146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

22
A Proposed Infrastruktural Model For The Establishment Of Organizational Ethical System (Model Infrastuktural Yang Diajukan Untuk Pembentukan Sistim Etika Pada Organisasi) oleh Lois P. White dan Long W. Lan Mengembangkan Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Perspektif untuk Mendorong Perwujudan Good Governance Oleh Unti Ludigdo Tugas (Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Etika Profesi dan Spiritualitas ) Sri Apriyanti Husain 146020300111009 PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014

Transcript of 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

Page 1: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

A Proposed Infrastruktural Model For The Establishment Of

Organizational Ethical System

(Model Infrastuktural Yang Diajukan Untuk Pembentukan Sistim Etika Pada

Organisasi)

oleh

Lois P. White dan Long W. Lan

Mengembangkan Etika di Kantor Akuntan Publik:

Sebuah Perspektif untuk Mendorong Perwujudan Good Governance

Oleh

Unti Ludigdo

Tugas

(Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Etika Profesi dan Spiritualitas )

Sri Apriyanti Husain

146020300111009

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2014

Page 2: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

REVIEW JURNAL

Page 3: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

A Proposed Infrastruktural Model For The Establishment Of

Organizational Ethical System

(Model Infrastuktural Yang Diajukan Untuk Pembentukan Sistim Etika Pada

Organisasi)

oleh

Lois P. White dan Long W. Lan

Pada jurnal ini, peneliti mengelompokkan infrastruktur sistem sebagai hasil dari

penggabungan tiga faktor besar yaitu: means atau cara, motivations atau motivasi. Dan

opportunity atau kesempatan. Etika menurut Ferrel and Fraedrich (1994),

MacKinnon(1995), Shaw ( 1991) dalam Lois P. White dan Long W. Lanadalah sebuah

kedisiplinan yang berkaitan dengan pertimbangan moral, baik atau buruknya suatu

tingkah laku, dan benar atau tidaknya sebuah tindakan.

Menurut Holloman (1991) dalam Lois P. White dan Long W. Lan Pertimbangan

disini dilakukan oleh seorang individual yang nantinya akan mempengaruhi tingkah aku

dari individu tersebut. ssebuah kelompok atau organisasi tidak “mempertimbangkan” atau

“berlaku” , sebaliknya sebuah kelompok atau organisasi terdiri dari individual-individul

yang membawa niai moral mereka masing-masing yang digunakan ketika mereka akan

melakukan sebuah pertimbangan moral.

Sistim nilai individual yang sering kita temukan sebenarnya adalah hasil dari

pegaruh ingkungan yang secara eksplisit maupun implisit telah menyebar. Dalam jurnal

ini dicontohkan sebuah kejadian yang merupakan dilema etika sebagai hasil dari

pengaruh lingkungan. Misalnya jika dalam sebuah sekolah, seorang guru mengijinkan

siswanya menjual permen peraturan hanya mengharuskan mereka mengembalikan

permen yang tersisa dan uang dari permen yang terjual ke guru mereka nanti di akhir hari.

Sementara itu, salah satu dari siswa berasal dari keluarga yang kurang mampu dan

biasanya tidak pernah makan siang di sekolah. Siswa ini menjual permen dan kemuadian

mengambil permen tersebut tanpa membayarnya dan kadang mencuri uang hasil jualan

permen tersebut namun sang guru tidak berkomentar apapun atau melakukan apapun

terkait dengan kurangnya barang pada inventory atau kurangnya uang hasil penjualan,

Dengan begitu sang guru telah membuat sebuah lingkungan yang menyediakan

Page 4: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

kesempatan dan cara (means) untuk mencuri. Fenomena tersebut juga terjadi di dalam

suatu organisasi. Pada penelitian ini, peneliti menginvestgasi apa yang sebenarnya

merupakan faktor apa yang sebenarnya merupakan dasar terjadinya dilema etik pada

organisasi.

Literature Review

Menurut literature yang dipelajari oleh Lois P. White dan Long W. Lan sebgai

peneliti, tipe dari sistim yang dimiliki oleh suatu organisasi dalam penerapan sistim etika

dan kode etik didalam organisasinya dan juga hasil penerapannya adalah bermacam-

macam. Pada survey 1987, 85% dari 2000 perusahaan US memiliki kode etik tertulis.

Pada survey tahun 1997, tiga dari empat perusahaan memiiki kode etik tertulis.

Survey-survey ini membuktikan bahwa adanya kode etik tertulis merupakan

pendekatan yang sangat umum dalam usaha menyuntikkan sistim etika dalam suatu

organisasi, walaupun demikian penerapannya adalah persoalan lain. Dalam survey yag

dilakukan Mathews, 1988; mnunjukkan bahwa perusahaan yang memiiki kode etik

tertulis lebih sering terkena tuntutan atas suatu kesalahan daripada yang tidak memiliki

kode etik tertulis.

Sementara itu Bohren (1992) dalam Lois P. White dan Long W. Lan menyatakan

bahwa keberadaan kode etik merupakan suatu hal penting namun bukanlah kondisi ideal

untuk membangun sebuah iklim organisasi etis daam sebuah organisasi. Bohren

menyarankan kode etik harus digabungkan dengan pelatihan dan pendidikan managemen

serta karyawan yang efektif. Namun demikian hanya 28% perusahaan yang merespon

survey yang dilakukan Borhen yang memang menyediakan pelatihan bagi karyawannya

walaupun pelatihan dan pendidikan karyawan disetujui sebagai salah satu cara untuk

membangun iklim etis didalam organisasi.

