135873015-Mrsa

48
Tinjauan Pustaka Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Oleh: Imam Kris Biantoro 03/1967/IV-SP/0286 Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta 2008 Disetujui tanggal: .............................................................. Pembimbing: dr. Soebagjo Loehoeri, SpPD-KPTI Dipresentasikan tanggal: ................................................... Pembimbing: dr. Soebagjo Loehoeri, SpPD-KPTI

description

135873015-Mrsa

Transcript of 135873015-Mrsa

  • Tinjauan Pustaka

    Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

    Oleh: Imam Kris Biantoro 03/1967/IV-SP/0286

    Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

    FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta

    2008

    Disetujui tanggal: ..............................................................

    Pembimbing: dr. Soebagjo Loehoeri, SpPD-KPTI

    Dipresentasikan tanggal: ...................................................

    Pembimbing: dr. Soebagjo Loehoeri, SpPD-KPTI

  • ii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ................................ i

    DAFTAR ISI ii

    DAFTAR GAMBAR iii

    DAFTAR TABEL iv

    BAB I PENDAHULUAN 1

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

    A. Infeksi Staphylococcus aureus 3

    1. Bakteri Staphylococcus aureus .................................................... 3

    2. Epidemiologi dan Patogenesis Penyakit Staphylococcus 5

    B. Mekanisme Resistensi Antibiotik 7

    C. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus 9

    1. Definisi dan Epidemiologi MRSA 10

    2. Deteksi Staphylococcus aureus dan MRSA 14

    3. Diagnosis MRSA 19

    4. Manajemen pasien dengan infeksi MRSA 21

    BAB III RINGKASAN 41

    DAFTAR PUSTAKA 43

  • iii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Struktur S. Aureus 3

    Gambar 2. Patogenesis invasi S.aureus pada jaringan .... 6

    Gambar 3. Transfer gen resistensi secara horisontal 8

    Gambar 4. Proses PVL menimbulkan nekrosis jaringan 14

  • iv

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Kronologi infeksi S. aureus dan resistensinya 10

    Tabel 2. Karakteristik antara HA-MRSA dan CA-MRSA 13

    Tabel 3. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya MRSA 20

    Tabel 4. Area risiko klinis transmisi MRSA 26

    Tabel 5. Sistem klasifikasi Eron untuk pasien SSTI 30

    Tabel 6. Panduan terapi pada keadaan yang berhubungan dengan infeksi MRSA 33

    Tabel 7. Dosis antibiotik yang diberikan pada infeksi serius MRSA 34

    Tabel 8. Antibiotik yang digunakan pada infeksi MRSA 35

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Dalam kurun waktu 50 tahun ini telah terjadi peningkatan kejadian infeksi yang

    disebabkan oleh mikoorganisme yang resisten terhadap berbagai agen antimikroba atau

    antibiotik. Suatu mikroorganisme dianggap multi resisten jika banyak diantara antibiotik yang

    biasa digunakan tidak dapat membunuh mikroorganisme tersebut. Mikroorganisme dengan

    resistensi multi-obat akan banyak menyebabkan banyak masalah dalam lingkungan perawatan

    kesehatan dan bahkan dalam masyarakat (Alangaden, 1997; EPIC, 2006).

    Beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya peningkatan ini, diantaranya adalah salah

    pemilihan dan penggunaan dari agen antibiotik sehingga muncul adanya mikroorganisme yang

    resisten. Hal ini akan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta peningkatan

    biaya perawatan (Alangaden, 1997).

    Ada beberapa macam keadaan dimana mikroorganisme resisten terhadap antibiotik,

    antara lain methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-resistant

    Enterococci (VRE), dan methicillin-resistant Acinobacter baumanii (MRAB). Diantara infeksi

    resistensi diatas, yang paling banyak mendapat perhatian adalah MRSA (EPIC, 2006).

    Diperkenalkannya benzyl-penicillin (penicillin G) pada tahun 1940-an untuk sementara

    waktu memecahkan masalah infeksi Staphylococcus aureus (S. aureus). Namun pada 1945 ada

    laporan tentang adanya jenis S. aureus yang resisten terhadap penicillin. Menjelang 1948 jenis

    yang resisten meningkat sehingga sangat menurunkan nilai klinis penicillin G. Resistensi S.

    aureus berkembang lebih lanjut dan menjelang akhir 1950-an mikroorganisme ini resisten

  • 2

    terhadap hampir semua antibiotik sistemik, termasuk erythromycin, streptomycin dan tetracyclin

    (EPIC, 2006).

    Methicillin diperkenalkan pertama kali pada tahun 1959 untuk mengobati infeksi yang

    disebabkan oleh jenis-jenis S. aureus yang resisten penicillin. Hanya dua tahun kemudian ada

    laporan dari para peneliti yang menyatakan bahwa S. aureus telah menjadi resistan terhadap

    methicillin (EPIC, 2006).

    MRSA merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit dan telah meluas dengan cepat

    di banyak bagian dunia. Makin lama makin sulit untuk melawan MRSA dan cara terbaik untuk

    mencegah penularannya masih banyak diperdebatkan. Di samping menjadi masalah di rumah-

    rumah sakit di dunia, MRSA juga makin banyak ditemukan kembali dari pasien di fasilitas

    perawatan jangka panjang seperti wisma para usia lanjut, dan bahkan dari orang-orang di

    masyarakat atau di tempat-tempat olahraga (EPIC, 2006).

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Infeksi Staphylococcus aureus

    1. Bakteri Staphylococcus aureus

    Staphylococcus aureus merupakan anggota dari famili Staphylococcaceae. Pada

    pemeriksaan mikroskopis, organisme ini tampak sebagai kelompok kokus gram positif. Bentuk

    sel S. aureus bulat dengan diameter 1 m, berkelompok seperti anggur (Romawi staphyle)

    yang memungkinkan dirinya dapat terbagi dalam beberapa bentuk (Brown et al., 2005). Gambar

    1 menunjukkan struktur dari S. aureus.

    Gambar 1. Struktur S. aureus.

    Panel A menunjukkan permukaan dan sekretori protein. Sintesis dari berbagai protein ini tergantung pada fase pertumbuhan, seperti yang ditunjukkan oleh grafik, dan diatur oleh gen regulator seperti agr. Panel B dan C menunjukkan potongan melintang dan amplop sel. (Sumber Lowy, 1998).

  • 4

    Staphylococcus aureus dapat dibedakan dengan spesies staphylococcus lain dari

    pigmentasi keemasan koloninya (Latin aureum), dan hasil positif tes koagulase, fermentasi

    manitol, dan deoksiribonuklease (Lowy, 1998; Anonim, 2005; Brown et al., 2005). Mereka dapat

    hidup dalam lingkungan baik aerob maupun anaerob, dan sebagian besar strain fermentasi

    manitol merupakan anaerobik (Brown et al., 2005).

    Genom staphylococcus terdiri dari kromosom melingkar ( 2800 bp), dengan prophages,

    plasmid, dan transposons (Holden et al., 2004). Gen-gen yang akan menentukan virulensi dan

    resistensi terhadap antibiotik ditemukan pada kromosom ini. Lima puluh persen berat dinding sel

    staphylococcus terdiri dari peptidoglikan. Peptidoglikan ini berisi subunit-subunit polisakarida

    dari N-acetylglucosamine dan N-acetylmuramic acid. Rantai peptidoglikan ini akan terikat pada

    N-acetylmuramic acid melalui jembatan pentaglisin spesifik untuk S. aureus. Peptidoglikan

    bekerja seperti endotoksin, yaitu merangsang pelepasan sitokin oleh makrofag, aktivasi

    komplemen, dan agregasi platelet. Perbedaan struktur peptidoglikan dari strain staphylococcus

    memberikan kontribusi pada variasi kemampuannya untuk menimbulkan disseminated

    intravascular coagulation (DIC) (Lowy, 1998).

    Sebagian besar staphylococcus menghasilkan mikrokapsul. Sampai sekarang sudah ada

    11 serotipe polisakarida mikrokapsular yang sudah dapat diidentifikasi, dengan tipe 5 dan 8

    merupakan 75% dari infeksi pada manusia. Sebagian besar isolat MRSA adalah tipe 5 (Lowy,

    1998).

    Beberapa permukaan protein akan berikatan dengan molekul matriks ekstraseluler dan

    dikenal sebagai microbial-surface components recognizing adhesive matrix molecules

    (MSCRAMM). Protein-protein ini mempengaruhi kemampuan staphylococcus dalam kolonisasi

    jaringan hospesnya (Lowy, 1998).

  • 5

    Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin yang terkelompok sesuai dengan

    mekanisme kerjanya, antara lain sitotoksin, superantigen toksin pirogenik, enterotoksin, dan

    toksin eksfoliatif. Sitotoksin merupakan toksin 33-kd protein-alpha, menyebabkan perubahan

    formasi inti dan merangsang proinflamasi pada sel mamalia. Perubahan-perubahan ini akan

    menimbulkan kerusakan sel dan berperan dalam manifestasi sindroma sepsis. Superantigen

    toksin pirogenik secara struktur mirip dengan sitotoksin, terikat dengan protein major

    histocompatibility complex (MHC) kelas II. Toksin ini menyebabkan proliferasi sel T dan

    pelepasan sitokin. Molekul enterotoksin dapat menimbulkan penyakit akibat dari protein-

    proteinnya, yaitu toxic shock syndrome dan keracunan makanan. Gen untuk toxic shock

    syndrome ditemukan pada 20% isolat S. aureus. Toksin eksfoliatif, termasuk juga toksin

    epidermolitik A dan B, menyebabkan eritema dan separasi kulit seperti yang terlihat pada

    scalded skin syndrome (Lowy, 1998).

    Staphylococcus menghasilkan berbagai macam enzim, seperti protease, lipase, dan

    hialuronidase. Enzim-enzim ini membantu penyebaran infeksi pada berbagai jaringan, walaupun

    peran dalam patogenesis penyakit belum dapat diterangkan dengan jelas (Lowy, 1998).

