1569-3076-1-SM

9
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KONJUNGTIVITIS PADA PEKERJA PENGELASAN DI KECAMATAN CILACAP TENGAH KABUPATEN CILACAP Tri Wahyuni 1. Mahasiswa Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro 2. Staf Pengajar Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro ABSTRACT Conjunctivitis photoelectric was an inflammation of the conjunctiva caused by ultraviolet rays. Ultraviolet rays was a by-product of the welding process. Cilacap district had many small informal industries of trellis manufacture which had welding processes.Based on the survey held in July 2012, there were 80.6% of respondents experienced red eyes, eyes pain, eyes feel hot, like there was sand in the eyes, and watery eyes which were symptoms of conjunctivitis excess after work. The purpose of this research was to analyze the risk factors related to the photoelectric conjunctivitis on welding workers. This research was a kind of quantitative and explanatory research used cross-sectional. The samples were 28 workers, it was taken by using total sampling method. Eyes examinations for each respondent carried out by nurses. The results showed that there was a correlation between the working period, length of exposure and knowledge with the incidence of conjunctivitis photoelectric with p-value 0013, 0024 and 0037 and there was no correlation between age, education, type of welding, the use of PPE with conjunctivitis photoelectric with p-value 0225 , 0247, 0869 and 0354. Working period and knowledge were not risk factors of photoelectric conjunctivitis. Meanwhile duration of exposure was a risk factor of photoelectric conjunctivitis. Workers with length of exposure more than 4 hours had 2.667 greater risk of affected conjunctivitis photoelectric than workers with length of exposure ≤ 4 hours. Key words : individu charateristics, conjunctivitis photoelectrica, welder. PENDAHULUAN Sektor informal saat ini mengalami proses pertumbuhan yang lebih pesat dibandingkan dengan sektor formal, sehingga menjadi salah satu penopang perekonomian di Indonesia. Dari jumlah total tenaga kerja Indonesia menurut BPS sebesar 116 juta orang pada tahun 2010, lebih dari 73 juta orang terserap ke sektor informal. Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sektor informal merupakan upaya kelima dari 15 upaya kesehatan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Salah satu permasalahan kesehatan kerja di Indonesia adalah 70-80% angkatan kerja bergerak di sektor informal. Sektor informal memiliki pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan maupun penerimaannya serta pada umumnya tidak tersentuh

Transcript of 1569-3076-1-SM

Page 1: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN KONJUNGTIVITIS PADA PEKERJA

PENGELASAN DI KECAMATAN CILACAP TENGAH

KABUPATEN CILACAP

Tri Wahyuni 1. Mahasiswa Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Diponegoro 2.

Staf Pengajar Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Diponegoro

ABSTRACT

Conjunctivitis photoelectric was an inflammation of the conjunctiva caused by ultraviolet rays.

Ultraviolet rays was a by-product of the welding process. Cilacap district had many small

informal industries of trellis manufacture which had welding processes.Based on the survey held

in July 2012, there were 80.6% of respondents experienced red eyes, eyes pain, eyes feel hot, like

there was sand in the eyes, and watery eyes which were symptoms of conjunctivitis excess after

work. The purpose of this research was to analyze the risk factors related to the photoelectric

conjunctivitis on welding workers. This research was a kind of quantitative and explanatory

research used cross-sectional. The samples were 28 workers, it was taken by using total sampling

method. Eyes examinations for each respondent carried out by nurses. The results showed that

there was a correlation between the working period, length of exposure and knowledge with the

incidence of conjunctivitis photoelectric with p-value 0013, 0024 and 0037 and there was no

correlation between age, education, type of welding, the use of PPE with conjunctivitis

photoelectric with p-value 0225 , 0247, 0869 and 0354. Working period and knowledge were not

risk factors of photoelectric conjunctivitis. Meanwhile duration of exposure was a risk factor of

photoelectric conjunctivitis. Workers with length of exposure more than 4 hours had 2.667 greater

risk of affected conjunctivitis photoelectric than workers with length of exposure ≤ 4 hours.

Key words : individu charateristics, conjunctivitis photoelectrica, welder.

PENDAHULUAN

Sektor informal saat ini

mengalami proses pertumbuhan yang

lebih pesat dibandingkan dengan sektor

formal, sehingga menjadi salah satu

penopang perekonomian di Indonesia.

