriaxon

Dopamin

Aminophyli

n

Metoklopra

mid

Vitamin K

Vitamin C

Ranitidin

Furosemid

Piracetam

Asam

Traneksam

at

Tramadol

Neurotropi

k

Calcium

Glukonas

Ketorolak

Deksameth

ason

Page 6: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

22

(American Hospital Formulary Services

(AHFS) Drug Information, 2008).

Calcium glukonas

Kalsium sangat diperlukan untuk

memelihara integritas fungsi dari saraf,

otot, dan sistem skelet serta membran sel

dan permeabilitas kapiler. Kation

merupakan aktivator penting pada berbagai

reaksi enzimatik dan kation diperlukan

untuk sejumlah proses fisiologi termasuk

transmisi dari impuls saraf; kontraksi

jantung, otot polos dan lurik; fungsi ginjal,

pernafasan; dan koagulasi darah. Kalsium

juga memegang peranan dalam

melepaskan dan menyimpan

neurotransmiter dan hormon, pada uptake

dan pengikatan asam amino, dan pada

absorpsi vitamin B12 dan sekresi lambung.

Pada orang dewasa, dosis injeksi intravena

yang diberikan adalah 500-800 mg dan

maksimum 3 g/dosis (Departeman

Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Dosis injeksi yang biasa diberikan di SMF

Ilmu Penyakit Dalam Dr. Achmad Mochtar

Bukittingi adalah 100mg/ml.

Pada penelitian ini diperoleh pasien

yang mendapat terapi injeksi intravena

Calcium Glukonas sebanyak 4 pasien.

Pada pasien Bpk HD, Bpk AM dan Ibu SN

dengan pendarahan gastrointestinal

Calcium glukonas telah tepat diberikan

secara injeksi intravena. Untuk pendarahan

gastrointestinal baik tingkat tinggi maupun

rendah, salah satu pengobatan yang

dilakukan adalah dengan memberikan

sediaan Calcium secara intravena salah

satunya dengan memberikan 10-20 ml

calcium glukonas 10% melalui Intravena

dengan pemberian selama lebih dari 10

hingga15 menit.

Pada Ibu KM dengan diagnosa

hepatitis akut calcium glukonas juga telah

tepat diberikan secara intravena. Hampir

semua faktor pembekuan darah dibentuk di

hati sehingga pada penyakit-penyakit hati

seperti hepatitis, sirosis, dan acute yellow

atropy kadang-kadang dapat menekan

system pembekuan sedemikian kuatnya

seningga pasien cenderung mengalami

pendarahan hebat. Hal inilah yang terjadi

pada Ibu KM sehingga pada keadaan ini

Calcium Glukonas telah tepat diberikan

secara injeksi intravena.

Ranitidin

Ranitidin merupakan antagonis

reseptor histamin H2 (American Hospital

Formulary Services (AHFS) Drug

Information, 2008). Semua antagonis

reseptor histamin H2 menyembuhkan

tukak lambung dan duodenum dengan cara

mengurangi asam lambung sebagai

hambatan reseptor H2. Antagonis reseptor

histamin H2 bermanfaat untuk mencegah

pendarahan lambung pada penderita yang

keadaannya kritis (Warfield, 1996).

Ranitidin merupakan obat yang termasuk

sering diindikasikan secara injeksi

intravena di SMF Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

dibandingkan dengan obat-obat lainnya

yang peneliti dapatkan. Dosis injeksi yang

biasa diberikan di SMF Ilmu Penyakit

Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi adalah 150 mg/ 2ml ampul.

Pada penelitian ini diperoleh pasien

yang mendapat terapi injeksi intravena

ranitidin sebanyak 19 pasien. Salah

satunya, ranitidin diberikan kepada Ibu NJ

yang pada diagnosa awalnya anoreksia,

uremia, anemia dan dyspepsia yang berat.

