142329096 Tumor Sinonasal

download 142329096 Tumor Sinonasal

of 28

description

Deteksi Tumor Sinonasal

Transcript of 142329096 Tumor Sinonasal

  • 1

    TUMOR SINONASAL

    PENDAHULUAN

    Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang

    jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang

    ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh

    keganasan di kepala dan leher. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut

    sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan

    daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui

    secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus

    karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah

    memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.1

    Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat mereka sangat dekat

    dengan struktur vital. Keganasan sinonasal dapat tumbuh dengan ukuran yang cukup

    dan terapi agresif mungkin diperlukan di daerah dekat dasar tengkorak, orbit, saraf

    kranial, dan pembuluh darah vital. Meskipun jarang, keganasan sinonasal merupakan

    masalah yang cukup penting. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi

    awal (misalnya, epistaksis sepihak, obstruksi hidung) meniru tanda-tanda dan gejala

    kondisi umum tetapi kurang serius. Oleh karena itu, pasien dan dokter sering

    mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati tahap

    awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Anatomi rongga hidung dan sinus

    paranasal menyebabkan tumor untuk timbul dalam stadium lanjut dan mempersulit

    pengobatan mereka. Mereka berada berdekatan dengan struktur penting seperti dasar

    tengkorak, orbit, saraf kranial, dan struktur vaskular penting. Morbiditas jelas dan

    komplikasi yang terkait dengan bedah reseksi dari tumor tersebut dapat parah.

    Pengobatan keganasan sinonasal paling baik dilakukan melalui tim multidisiplin.

    Secara optimal, ini termasuk kepala dan leher bedah oncologic, rekonstruksi bedah,

  • 2

    maxillofacial prosthodontist, onkologi radiasi, ahli onkologi medis,neuro radiologist,

    ahli patologi, ahli bedah saraf, dan pasien.3

    EPIDEMIOLOGI

    Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika

    daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat

    kedua yang paling umum dan kanker leher karsinoma nasofaring belakang. Pria yang

    terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita,dan 80% dari tumor ini terjadi pada

    orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada

    sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-

    15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma

    ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.3

    Kejadian tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1

    dalam 100.000 orang per tahun. Tumor ini paling sering terjadi orang kulit putih, dan

    insiden pada laki-laki adalah dua kali dari perempuan. Tumor epitel yang paling

    sering hadir dalam dekade kelima dan keenam usia.4

    ANATOMI

    Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh

    septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.3

    1. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium

    pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di

    luarnya dilapisi juga dengan mukosa nasal.3

    Bagian tulang terdiri dari :

    1. Lamina perpendikularis os etmoid lamina perpendikularis os etmoid terletak

    pada bagian supero-posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas

    membentuk lamina kribriformis dan krista gali.

  • 3

    2. Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer

    merupakan ujung bebas dari septum nasi.

    3. Krista nasalis os maksila. Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis

    os maksila dan os palatina.3

    Krista nasalis palatina.Bagian tulang rawan terdiri dari :

    1. Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)

    2. Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasal, lamina perpendikularis

    osetmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila oleh serat kolagen.

    3. Kolumela kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama

    lain oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela.3

    2. Pembuluh darah bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri

    sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari akarotis

    eksterna). Septum nasi bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina

    mayor (juga cabang dari a.maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus.

    Arteri labialis superior (cabang dari a.fasialis) memperdarahi septum bagian

    anterior mengadakan anastomose membentuk fleksus Kiesselbach yang terletak

    lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Littles

    area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis. Arteri karotis interna

    memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan

    superior. Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior

    septum ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis.

    Pada superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang

    berhubungan dengan sinus sagitalis superior.3

    3. Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi

    karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus

    paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus

    etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil

    pneumatisasi tulang tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.

    Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1

  • 4

    Secara embriologik, sinus para nasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

    hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus

    sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi

    lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak

    yang berusia kerang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia

    8 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus

    sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia angtara 15 18 tahun.1

    Gambar 1

    Gambar 2

    Gambar 1 dan 2 dikutip dari kepustakaan 10

  • 5

    Sinus paranasal dilapisi dengan pseudostratified epitel kolumnar, atau epitel

    pernapasan, juga disebut sebagai membran Schneiderian (epitel). Neoplasma jinak

    yang paling umum dari sinus paranasal adalah papiloma Schneiderian, yaitu yang

    terdiri dari tiga jenis: skuamosa, terbalik, dan silinder.6

    Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang

    dalam janin manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal sekitar

    hari 65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak pada foto polos

    sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini bifasik dengan periode

    pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua di mulai lagi pada usia 7

    hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini, pneumatisasi meluas secara menyamping

    hingga dinding lateral mata dan bagian inferior ke prosesus alveolaris bersamaan

    dengan pertumbuhan gigi permanen. Perluasan lambat dari sinus maksilaris ini

    berlanjut hingga umur 18 tahun dengan kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata

    14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media.1

    Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-

    akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus

    sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan

    dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4

    cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1

    Sinus etmoid berongga rongga, terdiri dari sel sel yang menyerupai sarang

    tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara

    konka media dan dinding medial orbita. Sel sel ini jumlahnya bervariasi.

    Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior dan

    bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang yang bermuara di meatus

    superior. Sel - sel sinus etmoid anterior biasanya kecil kesil dan banyak, letaknya di

    depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding

    lateral (lamina basalis), sedangkan sel sel sinus etmoid posterior biasanya lebih

    besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.1

  • 6

    Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

    resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

    disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

    disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau

    peradangan diresesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan

    di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksilaris. Atap sinus etmoid yang

    disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus

    adalah adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari

    rongga orbita. Dibagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus

    sfenoid.1

    Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan,

    merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus

    frontalis jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau enam

    tahun setelah itu perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinusfrontalis

    mengalami kegagalan pengembangan pada salah satu sisi sekitar 4-15% populasi.

    Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis.3

    Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan

    yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus ini

    berupa suara takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika mulai

    pneumatisasi lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella tursika

    pada umur tujuh tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah umur 18 tahun, total

    volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior

    bersama dengan etmoid posterior. Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified,

    columnar epithelial cell, sel Goblet, dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu

    selaput lendir bersifat melindungi. Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri

    dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia,kemudian mengeluarkannya melalui

    ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang.3

  • 7

    DEFENISI

    Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadi pertumbuhan sel (ganas) pada sinus

    paranasal dan rongga hidung.8

    ETIOLOGI

    Paparan asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan kulit

    semua telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor ganas sinonasal.

    Eksposur khusus kayu debu dan penyamakan kulit baik berhubungan dengan

    peningkatan risiko adenokarsinoma lain. Agenetiologi telah dilaporkan termasuk

    minyak mineral, dan senyawa kromium, minyak isopropil, cat pernis, solder dan

    las.1,2,4

    Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras,

    merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal.

    Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang

    berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak

    pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian. Paparan terhadap thorotrast,

    agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan. Tembakau dan

    penggunaan alkohol belum dibuktikan secara meyakinkan sebagai faktor penyebab

    dalam pengembangan tumor sinus paranasal.3

    DIAGNOSIS

    Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam

    penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pada stadium awal

    sering berupa sumbatan, rinore, epistaksis, nyeri di daerah sinus dan pembengkakan

    pipi yang juga merupakan gejala peradangan umumnya. Kurang lebih 9-12 %

    keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat

  • 8

    terpapar bahan bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu

    di ketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko.1

    PEMERIKSAAN FISIK

    Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat

    asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring

    melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda

    tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah

    merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke

    medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan nasoendoskopi dan

    sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini. Adanya

    pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis

    ke kelenjar leher.1

    KLASIFIKASI TUMOR :

    1. Tumor Jinak

    Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip

    dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis

    papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut

    papiloma inverted. Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak

    jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah

    menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua.Terapi adalah

    bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media. Tumor jinak

    angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi

    rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan

    mendorong bola mata keanterior.1

  • 9

    2. Tumor Ganas

    Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%),

    disusul oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Sinus maksila

    adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung

    sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid danfrontal jarang terkena. Metastasis

    ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat

    miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan

    lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik. Metastasis jauh juga

    jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis

    jauh adalah hati dan paru.1

    Klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal

    menurut WHO:

    A. Karsinoma Sel Skuamosa

    Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum yang sering

    ditemukan pada karsinoma sinonasal, sekitar 60% dari semua kasus.

    Kebanyakan karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam hidung atau

    sinus maksila, tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya sudah melibatkan

    hidung, ethmoidal sel dan antrum maksila. Primer frontal atau karsinoma sel

    skuamosa sphenoidal jarang terjadi.5

    Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang

    berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe

    keratinizing dan nonkeratinizing. Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama

    ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi

    (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%). Simtom

  • 10

    berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia,

    pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung

    sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat

    terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau

    MRI didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-

    struktur yang bersebelahan seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang

    infratemporal. Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan

    berupa exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama

    berupa nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif.3

    B. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

    Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari

    lokasi mukosalain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi

    skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler

    (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges.

    Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-

    sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat

    reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai berupa diferensiansi baik,

    sedang atau buruk.3

    C. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma

    Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang di

    karakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat

    menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini

    dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit

    dikenal sebagai skuamosa, dan harusdibedakan dari olfactory neuroblastoma

    atau karsinoma neuroendokrin.3

  • 11

    D. Undifferentiated Carcinoma

    Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan

    histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang

    cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan

    melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik

    berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi,

    termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel

    tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan

    memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma

    eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan

    gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis. Pemeriksaan

    tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologimolekuler

    seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat

    membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya.3

    E. Limfoma Maligna

    Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel

    natural killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus

    mengindikasikan bahwa limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T.

    Limfoma pada nasal jarang ditemukan di western countries, umumnya dijumpai

    di negara-negara Asia. Di karakteristikkan dengan infiltrat limfomatosa difus

    yang meluas ke mukosa nasal dan sinus paranasal, dengan pemisahan yang luas

    dan destruksi mukosa kelenjar sehingga memperlihatkan clear cell change.

    Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies selalu ditemukan. Dinding

    pembuluh darah sering ditemukan angiosentrik, angiodestruksi dan deposit

    fibrinoid. Sel-sel limfoma ukurannya bervariasi mulai dari kecil, medium

    hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki sitoplasma pucat dan granul azurofilik

    pada sitoplasmanya yang dapat dilihat dengan pewarnaan Giemsa. Beberapa

  • 12

    kasus berhubungan dengan infiltrate inflamatori yang mengandung limfosit

    kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil.Terkadang hiperlasia

    pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan,

    menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik.3

    F. Adenokarsinoma Sinonasal

    Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak

    menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14%

    dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis

    merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan

    usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari

    minor dari traktus aerodigestivus bagian atas.Sering ditemukan pada sinus

    maksilaris dan etmoid. Simtom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa

    pada wajah dengan deformasi dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung

    pada lokasinya. Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu

    sessile, papilari dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan

    menginvasi dan merusak jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang

    bermetastasis. Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia

    disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.3

    G. Melanoma Maligna

    Melanoma bisa terjadi sebagai sindrom autosomal dominan familial.

    Sekitar 8% dari 12 % semua kasus. Para anggota keluarga ini berada pada

    peningkatan risiko menderita melanoma secara keseluruhan dan akan

    menimbulkan beberapa lesi primer pada usia lebih dini. Biasanya ditemukan

    pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita,

    dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik, massa

    polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45% kasus. Di

    dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna ini adalah

  • 13

    daerah posterior septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior.

    Tumor menyebar melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal

    dapat ditemukan pada pemeriksaan awal.3,9

    Sistem TNM (Stadium TNM)

    Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem

    TNM pertama kali diperkenalkan oleh Piere de Noix dari perancis, kemudian

    diadopsi, diperluas dan disempurnakan oleh UICC (Union Internationale Contre le

    Cancere) yaitu Perhimpunan Kanker Dunia. Kini makin banyak negara yang

    menggunakan sistem TNM itu untuk melukiskan stadium kanker.7

    Sistem TNM didasarkan atas 3 kategori. Masing masing kategori dibagi lagi

    menjadi subkategori untuk melukiskan keadaan masing masing pada T, N, dan M

    dengan memberi indeks angka dan huruf, yaitu :

    1. T = Tumor primer

    (1) Indeks angka : Tx, Tis, T0, t1, T2, T3, dan T4.

    (2) Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst.

    2. N = Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional

    (1) Indeks angka : N0, N1, N2, dan N3.

    (2) Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst.

