1234

23
RUMAH ADAT BATAK Kebanyakan rumah tradisional yang ada di Nusantara kita ini tidak hanya sekedar sebagai tempat tinggal tapi juga sebagai media atau simbolisasi perwujutan dari filosofi atau adat budaya yang berlaku pada daerah atau suku-suku yang ada di bumi Indonesia ini. Kita sebagai bangsa yang besar sudah sewajarnya bangga akan kekayaan budaya kita dan sewajarnya pula kita sebagai penerus bangsa melestarikannya dan selalu mengabadikannya untuk anak cucu kita nanti, dan mengenalkan kepada mereka identitas kita sebagai negara yang besar. Kali ini kita membahas rumah adat suku Batak di Sumatera Utara. Rumah Adat Batak mengandung filosofi pedoman hidup suku Batak. Dalam kesempatan ini kita akan mengupas nilai flosofi, makna dan sejarah dari rumah adat Batak tersebut sebagai bentuk cagar budaya, yang kita harapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak para generasi penerus kita tidak kehilangan identitas bangsa kita tercinta ini. Perkampungan suku Batak Toba mengikuti pola berbanjar (kampung), yaitu suatu tata ruang lingkungan dengan komunitas

description

APA LAH INI

Transcript of 1234

RUMAH ADAT BATAK

Kebanyakan rumah tradisional yang ada di Nusantara kita ini tidak hanya sekedar

sebagai tempat tinggal tapi juga sebagai media atau simbolisasi perwujutan dari filosofi atau

adat budaya yang berlaku pada daerah atau suku-suku yang ada di bumi Indonesia ini. Kita

sebagai bangsa yang besar sudah sewajarnya bangga akan kekayaan budaya kita dan

sewajarnya pula kita sebagai penerus bangsa melestarikannya dan selalu mengabadikannya

untuk anak cucu kita nanti, dan mengenalkan kepada mereka identitas kita sebagai negara

yang besar. Kali ini kita membahas rumah adat suku Batak di Sumatera Utara. Rumah Adat

Batak mengandung filosofi pedoman hidup suku Batak.

Dalam kesempatan ini kita akan mengupas nilai flosofi, makna dan sejarah dari rumah

adat Batak tersebut sebagai bentuk cagar budaya, yang kita harapkan dapat menjadi sarana

pelestarian budaya, agar kelak para generasi penerus kita tidak kehilangan identitas bangsa

kita tercinta ini.

Perkampungan suku Batak Toba mengikuti pola berbanjar (kampung), yaitu suatu

tata ruang lingkungan dengan komunitas yang utuh dan kuat solidaritasnya. Desa atau

kampung pada suku batak disebut lumban/ huta. di setiap masing-masing desa / kampung

dilengkapi 2 pintu gerbang (bahal) pada sisi bagian utara dan selatan. Sekeliling kampung

dipagar batu setinggi 2 m, yang disebut parik. Di setiap sudut pagar berdiri menara penjagaan

yang berfungsi untuk mengintai musuh atau bertahan. Pada sejarah masa lalu, di suku Batak

sering sekali peperangan antar kampung.

Oleh karena itu kenapa kampung suku Batak berpagar keliling dan ada menara

penjaganya seperti benteng, Huta masih dapat disaksikan di Kabupaten Tapanuli Utara di

desa-desa Tomok, Ambarita, Silaen, dan Lumban Nabolon Parbagasan. Desa-desa tersebut

merupakan daya tarik wisata budaya yang banyak dikunjungi wisatawan.

Makna dan Simbolisme

Pola bentuk penataan pada lumban/ huta terdiri dari

beberapa rumah /ruma dan sopo didalamnya. Posisi rumah dan sopo tersebut saling

berhadapan dan mengacu pada poros sisi utara selatan. Sopo merupakan lumbung, sebagi

tempat penyimpanan bahan pangan seperti padi, jagung atau hasil kebun lainnya. filosofi

yang terkandung bawasannya masyarakat Batak sangat menghargai arti dalam kehidupan,

pangan dan papan merupakan penopang dan sumber kehidupan bagi mereka dan

mensyukurinya dengan penggunaan yang bijaksana.

