1. MAKALAH KUMPUL
Click here to load reader
-
Upload
jumagunungnauli -
Category
Documents
-
view
1.043 -
download
0
Transcript of 1. MAKALAH KUMPUL
BAB I
PENDAHULUAN
Gugusan kemiskinan semakin membuat daftar panjang penderitaan dan
ketidakberdayaan yang seolah seperti deret hitung. Salah satu hal yang turut
berkontribusi atas kemiskinan adalah kita melupakan ibu kandung, yakni Desa atau
perdesaan dengan sektor pertanian yang selama ini telah memberi penghidupan pada
bangsa ini dalam menggerakkan ekonomi produktif masyarakat.
Bentuk dinamisasi pembangunan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan
kapasitas masyarakat dan desa melalui pemberdayaan agar mampu mendefinisikan
dan memenuhi kebutuhan mereka. Rendahnya pendidikan dan keterampilan
mengakibatkan masyarakat desa belum mampu meningkatkan taraf hidupnya. Oleh
karena itu, upaya dan program pemberdayaan masyarakat dan desa yang difasilitasi
oleh agen-agen perubahan (pendamping/fasilitator) sangat dibutuhkan untuk
mendinamisasi masyarakat dalam mengembangkan kemandirian dalam
mengentaskan kemiskinan.
Mengapa pemberdayaan masyarakat desa, menjadi penting? Beberapa alasan
mengemuka, yakni:
1. Sebagaian besar penduduk kita bermukim di perdesaan,
2. Masyarakat kita 75% bermatapencaharian pada sektor pertanian atau
tepatnya petani,
3. Roda pekonomi perdesaan (domestik) sebagai pilar ekonomi nasional,
4. Kemiskinan lebih banyak dialami oleh masyarakat wilayah perdesaan, dan
5. Potensi sumberdaya lokal belum dikelola secara maksimal serta
6. Revitalisasi pertanian, karena sektor ini acap terpinggirkan.
Dalam rangka mengatasi kemiskinan, pemerintah telah melakukan berbagai
upaya dalam bentuk program pengentasan kemiskinan. Pembangunan partisipatif
menjadi trend di Indonesia sejak tahun 1994 dan dinilai memiliki dampak positif
terhadap masyarakat. Program atau proyek pemberdayaan masyarakat diluncurkan
masing-masing sektor, seperti: IDT, PKT, P3DT, P4K, dan lain-lain.
1
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan namun peran masyarakat pada
umumnya belum optimal begitu juga dunia usaha dan pemerintah. Semangat
partisipasi dan kerelawanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang merupakan
sumber penting pemberdayaan dan pemecahan kemiskinan juga sudah mulai luntur
bahkan hilang termakan kemajuan teknologi.
Pemerintah kemudian meluncurkan beragam program anti kemiskinan yang
tersebar di berbagai departemen. Sayangnya, program anti kemiskinan yang tersebar
di banyak departemen kurang fokus dan tidak terkoordinasi dengan baik sehingga
keefektifannya sering dipertanyakan. Beranjak dari permasalahan itu, sejak tahun
2007, pemerintah mengoordinasikan programprogram anti kemiskinan ke dalam
satu program besar, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan .
Berbeda dengan program anti kemiskinan masa lalu, PNPM Perdesaan
menekankan pentingnya partisipasi masyarakat (mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi) dalam penanggulangan kemiskinan.
Asumsinya adalah, melalui proses partisipatif, kesadaran kritis dan
kemandirian masyarakat, khususnya masyarakat miskin, bisa ditumbuhkembangkan
sehingga mereka tidak lagi hanya sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek upaya
penanggulangan kemiskinan.
Namun, hingga saat ini PNPM Perdesaan dinilai belum mampu membawa
masyarakat perdesaan ke kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Gagalnya
program pengentasan kemiskinan kita karena selama ini program lebih bersifat
bantuan sosial. Apakah program pengentasan kemiskinan selama ini (hanya) sekadar
“pelestari proyek” atau “pengamanan program”. Nuansa itu yang selama ini terjadi,
baik di tingkat ide, maupun implementasi di lapangan. Sehingga tak mengherankan
kerap timbul kecenderungan untuk sekadar program terlaksana, dana terbagi habis,
dan dana yang terbagi habis dimakan masyarakat.
