13 BAB II 2.1 Pengertian Wacana -...
Transcript of 13 BAB II 2.1 Pengertian Wacana -...
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Wacana
Wacana yang dalam bahasa Ingris disebut discourse, merupakan rekaman
peristiwa yang utuh tentang komunikasi. Biasanya wacana merupakan unit
kebahasaan yang labih besar dari pada kalimat dan klausa dan mempunyai
hubungan antara unit kebahasaan yang satu dengan yang lain (Busri: 2010).
Banyak dan berbagai macam devinisi tentang wacana telah dibuat orang.
Namun, dari sekian banyak devinisi dan berbeda-beda itu, pada dasarnya
menekankan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, sehingga dalam
hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Chaer,
2007: 267).
Menurut Alwi dkk (2003: 419) wacana adalah rentatan kalimat yang
berkaitan yang menghubungkan proporsisi yang satu dengan proporsisi yang lain
dan membentuk satu kesatuan. Alwi dkk juga menyatakan bahwa untuk
membicarakan sebuah wacana dibutuhkan pengetahuan tentang kalimat, jadi
ketika seoarang peneliti ingin meneliti tentang wacana maka peneliti wajib
paham tentang ilmu kalimat atau yang lebih dikenal dengan sebutan sintaksis.
Wacana merupakan suatu peristiwa yang terstruktur yang dimanifestasikan
dalam perilaku linguistik (atau lainnya). Wacana dapat juga dikatakan
seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan kedaan suatu
kepaduan atau rasa kohesi bagi pendengat atau pembaca. Kohesi atau kepaduan
itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang
13
14
dirasakan oleh pendengar atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan
wacana tersebut
Peristiwa komunikasi yang berupa wacana, dapat dibedakan berdasarkan
saluran yang digunakan atau pun berdasarkan hal yang dipentingkan. Berdasarkan
sarana yang disalurkan ada wacana yang menggunakan bahasa lisan (spoken
discourse) ada wacana yang menggunakan bahasa tulis (written discaurse).
Berdasarkan hal yang dipentingkan ada wacana yang bersifat transaksional, jika
yang dipentingkan isi komunkasi itu ada wacana yang bersifat interaksional, jika
yang dipentingkan hubungan timbal balik (Budiman, 2004: 1).
2.2 Klasifikasi Wacana
2.2.1 Wacana Berdasarkan Bentuk
Para ahli telah membuat penjelasan tentang wacana secara beragam,
demikian pula halnya apabila mengklafikasikan sebuag wacana. Berdasarkan
bentuknya atau jenisnya, wacana dibedakan menjadi wacana deskriptif, naratif,
ekspositoris, persuasif dan argumentatif (Darma, 2014:27).
a. Wacana Deskripsi (Pemerian)
Deskripsi adalah ragam wacana yang melukiskan atau menggambarkan
sesuatu yang berdasarkan kesan-kesan dari pengamatan, pengalaman perasaan
penulisnya. Sasaranya adalah menciptakan atau memungkinkan terciptnya daya
khayal (imajinasi) pembaca sehingga dia seolah-olah melihat, mengalami, dan
merasakan apa sendiri apa yang ditulis. Deskripsi adalah suatu bentuk wacana
yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga pembaca
dapat mencintrai (melihat, mendengar, mencium, dan merasakan) apa yang
15
dilukiskan itu sesuai dengan cintra penuliisanya. Wacana ini memberikan
bermakusd menyampaikan kesan-kesan tentang sesuatu, dengan sifat gerak -
geriknya, atau sesuatu yang lain kepada pembaca (Darma, 2014:27).
b. Wacana Narasai (Penceritaan atau Pengisaha)
wacana narasi (Pencintraan atau pengisahan) adalah ragam wacana yang
menceritakan proses kejadian suatu peristiwa. Wacana ini berusaha
menyampaikan urutan terjadinya (kronologis), dengan memberikan arti sebuah
kajian atau serentetan kejadian, dan agar pembaca memetik hikmah dari cerita
itu. Sasaranya adalah memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya kepada
pembeca menegenai fase, langkah urutan, atau rangkaian terjadinya sesuatu hal
(Darma, 2014: 34).
Darma (2014: 35) mengatakan tujuan wacana narasi secara fundamental
ada dua, yaitu Pertama hendak memberikan informasi atau wawasan dan
memperluas pengetahuan pembaca, kedua hendak memberikan pengalaman
elastis kepada pembaca. Tujuan Pertama menghasilkan jenis narasi informasional
atau narasi ekspotoris dan tujan kedua menghasilkan jenis narasi artistis atau
narasi sugestif.
c.Wacana Eksposisi (paparan)
Wacana eksposisi adalah wacana yang dimaksudkan untuk menerangkan,
menyanpaikan, atau menguraikan sesuatu hal yang dapat memperluas atau
menambah pengetahuan dan pandangan pembacanya. Sasaranya adalah
menginformasikan sesuatu tampa ada maksud mempengaruhi pikiran, perasaan,
16
dan sikap pembecanya. Fakta dan ilustrasi yang disampaikan penulis sekedar
memperjelas apa yang akan disampaikan (Darma, 2014: 35).