Selain itu, pendekatan dan metode dalam melakukan pelatihan terhadap karyawan

juga berbeda-beda dan tentunya akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Bukti

empiris dari kesuksesan berbagai macam metode pelatihan ini juga sangat jarang ada

karena dalam melakuka pelatihan perusahaan hanya fokus padda penyampaiannya

daripada keefektifan program tersebut. survey yang dilakukan Working Women

membuktikan bahwa 11% pembaca telah mendapatkan pelatihan semacam itu, namun

Page 5: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

hanya 1% yang percaya bahwa pelatihan tersebut akan benar-benar membuahkan hasil

dan membawa perbedaan.

Dari berbagai informasi yang telah dikumpulkan diatas maka timbul dua pertanyaan

yaitu:

1. Mengapa pelatihan etika tidak diadopsi oleh lebih banyak lagi organisasi mengingat

setiap individu dapat membuat menilaian moralnya sendiri dan jika penilaian moral

individu tersebut diabaikan akan berujung pada lebih banyak lagi dilemma etis.

2. Mengapa terdapat sangt sedikit usaha untuk mengevaluasi keefektifan dari program

pelatihan etika diantara perusahaan-perusahaan atau organisasi yang memang

meawarkan program tersebut.

Jawaban dari kedua pertanyaan diatas mungkin dapat ditemukan dalam Paine

(1994) dalam Lois P. White dan Long W. Lan yang menyatakan bahwa sebagian besar

manajer menganggap etika adalah sebuah hal yang personal dan merupakan suatu hal

yang konfidental yang berada antara satu individual dengan kesadaran individual itu

sendiri. Walaupun suatu individu dalam melakukan penilaian etika atas sesuatu

didasarkan atas perspektifnya sendiri, namun hal tersebut juga dipengaruhi oleh

lingkungan organisasi, maka keputusan untuk tidak melakukan training mungkin saja

merupakan hasil dari penilaian-penilaian tersebut. oleh karena itu organisasi juga

berperan dalam menyediakan lingkungan yang dapat menyebarkan atau mengurangi

dilema etis.

Jawaban yang kedua adalah , menurut Ireland ( 1991) dalam Lois P. White dan

Long W. Lan, karena tidak adanya argumentasi proaktif. Irelanda menemukan bahwa

motivasi yang mempengaruhi pengenalan kode etik dalam suatu organisasi adalah 53%

pertumbuhan perusahaan, 29% dversivikasi, 26% trends industri, dan 23% dorongan dari

board of director. Jadi, jika ada satu saja aspek yang hilang dari motivasi tersebut maka

akan berkurang salah satu aspek dari argumentasi proaktif yang dibutuhkan.

Jadi walaupun nantinya akan ada pelatihan etika dalam perusahaan tersebut karena

adanya ethical violation dalam perusahaan, pelatihan tersebut hanya semacam band aid

untuk sebuah luka dan bukannya menyembuhkan luka tersebut, karena pelatihan etika

disini dianggap bukan merupakan unsur penting untuk mengukur keefektifan suatu

perusahaan. Jawaban ketiga adalah kurangnya usaha untuk mengevaluasi. Kurangnya

Page 6: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

hubungan antara argumentasi moral dengan pembuatan keputusan pada sebuah organisasi

atau organizational decision making.

Model Ethical Behaviour

Dalam model ini, terdapat komponen level makro dari faktor yang membawa

ethical behaviour di lingkungan kerja. Dalam faktor ini terdapat means, motivation, dan

opportunity dalam kaitannya dengan keterlibatan dalam perilaku tidak etis. Lois P. White

dan Long W. Lan berpendapat bahwa seseorang akan lebih mungkin menghadapi dilema

etis jika Organisasi tidak menyediakan suatu “cara” atau “means” untuk menangkal

perilaku tidak etis, Jika individu tersebut memiliki motivasi pribadi dimana nantiya

dirinya akan mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara berlaku tidak etis tersebut,

dan jika Posisi seseorang didalam suatu organisasi tersebut menyediakan kesempatan

bagi orang itu untuk terlibat didalam suatu praktik yang tidak etis.

1. Means

Means disini dimaksudkan denga suatu peraturan, prosedur, dalam perusahaan

yang tidak terbatas hanya dalam etika-nya saja. Pada penelitian ini means lebih condong

kepada apakah suatu organisasi telah menyediakan suatu peraturan yang jelas untuk

menghindarkan dari perilaku tidak etis. Lois P. White dan Long W. Lan juga berpendapat

bahwa iklim didalam suatu organisasilah yang menentukan apakah peraturan etika dan

prosedur berkaitan dengan etika akan dibuat dan dilaksanakan.

Iklim yang terdapat didalam suatu organisasi dapat membentuk tindakan seseorang

karena iklim tersebut yang menyediakan panduan bagi seseorang tersebut tentang mana

perilaku yang dapat diterima sebagai perilaku etis dan mana yang tidak. Maka iklim dari

sebuah organisasi akan menyediakan “means” atau cara dari munculnya dilema etis ini,

iklim ini juga sebagai blueprint untuk memecahkan dilemma yang sudah muncul dalam

suatu organisasi.

