14 CONTOH BID.doc
-
Upload
eyrha-zara -
Category
Documents
-
view
25 -
download
0
description
Transcript of 14 CONTOH BID.doc
14 CONTOH BID’AH DALAM SHALAT TARAWIH
Disusun Oleh Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc.
Dalam rubrik ini, saya akan menguraikan bahasan khusus seputarmasalah bid’ah
dalam shalat tarawih yang banyak menyebar di tengah masyarakat, dan diyakini sebagai
perkara sunnah serta dianggap baik oleh sebagian besar orang awam. Akibatnya
sunnah-sunnah shalat tarawih yang dianjurkan, banyak kehilangan bentuk dan
kemurniannya. Di antara bid’ah yang lazim terjadi di masyarakat seputar masalah shalat
tarawih, ialah sebagai berikut.
Pertama. Shalat tarawih dengan cepat, laksana ayam mematuk makanan. Mayoritas
imam masjid kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang baik. Hal itu
nampak dari cara melakukan shalat. Bahwa hampir semua shalat yang dilakukan, mirip
dengan shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika shalat tarawih.
Mereka melakukan shalat 23 raka’at hanya dalam waktu 20 menit, dengan membaca
surat Al ‘Ala atau Adh Dhuha. Menurut semua madzhab, dalam melakukan shalat tidak
boleh seperti itu, karena ia merupakan shalat orang munafik, sebagaimana firmanNya:
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, maka mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya’ di hadapan manusia dan tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit
sekali. (QS An Nisa’:142). Bentuk dan cara shalat tarawih yang seperti itu, jelas
bertentangan dengan cara shalat tarawih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam , para
sahabat dan ulama salaf.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
�م� �ك �ي ت�ي ف�ع�ل ن �س� ة� ب ن �ف�اء� و�س� ل �خ� �ين� ال �م�ه�د�ي د�ين� ال اش� �وا الر ك �م�س �ه�ا ت �ه�ا و�ع�ض$وا ب �ي ذ� ع�ل و�اج� �الن �م� ب اك �ي و�إ
�ات� م�ور� و�م�ح�د�ث� �ن األ� �ل ف�إ �ة4 ك �د�ع�ة5 م�ح�د�ث �ل ب �د�ع�ة4 و�ك �ة5 ب ل ض�ال�
Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang
memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham
kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat. (Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu
Majah).
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallamn bersabda,
$و�ا �م�ا ص�ل �ي� ك �م�و�ن ��ت ي� أ ص�ل�ي ر�
� أ
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR Bukhari, Muslim,
Ahmad. Lihat Irwaul Ghalil no: 213).
Ad Darimy meriwayatkan, bahwa Abu Aliyah berkata,”Jika kami mendatangi seseorang
untuk menuntut ilmu, maka kami akan melihat ia shalat. Jika ia shalat dengan benar,
kami akan duduk untuk belajar dengannya. Dan kami berkata,’Dia akan lebih baik dalam
masalah lain’. Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka kami akan berpaling darinya dan
kami berkata,’Dia akan lebih rusak dalam masalah yang lain’.” Dan suatu hal yang
menguatkan lagi, bahwa demikian itu menjadi perkara bid’ah, karena dikerjakan secara
rutin dan permanen pada setiap bulan Ramadhan. Mereka beranggapan, bahwa hal itu
merupakan cara terbaik dalam menunaikan shalat tarawih.
Kedua. Membaca surat Al’An’am dalam satu raka’at dari shalat tarawih. Para ulama
menganggap, bahwa membaca surat Al An’am dalam satu raka’at dari shalat tarawih
termasuk perbuatan bid’ah, karena demikian itu tidak bersandarkankepada suatu dalil.
Adapun hadits dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah bersabda:
�ت� �ز�ل ن� ة� أ و�ر� � س� �ع�ام ن
� �ع�ه�ا و�اح�د�ة? ج�م ة? األ ي �ش� �ع�و�ن� ي ب �ل�ف� س� �ك4 أ �ح� م�ل �ي ب س� �الت �د� ب ح�م�ي و�الت .
“Surat Al’An’am diturunkan sekaligus dalam sekali tahapan yang dihantarkan oleh tujuh
puluh ribu malaikat sambil membaca tasbih dan tahmid”.
Banyak orang awam yang tertipu dengan hadits ini. Padahal menurut Imam As Suyuthi,
bahwa hadits di atas adalah dhaif. Andaikata pun hadits tersebut shahih, juga sedikitpun
tidak ada anjuran yang bersifat sunnah dibaca dalam satu raka’at.
