12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit.,...

18
12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH DALAM TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN Parningotan Malau (Dosen Fakultas Hukum Universitas Putera Batam - Ketua YLBH Rogate) Perumahan Royal Grande Blok G-01 Batam Center, Batam, Kepulauan Riau Tel. 0778-7418462; Mobile phone: 0811 7787 917; E-mail: [email protected] Abstrak: Untuk meningkatkan perlindungan (hak-hak dasar) pekerja/buruh terdapatketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan yang apabila dilanggar diancam dengan sanksi pidana yang setimpal dan ber-keadilan. Namun problematiknya, masih jarang kasus-kasus tindak pidana ketenaga-kerjaan mendapat penanganan penegak hukum, apalagi sampai ke tingkat pengadilan pidana. Di satu pihak banyak kasus-kasus tindak pidana ketenagakerjaan yang tidak dilakukan penyidikan oleh Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS) di Kantor Dinas Tenaga Kerja dengan berbagai pertimbangan. Sedangkan di pihak lain, umumnya laporan kasus tindak pidana ketenagakerjaan ditolak oleh kepolisian, juga dengan berbagai hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kondisi seperti di atas jelas menghambat konkritisasi penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh itu sendiri sebagaimana yang menjadi pertim-bangan filosofis, sosiologis dan yuridis dilahirkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan/perburuhan (arbeids-recht) pada hakikatnya, baik dipandang secara historis maupun teleologis adalahmelindungi (hak-hak dasar) pekerja/buruh, karena itu faktor-faktor penghambat pene-gakan hukum (law enforcement) masalah tindak pidana ketenagakerjaan harus dimini-malisir bahkan dieliminasi agar nilai-nilai perlindungan (hak-hak dasar) pekerja/buruh tidak dikorbankan oleh faktor-faktor penghambat tersebut. Kata kunci: perlindungan pekerja/buruh; penegakan hukum; tindak pidana ketenaga- kerjaan. PENDAHULUAN Tujuan pokok hukum perburuhan (arbeidsrecht) pada hakikatnya sama dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu mewujudkan “keadilan”. Dalam hukum perburuhan adalah mewujudkan keadilan 1 antara pengusaha dan pekerja/buruh (arbeider). Usaha mewujudkan keadilan berangkat dari suatu kenyataan bahwa kedudukan antara pengusaha dan pekerja/-buruh dalam hubungan kerja sangat tidak seimbang. Meskipun secara yuridis kedudukan pekerja/buruh adalah bebas, tetapi dari sudut sosial ekonomi jauh lebih lemah dibandingkan dengan pengusaha. 2 Oleh karena itu, perlindungan pekerja/buruh suatu keniscayaan (compulsory, mandatory). Semua perangkat hukum ketenagakerjaan harus dioptimalkan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) selain bersifat privat (perdata) juga melibatkan campur tangan negara, karena itu hukum ketenagakerjaan pun bersifat publik (pidana). 3 Campur tangan negara ditandai dengan adanya ketentuan-ketentuan 1 Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Edisi Revisi, Cet. XIII, Jakarta, Djambatan, hal. 9. 2 Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 9-10. Kedudukan yuridis pekerja/buruh sama dengan pengusaha. Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jis. Pasal 6 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 ayat (2) jo. ayat (3) dan pasal-pasal lainnya yang tersebar dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). 3 Agusmidah, 2010, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, hal. 10 dengan mengutip dari Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. XI, Jakarta, Djambatan, hal.1-2. Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 113/432

Transcript of 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit.,...

Page 1: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH DALAM TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN

Parningotan Malau (Dosen Fakultas Hukum Universitas Putera Batam - Ketua YLBH Rogate) Perumahan Royal Grande Blok G-01 Batam Center, Batam, Kepulauan Riau Tel. 0778-7418462; Mobile phone:

0811 7787 917; E-mail: [email protected]

Abstrak: Untuk meningkatkan perlindungan (hak-hak dasar) pekerja/buruh

terdapatketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenaga-kerjaan yang apabila dilanggar diancam dengan sanksi pidana yang setimpal

dan ber-keadilan. Namun problematiknya, masih jarang kasus-kasus tindak pidana

ketenaga-kerjaan mendapat penanganan penegak hukum, apalagi sampai ke tingkat

pengadilan pidana. Di satu pihak banyak kasus-kasus tindak pidana ketenagakerjaan

yang tidak dilakukan penyidikan oleh Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS) di

Kantor Dinas Tenaga Kerja dengan berbagai pertimbangan. Sedangkan di pihak lain,

umumnya laporan kasus tindak pidana ketenagakerjaan ditolak oleh kepolisian, juga

dengan berbagai hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan. Kondisi seperti di atas jelas menghambat konkritisasi penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh itu sendiri sebagaimana yang menjadi

pertim-bangan filosofis, sosiologis dan yuridis dilahirkannya Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan/perburuhan

(arbeids-recht) pada hakikatnya, baik dipandang secara historis maupun teleologis

adalahmelindungi (hak-hak dasar) pekerja/buruh, karena itu faktor-faktor penghambat

pene-gakan hukum (law enforcement) masalah tindak pidana ketenagakerjaan harus

dimini-malisir bahkan dieliminasi agar nilai-nilai perlindungan (hak-hak dasar)

pekerja/buruh tidak dikorbankan oleh faktor-faktor penghambat tersebut.

Kata kunci: perlindungan pekerja/buruh; penegakan hukum; tindak pidana ketenaga-kerjaan.