Arsitektur Tradisional Batak Toba

Ditilik dari bentuk lumban/ huta seperti sebuah benteng dari pada sebuah desa pada

umumnya, bisa kita liat dari sejarah karakter atau sifat mayarakat nenek moyang suku batak

terdahulu, suka berperang antar desa sesama suku batak itu sendiri tetapi beda kampung.

Pada penataan bangunan didalam huta keberadaan sopo sangatlah penting dan dihargai,

letaknya selalu berhadapan dengan ruma. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat

Batak Toba adalah argraris, bertani atau bercocok tanam. Posisi ruma dan sopo yang tertata

secara linear.

Kajian Perangkaan

Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah

tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang

terbagi atas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki

rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk atap

rumah.

Arsitektur Batak Toba terdiri atas ruma dan sopo (lumbung) yang saling berhadapan.

Ruma dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga

huta. Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah

adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Guru.

Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah

berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut Jabu

Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah adat yang menjadi hak

anak bungsu.

Proses Mendirikan Rumah.

Sebelum mendirikan rumah, masyarakat Batak lebih dulu mengumpulkan bahan-

bahan bangunan yang diperlukan, proses pengumpulan ini biasa disebut dalam bahasa Batak

Toba “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak),

pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong

boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya

yang diperlukan.

Dalam proses mangarade tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang

dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk kerja sama tanpa

pamrih antar penduduk sekampung.

Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya

diserahkan kepada “pande” untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah

dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau

“Sopo”.

Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan

dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande

dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.

Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan

kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut

dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.

Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil

(dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang

mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.

Salah satu hal penting untuk kita perhatikan dalam membangun rumah adat batak ini

adalah pondasi. Ada makna filosofi masyarakat Batak yang terkandung dan tersirat di dalam

pembangunan pondasi rumah mereka, bahwasannya tanpa letak pondasi yang kuat maka

rumah tidak bakalan kokoh berdiri. falsafah yang tersirat “hot di ojahanna” masyarakat

Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit dijungjung.

Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang

lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan”

yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak

sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan / kompak

dalam memikul beban berat.

Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-

hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di

batuna jala ransang di ransang-ransangna”dan “hansing di hansing-hansingna”, yang

berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga

dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan

dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu

rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.

Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang

ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang

yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang

ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak

lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam

menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan

sijongjongi.

Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari

adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan

pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak

sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik

langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom

parluhutan”.

Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan

atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan

pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu

harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum

yang patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam

hati.

“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke

depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi

sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga

tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat

menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput

dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari

sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana

di angka ulaon ni dongan”yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi

sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.

Pemanfaatan Ruangan

Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak

disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai

(halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk

memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot

margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”

Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku

tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti

debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang

mengatakan“Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat mengartikan

bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang

tersinggung harus dapat dilupakan.

Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan

ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah

ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada

juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul

setelah selesai bertanam padi.

Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk

panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya

dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan

“ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera

dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma

pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai

permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.

Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang

kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat “parlabian”

digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan

lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di

parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang

artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan

kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu

diayomi.

Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah

depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma”

dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak

ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas

ma sipairing-iringan”.

Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga

yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa

yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang

karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.

Gorga

Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang disebut

dengan “gorga” dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur borna, gorga sipalang dan

gorga sidomdom di robean.

Gorga itu dihiasi (dicat) dengan tlga warna yaitu wama merah (narara), putih

(nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan ilmu pengetahuan dan

kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan

kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam melambangkan kerajaan dan kewibawaan

yang berbuah kepemimpinan.

Sebelum orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga mereka

memakai “batu hula” untuk warna merah, untuk warna putih digunakan “tano buro” (sejenis

tanah liat tapi berwana putih), dan untuk warna hitam didapat dengan mengambil minyak

buah jarak yang dibakar sampai gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan air taji dari

jenis beras yang bernama Beras Siputo.