Melihat kondisi pasien yang sangat lemah,

sangat kurus, terlihat bahwa pasien

mengalami kesulitan untuk menelan

sehingga obat lain pun diberikan dalam

bentuk sediaan syrup. Dalam kasus ini

ranitidin dapat dikatakan telah tepat bila

digunakan secara Injeksi intravena karena

disini pasien terlihat kesulitan dalam

Page 7: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

23

menelan dan usus pasien sudah tidak

berfungsi dengan baik.

Kasus lain ditemukan dalam

penggunaan Ranitidin secara injeksi

intravena adalah pada pasien dengan stress

ulcer seperti pada kasus Bpk HD, Bpk

AM, Bpk AM, Bpk IH, Bpk AY, Ibu NY,

dan Bpk PR. Pada kasus ini, ranitidin telah

tepat diberikan secara injeksi intravena

karena dibutuhkan efek yang cepat karena

bila ranitidin tidak cepat diberikan,

dikhawatirkan dapat mengakibatkan

kematian. Ranitidin digunakan secara

injeksi intravena lambat atau dengan infus

Intravena lambat intermittent atau

continuos pada pasien yang dengan kondisi

patologik Gastrointestinal hypersecretory

pada pasien yang kritis atau ulcer usus

yang sulit diobati atau untuk pengunaan

jangka pendek ketika terapi oral tidak

memungkinkan (Anderson, Knoben &

Troutman, 2002; American Hospital

Formulary Services (AHFS) Drug

Information, 2008).

Pada kasus Bpk JS dengan

diagnosa gastritis akut. Gastritis

merupakan suatu peradangan mukosa

lambung. Pada keadaan ini terjadi

gangguan keseimbangan antara produksi

asam lambung dan daya tahan mukosa.

Pada beberapa kasus, gastritis dapat

menjadi sangat akut dan berat seperti yang

terjadi pada Bpk JS. Penderita akan

mengeluh perih atau tidak enak di ulu hati

(Departeman Kesehatan Republik

Indonesia, 2007; Guyton & Hall; 1997).

Pada keadaan akut ini ranitidin telah tepat

digunakan secara injeksi intravena karena

diperlukan efek yang cepat untuk

mengatasi rasa sakit yang dialami pasien.

Pada pasien Bpk AT dengan

diagnosa gastritis kronis disertai hipertensi

dan vomitus, ranitidin juga telah tepat

digunakan secara injeksi intravena. Dari

informasi tenaga medis dan pasien,

gastristis yang dialami oleh Bpk AT

termasuk dalam kategori gastritis yang

serius. Untuk pasien dengan gastritis yang

serius yang memerlukan perawatan yang

intensif, ranitidin diberikan secara injeksi

dapat berupa intermittent injeksi atau

continuous infus. Untuk efek yang

maksimal, pH lambung harus terukur dan

saat memberikan terapi pH harus lebih dari

4 (Katzung, 2007).

Namun ada pula pasien yang tidak

tepat pemberiannya, terutama pada pasien

yang sebelumnya berasal dari ruang UGD

seperti kasus yang terjadi pada Ibu FA.

Pada umumnya pasien yang berada di

ruang UGD dalam kondisi yang

membutuhkan efek terapi yang cepat

sehingga diberikan ranitidin secara injeksi.

Namun semestinya pasien yang telah

dipindahkah ke SMF Ilmu Penyakit Dalam

adalah pasien yang telah stabil seperti

keadaan yang diperlihatkan Ibu FA

sehingga terapi ranitidin secara intravena

tidak lagi diperlukan namun karena belum

adanya pemantauan ulang dari tenaga

medis maka terapi yang diberikan adalah

tetap terapi yang diinstruksikan pada saat

pasien berada di UGD walau pasien tidak

memerlukannya lagi sehingga terapi

tersebut menjadi tidak tepat secara

penggunaan.