PENDAHULUAN

Tujuan pokok hukum perburuhan (arbeidsrecht) pada hakikatnya sama dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu mewujudkan “keadilan”. Dalam hukum perburuhan adalah

mewujudkan keadilan1 antara pengusaha dan pekerja/buruh (arbeider). Usaha mewujudkan

keadilan berangkat dari suatu kenyataan bahwa kedudukan antara pengusaha dan pekerja/-buruh dalam hubungan kerja sangat tidak seimbang. Meskipun secara yuridis kedudukan pekerja/buruh

adalah bebas, tetapi dari sudut sosial ekonomi jauh lebih lemah dibandingkan dengan pengusaha.2

Oleh karena itu, perlindungan pekerja/buruh suatu keniscayaan (compulsory, mandatory). Semua perangkat hukum ketenagakerjaan harus dioptimalkan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) selain bersifat privat (perdata) juga melibatkan campur

tangan negara, karena itu hukum ketenagakerjaan pun bersifat publik (pidana).3 Campur tangan

negara ditandai dengan adanya ketentuan-ketentuan

1 Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Edisi Revisi, Cet. XIII, Jakarta, Djambatan, hal. 9.

2 Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 9-10.

Kedudukan yuridis pekerja/buruh sama dengan pengusaha. Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jis. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 ayat (2) jo. ayat (3) dan pasal-pasal lainnya yang tersebar dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

3 Agusmidah, 2010, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, hal. 10 dengan mengutip dari Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. XI, Jakarta, Djambatan, hal.1-2.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 113/432

Page 2: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

memaksa/imperatif (dwingen), yang apabila tidak dipenuhi negara bertindak dengan ancaman

pidana.4

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan5 (selanjutnya disebut

UUK) memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa (imperatif) yang barang siapa

melanggar ketentuan tersebut diancam dengan sanksi pidana, baik pidana penjara, pidana

kurungan, dan/atau pidana denda. Di dalam hubungan kerja, sungguh banyak kasus-kasus tindak

pidana ketenagakerjaan, akan tetapi tidak mendapatkan penanganan dari penegak hukum.

Berdasarkan penelusuran penulis pada tahun 2016 di 5 (lima) provinsi dan kota Batam terbanyak

perusahaan besar (dengan jumlah 100 lebih pekerja/buruh) pada rentang waktu 5 (lima) tahun

terakhir sangat jarang/sulit ditemukan kasus tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan

penyidikan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan (selanjutnya disebut PPK) yang diberi

kewenangan sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), apalagi oleh penyidik kepolisian.

Minimnya penanganan tindak pidana ketenagakerjaan merupakan indikasi bahwa penegakan

hukum perlindungan pekerja/buruh masih stagnan.

Pasal 182 ayat (1) UUK mengisyaratkan betapa pentingnya peran pengawas PPNS,

polisi (kepolisian), jaksa (kejaksaan), hakim (pengadilan) dalam penanganan hukum atau penegakan hukum pro justitia yang bersifat represif terhadap pengusaha melalui proses

peradilan pidana. Tindakan represif salah satu upaya penting penegakan hukum perlindungan hak-hak dasar (hak asasi) pekerja/buruh.

Artikel dengan judul “Penegakan Hukum Perlindungan Pekerja/Buruh

dalamTindak Pidana Ketenagakerjaan” ini mencoba mengurai faktor-faktor penghambat

penyi-ikan kasus-kasus tindak pidana ketenagakerjaan. Ke depan diharapkan dapat meminimalisir bahkan mengeliminasi faktor-faktor penghambat penegakan hukum

perlindungan pekerja/-buruh dalam tindak pidana ketenagakerjaan.

METODE

Artikel ini menggunakan penelitian hukum (legal research) dengan pendekatan per-

aturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach),

sedangkan data yang disajikan hanya sebagai pelengkap. Bahan hukum penelitian hukum ini

terdiri dari: bahan hukum primer yaitu, peraturan perundang-undangan, terutama UUK. Bahan

hukum sekunder, yaitu semua publikasi hukum yang bukan dokumen resmi, dan bahan hukum

non hukum (tertier) yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

DASAR PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH

Sejarah perburuhan Indonesia selalu dimulai dengan zaman perbudakan, rodi, dan poenale sanksi, yang terjadi hampir bersamaan pada masa penjajahan Belanda. Para budak tidakdiberikan hak, yang ada hanya kewajiban untuk taat kepada penguasa dan majikan/-pengusaha. Budak

hanya dijadikan objek yang kehilangan hak sebagai manusia bermartabat.6 Secara sosial,

ekonomi, dan yuridis dapat diakatakan budak tidak memiliki hak apapun atas dirinya, karena si

4 Asri Wijayanti, Op.cit., hal. 12. Lihat juga, Agusmidah, Ibid.

5 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.

6 Lalu Husni, 2007, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafika Persada, hal. 1 dan 4. Lihat juga, Parningotan Malau, 2013, Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Medan: PT Softmedia, hal. 107, dengan mengutip dari Zainal Asikin, Riwayat Hukum Perburuhan, dalam buku: Zainal Asikin et. al., 2004, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Cet. V, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hal. 10.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 114/432

Page 3: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

pemiliklah yang berwewenang penuh atas dirinya. Dengan menggunakan bahasa hukum

sekalipun, maka seorang budak tidak memiliki kecakapan untuk bertindak.7 Perlindungan

buruh sebagai suatu ketidakniscayaan (uncertainties). Pengalaman pahit kondisi perburuhan

di atas menjadi penting bagi Indonesia menemukan format politik hukum (legal policy)8

perburuhan yang ideal.

Pancalisa adalah politik hukum (ketenagakerjaan) permanen, yang diabstraksi dan dirumuskan dari nila-nilai kehidupan yang merupakan kepribadian, pandangan hidup, dan

dasar filsafat (philosofische grondslag)9 yang dimiliki, diyakini, dan dihayati kebenarannya

oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa

Indonesia.10

Oleh karenanya, semua peraturan perundang-undangan harus diderivasi (men-jiwai) nilai-nilai esensial yang terkandung dalam kelima asas (prinsip, dasar) Pancasila.

Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita kenegaraan (staatsidee) dan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menganut konsepsi negara kesejahteraan (welfare state). Kewajiban negara mewujudkan tujuan negara, yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Dalam mewujudkan tujuan negara dibutuhkan

instrumenhukum yang dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945,11

dan peraturan

perundang-undangan di bawahnya.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas

hukum (rechtsstaat)”. Konsep negara hukum Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Pancasila

sebagai jiwa bangsa (volksgeist), karena itu Indonesia menganut negara hukum Pancasila.12

Negara hukum Pancasila mempunyai ciri-ciri khas sebagai dasar pokok dan sumber

7 Agusmidah, Op.cit., hal.17.

8 Padmo Wahjono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Selanjutnya, definisi ini dilengkapi dalam sebuah artikelnya, bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri. Lihat, Padmo Wahyono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 160. Lihat juga, Padmo Wahyono, (1991, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Forum Keadilan, No. 29 April 1991, hal. 65.

Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk nengekspresikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Lihat, Soedarto, 1983, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru, hal. 20.

Sunaryati Hartono, politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional ituakan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Lihat, Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional, Bandung, Alumni, hal. 1.

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2000, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal. 35.

Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu Pemerintahan negara tertentu. Lihat, Mahfud MD, 2010, Membangun Politik MenegakkanKonstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, hal. 15.

9 Tim MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012, hal. 45.

10 Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Edisi Pertama, Yogyakarta, Paradigma, hal. 56.

11 Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44.

12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara Hukum Pancasila, Bandung, Refika Aditama, hal. 92.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 115/432

Page 4: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

hukum.13

Sangat realistis apabila norma dan aturan hukum memihak kepada masya-rakat lemah

atau kurang beruntung. Hak-hak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi lebih lemah wajib mendapatkan perlindungan maksimal untuk kesejahteraan diri pekerja/buruh dan keluarganya.

DASAR PERTIMBANGAN TINDAKAN REPRESIF DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2003

Konsiderans “menimbang” dalam UUK adalah pokok pikiran yang memuat unsur

filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan UUK ini. Unsur filosofis, pada bagian “menimbang” huruf a dan b dan paragraf pertama Penjelasan

Umum UUK, dikatakan:

“Bahwa pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan

nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka pemba-ngunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia

seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun

spiritual.”

“Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan

dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pemba-ngunan.”

Pembuat UUK menyadari bahwa pembangunan ketenagakerjaan harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yaitu: berketuhanan, berkemanusiaan dan keadilan sebagai nilai-nilai

dominan. Kemudian nilai persatuan dan demokrasi yang menjadi satu kesatuan dengan nilai-nilai lainnya. Kedudukan pekerja/buruh dipandang dari sudut sosial ekonomi jauh di bawah

pengusaha, sehingga perlindungan pekerja/buruh adalah suatu keniscayaan.

Unsur sosiologis, pada bagian “menimbang” huruf c dan d UUK, dikatakan:

“Bahwa, dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.”

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas

dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan

tetapmemerhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Dengan maksud yang sama

paragrafkedua Penjelasan Umum UUK mengatakan:

“Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja (pekerja/buruh) serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengem-

bangan dunia usaha.”

Pembuat UUK menyadari bahwa besarnya peranan dan kedudukan pekerja/buruh dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, maka dalam pembangunan ketenagakerjaan

harus terpenuhi/terjamin perlindungan hak-hak dasar pekerja/buruh sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Sedangkan unsur yuridis, pada bagian “menimbang” huruf ‘e’ UUK dikatakan:

13 Muh. Tahir Azhary, 2005, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum

Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta, Kencana, hal. 93-94.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 116/432

Page 5: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

“Bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali.”

Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran dalam UUK meru-

pakan instrumen penting bagi pekerja/buruh untuk melindungi hak-haknya. Dengan peng-

aturan tersebut PPK/PPNS tidak lagi terfokus pada penyelesaian perselisihan hubungan

industrial (PPHI), tetapi pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan. Penegakan hukum per-

lindungan pekerja/buruh dengan tindakan represif dalam UUK jauh lebih baik dibandingkan

dengan undang-undang sebelumnya.

Dalam Pasal 17 Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang

Pokok-pokok Mengenai Tenaga Kerja:

1. penjatuhan sanksi pidananya bersifat fakultatif;

2. ancaman pidananya sangat ringan, demikian juga pidana dendanya;

3. kualifikasi pidananya dengan adanya kata “atau” berarti bersifat alternatif; dan

4. tindak pidananya semuanya merupakan tindak pidana pelanggaran.

Selanjutnya, dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam UUK adalah sebagai berikut:

1. penjatuhan sanksi pidananya bersifat Imperatif;

2. ancaman pidananya tergolong berat, demikian juga pidana dendanya;

3. kualifikasi pidananya dengan adanya kata “dan/atau” berarti bersifat kumulatif

alternatif. Hakim dalam pertimbangannya bisa memilih keduanya (kumulatif) yaitu, menjatuhkan pidana penjara/kurungan sekaligus (ditambah) dengan pidana

dendanya, atau memilih salah satu (alternatif) yaitu menjatuhkan pidana penjara/-

kurungan saja atau pidana denda saja; dan

4. tindak pidananya adalah, tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN

Sifat Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Hukum pidana mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur

kepentingan hukum,14

Oleh karena yang hendak dilindungi adalah kepentingan umum, negara

dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan.15

Pekerja/buruh sangat bergantung kepada

14 Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. VIII, Edisi Revisi, Jakarta, Renika Cipta, hal. 2.

Pada halaman 1 Moeljatno mengemukakan, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: (1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut, (2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, dan (3)

menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

15 Mahrus Ali, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 6.

Mahrus Ali pada halaman 9 dengan mengutip dari Marc Groenhuijsen, Conflict of Victims Intersets and Offender’s Rightsin the Criminal Justice System, dalam Mudzakkir, 2001, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana,Disertasi, Program Pascasarjana. Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI), hal. 26, mengatakan bahwa manakala hukum pidana (ketenagakerjaan) dikonsepkan sebagai hukum publik, maka terjadinya pelanggaran

esensinya merupakan pelanggaran terhadap tertib publik (public order) atau perbuatan melawan masyarakat, melawan badan kolektif dari warga negara, dan menentang serangkaian standar oleh institusi-institusi demokratik masyarakat.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 117/432

Page 6: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

pengusaha, yang dipandang dari sudut sosial ekonomi jauh di atas pekerja/buruh. Kedudukan

pengusaha seperti itu rentan terhadap tindakan kesewenangan terhadap pekerja/buruh. Meng-hindari kesewenangan itu, maka negara melalui penegak hukum harus mengupayakan pene-

gakan hukum tindak pidana (strafbaar feit) ketenagakerjaan.