Membaca surat Al An’am dalam satu raka’at bisa dikatakan bid’ah karena beberapa
alasan sebagai berikut. Pertama, mengkhususkan surat Al An’am menipu ummat, bahwa
surat yang lain kurang afdhal atau tidak baik untuk dibaca pada waktu shalat tarawih.
Kedua, bacaan tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih. Ketiga,
memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga mereka akan marah atau
jengkel atau timbul kebencian terhadap ibadah. Keempat, yang demikian itu menyelisihi
sunnah, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar raka’at kedua
lebih pendek daripada raka’at pertama, sementara bid’ah ini telah merubah secara tolal
sunnah tersebut dan melawan syari’at.[5]
Ketiga : Bid’ah Mengumpulkan Ayat-Ayat Sajadah.
Seorang imam mengumpulkan ayat-ayat sajadah ketika khataman Al Qur’an pada shalat
tarawih dalam raka’at terakhir, kemudian ia sujud bersama makmum. [6]
Keempat : Membaca Beberapa Ayat Yang Disebut Ayat-Ayat Hirs (Perlindingan).
Mengumpulkan beberapa ayat yang mereka sebut dengan nama ayat-ayat
perlindungan, lalu dibaca secara keseluruhan di akhir raka’at dalam shalat tarawih.[7]
Kelima : Bid’ah Dzikir Dan Do’a Ketika Hendak Memulai Shalat Tarawih.
Ucapan seorang bilal atau imam ketika hendak memulai shalat tarawih yang dibaca
dengan berjama’ah dan suara keras.[8]
�ة� �ح� ص�ال او�ي ر� ه�ر� ف�ي الت م�ض�ان� ش� �م� ر� ح�م�ك الله� ر� .
�ة� �ح� ص�ال او�ي ر� �م� الت ك الله� آج�ر� .
Kebid’ahan ini banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik
dan sunnah, padahal hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sahabat. Padahal setiap cara ibadah dan praktek agama yang tidak
ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan dinyatakan sebagai perbuatan
bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
�ح�د�ث� م�ن� �ا ف�ي أ م�ر�ن� �س� ه�ذ�ا أ �ي �ه� م�ال دK ف�ه�و� م�ن ر� .
“Barangsiapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan
merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak”. [HR Bukhari].
Keenam : Berdzikir Dengan Dipandu Seorang Bilal.
Berdzikir dengan dipandu seorang bilal setiap selesai shalat dua raka’at dari shalat
tarawih, maka perbuatan seperti ini termasuk bid’ah. Namun terkadang bacaan dzikir
dilakukan sendiri-sendiri dengan ringan, atau terkadang dzikir tersebut dibaca secara
berjama’ah.[9]
Dzikir dengan cara ini termasuk bid’ah, karena beberapa alasan berikut. Pertama,
karena membuat tata cara baru dalam beribadah yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan bid’ah. Dari Jabir bin
Abdullah diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : “Amma ba’du. Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad. Seburuk-buruk ibadah adalah yang dibikin-bikin, dan setiap bid’ah itu
adalah sesat”. [10] Kedua, dzikir tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih
saja, padahal mengkhususkan suatu ibadah yang tidak berdasarkan dalil, maka hal itu
termasuk perbuatan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Ketiga, tindakan itu boleh
jadi memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga menimbulkan sikap
kebencian terhadap ibadah. Keempat, perbuatan itu dengan jelas telah menyelisihi
sunnah. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan
membaca dzikir secara berjama’ah dalam shalat tarawih. Begitu pula beliau n tidak
pernah mengajarkan bacaan dzikir-dzikir tersebut. Maka bentuk dzikir seperti itu
bertentangan dengan sunnah Rasulullah dan kebiasaan para sahabat.
Ketujuh : Mengkhususkan Membaca Qunut Pada Shalat Tarawih.
Mengkhususkan qunut hanya pada pertengahan Ramadhan dalam shalat tarawih. Yang
demikian itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam
Malik dalam kitab Mudawwanah Al Kubra menyatakan,”Tidak ada dalil shahih yang bisa
digunakan sebagai sandaran bagi orang yang mengkhususkan qunut dalam shalat
tarawih pada bulan Ramadhan, baik pada awal maupun akhir Ramadhan, atau pada
shalat witir [11].
Kedelapan : Shalat Tarawih Bersama-Sama Antara Kaum Laki-Laki Dan Kaum Wanita
Dalam Satu Masjid.
Diantara kebid’ahan dan kemungkaran dalam masjid yang berkaitan dengan shalat -
terutama shalat tarawih- yaitu melakukan shalat berjamaah campur-baur antara kaum
laki-laki dan kaum wanita dalam satu masjid [12].