Disamping gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang dikenal

sebagai “singa-singa”, suatu lambang yang mengartikan bahwa penghuni rumah harus

sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai rnanusia berbudaya. Singa-singa

berasal dari gambaran “sihapor” (belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan

ditempatkan di sebelah depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor

lunjung untuk singa-singa Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.

Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan “Metmet pe sihapor

lunjung di jujung do uluna” yang artinya bahwa meskipun kondisi dan status sosial pemilik

rumah tidak terlalu beruntung namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga integritas

dan citra nama baiknya.

Perabot Penting

Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah

“ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada

falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot

pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah

bahwa apa bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat

dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan” adalah sebagai

tempat air untuk keperluan memasak.

Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan

dibuat “pangumbari” yang gunanya sebagai tempat meletakkan barang-barang yang

diperlukan sehari-hari seperti kain, tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya

adalah “Ni buat silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni

ampehon tali-tali”.

Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga yang

mahal biasanya disimpan dalam “hombung”, seperti sere (emas), perak, ringgit (mata uang

sebagai alat penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi

harangan, ragi huting, marmjam sisi, runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam

jenis tati-tali seperti tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu

pege dan lain sebagainya.

Karena orang Batak mempunyai karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di

kala penghuni rumah meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada

acara yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini disebut dengan “ungkap

hombung” yang disaksikan oleh pihak hula-hula.

Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan barang-

barang yang disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama dengan hombung hanya

saja ukurannya lebih kecil dan tidak semewah hombung.

Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang disebut

“dalihan”. Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak menjadi

dua, sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.

Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang

kesudiannya untuk menerima tamu dengan hati yang senang yaitu“paramak so

balunon” yang berarti bahwa “amak” (tikar) yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu

terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut digunakan sudah datang tamu yang

lain lagi.

“Partataring so ra mintop” menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu

mempunyai bara api tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu

gesit dan siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.

“Parsangkalan so mahiang” menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal

mungkin untuk memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang

biasanya dari daging ternak.

Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi

untuk dapat hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian yang

memadai, sehingga disebut“Parrambuan so ra marsik”.

Tikar yang disebut “amak” adalah benda yang penting bagi orang Batak. Berfungsi

untuk alas tidur dan sebagai penghangat badan yang dinamai bulusan. Oleh karena itu ada

falsafah yang mengatakan “Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum

martulang gabe uhum marbere”.

Jenis lain dari tikar adalah rere yang khusus untuk digunakan sebagai alas tempat

duduk sehari-hari dan bila sudah usang maka digunakan menjadi “pangarerean” sebagai dasar

dari membentuk “luhutan” yaitu kumpulan padi yang baru disabit dan dibentuk bundar.

Tentang hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Sala mandasor sega luhutan” di mana

pengertiannya adalah bahwa jika salah dalam perencanaan maka akibatnya tujuan dapat

menjadi terbengkalai.

RUMAH ADAT SUKU MENTAWAI

Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku tersebut.

Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut

juga “uma” yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan

dibagi dalam satu uma.

Rumah tradisional / adat suku Mentawai masih banyak kita di jumpai di kabupaten

Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Uma biasanya dihuni oleh 5 hingga 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu

diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei. Sikerei itulah yang

oleh suku Mentawai dianggap sebagai tetua. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku

Mentawai. Di dalam Uma itulah, suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan

melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma juga menjadi tempat

untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit.

Uma adalah rumah besar yang berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan

upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya. Uma terbuat dari kayu kokoh dan

berbentuk rumah panggung yang dibawahnya digunakan sebagai tempat pemeliharaan ternak

seperti babi.

Selain bangunan rumah utama atau uma ada macam bangunan lain yang di sebut:

- Lalep tempat tinggal yang di peruntukan suami istri yang pernikahannya sudah

dianggap sah secara adat. Biasanya lalep terletak di dalam Uma.

- Rusuk suatu pemondokan khusus, tempat penginapan bagi anak-anak muda, para

janda dan mereka yang diusir dari kampung atau orang-orang yang di asingkan karena

melanggar aturan adat suku mentawai.