Maka dari itu, adalah tanggung jawab penuh sebuah organisasi dari komponen

“means” didalam sistim etika perusahaannya karena aspek “means” didalam suatu

perusahaan terbentuk dan terkumpul dari seluruh peraturan perusahaan dan prosedur serta

praktek yang dilakukan di perusahaan tersebut.

Page 7: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

2. Motivation

Bahkan didalam suatu organisasi yang menganut sistim etika dalam setiap aktifitas

dan peraturan mereka masih akan tetap ada perilaku yang tidak etis yang terjadi

dikarenakan motivasi individu. Setiap individu yang masuk ke dalam suatu organisasi

membawa tujuan dan motivasinya sendiri-sendiri, keinginan untuk mendapatkan atau

mencapai sesuatu, bahkan keinginan akan dominasi dan kekuasaan.

Motivasi dapat menjadi sebuah cermin dari sistim nilai yang kita miliki, dan

lingkungan sosial dapat mempengaruhi sistim nilai tersebut. lingkungan sosial juga dapat

di pengaruhi oleh individu-individu yang ada dalam suatu organisasi dan dapat

menyebarkan perlakuan tidak etis yang dilakukan oleh orang lain.

3. Opportunity

Setiap posisi memiliki kesempatan sendiri-sendri dalam keterlibatan mereka pada

sebuah tindakan tidak etis. Maka menurut Lois P. White dan Long W. Lan pelatihan yang

menanamkan nilai-nilai etika harusnya dibedakan tergantung pada klasifikasi masing-

masing posisi atau jabatan. Misalnya CEO dan human resource menghadapi dilema etis

yang berbeda, dan pada survey yang dilakukan Ethics resource center, karyawan yang

berada pada posisi teknikal seperti manufaktur dan quality control mengalami tekanan

yang paling berat dalam melakukan pelanggaran. Namun training tntang etika yang

diterima masing-masing jabatan adalah sama.

Menurut Cyriac (1992) dalam Lois P. White dan Long W. Lanetika harus

diintegrasikan pada spesialisasi fungsional dan teknikal dari management. Setiap fungsi

dari manajemen dan pada setiap area dari pendidikan bisnis harus mendiskusikan secara

ekstensif dan mendebatkan dengan serius tentang masalah etika. Lois P. White dan Long

W. Lan menyarakan bahwa sebuah ethical dilemma adalah hasil dari interaksi means,

motivation, dan opportunity, atau dalam jurnal mereka Lois P. White dan Long W. Lan

menuliskan sebagai berikut:

Ethical dilemma=means X Motivation X Opportunity

Ethical dilemma akan lebih sedikit kemungkinannya terjadi jika ada satu komponen

dari tiga komponen diatas yang hilang.

Page 8: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

Institusionalisasi Etika dalam Organisasi

Tentang persoalan bagaimana Model yang digunakan Lois P. White dan Long W.

Lan bisa diterapkan dalam suatu organisasi dalam riset ini, Lois P. White dan Long W.

Lan menemukan, analisis mereka sejauh ini berfokus pada komponen yang membentuk

infrastruktur dari dilema etis tersebut, jadi untuk mewujudkan sebuah sistem etika pada

suatu organisasi, sistim etika di organisasi tersebut harus berakar dari infrastruktur

tersebut. untuk melakukan hal tersebut maka sebuah organisasi harus memperhatikan

benar setiap komponen yang bertindak sebagai kontributor dalam infrastruktur tersebut.

Lois P. White dan Long W. Lan telah mendefinisikan means sebagai ketentuan,

syarat, dan prosedur yang ada dalam sebuah perusahaan. Adanya tindakan etis atau

bertindak etis dalam suatu organisasi mengkonotasikan bahwa organisasi tersebut

proaktif dalam membuat suatu peraturan yang dapat menghasilkan tindakan-tindakan etis.

Menurut Paine (1994) dalam Lois P. White dan Long W. Lan, manajemen memiliki

tanggung jawab atas tindakan etis dan melalui strategi yang berintegritas, kurangnya etika

dapat teratasi.

Agar manajemen dapat menetapkan sebuah pola dan menyediakan sebuah

kepemimpinan untuk membangun sistim etika yang dapat diandalkan maka para

pemimpin organisasi harus menyatakan secara publik bahwa tindakan beretika adalah

prioritas utama, maka setiap orang yang berada pada hierarki teratas organisasi harus turut

campur dalam formulasi peraturan yang berkaitan dengan tindakan etis.

Motivation disini berfokus pada suatu tingkah laku yang diakibatkkan oleh proses

interaksi antara nilai individu dan nilai organisasi yang merupakan manivestasi dari

budaya atau iklim dari suatu organisasi tersebut. motivasi untuk berlaku etis dapat

ditingkatkan dengan cara membuat tingkah laku yang etis sebagai bagian dari objek yang

yang dievaluasi pada setiap evaluasi performa yang dilakukan pada setiap jabatan.

Opportunitydisini dilihat sebagai lingkungan dimana tingkah laku tidak etis tersebut

terjadi. Setiap posisi memiliki dilemma etis sendiri dan berbeda-beda dalam setiap

posisinya. Caranya agar dapat mengurangi ethical dilemma daam setiap jabatan yang ada,

mulai dari CEO sampai ke bagian menerima surat, adalah dengan menyadari bahwa ada

perbedaan posisi dan seperti apa perbedaan posisi diantara setiap jabatan tersebut. hal itu

Page 9: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

adalah hal yang fundamental untuk menciptakan suatu sistim etika yang dapat

direalisasikan.