Dari jumlah total tenaga kerja

Indonesia menurut BPS sebesar 116

juta orang pada tahun 2010, lebih dari

73 juta orang terserap ke sektor

informal.

Kebijakan Keselamatan dan

Kesehatan Kerja Sektor informal

merupakan upaya kelima dari 15 upaya

kesehatan yang tercantum dalam

Undang-Undang No. 13 Tahun 1992

tentang Kesehatan. Salah satu

permasalahan kesehatan kerja di

Indonesia adalah 70-80% angkatan

kerja bergerak di sektor informal.

Sektor informal memiliki pola kegiatan

tidak teratur, baik dalam arti waktu,

permodalan maupun penerimaannya

serta pada umumnya tidak tersentuh

Page 2: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

oleh peraturan dan ketentuan yang

ditetapkan (Prihantoyo, 2003).

Penyakit Akibat Kerja (PAK)

adalah setiap penyakit yang disebabkan

oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

PAK sering dianggap sebagai “The

Silent Killer”, tidak saja merugikan

pekerja yang tanpa sadar telah

mengidap penyakit akibat

pekerjaan/lingkungan kerja, melainkan

juga mengakibatkan kerugian sosial

dan ekonomi serta menurunnya

produktivitas. Dalam pelaksanaan

pekerjaan sehari-hari, pekerja di

berbagai sektor akan terpajan dengan

risiko PAK. Risiko ini bervariasi mulai

dari yang paling ringan sampai yang

paling berat tergantung jenis

pekerjaannya.

Salah satu industri sektor

informal yang banyak terdapat di

Cilacap adalah industri pengelasan atau

bengkel las. Tiap wilayah kecamatan

yang terdapat di Kabupaten Cilacap

memiliki banyak bangkel las, di

Kecamatan Cilacap Tengah saja

terdapat kurang lebih 13 industri las

rumahan yang jumlah pekerja di tiap

bengkelnya tidak melebihi 12 orang.

Pengelasan merupakan proses

penyambungan antara dua keping

logam menjadi satu bentuk yang

diinginkan. Proses pekerjaan

pengelasan ini menimbulkan hasil

samping berupa asap las, gas Nitrogen

Oksida (NOX), gas Nitrogen Dioksida

(NO2), sinar infra merah dan sinar

ultraviolet. Sinar ultraviolet yang dihasilkan dari proses pengelasan

tersebut dapat merusak selaput

konjungtiva mata, dengan gejala mata

seakan-akan ada pasir di dalamnya

(A.R.Elkinton, 1996). Konjungtivitis

ialah radang pada konjungtiva yang

dapat disebabkan oleh bakteri,

klamidia, virus, parasit, riketsia, alergi

dan radiasi sinar ultraviolet

(fotoelektrik) (Sidarta Ilyas, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian

ketajaman penglihatan oleh

Trisnowiyanto tahun 2002 terhadap

pekerja pengelasan listrik di Pasar

Semanggi, Surakarta, didapatkan

intensitas cahaya las sebesar 289,7 –

348,0 luks, sebesar 23,08% responden

mengalami gangguan ketajaman

penglihatan ringan dan 30% responden

mengalami konjungtivitis (Bambang

Trisnowiyanto, 2002)

Walaupun memiliki dampak

baik dalam perekonomian masyarakat,

pengelasan juga memiiki dampak yang

buruk bagi kesehatan apabila proses

pengelasan tidak sesuai standar

operasional prosedur yang berlaku.

Industri sektor informal dengan skala

kecil, dengan permodalan kecil, dan

keuntungan yang tidak terlalu besar

menyebabkan pengelola usaha (baik

pemilik dan pekerja) lebih berfokus

pada hasil produksi yang didapatkan

dibandingkan dengan perhatian pada

kesehatan dan keselamatan kerja.

Peralatan dan perlengkapan

keselamatan yang seadanya

memperbesar peluang mereka terkena

penyakit akibat kerja maupun

kecelakaan kerja, apalagi jika ditambah

dengan kurangnya perhatian dan

kehati-hatian dalam bekerja.

Cara berfikir juga

mempengaruhi mereka dalam

memperhatikan kesehatan mereka. Selama mereka tidak terganggu,

keluhan kesehatan akan dianggap

lumrah atau biasa sehingga mereka

tidak akan membutuhkan pelayanan

kesehatan apabila gangguan kesehatan

yang mereka rasakan belum benar-

benar parah.