Kontruksi Bangunan Uma

Secara umum konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak

dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik.

Bangunan uma menyerupai atap tenda memanjang yang dibangun diatas tiang-tiang,

karena atap yang terbuat dari rumbia yang menaungi menjulur ke bawah sampai hampir

mencapai lantai rumah. Pohon sagu atau rumbia merupakan bahan penutup atap dari daun

daun pohon rumbia yang banyak tumbuh di rawa atau di pantai. Kelebihan menggunakan

atap rumbia yaitu terlihat alami, menimbulkan suasana baru, ringan dan relatif murah.

Sedangkan kekurangannya ialah daya tahan maksimal 4 tahun, sulit melakukan upaya

perbaikan atau pergantian, dan rawan bocor bila terjadi hujan lebat.

Kerangka bangunan, terdiri dari lima perangkat konstruksi dari tonggak-tonggak,

balok-balok, dan tiang-tiang penopang atap. Kerangka bangunan ini dibangun berjejer

melintang ke belakang dan saling berhubungan dengan balok memanjang.

Kekuatan struktur Uma dihasilkan oleh teknik ikat, tusuk dan sambung sedemikian

rupa. Bahan Uma diambil dari alam sekitar dan dipilih yang bermutu baik.

Luas rumah persatuan kepala keluarga dengan rata-rata panjang : 31 m, lebar : 10 m,

dan tinggi = 7 m. Pembagian ruangannya cukup sederhana, di bagian depan adalah serambi

terbuka yang merupakan tempat untuk menerima tamu. Sedang pada bagian dalam digunakan

untuk ruang tidur keluarga. Di ruangan ini terdapat pula perapian yang digunakan untuk

memasak suatu keadaan yang wajar mengingat kegiatan siang hari bagi laki-laki dihabiskan

di ladang atau di hutan, sementara istrinya bertugas di kebun halaman dan memasak.

Bangunan uma ini terdiri atas dua bagian ruangan besar. Di depan ada beranda yang

luas tanpa dinding yang berfungsi untuk ruang tamu dan ruang keluarga berkumpul dan

bercakap-cakap pada malam hari. Di belakangnya, ruangan yang berdinding menjadi ruang

tidur dan dapur, tanpa sekat.

Sisi depan rumah ditutup dengan dinding atap rumbia yang terbentang kebawah

sampai batas 1 m (ditengah (tempat masuk) 1,5 m) dari lantai. Rumbia atau disebut juga

(pohon) sagu adalah nama sejenis palma penghasil pati sagu.

Dinding sebelah dalam diatas tempat masuk diperkokoh dengan selembar papan yang

dihiasi gambar (tagga) atau ukiran, sedangkan ruangan dibawahnya dan sisi kanan dan

kirinya tidak berdinding, yang disebut serambi depan.

Kolong

Terdapat dibawah rumah tempat tinggal dan tidak memiliki dinding. Kolong ini

dimanfaatkan sebagai tempat untuk berternak babi.

Ornamen/ragam hias

Pola-pola ornamen atau dekorasi rumah Mentawai, sangat dipengaruhi oleh pengaruh

India wujudnya berupa bentukan sulur-sulur yang bentuk tumbuh-tumbuhannya dengan

dedaunan dan bunga-bungaan.

PEMBAGIAN RUANG UMA

Di muka tempat masuk yang sebenarnya. Disini terdapat batu pengasah kapak dan

pisau, dan ditaruh bumbung bambu yang besar untuk dipakai para wanita dan anak- anak

untuk mengambil air dari anak sungai yang dekat dengan rumah. Sedangkan para pria

memakai tempat ini pada siang hari yang pengap dan bercuaca mendung untuk mengurus

perkakas.

Dinding sebelah dalam diatas tempat masuk diperkokoh dengan selembar papan yang

seringkali dihiasi ukiran atau gambar (tangga).Ruangan dibawahnya terbuka, dan sisi kanan

dan kirinya bagian pertama dari rumah yang berada dibawah naungan atap tidak berdinding,

yang biasa disebut dengan serambi depan atau kagareat dengan panjang lima meter.