Darma (2014:35) mengatakan tujuan wacana ekposisi adalah untuk
memberitahu, mengupas, menguraikan atau menerangkan sesuatu. Dalam wacana
eksposisi masalah yang dikomunikasikan terutama informasi. Informasi dapat
berupa data faktual, suatu analisis atau suatu penafsiran yang objektif terhadap
seperangkat fakta, dan mungkin sekali berupa fakta tentang seseorang yang
berpegang teguh pada pendirian yang hkusus, yang harus selalau kita ingat adalah
bahwa tujuan utama wacana eksposisi itu semata-mata untuk membagikan
informasi, dan sama sekali tidak mempengaruhi pembaca.
d. Wacana Persuasi
Persuasi adalah ragam wacana yang ditujukan untuk mempengaruhi sikap
dan pendapat pembaca mengenai suatu hal yang disampaikan penulisnya (Darma,
2014: 37). Berbeda daengan argumentasi yang pendekatanya bersifat rasional dan
diarahkan untuk mencapai kebenaran, persuasi lebih menggunakan pendekatan
emosional, seperti argumentasi, persuasi juga menggunakan bukti atau fakta.
Hanya saja dalam persuasi bukti-bukti itu digunakan seperlunya atau kadang-
kadang dimanipulasi untuk menimbulkan kepercayaan pada diri pembaca bahwa
apa yang disampailam penulis itu benar.
Wacana persuasif adalah wacana yang berisi paparan berdaya–bujuk,
atau pun berdaya-himbau yang dapat membengkitkan ketergiuran pembaca untuk
menyakini dan menuruti himbauan implicit maupun eksplisit yang di lontarkan
oleh penulis. Dari pengertian persuasi tersebut, tentunya sudah bisa di gunakan
17
persuasi dengan argumentasi. Logika merupakan unsur primer dalam wacana
argumentasi. Sebaliknya dalam wacana persuasi, di samping logika, perasaan
juga memegang perang penting. Keterlibatan unsur logika dalam wacana persuasi
itu menyebabkan persuasi sering menggunakan prinsip-prinsip argumentasi.
Sebaliknya, kita akan bisa menenrima ide orang lain itu atau ide itu tidak di sertai
penalaran. Oleh karena itu, struktur wacana persuasi kadang-kadang sama dengan
wacana argumentasi, tetapi diksinya berbeda. Diksi wacana argumentasi mencari
efek tanggapan penalaran, sedangkan diksi wacanapersuasi mencari efek
tanggapan emosional.
Disamping itu, wacana argumentasi memiliki ciri khas ialah wacana yang
berupaya membuktikan suatu kebenaran sebagi di gariskan dala proses penalaran
penulis. Sebaliknya persuasi berupaya ,mencapai suatu persetujuan atau
persesuaian kehendak penulis dengan pembaca, ia merupakan proses untuk
menyakinkan pembacanya supaya pembaca mau menerima apa yang di inginkan
penulis.
2.2.2 Wacana Berdasarkan Media Penyampaianya
1) Wacana Tulis
Mulyana (2005: 51) mengatakan wacana tulis adalah jenis wacana yang
disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat
dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai saat ini, tulisan masih
merupakan media yang sangat efektif dan efesien untuk menyampaikan berbagai
gagasan, wawasan ilmu pengetahuan, atau apapun yang mewakili kreativitas
manusia.
18
2) Wacana Lisan
Mulyana (2005: 52) mengatakan wacana lisan adalah jenis wacana yang
disampaikan secara lisan atau langsung secara verbal. Jenis wacana ini sering
disebut tuturan atau ujaran. Willi Emonsend (dalam Mulyana, 2005: 52) dalam
bukunya yang berjudul spoken discourse (wacana lisan) secara tidak langsung
menyebutkan bahwa wacana lisan memiliki kelebihan dibanding wacana tulis.
Beberapa kelebihan diantaranya; bersifat salami (natural) dan langsung,
mengandung unsur-unsur prosidi bahas (lagu, intonasi), memiliki sifat
suprasential ( di atas sruktur kalimat), dan berlatar kontekstual.
2.2.3 Wacana Berdasarkan Jumlah Penutur
a) Wacana Dialog
Mulyana (2005: 53) mengatakan wacana dialog adalah jenis wacana yang
dituturkan oleh dua oarang atau lebih. Jenis wacana ini bisa berbentuk tulis
ataupun lisan. Darma (2014:40) menjelaskan wacana dialog adalah wacana yang
dibentuk oleh percakapan atau pembicaraan dalam telepon, wawancara, teks
drama, dan sebaginya. Ada sepuluh unsur aspek pengkajian percakapan dengan
tambahan unsur kohesi dan koherensi. Komponen analisis meliputi analisis
wacana dialog, yang membahas unsur dialog, seperti unsur kerja sama
percakapan, tindak tutur (speech acts), penggalan percakapan (adjency pairs),
pembukaan dan penutupoan percakapan, percakapan lanjutan (repairs), sifat
rangkaian perbuatan, unsur tata bahasa percakapan, ahli kode, (code switch),
giliran Percakapan, (trun talking), dan topik percakapan.
19
b) Wacana Monolog
Mulyana (2005: 53) menjelaskan wacana monolog adalah jenis wacana
yang dituturkan oleh satu orang. Umumnya, wacana monolog tidak menghendaki
dan tidak menyediakan alokasi waktu terhadap respon pendengar dan
pembacanya. Penuturanya bersifat satu arah dan tidak memihak penutur. Beberapa
bentuk wacana monolog anatara lain adalah pidato, pembaca puisi, khotbah
jumat, pembaca berita dan sebagainya.
