1. Refrat Cedera Kepala
description
Transcript of 1. Refrat Cedera Kepala
CEDERA KEPALA
ReferatDiajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Kepranitraan Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing : dr. Yudi Eko Prasetyo, MSi. Med. Sp.B
Disusun oleh
Nama : Lina Zaenabu
NIM : J500100013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI CEDERA KEPALA
B. ANATOMI KEPALA
1. Kulit Kepala
2. Tulang Kepala (Cranial Bone)
3. Meninge
4. Otak
5. Cairan Serebrospinal
6. Tentorium
7. Vaskularisasi Otak
C. FISIOLOGI
1. Tekanan Intracranial
2. Hukum Monroe Kellie
3. Tekanan Perfusi Otak
4. Aliran Darah Otak
D. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
E. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
1. Mekanisme Cedera Kepala
2. Beratnya Cedera
3. Morfologi Cedera
a. Fraktur cranium
b. Lesi Intracranial
1) Hematom Epidural
2) Hematom Subdural
3) Kontusio dan hematom cerebri
4) Cedera Difus
5) Cedera aksonal Difus (Diffuse Axonal Injury / DAI)
c. Cedera Maxillofacial
F. PEMERIKSAAN
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2
H. PENATALAKSANAAN
I. PROGNOSIS
J. PENCEGAHAN
BAB III PENUTUP
3
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu
lintas. Hal ini diakibatkan salah satunya karena mobilitas yang tinggi di kalangan
usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih
rendah (Japardi, 2004). Dari sejumlah macam kecelakaan, cedera kepala
mencakup 26%. Selain itu, trauma juga dapat berujung pada kematian. Kurang
lebih 33% kecelakaan yang berakhir kematian menyangkut cedera kepala. Orang-
orang yang meninggal karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum
mereka tiba di rumah sakit (Sidharta dan Marjhono, 2012).
Efek negatif cedera kepala dapat menjadi lebih minimal karena otak
terlindungi Cairan Cerebrospinal (CSS). Cairan ini berfungsi sebagai shock
absorber atau peredam getaran. Ada juga beberapa penutup di sekitar otak.
Penutup ini termasuk rambut, kulit kepala, dan cranium. Ada juga lapisan jaringan
yang menutupi otak yang disebut meningen. Lapisan-lapisan pelindung akan
menjaga otak agar tidak terluka. Bila kekuatan yang sedang atau besar yang
mengakibatkan cedera kepala mempengaruhi fungsi otak, seperti mengurangi
tingkat kesadaran atau dengan menyebabkan periode kebingungan, maka hal ini
disebut cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury / TBI) (Struchen dan Ritter,
2009).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala (head Injury) adalah semua jenis trauma yang
mengenai kulit kepala, tulang kepala (cranial bone), dan otak (Heller, 2014).
Kerusakan yang terjadi bervariasi mulai dari luka kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah ekstraserebral
maupun intraserebral, dan kerusakan jarngan otak sendiri (Soertidewi, 2012).
Cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury) adalah suatu kerusakan
pada kepala karena serangan / benturan fisik dari luar yang mempengaruhi
fungsi dari otak. Cedera kepala bukan penyakit congenital dan bukan
degeneratif. Cedera otak traumatis dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran dan menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif, fisik dan
psikososial (Mondol et al, 2013).
B. ANATOMI KEPALA
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
5
Gambar 1. Anatomi kepala
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.
2. Tulang Kepala (Cranial Bone)
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis
6
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum
3. Meninge
3. Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fosa temporalis (fosa media).
b. Selaput arakhnoid
Arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
7
serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
8
sekitar 500 ml CSS per hari. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
tekanan intracranial (Guyton dan Hall, 2007).
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
7. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior
otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.
C. FISIOLOGI
Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi
dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK
Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg
dianggap tidak normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya
2.Hukum Monroe-Kellie
9
Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena
sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial
(Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya
yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf),
dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl
3. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-
rata (mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai
TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.
4. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila
ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap
D. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
10
Sehingga menimbulkan manisfestasi klinik
1.Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive
yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale)
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala
karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan
oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali
proyektil.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah
yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
11
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Tekanan positif dan negatif
Tekanan intrakranial tidak boleh berubah-ubah. Tekanan
intracranial merupakan jumlah total dari tekanan volume jaringan otak,
volume cairan cerebrospinal, dan volume darah intracranial. Tekanan
intrakranial merupakan suatu konstante (hukum Monroe-Kellie), yang
pada waktu waktu tertentu akan mengalami lonjakan karena peningkatan
volume salah satu unsur diatas. Terdapat mekanisme korektif akan tetapi
mekanismenya tidak secara cepat melainkan membutuhkan waktu. Pada
saat mekanisme kompensasi belum bekerja, pada cedera kepaladapat
terjadi tekanan positif dan tekanan negatif.
