13 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 ...
Transcript of 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 ...
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Bab ini memuat uraian teori-teori yang mendukung penelitian ini. Teori-
teori yang digunakan sebagai acuan dalam memecahkan permasalahan ini adalah
Teori Agensi, Pengertian Pajak, Tax Avoidance, Leverage, Intensitas Aset Tetap,
Ukuran Perusahaan, dan Koneksi Politik. Bab ini juga membahas tentang
penelitian sebelumnya untuk membangun rumusan hipotesis.
2.1.1 Teori Agensi
Teori Agensi menyatakan hubungan kontrak antara agen (manajemen
suatu usaha) dan prinsipal (pemilik usaha). Agen melakukan tugas-tugas tertentu
untuk prinsipal, prinsipal mempunyai kewajiban untuk memberi imbalan pada si
agen (Hendriksen dan Breda, 1992 dalam Maria dan Kurniasih, 2013). Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan sebagai kontrak antara
satu atau beberapa orang (pemberi kerja atau principal) yang mempekerjakan
orang lain (agen) untuk melakukan sejumlah jasa dan memberikan wewenang
dalam pengambilan keputusan.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan
adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemegang saham
(principal). Hubungan keagenan tersebut terkadang menimbulkan masalah antara
manajer dan pemegang saham atau biasanya disebut konflik kepentingan. Masalah
itu timbul karena pemegang saham dan manajer berusaha untuk memaksimalkan
14
kepentingan masing-masing. Pemegang saham selaku pemilik atau prinsipal
menginginkan pengembalian yang lebih besar dan secepat-cepatnya atas investasi
yang mereka investasikan sedangkan manajer menginginkan pemberian
kompensasi atau insentif yang sebesar-besarnya atas kinerjanya dalam
menjalankan perusahaan.
Kondisi perusahaan yang sesungguhnya terkadang hanya diketahui oleh
manajer karena manajer berada didalam perusahaan untuk mengelola perusahaan
sehingga mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan sedangkan prinsipal
bisa dikatakan jarang datang langsung ke perusahaan sehingga informasi yang
dimiliki lebih sedikit dibandingkan manajer. Keadaan tersebut dikenal sebagai
asimetri informasi. Asimetri informasi adalah keadaan dimana informasi yang
diberikan kepada principal berbeda dengan yang diberikan kepada agent untuk
melakukan tindakan yang oportunistik. Tindakan yang oportunistik (opportunistic
behaviour) adalah tindakan yang tujuannya mementingkan kepentingan diri
sendiri (Rahmawati, 2015).
Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen dapat memengaruhi
berbagai hal menyangkut kinerja perusahaan salah satunya kebijakan perusahaan
terkait pajak. Manajer sebagai agen mempunyai kepentingan untuk memperoleh
kompensasi atau insentif sebesar-besarnya melalui laba yang tinggi atas
kinerjanya dan pemegang saham ingin menekan pajak yang dibayarkan melalui
laba yang rendah. Maka dari itu, tindakan penghindaran pajak dapat digunakan
untuk mengatasi perbedaan kedua kepentingan tersebut (Martini dan Rusydi,
2014).
15
2.1.2 Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang
perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Beberapa pendapat para pakar pajak dalam mendefinisikan pajak sebagai
berikut (Burton dan Ilyas, 2010: 6).
1) Pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, SH.
Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-
Undang dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik secara langsung yang
dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
2) Pengertian pajak menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets.
Pajak merupakan prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui
norma-norma umum dan dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi
yang ditunjukan dalam hak individual untuk membiayai pengeluaran rutin
pemerintah.
3) Pengertian pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja.
Pajak merupakan iuran wajib masyarakat berupa barang yang dipungut
oleh penguasa berdasarkan norma hukum yang berguna menutupi biaya
produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
16
Dari pendapat yang diberikan oleh pakar pajak tersebut mengenai definisi
pajak, terdapat beberapa unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu.
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-undang.
b. Sifatnya dapat dipaksakan.
c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak.
d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh pihak swasta).
e. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin
dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat dan definisi terkait
pajak, ada pula dua fungsi utama pajak yaitu fungsi penerimaan (budgeter) dan
fungsi mengatur (reguler). Fungsi budgeter adalah pajak berfungsi sebagai
sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah, misalnya dimasukkan sebagai penerimaan dalam negeri di dalam
APBN. Fungsi reguler adalah pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi (Waluyo, 2013).