2.3 Unsur Pendukung Wacana
2.3.1 Kata
Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap
kata berdasarkan arti ototnografi. Menurtu mereka kata adalah satuan bahasa yang
memiliki satu pengertia; atau kata adalah dereten huruf yang diapit oleh dua buah
spasi, dan mempunyai satu arti (Chaer, 2007:162).
Dalam tataran morfologi kata merupakan satuan terbesar (satuan
terkecilnya morfem); dalam tataran sintaksis kata adalah satuan terkecil, yang
secara hierarki menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar,
yaitu frase. Kata sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubunganya
dengan unsur-unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frase,
klausa, dan klimat (Chaer, 2007:219).
2.3.2 Frase
Frase adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak prekatif;
gabunga itu dapat rapat, dapat renggang (Kridalaksana, 2011:66). Frase lazim
didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat
20
nonprodukatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisisisalah satu
fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 2007:229).
2.3.3 Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa sekelompok kata yang
sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan mempunyai potensi
untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 2011:124).
Klausa adalah satuan sintaksis yang berupa runtutan kata-kata
berkonstuksi predekatif. Artinya di dalam rekontroksi itu ada komponen, berupa
kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain sebagai objek. Dan
sebagai keterangan. Selain berfungsi sebagai predikat yang harus ada dalam
rekontroksi klausa ini. Fungsi subjek boleh dikata wajib.
2.3.4 Kalimat
Satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi
final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa (Kridalaksana,
2011:103). Kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan, atau tulisan,
yang mengungkup pikiran yang utuh . dalam wujud lisan, kalimat diucapkan suara
naik turun, dan keras lebur, disela jeda, dan diakhiri yang dikuti oleh kesenyapan
yang mencengah terjadi perpaduan atupun asimilisasi bunyi ataupun proses
mofologi lainya. Dalalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru;
sementera di dalamnya disertakan pula seperti tanda baca komo, titik dua, tanda
pisah, dan spasi. Tanda titik, tanda tanya dan tanda seru sepadan dengan dengan
intonasi akhir. Sedangkan tanda baca lain sepadan dengan dengan jeda, spasi
21
mengikuti tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru sebagai kesenyapan. Wacana
akan terbentuk jika ada dua awacana atau lebih, yang letaknya berurutan
berdasarkan kaidah kewacanaan (Alwi, Hasan, dkk. 2003: 311).
2.4 Syarat Wacana Yang Baik
Kridalaksana (2011: 259) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan
bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar. Pembahasan berikutnya adalah mengenai persyaratan
terbentuknya wacana. Setelah mengetahui pengertian-pengerti awacana dari para
ahli, maka persayaratan wacana juga akan diketahui. Misalnya saja dari Tarigan
(2009: 19) yang menyebutkan wacana ialah satuan bahasa yang terlengkap dan
tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi
yang tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata
disampaikan secara lisan dan tertulis. Dari pengertian ini sudah diketahui bahwa
wacana memiliki syarat dari ungkapan “dengan koherensi dan kohesi yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata,” dapat ditemukan
syarat, yakni koherensi dan kohesi.
Akan tetapi itu saja tidak cukup untuk memenuhi syarat dari
terbentuknya wacana. Oka dan Suparno (dalam Khusumuddin, 2015)
menyebutkan jika wacana akan terbentuk bila memenuhi tiga syarat pokok, yakni
topik, tuturan pengungkap topik, serta kohesi dan koherensi. Sedangkan menurut
Widowson (dalam Khusumuddin, 2015) wacana mempunyai dua hal penting,
yaitu proposisi (sejajar dengan topik) dan tindak tutur (tuturan pengungkap topik).
Berikut ini penjabaran beberapa hal yang menjadi prasyaratan wacana.
22
a. Topik
Sebuah wacana mengungkapkan satu bahasan atau gagasan. Gagasan
tersebut akan diurai, membentuk serangkaian penjelasan tetapi tetap merujuk pada
satu topik. Sehingga topik yang diangkat atau yang dimaksud memberikan suatu
tujuan.
b. Kohesi dan Koherensi
Sebuah wacana biasanya ditata secara serasi dan ada kepaduan antara
unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana (kohesi), sehingga tercipta
pengertian yang baik (koherensi).
c. Proporsional
Prosorsional yang dimaksud ialah keseimbangan dalam makna yang ingin
dijabarkan dalam wacana, atau makna yang terdapat dalam wacana, ialah
seimbang.
d. Tuturan
Tuturan yang dimaksud adalah pengungkapan suatu topik yang ada dalam
wacana. Baik tutur tulis atau tutur lisan. tuturan kaitannya menjelaskan suatu
topik yang terdapat dalam wacana dengan tetap adanya kohesi dan koherensi yang
proporsional di dalamnya.
2.5 Kohesi Gramatikal
Kohesi dalam wacana diartiakan sebagai kepaduan bentuk yang secara
sruktural digunakan untuk membentuk ikatan sintaktikal. Konsep kohesi pada
dasarnya mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata
atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki
23
keterkaiatan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk dalam
aspek sruktur internal sruktur wacana. (Mulyana, 2005:26).
Menurut Tarigan (2009:93) kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam
wacana, dengam demikian, jelaslah bahwa kohesi merupakan organisasi
sintaksis, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat unyuk
menghasilkan tuturan. Hal ini berarti kohesi adalah hubungan antar kalimat
dalam sebuah wacana, baik dalam starata gramatikal maupun dalam starata
leksikal Gutwisky ( dalam Tarigan, 2009:93)
Gramatikal suatu wacana merupakan analisi wacana dari segi bentuk atau
struktur lahir wacana. Analisis wacana dari aspek gramatikal atau kohesi
gramatikal meliputi referensi (pengacuan), substitusi (penggantian), elipsis
(pelesapan), deksis dan konjungsi (perangkaian).