Page 3: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Pengelasan dengan berbagai

efek yang ditimbulkan dari hasil

samping yang didapatkan, pada sektor

informal yang pada umumnya tidak

tersentuh oleh pelayanan kesehatan

serta kurangnya perhatian tentang

keselamatan dan kesehatan oleh tenaga

kerja menjadi alasan pentingnya

penelitian ini dilakukan.

Survei pendahuluan yang

dilakukan pada 31 responden yang

diwawancarai 80,6% merasakan

gangguan pada mata sebelum, saat dan

sesudah bekerja berupa mata pedih,

mata berair berlebih, mata seperti

kemasukan pasir, mata terasa panas,

mata terasa gatal, penglihatan menjadi

buram dan perasaan pusing setelah

bekerja. 35,5% mengeluhkan gangguan

pernafasan dan 80% mengeluhkan

terjadinya pengelupasan kulit setelah

bekerja. Berdasarkan hasil tersebut

dapat dilihat proporsi responden yang

mengeluhkan gangguan pada

penglihatan terbanyak bila

dibandingkan dengan proporsi

responden yang mengeluhkan

gangguan pada kulit dan gangguan

pernafasan.

Gejala konjungtivitis yang

dirasakan oleh responden yang

diwawancarai merupakan

konjungtivitis fotoelektrik yang

merupakan penyakit yang ditimbulkan

oleh pekerjaannya karena responden

mengatakan keluhan akan hilang atau

tidak dirasakan apabila responden

berhenti atau libur melakukan pengelasan. Selain itu, gangguan yang

dirasakan tidak hanya dirasakan oleh

beberapa orang saja melainkan seluruh

pekerja mengaku merasakan gejala

tersebut apabila telah melakukan

pengelasan.

Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis faktor – faktor yang

berhubungan dengan kejadian

kojungtivitis fotoelektrik pada pekerja

pengelasan. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai

masukan untuk meningkatkan jaminan

kesehatan kerja dengan mengambil

kebijakan yang sesuai.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di

industri pembuatan teralis (pengelasan)

sektor informal yang dilaksanakan pada

bulan November 2012. Jenis penelitian

ini adalah explanatory research dengan

pendekatan cross sectional, dalam hal

ini menggambarkan kejadian

konjungtivitis fotoelektrik pada

pekerja.

Populasi dalam penelitian ini

adalah pekerja pengelasan yang

terdapat di Kecamatan Cilacap Tengah

Kabupaten Cilacap yang bekerja

selama ≤8 jam per hari dengan jumlah

tenaga kerja sebanyak 31 orang, yang

keseluruhan berjenis kelamin laki-laki.

Sampel yang diambil merupakan total

populasi sebanyak 28 orang karena 2

orang pindah dan 1 orang sedang cuti.

Proses penelitian dilakukan

dengan dua tahapan yaitu observasi

penggunaan APD (goggle), jenis

pengelasan pada pekerja dan

wawancara pekerja untuk mengetahui

karakteristik pekerja (umur, lama

paparan, masa kerja) dan pengetahuan

mengenai dampak pengelasan terhadap

kesehatan.

Observasi penggunaan APD

dilakukan tiga kali dalam rentan waktu

yang berbeda. Tujuan observasi ini

adalah untuk mengamati apakah

pekerja selalu, kadang- kadang atau

Page 4: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

tidak menggunakan APD pada saat

bekerja.

Data yang diperoleh kemudian

dikumpulkan dan dianalisis dengan

analisis univariat dengan menggunakan

distribusi frekuensi dan analisis

bivariat, dengan jenis uji statistic

meliputi Shapiro Wilk dengan nilai p-

value < 0,05 untuk variabel dengan

skala data rasio (umur dan masa kerja)

dengan hasil data berdistribusi normal

dan uji korelasi yang digunakan adalah

koefisien biserial. Variabel bebas

berskala nominal (lama paparan)

dengan variabel terikat berskala

nominal menggunakan uji korelasi

fisher’s exact dan variabel berskala

ordinal (pemakaian APD, pengetahuan,

dan jenis pengelasan) dan variabel

berskala nominal (konjungtivitis)

menggunakan uji korelasi kendall’s

tau.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Distribusi Frekuensi

Karakteristik Pekerja Pengelasan di

Kecamatan Cilacap Tengah

Kabupaten Cilacap 2012

No Variabel F (%)

