0910.211.107

download 0910.211.107

of 90

description

gfvshfr

Transcript of 0910.211.107

  • UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

    HUBUNGAN ANTARA USIA, JENIS KELAMIN, LAMA PERAWATAN,

    DAN SKOR APACHE II TERHADAP INSIDENSI KASUS VENTILATOR

    ASSOCIATED PNEUMONIAE DI ICU RSPAD GATOT SOEBROTO

    PERIODE JANUARI 2012 DESEMBER 2012

    SKRIPSI

    Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Kedokteran

    Farrah Erman

    0910.211.107

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM

    2013

  • 2

    PENGESAHAN DEKAN

    Skripsi diajukan oleh :

    Nama : Farrah Erman

    NRP : 091.0211.107

    Program Studi : Sarjana Kedokteran

    Judul Skripsi : Hubungan Antara Usia, Jenis Kelamin, Lama Perawatan,

    dan Skor APACHE II Terhadap Insidensi Kasus

    Ventilator Associated Pneumoniae di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto Periode Januari 2012 Desember 2012

    Telah berhasil dipertahankan di hadapan Penguji dan Pembimbing serta telah

    diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

    Sarjana Kedokteran pada Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas

    Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

    Disetujui,

    Nurfitri Bustamam SSi, MKes, MPd.Ked

    Penguji Utama

    dr. Imam Soekoesno Sp.P, Sp.KP dr. Chairunan Hasbullah MARS

    Pembimbing I Pembimbing II

    Mengesahkan,

    Dr. Buddy H.W. Utoyo, MARS

    Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

    Ditetapkan di : Jakarta

    Tanggal Ujian : 4 Maret 2013

  • 3

    PENGESAHAN

    KETUA PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN

    Skripsi diajukan oleh :

    Nama : Farrah Erman

    NRP : 091.0211.107

    Program Studi : Sarjana Kedokteran

    Judul Skripsi : Hubungan Antara Usia, Jenis Kelamin, Lama Perawatan,

    dan Skor APACHE II Terhadap Insidensi Kasus

    Ventilator Associated Pneumoniae di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto Periode Januari 2012 Desember 2012

    Telah berhasil dipertahankan di hadapan Penguji dan Pembimbing serta telah

    diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

    Sarjana Kedokteran pada Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas

    Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

    Disetujui,

    Dr. Anisah, M.Pd.Ked

    Ketua Program Studi Sarjana Kedokteran

    Ditetapkan di : Jakarta

    Tanggal Ujian : 4 Maret 2013

  • 4

    PERNYATAAN ORISINALITAS

    Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

    dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk

    telah saya nyatakan dengan benar

    Nama : Farrah Erman

    NRP : 091.0211.107

    Tanggal : 4 Maret 2013

    Tanda Tangan :

  • 5

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

    SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Sebagai civitas akademik Univesitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta,

    saya yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : Farrah Erman

    NRP : 091.0211.107

    Fakultas : Kedokteran

    Program Studi : Sarjana Kedokteran

    Jenis Karya : Skripsi

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

    Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Hak Bebas Royalti

    Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang

    berjudul :

    HUBUNGAN ANTARA USIA, JENIS KELAMIN, LAMA

    PERAWATAN, DAN SKOR APACHE II TERHADAP INSIDENSI

    KASUS VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIAE DI ICU RSPAD

    GATOT SOEBROTO PERIODE JANUARI 2012 DESEMBER 2012

    Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti ini

    Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta berhak menyimpan,

    mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

    merawat, dan mempublikasikan Skripsi saya selama tetap mencantumkan nama

    saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

    Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di : Jakarta

    Pada tanggal : 4 Maret 2013

    Yang menyatakan,

    (Farrah Erman)

  • 6

    PRAKATA Puji syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

    karena berkat rahmat dan karunia-Nya, skripsi dengan judul HUBUNGAN

    ANTARA USIA, JENIS KELAMIN, LAMA PERAWATAN, DAN SKOR

    APACHE II TERHADAP INSIDENSI KASUS VENTILATOR ASSOCIATED

    PNEUMONIA DI ICU RSPAD GATOT SOEBROTO PERIODE JANUARI

    2012 DESEMBER 2012 dapat diselesaikan.

    Pada kesempatan ini secara khusus saya ingin mengucapkan terima kasih

    dan penghargaan setinggi-tingginya kepada dr. Imam Soekoeno, Sp.P, Sp.KP

    dan dr. Chairunan Hasbullah, MARS pembimbing yang telah memberikan

    petunjuk, pengarahan dan nasehat yang sangat berharga didalam penyusunan

    sampai dengan selesainya skripsi ini.

    Selanjutnya tidak lupa penulis juga menyampaikan rasa terima kasih

    sedalam-dalamnya kepada :

    1. Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, ketabahan, kesabaran,

    serta kemudahan dalam pembuatan skripsi ini.

    2. Erman Soehardjo, SH, MH dan Nafisah Hasan sebagai orang tua yang

    selalu mendukung dan membantu dalam segala hal, serta memberikan

    semangat, doa, dan kasih sayang.