Menurut Burton dan Ilyas (2010: 30) sistem pemungutan pajak dibagi
menjadi empat macam yaitu.
1) Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.
17
2) Semiself assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang pada fiskus dan WP untuk menentukan besarnya
pajak seseorang yang terutang.
3) Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang penuh kepada WP untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang
pajak.
4) Withholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya
pajak yang terutang.
2.1.3 Tax Avoidance
Pajak dapat diartikan sebagai sesuatu yang membebani atau sesuatu yang
dapat mengurangi kemampuan atau daya beli masyarakat. Melihat dari sisi ini
saja, pajak dapat dipandang sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan. Sesuatu
yang tidak menguntungkan biasanya mendorong adanya upaya untuk melakukan
penghindaran atau perlawanan pajak (Mulyani, 2014).
Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah self
assessment system. Sistem tersebut memberikan wewenang penuh kepada wajib
pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan
sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) dan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pajak
(Ilyas dan Burton, 2010). Secara eksplisit, self assessment system merupakan
sistem perpajakan yang sangat rentan menimbulkan penyelewengan dan
pelanggaran. Penyelewengan dan pelanggaran tersebut merupakan suatu bentuk
18
dari penghindaran atau perlawanan pajak (Mulyani, 2014). Penghindaran pajak
tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a. Perlawanan Pasif
Perlawanan pajak secara pasif diakibatkan oleh adanya hambatan-
hambatan yang mempersukar pemungutan pajak. Perlawanan ini tidak
dilakukan secara aktif apalagi agresif oleh para wajib pajak.
b. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif mancakup ruang lingkup semua usaha dan perbuatan
yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dengan tujuan
menghindari pajak.
Menurut Lim (2011) mendefinisikan tax avoidance sebagai penghematan
pajak yang timbul dengan memanfaatkan ketentuan perpajakan yang dilakukan
secara legal untuk meminimalkan kewajiban pajak. Tax avoidance bukan
pelanggaran undang-undang perpajakan karena usaha wajib pajak untuk
mengurangi, menghindari, meminimumkan atau meringankan beban pajak
dilakukan dengan cara yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Pajak (Maria
dan Kurniasih, 2013).
Penghindaran pajak yang bersifat legal disebut tax avoidance, sedangkan
penyelundupan pajak yang bersifat ilegal disebut juga dengan tax evasion.
Menurut Robert H. Anderson dalam Lumbantoruan (2008) penyelundupan pajak
(tax evasion) adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak,
sedangkan penghindaran pajak (tax avoidance) adalah cara meminimalisasi
19
besarnya pembayaran pajak yang masih dalam batas ketentuan perundang-
undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.
Penghindaran pajak bukannya bebas biaya. Beberapa biaya yang harus
ditanggung yaitu pengorbanan waktu dan tenaga untuk melakukan penghindaran
pajak, dan adanya risiko jika penghindaran pajak terungkap. Risiko ini mulai dari
yang dapat dilihat, yaitu bunga, denda dan yang tidak terlihat, yaitu kehilangan
reputasi perusahaan yang berakibat buruk untuk kelangsungan usaha jangka
panjang perusahaan (Harto dan Puspita, 2014).
Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara (Merks, 2007
dalam Prakosa, 2014) sebagai berikut.
a. Memindahkan subjek pajak dan/atau objek pajak ke negara-negara yang
memberikan perlakuan pajak khusus atau keringanan pajak (tax haven
country) atas suatu jenis penghasilan (substantive tax planning)
b. Usaha penghindaran pajak dengan mempertahankan substansi ekonomi
dari transaksi melalui pemilihan formal yang memberikan beban pajak
yang paling rendah (formal tax planning)
c. Ketentuan anti avoidance atas transaksi transfer pricing, thin
capitalization, treaty shopping, dan controlled foreign corporation
(Specific Anti Avoidance Rule), serta transaksi yang tidak mempunyai
substansi bisnis (General Anti Avoidance Rule).