1

Umur :

a. 21-30

b. 31-40

c. 41-50

8

16

4

28,6

57,1

14,3

2

Pendidikan :

a. SD

b. SMP

c. SMA/STM

3

9

16

10,7

32,2

57,1 3

Pengetahuan :

a. Dibawah

rata-rata

b. Diatas rata-

rata

17

11

60,7

39,3

4

Masa Kerja :

a. 0-9

18

64,3

b. 10-19

c. 20-29

8

2

28,6

7,1

Total 28 100,0

Berdasarkan tabel 1 rentang

umur responden terbanyak pada

rentang 31-40 tahun degan presentase

sebesar 57,1%. Kebanyakan pekerja

pengelasan di Kecamatan Cilacap

Tengah Kabupaten Cilacap 57,1%

merupakan lulusan SMA/STM. Pekerja

dengan pengetahuan dibawah rata-rata

memiliki presentase terbanyak sebesar

60,7%. Responden terbanyak terdapat

pada rentang 0-9 tahun sebanyak

64,3%.

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Lama

Paparan Sinar Ultraviolet Pada

Pekerja Pengelasan di Kecamatan

Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap

Tahun 2012

No Lama Paparan

(Jam) F (%)

1 ≤4 4 14,3

2 >4 24 85,7

Total 28 100.0

Berdasarkan tabel 2 dapat

diketahui bahwa responden dengan

lama paparan >4 jam perhari sebesar

85,7%.

Tabel 3 Distribusi Frekuensi

Pemakaian APD Pekerja Pengelasan

di Kecamatan Cilacap Tengah

Kabupaten Cilacap Tahun 2012

No Pemakaian

APD F (%)

1 Tidak Pakai 0 0

2

3

Kadang-kadang

Selalu Pakai

6

22

21,4

78,6

Total 28 100.0

Berdasarkan tabel 3 dapat

diketahui bahwa 78,6 responden selalu

menggunakan APD ketika bekerja.

Page 5: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Jenis

Pengelasan yang Digunakan Pekerja

Pengelasan di Kecamatan Cilacap

Tengah Kabupaten Cilacap Tahun

2012

No Jenis

Pengelasan F (%)

1 Las Listrik 18 64,3

2 Las Asetilen 3 10,7

3 Keduanya 7 25

Total 28 100.0

Dapat dilihat pada tabel 4 jenis

pengelasan terbanyak yang digunakan

oleh responden yaitu las listrik

sebanyak 64,3%.

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Hasil

Pemeriksaan Konjungtiva Pekerja

Pengelasan di Kecamatan Cilacap

Tengah Kabupaten Cilacap Tahun

2012

No Hasil

Pemeriksaan F (%)

1 Positif

Konjungtivitis 16 57,1

2

Negatif

Konjungtivitis 12 42,9

Total 28 100.0

Hasil pemeriksaan yang

terdapat pada tabel 5 menjelaskan

bahwa 57,1% responden yang diperiksa

mengalami konjungtivitis fotoelektrik.

Tabel 9 Hasil Uji Bivariat Hubungan Umur, Masa Kerja, Pendidikan,

Pemakaian APD, Jenis Las dan Pengetahuan, dengan Konjungtivitis

Fotoelektrik Pada Pekerja Pengelasan Kecamatan Cilacap Tengah

Kabupaten Cilacap Tahun 2012

Variabel bebas Koefisien

korelasi P-value Makna

Umur -0,237 0,225 Tidak ada hubungan

Masa Kerja -0,462 0,013 Ada hubungan

Pendidikan -0,215 0,247 Tidak ada hubungan

Jenis Las 0,031 0,869 Tidak ada hubungan

Lama Paparan

Pemakaian APD

Pengetahuan

0,426

0,244

0,401

0,024

0,354

0,037

Ada hubungan

Tidak ada hubungan

Ada hubungan

Analisis Data

Berdasarkan tabel 9 setelah dilakukan

uji normalitas dengan menggunakan uji

statistic Shapiro Wilk didapatkan hasil

bahwa p-value umur adalah 0,880 dan

p-value masa kerja adalah 0,080 yang

>0,05 sehingga dapat disimpulkan

bahwa seluruh data berdistribusi

normal.