Kesimpulan

Model yang dianjurkan oleh Lois P. White dan Long W. Lan menyediakan alat

untuk menembus pembatas dari beberapa perisai terhadap infusi etika dalam organisasi.

Dengan model ini diharapkan manajer yang menganggap etika adalah sebuah hal yang

personal akan menyadari bahwa ada hubungan antara lingkungan ethic dalam suatu

perusahaan dengan penilaian etika dari masing-masing individu.

Model yang diusulkan oleh Lois P. White dan Long W. Lan juga menganjurkan

adanya “ethical audit” yatu berupa audit sosial dan moral dalam suatu organisasi.

Tujuannya adalah untuk menginformasikan kepada publik dimana keterlibatan mereka

dalam sebuah atau beberapa masalah sosial yang terjadi, dan untuk menjelaskan

bagaimana peraturan mereka dan akibat tindakan mereka terhadap lingkungan sosial.

Lois P. White dan Long W. Lan juga menekankan pentingnya dilakukan training yang

disesuaikan dan dikhususkan pada masing-masing kelas jabatan setiap individu.

Page 10: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

Mengembangkan Etika di Kantor Akuntan Publik:

Sebuah Perspektif untuk Mendorong Perwujudan Good Governance

Tulisan ini merupakan review terhadap makalah yang berjudul Mengembangkan

Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Perspektif untuk Mendorong Perwujudan Good

Governance yang ditulis oleh Unti Ludigdo. Makalah ini disampaikan dalam Konferensi

Nasional Akuntansi di Universitas Trisakti pada 24 September 2005.

PENDAHULUAN

Semenjak terungkapnya skandal Enron yang melibatkan salah satu the big five

accounting firm, yaitu Arthur Anderson dan kemudian disusul oleh skandal Merck,

Qwest, Xerox, dan Worldcom, dampak yang dirasakan dalam dunia bisnis tak hanya

berupa krisis ekonomi, namun juga krisis moral. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Suharto (2002) bahwa skandal tersebut tidak saja berdampak pada menurunnya kinerja

perekonomian Amerika Serikat, tetapi juga merembet ke negara-negara lainnya.

Sehingga, kalangan pemerintah dan legislatif di Amerika Serikat mengeluarkan Sarbanes-

Oxley Act of 2002 untuk mengatur perusahaan dan Public Company Accounting Reform

and Investor Protection Act of 2002 untuk mengatur praktik akuntan publik, (Purba,

2002).

Skandal serupa tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, melainkan juga terjadi di

Indonesia. Seperti, kasus audit PT Telkom yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik

(KAP) Eddy Pianto & Rekan, dimana laporan audit KAP tidak diakui oleh SEC sehingga

terjadi pengauditan kembali oleh KAP lainnya. Ada pula keterlibatan 10 KAP (jumlah

sample dalam peer review) yang melakukan audit terhadap bank beku operasi dan bank

beku kegiatan usaha (Toruan, 2002; Baidaie, 2000). Tak hanya itu, kasus moral praktik

akuntansi juga melibatkan KAP besar di Indonesia seperti Hans Tuannakotta & Mustofa,

Prasetio Utomo & Rekan, Johan Malonda & Rekan, dan Hendra Winata & Rekan (lihat

Media Akuntansi, 2002).

Berbagai skandal akuntansi yang terjadi menunjukan bahwa kurangnya

independensi yang dimiliki oleh seorang akuntan, khususnya dalam menaati kode etik

profesi akuntansi. Sebagaimana data yang disampaikan oleh Bidang Penegakan Disiplin

dan Etika Profesi IAI pada Kongres Luar Biasa dan KNA IV IAI tahun 2000

Page 11: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

menunjukkan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh KAP/KJA (Baidaie,

2000). Hasil review atau evaluasi BPKP terhadap 91 KAP/KJA pada periode 1994-1997

yang terdapat dalam data tersebut menunjukkan bahwa:

1) 6,35% tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2) 7,30% tidak memenuhi sepenuhnya Kode Etik;

3) 81,27% tidak menerapkan Sistem Pengendalian Mutu; dan

4) 97,55% tidak mematuhi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).

Berbagai kasus pelanggaran etika yang terjadi akan berdampak pada rapuhnya

integritas akuntan, bahkan akan menimbulkan krisis yang berkepanjangan terhadap

profesi akuntan itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh keraguan publik terhadap kredibilitas

informasi laporan keuangan. Untuk itu, dibutuhkanlah suatu reformasi profesi akuntan

dengan menerapkan dan memantapkan regulasi diri, menghentikan jasa konsultasi untuk

klien audit, melakukan rotasi tugas auditor pada klien, membatasi infiltrasi auditor ke

perusahaan, dan membersihkan standar akuntansi keuangan dan aturan yang

memungkinkan creative accounting. Dengan demikian, maka tujuan penulisan makalah

ini adalah untuk mengeksplorasi konsepsional tentang upaya yang mungkin

dikembangkan dalam mendorong praktik etis di kantor akuntan publik (KAP).

Etika sebagai Basis Profesionalisme Akuntan

Akuntan merupakan profesi yang keberadaannya sangat tergantung pada

kepercayaan masyarakat, sehingga sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari

profesionalisme, mengharuskan akuntan untuk memiliki keterampilan, pengetahuan dan

karakter. Untuk menjadi profesional, maka penguasaan keterampilan dan pengetahuan

tidaklah cukup dan oleh karenanya dibutuhkanlah karakter diri yang dicirikan dari

kepatuhan terhadap etika profesi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Brooks (1989),

bahwa kualitas jasa akuntansi merupakan fungsi dari kompetensi teknis dan pertimbangan

(judgment), dimana pertimbangan ini tergantung pada integritas akuntan yang membuat

keputusan.