    2. Epidemiologi dan Patogenesis Penyakit Staphylococcus

    Manusia merupakan koloni alamiah dari S. aureus. Tigapuluh sampai dengan limapuluh

    persen manusia dewasa sehat terkolonisasi bakteri ini, dengan 1020% terkolonisasi secara

    persisten. Seseorang yang terkolonisasi oleh S. aureus akan terjadi peningkatan risiko untuk

    mendapat infeksi tumpangan lainnya. Rerata kolonisasi staphylococcus tinggi pada pasien-pasien

    dengan diabetes melitus (DM) tipe 1, pengguna obat-obat intravena, menjalani hemodialisis

    rutin, menjalani pembedahan, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), sirosis hati dan

  • 6

    defek pada kualitas atau kuantitas leukositnya (Noble et al., 1967; Casewell et al., 1986; Cheung

    et al., 1994; Samathkumar, 2007).

    Jumlah infeksi staphylococcus baik yang community-acquired dan hospital-acquired

    telah meningkat selama 20 tahun ini. Kejadian ini sejalan dengan makin banyaknya penggunaan

    alat-alat intravaskuler (Banerjee, et al., 1991; Steinberg, et al., 1996). Selama periode tahun 1990

    sampai dengan 1992 S. aureus merupakan penyebab tersering dari kasus-kasus pneumonia

    nosokomial dan infeksi luka operasi, serta penyebab kedua tersering pada kejadian septikemia

    nosokomial (Emori et al., 1993).

    Gambar 2. Patogenesis invasi S.aureus pada jaringan (Sumber: Lowy, 1998) .

    Gambar 2 menunjukkan patogenesis invasi S. aureus pada jaringan. Staphylococcus yang

    bersirkulasi akan menempel pada endovaskuler yang rusak dimana sebelumnya telah terbentuk

  • 7

    platelet-fibrin thrombi (PFT). Ikatan ini melalui mekanisme MSCRAMM. Dilain pihak,

    staphylococcus dapat juga menempel pada sel endotelial secara langsung melalui interaksi

    adhesin-receptor atau melalui ligan-ligan yang termasuk di dalamnya adalah fibrinogen (Alston,

    et al., 1997).

    Setelah terjadi fagositosis oleh sel endotelial, staphylococcus akan menguraikan enzim

    proteolitik yang akan membantu penyebaran ke jaringan dan melepasnya ke aliran darah. Tissue

    factor yang terekspresi oleh sel endotelial terinfeksi akan merangsang deposisi fibrin dan formasi

    dari vegetasi. Sel endotelial mengekspresikan reseptor Fc dan molekul-molekul adhesi [vascular-

    cell adhesion molecules (VCAM) dan intercellular adhesion molecules (ICAM)] dan

    melepaskan interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan IL-8. Sebagai hasilnya, leukosit akan melekat pada

    sel endotelial kemudian menuju tempat infeksi dengan gerak diapedesisnya. Perubahan pada

    formasi sel endotelial akan menimbulkan peningkatan permeabilitas vaskuler dengan transudasi

    dari plasma protein. Makrofag dan monosit melepaskan IL-1, IL-6, IL-8, dan tumor necrosis

    factor- (TNF-) setelah terpapar oleh staphylococcus. Aktivasi makrofag terjadi setelah

    dilepaskannya interferon- (INF-) oleh sel T. Sitokin dilepaskan ke dalam aliran darah dari

    monosit atau makrofag sama seperti pada sel endotelial, menimbulkan manifestasi dari sindroma

    sepsis dan vaskulitis yang bergubungan dengan systemic stapylococcal disease (Drake & Pang,

    1988; Lowy, 1998).

    B. Mekanisme Resistensi Antibiotik

    Resistensi antibiotik adalah kemampuan mikroorganisme untuk bertahan dari pengaruh

    suatu antibiotik. Resistensi antibiotik merupakan tipe spesifik dari resistensi obat. Keadaan ini

    terjadi secara alamiah melalui seleksi alam lewat mutasi acak, namun dapat juga melalui

  • 8

    pemaksaan dengan evolusi stres pada suatu populasi. Ketika sebuah gen berubah, maka bakteri

    dapat mengirimkan informasi genetik secara horisontal ke bakteri lainnya melalui pertukaran

    plasmid. Bakteri yang membawa beberapa gen resistensi disebut multiresistant atau superbug

    (Wikipedia, 2007; Yim, 2007).

    Gambar 3. Transfer gen resistensi secara horisontal (Sumber: Yim, 2007).

    Sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika diawali dari ditemukannya S. aureus yang

    resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an, seperti tampak pada tabel 1. Sejak itu resistensi

    tunggal maupun multipel (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat

    dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar

    tahun 1950-an. Pada pertengahan 1970-an gen-gen resisten ditemukan semakin menyebar di

    berbagai pelayanan kesehatan dan bahkan melibatkan organisme-organisme yang bersifat

    komensal di traktus respiratorius dan genitourinarius penderita yang dirawat di rumah sakit.

    Penyebaran bakteri resisten semakin dramatik di pertengahan 1990-an (Dwiprahasto, 2005).

  • 9

    Resistensi bakteri terhadap antimikroba terjadi melalui banyak mekanisme dan cenderung

    semakin rumit pendeteksiannya. Berbagai mekanisme genetik ikut terlibat, termasuk di antaranya

    mutasi kromosom, ekspresi gen-gen resisten kromosom laten, didapatnya resistensi genetik baru

    melalui pertukaran langsung DNA, bakteriofag, atau plasmid DNA ekstrakromosom, ataupun

    didapatnya DNA melalui mekanisme transformasi (Dwiprahasto, 2005).

    C. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

    Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable beta-

    lactam seperti methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi

    utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok

    penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk pengobatan

    (Duckworth et al., 1998).

    Methicillin merupakan penicillinase-resistant semisynthetic penicillin, pertama kali

    diperkenalkan pada tahun 1959 (Kowalski et al., 2005). Methicillin digunakan untuk mengatasi

    infeksi yang disebabkan oleh S. aureus resisten terhadap penicillin. Namun, di Inggris pada

    tahun 1961 telah dilaporkan adanya isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin (Brown et

    al., 2005). Kemudian infeksi MRSA secara cepat menyebar di seluruh negara-negara Eropa,

    Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan seluruh dunia selama berpuluh-puluh tahun serta

    menjadi infeksi yang multidrug-resistant (Enright et al., 2002; Samathkumar, 2007).

  • 10

    Tabel 1. Kronologi infeksi S. aureus dan resistensinya

    Tahun Kejadian 1940 penicillin diperkenalkan 1942 muncul S. auerus resisten penicillin 1959 methicillin diperkenalkan; sebagian besar strain S. aureus di rumah

    sakit dan masyarakat resisten penicillin 1961 muncul MRSA 1963 muncul wabah MRSA di rumah sakit yang pertama 1968 ditemukan strain MRSA yang pertama di rumah sakit Amerika 1970-an penyebaran klonal MRSA secara global, kejadian MRSA yang

    sangat tinggi di Eropa Utara 1980-an, awal 1990-an penurunan kejadian MRSA yang dramatis dengan adanya program

    search & destroy di Eropa Utara 1996 VRSA dilaporkan di Jepang 1997 kejadian MRSA di rumah sakit Amerika hampir 25%; penggunaan

    vancomycin meningkat; muncul VISA; dilaporkan adanya infeksi CA-MRSA yang serius

    2002 terjadi infeksi VRSA yang pertama di Amerika 2003 kejadian MRSA kembali meningkat; hampir 60% terjadi di ICU;

    wabah CA-MRSA (khususnya klon USA 300) dilaporkan terjadi di banyak tempat dan berimplikasi pada wabah di rumah sakit

    2006 >50% infeksi kulit staphylococcal muncul di bagian gawat darurat yang disebabkan CA-MRSA; HA-MRSA terus meningkat; membedakan antara HA-MRSA dan CA-MRSA secara epidemiologi menjadi semakin sulit

    2007 The Year of MRSA? Sumber: Samathkumar, 2007.

    1. Definisi dan Epidemilologi MRSA

    Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang biasa terdapat pada jaringan lunak,

    aksila, perineum, dan sering ditemukan di jaringan kulit normal pada 20-30% orang sehat

    (Grathwaite & Fielding, 2003; Borlaug et al., 2005).

  • 11

    MRSA adalah S. aureus yang resisten terhadap antibiotik -laktam, termasuk

    penicillinase-resistant penicillins (methicillin, oxacillin, nafcillin) dan cephalosporin (Dellit et

    al., 2004).

    Saat ini diperkirakan sekitar 2-3% populasi umum telah terkolonisasi oleh MRSA.

    Jumlah ini akan meningkat lagi menjadi 5% pada populasi yang berkelompok seperti militer

    dan penjara. Orang yang terkolonisasi akan mudah untuk terjadi infeksi, walaupun sebagian

    besar akan tetap asimtomatik (Navy Environmental Health Center, 2005).

    Antara tahun 1996-1999 dilaporkan bahwa 23 rumah sakit di Kanada terdapat 6% dari

    seluruh isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin, dengan rerata 4,14 kasus MRSA per

    1000 pasien yang dirawat dari 35% pasien dengan infeksi. Sebagian besar isolat diperoleh dari

    MRSA yang berasal dari ruang perawatan akut (72,6%), 7,2% diperoleh dari bangsal perawatan,

    4,6% diperoleh dari komunitas masyarakat, dan sisanya (15,6%) tidak diketahui asalnya (BC

    Center for Disease Control, 2001).

    Di Amerika Serikat, selama 13 tahun (1993-2005) infeksi MRSA telah sangat

    berkembang. Pada tahun 2005 terdapat 368.600 kasus MRSA di rumah sakit seluruh AS.