Pada pasien Ibu YH, dilihat dari

kondisi dan informasi pasien, ranitidin

pada kondisi ini pada dasarnya dapat

diberikan secara oral dengan pencegahan

emesis sebelumnya dengan terapi

metoklopramid injeksi. Namun pilihan ini

tidak diamanfaatkan sehingga penggunaan

injeksi ranitidin pada pasien ini menjadi

kurang tepat. Pada kasus Bpk AS, Bpk AL,

Ibu WD dan Ibu MW, berdasarkan

diagnosa, melihat kondisi pasien dan

informasi yang didapatkan dari pasien

pada dasarnya ranitidin dapat diberikan

dalam bentuk sediaan oral. Pada Ibu WD

dyspepsia yang dialami bukan dyspepsia

Page 8: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

24

yang berat. Pada Ibu MW febris dan

dypsnea yang dialami, tidaklah

mengharuskan pasien mendapatkan

ranitidin secara injeksi intravena.

Demikian juga pada Ibu HZ dan

Ibu RJ. Pada keadaan ini Ranitidin

diindikasikan sebagai perlindungan

terhadap mukosa lambung pasien dan

maksud tersebut telah dapat terpenuhi

dengan pemberian ranitidin secara oral.

Pada kasus-kasus tersebut pasien masih

dalam keadaan sadar, dapat mengkonsumsi

obat secara oral dan tidak ada diagnosa

atau keadaan yang mengharuskan ranitidin

diberikan secara intravena sehingga

pemberian ranitidin secara injeksi

intravena pada keadaan ini dinilai kurang

tepat.

Aminophylin

Aminophylin adalah preparat

theophylin yang paling umum digunakan

untuk tujuan terapeutik yang merupakan

suatu kompleks teophylin-etilendiamin

(Katzung, 1994). Aminophyllin adalah

garam theophyllin untuk penggunaan

intravena yang di dalam darah akan

membebaskan theofillin kembali (Sunaryo,

1987; Tjay, 2002). Theophylin merupakan

derivat xantin yang digunakan sebagai

bronchodilator perawatan dengan gejala

asma dan bronchospasm yang mungkin

terjadi bersamaan dengan bronchitis kronis

atau emphysema (American Hospital

Formulary Services (AHFS) Drug

Information, 2008).

Pada penelitian ini peroleh pasien

yang mendapat terapi injeksi intravena

Aminophylin sebanyak 4 pasien. Pasien

tersebut diantaranya adalah Bpk MO

dengan diagnosa atsma akut dan Ibu NS

dengan diagnosa asma akut dan observasi

dypsnea. Asma dikarakterisasikan dengan

peningkatan respons trakea dan bronki

terhadap berbagai rangsangan dan dengan

penyebaran penyempitan saluran nafas

yang beratnya dapat berubah-ubah secara

spontan maupun dengan terapi (Katzung,

1994). Serangan asma berat yang akut

(status asmatikus) yang tidak dapat di

kontrol oleh obat-obat pasien biasa,

berpotensi menjadi fatal dan harus

dianggap sebagai kegawatdaruratan

sehingga membutuhkan perawatan di

rumah sakit (Neal, 2006) seperti yang

dialami oleh Bpk MO dan Ibu NS.

Untuk kasus yang dialami oleh Bpk

MO dan ibu NS Aminophylin telah tepat

digunakan secara Injeksi intravena. Untuk

mengatasi status asmatikus atau serangan

asma hebat, Aminophyllin digunakan

sebagai injeksi IV (Katzung, 1994;

Sunaryo, 1987; Tjay, 2002). Teofilin

merupakan bronkodilator yang efektif

dalam pengobatan asma bronkial dan

penggunaannya dalam bentuk garam

etilendiamin sebagai bolus intravena

aminofilin merupakan terapi standar dalam

penanggulangan penderita asma bronkial

akut (Siringoringo). Dilihat dari kodisi

pasien, keadaan pasien memang sangat

mengkhawatirkan, kondisi bernafas yang

terlihat sangat sulit dan berbunyi.