2
BAB II
PERMASALAHAN
Setelah melihat pada bagian sebelumnya, pada bagian ini penulis akan
merumuskaan permasalah sebagaiberikut: “Bagaimana Stretegi Penerapan
Pendampingan masyarakat pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan dihubungkan dengan konsep pemberdayaan Jim Ife?
3
BAB III
PEMBAHASAN
A. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM
Mandiri Perdesaan atau PNPM-Perdesaan atau Rural PNPM) merupakan salah satu
mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri
dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan
kerja di wilayah perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan mengadopsi sepenuhnya
mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah
dilaksanakan sejak 1998. PNPM Mandiri sendiri dikukuhkan secara resmi oleh
Presiden RI pada 30 April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai program
pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air. Dalam pelaksanaannya, program ini
memusatkan kegiatan bagi masyarakat Indonesia paling miskin di wilayah perdesaan.
Program ini menyediakan fasilitasi pemberdayaan masyarakat/ kelembagaan lokal,
pendampingan, pelatihan, serta dana Bantuan Langsung untuk Masyarakat (BLM)
kepada masyarakat secara langsung. Besaran dana BLM yang dialokasikan sebesar
Rp750 juta sampai Rp3 miliar per kecamatan, tergantung jumlah penduduk.
Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat diajak terlibat
dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses perencanaan,
pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan
paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya.
Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk
memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber
daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi
masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan
kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan
partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan
4
kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5)
pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.
Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang
dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin
(RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif,
serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi,
dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan
pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri
Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu
tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan
melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
5
B. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
“If you have come to help me, you can go home again. But if you see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work together”
(Jika Anda datang untuk membantu saya, Anda bisa pulang lagi. Tetapi jika Anda melihat perjuangan saya sebagai bagian dari kelangsungan hidup anda sendiri maka mungkin kita bisa bekerja sama)
(Seorang Wanita Aborigin)
Kutipan dari seorang wanita Aborigin di atas memberi pesan jelas bahwa
Pengembangan Masyarakat harus berpijak pada prinsip pemberdayaan (to empower),
bukan pertolongan (to help). Masyarakat tidak menginginkan seorang pendamping
yang datang hanya untuk menolong mereka. Ketimbang sekadar memberi bantuan
uang atau barang begitu saja, seorang pendamping diharapkan dapat melihat dan
merasakan perjuangan masyarakat dan kemudian berjuang bersama membangun
kehidupan, menata kesejahteraan.
Pengembangan Masyarakat tidaklah statis dan hanya bersifat lokal saja.
Pengembangan Masyarakat bisa melibatkan interaksi dinamis dan partisipatoris
antar beragam stakeholders, termasuk “pihak luar” (pemerintah, donor, pendamping)
dan warga setempat. Dengan demikian, Pengembangan Masyarakat tidak harus
terjebak pada dikotomi “bottom-up versus top-down planning”, maupun “local
development versus global development”.
Di jagat Pekerjaan Sosial, Pengembangan Masyarakat seringkali didefinisikan
sebagai proses penguatan masyarakat secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan
prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara (Netting, Kettner dan
McMurtry; 1993; Ife, 1995; Suharto, 2007; Suharto, 2008). Pengembangan
Masyarakat mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas,
kesempatan, pilihan, partisipasi, kerjasama, dan proses belajar yang berkelanjutan.
Pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan adalah inti Pengembangan
Masyarakat. Pengembangan Masyarakat berkenaan dengan bagaimana
mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk menghilangkan hambatan-
hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
Tujuan utama Pengembangan Masyarakat adalah memberdayakan individu-
individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk
6
kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk
mengubah kualitas kehidupan komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali
berkaitan dengan penguatan aspek ekonomi dan politik melalui pembentukan
kelompok-kelompok sosial besar yang bekerja berdasarkan agenda bersama.
Darwanto (2004) mensarikan konsep pemberdayaan masyarakat dengan
merujuk pada pengertian perluasan kebebasan memilih dan bertindak. Bagi
masyarakat miskin, kebebasan ini sangat terbatas karena ketidakmampuan bersuara
(voicelessness) dan ketidak berdayaan (powerlessness) dalam hubungannya dengan
negara dan pasar. Karena kemiskinan adalah multi dimensi, masyarakat miskin
membutuhkan kemampuan pada tingkat individu (seperti kesehatan, pendidikan dan
perumahan) dan pada tingkat kolektif (seperti bertindak bersama untuk mengatasi
masalah). Memberdayakan masyarakat miskin dan terbelakang menuntut upaya
menghilangkan penyebab ketidakmampuan mereka meningkatkan kualitas hidupnya.
Unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: (1) inklusi
dan partisipasi; (2) akses pada informasi; (3) kapasitas organisasi lokal; dan (4)
profesionalitas pelaku pemberdaya. Keempat elemen ini terkait satu sama lain dan
saling mendukung.
Inklusi berfokus pada pertanyaan siapa yang diberdayakan, sedangkan
partisipasi berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan dan peran apa yang
mereka mainkan setelah mereka menjadi bagian dari kelompok yang diberdayakan.
Menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin,
dalam pembangunan adalah memberi mereka otoritas dan kontrol atas keputusan
mengenai sumber-sumber pembangunan. Partisipasi masyarakat miskin dalam
menetapkan prioritas pembangunan pada tingkat nasional maupun daerah
diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya pembangunan (dana,
prasarana/sarana, tenaga ahli, dan lain-lain) yang terbatas secara nasional maupun
pada tingkat daerah dialokasikan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat
miskin tersebut.
Selanjutnya James William Ife memberikan defenisi pemberdayaan sebagai
berikut:
7
“Providing people with the resources, opportunities, knowledge and skills to increase
their capacity to determine their own future, and to participate in and affect the life of
their community”.
(Menyiapkan kepada masyarakat berupa sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan
keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa
depan mereka, serta berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas
masyarakat itu sendiri).
Untuk dapat mencapai tujuan seperti didefenisiakan diatas, maka Jim Ife
memaparkan 22 prinsip pengembangan masyarakat, yakni; Integreted development,
Confronting Structural Disadvantege, Human Right, Sustainability, Empowerment, The
Personal and the political, community ownership, self relience, Independence from state,
Immediate goals and ultimate vision, organic development, The peace of development,
External Expertise, Community building, Proses and outcome, the integrity of the
process, Non-violance, Inclusivness, Consensus, Cooperation, Participation, Difining
need.
8
3. Pendampingan pada PNPM Mandiri Perdesaan ditinjau dari prinsip-prinsip
Pemberdayaan Jim Ife
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan,
merupakan program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan
kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan membangun kemandirian
dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Artinya pemulihan
hak-hak masyarakat dalam pembangunan menjadi koridor pencapaian tujuan.
Dengan demikian pulihnya hak-hak masyarakat (Human rights) dalam pembangunan
di setiap desa lokasi PNPM Mandiri Perdesaan merupakan suatu proses yang
menunjukkan tercapai tidaknya tujuan program.
Proses dan koridor tersebut telah menempatkan PNPM Mandiri Perdesaan
menggunakan perubahan sosial sebagai perspektif yang melandasi kerangka berpikir
logis pelaksanaannya. Menurut Selo Sumarjan, Perubahan Sosial adalah segala
perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan
pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kemandirian masyarakat bukan diindikasikan meningkatnya pendapatan saja,
tetapi seberapa jauh mereka mampu menguasai sumber-sumber ekonomi baru.
Sehingga tidak kesementaraan pendapatan meningkat, tetapi kepercayaan hidup
selanjutnya didapatkan kemandirian sosial ekonomi tersebut wajib dipahami. Di
sinilah, peran pendamping/fasilitator menyelenggarakan dialog dengan masyarakat
untuk menggali kebutuhan-kebutuhan nyata, menggali sumber-sumber potensi yang
tersedia, mendorong masyarakat untuk menemukan spesifikasi masalah yang harus
dipecahkan dan mengorganisir mereka untuk mengambil tindakan yang tepat (Belle,
1976).
Di kebanyakan negara, kegagalan proses dan hasil pembangunan disebabkan
oleh orientasi yang berlebihan pada negara dan pemerintah. Sebaliknya, masyarakat
dan manusia sebagai objek pembangunan seringkali dilupakan. Atas dasar itu,
pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu pilar pembangunan harus meletakkan
fokus pembangunan pada manusia (people centered development). Penyelenggaraan
pembangunan difokuskan kepada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan setiap
warga masyarakat di segala bidang (fisik – non fisik), dengan memposisikan
9
masyarakat sebagai “subyek dan pemanfaat (obyek)” pembangunan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, adil dan merata.