Seorang akuntan dalam melaksanakan audit keuangan dituntut untuk tidak saja

mempunyai kompetensi teknis tetapi juga harus bebas secara moral dari konflik

kepentingan (independen). Dengan kompetensi dan independensi, akuntan akan dapat

membuat pertimbangan dan keputusan yang tepat menyangkut obyek auditnya. Pekerjaan

Page 12: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

akuntan merupakan pekerjaan yang sarat dengan acuan normatif dan muatan moral.

Acuan normatif dan muatan moral ini dapat dicermati antara lain pada kode etik profesi

akuntan, standar profesional akuntan publik, dan standar akuntansi keuangan yang telah

dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

Menurut Louwer dkk (1997), pengembangan dan pertimbangan moral merupakan

peran kunci dalam semua area profesi akuntansi. Akuntan dalam banyak hal dihadapkan

pada situasi di mana dia harus menentukan pilihan yang conflicting values. Misalnya,

akuntan publik yang seringkali dihadapkan pada persoalan yang menyangkut

independensi, fee audit dan kualitas audit. Pada situasi dilematis akuntan membutuhkan

pedoman dan dukungan dari pihak lain (misalnya pimpinan atau rekan) untuk

menentukan pilihannya. Penentuan pilihan tersebut tidak hanya menyangkut

pertimbangan personal semata tetapi lebih menyangkut pertimbangan organisasional.

Sehingga, nilai-nilai yang dianut organisasi yang tercermin dalam kode etik profesi akan

akuntansi dijadikan rujukan akuntan untuk menentukan sikapnya.

Secara umum, kode etik perilaku akuntan seharusnya memberikan pedoman yang

cukup bagi akuntan untuk menjalankan perannya sebagai profesional, dan

menginformasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti investor, manajemen

atau agensi pemerintah bagaimana akuntan seharusnya bertindak (Brooks, 1989). Secara

lebih luas, kode etik profesi merupakan kaidah-kaidah yang menjadi landasan bagi

eksistensi profesi dan sebagai dasar terbentuknya kepercayaan masyarakat karena dengan

mematuhi kode etik, akuntan diharapkan dapat menghasilkan kualitas kinerja yang paling

baik bagi masyarakat (Baidaie, 2000). Sehingga, dengan keberadaan kode etik akan

memberikan beberapa keuntungan yang dapat diuraikan sebagai berikut, (Mathews &

Perrera, 1991).

1) Dengan adanya kode etik, para profesional akan bertindak dengan kesadaran

sebagaimana yang dituntut dalam kode etik.

2) Kode etik berfungsi sebagai acuan yang dapat diakses secara lebih mudah. Dengan

fungsi ini kode etik akan dapat mengarahkan manajer untuk selalu memelihara

perhatiannya terhadap etika.

3) Ide-ide abstrak dari kode etik akan ditranslasikan ke dalam istilah yang konkret dan

dapat diaplikasikan ke segala situasi

4) Anggota sebagai suatu keseluruhan, akan bertindak dalam cara yang lebih standar

Page 13: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

pada garis profesi. Kode etik akan menjadi panduan standar untuk mengatasi

berbagai keragaman tindakan etis anggota karena latar belakangnya yang berbeda.

5) Kode etik merupakan suatu standar pengetahuan untuk menilai perilaku anggota dan

kebijakan profesi.

6) Anggota akan menjadi dapat lebih baik menilai kinerja dirinya sendiri.

7) Profesi dapat membuat anggotanya dan juga publik sadar sepenuhnya atas kebijakan-

kebijakan etisnya.

8) Anggota dapat menjustifikasi perilakunya jika dikritik. Ini penting untuk

menghindari ketidakpastian penilaian di masyarakat atas perilaku profesional

anggota.

Kode etik profesional akuntan diatur dalam kode etik IAI, dimana terdapat delapan

prinsip etika yang merupakan bagian utama dari kode etik tersebut. Kedelapan prinsip

tersebut adalah tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektifitas,

kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar

teknis. Dengan prinsip etika tersebut, sudah seharusnya kode etik dapat menjadi pedoman

yang jelas bagi akuntan dalam menjalankan pekerjaan profesionalnya. Akan tetapi, kode

etik profesi tersebut belum mengakomodasikan muatan sanksi sebagaimana dianjurkan

oleh Brooks (1989). Selain itu, proses penginternalisasian kode etik oleh akuntan pada

dirinya dan kantor akuntan publik tempatnya beraktifitas juga belum jelas

terdeskripsikan.

Pengembangan Etika di Organisasi

Menurut Beekun (1997), kode etik merupakan pedoman etika yang paling populer

di kebanyakan organisasi. Kode etik ini disusun dengan memperhatikan kepentingan

pihak intern maupun pihak ekstern sehingga suatu rumusan kode etik harus merefleksikan

standar moral universal. Adapun standar moral universal menurut Schwartz (2001)

meliputi:

1) trustworthiness, meliputi honesty, integrity, reliability, dan loyalty;

2) respect, meliputi perhatian atas perlindungan hak azasi manusia;

3) responsibility, meliputi accountability;

4) fairness, meliputi penghindaran dari sifat tidak memihak, dan mempromosikan

persamaan;

Page 14: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

5) caring, meliputi penghindaran atas tindakan-tindakan yang merugikan dan tidak

perlu; dan

6) citizenship, meliputi penghormatan atas hukum dan perlindungan lingkungan.