    Keadaan ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2004

    (Elixhauser & Steiner, 2007).

    Di Inggris sampai dengan tahun 2004 didapatkan data prevalensi bahwa: 1) MRSA

    menjadi masalah yang predominan pada usia lanjut (82% usia > 60 tahun; 2) strain MRSA yang

    ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten terhadap makrolid; 3) sebagian

    besar isolat masih sensitif terhadap tetracyclin, fusidic acid, rifampicin, dan gentamycin; 4) strain

    MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Gemmell et al., 2006).

  • 12

    Selama tahun 2006 di Laboratorium Patologi Klinik RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat)

    Dr. Sardjito Yogyakarta diperoleh 3729 isolat kuman, yaitu 1128 dari spesimen darah, 825 dari

    spesimen urin, 957 dari spesimen sputum, dan 819 spesimen pus. Proporsi beberapa jenis kuman

    Gram (+) ternyata cukup signifikan. Spesies yang menonjol adalah S. epidermidis, S. aureus, dan

    S. viridians (Wijisaksono, 2007).

    Dari seluruh spesimen, diperoleh isolat S. epidermidis sebanyak 679 (18,2%), S. aureus

    171 (4,6%), dan S. viridians 169 (4,5%). Sehingga ketiga kuman ini saja sudah mencapai 1019

    isolat (27,3%). Untuk sediaan darah, S. epidermidis merupakan isolat yang terbanyak (34,5%).

    Dari sediaan sputum, S. viridians juga merupakan isolat yang terbanyak (17,7%), sedangkan S.

    aureus masuk dalam 5 besar isolat yang ditemukan di darah dan pus (Wijisaksono, 2007).

    Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA) oleh Centers for Disease Control and

    Prevention (CDC) didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah

    dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat

    bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang,

    atau individu yang menjalani dialisis (Anderson et al., 2007).

    HA-MRSA secara tipikal dihubungkan dengan seseorang yang memiliki faktor risiko

    perawatan di rumah sakit atau panti, dialisis, mendapat terapi antibiotik, atau terpapar oleh alat

    atau prosedur yang invasif. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan

    penyakit nosokomial yang penting (Borloug et al., 2005).

    Faktor risiko independen untuk memprediksi infeksi HA-MRSA adalah pada pasien

    dengan luka operasi, ulkus dekubitus, dan kateter intravena yang sebelumnya telah terkolonisasi.

    Pasien yang dirawat di ICU (intesive care unit) memiliki risiko lebih tinggi untuk timbulnya

    MRSA dibanding dengan pasien yang dirawat di ruangan biasa (Duckworth et al., 1998).

  • 13

    Pada awal 1990-an telah muncul MRSA yang didapatkan pada individu yang sebelumnya

    tidak memiliki faktor risiko yang berhubungan dengan MRSA. Keadaan ini disebut sebagai

    community-associated MRSA (CA-MRSA) (Borloug et al., 2005; Anderson et al., 2007).

    Perbedaan antara HA MRSA dan CA MRSA tampak pada tabel 2.

    Secara genetik dan fenotipe strain HA-MRSA berbeda dengan strain CA-MRSA. CA-

    MRSA memiliki komposisi yang lebih kecil, mengalami kejadian virulensi yang lebih tinggi, dan

    jarang terjadi multidrug resistant pada antimikroba non -laktam (misalnya terhadap tetracyclin,

    trimetoprim-sulfametoksazol [TMP-SMX], rifampin, clindamycin, dan fluoroquinolone)

    (Anderson et al., 2007; Vavra & Daum, 2007).

    Tabel 2. Karakteristik antara HA-MRSA dan CA-MRSA At-risk groups or conditions SCC type Strain type Antimicrobial resistance PVL toxin Associated clinical syndromes

    HA-MRSA Residents in long-term care facility, patients with diabetes mellitus, patients undergoing hemodialysis/peritoneal dialysis, prolonged hospitalization, intensive care unit admission, indwelling intravascular catheters Types I, II, & III USA 100 & 200 Multidrug resistance, common Rare (5%) Nosocomial pneumonia, nosocomial- or catheter-related urinary tract infections, intravascular catheter or bloodstream infections, surgical-site infections

    CA-MRSA Children, competitive athletes, prisoners, soldiers, selected ethnic populations (Native Americans/ Alaska Natives, Pacific Islanders), intravenous drug users, men who have sex with men Type IV & V USA 300 & 400 -Lactam resistance alone, common Frequent (almost 100 %) Skin and soft tissue infections (furuncles, skin abscesses), postinfluenza necrotizing pneumonia

    Sumber: Borloug et al., 2005; Kowalski et al., 2005 dengan modifikasi

    Strain CA-MRSA secara tipikal mengandung eksotoksin yang dinamakan toksin Panton-

    Valentine Leukodin (PVL). PVL sering terdapat pada pasien yang imunokompeten tanpa adanya

    faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Strain CA-MRSA yang mengandung PVL ini mempunyai

    kemampuan untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan lekosit yang parah. PVL masuk melalui

    lubang pada membran sel kemudian menghasilkan lesi pada permukaan kulit dan di dalam

    mukosa saluran pernapasan (Anderson et al., 2007).

  • 14

    Dua komponen dari PVL, yaitu LukS-PV dan LukF-PV disekresi dari S. aureus sebelum

    mereka berkumpul pada cekungan berbentuk heptamer dari membran polymorphonuclear

    leukocytes (PMN). Peningkatan konsentrasi PVL menyebabkan lisis dari PMN, sedangkan

    rendahnya konsentrasi PVL akan mempengaruhi alur apoptosis PMN dengan langsung berikatan

    pada membran mitokondrial. Nekrosis jaringan dapat merupakan hasil pelepasan reactive oxygen

    spesies (ROS) dari PMN yang lisis. Kemungkinan lainnya adalah pelepasan granul dari PMN

    yang lisis akan menimbulkan respon inflamasi yang pada akhirnya akan menimbulkan nekrosis

    jaringan. PVL tidak dapat menimbulkan nekrotik jaringan secara langsung pada sel epitel (Vavra

    & Daum, 2007).

    Gambar 4. Proses PVL menimbulkan nekrosis jaringan (Sumber: Vavra & Daum, 2007).

  • 15

    2. Deteksi Staphylococcus aureus dan MRSA

    a. Identifikasi Staphylococcus aureus

    Berbagai macam uji dapat digunakan untuk mengidentifikasi S. aureus, termasuk

    produksi dari protein A, cell-bound clumping factor, koagulasi ekstraselular, heat-stable

    nuclease, dan metode molekular. Perbandingan daya guna dari masing-masing uji ini sulit untuk

    dinilai karena adanya perbedaan dari strain S. aureus dan spesies dari coagulase-negative

    staphylococci (CoNS) (Brown et al., 2005).

    Uji koagulasi tabung (tube coagulase test) Uji ini merupakan uji standar rutin untuk mengidentifikasi S. aureus, berasal dari plasma

    kelinci. Penilaiannya dilakukan setelah dilakukan inkubasi selama 4 dan 24 jam. Hasil negatif

    setelah inkubasi selama 4 jam harus harus dinilai lagi setelah 24 jam karena beberapa porsi kecil

    dari strain S. aureus membutuhkan lebih dari 4 jam untuk membentuk bekuan. Beberapa spesies

    lain dari stafilokokus seperti S. schleiferi dan S. intermedius dapat juga memberi hasil positif

    pada uji ini, namun spesies ini bukan merupakan isolat yang umum pada infeksi manusia (Brown

    et al., 2005).

    Uji koagulasi mikroskop (slide coagulase test) Uji ini sangat cepat namun hampir 15% menunjukkan hasil negatif dari strain S. aureus.

    Sehingga hasil negatif dari uji ini harus dikonfirmasi dengan uji koagulasi tabung. Beberapa

    spesies stafilokokus seperti S. schleiferi dan S. lugdunensis memberikan hasil positif pada uji ini.

    Uji ini tidak cocok dipakai untuk isolat yang sulit diemulsikan dan faktor pengumpul (clumping

    factor) dapat kabur oleh adanya kapsul yang banyak (Brown et al., 2005).

  • 16

    Uji aglutinasi lateks (latex agglutination test) Versi awal dari uji ini hanya mendeteksi adanya protein A dan/atau faktor pengumpul,

    sehingga tidak dapat digunakan pada beberapa MRSA yang memproduksi sedikit atau tidak ada

    protein A dan faktor pengumpulnya. Versi terakhir dari uji ini disamping mendeteksi adanya

    protein A dan/atau faktor pengumpul juga mendeteksi berbagai surface antigen, sehingga

    meningkatkan sensitifitas uji ini namun menurunkan spesifitasnya karena adanya reaksi silang

    dengan CoNS. Karena melibatkan faktor pengumpul maka uji akan memberikan positif palsu

    dengan stafilokokus yang lain, seperti S. lugdunensis dan S. schleiferi. Uji ini juga termasuk uji

    standar rutin untuk mendeteksi S. aureus (Brown et al., 2005).

    Uji DNase dan nuklease tahan panas (DNase and heat-stable nuclease test) Piringan deoksiribonuklease (DNase) dapat digunakan untuk menyaring isolat, namun

    karena banyak DNase dihasilkan juga oleh CoNS maka hasil yang positif harus dikonfirmasi

    dengan uji tambahan lainnya. Uji nuklase tahan panas dapat digunakan untuk mengidentifikasi S.

    aureus, walaupun beberapa spesies dengan negatif koagulasi dapat juga positif. Metode

    metakromatik difusi agar (metachromatic agar diffusion method) untuk nuklease tahan panas

    telah digunakan secara khusus untuk uji langsung pada kultur darah. Uji aglutinasi lateks

    berdasar pada nuklease tahan panas juga telah mulai ada (Brown et al., 2005).