Penegakan hukum tindak pidana (strafbaar feit) ketenagkerjaan mengupayakan tegak

dan berfungsinya norma-norma hukum pidana ketenagakerjaan secara nyata. Ditinjau dari

sudut subjeknya (segi penegak hukum), penegakan hukum pada tulisan diartikan dalam arti

sempit, yaitu sebagai upaya aparatur penegakan hukum - pengawas PPNS dinas tenaga kerja,

penyidik kepolisian, jaksa dan hakim - untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan

hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, aparatur

penegak hukum itu diperkenankan menggunakan daya paksa. Sedangkan dari sudut objeknya

(segi hukumnya), pengertiannya juga mencakup makna yang luas, yaitu penegakan hukum itu

mencakup pula nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam masyarakat dan nilai-nilai keadilan

yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal. 16

Pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana (ketenagakerjaan) erat hubungannya dengan eksistensi badan negara. Penyimpangan pengusaha yang dapat dipidana dinyatakan oleh badan pembuat Undang-Undang Ketenagakerjaan, sementara penuntutan perkaranya

dilakukan oleh badan lembaga kejaksaan.17

Van Hamel berpendapat, menjalankan hukum

pidana (ketenagakerjaan) sepenuhnya terletak ditangan Pemerintah.18

Pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan esensinya merupakan pelanggaran terhadap tertib publik (publik

order melawan badan kolektif dari warga negara.19

Fungsi Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Fungsionalisasi hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) agar tunduk

dan patuh terhadap hukum ternyata tidak efektif lagi.20

Pengawasan yang dilakukan PPK adalah

usaha pereventif agar pengusaha mematuhi hak-hak pekerja/buruhnya. Fungsi hukum pidana (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan tidak lagi selalu sebagai fungsi subsidi-aritas,

sebagaimana yang selama ini melekat padanya.21

Tekanan dan penderitaan pekerja/-buruh yang

16 http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.

Penegakan hukum ditinjau dari sudut subyek dalam arti luas, yaitu proses penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau

menegakkan aturan hukum. Penegakan hukum ditinjau dari sudut objeknya dalam arti sempit, yaitu penegakan hukum itu

hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan

‘lawenforcement’ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakanhukum’dalam arti luas dan dapat

puladigunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis

dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan

dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’

versus istilah ‘therule by law’yang berarti‘the rule of man by law’. Dalam istilah‘the rule of law’terkandung makna Pemerintahan olehhukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang

terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of

man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya Pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan

oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai Pemerintahan oleh

orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

17 Algra et.al., 1983, Mula Hukum, Jakarta, Bina Cipta, hal. 14.

18 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 302.

19 Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta, Erlangga, hal. 24-27.

20 Mahrus Ali, Op. cit., hal. 15.

21 M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hal. 13.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 118/432

Page 7: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

mempunyai peranan dan kedudukan penting sebagai pelaku dan tujuan pemba-ngunan dalam

pelaksanaan pembangunan nasional tidak bisa dianggap remeh oleh penegak hukum. Harus ada revolusi penegakan hukum terhadap tindak pidana ketenagakerjaan. Perlindungan hak-hak

pekerja/buruh merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat simpangi, dikorbankan dengan alasan apapun, termasuk pemahaman sempit terhadap frasa kalimat,

“memerhatikan/mewujudkan perkembangan dunia usaha atau investor”, alasan yang sering

disampaikan dalam berbagai kesempatan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder).

Stigamtisasi pemidanan tindak pidana ketenagakerjaan semestinya berevolusi ke arah positif,

terlebih di era globalisasi yang melahirkan kompleksitas masalah perburuhan yang sering

menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan perusahaan.

Sudarto membedakan fungsi hukum pidana secara umum dan secara khusus yang

dapat implementasikan terkait pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan, yaitu:22

Secara

umum, ialah untuk mengatur hidup kemasyarakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh, dan secarakhusus, ialah melindungi hak-hak pekerja/buruh terhadap perbuatan-perbuatan melawanhukum dengan ancaman sanksi pidana yang ditetapkan UUK yang sifatnya lebih berat dari pada hukum lain.

Dasar dan Tujuan Pemidanaan Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Dasar Pemidanaan Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Dalam bidang hukum ada adagium, hukum harus diperkuat dengan sanksi. Sanksi untuk memperkuat norma hukum adalah dengan sanksi pidana. Adagium ini juga tampaknya yang diadopsi dalam ketentuan pidana dalam hukum ketenagakerjaan. Norma hukum UUK

diperkuat dengan sanksi pidana yang jauh lebi berat.23

Hal ini menunjukkan bahwa perlu

mensinergikan penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh dengan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan. Meskipun sesuai sifat sanksi pidana sebagai sanksi terberat diban-

dingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam bidang hukum yang lain,24

tetapi dasar hukum

pidana atau pemidanaan terhadap tindak pidana ketenagakerjaan harus sesuai nilai-nilai Pancasila yang menjaga keseimbangan kepentingan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Tujuan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan salah satu kunci penting dalam penjatuhan pidana itu sendiri, atau dapat dikatakan, bahwa penjatuhan pidana haruslah sejalan dengan tujuan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan.

Tujuan Pemidanaan Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) atau pemidanaan adalah melindungi dan memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan (for the public as a whole). Hukum pidana tidak hanya melihat penderi-taan korban atau penderitaan terpidana (not only for the person injured), tetapi melihat ketentraman

masyarakat.25

Tujuan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan dikaitkan dengan ajaran aliran

modern, yaitu melindungi hak-hak pekerja/buruh yang lemah secara sosial ekonomi terhadap

kesewenangan (tindak pidana) yang dilakukan pengusaha selama.26

Teori

22 http://www.seputarilmu.com/2016/01/pengertian-tujuan-dan-fungsi-hukum.html

23 http://www.kompasiana.com/achmadsabil/dasar-hukum-dasar-pemidanaan-dan-tujuan

pemidanaan_585cd8a01497739844f04c5d, Diposting: 23 Desember 2016 14:56, dan Diperbarui: 23 Desember 2016.