    3. Brigadir Jenderal TNI (Purn) dr. Buddy H.W. Utoyo, MARS selaku

    dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Veteran Jakarta.

    4. dr. Hartono selaku pembimbing lapangan, atas arahan dan masukan

    dalam pengambilan data dan penelitian sampai penyusunan skripsi ini.

    5. dr. Karina Yudithya yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi

    ini.

    6. Arby Pratama, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan

    pengertiannya dalam penyusunan skripsi ini.

    7. Semua dosen yang pernah mengajar Community Research Programme

    mulai dari tingkat 1 sampai tingkat 4 sehingga penulis memperoleh ilmu

    yang bermanfaat akan statistik dan penyusunan skripsi.

  • 7

    8. Sahabat-sahabat terdekat penulis yaitu Adita Bella Lastania, Nigeli

    Tosaga Budianto, Rahmi Ramadhanti, Meranita Talentsa, Dwi Ardhini

    dan Annisa Novarani atas keceriaan yang dibawa selama ini.

    9. Sahabat-sahabatku di kampus Kriski Regina Gaezani, Rissa Andhini,

    Irene Dyah Djulianti, Reica Aprilyana, Debby Seresthia, Ahmad Alfi

    Bashori, Evita, dan Shelly Naritri yang telah memberikan support dari

    semester 1 sampai tersusunnya skripsi ini.

    10. Teman-teman sejawat Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

    angkatan 2009 dan semua pihak terkait yang tidak dapat saya sebutkan

    satu per satu.

    Semoga semua pihak yang telah disebutkan diatas, maupun pihak yang tidak

    bisa saya sebutkan namanya satu per satu mendapat anugrah yang berlimpah

    dari ALLAH SWT atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

    Penulis menyadari bahwa hasil penelitian yang telah dituangkan dalam

    skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap

    skripsi ini dapat memberikan manfat bagi orang lain dalam melaksanakan

    tugas sebagai tenaga kesehatan yang berkaitan dengan pulmonologi.

    Jakarta, 2013

    (Farrah Erman)

  • 8

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    DATA PRIBADI

    Nama : Farrah Erman

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 29 April 1992

    Agama : Islam

    Kewarganegaraan : Indonesia

    Telp : 021 84590964

    No Hp : 085695090002

    Email : [email protected]

    Alamat Rumah : Jl. Ciherang No. 99A RT 005 RW 005

    Sukatani Cimanggis Depok

    KELUARGA

    Orangtua

    Ayah : Erman Soehardjo, SH, MH

    Ibu : Nafisah Hasan

    Saudara Kandung

    Adik : Miqdad Erman

    Mizzi Maqdizi Erman

    PENDIDIKAN FORMAL

    2006 2009 Sekolah Menengah Atas Negeri 99 Cibubur Jakarta

    2003 2006 Sekolah Menengah Pertama Negeri 147 Cibubur Jakarta

    1999 2003 Sekolah Dasar Kartika XIII-I Cibubur Jakarta

    1997 1999 Sekolah Dasar Negeri 06 Pagi Slipi Jakarta

    1995 1997 Taman Kanak-kanak Yasporbi Slipi Jakarta

    PENGALAMAN ORGANISASI

    2001 2007 Anggota Pencak Silat Perisai Putih

    2009 2010 Anggota Komisi A SMFK UPN Veteran Jakarta

    2010 2011 Ketua SMFK UPN Veteran Jakarta

  • 9

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN PENGESAHAN DEKAN ......................................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN KA.PSSK ........................................................ iii

    PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................. iv

    HALAMAN HAK CIPTA ............................................................................... v

    PRAKATA ...................................................................................................... vi

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................ viii

    DAFTAR ISI .................................................................................................. ix

    DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii

    DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xiv

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv

    ABSTRACT ...................................................................................................... xvi

    RINGKASAN .................................................................................................. xviii

    BAB I PENDAHULUAN

    I.1. Latar belakang .......................................................................................... 1

    I.2. Perumusan masalah .................................................................................. 3

    I.3. Pertanyaan Penelitian ...............................................................................

    I.4. Tujuan penelitian ...................................................................................... 4

    I.3.1. Tujuan Umum ............................................................................ 4

    I.3.2. Tujuan Khusus ........................................................................... 4

    I.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4

    I.4.1. Peneliti ....................................................................................... 4

    I.4.2. Instansi ....................................................................................... 4

    I.4.3. Masyarakat .................................................................................. 5

    I.4.4. Institusi Pendidikan .................................................................... 5

    I.4.5. Penelitian Selanjutnya ............................................................... 5

    BAB II LANDASAN TEORI

    II.1. Landasan Teori ........................................................................................ 6

    II.1.1. Definisi Pneumonia ................................................................... 6

    II.1.2. Klasifikasi Pneumonia ............................................................... 6

  • 10

    II.1.3. Ventilator Associated Pneumoniae ........................................... 7

