11. BAB II.docx
Transcript of 11. BAB II.docx
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair Tekstil
Limbah cair merupakan air bekas yang sudah tidak terpakai lagi sebagai hasil
dari berbagai kegiatan manusia sehari-hari. Air buangan industri tekstil yang
menggunakan bahan-bahan kimia banyak mengandung zat pencemar/racun yang
dapat mengakibatkan gangguan terhadap lingkungan, kehidupan manusia,
binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Zat warna dapat mengakibatkan penyakit
kulit dan yang sangat membahayakan adalah dapat mengakibatkan kanker kulit
(Sugiharto, 1987). Dengan banyaknya zat pencemar yang ada di dalam limbah,
akan menyebabkan kadar oksigen yang terlarut dalam air menurun. Hal ini
mengakibatkan ikan dan mikroba di dalam air akan mati, juga dapat menimbulkan
kerusakan pada tanaman atau tumbuhan air, sehingga proses self purification yang
seharusnya dapat terjadi pada air limbah menjadi terhambat (Sugiharto, 1987).
Karakteristik air limbah dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1.Karakteristik Fisika
Karakteristik fisika ini terdiri dari beberapa parameter, diantaranya :
a. Total Solid (TS)
Merupakan padatan didalam air yang terdiri dari bahan organik maupun
anorganik yang larut, mengendap, atau tersuspensi dalam air.
6
7
b. Total Suspended Solid (TSS)
Merupakan jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang ada didalam air
limbah setelah mengalami penyaringan dengan membrane berukuran 0,45
mikron (Sugiharto, 1987).
c. Warna.
Pada dasarnya air bersih tidak berwarna, tetapi seiring dengan waktu dan
menigkatnya kondisi anaerob, warna limbah berubah dari yang abu-abu menjadi
kehitaman.
d. Kekeruhan
Kekeuhan disebabkan oleh zat padat tersuspensi, baik yang bersifat organik
maupun anorganik.
e. Temperatur
Merupakan parameter yang sangat penting dikarenakan efeknya terhadap reaksi
kimia, laju reaksi, kehidupan organisme air dan penggunaan air untuk berbagai
aktivitas sehari-hari.
f. Bau
Disebabkan oleh udara yang dihasilkan pada proses dekomposisi materi atau
penambahan substansi pada limbah. Pengendalian bau sangat penting karena
terkait dengan masalah estetika.
Kekeruhan pada dasarnya disebabkan oleh adanya zat-zat koloid yaitu zat yang
terapung, serta terurai secara halus, jasad-jasad renik atau benda lain yang tidak
mengendap segera. Warna air berkaitan erat dengan zat-zat koloid yang
tersuspensi di dalamnya. Masalah warna dan bau dapat dilacak dari bermacam-
8
macam zat pencemar, misalnya zat kimia pembersih maupun zat kimia terlarut
mengandung bau (Hardisubroto, 1989).
2. Karakteristik kimia
Chemical Oxygen Demand (COD)
Adalah banyaknya oksigen yang di butuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan
organik secara kimia.
Reaksi:
+ 95% terurai Zat Organik + O2 CO2 + H2O
(Hanum, 2002).
Chemical Oxygen Demand merupakan ukuran yang baik, karena memberikan petunjuk
tentang jumlah materi yang terdegradasi oleh makhluk hidup dan materi yang bersifat
racun atau toksik (Hardisubroto, 1989). COD dinyatakan dalam ppm (part per
milion) atau ml O2/ liter (Alaerts & Santika, 1984).