Pasien berikutnya adalah pasien Ibu

MW dan Bpk RM dengan Observasi febris

dan Dypsnea. Dypsnea adalah pernafasan

yang sukar atau sesak, episode gawat nafas

yang membangunkan penderita dari tidur

dan berhubungan dengan posisi tidur

(terutama bila tudur berbaring pada waktu

malam) biasanya berhubungan dengan

gagal jantung kongestif, denga edema

paru, tetapi kadang berhubungan dengan

penyakit paru kronis (Kumala, 1998).

Menurut literatur, aminophylin intravena

digunakan sebagai tambahan pada

perawatan udema paru-paru dan serangan

hebat dyspnea (American Hospital

Formulary Services (AHFS) Drug

Information. 2008). Walaupun pada kedua

pasien ini baru diadakan observasi, namun

Page 9: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

25

dari keadaan yang peneliti amati, dypnea

yang dialami pasien cukup berat sehingga

diperlukan aminophylin segera, sehingga

pemberian aminophylin pada kedua pasien

ini juga dapat dikatakan telah tepat.

Aminophylin IV diberikan dengan

dosis awal (loading dosis) 6mg/kgBB.

Obat ini diberikan secara infus selama 20-

40 menit karena penyuntikan yang cepat

(IV dengan tekanan) dapat menghasilkan

tingkat kadar plasma yang toksik dengan

resiko kejang atau aritmia (Katzung, 1994;

Sunaryo, 1987). Bila belum tercapai efek

terapi dan tidak terdapat tanda intoksikasi,

maka dapat ditambahkan dosis 3mg/kgBB

dengan infus perlahan-lahan. Selanjutnya

efek optimal dapat dipertahankan dengan

pemberian infus aminophylin 0,5

mg/kgBB/jam (Sunaryo, 1987). Di SMF

Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi dosis yang biasa

digunakan adalah 240mg /5ml ampul.

Deksamethason

Deksamethason adalah

glukokortikoid sintetik. Deksametason

secara prinsip digunakan sebagai anti-

inflamasi atau imunosupresan agent.

(American Hospital Formulary Services

(AHFS) Drug Information, 2008).

Glukokortikoid digunakan pada

penyakit reumatik, reaksi alergi, penyakit

ginjal (khususnya nefrosis), penyakit darah

(misalnya anemia hemolitik, purpura

trombopenik), penyakit hati (misalnya

bentuk-bentuk hepatitis tertentu), penyakit

paru-paru, penyakit pembuluh darah,

penyakit saluran cerna, penyakit system

syaraf, penyakit mata (misalnya keratitis

alergik, konjungtivitis), berbagai penyakit

kulit, tumor ganas terutama tumor

sistemik, udem otak dan kondisi-kondisi

syok berat.

Pada penelitian ini diperoleh pasien yang

mendapat terapi injeksi intravena

deksamethason sebanyak 8 pasien. Rute

administrasi dan dosis deksamethason dan

derivatnya tergantung pada kondisi yang

disuguhkan dan respon dari pasien.

Therapy intravena biasanya disediakan

untuk pasien yang tidak dapat

menggunakan obat secara oral atau untuk

digunakan pada keadaan emergency

(American Hospital Formulary Services

(AHFS) Drug Information, 2008). Dosis

injeksi yang biasa diberikan di SMF Ilmu

Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi adalah 0,75 mg/ml.

Pasien yang mendapat terapi

dexametason secara intravena adalah Ibu

YS dan Bpk JS dengan diagnosa SSJ

(Sindroma Steven Jonhson). SSJ adalah

kumpulan gejala yang ditandai dengan

trias lesi kulit, mukosa orifisum, dan mata.

Sinonimnya antara lain sindrom de

Friessinger-Rendu, eritema eksudativum

multiform mayor, eritema poliform bulosa,

sindrom muko-kutaneo-okular,

dermatostomatitis. Diagnosis terutama

berdasar gejala klinis. Etiologi SSJ sukar

ditentukan dengan pasti, karena

penyebabnya berbagai faktor, walaupun

pada umumnya sering berkaitan dengan

respon imun terhadap obat seperti kasus

yang ditemui pada Ibu YS, sedangkan pada

Bpk JS tidak diketahui penyebabnya.