    Uji biokimia Salah satu alat uji biokimia komersial dan otomatis adalah uji Staphychrom II yang

    berdasar pada uji kromagenik pada inhibitor protrombin dan protease. Sensitifitas dan spesifitas

    uji ini adalah 98,6% dan 100%, namun kelemahan alat uji ini adalah harganya yang masih mahal

    (Brown et al., 2005).

  • 17

    Uji molekuler (molecular test) Sebagian besar metode molekuler untuk mendeteksi S. aureus berdasarkan pada

    polymerase chain reaction (PCR). Alat uji ini didesain untuk memperjelas target spesies secara

    spesifik, termasuk diantaranya adalah nuklease (nuc), koagulase (coa), protein A (spa), femA,

    femB, Sa442, 16S rRNA, dan gen-gen surface-assosiated fibrinogen-binding protein (Brown et

    al., 2005).

    b. Identifikasi MRSA

    Metode dilusi (dilution methods) Dilusi agar (agar dilution).

    Uji ini menggunakan media Mueller-Hinton (MH) atau agar Columbia dengan 2% NaCl

    dan inokulum 104 cfu/mL akan terlihat jelas perbedaan resistensi diantara strain-strain S. aureus

    (Brown et al., 2005).

    Menurut British Society for Antimicrobial Chemotherapy (BSAC), kedua media ini dapat

    digunakan kemudian dilakukan inkubasi pada 30C selama 24 jam. Pada metode BSAC ini,

    minimum inhibitory concentration (MIC) methicillin 4 mg/L mengindikasikan bahwa strain S.

    aureus ini masih rentan/sensitif terhadap methicillin, sedangkan MIC > 4 menunjukkan resisten

    (Brown et al., 2005).

    Sedangkan menurut National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS),

    yang sekarang dikenal sebagai Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI), metode ini hanya

    menggunakan MH sebagai medianya, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 33-35C.

    Hasil MIC methicillin 2 mg/L mengindikasikan bahwa strain S. aureus ini masih rentan/sensitif

    terhadap methicillin, sedangkan MIC > 2 menunjukkan resisten (Brown et al., 2005).

  • 18

    Mikrodilusi kaldu (broth microdilution)

    Metode NCCLS ini menggunakan kaldu MH dengan 2% NaCl sebagai media, sebuah

    inoculums 5 x 105 cfu/mL dan diinkubasi pada suhu 33-35C selama 24 jam. Metode ini banyak

    digunakan secara luas (Brown et al., 2005).

    Metode penapisan agar (Agar screening method) Metode ini direkomendasikan oleh NCCLS untuk penapisan isolasi koloni pada media

    rutin dan untuk konfirmasi akan kecurigaan adanya resistensi pada uji difusi piringan (disc

    diffusion tests). Pada metode ini densitas S. aureus dipertahankan pada 0,5 standar McFarland,

    menggunakan media MH yang mengandung 4% NaCl dan 6 mg/L oxacillin. Kemudian

    diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35C atau kurang. Adanya pertumbuhan mengindikasikan

    resistensi (Brown et al., 2005).

    Piringan difusi (disc diffusion) Sekarang ini uji piringan difusi sefoksitin lebih banyak direkomendasikan dibandingkan

    dengan oksasilin. Hal ini dikarenakan pada sefoksitin tidak diperlukan media dan temperatur

    inkubasi khusus, serta tidak terpengaruh adanya hiper-produksi dari penisilinase sehingga tidak

    terjadi positif palsu MRSA (Brown et al., 2005).

    Aglutinasi lateks (latex agglutination) Metode ini mengekstraksi PBP2a (penicillin binding protein) dari suspensi koloni dan

    deteksinya oleh aglutinasi dengan partikel lateks yang dilapisi oleh antibodi terhadap PBP2a.

    Isolat yang memproduksi sedikit PBP2a akan menimbulkan reaksi aglutinasi yang lemah atau

    lambat. Uji ini sangat sensitif dan spesifik terhadap S. aureus, namun tidak cocok pada

    pertumbuhan koloni yang mengandung NaCl. Disamping itu pula metode sangat cepat (hanya

    10 menit untuk 1 uji) dan tidak memerlukan alat khusus (Brown et al., 2005).

  • 19

    Metode molekuler (molecular methods) Identifikasi MRSA langsung dari kultur darah

    Sebagian besar laboratorium mikrobiologi klinik, identifikasi kultur darah yang positif

    mengandung kokus gram positif (Gram-positive cocci in cluster [GPCC]) menggunakan sistem

    otomatis di bawah mikroskop, dilanjutkan dengan kultur secara konvensional untuk mendeteksi

    adanya MRSA. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai penggunaan metode

    molekuler secara langsung mendeteksi MRSA dengan mikroskop pada GPCC yang positif.

    Metode ini merupakan diagnosis cepat untuk MRSA dan dapat menentukan terapi yang tepat.

    Beberapa metode ini menggunakan dasar gel dan real-time PCR, penyelidikan DNA, serta

    penyelidikan asam nukleat peptida (peptide nucleic acid). Kelemahan metode ini adalah

    memerlukan alat-alat khusus dan seorang yang sudah ahli. Salah satu alat yang menggunakan

    metode ini adalah EVIGENE kit (Staten Serum Institut, Kopenhagen, Denmark). Alat ini

    berdasarkan pada colorimetric gene probe hybridization assay untuk spesifik stafilokokus 16S

    rRNA, mecA dan nuc gen dalam bentuk strip. Alat ini dapat mengidentifikasi MRSA pada kultur

    darah positif dalam 7 jam, tanpa memerlukan kultur konvensional atau kemungkinan adanya

    kontaminasi silang seperti pada PCR (Brown et al., 2005).

    Identifikasi MRSA dari aspirasi endotrakhea dan sampel klinik lainnya

    Alat yang dapat mendeteksi kolonisasi MRSA di saluran nafas bagian atas dan bawah

    secara cepat dan spesifik sangat penting digunakan pada pasien-pasien sakit parah dengan

    ventilator mekanik di ICU. Prosedur alat ini berdasar pada PCR multipleks dengan target di gen

    femA dan mecA dari aspirasi endotrakhea. Disamping itu alat ini selain dapat mendeteksi

    MRSA, juga dapat mendeteksi bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa yang

    biasanya menjadi ko-infeksi pada pasien-pasien dengan ventilator mekanik di ICU.

  • 20

    Pseudomonas aeruginosa ini secara potensial dapat tumbuh berlebihan (overgrowth) dan

    menimbulkan negatif palsu pada metode kultur standar (Brown et al., 2005).

    3. Diagnosis MRSA

    Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya

    dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui

    pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat pengobatan,

    olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari makanan (Navy

    Environmental Health Center, 2005).

    Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi MRSA

    pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit dan

    jaringan lunak [skin and soft tissue infection (SSTI)] atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi

    staphylococcus disertai adanya faktor risiko untuk terjadinya MRSA. Gambaran klinik dari SSTI

    itu biasanya digambarkan dan didiagnosis sebagai gigitan serangga atau laba-laba (Navy

    Environmental Health Center, 2005; Anderson et al., 2007).

    Faktor risiko yang dihubungkan dengan penyebaran CA-MRSA adalah kulit yang

    terbuka, kondisi tempat tinggal yang kumuh (misalnya tempat penampungan geladangan),

    kontak dari kulit ke kulit yang frekuen (misalnya olahraga dengan kontak langsung), kegiatan

    praktik dengan higiene yang rendah, dan pemakaian alat-alat secara bergantian termasuk alat-alat

    olahraga, pisau cukur, alat-alat hiasan rambut, dan handuk (Anderson et al., 2007).

  • 21

    Tabel 3. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya MRSA Faktor-faktor community-acquired atau tempat khusus

    Kondisi tempat tinggal yang berdesakan dan kumuh (penjara, barak militer, penampungan gelandangan Populasi (penduduk kepulauan pasifik, asli Alaska, asli Amerika) Kontak olahraga (sepakbola, rugby, gulat) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki Berbagi handuk, alat-alat olahraga, barang-barang pribadi Higiene personal yang buruk

    Faktor-faktor hospital-acquired atau tradisional Perawatan di rumah sakit sebelumnya (dalam 1 tahun terakhir) Dilakukan operasi sebelumnya (rawat inap atau rawat jalan dalam 1 tahun terakhir) Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau infeksi kulit lainnya Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau yang tinggal bersama Terbukti secara laboratorium adanya kasus MRSA dalam keluarga atau yang tinggal bersama Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama atau kontak dengan penghuninya berkali-kali Pengguna obat intavena Terpasang kateter Kondisi medis (misalnya diabetes, HIV, gagal ginjal

    Sumber: Navy Environmental Health Center, 2005

    Tampilan klinis strain CA-MRSA yang mengandung PVL biasanya tampak sebagai

    SSTI, seperti bisul, jerawat, furunkel, dan abses kulit. Namun saat ini telah dilaporkan adanya

    infeksi yang invasif seperti necrotizing pneumonia dan fasciitis, osteomielitis, artritis septik,

    toxic shock syndrome, bakteriemia, limfadenitis, dan miositis (Anderson et al., 2007).

    Walaupun jarang, CA-MRSA juga dihubungkan dengan community-acquired pneumonia

    (CAP) yang biasanya ditemukan setelah influenza-type illness. Salah satu cara untuk

    membedakan pneumonia yang disebabkan oleh CA-MRSA adalah terjadinya hemoptisis setelah

    influenza-like syndrome (Anderson et al., 2007).

    Kultur bakteri aerobik harus didapatkan pada keadaan ketika, 1) SSTI yang disebabkan

    oleh strain resisten methicillin atau sensitif methicillin tidak dapat dibedakan dengan gambaran

    klinik, 2) dibutuhkan identifikasi dari spesies dan sensitifitas antibiotiknya yang akan membantu

    pemilihan antibiotik. Kultur harus diperoleh dari luka yang telah kering, pus yang diaspirasi dari

    infeksi jaringan lunak, dan aspirasi dari cairan yang diduga terinfeksi. Kultur darah harus

  • 22

    dilakukan pada pasien yang demam dengan kecurigaan infeksi MRSA, dan jika diperlukan pada

    pasien pengguna obat injeksi atau endokarditis yang secara klinis juga dicurigai (Navy

    Environmental Health Center, 2005).