Setelah trauma, terjadi indentasi, tempat yang cekung bergoyang
naik turun (osilasi) tiga empat kali kemudian rata kembali. Osilasi
indentasi menimbulkan tekanan positif berselingan dengan tekanan
negatif. Tekanan positif mengakibatkan kompresi pada jaringan otak, dan
tekanan negatif bisa menyedot udara dari darah dan cairan cerebrospinal,
sehingga terjadi gelembung udara yang mengakibatkab terjadinya kavitas
pada jaringan otak. (Sidharta dan Marjhono, 2012).
Akselerasi dan deselerasi
Akselerasi adalah gerakan secara cepat dan mendadak, sedangkan
penghentian akselerasi secara mendadak dinamakan deselerasi. Akselerasi
12
bisa linier dan bisa pula rotarik. Akselerasi tengkorak dan kelembaman
otak dapat menimbulkan pergeseran otak. Contoh pada pukulan di oksiput
dapat terjadi
a. Tekanan positif akibat indentasi
b. Tekanan positif karena akselerasi
c. Pergeseran otak ke arah berlawanan
Sementara itu diseberang tempat yang dipukul
a. Tekanan negatif akibat akselerasi, yang seketika itu juga langsung
ditiadakan oleh
b. Tekanan positif akibat pergeseran seluruh otak
Gaya kompresi dapat menimbulkan lesi kontusio yaitu pendarahan pada
permukaan otak, tanpa kerusakan pada duramater. Lesi kontusio bisa
berupa
a. lesi kontusio coup saja ( bagian yang trauma),
b. lesi kontusio coup disertai lesi kontusio contrecoup (berseberangan
dengan daerah trauma).
c. Lesi intermediet (lesi yang berada antara lesi coup dan contrecoup
Jadi lesi kontusio dapat terjadi pada tempat tempat yang tidak
memiliki fiksasi kuat seperti tepi ala magna sfenoid, krista gali, falk serebri,
dan tepi tentorium. Pergeseran otak apat menarik dan memutus vena yang
menjebatani selaput arachnoid dan duramater. Karena itu perdarahan subdural
akan timbul. Vena-vena itu dinamakan bridging veins (Sidharta dan Marjhono,
2012).
Amnesia
13
Amnesia setelah trauma menunjukkan adanya resiko komplikasi
intrakranial. Akan tetapi, lama dan tipe amnesia masih kontroversial.
Biasanya amnesia anterograde (lupa kejadian setelah trauma) adalah faktor
resiko yang lebih penting, tapi pada literatur terbaru lebih mengarah pada
amnesia retrograde (lupa kejadian sebelum trauma). Amnesia pada infant
dan anak yang masih kecil kurang baik untuk menjadi alat prediksi karena
pada anak-anak lebih sulit diukur.
Kehilangan kesadaran, amnesia (sebelum atau sesudah trauma), sakit
kepala yang persisten, muntah, pernah operasi yang berhubungan dengan
bedah saraf khususnya otak, riwayat gangguan koagulasi, penggunaan
terapi anti koagulan, penggunaan obat-obatan atau alkohol, usia ≥65 tahun,
tidak bertingkah seperti biasanya (NCC-AC, 2010).
E. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
1. Mekanisme Cedera Kepala
Trauma tumpul atau trauma tajam
2. Beratnya Cedera
a. Berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale) :
1. cedera kepala berat jika nilai GCS <8
2. Cedera kepala sedang jika nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan jika nilai GCS 14-15
14
Gambar 2. GCS eye
Gambar 3 GCS Verbal
15
EYE (mata)
Gambar 4. GCS Movement
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
16
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri timbul reaksi flesi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
b. klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13 – 15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam
Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7 hari
GCS = 9 - 12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3 – 8
3. Morfologi Cedera
a. Fraktur Basis cranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah
basal tengkorak, bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat
dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan. Garis fraktur
bisa terlihat pada CT scan beresolusi tinggi dan potongan yang tipis.
Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal.
Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus
frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya
17
cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea)
disertai hematoma kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma
bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma retroaurikular.
Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII.
Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila dura-mater robek (Soertidewi,
2012).
b. Lesi Intracranial
1) Hematom Epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri
meningea media. Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak
dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval. Biasanya
waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam, penilaian
penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala, bisa
disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di
sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan releks patologis
Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada
gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran
darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk
cembung.
Gambar 5. Gambar Epidural Hematom
18
Gambar 6. Gambar EDH pada CT scan
Gambar 7. Gambar EDH pada MRI
(Soertidewi, 2012).
2) Hematom Subdural (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus
dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara
duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik. Gejala
klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil.
Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu
ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan
19
kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis
menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.
Gambar 8. Gambar SDH dari CT scan
Gambar 9. Gambar SDH dari MRI
3) Kontusio dan Perdarahan intracerebral
20
GAMBAR 10 CT SCAN PERDARAHAN INTRACEREBRAL
GAMBAR 11 MRI PERDARAHAN INTRACEREBRAL
(Soertidewi, 2012).
4) Edema Cerebri Traumatic
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan
peredaran darah di batang otak dengan akibat tonus dinding
pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus
21
dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat
menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah
sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi
edema(Soertidewi, 2012).
5) Cedera Otak Difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada
parenkim otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk
(Soertidewi, 2012).
6) Hematoma Subarachnoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang
40% kasus cedera kranio-serebral, sebagian besar terjadi di daerah
permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai
tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan
otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam
rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat
disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam
jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak
membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncu-pan
pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung
sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa
nyeri ke-pala hebat. Pada CT scan otak, tampak perda-rahan di
ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang
umumnya disebab-kan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM
atau aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak
terlalu berat (Soertidewi, 2012).
7) Cedera aksonal Difus (Diffuse Axonal Injury / DAI)
c. Cedera Maxillofacial
F. PEMERIKSAAN
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
22
H. PENATALAKSANAAN
1. Kondisi kesadaran pasien
a. Kesadaran menurun
b. Kesadaran baik
2. Tindakan
a. Terapi non-operatif
b. Terapi operatif
3. Saat kejadian
a. Manajemen prehospital
b. Instalasi Gawat Darurat
c. Perawatan di ruang rawat
Terapi non-operatif pada pasien cedera kra-nioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
23
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang,
infeksi (anti konvulsan dan antibiotik)
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup
• Fraktur impresi (depressed fracture)
• Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume
perdarah-an lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis
tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien
• Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan
pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi
sisterna basalis
• Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas
kelainan neurologik atau herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
• Perlukaan kranioserebral dengan ditemu-kannya luka kulit, fraktur
multipel, dura yang robek disertai laserasi otak
• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
• Pneumoencephali
• Corpus alienum
• Luka tembak
1. PASIEN DALAM KEADAAN SADAR (GCS=15)
a. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran
sama sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah.
Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas
indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga
diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan,
pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
24
b. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma, dan saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kepala ringan (CKR).
2. PASIEN DENGAN KESADARAN MENURUN
1. Cedera kepala ringan (GCS=13-15)
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan
perintah, tanpa disertai defisit fokal serebral.Dilakukan pemeriksaan fisik,
perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap
sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi
minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma
intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-
muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleks patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT
scan.
Pasien cedera kepala ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologik
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala
e. tempat tinggal dalam kota
f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada
perubahan kesadaran, dibawa kembali ke Rumah Sakit.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan
(Breathing), dan sirkulasi (Circulation)
25
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan
cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau
tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah
leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral
lainnya
3. Cedera kepala berat (GCS=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila
didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka
terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk
pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral sedang
dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.
Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik.
Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.
TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT & RUANG RAWAT
1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C =
Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring
atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau
gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan
b. Pernapasan (Breathing)
26
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan
sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik.Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,
atau infeksi.
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi
dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu
kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan ke-
cacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat
dalam,trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau
syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan
1) sumber perdarahan
2) perbaikan fungsi jantung
3) mengganti darah yang hilang
4) sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi
kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk
dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil
pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari
pertama. Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya
dicari dan segera diatasi.
27
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal,
collar yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan ab-
domen dilakukan atas indikasi. CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur
tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
a. Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai
sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan
komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak
abnormal, sedangkan angka leuko-sitosis >14.000 menunjukkan
kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit
dan nilai GCS 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah
komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah
tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan
prediktor yang sederhana.
b. Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna
untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan OR
39,82 untuk GDS >220 mg/dL
c. Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada
fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
d. Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun.
pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang
28
baik. pO2 dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm
Hg.
e. Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
f. Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL)
mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan
kadar albumin normal.
g. Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis.
