11_Tumbuhan Epifit

12
KEANEKARAGAMAN SPERMATOPHYTA EPIFIT DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT Agi Karlina (3425111406), Juwita Candra Dewi (3415106774), Ninin Suryani (3415115837), Nurul Samsiyah (3415111363), Ria Lestari (3415111382), Ratna Dewi Wulaningsih, Reduk Nilawarni USULAN PENELITIAN KULIAH KERJA LAPANGAN CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, JAWA BARAT Telah dikonsultasikan dan disetujui tanggal 18 Maret 2014 oleh Pembimbing II Pembimbing I Dra. Reduk Nilawarni DA Dra. Ratna Dewi Wulaningsih., M.Si. NIP. 19510328 197903 2 001 NIP. 19610405 198602 2 001 JURUSAN BIOLOGI

description

epifit

Transcript of 11_Tumbuhan Epifit

KEANEKARAGAMAN SPERMATOPHYTA EPIFIT DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

Agi Karlina (3425111406), Juwita Candra Dewi (3415106774), Ninin Suryani (3415115837), Nurul Samsiyah (3415111363), Ria Lestari (3415111382), Ratna Dewi Wulaningsih, Reduk Nilawarni

USULAN PENELITIAN KULIAH KERJA LAPANGANCAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, JAWA BARAT

Telah dikonsultasikan dan disetujui tanggal 18 Maret 2014 oleh

Pembimbing IIPembimbing I

Dra. Reduk Nilawarni DADra. Ratna Dewi Wulaningsih., M.Si.NIP. 19510328 197903 2 001NIP. 19610405 198602 2 001

JURUSAN BIOLOGIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI JAKARTA2014KEANEKARAGAMAN SPERMATOPHYTA EPIFIT DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT (Diversity of Spermatophyta Epiphytic in The Nature Reserve at Pananjung Pangandaran,Ciamis District, West Java)Agi Karlina (3425111406), Juwita Candra Dewi (3415106774), Ninin Suryani (3415115837), Nurul Samsiyah (3415111363), Ria Lestari(3415111382), Ratna Dewi Wulaningsih, Reduk NilawarniABSTRAKTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keanekaragaman spermatophyta epifit di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasi dan deskriptif. Pengamatan dilakukan dengan pencuplikan tumbuhan epifit menggunakan metode transek-kuadrat di lokasi sepanjang 500 meter yang terbagi dalam 5 transek dengan jarak antar transek 25 meter, dan menggunakan plot berukuran 10 x 10 meter dengan jarak antar kuadrat 10 meter serta peletakkan kuadrat secara zig-zag sepanjang 100 meter. Tumbuhan yang tercuplik adalah spermatophyta epifit yang terdapat di lokasi penelitian tersebut. Selain itu, dilakukan pengukuran faktor lingkungan seperti suhu, intensitas cahaya, dan kelembaban udara sebagai data pendukung. Indeks keanekaragaman jenis dihitung untuk menentukan keanekaragaman jenis yang juga menunjukkan tingkat kestabilan dari vegetasi menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Jenis dari Shanon dan Wiener.

Kata kunci: Shanon dan Wiener, Indeks keanekaragaman, metode observasi dan deskriptif, faktor lingkungan