    Hasil kultur yang positif baik dari darah dan cairan tubuh yang steril (misalnya cairan

    sendi, pleura, dan serbrospinal) merupakan diagnosis pasti dari infeksi MRSA. Kultur positif dari

    sumber-sumber yang non-steril (misalnya dari drainase luka dan luka terbuka) merupakan

    indikasi adanya infeksi bakteri atau kolonisasi dan harus diinterpetasikan dalam bentuk gejala

    klinik pasien (Navy Environmental Health Center, 2005).

    4. Manajemen pasien dengan infeksi MRSA

    a. HA-MRSA

    Agen antimikrobial yang dapat digunakan untuk penanganan infeksi MRSA, khususnya

    yang bersifat bakterisidal, jumlahnya terbatas. Dengan adanya keterbatasan pemilihan obat dan

    peningkatan munculnya isolat-isolat yang resisten multi obat, maka sangat penting untuk

    membersihkan semua fokus infeksi yang ada. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah

    menetapkan bahwa seorang pasien telah terinfeksi dibanding hanya terkolonisasi sebelum

    memberikan agen antimikrobial sistemik (Duckworth et al., 1998).

    Kontrol MRSA di rumah sakit Komunikasi merupakan hal yang penting untuk menekan penyebaran MRSA.

    Pemberitahuan adanya infeksi MRSA ini dapat dilakukan oleh pihak rumah sakit kepada unit-

    unit yang ada di masyarakat ataupun sebaliknya (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Strategi search and destroy dilakukan di Belanda pada tahun 1989 berhasil

    menurunkan kejadian infeksi MRSA dibandingkan pada pertengahan 1980-an. Australia barat

    melakukan kebijakan penapisan dan kontrol infeksi yang agresif untuk menekan penyebaran

  • 23

    MRSA dari luar negaranya. Denmark melakukan kebijakan mengontrol secara ketat peresepan

    antibiotik untuk infeksi, sehingga berhasil menurunkan kejadian MRSA dari 15% pada tahun

    1971 menjadi hanya 0,2% pada tahun 1984. Pencarian dan pengobatan karier secara aktif dapat

    menurunkan jumlah infeksi MRSA pada saat kejadian wabah di Spanyol (Duckworth et al.,

    1998).

    Isolasi

    Walaupun tangan petugas kesehatan merupakan jalur utama penyebaran MRSA, infeksi

    silang di bangsal masih sulit untuk dicegah. Kuman staphylococcal dapat sangat mencemari

    lingkungan rumah sakit dan akan melepaskan partikel ke udara. Pasien yang terinfeksi dan jika

    memungkinkan karier, harus diisolasi dalam satu ruangan atau jika ada di unit isolasi dengan

    petugas khusus (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Ruang isolasi harus selalu tertutup dan memiliki sistem ekstraksi yang membuang udara

    dari kamar ke ruang bebas. Hal ini akan mengurangi penyebaran antar ruang perawatan. Jika

    tidak ada unit isolasi khusus dan terbatasnya kamar pasien, maka semua pasien yang terinfeksi

    atau terkolonisasi MRSA dirawat dalam satu bangsal dengan petugas khusus untuk mengontrol

    outbreak secara efektif. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam mengontrol infeksi jika

    tidak ada unit khusus isolasi adalah melakukan cuci tangan dengan benar, penggunaan sarung

    tangan, pakaian pelindung, dan pembuangan sampah (Duckworth et al., 1998; Carter et al.,

    2002).

    Penutupan bangsal

    Penutupan bangsal atau unit perawatan perlu dilakukan jika isolasi pasien dan perawatan

    khusus lainnya gagal mengontrol penyebaran dan diperkirakan akan menimbulkan risiko serius

    pada pasien baru yang masuk untuk perawatan di rumah sakit tersebut. Namun penutupan sebuah

  • 24

    bangsal akan menimbulkan implikasi yang serius pada pelayanan kesehatan di rumah sakit yang

    bersangkutan sehingga perlu adanya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penilaian

    risiko jika harus melakukan penutupan (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Faktor-faktor tersebut adalah: 1) Jumlah kasus. Banyaknya pasien baru yang menjadi

    terinfeksi MRSA merupakan faktor yang paling penting dalam penilaian perkembangan suatu

    wabah. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat dan didiskusikan antara pihak

    manajemen rumah sakit dan petugas bangsal yang bersangkutan untuk menentukan keputusan

    yang rasional termasuk kemungkinan penutupan bangsal; 2) Strain MRSA. Strain yang resisten

    terhadap antibiotik akan menimbulkan kesulitan dalam terapinya dan diantaranya akan mudah

    menyebar. EMRSA-15 dapat mengolonisasi ulkus dekubitus dan urin melalui kateter sehingga

    akan menyebabkan infeksi berat. EMRSA-16 dihubungkan dengan penyakit yang invasif seperti

    pneumonia. Adanya strain yang menyebabkan infeksi yang invasif merupakan indikasi relatif

    untuk penutupan suatu bangsal, khususnya pada bangsal yang berisi pasien dengan status imun

    yang rendah; 3) Aktifitas klinis. Ruang perawatan akut yang digunakan untuk area kritis seperti

    ICU, neonatologi, atau bedah kardiotorak merupakan area yang terakhir ditutup ketika terjadi

    suatu wabah. Ruang perawatan non-akut, seperti bedah elektif merupakan indikasi relatif untuk

    dilakukan penutupan lebih awal; dan 4) Jumlah petugas. Jumlah perawat dan petugas lainnya

    yang sedikit, rendahnya kemampuan, rendahnya hubungan antar profesi, atau jarangnya petugas

    senior yang terlibat dalam manajemen di bangsal akan membuat sia-sia pengananan infeksi.

    Penutupan bangsal disarankan jika terjadi hal seperti ini (Duckworth et al., 1998; Carter et al.,

    2002).

  • 25

    Penapisan pasien untuk mendeteksi MRSA

    Sensitivitas pendeteksian karier MRSA tergantung pada banyak faktor. Faktor

    terpentingnya adalah metode yang digunakan dan banyaknya jumlah dan tempat sampel

    pengambilan (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Tempat pengambilan sampel untuk penapisan rutin biasanya adalah hidung, lesi atau

    luka, tempat masuknya alat intravena, trakheostomi, perineum, genital, urin dari pasien dengan

    kateter, dan sputum jika ada. Tempat lain untuk pengambilan sampel adalah umbilikus pada bayi

    baru lahir, feses, dan swab vagina jika ada indikasi klinis. Jika terjadi suatu wabah tempat lain

    yang bisa diambil sampelnya adalah aksila, vagina, dan kulit pantat pada lanjut usia (Duckworth

    et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Sensitivitas dari berbagai tempat pengambilan sampel untuk mendeteksi MRSA adalah

    hanya hidung 78,5%, hidung dan mulut 85,6%, hidung dan perineum 93,4%, hidung, mulut, dan

    perineum 98,3% (Duckworth et al.; Carter et al., 2002).

    Metode yang digunakan dalam proses penapisan swab di laboratorium dapat

    mempengaruhi sensitivitas. Menggabungkan swab dalam satu kaldu merupakan salah satu cara

    agar proses pengolahan spesimen lebih murah, meski penggunaan garam dan antibiotik pada

    kaldu harus dimodifikasi sesuai dengan strain MRSA pada saat wabah (Duckworth et al., 1998).

    Pengobatan pada karier MRSA Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA merupakan

    sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk mengeradikasi

    kolonisasi pada pasien dan petugas kesehatan tersebut. Pengobatan pada karier diberikan pada

    pasien yang berada di area dengan risiko klinik rendah, dimana situasinya mirip dengan situasi di

    masyarakat dan tidak ada interaksi dengan unit keakutan. Eradikasi diperlukan juga pada pasien

  • 26

    yang akan dipindahkan ke unit khusus. Pasien usia lanjut dan lemah yang dalam masa perawatan

    sesudah operasi atau keadaan sakit berat mungkin tidak dapat menerima obat kombinasi seperti

    rifampisin dan asam fusidik untuk mengobati kolonisasi di mulut. Pemberian antiseptik topikal

    dapat juga menimbulkan kondisi ekserbasi dan iritasi di kulit. Sehingga pemberiannya harus

    hati-hati (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Royal College of Nursing (RCN) membagi area risiko klinis menjadi 4 kategori. Kategori

    risiko itu seperti tampak pada tabel 4 (RCN, 2005).