Schwartz (2001) juga menyarankan agar menghindari ketidakterterapan kode etik,

maka perumusannya perlu mempertimbangkan kepentingan-kepentingan mendasar yang

berkaitan dengan waktu, keadaan, budaya dan keyakinan agama. Menurut Lozano (2001),

kode etik secara prinsip seharusnya didesain untuk memberikan inspirasi, mendorong dan

mendukung organisasi untuk berperilaku etis dan profesional. Sehingga, kode etik yang

disusun oleh sebuah organisasi seharusnya juga akan bersifat etis.

Sementara White & Lam (2000), menyatakan bahwa sistem etika banyak

diterapkan di organisasi karena kode etik merupakan pendekatan yang tipikal untuk infusi

sistem etis. Hal ini didudkung oleh survei yang dilakukan oleh Ethics Resource Centre

pada tahun 1997 yang menunjukkan bahwa tiga dari empat perusahaan yang disurvei

telah mempunyai standar tertulis tentang perilaku etis dalam bisnis. Selain itu, hasil survei

Ireland (1991) menunjukkan bahwa 85% dari 2000 perusahaan di Amerika Serikat

dilaporkan telah mempunyai kode etik tertulis. Hal ini menujukan bahwa adanya

kemauan positif bagi kebanyakan perusahaan untuk lebih mengedepankan etika di dalam

bisnisnya. Seperti yang dikemukakan oleh Adams dkk (2001), kemauan ini dipicu oleh

banyaknya skandal yang melingkupi perilaku bisnis pada umumnya, yang sebenarnya

sudah terjadi sejak tahun 1970-an dan 1980-an.

Pengembangan Etika di Organisasi

White & Lam (2000) menyampaikan bahwa ada beberapa komponen yang

perlu diperhatikan untuk menuju suatu sistem organisasi yang etis dengan

institusionalisasi etika. Adanya kode etik perlu dikombinasikan dengan manajemen

yang efektif dan pendidikan kepada karyawan. Scwhartz (2002) berdasarkan pandangan

dari beberapa penulis sebelumnya menyebutkan pengertian kode etik, yaitu suatu

dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang terdiri dari standar moral

untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan organisasi. Fungsi kode etik

adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis yang tinggi dalam bisnis (Kavali dkk.,

2001), atau secara prinsip sebagai petunjuk atau mengingatkan untuk berperilaku

Page 15: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

terhormat dalam situasi-situasi tertentu (Lozano, 2001). Standar moral universal

tersebut menurut Schwartz (2001) meliputi:

- Trustworthiness (yang dalam hal ini meliputi honesty, integrity, reliability, dan

loyalty),

- Respect (misalnya meliputi perhatian atas perlindungan hak azasi manusia),

- Responsibility (meliputi juga accountability),

- Fairness (meliputi penghindaran dari sifat tidak memihak, dan mempromosikan

persamaan),

- Caring (meliputi misalnya penghindaran atas tindakan-tindakan yang merugikan

dan tidak perlu), dan

- Citizenship (yang dalam hal ini meliputi penghormatan atas hukum dan perlindungan

lingkungan).

Scwhartz (2002) menunjukkan prosentase (%) jumlah perusahaan yang telah

merumuskan kode etik organisasinya dari hasil telaah beberapa survei yang dilakukan

oleh peneliti atau lembaga penelitian lainnya di beberapa negara, , yaitu:

- di Amerika Serikat lebih dari 90%,

- di Kanada 85%,

- di Inggris Raya 57%, dan

- di Jerman 51%

Adams, dkk. (2001) menelusuri lebih jauh mengenai beberapa alasan perusahaan-

perusahaan membuat suatu kode etik, yaitu:

- Kode etik merupakan satu upaya untuk memperbaiki iklim organisasional

sehingga individu-individu dapat berperilaku secara etis.

- Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu

mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam

setiap keputusan bisnisnya.

- Perusahaan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah

profesi, di mana kode etik merupakan salah satu penandanya.

- Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral

dan nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian

dari budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki

budaya tersebut.

Page 16: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

- Kode etik merupakan pesan.

Adams dkk. (2001) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan responden dari

perusahaan yang tidak mempunyai kode etik formal (tidak tertulis), responden dari

perusahaan yang mempunyai kode etik formal (tertulis) menilai lebih besarnya

dukungan perusahaan untuk berperilaku etis bagi mereka. Sebaliknya, White & Lam

(2000) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil kajian literaturnya penciptaan kode

etik jarang dapat mengurangi dilema etis dalam organisasi. Selain itu mereka juga

mengungkapkan bahwa jarang organisasi mengimplementasikan program pelatihan

etika bagi karyawannya. Scwhartz (2002) melakukan investigasi pada tujuhbelas (17)

perusahaan yang menghasilkan bahwa tujuh dari tujuhbelas (7 dari 17) hasil

penelitian tersebut menunjukkan adanya dampak positif dari kode etik. Sementara dua

dari tujuhbelas (2 dari 17) menunjukkan dampak yang lemah, selebihnya (8 dari 17)

menunjukkan tidak signifikannya dampak dari adanya kode etik tersebut dalam

perusahaan. Terlepas dari masih terdapatnya perbedaan pandangan (empiris maupun

normatif) dari adanya kode etik, keberadaan kode etik tetaplah diperlukan.