    II.1.4. Anatomi dan Fisiologi Paru ....................................................... 10

    II.1.5. Mekanisme Pertahanan Paru ..................................................... 12

    II.1.6. Patogenesis ................................................................................ 14

    II.1.7. Faktor Resiko ............................................................................ 17

    II.1.8. Diagnosis ................................................................................... 19

    II.1.9. Unit Perawatan Intensif (ICU) ................................................. 22

    II.1.10. Intubasi Endotrakeal ............................................................... 24

    II.1.11. Skor APACHE II .................................................................... 25

    II.1.11.1. Sejarah Perkembangan Skor APACHE .......................... 25

    II.1.11.2. Penggunaan Skor APACHE II Sebagai Sistem

    Skoring Berat Penyakit ....................................................... 26

    II.2. Kerangka Teori ........................................................................................ 29

    II.3. Kerangka Konsep .................................................................................... 30

    II.4. Hipotesis .................................................................................................. 30

    BAB III METODE PENELITIAN

    III.1. Jenis Penelitian ...................................................................................... 31

    III.2. Lokasi Penelitian .................................................................................... 31

    III.3. Subyek Penelitian .................................................................................. 31

    III.3.1. Populasi .................................................................................... 31

    III.3.2. Sampel Penelitian ..................................................................... 31

    III.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................. 31

    III.5. Besar Sampel .......................................................................................... 32

    III.6. Cara Pemilihan Sampel .......................................................................... 32

    III.7. Rancangan Penelitian ............................................................................. 32

    III.8. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................. 32

    III.8.1. Variabel Dependen .................................................................. 32

    III.8.2. Variabel Independen ............................................................... 32

    III.9. Definisi Operasional Variabel ............................................................... 33

    III.10. Instrumen Penelitian ............................................................................ 34

    III.11. Protokol Penelitian ............................................................................... 34

    III.12. Analisis Data ........................................................................................ 35

  • 11

    III.13. Pengolahan Data .................................................................................. 35

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    IV.1. Gambaran Tempat Penelitian ................................................................ 37

    IV.1.1. Gambaran Umum RSPAD Gatot Soebroto ................................. 37

    IV.1. Hasil Analisis Univariat ........................................................................ 38

    IV.2. Hasil Analisis Bivariat ........................................................................... 41

    IV.3. Pembahasan ........................................................................................... 43

    BAB V PENUTUP

    V.1. Kesimpulan ............................................................................................. 46

    V.2. Saran ....................................................................................................... 46

    V.2.1. RSPAD Gatot Soebroto ............................................................ 46

    V.2.2 Penelitian Selanjutnya ............................................................... 46

    V.3. Keterbatasan ............................................................................................ 47

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48

    LAMPIRAN ................................................................................................... 51

  • 12

    DAFTAR TABEL

    TABEL 1 Pola kuman dari sputum pasien di ruang rawat intensif RS

    Persahabatan 2004 .................................................................. 8

    TABEL 2 Patogen Penyebab VAP ......................................................... 9

    TABEL 3 Kriteria klinis untuk diagnosis Ventilator-associated

    pneumoniae (VAP) ................................................................. 20

    TABEL 4 Perkiraan Angka Kematian ...................................................... 27

    TABEL 5 Klasifikasi Usia dalam skor APACHE II ................................. 28

    TABEL 6 Definisi Operasional ............................................................... 33

    TABEL 7 Distribusi Usia Terhadap Insidensi Kasus VAP pada

    Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot Soebroto ............ 38

    TABEL 8 Distribusi Jenis Kelamin Terhadap Insidensi Kasus VAP

    pada Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot Soebroto .... 38

    TABEL 9 Distribusi Lama Perawatan Terhadap Insidensi Kasus

    VAP pada Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto .................................................................................. 39

    TABEL 10 Distribusi Skor APACHE II Terhadap Insidensi Kasus

    VAP pada Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto .................................................................................. 39

    TABEL 11 Distribusi VAP pada Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD

    Gatot Soebroto ........................................................................ 40

    TABEL 12 Hubungan Antara Usia Terhadap Insidensi Kasus VAP pada

    Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot Soebroto ............ 41

    TABEL 13 Hubungan Antara Jenis Kelamin Terhadap Insidensi Kasus

    VAP pada Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto .................................................................................. 41

    TABEL 14 Hubungan Antara Lama Perawatan Terhadap Insidensi Kasus

    VAP pada Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto .................................................................................. 42

  • 13

    TABEL 15 Hubungan Antara Skor APACHE II Terhadap Insidensi

    Kasus VAP pada Pasien yang Dirawat di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto .................................................................................. 43

  • 14

    DAFTAR BAGAN

    BAGAN 1 Patogenesis VAP .................................................................... 16

    BAGAN 2 Kerangka Teori ....................................................................... 30

    BAGAN 3 Kerangka Konsep .................................................................... 31

    BAGAN 4 Cara Kerja Penelitian .............................................................. 35