Kesembilan : Dzikir Dengan Suara Keras Dan Berjama’ah Seperti Koor.
Dzikir berjama’ah dengan suara keras seperti koor pada setiap waktu istirahat dalam
shalat tarawih, merupakan perbuatan bid’ah [13]. Adapun lafadz dzikir yang mereka
baca secara berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah, maka
perbuatan seperti ini termasuk mengumpulkan berbagai macam keburukan dan
kebid’ahan, antara lain: Pertama, bid’ah dzikir berjama’ah dengan suara koor. Kedua,
bid’ah dalam menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
Ketiga, mengganggu kaum muslimin dengan suara keras, dan boleh jadi dzikir tersebut
disampaikan lewat mikrofon atau pengeras suara. Keempat, membuat praktek ibadah
baru dalam shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
? ع�م�ل� م�ن� �س� ع�م�ال �ي �ه� ل �ي �ا ع�ل ن م�ر�� دK ف�ه�و� أ ر� .
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka
ibadahnya itu tertolak”. [HR Muslim].
Kesepuluh : Dzikir Berjama’ah Dengan Suara Keras Saat Akan Dimulainya Raka’at Baru
Dalam Shalat Tarawih.
Bacaan dzikir yang diamalkan setiap selesai salam dari dua raka’at shalat tarawih, dan
(kemudian) hendak memulai raka’at yang baru, (dzikir seperti ini)termasuk perbuatan
bid’ah. Tata cara dan bacaan dzikir tersebut antara lain:
Seorang bilal membaca:
�ع�م�ة� الله� م�ن� ف�ض�ل5 �ا و�الن �و اب� ي �ا ت ع� ي ة� و�اس� �م�غ�ف�ر� ه�م . ال لل� �م� ص�ل� أ ل م�ح�م د4 ع�ل�ى و�س� .
Lalu dijawab oleh para jama’ah shalat tarawih secara bersama-sama dengan suara keras
$و�ا �ه� ص�ل �ي ه�م , ……. ع�ل لل� �م� ص�ل� أ ل م�ح�م د4 ع�ل�ى و�س� . …….
Kemudian pada raka’at-raka’at yang akhir mereka mendo’akan kepada khulafaurrasyidin
yang empat.
Kesebelas : Bid’ah Do’a Berjama’ah Ketika Istirahat Antara Shalat Tarawih Dengan Shalat
Witir.
Do’a berjama’ah pada saat istirahat antara shalat tarawih dengan shalat witir
merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Begitu juga ketika hendak shalat witir, bilal
atau imam mengucapkan:
$و�ا ة� ص�ل ن �ر� س� �و�ت �م� ال ح�م�ك و� الله� ر�� �م� أ ك الله� آج�ر� .
Kebanyakan mereka yang mengamalkan bid’ah ini telah membuat bacaan do’a secara
khusus, yang tidak bersandar kepada satu dalilpun, dan tidak pernah diajarkan oleh para
ulama salaf mapun imam sunnah [14].
Keduabelas : Melazimkan Surat Al Ikhlas Dan Mu’awidzatain Dalam Setiap Raka’at Akhir
Dari Shalat Witir.
Melazimkan surat Al Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap raka’at terakhir dari shalat
witir, termasuk perbuatan bid’ah. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama salaf dari kalangan para sahabat dan tabi’in.
Sementara sebagai orang awam terpesona dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, dari Abu Hurairah
dengan sanad yang lemah, karena terdapat seorang perawi As Sary bin Ismail dan
Miqdam bin Daud, yang keduanya merupakan perawi yang dhaif. Begitu juga hadits
serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya dan Imam At Tirmidzi dalam
Sunan-nya, serta Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dari hadits Aisyah dengan sanad yang
lemah.
Imam Al Mundziri berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi serta
Ibnu Majah dari Aisyah dari Khushaif bin Abdurahman Al Harrani; telah dinyatakan
sebagai perawi yang lemah oleh kebanyakan para imam ahli hadits.
Ibnul Jauzi berkata,”Imam Ahmad dan Yahya Ibnu Main telah mengingkari dengan keras
tambahan Muawidzatain dalam raka’at akhir dari shalat witir [15].
Ketigabelas : Berhenti Dari Shalat Qiyamul Lail Atau Shalat Tarawih Setelah Khataman
Al-Qur’an.
Sebagian umat Islam ada yang menghentikan qiyamul lail atau shalat tarawih setelah
menyelesaikan khataman Al Qur’an, padahal perbuatan tersebut termasuk bid’ah [16].