1. Diantara tiang-tiang dipasang bangku-bangku disebelah kiri dan kanannya.

2. Beranda depan difungsikan untuk berkumpul, mengobrol dan menerima tamu.

Ruang dalam pertama, cahaya diperoleh lewat lubang pintu, ruangan yang dimaksud

berwujud seperti bangsal yang panjang dan gelap dengan dinding papan yang menutupi sisi

samping dan belakangnya. Kecuali lewat lubang pintu tingkap, kadang cahaya diperoleh

lewat celah yang terjadi dengan jalan melepaskan salah satu papan dinding, dengan cara

seperti ini jg dapat dipergunakan untuk masuk ke bilik-bilik samping (jairabba) yang berada

di bawah bagian samping atap, dengan lantai panggung tersendiri. Pada panggung seperti ini

ditaruh tuddukat, yaitu perangkat keuntungan ynag terdiri dari empat batang kayu yang

dilubangi dengan cara membuat celah dan dengan panjang satu setengah sampai tiga meter.

Pertengahan rumah, terdapat konstruksi balok yang melintang. Dilantai sebelah

depannya ada perapian yang lebarnya mengisi seluruh lorong tengah, berfungsi sebagai

tempat memasak seluruh kelompok saat perayaan. Perapian terbuat dari tanah yang

dipadatkan dalam segi empat yang dibentuk oleh balok-balok yang saling dihubungkan dalam

sistem pasak.

Ruangan uma terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :

a. Bagian depan : adalah serambi terbuka yang merupakan tempat untuk berkumpul,

mengobrol, dan menerima tamu. Di malam hari tempat ini dipakai untuk bercerita atau

bercakap-cakap tentang kejadian sehari-hari, serta di gunakan sebagai ruang tidur bagi para

pria.

b. Bagian dalam : digunakan untuk ruang tidur keluarga. Di ruangan ini terdapat pula

perapian yang digunakan untuk memasak. Pada bagian tengah Uma terdapat ruangan untuk

berkumpul dan dan menarikan tarian adat Mentawai.

Jenis-jenis ruangan pada Uma Berdasarkan Urutan dari Depan Sampai Belakang

1. Panggung : terbuat dari hamparan papan-papan yang tidak halus, yang terletak di sisi

depan rumah. Disini terdapat batu pengasah, kapak, dan pisau. Juga ditaruh bumbung bambu

yang besar-besar yang dipakai para wanita dan anak-anak untuk mengambil air dari anak

sungai yang berada di dekat rumah, sedangkan para pria memakai tempat itu pada siang hari

untuk bekerja mengurus perkakas.

2. Serambi depan : tempat untuk berkumpul dan tempat tidur para pria dan juga pada sisi

kanan dan kirinya ada bangku kayu untuk menerima tamu.

3. Ruang dalam pertama : disini terdapat ruangan yang berwujud bangsal panjang dan gelap

dengan dinding kurang lebih setinggi orang yang menutupi sisi samping dan belakang.

Pencahayaan dalam ruang diperoleh lewat lubang pintu atau dengan dilepaskannya salah satu

papan dinding. Biasanya ruangan ini digunakan untuk menjamu tamu dan tempat segala rapat

dan upacara adat digelar.

4. Ruang dalam kedua : di berikan sekat dengan kayu-kayu sehingga memisahkan ruang

utama. Dilantai sebelah depannya terdapat perapian yang lebarnya mengisi seluruh lorong

tengah tempat masuk pada waktu perayaan. Disisi kanan perangkat konstruksi balok

melintang ketiga ini, tempat untuk menggantungkan bejana-bejana sajian untuk upacara

memohon keberhasilan dalam berburu. Di lorong tengah, anatara perapian dan dinding

belakang bangsal, lantainya terbuat dari papan lebar yang diserut sampai halus, yang

merupakan tempat untuk menari.

Istilah yang dipakai oleh orang Mentawai :

Lalep : Rumah tangga, rumah kediaman.

Lelep Sibau : Rumah lama, pusaka usang.