Tabel 9 Normalitas Dengan

Menggunakan Uji Shapiro Wilk Test

Karena data berdistribusi

normal maka uji statistic yang

digunakan untuk mengetahui hubungan

karakteristik individu (umur, masa

kerja), dengan kejadian konjungtivitis

fotoelektrik menggunakan uji statistic

koefisien biserial.

Umur dengan Konjungtivitis

Fotoelektrik

Umur terkait dengan

kemampuan tubuh seseorang untuk

melakukan proses penyembuhan /

recovery. Proses penyembuhan pada

usia non produktif (lebih dari 45 tahun)

lebih lambat dibandingkan dengan

Umur Masa

Kerja

Asymp. Sig. (2-

tailed)

0,880 0,080

Page 6: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

proses penyembuhan pada usia

produktif. (Sidarta Ilyas, 2002)

Hasil penelitian dengan

menggunakan uji korelasi koefisien

biserial menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan antara umur dengan kejadian

konjungtivitis fotoelektrik. hasil ini

sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Aryani Pujiyanti.

Hasil tersebut dapat

dikarenakan konjungtivitis yang

disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet

merupakan penyakit akut yang dapat

timbul pada usia manapun, selama

individu tersebut menerima paparan

sinar ultraviolet dengan besar energi

radiasi tertentu selama 4-8 jam.

Lama Paparan dengan

Konjungtivitis Fotoelektrik

Lama paparan sinar ultraviolet

berkaitan dengan iradiasi efektif yaitu

besarnya radiasi yang diterima pekerja.

(Iyan Dharmawan, 1977). Tanda dan

gejala konjungtivitis akan muncul

setelah 4-6 jam dari paparan. Semakin

lama paparan maka efek yang diterima

semakin banyak maka kerusakan

jaringan semakin berat (Daniel

Vaughan, 1996).

Hasil penelitian dengan mengguanakan

uji Fisher exact ini menghasilkan

adanya hubungan antara lama paparan

dengan kejadian konjungtivitis

fotoelektrik. Perhitungan rasio prevalen

menghasilkan nilai 2,667 dimana

pekerja dengan lama paparan >4 jam

per hari memiliki risiko 2,667 lebih

besar dibandingkan pekerja dengan

lama paparan ≤4 jam per hari untuk

terkena konjungtivitis fotoelektrik.

Efek dari radiasi ultraviolet

yang dirasakan oleh pekerja pada tubuh

dapat kembali pulih selama pekerja

tidak terpapar ultraviolet dalam kurun

waktu 36-48 jam (Sidarta Ilyas, 2002).

Pemulihan yang terhenti karena

terjadinya paparan yang berulang dapat

menyebabkan semakin banyak

kerusakan yang ditimbulkan. Sehingga

pekerja beresiko mengalami gangguan

penglihatan yang lebih parah di

kemudian hari. Pada konjungtiva yang

telah mengalami reaksi akibat sinar

sinar ultraviolet, reaksi tersebut akan

semakin parah apabila mendapatkan

paparan dari asap las yang dihasilkan

pada proses pengelasan yang bersifat

iritatif.

Pemakaian APD dengan

Konjungtivitis Fotoelektrik

Uji korelasi menggunakan

fisher’s exact menghasilkan tidak

adanya hubungan antara pemakaian

APD dengan kejadian konjungtivitis

fotoelektrik. Hasil ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Aryani

Pujiyanti.

Kacamata las (goggle) sangat

penting digunakan pada saat mengelas,

untuk melindungi mata dari radiasi

sinar ultra violet, sinar tampak dan

sinar inframerah (A. Bintoro, 1999).

Dalam penelitian ini, sebagian

besar responden yang mengalami

konjungtivitis berada dalam kategori

responden yang selalu menggunakan

APD saat bekerja. Seharusnya pekerja

yang menggunakan pelindung tidak

akan mengalami gangguan kesehatan.

Kemungkinan responden yang selalu

menggunakan APD tersebut tidak

menggunakan APD dengan baik dan

benar. Kemungkinan lain adalah karena

jenis kacamata yang digunakan

merupakan kacamata standart safety

saja, bukan kacamata goggle khusus

pengelasan ditambah tidak

menggunakan perisai/pelindung wajah.

Page 7: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Pengetahuan dengan Konjungtivitis

Fotoelektrik

Tingkat pengetahuan seseorang

tentang segala sesuatu yang dihadapi

tidak lepas dari status pendidikannya,

dimana seseorang mempunyai

pengaruh dalam berfikir dan bertindak

dalam menghadapi pekerjaannya.