2.1.4 Leverage
Leverage merupakan tingkat hutang yang digunakan perusahaan dalam
melakukan pembiayaan. Menurut Wiagustini (2010: 76) leverage adalah
20
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang atau mengukur sejauh mana perusahaan
dibiayai dengan hutang. Hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan
kepada pihak lain yang belum terpenuhi, di mana hutang ini merupakan sumber
dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditur (Munawir, 2004 dalam
Darmadi 2013). Hutang tersebut harus dikelola dengan baik oleh manajemen
perusahaan sehingga tujuannya melakukan hutang tersebut dapat menguntungkan
dan menghindari kerugian. Jensen (1986) menyatakan bahwa dengan adanya
hutang akan dapat mengendalikan penggunaan secara berlebihan oleh free cash
flow manajemen sehingga menghindari investasi yang sia-sia.
Leverage diukur dengan membandingkan total hutang dengan total aset
perusahaan yang digunakan untuk sumber pendanaan perusahaan. Total hutang
yang digunakan untuk menghitung rasio hutang adalah total hutang perusahaan
yang tertera dalam neraca baik hutang jangka pendek dan jangka panjang.
Semakin tinggi tingkat leverage maka perusahaan mempunyai ketergantungan
pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya, sedangkan perusahaan yang
mempunyai tingkat leverage rendah lebih banyak membiayai asetnya dengan
modal sendiri (Yulfaida dan Zhulaikha, 2012). Tingkat leverage perusahaan
dengan demikian menggambarkan risiko keuangan perusahaan (Sembiring, 2005)
Perusahaan dalam membiayai asetnya dengan menggunakan hutang akan
menimbulkan adanya bunga yang harus dibayar akibat dari peminjaman dana
yang berasal dari pihak ketiga atau kreditur (Hendy dan Sukartha, 2014). Pada
peraturan perpajakan, yaitu UU No. 36 tahun 2008 tentang PPh, bunga
21
pinjaman merupakan komponen dari deductible expense atau biaya yang dapat
dikurangkan terhadap penghasilan kena pajak. Beban bunga tersebut akan
mengurangi jumlah pajak yang terutang oleh perusahaan karena berkurangnya
laba kena pajak perusahaan sehingga utang dapat memengaruhi secara langsung
effective tax rate perusahaan (Mulyani, 2014). Pernyataan tersebut sejalan
dengan pendapat dari Noor, et al., (2010) yang menyebutkan bahwa perusahaan
dengan jumlah utang yang lebih banyak memiliki nilai effective tax rate (ETR)
yang lebih rendah dan tax avoidance akan meningkat karena pengeluaran biaya
bunga akan mengurangi biaya pajak yang akan dikeluarkan oleh perusahaan.
2.1.5 Intensitas Aset Tetap
Intensitas aset tetap perusahaan menggambarkan banyaknya investasi
perusahaan terhadap aset tetap perusahaan. Aset tetap dalam hal ini mencakup
bangunan, pabrik, peralatan, mesin, dan berbagi properti lainnya. Aset tetap
berfungsi untuk menunjang kegiatan operasional perusahaan, digunakan untuk
penyediaan barang dan jasa maupun disewakan kepada pihak lain dimana
penggunaannya lebih dari satu periode. Aset tetap memiliki nilai ekonomis yang
akan terus menyusut nilainya sesuai dengan umur ekonomis yang ditetapkan
UU No. 36 Tahun 2008. Perpajakan di Indonesia membagi aset tetap
perusahaan ke dalam 2 jenis yaitu kelompok bangunan dan bukan bangunan.
Kelompok bangunan dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu.
1) Permanen dengan umur ekonomis 20 tahun
2) Tidak permanen dengan umur ekonomis 10 tahun
22
Sementara untuk kelompok bukan bangunan dibagi ke dalam 4
kelompok yaitu.