  • 15

    DAFTAR LAMPIRAN

    LAMPIRAN 1 Surat Permohonan Izin Penelitian ............................... 51

    LAMPIRAN 2 Surat Pemberian Izin Penelitian .................................. 52

    LAMPIRAN 3 Skor APACHE II ........................................................ 53

    LAMPIRAN 4 Data Responden .......................................................... 54

    LAMPIRAN 5 Analisis Univariat ....................................................... 61

    LAMPIRAN 6 Analisis Bivariat ......................................................... 66

  • 16

    ABSTRACT

    Farrah Erman. The Correlation Between Age, Sex, Duration of Treatment, and

    APACHE II Score on Ventilator Associated Pneumoniae Case Incidence in the

    Intensive Care Unit of Gatot Soebroto Army Hospital on January 2012

    December 2012 period. Supervised by dr. IMAM SOEKOESNO, Sp.P, Sp. KP

    and dr. CHAIRUNAN HASBULLAH, MARS.

    Ventilator associated pneumoniae is pneumonia that occurs more than 48 hours

    after installation or use of endotracheal intubation and mechanical ventilation.

    VAP is a common nosocomial infection in the intensive care unit (ICU).

    Incidence of nosocomial pneumonia found in almost 25% of all cases of

    infection in the ICU, and 90% occurred in the use of a mechanical ventilator.

    The purpose of this study was to determine the relationship between age, sex,

    duration of treatment, and the APACHE II score at ICU Gatot Subroto Army

    Hospital from January 2012 - December 2012. This type of study is a descriptive

    analytic. This study is cross-sectional study design. Number of respondents were

    251 people. Data were analyzed using chi square test. Chi-square statistical test

    using relevant software obtained the probability (p) score of the independent

    variables tested were age (p: 0.024), gender (p: 0.071), duration of treatment (p:

    0.005), and APACHE II score (p: 0.015) with a value of = 0.05. Thus it can be

    concluded there is a relationship between age, duration of treatment, and

    APACHE II score with the incidence of VAP, while there was no correlation

    between sex with the incidence of VAP.

    Keywords: Age, Sex, Duration of Treatment, APACHE II score, VAP

    Bibliography : 34 (1985 2012)

  • 17

    ABSTRAK

    FARRAH ERMAN. Hubungan Antara Usia, Jenis Kelamin, Lama Perawatan,

    dan Skor APACHE II Terhadap Insidensi Kasus Ventilator Associated

    Pneumoniae di ICU RSPAD Gatot Soebroto Periode januari 2012 Desember

    2012. Dibimbing oleh dr. IMAM SOEKOESNO, Sp.P, Sp. KP dan dr.

    CHAIRUNAN HASBULLAH, MARS.

    Ventilator associated pneumoniae adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48

    jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal dan atau penggunaan ventilasi

    mekanik. VAP merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi di ruang rawat

    intensif (ICU). Kejadian pneumonia nosokomial dijumpai pada hampir 25% dari

    semua kasus infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada penggunaan ventilator

    mekanik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara usia,

    jenis kelamin, lama perawatan, dan skor APACHE II di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto periode Januari 2012 Desember 2012. Jenis penelitian adalah

    deskriptif analitik. Rancangan penelitian cross sectional. Jumlah responden 251

    orang. Data dianalisis menggunakan uji chi square. Uji statistik chi square

    menggunakan perangkat lunak didapatkan probabilitas (p) pada variabel bebas

    yang diuji adalah usia (p:0,024), jenis kelamin (p:0,071), lama perawatan

    (p:0,005), dan skor APACHE II (p:0,015) dengan nilai = 0,05. Dengan

    demikian dapat diambil kesimpulan terdapat hubungan antara usia, lama

    perawatan, dan skor APACHE II dengan kejadian VAP sedangkan tidak terdapat

    hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian VAP.

    Kata kunci: Usia, Jenis Kelamin, Lama Perawatan, skor APACHE II, VAP

    Kepustakaan : 34 (1985 2012)

  • 18

    RINGKASAN

    FARRAH ERMAN. Hubungan Antara Usia, Jenis Kelamin, Lama Perawatan,

    dan Skor APACHE II Terhadap Insidensi Kasus Ventilator Associated

    Pneumoniae di ICU RSPAD Gatot Soebroto Periode januari 2012 Desember

    2012. Dibimbing oleh dr. IMAM SOEKOESNO, Sp.P, Sp. KP dan dr.

    CHAIRUNAN HASBULLAH, MARS.