PENDAHULUANA. Latar BelakangTumbuhan epifit merupakan salah satu kekayaan hayati yang belum banyak diungkapkan, sehingga pemanfaatannya terbatas sekali. Tumbuhan epifit merupakan tumbuhan yang hidup menumpang tanpa mengambil makanan dari inangnya (Mabberly, 1983). Beberapa epifit khas menempati stratum tertentu pada inangnya, tetapi kebanyakan menempati semua strata mulai dari bawah, tengah, sampai tajuk pohon. Epifit dapat menempel pada batang, dahan,daun, pohon, perdu, dan liana (Smith, 1979). Hutan hujan tropis memiliki banyak tumbuhan epifit. Umumnya lebih dari 10% pohon-pohon dalam hutan hujan tropis ditumbuhi epifit (Richard, 1981). Tumbuhan ini melimpah di tempat yang cukup curah hujan, di sekitar mata air, sungai atau air terjun. Bentuk kehidupan epifit didominasi oleh Bryophyta, Pterydophyta dan Orchidaceae (Steenis, 1972). Suku-suku dari tumbuhan tinggi yang dapat tergolong epifit adalah Gesneriaceae, Melastomataceae, Rubiaceae, Orchidaceae, dan Asclepidaceae. Epifit yang berasal dari tumbuhan tinggi merupakan makroepifit.Keberadaan tumbuhan epifit pada suatu kawasan hutan sangat tergantung pada tipe formasi hutan dan altitude. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, temperatur, kelembaban, dan jenis-jenis vegetasi yang ada. Selain dipengaruhi faktor mikroklimat, keberadaan tumbuhan epifit juga dipengaruhi spesies pohon inangnya, karena setiap pohon inang memiliki kekhasan dalam bentuk kanopi, ketinggian batang, proses biokimiawi dan lain-lain. Umumnya, kelimpahan epifit meningkat mulai dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan atas (Whitten, 1984). Tumbuhan epifit memainkan peranan ekologi penting dalam komunitas hutan karena merupakan penyumbang dalam biomassa dan kekayaan jenis hutan (Whitten, 1984). Tumbuhan epifit mempengaruhi iklim mikro dan menjadi habitat hidup berbagai jenis hewan. Selain itu, beberapa jenis tumbuhan epifit dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias.Menurut Barbour et al (1987), keanekaragaman jenis (diversitas spesies) adalah ukuran heterogenitas populasi suatu komunitas. Diversitas spesies merupakan kombinasi antara kekayaan jenis (spesies richness) dan keseimbangan/kemerataan jenis (spesies evenness) atau ekuibilitas spesies. Sejauh ini bagaimana komposisi tumbuhan epifit di Pangandaran masih sangat sedikit dilaporkan. Karenanya, perlu dirancang penelitian untuk mengetahui keanekaragaman spermatophyta epifit di Pangandaran, Jawa Barat.

Mahasiswa Program Studi Biologi/Pendidikan Biologi Reguler/Pendidikan Biologi Billingual Jurusan Biologi FMIPA UNJ Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA UNJ, Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun, Jakarta 13220

B. Identifikasi MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:1. Bagaimana tingkat keanekaragaman spermatophyta epifit di Pangandaran, Jawa Barat?

C. Pembatasan MasalahPenelitian ini dibatasi pada beberapa aspek, diantaranya: Tumbuhan epifit divisi spermatophyta pada pohon sebagai tujuan pengamatan Lokasi pengamatan di sekitar kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran yang berada di dekat pantai

D. Rumusan MasalahBagaimana tingkat keanekaragaman spermatophyta epifit di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat?

E. Tujuan PenelitianMengetahui tingkat keanekaragaman spermatophyta epifit di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Kabupaten Ciamis Jawa Barat.

F. Manfaat Penelitian1. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi studi-studi ekologi dan keanekaragaman hayati khususnya tentang keanekaragaman spermatophyta epifit di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

2. Ruang Lingkup PenelitianVariabel yang diamati adalah tingkat keanekaragaman spermatophyta epifit di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis (diversitas spesies) adalah ukuran heterogenitas populasi suatu komunitas. Diversitas spesies merupakan kombinasi antara kekayaan jenis (spesies richness) dan keseimbangan / kemerataan jenis (spesies evenness) atau ekuibilitas spesies (Barbour et al, 1987)Menurut Odum (1993) ada dua macam pendekatan yang digunakan untuk menganalisis keanekaragaman jenis yaitu pembandingan yang didasarkan pada bentuk, pola atau persamaan kurva banyaknya jenis dan pembandingan yang didasarkan pada indeks keanekaragaman. Keanekaragaman jenis memiliki dua komponen dasar yaitu kekayaan jenis dan kesamarataan/kemerataan jenis. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam satu komunitas yang dihitung dengan menggunakan indeks jenis (jumlah jenis persatuan area). Kemerataan atau equibilitas adalah pembagian individu yang merata di antara jenis.

1. Kekayaan jenis Kekayaan jenis adalah jumlah spesies yang sesungguhnya dalam suatu komunitas. Kekayaan jenis suatu komunitas ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Pemisahan Niche Relung (niche) adalah posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Resosoedarmo, 1986). Pemisahan niche dapat mengakibatkan terjadinya keseimbangan, karena diduga jenis-jenis yang hidup bersama memiliki niche yang berbeda.

b. Perlindungan Perlindungan merupakan sumber daya bagi calon individu baru yang akan tumbuh pada suatu habitat. Dengan demikian setiap individu dapat tumbuh dengan baik pada habitatnya. Apabila perlindungan pada lingkungan dapat dipertahankan maka keanekaragaman jenis akan bertambah besar.

c. Gangguan Gangguan yang dialami suatu komunitas dapat mempengaruhi komposisi dan keankaragaman jenis dalam suatu komunitas tersebut. Gangguan yang terjadi pada suatu komunitas dapat berupa gangguan fisik, biologis dan kimiawi.