Keempatbelas : Membaca Dua Juz Atau Lebih Dari Al-Qur’an Pada Shalat Tarawih
Terakhir.
Membaca dua juz atau lebih pada malam terakhir dalam shalat tarawih. Ada juga yang
melazimkan dari mulai surat Adh Dhuha hingga selesai [17].
Demikianlah penjelasan beberapa bid’ah seputar shalat tarawih, yang secara umum
sudah banyak tersebar di tengah masyarakat. Maka demi menjaga keutuhan ajaran
Islam dan melestarikan sunnah, serta memelihara pahala ibadah -terutama shalat
tarawih- maka saya mengajak kepada seluruh umat Islam agar meninggalkan kebiasaan
buruk dan perbuatan bid’ah dalam setiap bidang agama. Al Qur’an dan Sunnah Rasul
dengan tegas memperingatkan tentang bahaya bid’ah. Begitu pula para sahabat dan
para tabi’in yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan
kebajikan juga memperingatkan bahaya bid’ah dengan tegas
Diantara dalil dari Al Qur’an yang memperingatkan tercelanya bid’ah, antara lain sebagai
berikut.
DALIL-DALIL DARI AL-KITAB
Allah berfirman, ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus,
maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-
jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertaqwa”. ([Al An’Am : 153].
Jalan yang lurus adalah jalan Allah yang wajib diikuti. Jalan itu adalah Sunnah.
Sedangkan jalan yang beraneka ragam dan corak itu hanyalah jalan ahli bid’ah yang
melenceng dari jalan yang lurus.
DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
Nabi bersabda,
�ي� �ن �م� إ �ك �ت ك �ر� �ض�اء� ع�ل�ى ت �ي �ب �ه�ا ال �ل �ي �ه�ار�ه�ا ل �ن �ز�يغ� ال� ك �ه�ا ي �ع�د�ي ع�ن �ال ب �ك5 إ ه�ال
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian ajaran putih bersih. Malamnya
laksana siangnya. Dan tidaklah seseorang yang menjauhinya, kecuali pasti akan
mengalami kehancuran”. [HR Ahmad dan Ibnu Majah].
ن م�ن� � ف�ي س� م ال� �س� ة? اإل� ن �ة? س� ن �ه� ح�س� ه�ا ف�ل ج�ر�� ج�ر� أ
� �ه�ا ع�م�ل� م�ن� و�أ �ع�د�ه� ب �ر� م�ن� ب �ن� غ�ي �ق�ص� أ �ن م�ن� ي
ج�ور�ه�م�� ء5 أ ي� ن و�م�ن� ش� � ف�ي س� م ال� �س� ة? اإل� ن �ة? س� �ئ ي �ان� س� �ه� ك �ي ه�ا ع�ل ر� ر� و�ز� �ه�ا ع�م�ل� م�ن� و�و�ز� �ع�د�ه� م�ن� ب ب
�ر� م�ن� �ن� غ�ي �ق�ص� أ �ن ار�ه�م� م�ن� ي و�ز�� ء5 أ ي� ش�
“Barangsiapa memberi contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya
dan pahala orang yang mengerjakan perbuatan baik tersebut, tanpa mengurangi pahala-
orang itu sedikitpun. Dan barangsiapa memberi contoh yang buruk dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengerjakan perbuatan dosa itu setelahnya,
tanpa mengurangi dosa orang-orang itu sedikitpun”. [HR Muslim]
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, bahwa pernah pada suatu ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat suatu garis, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah
yang lurus,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis-garis di
sebelah kanan dan kirinya, lalu bersabda,”Ini adalah jalan-jalan, dan setiap jalan
tersebut terdapat syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian
itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (Al An’am:153)”. [HR Ahmad
dalam Musnad, Ad Darimi, Al Hakim dalam Mustadrak dan Ibnu Abu Ashim dalam As
Sunnah].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 07/Tahun VII/1424/2003M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183)
_______
Footnote
[1]. Mu’jamul Maqayis Fil Lughah, Ibnu Faris halaman 119.
[2]. Al I’tisham, oleh Asy Syatibi 1:49. Lihat juga Mufradat Al Fazhil Qur’an, Ar Raghib Al
Asfahani, materi kata bada’a, halaman 111.
[3]. Fatawa Ibnu Taimiyah IV 107-108
[4]. As Sunnan Wal mubtadat, Syaikh Muhammad bin Abdussalam, Darul Fikr
[5]. Al Amru bin Ittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’, Imam As Suyuthi, Maktabatul Qur’an.