    Ventilator associated pneumoniae adalah pneumonia yang terjadi lebih dari

    48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal dan atau penggunaan ventilasi

    mekanik. VAP merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi di ruang rawat

    intensif (ICU). Faktor risiko VAP diklasifikasikan menjadi 3, yaitu faktor risiko

    terkait pejamu, terkait pengobatan, dan terkait infeksi. Usia dan jenis kelamin

    merupakan faktor risiko terkait pejamu. Sedangkan penggunaan ventilator atau

    intubasi endotrakeal merupakan faktor risiko terkait pengobatan. Lama

    perawatan juga dapat menimbulkan risiko tersendiri terhadap infeksi

    nosokomial. Karena dengan semakin lamanya perawatan meningkatkan waktu

    transisi patogen. Skor APACHE II sendiri merupakan penghitungan berbagai

    macam faktor risiko yang dimiliki oleh pasien sehingga dapat menentukan

    beratnya penyakit yang dialami pasien saat ini sebagai salah satu faktor risiko

    terkait pejamu.

    Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik. Data yang digunakan adalah

    data sekunder berupa rekam medis. Penelitian dilakukan di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto, populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang menggunakan

    intubasi endotrakeal dan atau ventilasi mekanis periode Januari 2012

    Desember 2012. Sedangkan sampel penelitian adalah pasien yang terdiagnosis

    VAP yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik sampling dengan

    sampel jenuh. Sampel penelitian berjumlah 251 pasien. Desain penelitian yang

    digunakan adalah Cross Sectional.

    Pada penelitian ini digunakan uji statistik chi square. Terdapat hubungan

    yang bermakna antara faktor usia terhadap kejadian VAP dengan (p : 0,024),

    tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor jenis kelamin dengan

    kejadian VAP (p : 0,071), terdapat hubungan yang bermakna antara faktor lama

  • 19

    perawatan dengan kejadian VAP (p : 0,005), terdapat hubungan yang bermakna

    antara faktor skor APACHE II dengan kejadian VAP (p : 0,015). Untuk instansi

    rumah sakit, yaitu RSPAD Gatot Soebroto diharapkan untuk meningkatkan

    kesterilan alat-alat yang digunakan di ruang ICU untuk menurunkan faktor

    terkait pengobatan diluar faktor dari pasien sendiri yang sulit untuk dihilangkan.

    Serta sedapat mungkin menurunkan tingkat keparahan penyakit pasien melalui

    penatalaksanaan yang tepat, guna menurunkan risiko terjadinya infeksi

    nosokomial di rumah sakit.

    Kata kunci: Usia, Jenis Kelamin, Lama Perawatan, skor APACHE II, VAP

    Kepustakaan : 34 (1985 2012)

  • 20

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1. Latar Belakang

    Ventilator-associated pneumoniae (VAP) merupakan infeksi nosokomial

    yang sering terjadi pada pasien yang dirawat di ICU. VAP adalah pneumonia

    yang terjadi pada pasien setelah intubasi endotrakeal terutama pada pasien yang

    menggunakan ventilasi mekanis (Masterton et al., 2008; Vincent et al., 2010).

    VAP berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan (morbidity),

    angka kematian (mortality) dan biaya kesehatan. Pneumonia nosokomial terjadi

    pada 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi 6-20

    kali lebih tinggi pada pasien yang menggunakan alat bantu napas mekanis.

    Kejadian pneumonia nosokomial dijumpai pada hampir 25% dari semua kasus

    infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada penggunaan ventilator mekanik (Rahman,

    2006). 19% pasien yang mendapat ventilasi mekanik di ruang rawat intensif

    (ICU) di 19 rumah sakit di Belanda terkena VAP.

    Risiko tertinggi terjadinya VAP adalah pada hari-hari awal perawatan di

    rumah sakit, dan diperkirakan menjadi 3%/hari selama 5 hari pertama

    penggunaan ventilasi mekanik, 2%/hari pada 5-10 hari penggunaan ventilasi

    mekanik, dan 1%/hari pada hari sesudahnya (American Thoracic Society, 2005).

    Angka kematian pada pneumonia nosokomial berkisar 20-50% (Garc a-Leoni et

    al., 2010). Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan

    P.aeruginosa atau yang mengalami infeksi sekunder. Angka kematian pasien

    pada pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan intensif meningkat 3-10

    kali dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian

    menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3 kali dibandingkan pasien

    tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah

    sakit. Rata-rata lama perawatan akan bertambah 7-9 hari akibat VAP (American

    Thoracic Society, 2005).

    Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi nasional pneumonia secara

    umum di Indonesia menurut diagnosa dan gejala adalah 2,13% ( rentang 0,8% -

    5,6%). Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia

  • 21

    tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak tersedia dan data yang

    ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah, serta

    angkanya sangat bervariasi. Selain itu data yang ada dianggap belum

    mencerminkan infeksi nosokomial karena tidak dilakukan foto toraks pada saat

    pasien masuk ruang rawat intensif (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2005).

    Penggunaan ventilator mekanis meningkatkan risiko terjadinya VAP

    diakibatkan karena terbawanya mikroorganisme dari orofaring saat masuknya

    tuba endotrakeal ke dalam trakea saat intubasi (Tablan et al., 2003). Intubasi

    endotrakeal dapat menyebabkan mikroaspirasi akibat adanya sekret yang

    berkumpul di bawah manset tuba. Adapun peralatan yang menjadi faktor risiko

    VAP adalah termasuk selang endotrakeal, sirkuit ventilator, dan adanya selang

    nasogastrik atau orogastrik (Augustyne, 2007).