2.2 Elektrokoagulasi
Proses elektrokoagulasi merupakan gabungan dari proses elektrokimia dan
proses koagulasi flokulasi. Sel elektrokimia adalah sel yang menghasilkan transfer
bentuk energi listrik menjadi energi kimia atau sebaliknya, melalui saling interaksi
antara arus listrik dan reaksi redoks. Kajian yang mempelajari perubahan kimia
oleh sebab adanya transfer elektron disebut elektrokimia, dan proses koagulasi
dengan menggunakan koagulan yaitu suatu proses destabilisasi dan penggabungan
dari partikel-partikel koloid dan halus yang tersuspensi dengan menggunakan
bahan koagulan. Koagulan yang banyak digunakan adalah kapur, tawas, dan
9
kaporit. Pertimbangan pemberiannya adalah karena garam-garam Ca, Fe, dan
lainya yang bersifat tidak larut dalam air akan mengendap bila bertemu dengan
sisa-sisa basa (Kusnaedi, 1995).
Proses elektrokoagulasi memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mengolah
limbah cair.
a. Kelebihan Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi dalam pengolohan limbah sudah dilakukan sejak ratusan
tahun yang lalu, tetapi pada abad 20 ini telah ditemukan berbagai pengembangan
teknologi tentang elektrokoagulasi, berikut ini kelebihan dari elektrokoagulasi :
1. Elektrokoagulasi memerlukan peralatan sederhana dan mudah untuk
dioperasikan.
2. Flok yang dihasilkan elektrokoagulasi ini sama dengan flok yang dihasilkan
koagulasi biasa.
3. Keuntungan dari elektrokoagulasi ini lebih cepat mereduksi kandungan
koloid/partikel yang paling kecil, hal ini disebabkan pengaplikasian listrik
kedalam air akan mempercepat pergerakan mereka didalam air dengan
demikian akan memudahkan proses.
4. Gelembung-gelembung gas yang dihasilkan pada proses elektrokoagulasi ini
dapat membawa polutan ke atas air sehingga dapat dengan mudah dihilangkan.
5. Dapat memberikan efisiensi proses yang cukup tinggi untuk berbagai kondisi,
dikarenakan tidak dipengaruhi temperatur.
6. Tidak diperlukan pengaturan pH.
7. Tanpa menggunakan bahan kimia tambahan.
10
b. Kelemahan Elektrokoagulasi
Ada beberapa kekurangan elektrokoagulasi ini, berikut ini kekurangan dari
proses elektrokoagulasi :
1. Tidak dapat digunakan untuk mengolah limbah cair yang mempunyai sifat
elektrolit cukup tinggi dikarenakan akan terjadi hubungan singkat antar
elektroda.
2. Besarnya reduksi logam berat dalam limbah cair dipengaruhi oleh besar
kecilnya arus voltase listrik searah pada elektroda, luas sempitnya bidang
kontak elektroda dan jarak antar elektroda.
3. Penggunaan listrik yang mungkin mahal.
Proses elektrokoagulasi melibatkan peristiwa elektrolisis, yaitu peristiwa
dimana energi listrik dengan arus searah digunakan untuk menginduksi reaksi
redoks yang tidak spontan sehingga terjadi dekomposisi material elektroda
(anoda) dan elektrolit (Suaib, 1994). Reaksi yang terjadi pada sistem ini yaitu:
Anoda (+) :
1. Logam anoda akan teroksidasi menjadi kation logam: M → M+n + n e
2. Ion OH- dari suatu basa akan mengalami oksidasi membentuk gas oksigen
(O2):
4 OH-(aq) → 2 H2O(l) + O2 (g) + 4 e
3. Anion-anion lain (SO4-2, SO3-) tidak dapat dioksidasi dari larutan, yang akan
mengalami oksidasi adalah H2O membentuk gas oksigen (O2) pada anoda:
2 H2O(l) → 4 H+(aq) + O2 (g) + 4 e
11
Katoda (-) :
1. Ion-ion logam yang terdapat dalam larutan akan mengalami reduksi:
M+n + n e → M
2. Jika larutan mengandung ion-ion logam alkali dan alkali tanah, maka ion-ion
ini tidak dapat direduksi dan yang mengalami reduksi adalah air, dan terbentuk
gas hidrogen (H2) pada katoda:
2 H2O(l) + 2 e → 2 OH-(aq) + H2 (g)
3. Ion H+ dari suatu asam akan direduksi menjadi gas hidrogen yang akan bebas
sebagai gelembung-gelembung gas:
2 H+(aq) + 2 e → H2 (g)
Ketika arus searah dialirkan, maka elektron yang mengalir melalui anoda akan
diterima oleh material anoda, dan untuk mengalirkan elektron tersebut agar
sampai kekatoda, maka material anoda akan teroksidasi dengan melepaskan
sejumlah elektron (Suaib, 1994; Andrianto, dkk., 2001). Elektron-elektron
tersebut mengalir melalui fase elektrolit (air) dan diterima oleh katoda, sehingga
dikatoda terjadi reduksi yaitu penyerapan elektron oleh elektrolit dan kontaminan
logam. Elektolit pada proses elektrokoagulasi adalah air yang akan
terdekomposisi mengalami reduksi dan oksidasi.