Keberhasilan tenaga kerja dalam

melakukan pekerjaan yang dibebankan

kepadanya ditentukan oleh tingkat

pengetahuan dan pengetahuan tenaga

kerja yang sangat ditentukan oleh

latihan yang diperoleh (Eko

Nurmianto, 2004).

Hasil uji korelasi antara

pengetahuan dengan kejadian

konjungtivitis menggunakan kendall’s

tau menghasilkan kesimpulan bahwa

ada hubungan antara pengetahuan

dengan kejadian konjungtivitis.

Pekerja dengan pengetahuan

yang cukup diharapkan dapat bekerja

dengan baik sesuai prosedur dan

menjalankan pekerjaannya lebih hati-

hati agar terhindar dari kecelakaan

maupun penyakit akibat kerja. Dalam

penelitian ini didapatkan responden

yang mengalami konjungtivitis lebih

banyak pada kelompok responden yang

memiliki pengetahuan diatas rata-rata.

Hal tersebut kemungkinan dikarenakan

responden yang memiliki pengetahuan

yang lebih justru bekerja tidak lebih

hati-hati dibandingkan dengan

responden yang memiliki pengetahuan

dibawah rata-rata atau dengan

kemungkinan lain yaitu responden

menganggap enteng dampak pekerjaan

yang mereka lakukan terhadap

kesehatan mereka.

Jenis Pengelasan dengan

Konjungtivitis Fotoelektrik

Nilai signifikansi yang didapat

dari uji korelasi menggunakan

kendall’s tau >0,05 sehingga dapat

ditarik kesimpulan bahwa tidak ada

hubungan antara jenis las dengan

kejadian konjungtivitis fotoelektrik.

Tidak adanya hubungan antara

jenis las dengan kejadian konjungtivitis

fotoelektrik dapat dikarenakan jenis las

listrik yang digunakan oleh responden

menggunakan elektroda diameter kecil

sehingga menghasilkan tingkat energi

radiasi dan densitas luasan daya yang

besarnya tidak terlalu berbeda dengan

yang dihasilkan oleh las asetilen.

Penelitian di Amerika tahun

1987 tentang “Evaluasi bahaya

potensial dari radiasi optik pada

pengelasan listrik” menyatakan bahwa

tipe elektroda berdasarkan perbedaan

diameter dan tingkat ampere elektroda

mempengaruhi tingkat keparahan

konjungtivitis pada pekerja las listrik.

Pengelasan listrik diketahui memiiki

potensi bahaya radiasi sinar ultraviolet

terbesar dari elektrodanya bila

dibandingkan dengan pengelasan

dengan gas asetilen (F.A. Patty, 1991).

Masa Kerja dengan Konjungtivitis

Fotoelektrik

Masa kerja dapat

mempengaruhi seseorang terhadap

pekerjaan dan lingkungan dimana ia

bekerja. Semakin lama ia bekerja

semakin banyak pengalamannya. Hal

ini akan mempengaruhi persepsi, sikap,

melakukan pekerjaan yang lebih

terkontrol. Tenaga kerja baru biasanya

belum mengetahui secara mendalam

seluk beluk pekerjaan dan

keselamatannya, selain itu tenaga kerja

baru sering mementingkan selesainya

sejumlah pekerjaan yang diberikan

kepada mereka sehingga keselamatan

tidak cukup mendapatkan perhatian

(Silalahi Bennet, 1995).

Page 8: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Sedikit berbeda dengan

penelitian Ari Sigit Purnama yang

menyatakan pekerja dengan masa kerja

lebih dari 5 tahun memiliki

kemungkinan lebih besar mengalami

konjungtivitis dibandingkan dengan

responden dengan masa kerja ≤5 tahun

dan pekerja dengan masa kerja lebih

dari 5 tahun memiliki resiko 1,974

lebih besar untuk terkena konjungtivitis

fotoelektrik dibandingkan pekerja

dengan masa kerja kurang dari 5 tahun,

pada penelitian ini hubungan antara

masa kerja dengan kejadian

konjungtivitis merupakan hubungan

terbalik dimana pekerja dengan masa

kerja ≤ 5 tahun lebih banyak terkena

konjungtivitis fotoelektrik daripada

pekerja dengan masa kerja > 5 tahun.