Salah satu strategi yang umum dipakai dalam proses pemberdayaan
masyarakat adalah pendampingan. Menurut Sumodiningrat (2009:106),
pendampingan merupakan kegiatan yang diyakini mampu mendorong terjadinya
pemberdayaan masyarakat kurang mampu secara optimal. Perlunya pendampingan
dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan pemahaman diantara pihak yang
memberikan bantuan dengan sasaran penerima bantuan. Kesenjangan dapat
disebabkan oleh berbagai perbedaan dan keterbatasan kondisi sosial, budaya dan
ekonomi. Dalam melaksanakan tugasnya, para pendamping memposisikan dirinya
sebagai perencana, pembimbing, pemberi informasi, motivator, penghubung,
fasilitator, dan sekaligus evaluator.
Dalam strategi pemberdayaan masyarakat, upaya yang dilakukan adalah
dengan meningkatkan kemampuan atau kapasitas masyarakat khususnya masyarakat
miskin. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat ini disebut juga dengan
penguatan kapasitas (capacity building). Penguatan kapasitas ini merupakan suatu
proses dalam pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan atau merubah pola
perilaku individu, organisasi, dan sistem yang ada di masyarakat untuk mencapai
tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien. Melalui penguatan kapasitas ini,
maka masyarakat dapat memahami dan mengoptimalkan potensi yang mereka miliki
untuk mencapai tujuan pemberdayaan, yaitu kesejahteraan hidup masyarakat.
Strategi yang digunakan dalam penguatan kapasitas ini adalah melalui
pendampingan. Jadi, strategi pendampingan sangat efektif dan efisien dalam proses
pemberdayaan masyarakat, karena dengan adanya pendampingan maka kapasitas
masyarakat dapat dikembangkan atau diberdayakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat dan secara tidak langsung dapat membantu pemerintah dalam
mengurangi tingkat kemiskinan.
Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan
tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam
membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau
memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang
dimilikinya.
10
Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan
berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para
pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif
profesional. Dalam program penanganan masalah kemiskinan, misalnya, masyarakat
miskin yang dibantu seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena
hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya.
Merujuk pada prinsip-prinsip pemberdayaan Jim Ife “empowerment“ yaitu
membantu komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan
agar kapasitas komunitas intelektual dan fisik meningkat sehingga dapat
berpartisipasi dalam menentukan masad depannya sendiri. Sejalan dengan prinsip
empowerment tersebut para pendamping masyarakat tidak memandang klien dan
lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa.
Melainkan mereka dipandang sebagai sistem sosial yang memiliki kekuatan positif
dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan pekerjaan
sosial adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal
itu.
Pendampingan memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan
program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, PM
sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks
ini, peranan seorang pekerja sosial atau pendamping masyarakat seringkali
diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh
atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Mereka biasanya terlibat
dalam penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi,
maupun monitoring serta evaluasi program kegiatannya.
Para pendamping memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi
kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber
kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pendamping juga biasanya membantu
membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat
dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Para pendamping masyarakat
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan
individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana
mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam konteks lembaga-lembaga sosial yang
lebih luas.
11
Sebuah Riset di 17 provinsi di Indonesia (Suharto, 2004: 61-62) menunjukkan
bahwa ketika masyarakat miskin ditanya mengenai kriteria pendamping yang
diharapkan, mereka menjawab bahwa selain memiliki kapasitas profesional, seperti
memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai program dan penanganan
permasalahan masyarakat setempat, pendamping juga dituntut memiliki beberapa
sikap humanis, seperti sabar dan peka terhadap situasi, kreatif, mau mendengar dan
tidak mendominasi, terbuka dan mau menghargai pendapat orang lain, akrab, tidak
menggurui, berwibawa, tidak menilai dan memihak, bersikap positif dan mau belajar
dari pengalaman.
Partisipasi yang keliru adalah melibatkan masyarakat dalam pembangunan
hanya untuk didengar suaranya tanpa betul-betul memberi peluang bagi mereka
untuk ikut mengambil keputusan. Pengambilan keputusan yang partisipatif tidak
selalu harmonis dan seringkali ada banyak prioritas yang harus dipilih. Disinilah
perlunya prinsip Consensus yang bertujuan untuk menghasilkan solusi guna
mengelola ketidak-sepakatan dan menghasilkan persetujuan sebagai milik bersama
masyarakat.