    Patogen penyebab pneumonia nosokomial dapat berbeda antara satu rumah

    sakit dengan lainnya, bahkan antara ruang rawat biasa dengan ruang rawat

    intensif di satu rumah sakit. Patogen yang umum menginfeksi pasien yang

    menggunakan ventilasi mekanis di ruang rawat intensif yaitu bakteri Gram

    negatif, seperti P. aeruginosa, Proteus sp, Acitenobacter sp, dan Staphylococcus

    aureus. Patogen penyebab VAP bervariasi terkait banyak faktor, termasuk durasi

    penggunaan ventilasi mekanis, lama perawatan di ICU, adanya komorbiditas

    (penyakit paru, penyakit kardiovaskuler, imunosupresi), dan penggunaan

    antibiotik sebelumnya (Vincent et al., 2010)

    Usia adalah variabel terpenting dari faktor host karena mempengaruhi

    imunitas dan perubahan daya tahan tubuh sehingga sangat mempengaruhi

    tingkat kejadian penyakit. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan resiko

    terjadinya pneumonia nosokomial seiring dengan dengan meningkatnya usia

    (Price dan Wilson, 2006).

    Waktu merupakan variabel epidemiologi penting dan salah satu faktor

    risiko untuk infeksi patogen spesifik dan prognosis pasien. Onset awal VAP

    (antara 2 5 hari) biasanya mempunyai prognosis lebih baik dan patogen yang

    lebih sedikit daripada VAP dengan onset yang lebih lama (>5 hari) yang

    umumnya diakibatkan oleh patogen multi drug resistant (MDR) yang berkaitan

  • 22

    dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pasien (American

    Thoracic Society, 2005).

    APACHE adalah singkatan dari Acute Physiology and Chronic Health

    Evaluation. Sistem skoring ini merupakan sistem klasifikasi berdasarkan

    fisiologik untuk mengukur gradasi atau beratnya penyakit penderita gawat

    (Knaus et al., 1985). Yang dipergunakan pada penelitian ini adalah skoring

    APACHE II, dimana skoring ini merupakan penyederhanaan dari sistem skoring

    sebelumnya, APACHE. Penilaian skor APACHE II dilakukan pada 24 jam

    pertama saat pasien pertama kali dirawat. Semakin berat penyakit pasien dapat

    meningkatkan angka kejadian VAP. Pneumonia termasuk kedalam penyakit

    yang tercantum dalam uji validitas APACHE II (Rustamadji, 2000).

    Banyaknya faktor yang mempengaruhi patogen penyebab VAP ditambah

    kurangnya data akan patogen penyebab VAP di Indonesia membuat peneliti

    merasa perlu untuk melakukan penelitian terkait dengan insiden VAP terutama

    di ruang rawat intensif (ICU) RSPAD Gatot Soebroto. Dengan tersedianya data

    akan angka kejadian VAP akan memudahkan klinisi menyingkirkan faktor-

    faktor yang dapat menyebabkan VAP di kemudian hari.

    I.2. Perumusan Masalah

    Ventilator associated pneumoniae (VAP) merupakan infeksi nosokomial

    yang paling sering terjadi di ruang rawat intensif (ICU). Penelitian yang

    dilakukan sejumlah rumah sakit swasta dan pemerintah menunjukkan angka

    yang bervariasi, ditambah lagi diagnosis yang dibuat belum menyertakan foto

    toraks pada saat pasien masuk ruang rawat intensif sehingga hasil penelitian

    belum dapat dikatakan infeksi nosokomial. Penelitian ini bertujuan untuk

    mencari hubungan antara usia, jenis kelamin, lama perawatan, dan skor

    APACHE II dalam kejadian ventilator associated pneumoniae di ruang rawat

    intensif (ICU).

    I.3. Pertanyaan Penelitian

    1. Apakah terdapat hubungan antara usia pasien dengan kejadian Ventilator associated

    pneumoniae (VAP) di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode Januari 2012

    Desember 2012?

  • 23

    2. Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin pasien dengan kejadian Ventilator

    associated pneumoniae (VAP) di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode Januari

    Desember 2012?

    3. Apakah terdapat hubungan antara lama rawat pasien dengan kejadian Ventilator

    associated pneumoniae (VAP) di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode Januari

    Desember 2012?

    4. Apakah terdapat hubungan antara skor APACHE II pasien dengan kejadian

    Ventilator associated pneumoniae (VAP) di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode

    Januari Desember 2012?

    I.4. Tujuan Penelitian

    Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan

    :

    I.4. 1. Tujuan umum

    Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara usia, jenis kelamin, lama

    perawatan, dan skor APACHE II pasien terhadap kejadian ventilator-associated

    pneumoniae di ICU RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

    I.4.2. Tujuan khusus

    Mengetahui angka kejadian ventilator-associated pneumoniae (VAP) di ICU

    RSPAD Gatot Soebroto selama periode Januari 2012 - Desember 2012

    berdasarkan usia, jenis kelamin, lama perawatan, dan skor APACHE II.