    Tabel 4. Area risiko klinis transmisi MRSA Kategori risiko Tinggi

    ICU Unit perawatan khusus bayi Unit luka bakar Unit transplantasi Kardio-torak Ortopedi Trauma Vaskular Pusat referal regional, nasional, internasional

    Sedang Ruang operasi umum Urologi Neonatal Ginekologi Obstetrik Dermatologi

    Rendah Ruang perawatan usia lanjut (akut) Ruang perawatan medis umum Ruang perawatan anak-anak (non neonatal)

    Minimal Ruang perawatan usia lanjut (jangka lama) Psikiatrik Psiko-geriatrik

    Sumber: RCN, 2005

  • 27

    Eradikasi pada hidung

    Pengobatan topikal yang paling efektif untuk eradikasi di hidung adalah mupirocin

    dengan dasar parafin (Bactroban Nasal) yang dioleskan pada nares anterior 3 x/hari selama 5

    hari. Namun saat ini ditemukan adanya strain MRSA dengan level rendah (MIC 8-256 mg/1) dan

    level tinggi (>256 mg/1) yang resisten terhadap mupirocin. Strain MRSA level rendah masih

    dapat berespon terhadap mupirocin. Penggunaan mupirocin yang berulang-ulang dan lama dapat

    menyebabkan munculnya resistensi ini (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Agen topikal lain seperti chlorhexidine 1% dan Naseptin (chlorhexidine 1% + neomycin

    0,5%) kurang efektif namun dapat mengurangi jumlah organisme di hidung. Agen topikal ini

    merupakan alternatif untuk strain yang resisten mupirocin, khususnya pada strain yang diketahui

    sensitif terhadap neomycin (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Pemberian terapi sistemik dengan rifampicin dipertimbangkan pada keadaan jika

    keuntungannya lebih besar daripada efek sampingnya. Rifampicin harus selalu dikombinasikan

    dengan agen aktif lainnya untuk melawan MRSA seperti sodium fusidate, ciprofloxacin, atau

    trimethroprim untuk mencegah timbulnya resistensi. Kejadian efek samping oleh karena

    rifampicin sangat tinggi, sehingga pasien harus diberitahu efek samping yang sering terjadi dan

    disarankan untuk menghentikan jika diperlukan (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Eradikasi pada mulut

    Pemberian topikal pada hidung sering kali tidak dapat membersihkan mulut atau sputum.

    Pemberian mupirocin lebih efektif dibanding dengan naseptin. Pemberian terapi sistemik seperti

    yang digambarkan diatas dipertimbangkan dapat diberikan. Dianjurkan untuk pemberian obat

    semprot mulut bersama-sama dengan mupirocin hidung untuk eradikasinya (Duckworth et al.,

    1998; Carter et al., 2002).

  • 28

    Eradikasi pada kulit utuh

    Perbatasan kulit pada tempat infeksi seringkali terkontaminasi oleh S. aureus yang dapat

    menyebar ke tempat lainnya. Jumlah S. aureus dapat berkurang dengan mencuci kulit dan

    rambut dengan sabun antiseptik. Reduksi yang progresif dari flora kulit dapat dilakukan dengan

    mandi setiap hari selama 3 hari berturut-turut dengan sabun yang mengandung chlorhexidine,

    hexachlorophane, atau povidone-iodine. Pemberian emollient (Savlon) disarankan pada pasien

    dengan problem kulit atau pada usia lanjut. Konsentrat ini dapat membunuh S. aureus yang ada

    di air mandi. Konsentrat ini kurang efektif dalam mereduksi kolonisasi kulit dibanding dengan

    pemberian langsung sabun antiseptik. Sabun antiseptik penggunaannya harus hati-hati pada

    pasien dengan dermatitis, dan harus dihentikan jika terjadi iritasi kulit. Bubuk hexachlorophane

    (Ster-Zac 0,33%) merupakan agen anti staphylococcal yang efektif digunakan pada neonatal

    dan dapat digunakan pada aksila dan genital orang dewasa jika ada kolonisasi. Namun jangan

    digunakan pada area kulit yang terluka (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).

    Eradikasi pada lesi kulit

    Mupirocin dengan dasar polyethylene glycol (Bactroban) merupakan agen

    antistafilokokal yang efektif untuk diberikan pada lesi kulit seperti eksim dan ulkus dekubitus

    superfisial kecil. Agen ini tidak boleh digunakan pada luka bakar yang luas atau area luka yang

    tidak beraturan dan banyak karena agen ini bersifat nefrotoksik. Penggunaan yang lama harus

    dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap mupirocin. Eradikasi MRSA pada lesi

    kulit harus dilakukan bersama-sama dengan eradikasi pada tempat lainnya (Duckworth et al.,

    1998; Carter et al., 2002).

  • 29

    b. CA-MRSA

    Kolonisasi S. aureus di hidung telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko untuk

    terjadinya infeksi MRSA. Kolonisasi MRSA terdapat juga di tempat lain, misalnya aksila,

    rektum, dan perineum yang juga penting dalam perkembangan dan penyebaran infeksi. Regimen

    yang digunakan untuk melakukan eradikasi kolonisasi yang ada di masyarakat sama seperti yang

    digunakan di rumah sakit (Gorwitz et al., 2006).

    Strategi penatalaksanaan CA-MRSA

    MRSA harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding SSTI yang mungkin disebabkan

    oleh infeksi S. aureus. Adanya keluhan utama seperti gigitan laba-laba dari pasien menguatkan

    kecurigaan kita akan adanya infeksi S. aureus (Gorwitz et al., 2006).

    MRSA juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada gejala-gejala lain

    yang disebabkan oleh infeksi S. aureus, termasuk sindroma sepsis, osteomielitis, artritis septik,

    dan pneumonia yang berat, serta pada sindroma berat yang tidak selalu dihubungkan dengan S.

    aureus, seperti necrotizing fasciitis dan purpura yang fulminan (Gorwitz et al., 2006).

    Para klinisi diharapkan mengumpulkan spesimen untuk dilakukan kutur pada semua

    pasien dengan abses atau lesi kulit yang purulen, khususnya pada keadaan infeksi lokal yang

    berat, adanya tanda-tanda infeksi sistemik (Gorwitz et al., 2006).

    Walaupun antibiotik beta-lactam merupakan obat pilihan utama untuk SSTI, harus

    dipertimbangkan adanya faktor risiko untuk terjadinya CA-MRSA (misalnya gelandangan dan

    angka kejadian setempat yang tinggi) selama proses terapi dilakukan. Dalam hal ini CA-MRSA

    harus menjadi salah satu diagnosis banding pada pasien dengan SSTI yang datang ke fasilitas

    kesehatan (Anderson et al., 2007).

  • 30

    Sebelum memulai terapi antibiotik jika ada indikasi harus dilakukan insisi dan drainase

    atau debridemen pada lesi kulit yang purulen, abses, atau lesi nekrotik. Perlu dipertimbangkan

    juga pemberian agen antibiotik yang melawan aktifitas streptococcus grup A dalam mengobati

    SSTI dimana ketika CA-MRSA sudah menjadi endemi. Saat ini streptokokus grup A sering ikut

    teridentifikasi pada endemi infeksi CA-MRSA (Anderson et al., 2007).

    SSTI dapat dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan berat-ringannya tanda dan gejala infeksi

    lokal dan sistemik, serta ada-tidaknya komorbid. Sistem klasifikasi ini berguna sebagai panduan

    untuk menentukan manajemen perawatan pasien dengan SSTI (Eron et al., 2003).

    Tabel 5. Sistem klasifikasi Eron untuk pasien SSTI Kelas Kriteria pasien

    1 afebris dan sehat 2 demam dan tampak sakit, tetapi tanpa adanya penyakit komorbid yang tak stabil 3 tampak keracunan, atau paling tidak ada 1 penyakit komorbid yang tak stabil, atau adanya infeksi di lengan

    dan tungkai yang berat 4 sindroma sepsis atau infeksi berat yang mengancam jiwa (misal necrotizing fasciitis)

    Sumber Eron et al., 2003

    c. Terapi sistemik infeksi MRSA

    Pengobatan pasien dengan infeksi MRSA tidak akan berpengaruh besar pada pencegahan

    penyebaran karena agen antibiotik sistemik yang digunakan hanya berpengaruh kecil pada status

    karier. Penggunaan antibiogram pada isolat pertama pada pasien sangat penting untuk memilih

    terapi yang sesuai. Apalagi jika respon klinis dari pasien adalah jelek (Duckworth et al., 1998).

    Diagnosis pasti dari infeksi yang invasif dapat ditegakkan jika kita dapat memperoleh

    spesimen yang tepat, seperti pus, jaringan, atau lavase bronkoalveolar untuk mengkonfirmasi

    diagnosis mikrobiologik dari infeksi. Ketika fokus infeksi MRSA yang menyebabkan sepsis

    berat diketahui, maka bisa dilakukan pendekatan kombinasi antara obat dan pembedahan,

  • 31

    misalnya pada manajemen osteomielitis yang membutuhkan pembuangan jaringan nekrotik

    (Duckworth et al., 1998).

    Pasien dengan bakteremia MRSA memiliki rerata mortalitas yang lebih tinggi dibanding

    dengan MSSA. Peningkatan risiko ini sebagian berhubungan dengan pemberian antibiotik inisial

    yang tidak sesuai dalam 24 jam pertama perawatan (Schramm et al., 2006).

    Para klinisi harus memperhatikan pola sensitifitas dari antibiotik dari isolat S. aureus. Hal

    ini bisa diperoleh dari antibiogram yang dikeluarkan oleh rumah sakit (Naimi et al., 2001).

    Keadaan yang berhubungan dengan infeksi MRSA a. Infeksi kulit dan jaringan lunak

    Infeksi CA-MRSA biasanya disebabkan oleh isolat yang masih sensitif terhadap berbagai

    macam antibiotik jika dibanding dengan HA-MRSA. Pemilihan antibiotik untuk mengobati SSTI

    sebaiknya berdasarkan pada hasil kultur bakteri dan sensitivitas bakteri yang ada. Pasien dengan

    gejala ringan, infeksi yang terlokalisir tanpa tanda-tanda infeksi sistemik dapat dilakukan

    pembasuhan dengan air hangat dan/atau insisi dan drainase luka kemudian dilakukan evaluasi

    selama beberapa hari sebelum pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik sendiri tidak akan

    efektif tanpa dilakukan insisi dan drainase (BOP, 2005).

    Biasanya kita masih sulit untuk membedakan antara kolonisasi dan infeksi pada SSTI.

    Demam, peningkatan angka leukosit, dan peningkatan penanda inflamasi seperti C-reactive

    protein (CRP) dapat merupakan indikasi adanya infeksi (Gemmell et al., 2006).

    Durasi pemberian terapi antibiotik pada keadaan ini tergantung pada keparahan dan

    tempat infeksinya, serta respon klinisnya. Pemberian antibiotik antara 7-10 hari biasanya pada

    keadaan infeksi yang tidak terkomplikasi dan tidak berespon baik pada insisi dan drainase (BOP,

    2005).