2. Keseimbangan / Kemerataan Jenis Keseimbangan spesies atau ekuibilitas spesies adalah distribusi individu diantara jenis pada suatu komunitas. Keseimbangan jenis dianggap maksimum jika semua jenis dalam komunitas memiliki jumlah individu yang sama (Barbour et al). Keseimbangan jenis dapat terjadi jika beberapa spesies hidup bersama-sama dalam suatu habitat. Hidup bersama dapat terjadi karena adanya: (i) perbedaan kebutuhan nutrisi mineral, (ii) perbedaan penyebab kematiannya; (iii) perbedaan kepekaan terhadap racun; (iv) perbedaan waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan. Menurut Campbell (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman spesies yaitu:

a. Ketersediaan Energi Peningkatan radiasi matahari di daerah tropis meningkatkan aktivitas fotosintesis tumbuhan, yang menyediakan peningkatan dasar sumber daya untuk organisme lain dan dengan demikian kemampuannya lebih besar untuk mendukung spesies.

b. Heterogenitas Habitat Dibandingkan dengan daerah lain, daerah tropis yang sering kali mengalami gangguan yang lebih bersifat lokal (seperti pohon tumbang, banjir, angin ribut) dan memiliki ketidak seragaman lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang lebih besar pada spesies tumbuhan untuk membentuk dasar sumber daya bagi komunitas hewan yang sangat beraneka ragam.

c. Spesialisasi Niche Iklim tropis memungkinkan banyak organisme untuk mengalami spesialisasi terhadap kisaran sumber daya yang lebih sempit. Relung yang lebih kecil akan mengurangi persaingan dan memungkinkan tingkat pembagian sumber daya yang lebih baik diantara spesies-spesies, yang selanjutnya akan menggalang keanekaragaman spesies yang lebih besar.

d. Interaksi Populasi Keanekaragaman adalah dalam suatu pengertian, memperbanyak diri sendiri karena interaksi populasi yang kompleks mengalami koevolusi, dan interaksi pemangsa-mangsa dan interaksi simbiotik yang dihasilkan dalam komunitas yang beranekaragam mencegah agar suatu populasi tidak menjadi domonan. Menurut Odum (1993) keanekaragaman jenis sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan fungsional tingkat-tingkat tropik. Suatu komunitas di suatu lingkungan yang mantap seperti pada hutan tropik, mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dari pada suatu komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan-gangguan musiman secara periodik oleh manusia atau alam. Keanekaragaman akan cenderung tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk. Sementara produktivitas atau aliran energi sangat mempengaruhi keanekaragaman jenis.