2.5.1 Referensi
Mulyana (2005: 144) mengatakan referensi berarti sistem penunjukan atau
acuaan. Yaitu unsur atau bagian yang satu menunjuk kebagian lainya. Pola
penunjukan ini bersifat anaforis dan kataforis. Anafora artinya menunjuk ke
unsur yang disebutkan sebelumnya. Katafora menunjuk ke unsur yang akan
disebutkan kemudian.
Menurut Halliday dan Hasan (dalam Arifin, 2012:22) membagi referensi
menjadi dua yaitu, referensi eksofora dan referensi endofora.
1. Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap anteseden di luar bahasa
seperti manusia, hewan, alam sekitar pada umumnya atau acuan kegiatan.
(Rani dkk dalam Siregar, 2009).
24
Contoh: Mobil saya kehabisan bensin, dia yang mengisinyaPada contoh di atas dia merujuk pada seseorang yang bereda di luar
bahasa atau yang tidak mempunyai rujukan bahasa.
2. Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di
dalam teks. (Rani dkk dalam Siregar, 2009). Endofora dibedakan menjadi
dua, yaitu referensi anafora dan referensi katafora. Referensi anafora
adalah hal atau fungsi yang menunjuk kembali kepada sesuatu yang telah
disebutkan sebelumnya dalam kalimat atau wacana (Kridalaksana,
2011:13).
Contoh: Nadia hari ini tidak masuk kuliah. Ia ikut ibunya pergi keSurabaya.
Pada contok di atas Ia mengacu pada Nadia yang didepanya.
Referensi katafora adalah referensi yang diacu (anteseden) yang dituturkan
sesudah pronomina (Siregar, 2009).
Contoh: Seperti kulitnya mata Nadia juga khas
Pada contok diatas nya mengacu pada enteseden Nadia yang terdapat
pada klausa kedua klimat tersebut.
Djajasudarma (2010:49) mengatakan referensi dalam analisis wacana harus
dipertimbangkan sebagai sikap atau langkah pembicara dan penulis. Referensi
dapat berupa endofora (anafora dan katafora) dan eksfora. Endefora bersifat
tekstual, referensi (acuan) ada didalam teks, sedangkan eksfora bersifat situsional
(acuan atau referensi berada di luar teks). Endofora terbagi atas anafora dan
katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuan (referensi). Anafora merujuk silang
pada unsur yang disebutkan terdahulu, anafora menujuk silang pada unsur yang
disebutkan kemudian.
25
Eksfora memilik hubungan dengan interpentasi kata melalui situasi
(kekadaan, peristiwa, dan proses). Interpentasi yang terlatak di dalam teks itu
sendiri disebut endofora. Anafora lebih berupaya dalam bahasa untuk membuat
rujuk silang dengan kata (unsur) yang disebutkan (sebelumnya) upaya yang
digunakan dapat berupa nomina, sedangkan dipahami sebagai upaya untuk
membuat rujukan dengan hal kalimat (unsur) yang dinyatakan. Unsur yang
disebutkan terdahulu akan merujuk silang pada unsur yang akan disebutkan
kemudian.
Mujianto (2010:82) menambahkan referensi atau pengacuan sebenarnya
juga dapat mengacu ke acuan yang ada di luar teks (yang disebut eksofora),
namun kalau demikan referensi (eksofora) tidak merupakan bagian dari sarana
kohesi walaupun tentu saja merupakan bagian dari koherensi. Sebagai sarana
kohesi, referensi mengacu kepada bagian lain teks (yang disebut endofora), baik
yang ada sebelumnya (yang disebut endofora), baik yang ada sebelumya, (yang
disebut anafora) atau kadang-kadang kebegian teks sesudahnya (yang disebut
katafora).
Kata-kata yang digunakan untuk melakukan referensi (pengacuan)
meliputi berbagai jenis pronomina, terutama pronomina persona dan pronomona
penunjuk. Dalam bahasa Indonesia, pronomina persona diperinci sebagai berikut:
26
Jenis Bentuk
Tunggal Jamak
Persona Pertama saya, aku kami, kita
Persona Kedua Kamu, engkau, anda kalian, kamu sekalian
Persona Ketiga dia, ia, beliau Mereka
(Arifin, 2012: 25)
Dalam bahasa Indonesia, pronomina penunjuk ada tiga macam, yaitu:
1. pronomina penunjuk umum yakni: ini, itu dan anu
2. pronomina penunjuk tempat yakni: sini, disitu, disana, disini
3. pronomina penunjuk ikhwal yakni: begitu dan demikian ( Siregar, 2009).
2.5.2 Substitusi
Substitusi merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal. Substitusi
merupakan suatu unsur gramatikal yang menyatakan hubungan antarkata dan
bukan hubungan dalam makna. Ini berarti butir substitusi mempunyai fungsi
struktural yang sama dengan apa yang digantikannya dan dapat diganti oleh butir
interpretasi (Parera dalam Apriliadi 2012). Substitusi merupakan salah satu sarana
untuk menciptakan hubungan kohesif tanpa melakukan pengulangan pada unsur
bahasa yang sama. Hal demikian terjadi karena penggantian dilakukan pada
unsur-unsur bahasa yang memiliki makna yang berbeda namun mengacu pada
referent yang sama.