Ludigdo (2005) menyatakan bahwa individu-individu lebih suka menghadapi

dilema etis jika (1) organisasi tidak memberikan "means" untuk mencegah perilaku tidak

etis, (2) individu-individu mempunyai personal "motivation" yang didapatkan dari

perilaku tidak etis, dan (3) posisi kerja memberikan "opportunity" untuk mendorong

praktik tidak etis.

Jose & Thibodiaux (1999) menemukan bentuk institusionalisasi eksplisit meliputi

adanya kode etik, pelatihan etika, ethics newsletter, ethics hotline, ethics officer,

dan komite audit. Sementara itu bentuk implisit dalam institusionalisasi etika meliputi

reward system. Bentuk institusionalisasi implisit ini yang popular meliputi dukungan

manajemen puncak, kepemimpinan etis, dibukanya saluran komunikasi, dan budaya

organisasi. Sebaliknya upaya yang paling tidak populer meliputi ethics officers dan ethics

hotline.

Pengembangan Etika dalam Konteks Organisasi KAP

Ludigdo (2005) menyatakan bahwa Pembauran nilai (etika) individu pada budaya

organisasi dan penyediaan pengalaman dan pembelajaran etika terjadi melalui suatu

proses tertentu, yang dapat berlangsung secara sistematis dengan pola pengembangan

Page 17: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

tertentu pula. Giddens (2003) menyatakan bahwa Dalam perspektif strukturasi suatu

tindakan (atau dalam hal ini praktik etika) merupakan interaksi antara individu dengan

struktur sosial yang melingkupinya. Berger & Luckmann (1966; 33) menyatakan

bahwa dunia hidup sehari-hari tidak hanya taken for granted sebagai realitas yang

diciptakan oleh anggota-anggota masyarakat dalam makna perilaku hidupnya yang

subyektif, tetapi lebih pada sebuah dunia yang berawal dalam pemikiran dan tindakan,

dan kemudian dipelihara sebagai sesuatu yang riil.

Pola pengembangan praktik etika di KAP dilakukan sekaligus baik secara eksplisit

maupun implisit, sehingga di dalamnya harus pula selalu memperhatikan means,

motivation dan opportunity. Berdasar kepada pendapat Cooper & Sawaf, Agustian (2001;

289) maka perhatian pada EQ akan dapat mengembangkan kecerdasan hati, seperti

ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi dan empati.

Selain itu peningkatan SQ diperlukan dalam pengembangan praktik etika di KAP,

sehingga perilaku akuntan dan staf professional lainnya tidak terperosok lebih dalam

pada situasi yang jauh dari perilaku etis. SQ memungkinkan seseorang untuk

menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani

kesenjangan antara diri dan orang lain (Zohar & Marshall, 2001; 12). SQ juga membuat

seseorang mempunyai pemahaman tentang siapa dirinya dan apa makna segala sesuatu

bagi dirinya, dan bagaimana semua itu memberikan suatu tempat di dalam dunianya

kepada orang lain dan makna-makna mereka.

Simpulan

Pola pengembangan etika yang komprehenship, termasuk di dalamnya

penguatan personalitas individu-individu anggota KAP, maka profesi akuntan publik

akan dapat berperan lebih baik dalam penciptaan good governance di Indonesia.

Pengembangan secara komprehenship ini dapat dilakukan dengan menggabungkan

pelatihan IQ, EQ, dan SQ dari seorang akuntan publik. Upaya eksplisit dilakukan antara

lain dengan adanya kode etik, pelatihan etika, ethics newsletter, ethics hotline, ethics

officer, dan komite etika. Sementara itu upaya dalam bentuk implisit meliputi reward

system, sistem evaluasi kinerja, sistem promosi, budaya organisasi, kepemimpinan

etis, dukungan dari manajemen puncak, dan saluran komunikasi yang terbuka.

Page 18: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

RELEVANSI

Page 19: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

Pada dasarnya artikel yang berjudul A Proposed Infrastruktural Model For The

Establishment Of Organizational Ethical System (Model Infrastuktural Yang Diajukan

Untuk Pembentukan Sistim Etika Pada Organisasi) yang ditulis oleh Lois P. White dan

Long W. Lan, dan jurnal yang berjudul Mengembangkan Etika di Kantor Akuntan Publik:

Sebuah Perspektif untuk Mendorong Perwujudan Good Governance yang ditulis oleh

Unti Ludigdo, pada dasarnya sudah relevan dengan tema besar kita yakni terkait etika

profesi seorang akuntan.

Pada jurnal pertama kita melihat bahwa dengan adanya Model Model Infrastuktural

yang diusulkan oleh Lois P. White dan Long W. Lan untuk pembentukan Sistim Etika

Pada Organisasi ini diharapkan akan membuat manajer menyadari bahwa ada hubungan

antara lingkungan ethika dalam suatu perusahaan dengan penilaian etika dari masing-

masing individu. Selain itu juga, perlunya “ethical audit” berupa audit sosial dan moral

dalam suatu organisasi dan untuk menginformasikan keterlibatan publik dalam sebuah

atau beberapa masalah sosial yang terjadi serta menjelaskan bahwa peraturan yang telah

dibuat akan berdampak pada lingkungan sosial. Selain itu juga dalam jurnal ini penulis

menekankan bahwa pentingnya training yang disesuaikan dan dikhusukan pada asing-

masing jabatan.