Penatalaksanaan utama adalah

menghentikan obat yang diduga sebagai

penyebab SSJ selanjutnya perawatan lebih

bersifat simtomatik antara lain dengan

pemberian kortikosteroid parenteral

dexamentason dengan dosis awal

1mg/kgBB bolus, kemudian dilanjutkan

dengan 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam selama

tiga hari. Beberapa peneliti menyetujui

pemberian kortikosteroid sistemik

beralasan bahwa kortikosteroid akan

menurunkan beratnya penyakit,

mempercepat konvalesensi, mencegah

Page 10: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

26

komplikasi berat, menghentikan

progresifitas penyakit dan mencegah

kekambuhan. Beberapa literatur

menyatakan pemberian kortikosteroid

sistemik dapat mengurangi inflamasi

dengan cara memperbaiki intregritas

kapiler, memacu sintesa lipokortin,

menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu

kortikosteroid dapat meregulasi respon

imun melalui down regulation ekspresi gen

sitokin (Departeman Kesehatan Republik

Indonesia, 2007). Dengan melihat keadaan

pasien dan dari literatur yang didapatkan,

terapi deksametason disini telah tepat

diberikan secara intravena.

Pada kasus Ibu SF deksamethason

diindikasikan untuk mengatasi mual dan

muntah yang dialami pasien. Dilihat dari

kondisi pasien yang sangat lemah, mual

dan muntah yang dialami pasien

merupakan keadaan yang berat. Bila untuk

mengatasi keadaan mual dan muntah,

deksamethason dapat digunakan,

diadministrasikan secara intravena (DiPiro,

2005).

Pada Ibu NS dan Bpk MO dengan

serangn asma akut terapi injeksi intravena

deksamethason telah tepat diberikan secara

injeksi intravena. Asma akut (status

astmaticus) adalah keadaan asma yang

hebat, yakni penciutan bronchi menjadi

lebih kuat dan bertahan lebih lama. Ciri-

ciri lainnya adalah tachycardia dan tak bisa

berbicara lancar akibat nafas tersengal-

sengal (Tjay, 2002). Hal inilah yang

terlihat pada Ibu NS dan Bpk MO.

Kedaaan demikian perlu diobati secara

khusus di rumah sakit dengan pemberian

oksigen dan banyak air,

hidrokortison/deksamethason

(kortikosteroid) intravena (Katzung, 1994;

Tjay, 2002). Keadaan seperti ini juga

diperlihatkan oleh pasien Bpk RM dengan

Observasi febris dan Dypsnea. Dypsnea

adalah pernafasan yang sukar atau sesak,

episode gawat nafas yang membangunkan

penderita dari tidur dan berhubungan

dengan posisi tidur (terutama bila tudur

berbaring pada waktu malam) biasanya

berhubungan dengan gagal jantung

kongestif dan edema paru, tetapi kadang

berhubungan dengan penyakit paru kronis .

Pada keadaan ini deksamethason telah

tepat digunakan secara injeksi intravena.

Pada Ibu AR dan Bpk RR dengan

diagnosa typhoid fever deksametason telah

tepat pula digunakan secara injeksi

intravena. Dilihat dari kondisi pasien dan

informasi yang didapatkan, typhoid pada

kedua pasien ini termasuk kategori berat.

Pada kasus demam typhoid berat dengan

komplikasi syok, deksamethason diberikan

dalam bentuk IV bolus 3 mg/kg BB

kemudian dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB

tiap 6 jam selama 48jam. Bentuk terapi ini

dapat menurunkan kematian secara

bermakna.