Pelarutan dari anoda logam bertujuan untuk memproduksi terus menerus ion-
ion logam. Kation logam M+ yang dihasilkan selanjutnya akan bergabung dengan
ion OH- yang dihasilkan dari reduksi H2O maupun dari suatu basa, sehingga
terjadi koagulasi membentuk endapan M(OH)n. Bila larutan tersebut mengandung
koloid maka reaksi pembentukan flok akan segera terjadi. Koloid-koloid
12
umumnya bermuatan negatif. Flok M(OH)n yang mengandung muatan positif
selanjutnya akan mendestabilisasi dan menurunkan gaya tolak menolak antar
partikel koloid. Lapisan difusi akan mengecil dan memungkinkan bekerjanya gaya
tarik menarik antar partikel koloid dengan ion-ion dari elektrolit yang muatannya
berlawanan. Diharapkan muatan ini dapat dinetralkan, sehingga terjadi
penggumpalan partikel-pertikel polutan yang akhirnya dapat diendapkan. Dari
reaksi di tersebut, akan dihasilkan gas H2 pada katoda dan O2 pada anoda, dan flok
M(OH)n. Adanya gelembung-gelembung gas tersebut menyebabkan flok kotoran
yang lebih ringan terangkat ke permukaan. Selanjutnya apabila di dalam limbah
terdapat ion-ion logam, maka pada daerah katoda akan terjadi reduksi dari kation
menjadi bentuk logam netral yang akan terikat secara fisik dengan flok-flok
M(OH)n, sehingga ketika flok-flok tersebut telah mencapai berat tertentu untuk
dapat mengendap, maka akan mengendap bersama logam-logam dan partikel-
pertikel polutan lainnya dengan kecepatan pengendapan tertentu, dan buih akan
terpisahkan pada unit filtrasi. Oleh sebab itulah proses ini bisa menurunkan
padatan tersuspensi, kekeruhan dan kadar kontaminan lainnya.
Gambar 2.2 Proses Pengikatan Polutan Pada Teknik Elektrokoagulasi
(Holt,P. 2006).
13
Interaksi yang terjadi dalam larutan pada gambar 2.1 yaitu :
1. Migrasi menuju muatan elektroda yang berlawanan (elektroporesis) dan
netralisasi muatan.
2. Kation atau ion hidroksil membentuk sebuah endapan dengan pengotor.
3 .Interaksi kation logam dengan OH- membentuk sebuah hidroksida, dengan sifat
adsorpsi yang tinggi selanjutnya berikatan dengan pollutan (bridge
coagulation).
4. Senyawa hidroksida yang terbentuk membentuk gumpalan (flok) yang lebih
besar 5. Oksidasi pollutan sehingga sifat toksiknya berkurang.
6. Sesudah flok terjadi,gas H2 membantu Flotasi dengan membawa pollutan
kelapisan buih flok di permukaan cairan.