Substitusi adalah proses atau penggantian unsur bahasa oleh unsur lain
dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau
27
untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana dalam Apriliadi, 2012)
Substitusi merupakan suatu bentuk penggantian antara unsur bahasa yang satu
dengan unsur bahasa yang lain sehingga menjadikan suatu wacana menjadi
kohesif dan koheren. Substitusi merupakan hubungan gramatikal, dan lebih
bersifat hubungan kata dan makna (Junaiyah dan Arifin dalam Apriliadi, 2012)
Mulyana (2005: 144) mengatakan substitusi adalah pola penggantian
unsur. Artinya, unsur yang satu digantikan dengan unsur yang lainnya.
Penggantian dimaksudkan antara lain untuk evesiensi dan ektivitas bahasa. Lebih
dari itu, sebagian substitusi sengaja digunakan penulis wacana untuk memperoleh
efek variatif dalam berbahasa. Penggantian dikenal sebagai substitusi.
Penggantian adalah pertukaran bagi segmen kata, frase atau klausa oleh kata yang
lainya. Penggantian ini juga ada penggantian nomina, penggantian verba, dan
penggantianklausa (Darama, 2014: 57).
Contoh: Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulissampaikan kepada pembingbing srikipsi, yaitu Porf. Dr. Suwardi danDr. Afendi widayat, M.A. Atas bimbingan beliau berdua penuis mampumenyelesaikan Skripsi ddengan baik.
Frase beliau berdua pada kalimat kedua merupakan bentuk yang
menggantikan unsur lain yang disebutkan sebelumya yaitu pembimbing skripsi.
Pola penggantian itu menyebabkan kedua kalimat tersebut berkaitan secara
kohesif.
2.5.2.1 Jenis-jenis Substitusi
1) Substitusi Nominal
Substitusi nominal, yaitu penggantian satuan lingual yang berkategori
nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori sama.
28
Substitusi nominal adalah substitusi suatu nomina, baik leksikal, maupun frasal,
dengan nomina lain, baik leksikal maupun fasal (Halliday dan Hasan dalam
Arifin, 2012: 34). Substitusi nomina leksikal adalah unsur tersulihnya adalah
nomina, sedangkan penyulihanya mumgkin berupa nomina mungkin juga berupa
frase nomina. Contoh substitusi dengan unsur tersulihnya berupa nomina:
(1) Sibuk sendiri Udin menangkap kecoak yang bersarang dalam kompordengan kertas koran yang dilipat-lipat. (2) Satu saja belum dapat yanglainya sudah berlarian terus bersembunyi di belakang bupet. Nominakecoak pada (a) disulih oleh yang lainya pada (b) secara anaforis. Nominakecoak dalam (1) dan bentuk yang lainya dalam (2) tidak mengacu padaacuan yang sama melainkan ke spesies yang sama, yaitu kecoak.
Substitusi nomina frasal adalah unsur tersulihnys berupa frase nominal,
sedangkan penyulihanya mungkin nomina, mungkin numeralia, mungkin juga
frase nominal, atau frase dengan kata penyerta yang. Contoh:
(1) “ Baiklah, Ibu. (2) sudahkah siap segala alat perkakasnya?” (3) “sudah, Asri; sekalinya sudah disiapkan oleh Asnah, dan segala karib-bait,ipar-besan kita sudah dipanggilnya belaka. (4) Sebagaimana kau lihatsetengahnya sudah bermalam di sini. (5) Yang lain-lain tentu datangsebentar lagi. “(N. St. Iskandar Salah Pilih Hal. 73)
Dalam contoh di atas kata sekalinya pada (3) menggantikan frase alat
perkakasnya pada (2). Frase numeralia setengahnya dalam (4) dan Yang lain-lain
dalam (5) menggantikan frase segala karib-bait, ipar-besan kita pada (3)
Contoh lain: (1) ” Menurut keterangan Kyai Bondan, hanya dua orang yangmemperoleh jurus terakhir itu. (2) Yang seorang aku tahu, orang yangmenangkapku sewaktu aku merampok Ndara Asisten Wedeno Baturetno.(3) Yang lain aku todak tahu,” (Pandir Kelana. Suro Buldog, Hal. 73).
Dalam contoh di atas kata yang lain dalam kalimat (3) Yang lain
menggantikan frase hanya dua orang yang memperoleh jurus terakhir itu pada
kalimat (1).
29
2) Substitusi Verbal
Substitusi verbal merupakan penggantian satuan lingual yang berkategori
verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba.
Substitusi verbal adalah substitusi suatu verba, baik leksikal, maupun
frasal, dengan verba lain, baik leksikal maupun fasal (Halliday dan Hasan dalam
Arifin, 2012: 35). Substitusi verba leksikal adalah substitusi yang unsur
tersulihnya berupa frase verbal mungkin juga berupa verba dengan kata-kata lain
seperti sama, demikan, dan begitu. Contoh:
(1) Ketika masih bocah, kulihat anak-anak berenang di sungaidengan telanjang bulat. (2) Aku pun melakukan hal yang sama.
Leksem verba berenang pada (1) disulih oleh frase verbal melakukan hal
yang sama pada (2) secara kataforis. Adapun substitusi verba frasal unsur
tersulihnya berupa frasa verbal, sedangkan penyulihanya mungkin berupa frasa
verbamungkin juga berupa verba.
(1) Keesokan harinya saya harus bisa memberikan kepestian. (2)Saya harus menerima kasih sayangnya.