Diakses: 5 September 2017.

24 Mahrus Ali, Ibid., hal. 11.

25 Leden Marpaung, 2012, Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana, Cet. VII, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 4-5.

26 Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hal. 14.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 119/432

Page 8: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

yang membenarkan pemidanan tindak pidana ketenagakerjaan ini bukan teori absolut (vergeldingstheorie) yang menjatuhkan pidana ketenagakerjaan sebagai pembalasan

kepadapengusaha karena melakukan tindak pidana kepada pekerja/buruhnya,27

tetapi teori

tujuan, teori prevensi atau teori relatif (doeltheorie) yang mencegah (prevent) kesalahan pada

masa yang akan datang.28

TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2003

Tindak Pidana Kejahatan

Tindak pidana kejahatan dalam UUK terdapat dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 68; Pasal 69 ayat (2); Pasal 74; Pasal 80; Pasal 82; Pasal 90 ayat (1); Pasal

143;29

Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7); dan Pasal 167 ayat (5).

Ketentuan pidana atas tindak pidana kejahatan tersebut di atas terdapat dalam:

Pasal 183 ayat (1), yang berbunyi:

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikena-kan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pasal 184 ayat (1), yang berbunyi:

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pasal 185 ayat (1), yang berbunyi:

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan

ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1

(satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (lempat

ratus juta rupiah).”

Tindak Pidana Pelanggaran

Tindak pidana pelanggaran dalam UUK terdapat dalam ketentuan: Pasal 35 ayat (2) dan

(3); Pasal 37 ayat (2); Pasal 44 ayat (1); Pasal 45 ayat (1); Pasal 67 ayat (1); Pasal 71 ayat (2);

27 Leden Marpaung, Loc. cit.

28 Teguh Prasetyo, Op. cit., hal. 15.

29 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:

“Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:

“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 120/432

Page 9: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

Pasal 76; Pasal 78 ayat (2); Pasal 79 ayat (1) dan (2); Pasal 85 ayat (3); Pasal 144;

Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2); Pelanggaran Pasal 38 ayat (2); Pasal 63 ayat (1); Pasal 78 ayat (1); Pasal 108 ayat (1); Pasal 111 ayat (3); Pasal 114; Pasal 148; Pasal 93 ayat (2); Pasal

137; dan Pasal 138 ayat (1).

Ketentuan pidana atas tindak pidana pelanggaran tersebut di atas adalah:

Pasal 186 ayat (1), yang berbunyi:

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah).”

Pasal 187 ayat (1), yang berbunyi:

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (2), Pasal

44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78

ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dann Pasal 144, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)

bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus ratus juta rupiah).”

Pasal 188 ayat (1), yang berbunyi:

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima juta rupiah).”

Kemudian, dalam Pasal 189 UUK disebutkan bahwa penjatuhan sanksi tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian pekerja/-

buruh. Ketentuan pidana UUK di atas merupakan jaminan terselenggaranya perlindungan

hak-hak pekerja/buruh dari kekuasaan/kekuatan pengusaha.

PENYIDIKAN PEGAWAI PENGAWAS KETENAGAKERJAAN

Peranan PPK/PPNS dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Ketenagkerjaan

Penyidikan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) didasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh

Indonesia jis. Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP30

jo. Pasal 182 ayat (1) UUK11

jo. Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketena-gakerjaan. Sesuai Pasal 182 ayat (2) UUK bahwa PPK/PPNS berwenang:

30 PPNS salah satu penyidik yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

11 Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan (PPK) dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 121/432

Page 10: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana

di bidang ketenagakerjaan;

3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara

tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

5. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan

tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan

7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membukti-kan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

Wewenang PPK/PPNS tidak jauh berbeda dengan kewenangan penyidik Polri, namun

PPK/PPNS dalam melakukan kewenangannya kedudukannya berada berada di bawah

penyidik Polri. Pasal 107 jo. Pasal 109 ayat (3) KUHAP mengatur hubungan koordinasi

fungsional dan instansional di dalam pelaksanaan penyidikan, yaitu hubungan antara penyidik

Polri dengan PPK/PPNS.12

Penelusuran penulis pada tahun 2016 dilakukan di kantor-kantor dinas tenaga kerja di 5 (lima) Provinsi serta Kota Batam, yaitu daerah yang paling banyak perusahaan besar dan jumlah kasus ketenagakerjaan terbesar, sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 1

5 Provinsi Berdasarkan Jumlah Perusahaan Besar 13

No. Provinsi

Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

4. DKI Jakarta 1.538 1.049 1.106 1.106 743

2. Jawa Barat 3.672 3.467 3.942 3.946 4.581

3. Jawa Tengah 1.678 1.841 2.086 2.630 2.232

12 Pasal 107 KUHAP:

Ayat (1) - Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

Ayat (2) - Penyidik pegawai negeri sipil tertentu harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil itu diketemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.

Ayat (3) - Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Penyidik Polri dapat mengembalikan hasil penyidikan pegawai negeri sipil yang dianggap belum sempurna, untuk diperbaiki seperlunya.

Pasal 109 ayat (3) KUHAP - Apabila PPNS menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka PPNS memberitahukan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik Polri dan Penuntut Umum.

13 Dengan jumlah pekerja/buruh lebih dari 100 orang. Kabupaten/kota yang ditelusuri di setiap provinsi meliputi: Kota

Cimahi, Kab. Bogor, Kab. Karawang, Kab. Sukabumi, Kab. Bandung, dan Kab. Purwakarta (Provinsi Jawa Barat); Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Semarang, Kab. Boyolali, Kota Surakarta, dan Kab. Temanggung (Provinsi Jawa Tengah); Kab. Sidoarjo, Kab. Gresik, Kab. Tuban, Kota Kediri, Kab. Lumajang, dan Kota Surabaya (Provinsi Jawa Timur); Kota Tangerang, Kab. Tangerang, Kota Cilegon, Kab. Serang, Kota Serang, dan Kab. Lebak (Provinsi Banten).