1) Kelompok 1 dengan umur ekonomis 4 tahun
2) Kelompok 2 dengan umur ekonomis 8 tahun
3) Kelompok 3 dengan umur ekonomis 16 tahun
4) Kelompok 4 dengan umur ekonomis 20 tahun
Intensitas aset tetap didefinisikan sebagai rasio antara aset tetap terhadap
total aset (Noor et al., 2010). Intensitas aset tetap dapat mengurangi
pembayaran pajak karena kepemilikan aset tetap akan timbul biaya depresiasi
atau penyusutan. Biaya depresiasi yang bersifat deductible expense dapat
digunakan untuk mengurangi laba kena pajak perusahaan sehingga nantinya
akan mengurangi jumlah pembayaran pajak (Mulyani, 2014).
2.1.6 Ukuran Perusahaan
Machfoedz (1994) dalam Suwito dan Herawati (2005) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan perusahaan
menjadi perusahaan besar dan kecil menurut berbagai cara seperti total aktiva atau
total aset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah
penjualan. Ukuran perusahaan umumnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu large
firm, medium firm, dan small firm.
Tahap kedewasaan perusahaan ditentukan berdasarkan total aset, semakin
besar total aset menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek baik dalam
jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini juga menggambarkan bahwa
perusahaan lebih stabil dan lebih mampu dalam menghasilkan laba dibanding
23
perusahaan dengan total aset yang kecil (Indriani, 2005 dalam Rachmawati dan
Triatmoko, 2007). Ukuran perusahaan secara langsung mencerminkan tinggi
rendahnya aktivitas operasi suatu perusahaan. Pada umumnya semakin besar suatu
perusahaan maka akan semakin besar pula aktivitasnya (Hartadinata dan Tjaraka,
2013).
Nicodeme, (2007) dalam Darmadi, (2013) berpendapat bahwa perusahaan
berskala kecil tidak dapat optimal dalam mengelola pajak dikarenakan kekurangan
ahli dalam perpajakan. Banyaknya sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan
berskala besar maka akan semakin besar biaya pajak yang dapat diminimalisir
oleh perusahaan (Hendy dan Sukartha, 2014)
Richardson dan Lanis (2007) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa
semakin besar ukuran perusahaan maka semakin kecil rasio antara beban pajak
yang harus dibayar terhadap laba bersih sebelum pajak atau dikenal dengan proxy
Effective Tax Rate. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan perusahaan besar
memiliki sumber daya yang terkelola dengan perencanaan pajak yang baik
(political power theory), namun perusahaan tidak selalu dapat menggunakan
power yang dimilikinya untuk melakukan perencanaan pajak karena adanya
batasan berupa kemungkinan menjadi sorotan dan sasaran dari keputusan
regulator (political cost theory) (Watts dan Zimmerman, 1986).
Ada dua teori yang dapat digunakan sebagai dasar analisis pengaruh
ukuran perusahaan terhadap tarif pajak efektif (TPE), yaitu.
1) Teori biaya politik (political cost theory) menyatakan bahwa tingkat
visibilitas yang tinggi dari perusahaan yang besar dan sukses
24
menyebabkan mereka menjadi korban peraturan dan transfer kekayaan,
karena pajak merupakan salah satu elemen biaya politik yang dilahirkan
oleh perusahaan. Sehingga perusahaan besar akan cenderung memiliki
TPE yang besar (Zimmerman dan Watts, 1983 dalam Lestari, 2010)
2) Teori kekuasaan politik (political power theory) menjelaskan hubungan
antara perusahaan besar dengan sumber daya yang dimilikinya untuk
memanipulasi proses politik dalam melakukan tax planning untuk
mencapai penghematan pajak yang optimal (Richardson dan Lanis, 2007
dalam Ardyansah, 2014). Dengan adanya teori tersebut, perusahaan besar
akan memiliki TPE yang lebih rendah.
2.1.7 Koneksi Politik
Koneksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
hubungan yang dapat memudahkan (melancarkan) segala urusan (kegiatan),
sedangkan politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
(pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tata sistem
pemerintahan, dasar pemerintahan). Menurut Agustino (2007:4-5) dalam
Hardianti (2015), dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara ilmu politik dan
ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain karena
keduanya akan tetap saling memengaruhi, jadi apabila ingin memisahkan antara
ilmu politik dan ilmu ekonomi dalam kehidupan sehari-hari, hal ini hanya dapat
dilihat secara analisis.