Frase verbal harus bisa memberikan kepestian pada (a) disulih oleh frasa
verbal juga, yaitu harus menerima kasih sayangnya pada (b) secara kataforis.
3) Substitusi Frasal
Substitusi frasal yaitu penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata
atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Substitusi frasal ini
misalnya tampak pada wacana di bawah ini.
Djo Koplak dan Ali Djohamzah kebagian KKN di daerah Rembang. Semulakeduanya tenang-tenang saja, tapi begitu ditempatkan di daerah Terjanbarulah keduanya nyengir. Selain daerahnya gersang, sepi, setiap harimereka hamper dipastikan tajk ketemu sayur-mayur, itu yang membuat Ali
30
lemas, karena dia terbiasa dengan menu sayur-mayur, kini berubah denganmenu ikan laut.Tidak itu saja, di desa tempat mereka KKN, keduanya dianggap orangsuper, bias mngatasi segalanya, bahkan ada yang menganggapnya sakti,bisa mengobati, dan lainnya. Tentu saja hal ini membuat repot dua sahabatitu. Sering keduanya direpotkan hal-hal yang di luar dugaan.
frasa Djo Koplak dan Ali Djohamzah yang terletak pada kalimat pertama
paragraf pertama disubstitusi dengan frase dua sahabat pada kalimat kedua
paragraf kedua.
4) Substitusi Klausa
Substitusi klausa adalah penggantian klausa dengan kata-kata yang
menunjukkan kesamaan seperti demikan, atau begitu. Substitusi klausal
menggantikan seluruh klausa yang disebut sebelumnya baik secara positif (Arifin,
2012:35). Contoh:
(1) “Astaga ! Kalau begitu hari sudah pukul ....ya baik lah, ibu. (2) Segerasaya datang.” (3) Setelah berkata demekian, Asnah pun segera menukarpakaianya dengan pakaian sehari-hari di dalam rumah (N. St. IskandarSalah Pilih Hal. 83)
Dalam kalimat (3) terdapat frase berkata demekian menggantikan seluruh
klausa pada (1) dan (2), contoh lain:
(1) Dik Pran, aku yang murtad, murid yang berhianat. (2) Aku perampok,pembunuh, “ kata Mudasir penuh penyesalan. (3) “ Jangan begitu, kang. (4)masih banyak kesempatan untuk memperbaiki diri, “aku menanggapi.(Pandir Kelana. Suro Buldog, Hal. 73)
Dalam contoh di atas terdapat kata begitu pada kalimat (3) menggantikan
seluruh klausa pada (1) dan (2).
5) Substitusi dengan Metafora
Penyulihan lain dalam wacana bahasa Indonesia adalah substitusi melalui
metafora. Bahwa substitusi macam ini mempunyai konteks tertentu dapat
31
dimaklumi karena tidak setiap hal dapat dinyatakan dengan metafora. Ungkapan
memerangi kebodohan umpamanya, merupakan hubungan forik antara verba
memerangi dan kebodohan karena kebodohan dianggap sebagai musuh. Jadi,
metafora ialah cara menyatakan sesuatu dengan memakai kata atau frase yang
artinya berbeda benar dari arti yang biasa. Contoh:
(1) Jika Halimah tumbuh menjadi gadis cantik, hal itu tidak mengherankan,karena ibunya dulu juga bunga SMA kami(2) Orang sebodoh Ogah belum pernah aku jumpai, tetapi keledai itu betul-betul menjengkelkan.
Bunga merupakan metafora bagi gadis cantik, dan orang yang bodoh
diibaratkan keledai. Hubungan kedua frasa dengan katayang bersangkutan pada
contoh di atas merupakan hubungan metaforis dan kohoresianya tetap terjaga
karenanya.
2.5.3 Elipsis dan Paralisme
Sarana lain untuk meniciptakan kohesi adalah penggunaan elipsis. Elipsis
merupakan penghilangan bagian kalimat karena bagian yang dihilangkan itu
dianggap sudah diketahui sehingga tidak perlu disebutkan lagi. Karena bagian
yang dihilangkan itu sebenarnya sudah diketahui, maka elipsis sering disebut
penggantian dengan nol (substitution by zero). Elipsis perlu dianggap sebagai
sarana kohesi karena bagian yang dilesapkan/dihilangkan itu sebenarnya dapat
dicari pada bagian kalimat sebelumnya. Dengan demikian, elipsis
menghubungkan bagian kalimat dengan bagian kalimat yang lain (Budimam,
2004: 34).
32
Kridalaksana (2011:56) mengatakan elipsis adalah peniadaan kata atau
satuan lain yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau
konteks luar bahasa.
Gaya penulisan wacana yang menggunakan elipsis biasanya mengandaikan
bahwa pembaca atau pendengar sudah mengetahui sesuatu, meskipun meskipun
sesuatu itu tidak disebutkan secara eksplisit.
Contoh: Tuhan selalu memberikan kekuatan, ketenangan ketika sayamenghadapi saat-saat yang menentukan dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih Tuhan.
Kalimat kedua yang berbunyi Terima kasih Tuhan sebenarnya
merupakan kalimat elips. Ucapan tersebut muncul karena sesuatu yang muat
dalam kalimat sebelumnya. Yaitu kenyakinan bahwa Tuhan memberikan
kekuatan …. Dan seterusnya kepada penulis skirpsi. Unsur yang hilang adalah
subjek dan predikat. Kalimat tersebut selengkapnya berbunyi.