Perhatian terhadap masyarakat perdesaan yang lebih bernuansa community
development, didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, sebagian besar
penduduk, terutama negara-negara berkembang, berada di perdesaan dengan kondisi
dan taraf hidup yang rendah. kedua, adanya paritas sosial dan ekonomi yang
mencolok antara desa dan kota. Kenyataan yang ada kebijakan pembangunan lebih
diarahkan dan memperhatikan masyarakat kota. Padahal keberhasilan pembangunan
itu salah satu diantaranya sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan antara
sektor perdesaan, dan perkotaan. Ketiga, secara obyektif masyarakat perdesaan tidak
segera mampu menunjukkan prakarsa sendiri yang berarti membangun dirinya
sendiri. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya kultur dan struktur
masyarakat perdesaan itu sendiri yang memang tidak menunjang.
Karena itu, program sarjana masuk desa (pendamping/fasilitator) merupakan
suatu usaha berencana untuk memungkinkan partisipasi individual dari masyarakat
perdesaan dalam memecahkan berbagai masalah komunitas secara demokratis
melalui pendidikan dan pelatihan pembangunan. Apa yang dilakukan harus
merupakan kegiatan yang berupa pendidikan untuk bertindak, di mana masyarakat
disiapkan untuk mewujudkan tujuan masyarakat secara demokratis.
12
Dengan demikian para pendamping/fasilitator tersebut sebetulnya harus lebih
berperan sebagai agen untuk membentuk pengalaman belajar bagi masyarakat yang
didampinginya ketimbang sebagai penggerak sasaran program.
Melalui konsep community development dengan pendekatan societal:
memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan sasaran seluruh
lapisan masyarakat hendaklah bermotifkan pendidikan, sehingga mampu
membangkitkan kemampuan self-reliance.
Mengapa pendidikan? Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat (modernisasi) yang mengacu pada cara
berpikir, bersikap, berperilaku, maka bidang pendidikan merupakan titik strategis
yang harus diperbarui dan diperluas (Weiner, 1966). Sehingga esensi dari community
development terutama di perdesaan adalah pendidikan masyarakat, yang meliputi
pendidikan dasar, keaksaraan, keterampilan dan penyuluhan perkoperasian,
pertanian dan sebagainya, seperti ditegaskan Belle (1976).
Hadirnya para pendamping/ fasilitator bukanlah aktor yang serba mumpuni,
ia tak lebih dari sekadar penggerak, pendorong dan pembelajar. Karena itu para
pendamping/fasilitator ini lebih pada upaya menaikkan daya ungkit masyarakat
dalam pengentasan kemiskinan. Tampaknya masyarakat sulit menghindari
ketergantungan dari pelaku perubahan, seperti pendamping. Sulit menemukan
adanya tindakan masyarakat perdesaan yang betul-betul mandiri tanpa adanya
intervensi pihak ketiga. Karena itu orientasi dan kemandirian bukanlah satu-satunya
alternatif dalam community development, Jim Ife, menyarankan agar community
development lebih diarahkan pada tujuan yang lebih material dan kepemilikan pada
proses serta struktur yang ada. Prinsip ini tentunya dapat diukur secara nyata, yang
dapat meningkatkan produksi dan standar kehidupan.
Diperlukan sebagai sebuah acuan bagi setiap warga masyarakat: membuat
mereka termotivasi, tergerak dan terlibat langsung baik ketika ada atau tidak ada
pemeriksanaan atau tinjauan pejabat. Terpenting memesona bagi masyarakatnya
miskin itu sendiri, dan bagi pihak-pihak lain. Bahkan, membuat orang-orang lain yang
berkunjung, singgah dan berinvestasi ke desa-desa, menikmati kehirukpikukan
masyarakat dalam melakukan, memelihara dan mengevaluasi program secara holistik
dari hulu hingga hilir.
13
Kesuksesan, keterbukaan dan dinamika masyarakat terjaga melalui eksotika
program pendampingan PNPM-MP, sehingga pihak lain yang datang dan pulang ke
tempat mereka masing-masing berkisah sukses dan prestasi mereka dan kemudian
berkunjung, singgah dan berinvestasi lagi dan lagi atau sebagai buyer dari produk
dan teknologi nyang dihasilkan di desa-desa.