    3. M = Metastase jauh

    Indeks angka saja : M0 dan M1.7

    Tiap tiap indekas angka dan huruf mempunyai arti sendiri sendiri untuk

    tiap jenis atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma tidak sama dengan

    kulit, dsb. Untuk satu jenis kanker tertentu tidak semua indeks harus dipakai. Pada

    umumnya arti T.N.M itu sebagai berikut :

    1. Kategori T = tumor primer

    a. Tx = syarat minimal menentukan indeks T tidak terpenuhi

    b. Tis = Tumor in situ (Nis neoplasma in situ)

  • 14

    c. T0 = tidak ketemu adanya tumor primer

    d. T1 = Tumor maksimal < 2 cm

    e. T2 = Tumor maksimal 2-5 cm

    f. T3 = Tumor maksimal > 5 cm

    g. T4 = Tumor invasi keluar organ

    2. Kategori 2 N nodus/metastase kelenjar limfe regional

    a. N0 = Nodus regional relatif

    b. N1 = Nodus regional, mobil

    c. N2 = Nodus regional melekat

    d. N3 = Nodus juxtaregional atau bilateral

    3. Kategori M metastase organ jauh

    a. M0 = Tida ada metastase organ jauh

    b. M1 = Ada metastase organ jauh. 7

    Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru adalah

    menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu :

    Tumor Primer (T)

    Sinus maksilaris

    TX : Tumor primer tidak dapat ditentukan

    T0 : Tidak tampak tumor primer

    Tis : Karsinoma in situ

    T1 :Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi

    tulang.

    T2 : Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau

    meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan

    fossa pterigoid.

  • 15

    T3 :Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan

    subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus

    etmoidalis.

    T4a : Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa

    infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal.

    T4b :Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa kranial

    medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal V2,

    nasofaring atau klivus.3

    Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis

    TX : Tumor primer tidak dapat ditentukan

    T0 : Tidak tampak tumor primer

    Tis : Karsinoma in situ

    T1 : Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang

    T2 : Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan melibatkan

    daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi tulang

    T3 : Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris, palatum

    atau fossa kribriformis.

    T4a : Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau pipi,

    meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis

    atau frontal.

    T4b :Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial medial,

    nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus.3

  • 16

    Kelenjar getah bening regional (N)

    NX : Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar

    N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

    N1 : Pembesaran kelenjar ipsilateral 3 cm

    N2 : Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral

  • 17

    T4a N1 M0

    T1 N2 M0

    T2 N2 M0

    T3 N2 M0

    T4a N2 M0

    IVB T4b Semua N M0

    Semua T N3 M0

    IVC Semua T Semua N M1 (Greene, 2006)3

    MANIFESTASI KLINIK

    Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor

    di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,

    sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga

    mulut, pipi, orbita atau intrakranial.1

    Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:

    1. Gejala nasal.

    Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret,

    sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang

    besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas

    pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.1

    2. Gejala orbital.

    Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau

    penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.1

  • 18

    3. Gejala oral.

    Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum

    atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau

    gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi,

    tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.1

    4. Gejala fasial

    Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi,disertai nyeri, anesthesia

    atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.1

    5. Gejala intrakranial.

    Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,

    oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang

    keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus

    basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya

    bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya

    muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi

    nervus maksilaris dan mandibularis.1

    PEMERIKSAAN PENUNJANG

    1. Pemeriksaan biopsi

    Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan dibawah

    mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan, dan organ

    untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk

    mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Pada tumor

    yang secara klinis jinak, maka tumor dapat langsung diangkat.

  • 19

    Pada tumor yang secara klinis ganas, maka anestesi lokal tidak dianjurkan.

    Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk

    ukuran besar maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan.

    Tumor yang sudah diangkat, baik secara klinis jinak maupun ganas harus

    diperiksakan ke dokter patologi anatomi, untuk dapat dipastikan jenisnya.

    Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang

    dijadikan golden standart atau diagnosis pasti suatu tumor.

    Bila hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila

    ganas atau kanker, maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa

    operasi kembali atau diberikan khemoterapi atau radioterapi.13

    2. X-ray

    Sebuah x-ray sinus normal dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran

    seperti udara. Jika demikian, biasanya bukan kanker tetapi sebaliknya, infeksi

    yang dapat diobati. Kadang kadang pemeriksaan x-ray tidak akurat untuk

    mengidentifikasi sumbatan. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray

    sebaiknya dilakukan dengan menggunakan scan computed tomography (CT).13

    Gambar 3

    Gambar 3 foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris dikutip dari

    kepustakaan 11

  • 20

    3. CT - Scan

    Gambar 4

    Gambar 4 dikutip dari kepustakaan 12, CT Scan sinus paranasal menunjukkan

    sebuah tumor yang berbentuk lobus tajam sehingga terjadi peningkatan di kedua

    rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid, sinus sphenoid dan

    nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris.