Hal tersebut dapat dikarenakan

responden dengan masa kerja yang

lebih lama sudah terbiasa dengan

pekerjaannya sehingga lebih dapat

mengantisipasi kemungkinan terjadinya

penyakit akibat kerja.

Masa kerja terkait dengan

tingkat keparahan gangguan yang

dialami pekerja. Paparan sinar UV

dapat mengakibatkan gangguan akut

dan kronis. Paparan akut radiasi UV

misalnya, menyebabkan fotokeratitis

(welder’s flash eye atau arc eye) yang

ditandai dengan sensasi benda asing

pada mata (grittiness), fotofobia, mata

berair, blefarospasme dan nyeri.

Paparan kronis radiasi UV terkait

dengan prevalensi yang tinggi dan

perubahan jangka panjang di bagian

luar mata pada tukang las (K.G.Davies,

2007).

KESIMPULAN

Hasil analisis korelasi antara

umur, jenis las dan pemakaian APD

dengan kejadian konjungtivitis

fotoelektrik memiliki nilai p-value

masing-masing 0,025; 0,869 dan 0,354

sehingga dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara umur, jenis

las dan pemakaian APD dengan

kejadian konjungtivitis fotoelektrik.

Hasil perhitungan nilai signifikansi

pada uji korelasi antara masa kerja dan

pengetahuan dengan kejadian

konjungtivitis fotoelektrik masing-

masing sebesar 0,013 dan 0,037. Hal

ini menunjukan adanya hubungan

antara masa kerja dan pengetahuan

dengan konjungtivitis fotoelektrik. Uji

korelasi antara lama paparan dengan

kejadian konjungtivitis fotoeletrik

menghasilkan nilai signifikansi 0,024

dengan nilai rasio prevalen 2,667. Hal

ini menunjukan bahwa lama paparan

merupakan faktor risiko terjadinya

konjungtivitis dimana pekerja dengan

lama paparan >4 jam per hari memiliki

risiko 2,667 lebih besar untuk terkena

konjungtivitis dibandingkan dengan

pekerja dengan lama paparan ≤4 jam

per hari.

DAFTAR PUSTAKA

Bennet, Silalahi. Rumondang B,

Silalahi. 1995. Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Jakarta : Saptodadi.

Bintoro, A. 1999. Dasar – Dasar

Pekerjaan Las. Yogyakarta : Kanisius.

Dharmawan, Iyan. 1977. Referensi

Visual Terapi Empirik Infeksi Bakteri.

Jakarta: Elek Media Komputindo.

Elkinton, A.R dan P.T Khaw. 1996.

Petunjuk Penting Kelainan Mata.

Jakarta : EGC.

Page 9: 1569-3076-1-SM

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit

mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

K. G. Davies, U. Asana, C. O. Nku and

E. E. Osim. 2007. Ocular Effects of

Chronic Exposure to Welding Light on

Calabar Welders. Nigerian Journal of

Physiological Sciences. Vol. 22, No. 1-

2, pp. 55-58.

Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi,

Konsep Dasar dan Aplikasi, Edisi

Pertama. Jakarta : Guna Wijaya.

Patty, F.A. 1991. Industrial Hygiene

and Toxicologi 4th

ed. New York :

John Wiley and Sons.

Prihantoyo. 2003. Potensi Bahaya

Faktor Fisik di Tempat Kerja. Makalah

Pelatihan Hiperkes. Dinas Transmigrasi

dan Tenaga Kerja. Yogyakarta.

Pujiyanti , Aryani. 2004. Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan

Konjungtivitis Pada Pekerja

Pengelasan Listrik Di Bengkel Radas

Jaya Semarang [Skripsi].

Purnama, Ari Sigit. 2008. Analisis

Faktor - Faktor Risiko Kejadiann

Konjungtivitis Fotoelektrik pada

Pekerja Pengelas di Sebuah

Perusahaan Karoseri PT. X Semarang

[skripsi].

Trisnowiyanto, Bambang. 2002.

Beberapa Faktor Yang Berhubungan

Dengan Ketajaman Penglihatan

Pekerja Las Listrik di Pasar Besi Tua

Semanggi Surakarta. Skripsi FKM

UNDIP. Semarang.

Vaughan,Daniel dan Taylor Asburg.

1996. Olflaktomologi umum jilid 1.

Jakarta : PT. Widya Medika.