Perusahaan berkoneksi politik merupakan perusahaan yang dengan cara-
cara tertentu mempunyai ikatan secara politik atau mengusahakan adanya
25
kedekatan dengan politisi atau pemerintah (Purwoto, 2011). Faccio (2006)
menjelaskan bahwa perusahaan dianggap memiliki koneksi secara politik jika
setidaknya salah satu pemegang saham yang besar (seseorang yang
mengendalikan setidaknya 10% dari total saham dengan hak suara) atau salah satu
pimpinan perusahaan (CEO, presiden, wakil presiden, ketua atau sekretaris)
adalah anggota parlemen, menteri, atau orang yang berkaitan erat dengan politikus
atas atau partai politik. Koneksi politik juga dapat dilihat dari ada atau tidaknya
kepemilikan langsung oleh pemerintah pada perusahaan (Fatharani, 2012).
Perusahaan dengan koneksi politik merupakan perusahaan risk taker.
Perusahaan ini disebut perusahaan risk taker karena sering menggunakan
pengaruhnya untuk mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh
pinjaman lunak (Yoshihara, 1988, dalam Wahab, 2011a). Pinjaman lunak ini
digunakan perusahaan untuk mengatasi krisis yang sedang terjadi karena
perusahaan yang mempunyai koneksi politik kemungkinan mengalami kegagalan
yang lebih besar (Johnson dan Milton, 2003, dalam Gul, 2006).
Penelitian ini dalam menilai ada tidaknya koneksi politik suatu perusahaan
menggunakan proksi ada atau tidaknya kepemilikan langsung oleh pemerintah
pada perusahaan. Kepemilikan pemerintah atas perusahaan akan memberikan
pengaruh terhadap beban pajak perusahaan yang dinilai dari tarif pajak efektif
karena adanya peran pemerintah dalam membuat kebijakan atau peraturan
perpajakan (Handayani, 2013). Pemerintah sebagai pemilik perusahaan
berkepentingan atas perusahaan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dalam
bentuk pengembalian investasi atas perusahaan tersebut dengan salah satu cara
26
menekan pajak yang terutang (Handayani, 2013). Pemerintah juga berperan
sebagai pelaksana kegiatan negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan
penerimaan negara yang digunakan untuk pembangunan negara, memberikan
pelayanan sosial kepada masyarakat, mensejahterakan warga negaranya, dan
sebagainya. Borisova et al (2012) menemukan bahwa kepemilikan pemerintah
atas perusahaan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas tata kelola perusahaan.
Wu et al (2012) menemukan bahwa perusahaan besar di China yang dimiliki
pemerintah memiliki beban pajak lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan
besar yang kepemilikan pemerintahnya kecil.
2.1.8 Penelitian Sebelumnya
Hendy dan Sukartha (2014) meneliti mengenai pengaruh penerapan
corporate governance diukur menggunakan penilaian dalam CGPI, leverage,
return on assets dan ukuran perusahaan pada penghindaran pajak. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa corporate governance, return on assets dan
ukuran perusahaan memiliki pengaruh pada penghindaran pajak sedangkan
leverage tidak memiliki pengaruh pada penghindaran pajak. Persamaan penelitian
sebelumnya dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti variabel leverage
dan ukuran perusahaan. Penelitian ini memiliki tahun amatan yang berbeda dari
penelitan sebelumnya yakni dengan meneliti tiga (3) tahun terbaru yaitu tahun
2012-2014. Pengukuran variabel tax avoidance pada penelitian sebelumnya
menggunakan selisih antara laba akuntansi dan laba fiskal dibagi dengan total aset
perusahaan, sedangkan penelitian ini menggunakan rumus ETR.
27
Maria dan Kurniasih (2014) meneliti tentang pengaruh return on assets,
leverage, corporate governance (diproksikan dengan komposisi komisaris
independen dan keberadaan komite audit), ukuran perusahaan dan kompensasi
rugi fiskal pada tax avoidance. Hasil penelitianya menunjukkan bahwa return on
assets, ukuran perusahaan dan kompensasi rugi fiskal berpengaruh signifikan
secara simultan, namun secara parsial leverage dan corporate governance tidak
berpengaruh signifikan. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini
adalah sama-sama meneliti variabel leverage dan ukuran perusahaan. Penelitian
ini memiliki tahun amatan yang berbeda dari penelitan sebelumnya yakni dengan
meneliti tiga (3) tahun terbaru yaitu tahun 2012-2014. Pengukuran variabel tax
avoidance pada penelitian sebelumnya menggunakan rumus Cash Effective Tax
Rate (CETR), sedangkan penelitian ini menggunakan rumus ETR.