[6]. Al Amru bin Ittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’, Imam As Suyuthi, Maktabatul Qur’an.
[7]. Al Baits Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, Abu Syamah Al Maqdisy, Darur Rayyah,
Riyadh.
[8]. Mu’jamul Bida’, Raid bin Sabri bin Abi ‘Alfah, Darul Ashimah, halaman 98.
[9]. Al Hawadits Wal Bida’, Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy, Riyadh.
[10]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al Jumu’ah; meringkas shalat dan khutbah
1:592 dengan nomor 867.
[11]. Al Hawadits Wal Bida’, Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy, Riyadh.
[12]. Bidaul Qurra’, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq Saudi.
[13]. Bidaul Qurra’, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq saudi.
[14]. Al Hawadits Wal Bida’, Imam Abu Bakar Ath Thurthusy, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh,
halaman 64.
[15]. Lihat Aunul Ma’bud Syah Sunan Abi Daud, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut Libanon.
Bab Ma Yuqrqa’ Fil Witr.
[16]. Bidaul Qurra’, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq, Saudi.
[17]. Al Madkhal, Ibnul Haj 2/294, Darul Hadits, Mesir.
Shalat Tarawih
Posted on 3 Agustus 2011 by arsitekperadaban
Arti Tarawih
Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwih, yang berasal dari kata raha yang
artinya “mengambil istirahat”. Shalat ini disebut shalat tarawih, karena orang yang
menjalankan shalat ini mengambil istirahat sejenak.
Tata Cara Shalat Tarawih
Ada dua hadits yang harus kita renungi untuk mengetahui tata cara shalat ini.
Pertama,
“Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam shalat tidak lebih dari sebelas rakaat, baik dalam
bulan Ramadhan maupun lainnya: Beliau salat empat rakaat –jangan tanya tentang
bagus dan lamanya– kemudian empat rakaat lagi –jangan tanya pula tentang bagus
dan lamanya–, kemudian tiga rakaat…” (HR. Muslim)
Kedua,
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata: “Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ‘Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya
fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil.’” (Muttafaqun ‘ilaihi)
Dari dua hadits di atas kita tahu bahwa Shalat Tarawih berarti: shalat dua rakaat lalu
salam, kemudian shalat dua rakaat lalu salam. Nah, sampai sini istirahat dulu; seperti
tilawah, makan(?), tidur(?), fesbukan(?), iya makin ngaco hehe. Setelah itu dillanjutkan
lagi dua rakaat hingga salam, lalu dua rakaat lagi hingga salam. Kemudian istirahat lagi.
Setelah itu baru witir.
Lalu, bagaimana dengan shalat Tarawih yang 23 rakaat (+ witir)?
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz (beliau Mufti Kerajan Saudi Arabia pada zamannya)
menjawab tidak mengapa shalat 11 rakaat maupun 23 rakaat, karena Rasulullah tidak
pernah secara tegas membatasi shalat sunnah pada jumlah tertentu (yang penting
shalatnya dua rakaat-dua rakaat, sesuai dengan hadits dari Ibnu Umar di atas).
Selain itu, Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa permasalahan bilangan shalat
malam adalah permasalahan yang ada kelonggaran di dalamnya.
Baiknya kita mengikuti imam shalat Tarawih saja. Alasannya dari hadits berikut ini:
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Orang yang shalat tarawih mengikuti
imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. At Tirmidzi,
no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)
dalam lafazh yang lain: “Ditulis baginya pahala shalat di sisa malamnya.” (HR. Ahmad,
no. 20474)
Selain itu, shalat tarawih 23 rakaat pernah dilakukan oleh Umar Radhiallahu’anhu dan
sahabat yang lain (kadang 11 rakaat juga). Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz men-shahih-kan
hadits ini (meskipun di-dhaif-kan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
Menurutnya, ini bukanlah keburukan, bukan pula kebid’ahan. Bahkan shalat tarawih 23
rakaat adalah sunnah Khulafa Ar Rasyidin.
Ketika menjadi khalifah, Umar Radhiyallahu ‘Anhu melihat orang-orang shalat malam di
masjid sendiri-sendiri, dua orang-dua orang, dan tiga orang-tiga orang. Maka, Umar pun
mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab
radhiyallahu’anhu, dimana dia shalat 20 rakaat. Para sahabat sepakat dengan apa yang
dilakukan Umar. (Kifayatu Al-Akhyar fi Halli Ghayati Al-Ikhtishar/Imam Taqiyuddin Abu
Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishni Asy-Syafi’i/Jilid 1/Hlm 88)
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa Ubay bin Ka’ab meringankan shalatnya sehingga
menambah jumlah rakaat (sebagai ganti dari berdiri yang lama). Konon karena kondisi
jama’ah pada saat itu, tidak kuat untuk berdiri terlalu lama, sehingga berdirinya
diperpendek, nampun rakaat shalatnya diperbanyak.