    CT scan menciptakan gambar tiga dimensi bagian dalam tubuh dengan

    mesin x-ray. CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur

    tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar

    karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis,

    penyakit sinonasal dan dengan simtomp persisten setelah pengobatan medis yang

  • 21

    adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal

    dengan kontras atau magnetic resonance imaging (MRI). CT scanning

    merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal

    dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor,

    vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid.3

    4. MRI

    MRI menggunakan medan magnet, bukan x-ray, untuk menghasilkan

    gambar rinci dari tubuh, terutama gambar jaringan lunak. Dipergunakan untuk

    membedakan sekitar tumor dengan soft tissue, membedakan sekret di dalam

    nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran

    perineural, membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak

    melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk

    mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan optic canal.

    Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal berintensitas

    rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi darilemak di

    dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak.3

    5. Positron emission tomography (PET)

    PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam

    tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap

    terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi.

    Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap

    lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk

    menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Sering digunakan untuk keganasan

    kepala dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan

    ditambah dengan anatomik detail membantu perencanaan pembedahan dengan

    cara melihat luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai

  • 22

    keganasan kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai

    keganasan pada nasal dan sinus paranasal.3

    6. Angiography dengan carotid-flow study

    Digunakan untuk penderita yang akan menjalani operasi dengan tumor yang

    telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon exclusion digunakan dengan single-

    photon emission CT (SPECT), xenon CT scan atau tranascranial Doppler,

    dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak iskemik jika arteri karotid

    internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi iskemik pada area

    marginal (watershed) atau fenomena embolik.3

    7. CT scan dada dan abdomen

    Direkomendasikan untuk pasien dengan tumor yang bermetastasis secara

    hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma kistik adenoid. Penilaian

    metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk dilakukan. Lumbal

    dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika tumor telah

    menginvasi meningen atau otak.3

    PENATALAKSANAAN

    Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis

    menggunakan pendekatan multifaset. Setiap pasien menerima rencana pengobatan

    yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya, khususnya konstitusi secara

    keseluruhan pasien, kelas, dan stadium penyakit. Biasanya, bagaimanapun, tim

    pengobatan meliputi:

    sebuah otorhinolaryngologist (spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan) seorang

    ahli onkologi (spesialis kanker). sebuah radiotherapist (x-ray pengobatan spesialis).

  • 23

    Jika operasi yang luas diperlukan, ahli bedah plastik dan rekonstruksi juga dapat

    berfungsi sebagai bagian dari tim perawatan.8

    Pilihan pengobatan utama untuk kanker sinus paranasal meliputi:

    I. Bedah

    Maksilektomi

    Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perlu

    dilakukan dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving (peningkapan).

    Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya

    dilakukan maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total atau radikal.

    Maksilektomi radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai

    seluruh dinding sinus maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita, sehingga

    pengangkatan maksila dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika

    tumor sudah masuk ke rongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasil atau

    kalau perlu kraniotomi, tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedar

    saraf.1

    Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai

    tindakan rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan

    fungsi menelan dan berbicara dengan baik, disamping perbaikan kosmetis

    melalui operasi bedah plastik. Dengan tindakan tindakan ini pasien dapat

    bertsosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat.1

    Diperlukan untuk menghilangkan bagian dari rongga hidung atau sinus

    paranasal pada setiap tahap penyakit ini. Juga, beberapa diseksi kelenjar getah

    bening mungkin diperlukan di leher, tergantung pada pementasan dan grading.

    Dapat dikombinasikan dengan radioterapi di setiap tahap, tergantung pada jenis

    kanker dan lokasinya.8

  • 24

    II. Radioterapi

    Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri

    pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap

    tahap penyakit. Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap

    sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan

    penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker

    di zona diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk paliatif (kontrol gejala)

    pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Teleterapi (radiasi eksternal)

    diberikan melalui mesin remote dari tubuh sementara radiasi internal

    (brachytherapy) diberikan dengan menanamkan sumber radioaktif ke dalam

    jaringan kanker. Pasien mungkin atau mungkin tidak memerlukan kedua jenis

    radiasi. Radioterapi biasanya memakan waktu hanya lima sampai sepuluh

    menit per hari, lima hari seminggu selama sekitar enam minggu, tergantung

    pada jenis radiasi yang digunakan.8

    III. Kemoterapi.

    Biasanya diperuntukkan untuk stadium III dan IV penyakit. Selain terapi

    lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh

    adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh

    tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan, yang disebut

    kemoterapi, diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan

    biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Kemoterapi juga dapat

    digunakan dalam kombinasi dengan operasi, radioterapi, atau keduanya. Pada

    garis depan penelitian kanker kepala dan leher, biologi molekuler dan terapi gen

    menyediakan wawasan baru ke dalam mekanisme dasar kanker usul dan

    pengobatan. Deteksi berbagai onkogen (gen yang dapat menyebabkan

    pembentukan tumor) di kepala dan kanker leher juga maju dengan cepat.