  • 32

    Infeksi kulit dan jaringan lunak yang tidak dapat dilakukan kultur atau diagnosis

    mikrobiologinya tidak ada, penanganan dan evaluasinya didasarkan kasus per kasus. Antibiotik

    empirik bisa diberikan pada infeksi yang dirurigai disebabkan oleh S. aureus, khususnya pada

    infeksi selulitis, tampak adanya abses, adanya demam atau tanda infeksi sistemik lainnya, atau

    adanya latar belakang penyakit komorbid atau keadaan imunosupresi (BOP, 2005).

    Pertimbangan-pertimbangan yang perlu dilakukan dalam memberikan antibiotik empirik,

    antara lain: 1) Infeksi yang bisa sembuh sendiri (self-limited infection) tanpa tanda dan gejala

    sistemik biasanya cukup efektif jika dilakukan pembasuhan dengan air hangat dan/atau insisi dan

    drainase tanpa antibiotik; 2) Jika tidak ada faktor risiko MRSA, infeksi yang tidak berespon baik

    pada insisi dan drainase maka dapat diberikan antibiotik empirik cephalosporin generasi pertama,

    amoxicillin/clavulanate, atau erythromycin; 3) Jika berhubungan dengan risiko infeksi MRSA

    dan pada infeksi pneumonia, SSTI yang diikuti sepsis, atau keadaan klinis yang memburuk pada

    pemberian antibiotik oral, maka diindikasikan pemberian antibiotik intravena yaitu vancomycin

    kombinasi dengan antibiotik lainnya (BOP, 2005).

  • 33

    Tabel 6. Panduan terapi pada keadaan yang berhubungan dengan infeksi MRSA

    (Sumber: Gemmel et al., 2006)

    b. Infeksi serius MRSA

    Endokarditis dan infeksi endovaskuler lainnya, osteomielitis, fasciitis nekrotik,

    pneumonia, dan infeksi MRSA yang dalam membutuhkan pemberian antibiotik intravena.

    Antibiotik yang diberikan adalah vancomycin intravena dan/atau kombinasi dengan agen

  • 34

    antibiotik lainnya selama 4-6 minggu atau lebih. Antibiotik generasi kedua atau ketiga dapat

    diberikan sebagai kombinasi dengan vancomycin (BOP, 2005).

    Tabel 7. Dosis antibiotik yang diberikan pada infeksi serius MRSA

    (Sumber: BOP , 2005)

  • 35

    Tabel 8. Antibiotik yang digunakan pada infeksi MRSA

    (Sumber: Gemmell et al., 2006)

    Vancomycin Vancomycin merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) untuk berbagai macam

    infeksi khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh MRSA. Obat ini tidak boleh

    digunakan pada infeksi MSSA (Gemmell et al., 2006; Gorwitz et al., 2006).

    Nama generik dari obat ini adalah vancomycin hydrochloride. Vancomycin tidak dapat

    diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral, sehingga sediaan yang ada dalam bentuk injeksi

  • 36

    dan pemberiannya secara intravena. Pemberian secara intramuskular akan menimbulkan nyeri

    pada tempat suntikan (Drugs, 2007).

    Waktu paruh vancomycin dalam plasma adalah 4-6 jam pada orang dengan fungsi ginjal

    normal. Vancomycin akan berikatan 55% dengan protein serum. Setelah pemberian intravena,

    konsentrasi vancomycin akan masuk ke dalam pleura, perikardial, cairan asites dan sinovial,

    urin, cairan dialisis peritoneal, serta jaringan atrial. Vancomycin tidak masuk secara difusi pada

    meningen normal melalui cairan spinal, namun ketika ada inflamasi akan terjadi penetrasi ke

    dalam cairan spinal (Drugs, 2007).

    Pemberian vancomycin adalah 2 g/hari dalam dosis terbagi 500 mg/6 jam atau 1 g/12

    jam. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis inisial

    yang harus diberikan tidak boleh

  • 37

    Obat ini diabsorbsi secara cepat setelah pemberian secara oral. Waktu paruh TMP adalah

    8-10 jam dan SMX adalah 10 jam. TMP akan berikatan 44% dengan protein serum dan SMX

    70%. TMP-SMX akan terdistribusi pada sputum, cairan vagina, dan cairan telinga tengah, serta

    akan ikut terekskresi pada air susu ibu. Obat ini akan dieliminasi oleh ginjal melalui fitrasi

    glomerulus dan sekresi tubulus. Konsentrasi pada urin lebih tinggi dibanding darah. Dosis yang

    diberikan pada pasien yang dicurigai terinfeksi MRSA di kulit dan jaringan lunak adalah TMP

    160 mg + SMX 800 mg dalam sediaan 1 tablet tiap 12 jam selama 7-10 hari (Drugs, 2007).

    Co-trimoxazole sebaiknya tidak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh

    streptococcus grup A. Pada infeksi ini obat yang digunakan adalah clindamycin, erythromycin,

    atau beta-lactam (BOP, 2005).

    Clindamycin Clindamycin efektif digunakan untuk terapai SSTI dan beberapa infeksi invasif lainnya,

    seperti osteomielitis, piomiositis, atau empiema pleura yang disebabkan oleh isolat CA-MRSA

    pada anak-anak. Obat ini memiliki kelebihan tambahan yaitu kemampuannya pada

    penghambatan produksi toksin dari bakteri. Clindamycin memiliki kemampuan penetrasi ke

    dalam tulang yang lebih baik jika dibandingkan dengan co-trimoxazole. Dosis clindamycin pada

    kasus infeksi MRSA adalah 150-450 mg tiap 6 jam diberikan peroral (Gemmell et al., 2006;

    Gorwitz et al., 2006).

    Doxycycline atau minocycline Pada pasien dengan isolat MRSA yang masih sensitif terhadap tetracycline, maka bisa

    diberikan obat doxycycline atau minocycline (long-acting tetracycline) sebagai alternatif terapi

    (Gemmell et al., 2006; Gorwitz et al., 2006).

  • 38

    Dosis inisial minocyclin dan doxycycline adalah 200 mg pada hari I diikuti dengan 100

    mg tiap 12 jam diberikan selama 10 hari (Drugs, 2007).

    Fluoroquinolone Fluoroquinolone generasi terbaru seperti levofloxacin dan moxifloxacin memiliki

    kemampuan yang lebih baik sebagai anti stafilokokal. Kedua obat ini dapat digunakan pada

    strain yang resisten terhadap ciprofloxacin. Namun penggunaan kedua agen ini harus hati-hati

    dan terbatas karena kemungkinan untuk terjadinya resistensi (Gemmell et al., 2006; Gorwitz et

    al., 2006).

    Levofloxacin terdapat dalam sediaan pemberian oral dan injeksi. Kedua rute pemberian

    ini memiliki kekuatan yang sama. Pada pemberian oral absorbsinya dipengaruhi adanya makanan

    yang akan memperpanjang waktu paruh dan kadar maksimalnya, sehingga pemberiannya harus

    dengan jarak 1-2 jam setelah atau sebelum makan. Obat ini akan berikatan dengan protein 24-

    38%. Ekskresi terbanyak melalui urin. Dosis yang digunakan adalah 750 mg/24 jam

    peroral/intravena selama 7-14 hari (Drugs, 2007).

    Moxifloxacin terdapat dalam sediaan pemberian oral dan injeksi, berikatan dengan

    sebanyak 30-50%. Dosis pemberiannya 400 mg/24 jam peroral/intravena selama 7-21 hari

    (Drugs, 2007).

    Quinupristin-dalfopristin Quinupristin-dalfopristin telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA)

    Amerika serikat untuk mengobati infeksi vancomycin resistant enterococcal (VRE), infeksi kulit

    terkomplikasi yang disebabkan oleh S. aureus, MRSA, dan VISA (Gemmell et al., 2006;

    Gorwitz et al., 2006).

  • 39

    Obat ini tersedia dalam bentuk injeksi terdiri dari quinupristin 150 mg dan dalfopristin

    350 mg. Quinupristin bekerja menghambat fase akhir sintesis protein dan dalfopristin bekerja

    menghambat fase awal sintesis protein. Pemberiannya dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan tiap

    12 jam dimasukkan dalam infus habis dalam 60 menit selama minimal 7 hari (Drugs, 2007).

    Linezolid Linezolid merupakan agen anti staphylococcal bakteriostatik yang digunakan untuk

    mengobati pneumonia nosokomial dan infeksi kulit terkomplikasi yang disebabkan oleh MRSA.

    Obat ini mempunyai kemampuan distribusi jaringan yang sama baiknya antara pemberian oral

    dan injeksi. Dosis obat ini adalah 600 mg/12 jam diberikan peroral atau intravena (Gemmell et

    al., 2006; Gorwitz et al., 2006; Drugs, 2007).

    Daptomycin Obat ini akan berikatan dengan membran bakteri dan akan menyebabkan depolarisasi

    cepat dari potensial membran, yang akan menghambat sintesis protein, DNA, dan RNA,

    sehingga terjadi kematian sel bakteri. Dosis obat ini adalah 4 mg/kg berat badan tiap 24 jam

    dalam infus selama 30 menit (Drugs, 2007).

    Tigecycline Obat bekerja dengan cara menghambat transportasi protein bakteri dengan berikatan pada

    subunit ribosomal 30S dan menutup masuknya molekul tRNA amino-acyl. Dosis inisial obat ini

    adalah 100 mg intravena pada hari I diikuti dengan 50 mg tiap 12 jam (Drugs, 2007).

  • 40

    BAB III

    RINGKASAN

    Infeksi MRSA telah menjadi problem dalam dunia kesehatan di seluruh dunia selama

    beberapa dekade. Beberapa faktor dapat menyebabkan timbulnya resistensi ini, diantaranya

    adalah salah pemilihan dan penggunaan dari agen antibiotik.