B. Tumbuhan Epifit

Epifit adalah tumbuhan yang hidupnya menempel pada tumbuhan lain sebagai penopang, tidak berakar pada tanah, berukuran lebih kecil dari tumbuhan penopang atau inang (Vickery, 1984).Sedangkan menurut Van Steenis (2006) epifit adalah semua tumbuh-tumbuhan yang tumbuh diatas tanaman lain, tetapi tidak menjadi parasitnya. Sebagian besar tanaman ini termasuk dalam tanaman yang hidupnya rendah (lumut, lumut hati dan ganggang), tetapi juga terdapat tumbuhan paku yang tumbuh sendiri misalnya Asplenium, Davalia dan lain-lain. Sedangkan tumbuhan epifit tingkat tinggi terutama adalah Orchidaceae seperti Dendrobium hingga jenis Ficus. Ewusie (1990) menyebutkan bahwa iklim mikro yang ditempati epifit adalah apa yang tersedia bagi tumbuhan yang mengkombinasikan ukuran kecil dengan kebutuhan cahaya yang nisbi banyak. Namun epifit melakukan pengorbanan tertentu untuk memenuhi kebutuhan cahayanya, karena mikro iklim habitat itu tidak mempunyai tanah. Pada habitat yang kering atau pada ketinggian tertentu tumbuhan epifit menghadapi kekurangan air maupun zat hara. Tumbuhan epifit tidak bergantung pada bahan makanan yang berasal dari tumbuhan yang ditempelinya, karena tumbuhan epifit mendapat unsur hara dari mineral-mineral yang dibawa oleh udara, air hujan atau aliran batang atau cabang dari tumbuhan lain. Tumbuhan epifit mampu melakukan fotosintesis untuk pertumbuhannya, sehingga tidak bersifat parasit. Keberadaan tumbuhan epifit sangat penting dalam ekosistem hutan, karena tumbuhan epifit mampu menyediakan tempat tumbuh bagi semut-semut pohon.Hutan hujan tropis kaya akan berbagai spesies, salah satu corak yang mencolok pada hutan hujan tropis adalah berlimpahnya dan suburnya berbagai tumbuhan rambat dan epifit (Ewusie, 1990). Dalam hutan hujan tropis lebih dari 19% pepohonan dalam hutan hujan tropis berasosiasi dengan tumbuhan epifit. Di dalam hutan, tumbuhan epifit bertengger tumbuh di batang, cabang, atau pada permukaan atas daun-daun tumbuhan yang selalu hijau (evergreen). Epifit tumbuh berlimpah dicabang-cabang dari pada di ranting-ranting yang horizontal, karena pada cabang-cabang akan memungkinkan epifit mendapatkan hara dari deposit yang berasal dari aliran batang atau cabang (Richard, 1952 dikutip oleh Indriyanto, 2008).Dari semua kelas vegetasi, epifit merupakan tumbuhan yang paling bergantung pada presipitasi (hujan), sehingga keberadaan epifit sangat berlimpah pada daerah yang intensitas hujannya tinggi. Pada daerah yang curah hujannya kurang, maka epifit melakukan adaptasi dengan menunjukkan xeromophy yaitu meliputi penebalan kutikula, stomata terbenam, sekulen (tubuh berair), berkembang akar-akar lebat yang tampak seperti sarang burung, (Vickery, 1984 dikutip oleh Indriyanto, 2008).

1. Syarat Tempat Tumbuh Tumbuhan Epifit

Habitat tumbuhan epifit tidak sama dengan tumbuhan yang hidup diatas tanah. Tumbuhan yang hidup diatas tanah mendapatkan cahaya yang lebih banyak dan kelembaban yang rendah dari pada tumbuhan yang menempel pada pohon (bersifat epifit). Menurut Ewusie (1990) pohon inang atau bagian pohon tempat epifit menempel mempunyai kemiringan sudut dari kedudukan mendatar sampai tegak lurus, yang dapat mempengaruhi proses pemencaran biji. Pemencaran berhasil ketika biji melekat pada pohon dan biji dapat hidup. Hutan hujan tropis memiliki intensitas curah hujan yang cukup tinggi sehingga keadaannya selalu lembab, hal ini memungkinnkan pepagang pohon menjadi licin sehingga dapat menyebabkan perlekatan biji tidak berhasil. Perbedaan kemiringan dan arah hadap antar bagian pohon yang sama dapat mempengaruhi pembentukan biji dan spora serta dapat mempengaruhi pencahayaan dan penguapan tumbuhan epifit. Tumbuhan epifit yang hidup pada batang pohon inang yang tegak akan berbeda dengan dahan medatar (percabangan). Misalnya pada pohon paku besar seperti Aspleium nidus yang cenderung memilih tempat pada batang ketimbang pada cabang. Pohon inang atau bagian pohon tempat epifit mempunyai kemiringan permukaan yang mempengaruhi laju pengumpulan humus, karena itu tumbuhan epifit tertentu hanya tumbuh ditempat yang dapat mengumpulkan humus dalam jumlah banyak, seperti pada dasar percabangan pohon.Menurut Ewusie (1990) kekurangan tanah pada habitat (tempat hidup) tumbuhan epifit disebabkan oleh bahan luruhan yang jumlahnya sedikit dalam celah dan lekukan pada pohon inangnya. Dalam kondisi demikian tumbuhan epifit mengandalkan bahan luruhan yang dikumpulkan diantara akar serta daunnya sendiri. Beberapa jenis epifit beradaptasi dengan kondisi sedemikian rupa sehingga dapat mengumpulkan tanah. Selain itu adanya semut yang menghuni perakaran pada kebanyakan tumbuhan epifit mengumpulkan daun mati, biji dan bahan luruhan yang diuraikan mejadi humus. Humus digunnakan tumbuhan epifit untuk meningkatkan daya tambah air pada tanah dan memberikan zat hara pada tumbuhan epifit.Tumbuhan epifit pada dataran rendah mempunyai laju penguapan tinggi dan kelembaban rendah yang dapat menyebabkan tumbuhan epifit kekurangan air, dalam keadaan tersebut tumbuhan epifit menyimpa persediaan airnya. Tumbuhan epifit menyerap air dengan cepat pada waktu air tersedia dan menyimpannya untuk dipakai ketika kekurangan air. Beberapa faktor yang menentukan penyebaran epifit adalah pencahayaan, kemiringan pohon inang, umur pohon inang dan spesies tumbuhan inang.Tumbuhan epifit tidak hanya beberapa pohon yang terdapat di hutan hujan tropis, pohon kelapa sawit juga dapat ditempati tumbuhan epifit sebagai habitatt (pohon inang). Pohon kelapa sawit memiliki alur dan celah atau tertutup pangkal daun yang lebar, sehingga perlekatan tidak menimbulkan persoalan dan pertumbuhan epifit menjadi subur. Pohon kelapa sawit dapat ditemukan dalam hutan tropika, walaupun batang kelapa sawit tidak mempunyai cabang, tetapi pohonnya memiliki sejumlah daun majemuk besar yang dapat disebut dahan. Pada pelepah daun kelapa sawit mempunyai permukaan yang kasar yang memungkinkan terbentuknya rongga-rongga yang dapat mengumpulkan air dan humus untuk menghidupi berbagai tumbuhan epifit (Ewusie, 1990).