Terpenting lagi, terjadi penaikan penyadaran akan perang melawan
kemiskinan sesuai aturan yang berlaku, bukan melahirkan budak-budak baru
pembangunan. Transformasi kematangan sosiokultur masyarakat menjadi sangat
penting dalam konteks ini. Dalam pengembangan masyarakat hendaknya
diperhatikan juga bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang
kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.
Upaya-upaya pengentasan kemiskinan semestinya dipahami sebagai
transformasi dari ketergantungan menuju kemandirian. Wujud kemandirian
tercermin dari tingkat kepedulian dan partisipasi atau memudarnya ketergantungan
kepada pemerintah. Pengertian ini bisa dipahami sebagai sikap mental dan perilaku
rasional, kompetitif dan menolak ketergantungan sesuai dengan prinsip independence
from the state. Dengan demikian akan semakin mendekatkan masyarakat pada
kesejahteraan dan kemandirian sebagaimana tujuan akhir (outcome) dari
pemberdayaan tersebut.
14
BAB IV
PENUTUP
Keberhasilan dan efektifitas dalam program pengentasan kemiskinan sangat
ditentukan oleh keterpaduan dalam perencaan dan pelaksanaan berbagai program
tersebut. Dalam program pengentasan kemiskinan setidaknya memuat: (1)
peningkatan dan penyempurnaan program-program pembangunan dan perdesaan;
(2) peningkatan desentralisasi da otonomi dalam pengambilan keputusan; (3)
peningkatan peran masyarakat secara efektif, dengan pendampingan yang efektif dan
intensif juga.
Jadi, keberhasilan program tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya dana.
Dana perlu, akan tetapi jangan sampai hanya karena ini bangsa kita harus
menganggarkan utang luar negeri untuk mengatasi kemiskinan. Jika yang terjadi
demikian, maka yang terjadi adalah proses pemiskinan kembali, bukan
menanggulangi. Masyarakat miskin perdesaan umumnya lemah dalam kemampuan
berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi, sehingga semakin
tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi tinggi.
Pemberdayaan yang baik bukan dengan memberikan sejumlah uang tunai
sekali habis secara terus-menerus, akan tetapi bagaimana pemerintah dan pelaku
pemberdayaan bisa meng-upgrade dan mengeksplore capacity building masyarakat
miskin perdesaan serta senantiasa memberikan advokasi terhadap permasalahan-
permasalahan mereka.
Program penanggulangan kemiskinan perdesaan akan berjalan efektif jika ada
sinergi yang kuat antar komponen bangsa meliputi pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Masyarakat harus senantiasa dilibatkan dalam perencaan, penyiapan,
pelaksanaan dan pemantauan, sehingga hasilnyapun dapat dinikmati oleh
masayrakat itu sendiri karena merekalah yang paling tahu kebutuhan mereka.
Pemerintah dan swasta harus memberikan arahan dan dukungan, tapi yang lebih
penting dari itu adalah kedua stakeholder ini (pemerintah dan swasta) mampu dan
mau menciptakan iklim usaha yang fair.
15
DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi. 2004. Perencanaan dan Penganggaran Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah: Kasus Sulawesi Selatan. Dalam Hariyanti Sadali dan Nuning Akhmadi (eds). “Perencanaan dan Penganggaran Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah: Pola Mana yang Paling Tepat?” Prosiding Lokakarya, Makassar. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU., hal 17-33
Bardhan dalam Sutoro Eko. Menuju Kesejahteraan Rakyat Melalui Rute Wasistiono, Sadu. 2005. Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance. Dalam Haris, Syamsuddin (ed). 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah:Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta : LIPI Press
David Osborne and Ted Gabler, Reinventing Government (A Plume Book, 1993).
Isbandi Rukminto Adi, Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2002).
James William Ife, Community Development: Creating Community Alternatives – Vision and Analysis (Melbourne: Longman Australia Pty Ltd, 1995).
Kusnaka Adimihardja, Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (Bandung: Humaniora, 2001).
R. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora Utama
Tim Pengendali PNPM Mandiri. 2007. Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Kementerian Negara Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Widayati. 2004. Pelayanan Keuangan Mikro kepada Kelompok di Wilayah Perdesaan (Suatu Pengalaman P4K).
Woodhouse, Andre. 2001. Fighting Corruption on KDP. July, The World Bank, Jakarta
16