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 122/432

Page 11: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

No. Provinsi Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Jawa Timur 3.367 3.638 4.146 4.286 4.363

5. Banten 1.394 1.647 1.394 2.440 2.454

6. Batam (Kepri) 576 584 584 66 64

Sumber: Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Tabel 2 5 Provinsi Berdasarkan Jumlah Kasus Ketenagakerjaan

No. Provinsi Jumlah Kasus Ketenagakerjaan

2012 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5)

1. DKI Jakarta 380 240 607

2. Jawa Barat 4.345 3.331 3.298

3. Jawa Tengah 1.866 7.451 4.437

4. Jawa Timur 2.204 9.599 3.839

5. Banten 1.564 1.564 1.292

6. Kepulauan Riau 1.013 472 409

Sumber: Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Tabel 3

Jumlah Pengawas Ketenagakerjaan Tahun 2011-2015

Umum PPNS

No Provinsi Tahun Tahun

2011 2012 2013 2014 2015 2011 2012 2013 2014 2015

1. DKI Jakarta 91 100 36 71 71 31 - 36 23 23

2. Jawa Barat 168 152 183 176 213 42 46 42 37 44

3. Jawa Tengah 148 171 122 116 126 54 28 36 31 36

4. Jawa Timur 169 138 145 151 124 70 17 52 50 50

5. Banten 47 58 56 56 78 8 6 12 12 12

6. Kepulauan Riau 38 34 43 28 38 8 - 7 3 4

Sumber: Pusat data dan informasi (Pusdatin) Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Kenyataannya, sungguh banyak kasus yang jelas-jelas merupakan tindak pidana

ketenagakerjaan di Indonesia yang diketahui maupun berdasarkan laporan yang diterima

kantor-kantor Dinas Tenaga Kerja, namun PPK /PPNS kurang berperan melakukan upaya

penegakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan. Meskipun pengusaha telah

melakukan tindak pidana perlindungan pekerja/buruh yang nyata-nyata merugikan pekerja/-

buruh sebagaimana ketentuan UUK, PPK hanya mengandalkan/fokus dengan cara-cara

preventif. Penyidikan PPK/PPNS terhadap tindak pidana ketenagakerjaan sangat jarang

ditemukan, meskipun di daerah-daerah tersebut sudah memiliki PPK/PPNS. Tampaknya,

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 123/432

Page 12: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

PPK/PPNS belum punya daya tertarik melakukan penyidikan dan mengajukan tindak

pidananya kepada penuntut umum.14

Pekerja/buruh hanya berharap, menunggu tanpa mengetahui kapan masalah yang

menimpanya terselesaikan. Fakta di atas merupakan indikasi kuat bahwa upaya penegakan

hukum oleh PPK/PPNS terhadap tindak pidana ketenagakerjaan yang dibenarkan UUK masih

jauh dari harapan publik. Padahal, dengan kewenangannya PPK/PPNS dapat memberikan

shocktherapy bagi pengusaha untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. PPK/PPNS harusnya

beranibertindak tegas kepada pengusaha yang melakukan tindak pidana ketenagakerjaan.

Contoh Kasus Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Salah satu contoh kasus yang pernah ditangani penulis, sebagai penerima kuasa15

di

bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Rogate dari 12 orang tenaga pengamanan (security) sebagai pemberi kuasa berdasarkan surat kuasa khusus pada tanggal 16 Mei 2016 atas dugaan tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan perusahaan jasa penyedia tenaga pengamanan/guard services (selanjutnya disebut “PTX”) di Kota Batam yang menempatkan 12 security tersebut kepada pemberi kerja, yaitu sebuah bank besar swasta di Kota Batam. Tindakpidana ketenagakerjaan yang diduga dilakukan PT X terhadap satpam (security) di atas sebagai berikut:

1. Upah dibayarkan di bawah upah minimum sejak awal 2015, tidak sesuai dengan ketentuan

Pasal 90 ayat (1), “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum

.........”16

Ketentuan pidana dalam Pasal 185 ayat (1), “Barang siapa melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud Pasal 90 ayat (1) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah); dan pada Pasal 185 ayat (2) dinyatakan, “Tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 185 ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”

2. Upah lembur tidak dibayarkan sesuai Pasal 78 ayat (2), “pengusaha yang mempe-kerjakan

pekerja/buruh melebihi waktu kerja ....... wajib membayar upah kerja lembur.17

Ketentuan

pidana Pasal 187 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus ratus juta rupiah)”; dan

Pasal 187 ayat (2) dikatakan, “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 187 ayat

(1) merupakan tindak pidana pelanggaran.”

14 http://www.hukumtenagakerja.com/pengawawasan-ketenagakerjaan/pengawasan-dan-penyidikan-

dalam-ketenagakerjaan/

15 Bersama Wulan Mei Firina, S.H., M.H.

16 Lihat, Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan , “Gubernur menetapakan upah minimum sebagai jaring pengaman.” jo. Pasal 6 ayat (1) Peraturan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum, “Gubernur menetapkan upah minimum” jo. Pasal 1 huruf 1 Keputusan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.231/Men/2003 tentang Tata cara penangguhan pelaksanaan Upah Minimum, “Upah minimum adalah upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur” jo. Pasal 15 ayat (1) Peraturan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1239), “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan.”

17 Lihat, Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747) jo. Pasal 4 ayat (1) keputusan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja

Lembur, “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melebihi waaktu kerja, wajib membayar upah lembur.”