Jadi, kualitas shalat tarawih 11 rakaat dan 23 rakaat harusnya sama-sama baiknya.
Bukan seperti sekarang ini, shalat 23 rakaat tetapi selesainya lebih cepat daripada yang
11 rakaat, saking terburu-burunya.
Kamis, 20 Agustus 2009 10:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam
Sebenarnya dalam permalasalahan jumlah raka'at shalat
tarawih tidak ada masalah sama sekali. Tidak ada masalah dengan 23 raka'at atau 11
raka'at. Semoga kita bisa semakin tercerahkan dengan tulisan berikut.
Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
�ان� م�ا س�ول� ك ه� ر� �ز�يد� - وسلم عليه الله صلى - الل م�ض�ان� ف�ى ي � ر� �ر�ه� ف�ى و�ال �ح�د�ى ع�ل�ى غ�ي ة� إ ر� ع�ش�
�ع�ة? ك ر�
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam
shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11
raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at
lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil
berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu
fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau
akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan
Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan.
Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai
perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan
untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada
hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau
shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian
beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka
bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang
menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20
raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan
Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang
mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan
hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk
kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang
lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295)
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at.
Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam
hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat
lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
�ان� �ة� ك �ى� ص�ال ب �ث� - وسلم عليه الله صلى - الن �ال ة� ث ر� �ع�ة? ع�ش� ك �ع�ن�ى . ر� �ل� ي ي �الل ب
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR.
Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat
malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua
raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah).
Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh
menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan
jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan),
termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at.
Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
�ة� �ل� ص�ال ي �ن�ى الل �ن�ى م�ث �ذ�ا م�ث �ح� خ�ف�ت� ف�إ �ر� الص$ب و�ت� �و�اح�د�ة4 ف�أ ب
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu
shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
�ع�ن�ى ك� ع�ل�ى ف�أ �ف�س� ة� ن �ر� �ث �ك ج�ود� ب الس$
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”
(HR. Muslim no. 489)
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ك� �ن � ف�إ د� ال ج� �س� ه� ت �ل س�ج�د�ة? ل �ال ف�ع�ك� إ ه� ر� �ه�ا الل ج�ة? ب �ك� و�ح�ط د�ر� �ه�ا ع�ن �ة? ب خ�ط�يئ
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah
akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR.
Muslim no. 488)
Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan
11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan
ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari
11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan
Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan
tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak
menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi
shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. ... Barangsiapa yang mengira
bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang
ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi
dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al
Fatawa, 22/272)
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat
untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan
tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at,
namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah
tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam
ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil
yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan
yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar
memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama
menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab
sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir
sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan
diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi
makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”
(Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah
mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim
Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak
21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir
ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di
no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih
sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar bin Al
Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat
tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat,
sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai
hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnyashahih.
Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at
shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah
yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani
dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah
pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur
Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini
adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan
qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat
tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga
pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang
menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di
timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia
dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri
banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang
menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah,
2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah
pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh
Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir.
Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak
40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan
shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh
‘Abdullah. (LihatKasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan
Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih
utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau
jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus
melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at,
sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan
Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang,
maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti
inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at
adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang
empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau
lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama
juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan
memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak
boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al
Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak
dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara
kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10
raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23
raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga
telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat
bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan
memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama
imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits
ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23
raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan
23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas
ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
�ف�ض�ل� �ة� أ �وت� ط�ول� الص ال �ق�ن ال
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
�ى� ع�ن� ب ه�- وسلم عليه الله صلى -الن ن� �ه�ى أ �ن� ن �ى� أ �ص�ل ج�ل� ي ا الر �ص�ر? ت م�خ�
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul
Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan
ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru),
tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul
Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan,
bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23
raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu
kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan
thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
DZIKIR DENGAN SUARA KERAS MENURUT IBNU 'ABBAS
Majelis Tarjih, PP Muhammadiyah (2007) DZIKIR DENGAN SUARA KERAS MENURUT
IBNU 'ABBAS. DZIKIR DENGAN SUARA KERAS MENURUT IBNU 'ABBAS (387).