Risiko late hematom perlu diantisipasi. Diagnosis kelainan hematologis
ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3, kadar fibrinogen <40mg/mL,
PT >16 detik, dan aPTT >50 detik
5. Manajemen tekanan intrakranial (TIK) meninggi
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri
dan/atau hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang
monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah
harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala
dan dada pada satu bidang.
b. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB,
diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian
diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit.
Pe-mantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid). Pemberiannya bersama manitol, karena
mempunyai efek sinergis dan memper-panjang efek osmotik serum
manitol.
Dosis: 40 mg/hari IV.
29
6. Nutrisi
Pada cedera kepala berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan
energi rata-rata pada cedera kepala berat meningkat rata-rata 40%. Total
kalori yang dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/hari. Kebutuhan protein
1,5-2g/kgBB/hari, minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/hari, lipid 10-
40% dari kebutuhan kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc
10-30 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-
150 mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribol avin, dan vitamin K
yang diberikan ber-dasarkan indikasi. Pada pasien dengan kesadaran
menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus. Mula
mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus
untukmelihat apakah ada perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi
peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko
feblitis.
7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan
ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik. Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa.
Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi
amnesia Galveston (GOAT ). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75,
dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain
fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination (MMSE);
akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan kon-sultasi
ke klinik memori bagian neurologi.
8. Komplikasi
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma
disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late
30
seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada
fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks;
diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10
hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi
infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis
kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial.
Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan
dosis meningitis.
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya.
Dilakukan tindakan menurun-kan suhu dengan kompres dingin di
kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan
perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin. Boleh
diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral teruta-ma yang berat
sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-
14% diantaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini
merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena
berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan
oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena
hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1
tab-let peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau
famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau
usus yang penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial
yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat di-pasang kateter
untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan
31
penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang
dipilih adalah obat peroral yang tidak menim-bulkan depresi
pernapasan.
9. Proteksi serebral (neuroproteksi)
Adanya tenggang waktu antara terjadinya cedera otak primer
dengan timbulnya keru-sakan sekunder memberikan kesempatan untuk
pemberian neuroprotektor. Manfaat obat-obat tersebut sampai saat ini
masih te-rus diteliti. Obat-obat tersebut antara lain go-longan antagonis
kalsium (mis., nimodipine) yang terutama diberikan pada perdarahan
subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk memperbaiki memori. Dari
beberapa percobaan penting, terungkap bahwa agen neuroprotektor yang
diberikan setelah cedera otak dapat menekan kematian dan menambah
perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih
diragukan kegunaannya. Manajemen harus sudah mendeteksi se-jak awal
dan melakukan pencegahan efek sekunder dengan cara memperhatikan ke-
mungkinan terjadinya komplikasi sekunder dan kemungkinan adanya
perbaikan dengan terapi intervensi non-farmasi (terapi gizi). Hal yang
perlu dipantau dari awal untuk proteksi serebral adalah kemungkinan ter-
jadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang dapat memperburuk
kondisi iskemia serebral. Manajemen intensif dengan obat proteksi
serebral berdasarkan patofisiologi mekanisme kerja yang spesifik
menjanjikan perbaikan luaran (outcome) pasien cedera kepala.
(Soertidewi, 2012)
OPERASI CEDERA KEPALA
Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran
garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol
pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi operasi pada cedera kepala
harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
• Status neurologis
32
• Status radiologis
• Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
• Massa hematoma kira-kira 40 cc
• Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
• EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang.
• Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
• Pasien – pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya
• tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.
lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
• Dilatasi pupil ipsilateangkata
Pasang kateter
• Profilaksis antibiotik sebelum operasi dimulai.
• ETT yang adekuat
• lindungi kedua mata dari cairan dan tekanan.
TEKNIK OPERASI
1. Burr hole explorasi
• Tentukan areanya : disisi pupil yang dilatasi, kontra lateral hemiparese.
• Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila
positif lanjutkan dengan craniotomy. Bila negatif lakukan langkah burr hole
selanjutnya.
• Burr hole II : di frontal
• Burr hole III : di parietal, bila negatif dilakukan disisi sebaiknya.
• Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior
33
• Incisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan question mark.
• Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi clothing belum ditemukan
sebaiknya dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru dilakukan mengintip
duramater karena sering subdural tersebut hanya tipis Baja.
2. Epidural hematom :
• lokasi : 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital, fossa
posterior dan parietal
• bila ada mix lessi (hipodens clan hiperdens )curigai adanya gangguan
pembekuan darah
• teknik :
a. Incisi bentuk question mark atau tapal kuda
b. Burr hole I di daerah yang paling banyak clothing biasanya di lobus
temporal, bila perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi
clothing untuk mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk
mengevakuasi massa.
c. Bila duramater tegang kebiruan lakukan intip dura dengan incisi kecil
d. Kemudian duramater dijahit clan dilakukan gantung dura
3. Subdural hematom :
• lokasi paling sering di temporal dan parietal
• incisi bentuk tapal kuda atau question mark
• Kraniotomi seekspos mungkin dan bila ada clothing kecil dan tidak jelas
terlihat sebaiknya ditinggalkan.
• duramater dibuka dan dievakuasi clothingnya.
• duramater dijahit waterproof, bila swelling tidak dapat dikontrol, biarkan
terbuka dan tulang tidak dipasang dan langsung diflap.
4. Intracerebral hematom :
• lokasi : 80% -90% di temporal dan frontal
• kraniotomi secara prinsip sarna dengan perdarahan intrakranial lainnya
• perdarahan dirawat dengan bipolar, surgicel
• durameter dijahit waterproof
5. Hematoma fossa posterior
34
• 80% -100% pasien EDH fossa posterior disertai fraktur os occipitalis
• bila ada EDH supra dan infra tentorial, 30% disertai hidrocefalus
• incisi kulit linier/stick golf di para median atau midline
• konservatif bila simptom minimal dan stabil terutama bila ada fraktur di atas
sinus
Hasil
1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%
2. SDH: operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%
operasi setelah 4 jam mortality 90%
• pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%
• pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%
3. ICH: mortality 27% -50%
(Japardi, 2004)
I. PROGNOSIS
Luaran cedera kepala secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan
meninggal. Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai
beberapa sistem penskoran, antara lain (yang dikembangkan di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik).
Penskoran yang lebih komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi
hidup dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow Outcome Score. Prediksi
luaran pasien cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara
lain umur, beratnya cedera berdasarkan klasifi kasi GCS dan CT scan otak,
komorbiditas, hipotensi, dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi
yang tidak adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang perlu juga
diperhatikan adalah adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1
jam (pemeriksaan GOAT ), fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah
satu caranya dengan pemeriksaan MMSE) atau gejala neurologik saat keluar
dari rumah sakit, yang akan memberikan problem gejala sisa lebih sering
35
dibandingkan mereka yang keluar tanpa adanya gejala tersebut di atas
(Soertidewi, 2012).
J. PENCEGAHAN
36
BAB III
PENUTUP
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.Terjadinya cedera kepala,
kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan
akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi
akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari
kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala,
dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga
termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang walaupun bukan merupakan
penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap
seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area
yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang
mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang
37
DAFTAR PUSTAKA
Heller, Jacob. 2014. Head Injury : First Aid
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000028.htm
Japardi iskandar, 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press.
Mondo,Alamgir; Rahman, Nadia; Akhter, Shohela; Ahmed, Badrunnesa;
Rahman, Azizur; Momen, Abdul; Rahman, Mahmudur dan Talukder,
Chandra. 2013. Sociodemographical and clinical presentation of traumatic
brain injury patientsJ Dhaka Medical College, Vol. 22, No. 1, April, 2013,
Page 45-50
NCC-AC. 2007. Head Injury: Triage, Assessment, Investigation and Early
Management of Head Injury in Infants, Children and Adults.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK53054/
Saatman, Kathryn ; Duhaime, Christine; Bullock, Ross ; Maas, Andrew;
Valadka,Alex;dan Manley, Geoffrey.2008. J Neurotrauma. Jul 2008;
25(7): 719–738.
Sidharta, Priguna dan Mardjono, Mahar. 2012. Neurologi Klinis Dasar . Jakarta:
Dian Rakyat
Struchen, Margaret dan Ritter, Laura. 2009. Traumatic Brain Injury for
VRCounselors. National Institute on Disability and Rehabilitation
Research. U.S.
Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kraniocerebral.
CDK.-193/vol.39 no.5, th.2012
38