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 124/432

Page 13: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

3. Surat keterangan sakit (medical certificate - MC) yang diberikan secara sah oleh Dokter klinik BPJS tidak diakui dan pengusaha tidak membayar upah security atas ketidak-hadirannya karena sakit. Ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf a, “..... pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan peker-

jaan”.18

Ketentuan pidana Pasal 186 ayat (1), “Barang siapa melanggar ketentuan Pasal

93 ayat (2) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah)”. Pasal 186 ayat (2) dikatakan, “Tindak pidana sebagaiamana dimaksud Pasal 186 ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Terkait tindak pidana pertama, yaitu membayar upah di bawah upah minimum. PTX yang sudah lama bergelut di bisnis tersebut mempunyai struktur organisasi yang seharusnya mengetahui aturan/prosedur penangguhan apabila belum mampu membayar upah sesuai upah minimum. Ternyata, pihak bank pun sebagai pemberi kerja atau pengguna jasa memper-syaratkan dengan ketat kepada PTX sebagai mitra (vendor) penyedia jasa satpam yang akan dipekerjakan dipekerjakan. Karena itu, perusahaan pemberi kerja (pihak bank) membayar upah tenaga pengamanan sesuai sesuai ketentuan upah minimum yang berlaku. Demikian

juga, Mabes Polri sebagai pemberi izin19

PTX juga tak kurang ketatnya, berbagai syarat harus

dipenuhi, terlebih perlindungan terhadap hak-hak kesejahteraan para Security yang dipekerja-kannya.

Pasal 90 ayat (1) UUK mengatakan, “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum .......”, dan Pasal 90 ayat (2), “Bagi perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Prosedur penangguhan, perusahaan

tidak mampu membayar upah minimum melakukan penangguhan dengan berperpedoman kepada Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Nomor: Kep.231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.

Contoh kasus di atas adalah menarik, karena berjalan sangat lambat dan terkesan

berbelit-belit. PPK/PPNS tidak melakukan penyidikan untuk kemudian diserahkan kepada

penuntut umum dalam mengupayakan penegakan hukum tindak pidana ketenagakerjaan.

Padahal nyata-nyata PTX telah melakukan tindak pidana ketenagakerjaan. Padahal, apabila

PTX tidak mampu membayar upah minimum sesuai ketentuan dapat melakukan penang-

guhan. Akan tetapi, PTX tidak melakukannya. Artinya, tidak ada alasan bagi PTX membayar

upah kepada 12 Security di bawah upah minimum. Kasus ini berakhir dengan hasil menge-

cewakan para Security.

Permasalahan pada PPK/PPNS

Berdasarkan berbagai sumber dan penelusuran di atas, penulis merangkum berbagai

hambatan/tantangan PPK/PPNS untuk melakukan penyidikan sebagai upaya penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh dalam tindak pidana ketenagakerjaan (UUK). Adapun

hambatan dimaksud adalah sebagai berikut:

18 Lihat, Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan

19 Lihat, Pasal 3 ayat (5) jo. Pasal 8 huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor Pol: 17 Tahun 2006 tentang Pembinaan Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) jo. Pasal 61 ayat (1) huruf a, “BUJP dalam melaksanakan kegiatannya wajib menaati ketentuan peraturan perundangan” Peraturan Kepolisian Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah jo. Pasal 14 huruf d “pelaksanaan audit” Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 24 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Audit untuk Menerbitkan Surat Rekomendasi dan Surat izin Operasional BUJP.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 125/432

Page 14: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

1. militansi PPK/PPNS ketika berhadapan dengan pengusaha, karena yang diawasi adalah

pengusaha yang memiliki kekayaan; 20

2. lemahnya dukungan Pemerintah, seperti: (a) kurangnya sarana dan fasilitas; (b) kurang-nya

profesionalisme karena minimnya pembinaan dan pelatihan lanjutan sesuai perkem-bangan

ilmu hukum, terutama dalam teknik penyidikan; dan (c) kurangnya biaya operasional;

3. belum mampu membangun koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan;

4. kurangnya pengetahuan dan pengalaman untuk melakukan penyidikan;

5. belum familiar dengan dunia ketenagakerjaan, karena: a) PNS baru langsung dididik

menjadi PPK/PPNS, b) setelah era desentralisasi pegawai yang dididik menjadi PPK/-PPNS berasal dari kantor dinas-dinas lain yang baru ditempatkan di dinas tenaga kerja,

dan c) kebanyakan PPNS bukan berlatar belakang pendidikan hukum;

6. dengan alasan untuk melindungi kelangsungan pekerja/buruh, maka PPK/PPNS sangat berhati-hati pula menjaga kelanjutan operasional perusahaan. Sebagaimana dalam ter-

tuang dalam konsiderans bagian menimbang huruf d, yaitu, “........ dengan tetap meme-hartikan perkembangan kemajuan dunia usaha.”

PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN

Pasal 182 ayat (1) UUK mengatakan, “Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus

sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ketentuan Pasal 182 ayat (1) UUK ini menjadi sumber penyebab mandeknya pene-

gakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan (perhatikan cetak tebal).

Kembali kepada contoh kasus di atas. Sebelum dibawa ke Kantor Dinas Tenaga Kerja

Batam, penerima kuasa dan klien mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)

untuk membuat laporan atas dugaan tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan PTX.

Petugas SPKT belum bisa menerima atau menolak laporan, sehingga diarahkan bertemu salah

satu penyidik untuk menilik apakah kasus ini bisa diterima laporannya. Sempat terjadi

perdebatan dengan penyidik, sampai akhirnya laporan ditolak. Atas kasus tersebut penyidik

memberikan saran/pendapat sebagai berikut:

1. penangannya kasus ini harus terlebih dahulu melalui PPK/PPNS; dan

2. kasus ini dianggap sebagai perselisihan hubungan industrial, karena itu disarankan agar diselesaikan lewat jalur pengadilan hubungan industrial (PHI).