Ardyansah dan Zulaikha (2014) melakukan penelitian mengenai faktor -
faktor yang memengaruhi effective tax rate (ETR). Berdasarkan dari hasil
pengujian hipotesis yang dilakukan diketahui bahwa size, leverage dan komisaris
independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR)
sedangkan profitability dan capital intensity ratio tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective tax rate (ETR). Persamaan penelitian sebelumnya
dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti variabel leverage, ukuran
perusahaan, dan capital intensity ratio. Penelitian ini memiliki tahun amatan yang
berbeda dari penelitan sebelumnya yakni dengan meneliti tiga (3) tahun terbaru
yaitu tahun 2012-2014.
28
Mulyani (2014) meneliti mengenai pengaruh pengaruh karakteristik
perusahaan (diproksikan dengan leverage dan intensitas modal), koneksi politik
dan reformasi perpajakan terhadap penghindaran pajak. Hasil penelitannya
menunjukkan bahwa leverage dan koneksi politik memiliki pengaruh negatif
terhadap penghindaran pajak. Variabel intensitas modal dan reformasi perpajakan
tidak memiliki pengaruh terhadap penghindaran pajak. Persamaan penelitian
sebelumnya dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti variabel leverage,
intensitas modal, dan koneksi politik. Penelitian ini memiliki tahun amatan yang
berbeda dari penelitan sebelumnya yakni dengan meneliti tiga (3) tahun terbaru
yaitu tahun 2012-2014. Pengukuran variabel penghindaran pajak pada penelitian
sebelumnya menggunakan rumus book tax gap, sedangkan penelitian ini
menggunakan rumus ETR.
Swingly dan Sukartha (2015) meneliti mengenai pengaruh karakteristik
eksekutif, komite audit, ukuran perusahaan, leverage dan sales growth pada tax
avoidance. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa karakteristik eksekutif dan
ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif pada tax avoidance, leverage
memiliki pengaruh negatif pada tax avoidance dan sales growth tidak memiliki
pengaruh pada tax avoidance. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian
ini adalah sama-sama meneliti variabel ukuran perusahaan dan leverage.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yakni memiliki tahun
amatan yang berbeda dengan meneliti tiga (3) tahun terbaru yaitu tahun 2012-
2014. Perbedaan lain dalam penelitian ini adalah adanya penggunaan variabel
baru yang belum pernah dikaitkan dengan tax avoidance yakni variabel intensitas
29
aset tetap dan koneksi politik. Berikut adalah ringkasan hasil penelitian
sebelumnya pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pembahasan Penelitian Sebelumnya
No Nama
Peneliti
dan Tahun
Judul Teknik
Analisis Data
Hasil Penelitian
1 Hendy dan
Sukartha
(2014)
Pengaruh Penerapan
Corporate
Governance,
Leverage, Return On
Assets dan Ukuran
Perusahaan Pada
Penghindaran Pajak
Analisis
Regresi Linear
Berganda
Corporate Governance
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak, Leverage
tidak berpengaruh terhadap
penghindaran pajak, ROA
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak, dan
ukuran perusahaan
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak.
2 Maria dan
Kurniasih
(2014)
Pengaruh Return On
Assets, Leverage,
Corporate
Governance, Ukuran
Perusahaan dan
Kompensasi Rugi
Fiskal Pada Tax
Avoidance
Analisis
Regresi Linear
Berganda
Melalui Model
Ordinary Least
Square (OLS)
Return On Assets, Ukuran
Perusahaan dan Kompensasi
Rugi Fiskal berpengaruh
signifikan secara simultan,
namun secara parsial Leverage
dan Corporate Governance
tidak berpengaruh signifikan.