  • 25

    Percobaan terapi gen, masih dalam tahap awal pada 2001, juga memperkenalkan

    bahan genetik untuk membantu sistem kekebalan tubuh mengenali sel kanker.8

    KOMPLIKASI

    Komplikasi keganasan sinus terkait dengan peembedahan danrekonstruksi. Beberapa

    komplikasi yang dapat terjadi yaitu :

    1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior

    dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.4

    2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis kranii.Tanda

    dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin dimulut, dan

    tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dandrainase lumbal dapat

    dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan

    intervensi pembedahan.4

    3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada

    aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan dakriosisto

    rhinostomi mungkin perlu dilakukan.4

    4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari

    komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan

    terapi yang paling sederhana.4

    PROGNOSIS

    Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang

    mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat.

    Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer,

    perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi

    adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor

    lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang

  • 26

    tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian,

    pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik

    dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5

    tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor. 1,3

    KESIMPULAN

    Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana kanker (ganas) sel ditemukan

    dalam jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria yang terkena 1,5 kali

    lebih seringdibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia

    45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris

    dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada

    sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus

    frontal dan sphenoid.3

    Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras,

    merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal.

    Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang

    berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak

    pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap

    thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan.Pasien dengan

    kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis menggunakan pendekatan

    multifaset. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk

    memenuhi kebutuhan nya, khususnya konstitusi secara keseluruhan pasien, kelas, dan

    stadium penyakit.3

    Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris

    sekitar 40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga

    80%. Pasien dengan tumor dioperasi diobati dengan radiasi memiliki tingkat

    kelangsungan hidup kurang dari 20%. Tingkat ketahanan hidup untuk tumor ethmoid

    telah sedikit meningkat karena kemajuan ditengkorak-basis operasi.3

  • 27

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Arsyad efiaty dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

    Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia.

    2. Adams, George L, MD et all. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6, Jakarta :

    Penerbit Buku Kedokteran.

    3. Agussalim, dr. Tumor Sinonasal. 2006. Universitas Sumatera Utara. diunduh dari

    : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/.../Chapter%20II.pdf

    4. Carrau, Ricardo Luis, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses,

    diunduh http://emedicine.medscape.com/article/846995-overview#showall.

    5. Hermans, Robert. Head and neck Cancer Imaging. University Hospitals Leuven.

    Belgium.

    6. Kountakis, Stilianos E, Metin Onerci. 2007. Rinologic and Sleep Apnea Surgical

    Techniques. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

    7. Surakardja, I Dewa Gede. 2000. Onkologi Klinik. Fakultas kedokteran

    Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

    8. Gale Encyclopedia of Cancer. Paranasal Sinus Cancer, Gale Encyclopedia of

    Cancer. 2002. Slomski, Genevieve. Di unduh dari

    http://www.encyclopedia.com/doc/

    9. Harris, Jeffrey P, Michael H. Weisman. 2007. Head and neck Manifestation of

    Systemic Disease. Informa Healthcare USA, Inc. New York.

    10. Balch, Phyllis A. James F. Balch. Sinusitis. MoonDragon's Health & Wellness.

    Di unduh dari http://MoonDragons.org/

  • 28

    11. Loevner, Laurie and Jennifer Bradshaw. Paranasal Sinuses and Adjacent Spaces.

    Radiology department of the University of Pennsylvania, USA and the radiology

    department the Medical Centre Alkmaar, the Netherlands, diunduh dari :

    http://radiologyassistant.nl/

    12. Pandey, Ritwik, Apurva Patel, Kirti Patel, Sandip Shah And Manoj J Shah. 2005.

    Aggressive Sinonasal Hemangiopericytoma Presenting with Liver Metastasis.

    Indian Journal Of Medical & Paediatric Oncology. diunduh dari :

    http://repository.usu.ac.id/pdf.

    13. American Cancer Society. 2011. Nasal Cavity and Paranasal Sinus Cancers. New

    York. Di unduh dari : httP://www.cancer.org/pdf

    YANG WARNA MERAH ITU DARI E-BOOK