Abstract
Pada dua ayat tersebut, yaitu ayat 55 dan 205 surat al-A’raf, Allah memerintahkan
kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berzikir dengan merendahkan diri dan tidak
mengeraskan suara. Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa, menegaskan
agar merendahkan suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah SWT tidak tuli dan
tidak jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Jelaslah bahwa apa yang
diriwayatkan Ibnu Abbas menurut yang saudara sampaikan itu bertentangan dengan al-
Qur’an dan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim. Maka riwayat tersebut tidak
dapat diamalkan. Sebaiknya ikuti saja apa yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an.
Berdzikir dengan Pengeras Suara Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita
laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang
kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi
antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih
ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan
kepasrahan total kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati
yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu
diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri.
Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat,
sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri
atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan
dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka
cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat
medatangkan ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara
pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara
pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud
mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya
diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar
dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir,
sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan
suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-
masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan
kondisi.
Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut
ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras)
apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan
seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya
berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah
SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."
Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik
meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan
sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang
seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
د� ع� و�ق� م� اد�ي�ث� ب�ي�ن� الن و�و�ي ج� ار�د�ة� األ�ح� ب�اب� ف�ي� الو� ت�ح� ر� اس� ه� ار�د�ة� ب�الذ'ك�ر� الج� و�الو�
ب�اب� ف�ي� ت�ح� ار� اس� ر� اء� ب�أ�ن ب�ه� اإل�س� ف� ل0 اإل�خ� ي�ث0 أ�ف�ض� اف� ح� يا�ء� خ� ت�أ�ذ ى الر' و�لو�ن� أ� الم0ص�
و�ن� الن ائ�م0 و�ر0. أ� ه� ل0 و�الج� �ن ذ�ال�ك� غ�ي�ر� ف�ي� أ�ف�ض� ل� أل� ي�ه� الع�م� ك�ث�ر0 ف�
�ن � أ� ائ�د�ت�ه0 و�أل� ت�ت�ع�د ى ف�
ع�ي�ن� إ�ل�ى ام� �ن ه0 الس ل�ب� ي0و�ق�ظ0 و�أل� ع0 الذ اك�ر� ق� م� ي�ج� ه0 و� م ك�ر� إ�ل�ى ه� ف0 الف� ر' ي0ص� ع�ه0 و� م� س�
�ل�ي�ه� د0 إ ي0ط�ر' م� و� الن و� "
“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang
mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan
memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama
sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang
tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat
seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar,
dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir,
mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah
semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan
tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan,
membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu
hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam
beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.
Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir
dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang
tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari
mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan
masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.
Percakapan Imam Ghazali dengan Muridnya
Posted by: Dadan Gumbira Pramudia on: Mei 7, 2008
In: Hikmah | Religi | Tokoh
Comment!
Pasti sudah banyak yang mendengar tentang nasehat Imam Ghazali ini kepada para
muridnya. Saya kutip di sini percakapannya untuk merefresh kembali, dan mengambil
hikmahnya:
Imam Ghazali = “Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ?”
Murid 1 = “Orang tua“
Murid 2 = “Guru“
Murid 3 = “Teman“
Murid 4 = “Kaum kerabat“
Imam Ghazali = “Semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita
ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati” ( Surah
Ali-Imran :185).
Imam Ghazali = “Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ?”
Murid 1 = “Negeri Cina“
Murid 2 = “Bulan“
Murid 3 = “Matahari“
Murid 4 = “Bintang-bintang“
Iman Ghazali = “Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalahMASA LALU.
Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke
masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang
akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama“.
Iman Ghazali = “Apa yang paling besar di dunia ini ?“
Murid 1 = “Gunung“
Murid 2 = “Matahari“
Murid 3 = “Bumi“
Imam Ghazali = “Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalahHAWA
NAFSU (Surah Al A’raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai
nafsu kita membawa ke neraka.”
Imam Ghazali= “Apa yang paling berat didunia?“
Murid 1 = “Baja“
Murid 2 = “Besi“
Murid 3 = “Gajah“
Imam Ghazali = “Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG
AMANAH (Surah Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat
semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin di
dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan
Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang
amanah.”
Imam Ghazali = “Apa yang paling ringan di dunia ini ?”
Murid 1 = “Kapas“
Murid 2 = “Angin“
Murid 3 = “Debu“
Murid 4 = “Daun-daun“
Imam Ghazali = “Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia
ini adalah MENINGGALKAN SOLAT. Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita
tinggalkan solat “
Imam Ghazali = “Apa yang paling tajam sekali di dunia ini?”