3 Ardyansah
dan
Zulaikha
(2014)
Pengaruh Size,
Leverage,
Profitability, Capital
Intensity Ratio dan
Komisaris
Independen
Terhadap Effective
Tax Rate (ETR)
Analisis
Multivariate
dengan
Menggunakan
Regresi
Berganda
Size memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective
tax rate (ETR), Leverage tidak
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective
tax rate (ETR), Profitability
tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective
tax rate (ETR), Capital
Intensity Ratio tidak memiliki
pengaruh yang signifikan
terhadap effective tax rate
(ETR), Komisaris Independen
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective
tax rate (ETR).
30
4 Mulyani
(2014)
Pengaruh
Karakteristik
Perusahaan, Koneksi
Politik, dan
Reformasi
Perpajakan terhadap
Penghindaran Pajak
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Leverage dan Koneksi Politik
memiliki pengaruh negatif
terhadap Penghindaran Pajak.
Variabel Intensitas Modal dan
Reformasi Perpajakan tidak
berpengaruh terhadap
Penghindaran Pajak.
5 Swingly
dan
Sukartha
(2015)
Pengaruh
Karakteristik
Eksekutif, Komite
Audit, Ukuran
Perusahaan,
Leverage dan Sales
Growth pada Tax
Avoidance
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Karakter Eksekutif dan Ukuran
Perusahaan berpengaruh positif
pada Tax Avoidance sedangkan
Leverage berpengaruh negatif
pada Tax Avoidance. Variabel
Komite Audit dan Sales
Growth tidak berpengaruh
pada Tax Avoidance.
Sumber: Data diolah, 2015
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Leverage terhadap Tax Avoidance
Kebijakan pendanaan suatu perusahaan akan memengaruhi tarif pajak
efektif karena memiliki perlakuan yang berbeda terkait dengan struktur modal
suatu perusahaan (Gupta dan Newberry, 1997 dalam Lestari 2010). Karena tarif
pajak efektif juga merupakan proksi pengukuran penghindaran pajak, maka
kebijakan pendanaan pun berpengaruh pada penghindaran pajak yang dilakukan
perusahaan.
Salah satu kebijakan pendanaan adalah dengan hutang atau leverage
merupakan tingkat utang yang digunakan perusahaan dalam melakukan
pembiayaan. Perusahaan yang menggunakan utang pada komposisi pembiayaan,
maka akan ada beban bunga yang harus dibayar. Semakin tinggi nilai rasio
leverage maka semakin tinggi pula jumlah pendanaan dari utang pihak ketiga
yang digunakan perusahaan dan semakin tinggi pula biaya bunga yang timbul dari
31
utang tersebut. Biaya bunga yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh
berkurangnya beban pajak perusahaan. Semakin tinggi nilai utang perusahaan
maka nilai ETR perusahaan akan semakin rendah (Richardson dan Lanis, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut.
H1: Leverage berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
2.2.2 Pengaruh Intensitas Aset Tetap terhadap Tax Avoidance
Intensitas aset tetap perusahaan menggambarkan banyaknya investasi
perusahaan terhadap aset tetap perusahaan. Kepemilikan aset tetap dapat
mengurangi pembayaran pajak yang dibayarkan perusahaan karena adanya
biaya depresiasi yang melekat pada aset tetap. Biaya depresiasi dapat
dimanfaatkan oleh manajer sebagai agen untuk meminimumkan pajak yang
dibayarkan perusahaan. Manajemen akan melakukan investasi aset tetap dengan
cara menggunakan dana mengganggur perusahaan untuk mendapatkan
keuntungan berupa biaya depresiasi yang berguna sebagai pengurang pajak
(Darmadi, 2013). Dengan biaya depresiasi ini, manajemen dapat meningkatkan
pemberian kompensasi karena telah meningkatkan kinerja perusahaan.
Rodiguez dan Arias (2012) menyebutkan bahwa aset tetap yang dimiliki
perusahaan memungkinkan perusahaan untuk memotong pajak akibat depresiasi
dari aset tetap setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan
tingkat aset tetap yang tinggi memiliki beban pajak yang lebih rendah
dibandingkan perusahaan yang mempunyai aset tetap yang rendah. Perusahaan
32
yang lebih menekankan pada investasi berupa aset tetap akan memiliki tarif
pajak efektif yang rendah (Gupta dan Newberry, 1997).