Tuhan selalu memberikan kekuatan, ketenangan ketika sayamenghadapi saat-saat yang menentukan dalam penyusunanskripsi ini. Saya mengucapkan terima kasih Tuhan.
2.5.3.1 Jenis-jenis elipsis
(1) Elipsis Nominal
Elipsis nominal adalah pelepasan nomina, baik leksikal maupun frasal,
dengan nomina lain, baik leksikal maupun fasal (Halliday dan Hasan dalam
Arifin, 2012: 39). Elipsis nomina leksikal adalah pelepasan nomina, misalnya:
(1) Ia lebih cantik dari segala hal yang ada di Milan. (2) Bahkan, kolibri
yang merancau-rancu di pucuk-pucuk Sibbaldia, bungkam ketika
melihatnya berlari. (3) ø Manis seperti madu dan baru saja
33
melompat dari ferrari merah marun (Andrea Hirata, Andesor.
Hal 225).
Pada kalimat (1) contoh di atas terdapat subjek kalimat ia. Subjek tersebut
kemudian dilepaskan dalam kalimat (3). Contoh lain:
(1) Orang desa adalah orang yang hidupnya susah dan pas-pasan.(2) Jika punyak kelebihan rezekisedikit saja ø ingin berbagi kepadasesame (Habiburrahman El-Shirazy. Ayat-ayat Cinta. Hal. 116).
Pada kalimat (1) terdapat frase nomina Orang desa, sedangkan
padakalimat (2) frase tersebut dilepaskan.
(2) Elipsis Verbal
Elipsis verbal adalah pelepasan unsur bahasa, yang berupa verba, baik
leksikal maupun frasal, dengan nomina lain, baik leksikal maupun fasal (Halliday
dan Hasan dalam Arifin, 2012: 40). Misalnya:
(1) Maka tertawalah Ali, (2) Tarmin juga ø.
yang dilepaskan pada klausa kedua adalah verba tertawa. Hubungan
tertawa pada klausa pertama dan tertawa pada klausa kedua yang dilepaskan
adalah koklafikasi. Tertawa yang dilakukan Ali tidak sama betul dengan tertawa
yang dilakukan Tarmin. Sedangkan elipsis verbal frasal adalah pelepasan unsur
bahasa yang berupa frasa verbal. Contohnya sebagai berikut.
(1) “ Apa akibatnya jika dilawan?” kata Wibisana. (2) Siapa ø ?”Rahwana balik bertanya. (3) “Pandawa! (4) Rebut tahtanya! (5)Bentuk pemerintahan baruyang adil dan bijaksana, “kataWibisana.
Klausa (2) melepaskan frase verbal jika dilawan yang diungkapkan dalam
pertanyaan (1). Klausa nonelipsnya adalah siapa yang melawan.
34
(3) Elpsis Klausa
Elipsis klausa adalah pelepasan suatu klausa seluruhnya ataupun
sebagian (Halliday dan Hasan dalam Arifin, 2012: 41). Contoh elipsis klausal
seluruhnya sebagai berikut:
(1) Ini ayam ibu, bukan” kata Yuyun. (2) betul ø” kataku.Pada kalimat (2) terjadi pelepasan klausal Ini ayam ibu. Pada (2) hanya
terdapat jawaban betul tampa menyebutkan kembali klausa Ini ayam ibu.
Penjawab tidak perlu mengulangi frase nomina yang sudah ditanyakan.
Contoh elipsis klausa sebagian: (1) “Tidak bertengkar dengan teman-teman ?” tanya ibu. (2) “ Tidak, ø jawab Zia.
Pada contoh di atas, klausa (1) Tidak bertengkar dengan teman-teman
dilepaskan sebagian sehingga muncul pada (2) hanya kata Tidak. Jadi unsur yang
dilepaskan adalah bertengkar dengan teman-teman.
(4) Elipsis tataran lain
Yang dimaksud dengan elipsis tataran lain disini adalah elipsis selain
nomina, verba dan klausa, seperti elipsis numeralia, adjectiva, atau adverbia.
Sebagai contoh:
(1) pekerjaan sudah selesai?” (2) “ sudah lama selesai. Makanya akujunuh, mau apa? Terus jadi lapar”. (3) Tapi aku belum ø. Silahkanmakan sendiri” (Ahmad Tohari. Orang-orang proyek. Hal. 54).
Pada contoh kalimat (2) di atas terdapat frase adjectiva lapar . pada
kalimat (3) adjectiva tersebut dilepaskan.
35
2.5.4 Konjungsi
Konjungsi atau kongjungtor, yang juga dinamakan kata sambung adalah
kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahas yang sederajat, kata dengan
kata, frasa denga frasa, atau klausa dengan klausa (Alwi, dkk, 2003: 296).
Kridalaksana (2011:131) menjelaskan konjungsi adalah partikel yang
digunakan untuk menggabungkna kata dengan kata frase dengan frase klausa
dengan klausa kalimat dengan kalimat atau paragraf dengan paragraf.
Konjungsi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang dilakukan dengan
cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain. Unsur-unsur yang
dirangkaikan dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat, alinea, topik pembicaraan
dan alih topik atau pemarkah disjungtif (Suryani, 2012).
Konjungsi merupakan sarana kohesi yang paling tampak secara lahiriah.
Konjungsi terutama berfungsi untuk menghubungkan bagian-bagian teks baik
berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat sehingga membentuk satu kesatuan.