Pada Jurnal kedua kita melihat bahwa etika di sini merupakan sebuah landasan

ataupun pijakan seorang akuntan, lebih khusus lagi terkait bagaimana mengembangkan

etika di kantor akuntan publik guna mewujudkan Good Governance. Kode etik di sini

merupakan satu upaya untuk memperbaiki iklim organisasional sehingga individu-

individu dapat berperilaku secara etis. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal

dan pasar tidak cukup mampu mengarahkan perilaku organisasi untuk

mempertimbangkan dampak moral dalam setiap keputusan bisnisnya. Perusahaan

memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah profesi, di

mana kode etik merupakan salah satu penandanya. Kode etik dapat juga dipandang

sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai pendiri perusahaan,

sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya perusahaan dan membantu

sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut. Kode etik merupakan

pesan.

Page 20: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

HIKMAH

Page 21: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

Berdasarkan kedua jurnal tersebut, ada banyak hikmah yang bisa diambil sebagai

pelajaran bagi diri kita sebagai seorang akuntan. Hikmah tersebut antara lain:

1) Pentingnya penerapan nilai-nilai etika dalam segala profesi. Maksudnya adalah

dimanapun kita bekerja, sebagai apapun kita, profesi apapun yang kita jalani tentunya

harus menerapkan nilai-nilai etika di lingkungan kerja dan terlebih lagi dalam

kehidupan sehari-hari.

2) Lingkungan sosial akuntan berpengaruh terhadap proses penerapan nilai-nilai etika.

Lingkungan sosial juga dapat di pengaruhi oleh individu-individu yang ada dalam

suatu organisasi dan dapat menyebarkan perlakuan tidak etis yang dilakukan oleh

orang lain.

3) Pentingnya kesadaran masing-masing individu untuk menerapkan nilai-nilai etika.

Jadi ketika kita melakukan suatu perbuatan seharusnya berdasarkan pada nilai-nilai

etika yang dilandaskan pada kesadaran diri bukan hanya sekedar untuk mematuhi

aturan yang telah dibuat oleh IAI, ataupun lembaga lain yang mengikat profesi kita.

4) Dalam hal menerapkan nilai-nilai etika tentunya tidak terlepas dari dilema etika.

Ketika dilema etika itu muncul, maka tugas kita adalah bagaimana kita tetap bisa

bersikap independen dan tetap profesional tanpa harus dipengaruhi oleh berbagai

macam kepentingan, baik itu kepentingan diri sendiri maupun kepentingan pihak

lain.

5) Dalam hal pembuatan aturan harus didasarkan pada nilai-nilai etika yang berlaku

secara umum maupun etika yang secara khusus terkait dengan profesi kita sebagai

akuntan.

6) Sebagaimana yang disampaikan oleh Brooks (1989) dimana kode etik perilaku

akuntan seharusnya memberikan pedoman yang cukup bagi akuntan untuk

menjalankan perannya sebagai seorang yang profesional serta menginformasikan

kepada banyak pihak tentang bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan.

Karena pada dasarnya kode etik ini merupakan landasan, merupakan pijakan bagi

eksistensi profesi dan sebagai dasar terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap

akuntan.

7) Pentingnya pengembangan dan pertimbangan moral yang merupakan peran kunci

dalam semua area profesi akuntansi.

Page 22: 146020300111009 sri apriyanti husain etika profesi dan spiritualitas

8) Dalam hal menerapkan sebuah aturan baik itu dalam organisasi bisnis maupun non

bisnis, sebaiknya aturan yang telah ditetapkan oleh aturan tersebut sebaiknya

disampaikan kapada seluruh karyawan ataupun pegawai yang berada di lingkungan

kerja. Jika dimungkinkan dibuatkan kode etik tertulis. Karena beberapa penelitian

menunjukkan bahwa kode etik tertulis lebih efektif daripada penerapan kode etik

yang tidak tertulis.

9) Setiap organisasi bisnis dalam hal manajemen sumber daya manusia, harus

memperhatikan nilai-nilai etika. Sebagai contoh, ketika organisasi tersebut

melakukan training terhadap karyawan/ pegawainya maka dalam proses training

tersebut bukan sekedar hanya menyampaikan tugas pokok, fungsi dan kewajiban

yang harus dilaksanakan oleh karyawan/ pegawai tapi, ada nilai-nilai etika yang

harus ditransfer dan ditanamkan kepada karyawan/ pegawai.

10) Pentingnya Pola pengembangan etika yang komprehenship, termasuk di

dalamnya penguatan personalitas individu-individu anggota KAP, maka profesi

akuntan publik akan dapat berperan lebih baik dalam penciptaan good governance

di Indonesia. Pengembangan secara komprehenship ini dapat dilakukan dengan

menggabungkan pelatihan IQ, EQ, dan SQ dari seorang akuntan publik. Upaya

eksplisit dilakukan antara lain dengan adanya kode etik, pelatihan etika, ethics

newsletter, ethics hotline, ethics officer, dan komite etika. Sementara itu upaya

dalam bentuk implisit meliputi reward system, sistem evaluasi kinerja, sistem

promosi, budaya organisasi, kepemimpinan etis, dukungan dari manajemen

puncak, dan saluran komunikasi yang terbuka.