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah.
H2: Intensitas aset tetap berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
2.2.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Tax Avoidance
Perusahaan yang termasuk dalam skala perusahaan besar akan mempunyai
sumber daya yang berlimpah yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Tahap kedewasaan perusahaan ditentukan berdasarkan total aset, semakin besar
total aset menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek baik dalam jangka
waktu yang relatif panjang. Hal ini juga menggambarkan bahwa perusahaan lebih
stabil dan lebih mampu dalam menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan
total aset yang kecil (Indriani, 2005 dalam Rachmawati dan Triatmoko, 2007).
Berdasarkan teori agensi, sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dapat
digunakan oleh agent untuk memaksimalkan kompensasi kinerja agent, yaitu
dengan cara menekan beban pajak perusahaan untuk memaksimalkan kinerja
perusahaan. Teori biaya politik menjelaskan bahwa perusahaan besar cenderung
untuk tidak melakukan penghindaran pajak karena perusahaan besar akan menjadi
sorotan pemerintah. Teori kekuasaan politik memberikan arti yang berlawanan,
yakni perusahaan besar akan lebih agresif untuk melakukan penghindaran pajak
agar mencapai penghematan beban pajak yang optimal.
Derashid dan Zhang (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang termasuk
dalam skala besar membayar pajak lebih rendah dibandingkan perusahaan yang
33
berskala kecil. Semakin besar perusahaan maka akan semakin besar juga
sumber daya yang dimilikinya, sehingga perusahaan besar lebih mampu untuk
membuat suatu perencanaan pajak yang baik dan lobi politik. Sama seperti
penelitian yang dilakukan oleh Rodriguez dan Arias (2012) menyatakan bahwa
perusahaan besar cenderung memiliki ruang lebih besar untuk perencanaan
pajak yang baik dan mengadopsi praktek akuntansi yang efektif untuk
menurunkan ETR perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah.
H3: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
2.2.4 Pengaruh Koneksi Politik terhadap Tax Avoidance
Faccio (2006) menjelaskan bahwa perusahaan dianggap memiliki koneksi
secara politik jika setidaknya salah satu pemegang saham yang besar (seseorang
yang mengendalikan setidaknya 10% dari total saham dengan hak suara) atau
salah satu pimpinan perusahaan (CEO, presiden, wakil presiden, ketua atau
sekretaris) adalah anggota parlemen, menteri, atau orang yang berkaitan erat
dengan politikus atas atau partai politik. Koneksi politik juga dapat dilihat dari
ada atau tidaknya kepemilikan langsung oleh pemerintah pada perusahaan
(Fatharani, 2012). Penelitian ini dalam menilai ada tidaknya koneksi politik suatu
perusahaan menggunakan proksi ada atau tidaknya kepemilikan langsung oleh
pemerintah pada perusahaan.
Perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah akan terdapat hubungan yang
sangat dekat antara pemerintah dengan perusahaan. Pemerintah sebagai pemilik
34
perusahaan berkepentingan atas perusahaan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan dalam bentuk pengembalian investasi atas perusahaan tersebut
dengan salah satu cara menekan pajak yang terutang (Handayani, 2013).
Pemerintah juga berperan sebagai pelaksana kegiatan negara memiliki
kewajiban untuk meningkatkan penerimaan negara yang digunakan untuk
pembangunan negara, memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat,
mensejahterakan warga negaranya, dan sebagainya. Berdasarkan dua kondisi
tersebut, akan muncul konflik pada diri pemerintah itu sendiri, yaitu dari sisi
peran pemerintah sebagai pemilik dan perannya sebagai penyelenggara kegiatan
negara. Penelitian yang dilakukan oleh Handayani dan Wulandari (2014)
tentang pengaruh kepemilikan pemerintah terhadap tarif pajak efektif
perusahaan. Mayoritas saham perusahaan yang dimiliki pemerintah
berpengaruh negatif terhadap tarif pajak efektif. Semakin tinggi kepemilikan
pemerintah maka akan semakin rendah tarif pajak efektif perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah.
H4: Koneksi politik berpengaruh positif terhadap tax avoidance.