    I.5. Manfaat Penelitian

    I.5.1. Bagi Peneliti

    Sebagai syarat kelulusan sarjana kedokteran dan pengembangan minat

    dalam bidang penyakit paru khususnya pada penyakit akibat infeksi di rumah

    sakit.

    I.5.2. Bagi Instansi

    Bagi instansi terkait disini yaitu RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta adalah

    memberikan gambaran mengenai kejadian ventilator associated pneumoniae

    (VAP) dan data akurat yang mempunyai hubungan kuat dengan kejadian

    ventilator associated pneumoniae (VAP) yang ditemukan di ruang rawat intensif

    agar menjadi bahan masukan untuk mengevaluasi pelayanan yang telah

  • 24

    diberikan kepada pasien pengguna intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanis di

    ruang rawat intensif dalam upaya menekan angka kejadian VAP.

    I.5.3. Bagi Masyarakat

    Sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan responden khususnya

    tentang infeksi pneumonia nosokomial di ruang rawat intensif.

    I.5.4. Bagi Institusi Pendidikan

    Bagi institusi pendidikan yaitu Fakultas Kedokteran UPN Veteran

    Jakarta agar dapat digunakan sebagai bahan diskusi dan acuan untuk

    pengembangan penelitian.

    I.5.5. Bagi Penelitian selanjutnya

    Sebagai data awal atau pendukung bagi peneliti selanjutnya yang

    membahas faktor risiko lain yang terkait terhadap kejadian pneumonia

    nosokomial di ruang rawat intensif.

  • 25

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA II.1. Landasan Teori

    II.1.1. Definisi Pneumonia

    Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim paru yang berasal dari suatu

    infeksi (Price dan Wilson, 2006). Pneumonia ditandai dengan peradangan dari

    parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus

    respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan

    gangguan pertukaran gas setempat (Rahman, 2006).

    Pneumonia sering dihadapi oleh perawat keperawatan kritis ketika infeksi

    tersebut memperberat kondisi penyakit yang serius atau menyebabkan gawat

    nafas (Morton et al., 2011).

    II.1.2. Klasifikasi Pneumonia

    Skema klasifikasi gabungan klinis yang saat ini digunakan secara umum

    merupakan klasifikasi klinis gabungan dengan mengidentifikasi faktor resiko

    seseorang saat pertama kali datang untuk pemeriksaan medis. Keuntungan dari

    klasifikasi ini adalah dapat memandu dalam pemilihan perawatan awal yang

    tepat, bahkan sebelum mikrobiologi penyebab pneumonia tersebut diketahui

    sehingga memudahkan pengobatan.

    Terdapat dua kategori pneumonia dalam skema ini: community-acquired

    pneumoniae (pneumonia komunitas) dan hospital-acquired pneumoniae

    (pneumonia nosokomial).

    1) Community acquired pneumoniae

    Community acquired pneumonia (CAP), disebut juga pneumonia

    komunitas didefinisikan sebagai infeksi pada parenkim paru-paru yang

    terjadi di luar rumah sakit ditandai dengan infeksi akut parenkim paru

    diikuti dengan infltrat pada foto toraks, serta auskultasi sesuai dengan

    pneumonia. Pasien tidak pernah dirawat atau berada di fasilitas kesehatan

    lebih dari 14 hari sebelum timbul gejala (Kasper dan Fauci, 2008).

    CAP merupakan bentuk pneumonia yang paling umum terjadi,

    dan merupakan penyebab utama terhadap angka kematian akibat infeksi

  • 26

    menular terutama pada pasien usia lanjut dan immunocompromised. Dari

    kepustakaan pneumonia komuniti (CAP) yang diderita oleh masyarakat

    luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif. Namun, laporan dari

    beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan

    dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri

    Gram negatif (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2005).

    2) Hospital-acquired Pneumoniae

    Hospital-acquired pneumoniae (HAP), juga disebut pneumonia

    nosokomial, adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah

    pasien masuk rumah sakit, tidak termasuk infeksi pada fase inkubasi saat

    pasien masuk perawatan (American Thoracic Society, 2005). Ventilator

    associated Pneumoniae (VAP) merupakan bentuk HAP lainnya yang

    lebih spesifik dan sering ditemui di ICU.

    II.1.3. Ventilator Associated Pneumoniae (VAP)

    Ventilator associated pneumoniae (VAP) adalah pneumonia yang terjadi

    lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal dan atau penggunaan

    ventilasi mekanik (American Thoracic Society, 2005). Sedangkan Garc a-Leoni

    et al, mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran

    infiltrat baru dan menetap pada foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil

    biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di

    sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto toraks, gejala pneumonia atau

    terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret trakeal

    purulen.