Pembahasan konjungsi dalam penelitian ini dipusatkan pada hubungan
antarklausa dan antarkalimat.
Dilihat dari segi fungsinya dalam kalimat, konjungsi dapat dibeda-bedakan
menjadi (1) konjungsi koordinatif, (2) konjungsi korelatif, (3) konjungsi
subordinatif, dan (4) konjungsi antarkalimat.
konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur
atau lebih yang sama pentingnya, atau memiliki status yang sama (Alwi, dkk,
2003:297). Konjungsi koordinatif yang sering digunakan adalah:
dan: Penanda hubungan penambahan
36
serta: penanda hubungan pendapingan
atau: penanda hubungan pemelihan
tetapi: penanda hubungan perlawanan
melainkan: penanda hubungan perlawanan
padahal: penanda hubungan pertentangan
sedangkan: penanada hubungan pertentangan
kunjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata, frasa
atau klausa yang memiliki status sintaksis yang sama, konjungsi kolrelatif terdiri
atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang
dihubungkan (Alwi, dkk, 2003:298). Konjungsi korelatif yang sering digunakan
adalah; “baik … maupun …”, “tidak hanya …, tetapi juga…”, “demikian …
sehingga …”, dan “jangankan …, … pun …”.
Konjungsi subordinatif adalah konjongsi yang menghubunghkan dua
klausa, atau lebih, dan klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama. Salah
satu dari klausa itu merupakan anak kalimat. (Alwi, dkk, 2003:299). Kelompok
konjongsi sobordnatif yaitu:
1. Konjungsi subordinatif waktu:
a. Sejak, semenjak, sedari.
b. Sewaktu, ketika, tatkala, sementara, begitu, seraya, selagi, selama,serta,
sambil, demi.
c. Setelah, sesudah, sebelum, sehabis, selesai, sesuai.
d. Hingga, sampai
2. Konjungsi subordinatif syarat: Jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala.
37
3. Konjungsi subordinatif pengandaian: andaikan, seandainya, umpamanya,
sekiranya.
4. Konjungsi subordinatif tujuan: agar, supaya, biar.
5. Konjungsi subordinatif konsesif: biarpun, meski(pun), walau(pun), sekalipun,
sungguhpun, kendali(pun).
6. Konjungsi subordinatif pembandingan: seakan-akan, seolah-olah,
sebagaimana, seperti, sebagai, laksana, ibarat, daripada, alih-alih.
7. Konjungsi subordinatif sebab: sebab, karena, oleh karena, oleh sebab.
8. Konjungsi subordinatif hasil: sehingga, sampai, (-sampai), maka(nya).
9. Konjungsi subordinatif alat: dengan, tanpa.
10. Konjungsi subordinatif: dengan tanpa.
11. Konjungsi subordinatif komplementasi: bahwa.
12. Konjungsi subordinatif atributif: bahwa.
13. Konjungsi subordinatif perbandinga: sama… dengan, lebih… dari(pada).
Seperti halnya dengan kelompok konjungsi koordinatif, dalam kelompok
konjungsi subordinatif ada pula anggota yang termasuk dalam kelompok
preporsisi. Kata seperti sebelum dan karena dapat diukiti oleh klausa dan dapat
pula diikuti oleh kata. Dalam hal yang pertama kata-kata itu bertindak sebagai
konjungsi, dalam hal yang kedua preporsisi. Kata sebalum pada kalimat Dia
berangkat sebelum saya datang, dan Dia berangkat sebelum pukul lima. Masing-
masing merupakan konjungsi dan preporsisi (Alwi dkk, 2003:300).
Konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan kalimat
yang satu dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, kunjungsi macam itu selalu
38
melalui satu kalimat dengan kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya
ditulis dengan huruf kapital (Alwidkk, 2003:300). Contoh penggunaan konjungsi
anatar kalimat:
Biarpun demikai/begitu
Sekalipun demikian/ begitu
Walaupun demikan/begitu
Meskipun demikan/begitu
Sungguhpun demikian/begitu
Kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya
Sesungguhnya, bahwasanya.
Malah(an), bahkan
(akan) tetpi, namum,
Kecuali itu
Dengan demikian
Oleh kerena itu, oleh sebeb itu
Sebelum itu.
Konjungtor antarkalimat yang biasa digunakan di antaranya adalah “selain
itu”, “sesudah itu”, “sebaliknya”, dan “oleh karena itu” yang masing-masing
menandai hubungan penambahan, urutan waktu, kebalikan, dan akibat.
Perhatikanlah efek kepaduan wacana yang ditimbulkan oleh penggunaan
konjungtor antarkalimat. Selain yang sudah disebutkan di atas, masih banyak lagi
konjungtor antarkalimat yang sering digunakan, yang meliputi berbagai
hubungan, seperti:
39
a. Penambahan: lagi pula. di samping itu, juga, kecuali itu,
selanjutnya, bahkan, apalagi, malah,
b. Kontras: namun demikian, meskipun demikian, meskipun begitu,
biarpun demikian, biarpun begitu, tetapi, akan tetapi,
c. Konsekuensi/akibat: akibatnya, jadi, maka, maka dari itu,
makanya, oleh sebab itu,
d. Sebab: soalnya, habis, maklum (lah)
e. Contoh: misalnya, umpamanya, sebagai contoh/misal
f. Perincian: pertama, kedua, selanjutnya, kemudian, akhirnya
g. Urutan waktu: kemudian, sebelumnya, sebelum itu, sementara itu,
lalu, lantas