Ketika deksamethason sodium

phospat diadministrasikan secara infus,

obat dapat ditambahkan pada injeksi

dextrosa atau sodium chloride. Dosis

deksamethason sodium phospat

disampaikan dalam bentuk deksamethason

phospat (American Hospital Formulary

Services (AHFS) Drug Information, 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah

dilakukan, dapat diambil kesimpulan

bahwa masih terdapat penggunaan terapi

Injeksi Intravena yang kurang tepat di

SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi diantaranya

penggunaan pada beberapa kali injeksi

Furosemid, Ranitidin dan Metoklopramid.

Page 11: 19-41-1-SM

Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013

27

Saran

Kepada manajemen RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi disarankan

untuk menempatkan tenaga farmasi klinis

di bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam untuk

membantu dalam merekomendasi rute obat

yang tepat yang akan diberikan kepada

pasien.

DAFTAR PUSTAKA

American Hospital Formulary Services

(AHFS) Drug Information. 2008.

American Society of Health-System

Pharmacists. United stated of America.

Anderson, P. O., Knoben, J. E., & Troutman,

W. G. 2002. Handbook of Clinical Drug

data. (10th ed). United Stated of

America: The McGraw-Hill Companies.

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan

Farmasi. Penerjemah: F. Ibrahim.

Jakarta: Universitas Indonesia (UI-

Press).

Azis, A. L. Penggunaan kortikosteroid di

klinik (The use of corticosteroid in

clinics). Surabaya: Divisi Gawat Darurat

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

Unair/RSUD dr Soetomo

Cheever, Kerry H. 2008. IV Therapy

Demystified. United Stated of America:

The McGraw-Hill Companies.

Departeman Kesehatan Republik Indonesia.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian.

2007. Pedoman Pengobatan Dasar di

Puskesmas. Jakarta : Departemen

Kesehatan RI.

Departeman Kesehatan Republik Indonesia.

2007. Pelayanan Informasi Obat (PIO).

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik

Dipiro, J. T. 2005. Pharmacotherapy: A

Pathophysiologic Approach, Sixth

Edition. United States of America: The

McGraw-Hill Companies.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. 1997. Buku Ajar

Fisiologi Kedokteran. (Edisi 9).

Penerjemah: I. Setiawati. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Harrison. 1999. Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.

Penerjemah: Ahmad H. Asdie. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Katzung, B. G. 2007. Basic & Clinical

Pharmacology (10th Ed). United States

of America: The McGraw-Hill

Companies.

Mycek, M. J., Harvey, R. A., & Champe, P.C.

2001. Farmakologi Ulasan Bergambar.

(Edisi 2). Penerjemah: A. Agoes.

Jakarta: Widya Medica.

Neal, Michael J. 2006. At a Glance

Farmakologi Medis. (Edisi 5).

Penerjemah: J. Surapsari. Indonesia:

Erlangga.

Scot, D. K. 2003. Farmasi klinik (Clinical

Pharmacy): Menuju Pengobatan

Rasional dan Penghargaan Pilihan

Pasien. Penerjemah: M. Aslam, C. K.

Tan, A. Prayitno. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Siregar, C. J. P & kumolosari, C. 2005.

Farmasi klinik: Teori dan penerapan.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Sunaryo. 1987. Farmakologi dan Terapi:

Perangsang Susunan Syaraf Pusat.

(Edisi 3). Jakarta: Universitas Indonesia.

Sunaryo & Suharto, B. 1987. Farmakologi

dan Terapi: Obat yang Mempengaruhi

Air dan Elektrolit. (Edisi 3). Jakarta:

Universitas Indonesia.

Tjay, T. H. 2002. Obat-obat penting. (Edisi 4).

Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.

Vance MA & Millington WR. 1986. Principle

Of irrational drug therapy.

International Journal of Health Sciences

16(3), 355-61.

Warfield, C. 1996. Segala Sesuatu yang Perlu

Anda Ketahui Terapi Medis. Jakarta:

PT. Gramedia.

Widodo, U., Bircher, E., & Lotterer, E. 1993.

Kumpulan Data Klinik Farmakologi.

Penerjemah: U. Widodo. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.