2. Tumbuhan Epifit Divisi SpermatophytaDiantara tumbuhan epifit berbunga adalah famili Araceae, Bromeliaceae dan Orchidaceae, yang termasuk tumbuhan monokotil, dan tumbuhan dikotil yang meliputi Asclepiadaceae, Ericaceae, Rubiaceae dan Melastomataceae (Ewusie, 1990). Suku anggrek-anggrekan merupakan tumbuhan herba menahun yang umumnya hidup secara epifit atau menempel pada tumbuhan lain. Akarnya berupa akar rimpang atau batang yang membesar. Daun suku anggrek berdaging, tepinya rata serta daunnya berseling. Baik kolopak bunga maupun mahkota bunganya, masing-masing berjumlah tiga buah (Van Steenis, 2006).

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan WaktuPenelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat kawasan seluas 37,70 dengan ketinggian tempat rata-rata 100 meter di atas permukaan laut, tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata per tahun 3.196 mm, suhu udara antara 80-90% (Schmidt dan Ferguson). Penelitian ini dilaksanakan selama 2 hari pada tanggal 22-23 April 2014.

B. Alat dan Bahan Penelitian1. Alat tulis, untuk mencatat proses dan hasil pengamatan2. Buku identifikasi, untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan yang di dapat.3. Thermometer, untuk mengukur suhu udara. 4. Hygrometer, untuk mengukur kelembaban. 5. Altimeter, untuk mengukur ketinggian tempat. 6. Meteran, untuk mengukur kuadrat. 7. Kompas GPS, untuk mengetahui arah mata angin. 8. Gunting dan pisau, untuk mengambil sampel. 9. Tali rafia dan pasak, untuk membuat kuadrat 10. Kamera digital, untuk keperluan dokumentasi.11. Koran/Plastik, untuk menyimpan spesimen.12. Binokuler, untuk melihat morfologi pohon secara jelas

C. Metode 1) Metode Pengamatan dilakukan dengan metode observasi dan deskriptif. 2) Rancangan penelitianPenelitian meliputi dua tahap yaitu tahap pra penelitian dan tahap penelitian. Tahap pra penelitian dimulai dari konsultasi pengajuan judul dengan pembimbing, penentuan metode yang digunakan, pengumpulan referensi dan literatur pendukung dan pengumpulan data penunjang yang berhubungan dengan kajian penelitian serta persiapan alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian. Penentuan area observasi dilakukan secara sengaja dengan memilih area yang dianggap memiliki komunitas tumbuhan epifit.Pada tahap penelitian dilakukan dengan pencuplikan tumbuhan epifit dengan menggunakan metode transek-kuadrat secara purposive sampling. Tumbuhan yang tercuplik adalah tumbuhan epifit yang terdapat dalam kuadrat. Selain itu, dilakukan pengukuran faktor lingkungan seperti suhu, intensitas cahaya, dan kelembaban udara. Dalam penelitian ini digunakan lima buah transek dengan masing-masing jarak antar transek 25 m. Penempatan transek dilakukan di lokasi sepanjang 100 m secara tegak lurus dengan 5 titik pengamatan, dan menggunakan plot berukuran 10 x 10 m dengan jarak antar kuadrat 10 m secara zig-zag. Tumbuhan epifit yang ditemukan dicatat dan diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi tumbuhan spermatophyta.