2.3 Oksidasi Elektrokimiawi yang Termediasi
Oksidasi elektrokimiawi yang termediasi merupakan salah satu proses yang
dapat digunakan untuk mendekstruksi polutan organik dan telah dilakukan untuk
reaksi mineralisasi polutan organik melalui sejumlah penelitian. Dalam oksidasi
elektrokimiawi yang termediasi dapat menunjukkan perilaku redoks dari ion
logam yang dioksidasi melalui sel elektrokimia dan juga digunakan sebagai
oksidan untuk mineralisasi polutan organik yang beracun kedalam bentuk CO2
dan air (Matheswaran et al., 2006).
Oksidasi elektrokimiawi yang termediasi dikembangkan pertama kali di pusat
riset Chevron oleh Clark dan kawan-kawan. Oksidasi elektrokimiawi yang
Dari Sumber listrik
14
termediasi efektif untuk mendekstruksi senyawa organik. Oksidasi elektrokimiawi
yang termediasi adalah suatu proses yang meliputi suatu mediator redoks yang
dapat mengoksidasi senyawa organik yang larut dalam medium cair (Farmer &
Chiba, 1994).
Proses oksidasi elektrokimiawi yang termediasi, campuran limbah organik
yang berbahaya dapat didekstruksi pada suhu ambien ( kurang dari 100oC) dan
tekanan atmosfer. Dalam proses oksidasi elektrokimiawi yang termediasi, oksidan
mediator diperbaharui secara terus menerus oleh sel elektrokimia untuk
memperkecil produksi limbah sekunder (Matheswaran et al., 2006). Sistematika
reaksi mediator-substrat telah dimodifikasi oleh Andrieux dan Saveant pada tahun
1984, seperti pada Gambar 2.1
Gambar 2.3 Gambaran sistematik proses mediasi oksidasi elektrokimia yang terdiri dari mediator, asam sulfat sebagai medium, substrat, endapan mediator, termasuk gas hidrogen, gas evolusi, dan produk lain (Ibanez et al., 1997).
15
MED− MED+ + e (MED−
/ MED+: pasangan mediator )
MED+ + OM OM+ + MED− (OM/OM+: pasangan substrat)
Arti : MED− adalah bentuk mula-mula dari mediator
MED+ adalah bentuk aktif mediator yang dioksidasi
OM adalah jenis senyawa organik
OM+ adalah produk yang dioksidasi
(Ibanez et al., 1997).
Teknologi elektrokimia menawarkan alat yang ideal untuk masalah
lingkungan. Metode tersebut aman, tidak menambah zat baru, tidak menambah
volume limbah, berlangsung pada suhu rendah dan menghasilkan degradasi yang
dapat dimanfaatkan ke bentuk lain. Selain itu senyawa berbahaya dapat diubah
menjadi komponen yang tidak berbahaya seperti karbon dioksida, gas nitrogen, air
(gas buangan tidak beracun) dan tidak menimbulkan limbah sekunder.
2.4 Besi
Elektroda dalam proses elektrokoagulasi merupakan perangkat vital karena
selain untuk menghantarkan arus listrik ke dalam larutan agar terjadi suatu reaksi
perubahan kimia, juga sebagai agen koagulan (anoda). Elektroda tempat terjadi
reaksi reduksi disebut katoda, sedangkan tempat terjadinya reaksi oksidasi disebut
anoda. Sebuah elektroda bipolar adalah sebuah elektroda yang berfungsi sebagai
anoda dari sebuah sel dan katoda bagi sel lainnya (Purwaningsih, 2008).
Sel elektrolisis secara umum elektroda yang digunakan bersifat inert, karena
tidak diinginkan terjadi reaksi pada elektroda, sehingga elektroda lebih tahan
16
lama. Namun bukan berarti logam-logam reaktif tidak dapat digunakan sebagai
elektroda (Andrianto, dkk., 2001). Dalam teknik elektrokoagulasi logam reaktif
digunakan sebagai elektroda terutama anoda, agar dihasilkan agen koagulan.