Dalam ketentuan Pasal 182 ayat (1) UUK, sama sekali tidak diatur/dijelaskan jika dugaan

tindak pidana ketenagakerjaan harus terlebih dahulu melalui PPK/PPNS. Kata “selain“ pada

kalimat “Selainpenyidik pejabat Polri, juga kepada pegawai pengawas ketenaga-kerjaandapat

diberi wewenang khusus sebagai PPNS ......”Hal ini berarti, bahawa penyidik kepolisian tetap menjadi pintu utama penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh dalam tindak pidana

ketenagkerjaan, sedangkan PPK/PPNS hanya pintu alternatif. Pekerja/buruh dapat dengan bebas

melaporkan setiap dugaan tindak pidana yang dilakukan pengusaha, apakah langsung ke

kepolisian ataupun ke PPK/PPNS di Kantor Dinas Tenaga Kerja. Pihak kepolisian sama sekali

20 Notulensi Pendidikan dan Pelatihan bagi PPNS se-Sumatera Utara, kerjasama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda

Plaza Medan, 30-31 Juli 2007.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 126/432

Page 15: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

tidak mempunyai alasan hukum untuk menolak laporan dan melakukan penyidikan setiap

tindak pidana ketenagakerjaan. Kemudian, untuk kata “dapat”, berarti kewenangan PPK/PPNS bersifat fakultatif. Wewenang PP/PPNS sesungguhnya hanya membantu tugas

penyidik kepolisian, apabila pekerja/buruh melaporkan dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepadanya.

Hambatan lain sehingga penanganan kasus-kasus tindak pidana ketenagakerjaan tidak

mempunyai daya tarik bagi kepolisian adalah masalah sumber daya kepolisian. Banyak

penyidik tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bukum perburuhan, terutama

tindak pidana ketenagakerjaan. Karena itu wajar, jika hasil penyidikan kasus-kasus pidana

ketenagakerjan sangat jarang sekali diserahkan kepada penuntut umum, apalagi ke tingkat

pengadilan.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. kedudukannya pengusaha yang lebih lebih kuat akan rentan terhadap tindakan kese-

wenangan terhadap pekerja/buruh. Menghindari kesewenangan itu, maka negara melalui aparat penegak hukum harus mengupayakan penegakan hukum tindak pidana

(strafbaarfeit) ketenagakerjaan;

2. masalah perburuhan semakin kompleksnya, sehingga fungsionalisasi hukum pidana

sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) menjadi tindak efektif lagi. Pemerintah tidak

bisa hanya mengandalan usaha-usaha pereventif untuk melindungi hak-hak oekerja/buruh

Tujuannya pemidanaan adalah melindungi dan memelihara ketertiban hukum guna

mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagaimana teori tujuan, teori

prevensi atau teori relatif (doeltheorie) adalah mencegah (prevent) terulangnya tindak

pidana pengusaha pada masa yang akan datang;

3. PPK/PPNS sesuai kewenangan yang diberikan UUK masih sangat jarang melakukan penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan. Banyak faktor yang menghambat PPK/PPNS dalam penegakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan;

4. Sesuai Pasal 182 ayat (1) UUK penyidik kepolisian menjadi pintu utama penegakan

hukum perlindungan pekerja/buruh dalam tindak pidana ketenagakerjaan, sedangkan

PPK/PPNS sebenarnya hanya pintu alternatif yang membantu pihak kepolisian. Selama

ini polisi keliru penafsiran Pasal 182 ayat (1), seolah-olah kasus tindak pidana ketena-

gakerjaan harus melalui PP/PPNS sehingga banyak sekali laporan dugaan tindak pidana

yang dilakukan pengusaha terhadap pekerja/buruh yang ditolak. Hal tersebut menyebab-

kan mandeknya penegakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan. Pihak

kepolisian sama sekali tidak mempunyai dasar hukum untuk menolak laporan dan

melakukan penyidikan setiap tindak pidana ketenagakerjaan. Hambatan lainnya adalah,

masalah sumber daya kepolisian yang kurang/tidak mempunyai pengetahuan yang cukup

tentang hukum perburuhan, terutama tentang tindak pidana ketenagakerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

Agusmidah, 2010, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 127/432

Page 16: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

Algra et. al., 1983, Mula Hukum, Jakarta, Bina Cipta.

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Umum Hukum PidanaKodifikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.

Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta, Erlangga.

Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Edisi Revisi, Cet. XIII, Jakarta, Djambatan.

Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, danAktualisasinya, Edisi Pertama, Yogyakarta, Paradigma.

Lalu Husni, 2007, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafika Persada.

Leden Marpaung, 2012, Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana, Cet. VII, Jakarta, PT Sinar Grafika.

M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Isalam Indonesia.

Mahfud M.D., 2010, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Jakarta, PT Rajawali Pers.

Mahrus Ali, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. VIII, Edisi Revisi, Jakarta, PT Renika Cipta.

Mudzakkir, 2001, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana, Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI).

Muh. Tahir Azhary, 2005, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dariSegi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta, Kencana.

Notulensi Pendidikan dan Pelatihan bagi PPNS se-Sumatera Utara, kerjasama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan, 30-31 Juli 2007.

Padmo Wahyono, 1986, Indonesia Negara Berdasatkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Padmo Wahyono, 1991, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Forum Keadilan, No. 29 April 1991.

ParningotanMalau, 2013, Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh atas Keselamatan danKesehatan Kerja, Medan, PT Softmedia.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004.

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 128/432

Page 17: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru.

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung, Alumni.

Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Tim MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Berbangsa danBernegara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012.

Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara HukumPancasila, Bandung, Refika Aditama.

Zainal Asikin, Riwayat Hukum Perburuhan, dalam buku: Zainal Asikin et. al., 2004, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Cet. V, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

http://www.hukumtenagakerja.com/pengawawasan-ketenagakerjaan/pengawasan-danpenyidikan-dalam-ketenagakerjaan/(Diakses 1 September 2017).

http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf (Diakses 20 Agustus

2017).

http://www.kompasiana.com/achmadsabil/dasar-hukum-dasar-pemidanaan-dan-tujuan pemidanaan _585cd8a01497739844f04c5d. (Diakses 5 September 2017).

http://www.seputarilmu.com/2016/01/pengertian-tujuan-dan-fungsi-hukum.html (Diakses 25 Agustus 2017).

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 129/432

Page 18: 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44. 12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 130/432