Gambar. Rancangan pengambilan sampel dengan metode transek-kuadrat.

3) Teknik SamplingPengambilan sampel dilakukan dengan pengambilan sampel yang bertujuan (teknik purposive sampling). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan epifit golongan Spermatophyta yang terdapat di lokasi penelitian.

4) Langkah Kerjaa) Tahap Pra Penelitian1. Melakukan survei penelitian sebagai kegiatan pendahuluan untuk memperoleh gambaran secara umum tentang tumbuhan epifit golongan Spermatophyta yang ada di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran.2. Menentukan lokasi penelitian yang akan dijadikan area observasi dengan secara sengaja memilih lokasi yang dianggap memiliki komunitas tumbuhan epifit.b) Tahap Penelitian1. Pengambilan sampel/ dataPenelitian dilakukan di lokasi yang dianggap memiliki komunitas tumbuhan epifit, selanjutanya dilakukan penelitian dengan menggunakan metode transek-kuadrat. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:a. Menentukan lokasi yang akan diamatib. Menempatkan 5 buah transek pada lokasi yang telah ditentukan dengan masing-masing antar transek 25 m. Setiap transek dibentangkan pada lokasi sepanjang 100 m. c. Menetukan 5 titik pengamatan pada transekd. Meletakkan plot/kuadrat pada lokasi pengamatan dengan ukuran 10 x 10 m dengan jarak antar kuadrat 10 m secara zigzag. e. Menghitung dan mencatat spesies yang terdapat pada tiap-tiap plot dengan melihat ciri-ciri dari tumbuhan epifit tersebut. f. Sampel yang didapat didokumentasikan2. Pengukuran faktor lingkunganPengukuran parameter fisik yaitu suhu, dan kelembaban udara.3. Identifikasi tumbuhanSampel yang ditemukan di lokasi pengamatan langsung diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi tumbuhan. Sampel yang belum teridentifikasi, dikoleksi dan dibawa ke laboratorium ekologi FMIPA UNJ untuk diidentifkasi lebih lanjut.

5) Analisis DataAnalisis keanekaragaman dimaksudkan untuk mengetahui dan menentukan komposisi jenis vegetasi, jumlah individu, keanekaragaman dan dominansi jenis pada habitat mikro di batang inang. a. Indeks Keanekaragaman Jenis (H)Indeks keanekaragaman jenis dihitung untuk menentukan keanekaragaman jenis yang juga menunjukkan tingkat kestabilan dari vegetasi. Bratawinata (1998) yang mengutip dari Odum (1993) menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Jenis dari Shanon dan Wiener (1949) sebagai berikut:

Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wienner didefinisikan sebagai berikut:a. Nilai H > 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu tempat adalah melimpah tinggi.b. Nilai 1 H 3 menunjukkan bahwa keaneragaman spesies pada suatu tempat adalah sedang.c. Nilai H < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu tempat adalah sedikit atau rendah

6) Alur Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Barbour, M. G., J.H. Burk., and W.P. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. California : The Benjamin/Cumming Publishing Company Inc.Campbell, J. B. Reece, L. G dan Mitchell. 2004. BiologiEdisi kelima Jilid 3. Jakarta : Penerbit Erlangga. Mabberly, D. J. 1983. Tropical Rain Forest Ecology. Second Edition. New York : Blackie Academic & Professional.Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga . Yogyakarta : Gajah mada University Press.Resosoedarmo, R.S., Kartawijaya, K., Soegianto., A. 1986. Pengantar Ekolologi. Bandung: Remadja Karya CV. Richards, P. W. 1981. The Tropical Rain Forest. 7th Edition. New York : Cambridge University Press London.Smith, G. M. 1979. Cryptogamic Botany Vol. II Bryophyte and Pteridophyte. New York : Mc. Graw-Hill Book Company Inc.Steenis, C.G.G..J. van. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden : E.J. Brill.Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Whiley and Sons. New York : Penerbit Yayasan Obor Indonesia.Whitten, A. J., J. Anwar, S. J. Damanik., N. Hisyam. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.