Murid- Murid dengan serentak menjawab = “Pedang “
Imam Ghazali = “Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalahLIDAH
MANUSIA. Kerana melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai
perasaan saudaranya sendiri “
Hikmah:
Perbanyak ibadah sesungguhnya kematian adalah dekat.
Pergunakan waktu sebaik mungkin karena kita tidak dapat mengulang masa lalu.
Berhati-hati dengan hawa nafsu, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.
Tunaikan selalu amanah. Ingat bahwa manusia dan jin diciptakan adalah untuk
beribadah kepada Allah semata.
Dalam kesibukan apapun, jangan tinggalkan shalat.
Berhati-hati dengan ucapan kita, karena melalui lidah kita mudah untuk
menyinggung/ melukai hati saudara kita.
Kaitkata: al a'raf, al azab, al imran, Hikmah, imam, imam ghazali, murid,muslim, sejarah
islam, tokoh islam
Ketidakmampuan Dunia Memiliki Imam Nawawi
Wednesday, 23/03/2011 10:02 WIB | Versi Cetak
Seorang raja Damaskus di tahun 676 Hijriyah pernah mengalami kesulitan menghadapi
ketegaran seorang ulama. Bayangkan, seluruh ahli fikih di negerinya sudah sepakat
dengan gagasannya memobilisasi dana rakyat untuk jihad melawan kerajaan Tartar di
Syiria. Tapi, seorang ulama itu tidak. Ia menolak dengan tegas.
Sang raja yang bernama Zhahir Baibras itu pun menanyakan siapa ulama tersebut. Dan
tahulah ia kalau ulama yang agak beda itu bernama Yahya bin Syaraf, dengan panggilan
akrab Abu Zakaria.
Zhahir ingin tahu lebih banyak siapa Abu Zakaria itu. Seberapa besarkah pengaruh
ketidaksetujuannya jika kebijakan mobilisasi dana itu dilakukan? Seorang pejabat istana
menjelaskan kalau Abu Zakaria sangat dihormati dan disegani para ulama di Damaskus.
Zhahir pun memanggil Abu Zakaria ke istananya. Ia ingin mendengar langsung argumen
ketidaksetujuan sang ulama. “Kenapa Anda tidak setuju kebijakan saya sementara para
ulama di negeri ini sudah menyetujui?” tanya Zhahir ke ulama yang masih tergolong
muda jika dibanding dengan pengaruhnya yang begitu besar terhadap ulama lain.
Abu Zakaria mengatakan, “Aku akan setuju kebijakan Anda untuk menarik dana dari
rakyat jika Anda telah melakukan satu hal.”
Zhahir pun penasaran. “Apa itu?” ucap Zhahir.
”Bukankah Anda mempunyai seratus budak pria dan dua ratus budak wanita. Dan setiap
budak Anda itu menyimpan emas anda melalui perhiasan yang mereka pakai. Kalau
semua perhiasan yang mereka pakai itu sudah anda tarik untuk biaya perang, maka baru
aku akan setuju Anda menarik dana dari rakyat!” jelas Abu Zakaria tanpa rasa takut dan
sungkan.
Mendengar itu sang raja langsung melotot. Ia marah besar dengan pernyataan sang
ulama muda itu. Ia pun membentak sang ulama, ”Berani benar kau mengatakan itu.
Silakan pergi dari negeriku!”
Sang ulama pun pergi meninggalkan negeri kelahirannya menuju sebuah kota yang
bernama Nawa. Sebulan kemudian, di usianya yang baru 45 tahun, ulama yang dikenal
sangat zuhud ini pun meninggalkan dunia untuk selamanya. Beliaulah yang kemudian
dikenal dengan sebutan Imam Nawawi.
Tak ada kesan yang bisa ditangkap dari seorang Imam Nawawi dari para murid dan
ulama di zamannya, kecuali sebuah ketakjuban. Imam Nawawi dikenal begitu tekun
dalam mencari ilmu, begitu kuat dalam menunaikan ibadah, teramat dekat dengan
Alquran, dan selalu menjauh dengan syahwat duniawiyah.
Kesibukan ilmiah dan ibadahnya telah membuatnya teramat asing dengan perhiasan
dunia. Ulama sezamannya mengakui bahwa Imam Nawawi tidak memiliki dunia. Dan,
dunia pun tidak mampu memilikinya.
Ketika menilai sosok Imam Nawawi, para ulama di zamannya selalu teringatkan dengan
sebuah hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu
Majah dari Ibnu Mas’ud.
”Antara aku dan dunia adalah seperti seorang pengendara yang beristirahat di bawah
sebuah pohon yang teduh, kemudian pergi meninggalkannya.”