Beberapa material elektroda yang pernah digunakan yaitu; aluminium, besi,
stainless steel dan platina. Dengan menggunakan elektroda besi, Fe(OH)n dengan
n = 2 atau 3 akan terbentuk pada anoda. Mekanisme oksidasi dan reduksi yang
terjadi secara simultan pada anoda dan katoda besi adalah (Gambar 2.3) (Mollah
et al., 2001; Daneshvar et al., 2003) :
Mekanisme 1 :
Anoda : Fe (s) → Fe+2 (aq) + 2 e-
4 OH- (aq)→ 2 H2O(l) + O2 (g) + 4 e
Katoda : 6 H2O(l) + 6 e- → 3 H2 (g) + 6 OH-(aq)
keseluruhan : Fe(s) + 4 H2O(l) → Fe(OH)2 (s) + 3 H2 (g) + O2 (g)
Mekanisme 2 :
Anoda : 2 Fe (s) → 2 Fe+3 (aq) + 6 e-
4 OH-(aq) → 2 H2O(l) + O2 (g) + 4 e
katoda : 10 H2O(l) + 10 e- → 5 H2 (g) + 10 OH- (aq)
keseluruhan : 2 Fe (s) + 8 H2O(l) → 2 Fe(OH)3 (s) + 5 H2 (g) + O2 (g)
17
Gambar 2.4. Proses Elektrokoagulasi dengan Elektroda Besi (Hari, 2010)
2.5 Mediator
Mediator merupakan zat yang berfungsi sebagai perantara dalam mendegradasi
Senyawa organik pada proses oksidasi elektrokimiawi yang termediasi. Syarat-
syarat zat yang dapat digunakan sebagai mediator, yaitu:
1.Tidak beracun
2.Cocok sebagai donor elektron
3. Mudah dioksidasi menjadi bentuk aktifnya dengan cepat
4. Dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama
(Farmer et al., 1994).
2.5.1 Besi (II) Sulfat Sebagai Mediator
Besi (II) sulfat diproduksi dalam bentuk kristal bewarna hijau atau butiran
dengan kandungan Besi (II) sulfat kira-kira 55 %. Biasanya digunakan bersama-
sama dengan kapur untuk menaikan pH sehingga ion besi (II) terendapkan dalam
18
bentuk besi (III) hidroksida (Fe(OH)3). Besi (II) sulfat kurang sesuai untuk
menghilangkan warna akan tetapi sangat baik untuk pengolahan air yang
mempunyai alkalinitas, kekeruhan dan DO (Dissolved Oxigen) yang tinggi.
Kondisi pH yang sesuai antara 9-11. Besi (II) sulfat lebih murah dibanding alum
tetapi pengolahan air dengan menggunakan besi (II) sulfat memperbesar
kesadahan air.
2.6 Hidrogen Peroksida Sebagai Pengoksidasi
Hidrogen peroksida dengan rumus H2O2 merupakan bahan kimia anorganik
yang memiliki sifat oksidator kuat, bahan baku pembuatan hidrogen peroksida
adalah gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2). Hidrogen peroksida tidak
berwarna, berbau khas agak keasaman dan larut dengan baik dalam air. Dalam
kondisi normal (kondisi ambien), hidrogen peroksida sangat stabil dengan laju
dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun. Mayoritas penggunaan hidrogen
peroksida adalah dengan memanfaatkan reaksi dekomposisi yang menghasilkan
oksigen. Selain menghasilkan oksigen, reaksi dekomposisi hidrogen peroksida
juga menghasilkan air dan panas. Reaksi dekomposisi eksotermis yang terjadi
adalah sebagai berikut:
H2O2(aq) → H2O(l) + ½ O2(g)
Hidrogen peroksida dapat digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching
agent pada industri pulp, kertas, dan tekstil. Senyawa ini juga bisa dipakai peda
proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan
minuman, medis, serta industri elektronika.
19
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan oksidator yang lain
adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang
berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan
(Skuler, 2007).