    Ada 2 macam infeksi MRSA, yaitu HA-MRSA dan CA-MRSA. HA-MRSA

    didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah dirawat di rumah

    sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu medis

    permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, atau individu

    yang menjalani dialisis. Sedangkan infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang sebelumnya

    tidak ada hubungan dengan infeksi rumah sakit dikenal sebagai CA-MRSA.

    Berbagai institusi kesehatan di luar negeri telah banyak yang menerbitkan pedoman

    dalam pencegahan, kontrol, dan penanganan MRSA yang disesuaikan dengan keadaan dan strain

    MRSA yang ada.

    Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya

    dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui

    pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat pengobatan,

    olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari makanan.

    Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi MRSA

    pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit dan

    jaringan lunak atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi staphylococcus disertai adanya faktor

    risiko untuk terjadinya MRSA.

  • 41

    Manajemen penanganan infeksi MRSA harus menyeluruh dan melibatkan pihak pasien

    sebagai orang yang terinfeksi atau terkolonisasi, petugas kesehatan dan staf rumah sakit yang

    bisa saja terkolonisasi, dokter yang merawat, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam

    bidang kesehatan.

    Prinsip pemberian antibiotik pada infeksi MRSA adalah sesuai dengan hasil kultur

    bakteri dan pola sensitivitas antibiotik yang ada. Antibiotik empirik dapat diberikan pada

    keadaan dimana hasil kultur dan sensitivitas tidak ada. Antibiotik yang digunakan bisa dalam

    bentuk kombinasi maupun tunggal.

  • 42

    DAFTAR PUSTAKA

    Alangaden, G.J. 1997 [cited: December 14, 2007]. Overview of Antimicrobial Resistance. National Foundation for Infectious Diseases: [9 screens]. http://www.nfid.org/publications/id_archive/antimicrobial.html.

    Alston, W.K., Elliott, D.A., Epstein, M.E., Hatcher, V.B., Tang, M., Lowy, F.D. 1997. Extracellular matrix heparan sulfate modulates endothelial cell susceptibility to Staphylococcus aureus. J Cell Physiol, 173:102-109.

    Anderson, J., Mehlhorn, A., MacGregor, V. 2007. Community-Associated Methicillin-resistant Staphylococcus aureus. What's in Your Neighborhood? Jobson Medical Information LLC. US Pharm, 32(8):HS3-HS12.

    Anonim. 2005 [cited: December 15, 2007]. Staphylococcus. Kenneth Todar University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology [19 screens]. http://www.visualunlimited.com/.

    Banerjee, S.N., Emori, T.G., Culver, D.H. 1991. Secular trends in nosocomial primary bloodstream infections in the United States, 1980-1989. Am J Med, 91:Suppl 3B:3B-86S 3B-89S.

    BC Centre for Disease Control. 2001. British Columbia Guidelines for Control of Antibiotic Resistant Organisms (AROs) [Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and Vancomycin-resistant Enterococci (VRE)].

    Borlaug, G., Davis, J.P., Fox, B.C. 2005. Community Associated Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Guidelines for Clinical Management and Control of Transmission. http://www.unc.edu/depts/spice/WisconsinCAMRSAGuide.pdf/.

    Brown, D.F.J., Edwards, D.I., Hawkey, P.M., Morrison, D., Ridgway, G.L., Towner, K.J., Wren, M.W.D. 2005. Guidelines for the laboratory diagnosis and susceptibility testing of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). J Antimicrob Chemother, 56:10001018.

    Carter, A., Heffernan, H., Holand, D., Ikram R., Morris A., et al. 2002. Guidelines for the Control of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus in New Zealand. http://www.moh.govt.nz/cd/mrsa.

    Casewell, M.W., Hill, R.L.R. 1986. The carrier state: Methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J Antimicrob Chemother, 18:Suppl A:1-12.

    Cheung, A.L., Eberhardt, K.J., Chung, E. 1994. Diminished virulence of a sar-agr- mutant of Staphylococcus aureus in the rabbit model of endocarditis. J Clin Invest, 94:1815-22.

    Dellit, T., Duchin, J., Hofmann, J., Olson, E.G. 2004. Interim Guidelines for Evaluation & Management of Community Associated Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Skin dand Soft Tissue Infection in Outpatient Settings. http://www.metrokc.gov/health/providers/epidemiology/MRSA-guidelines.pdf.

    Drake, T.A., Pang, M. 1988. Staphylococcus aureus induces tissue factor expression in cultured human cardiac valve endothelium. J Infect Dis, 157:749-56.

    Drugs. 2007 [cited December 17, 2007]. Drug Information Online [44 screens]. http://www.drugs.com/pro.

    Duckworth, G., Cookson, B., Humphreys, H., Heathcock, R. 1998. Revised Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Infection Control Guideline for Hospitals, Report of a combined working party of the British Society for Antimicrobial Chemotherapy, the Hospital

  • 43

    Infection Society and the Infection Control Nurses Association. Brit Soc Antimicrob Chemother.

    Dwiprahasto, I. 2005. Kebijakan untuk Meminimalkan Risiko Terjadinya Resistensi Bakteri di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit. JMPK, 8(4):177-181.

    Elixhauser, A., Steiner, C. 2007. Statistical Brief #35: Infection with Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in U.S. Hospitals, 1993-2005. http://www.hcup-us.ahrq.gov/reports/statbriefs/sb35.pdf.

    Emori, T.G., Gaynes, R.P. 1993. An overview of nosocomial infections, including the role of the microbiology laboratory. Clin Microbiol Rev, 6:428-442.

    Enright, M.C., Robinson, D.A., Randle, G., Feil, E.J., Grundmann, H., Spratt, B.G. 2002. The evolutionary history of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). PNAS, 99(11):76877692.

    EPIC. 2006. Apakah organisme multi-resistan itu dan bagaimana timbulnya? in Essential Practices in Infection Control. Ansell Cares, 2:1-6.

    Gemmell, C.G., Edwards, D.I., Fraise, A.P., Gould, F.K., Ridgway, G.L., Warren, R.E. 2006. Guidelines for the Prophylaxis and Treatment of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infections in the UK. J Antimicrob Chemother, 57:589-608.

    Gorwitz, R.J., Jernigan, D.B., Powers, J.H., Jernigan, J.A. 2006. Strategies for Clinical Management of MRSA in the Community: Summary of an Experts Meeting Convened by the Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/ncidod/dhqp/pdf/ar/CAMRSA_ExpMtgStrategies.pdf.

    Grathwaite, T.L., Fielding, J.E. 2003 [cited December 17, 2007]. FACT SHEET FOR HEALTH CARE PROVIDERS: Community-Associated Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Skin Infections. [7 screens]. http://lapublichealth.org/acd/.

    Holden, M.T.G., Feil, E.J., Lindsay, J.A., Peacock, S.J., Day, N.J.P., Enright, M.C. 2004. Complete genomes of two clinical Staphylococcus aureus strains: Evidence for the rapid evolution of virulence and drug resistance. PNAS, 101(26):9786-9791.

    Kowalski, T.J., Berbari, E.F., Osmon D.R. 2005. Epidemiology, Treatment, and Prevention of Community-Acquired Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Infections. Mayo Clin Proc, 80(9):1201-1208.

    Lowy, F.D. 1998. Staphylococcus Aureus Infections. NEJM, 339(8):520-532. Naimi, T.S, LeDell, K.H, Boxrud, D.J. 2001. Epidemiology and clonality of community-

    acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus in Minnesota, 1996-1998. Clin Infect Dis, 33:990.

    Navy Environmental Health Center. 2005. Guidelines for the Management of Community Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Infections in the US Navy and Marine Corps. http://www-nehc.med.navy.mil/Downloads/prevmed/CPG_MRSA_20050516_final.pdf.

    Noble, W.C., Valkenburg, H.A., Wolters, C.H.L. 1967. Carriage of Staphylococcus aureus in random samples of a normal population. J Hyg (Lond); 65:567-573.

    Royal College of Nursing (RCN). 2005. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Guidance for Nursing Staff. http:/www.rcn.org.uk/mrsa.

    Sampathkumar, P. 2007. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus: The Latest Health Scare. Mayo Clin Proc, 82(12):1463-1467.

  • 44

    Schramm, G.E, Johnson, J.A, Doherty, J.A. 2006. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus sterile-site infection: The importance of appropriate initial antimicrobial treatment. Crit Care Med, 34:20-69.

    Steinberg, J.P., Clark, C.C., Hackman, B.O. 1996. Nosocomial and community acquired Staphylococcus aureus bacteremias from 1980 to 1993: impact of intravascular devices and methicillin resistance. Clin Infect Dis, 23:255-259.

    The Federal Bureau of Prisons (BOP). 2005 [cited: December 17, 2007]. Management of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Infections. [43 screens]. http://www.bop.gov/news/PDFs/mrsa.pdf.

    Vavra, S.B., Daum, R.S. 2007. Community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus: the role of PantonValentine leukocidin. Lab Investig; 87:39.

    Wijisaksono, D.P. 2007. Terapi optional baru untuk infeksi gram (+): peran vancomycin. Dalam: M. Sjabani, S. Nurdjanah, K. Widayati, M.R. Ikhsan, A. Widiatmoko (eds.). Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan IX Ilmu Penyakit Dalam FK UGM. Hal. 13-24. Yogyakarta. PGTKI Press.

    Wikipedia. 2007 [cited: December 17, 2007]. Antibiotic Resistance. Wikipedia Organization: [3 screens]. http://en.wikipedia.org/wiki/Antibiotic_resistance.

    Yim, G. 2007 [cited: December 17, 2007]. Attack of the Superbug: Antibiotik Resistance. [8 screens]. http://www.scq.ubc.ca.

    Referat.pdfDAFTAR ISI.pdfMRSA Ref.pdf