    VAP umum terjadi di unit perawatan intensif (ICU). VAP dikaitkan

    dengan peningkatan morbiditas dan kematian, lama tinggal di rumah sakit, dan

    biaya. Tingkat kematian yang timbul dari VAP adalah 27% dan mencapai 43%

    saat agen penyebab adalah resisten antibiotik. Lama tinggal di unit perawatan

    intensif meningkat sebesar 5 sampai 7 hari dan memperpanjang lama perawatan

    di rumah sakit 2 sampai 3 kali lipat pada pasien dengan VAP sehingga

    meningkatkan biaya perawatan VAP. (Augustyn, 2007).

  • 27

    VAP diklasifikasikan menjadi VAP awitan-dini dan VAP awitan-lanjut.

    VAP awitan-dini terjadi pada 5 hari pertama saat pasien masuk ICU,

    pemasangan intubasi trakea, dan pemakaian ventilator mekanis,. VAP awitan-

    lanjut terjadi setelah 5 hari. Angka kejadian VAP adalah 5-10 kasus per 1000

    pasien yang masuk rumah sakit, dan insidennya meningkat pada pasien yang

    mendapat ventilasi mekanis (American Thoracic Society, 2005).

    VAP mencakup kurang lebih 15% dari kejadian infeksi nosokomial serta

    menyebabkan peningkatan biaya dan angka mortalitas. Angka kejadian

    sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan

    antara lain data nasional tidak tersedia dan data yang ada hanya berasal dari

    beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi.

    Tabel 1 : Pola kuman dari sputum pasien di ruang rawat intensif RS

    Persahabatan 2004

    Nama kuman Jumlah Persen

    Klebsiella 40 24,5%

    Pseudomonas 37 22,7%

    Acinetobacter 21 12,8%

    Klebsiella spp 18 11%

    Pseudomonas spp 10 6,1%

    Acinetobacter spp 10 6,1%

    S. aureus 9 5,5%

    E. coli 9 5,5%

    P. aeruginosa 5 3%

    Streptococcus spp 3 1,8%

    Enterobacter spp 1 0,6%

    Jumlah 163 100%

    Dikutip dari (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2005)

    VAP awitan-dini umumnya disebabkan oleh mikroorganisme sensitif

    antimikroba seperti Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp,

    S.pneumoniae, H.influenza, S.aureus sensitif-metisilin. Sedangkan VAP awitan-

    lanjut diakibatkan oleh P.aeruginosa, S.aureus resisten-metisilin, Acitenobacter

    spp strain kuman yang merupakan kuman patogen yang multi drug resisten

  • 28

    (MDR) (Tablan et al., 2003). Namun organisme Gram-negatif yang sangat

    resisten (Pseudomonas aeruginosa, Acitenobacter) dan S. aureus dapat juga

    ditemukan pada pasien VAP awitan-dini yang memiliki faktor risiko terpajan

    patogen ini.

    VAP-awitan dini umumnya memiliki prognosis lebih baik karena

    disebabkan oleh kuman yang masih sensitif terhadap antibiotika sedangkan

    VAP-awitan lanjut memiliki prognosis yang lebih buruk karena disebabkan oleh

    kuman patogen yang multi drug resistent (MDR).

    Dari beberapa kepustakaan mencerminkan bahwa angka kejadian VAP

    dinilai lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita. Namun, perbedaan

    angka kejadian antara pria dan wanita dirasa tidak cukup signifikan (Gadani et

    al., 2010).

    Insidensi pneumonia di populasi berkisar 6,3 kasus per 100 pasien dalam

    satu tahun dan pada VAP berkisar 1,74 per 1000 hari penggunaan ventilasi

    mekanik.

    Tabel 2 : Patogen Penyebab VAP

    VAP Awitan Dini VAP Awitan Lanjut CDC 2006 - 2007

    Streptococcus pneumonia

    Haemophilus influenza

    Moraxella catarrhalis

    Pseudomonas aeruginosa

    Acinetobacter spp.

    Enterobacter spp.

    Staphylococcus Resisten

    Metisilin aureus

    Staphylococcus aureus

    (24,4%)

    Pseudomonas aeruginosa

    (16,3%)

    Enterobacter spp. (8,4%)

    Acinetobacter baumannii

    (8,4%)

    Klebsiella pneumoniae

    (7,5%)

    Escherichia coli (4,6%)

    Candida spp (2,7%)

    Klebsiella oxytoca (2,2%)

    Staphylococcus Koagulase

    negatif (1,3%)

    lainnya (23,1%)

    Dikutip dari (APIC, 2009)

  • 29

    II.1.4. Anatomi dan Fisiologi paru

    Paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari alveoli.

    Gelembung gelebung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Pada

    lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2

    dikeluarkan dari darah.

    Paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah rongga

    dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru

    atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru sendiri dibagi menjadi

    dua, yakni paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru) :

    a. Lobus superior pulmo dekstra

    b. Lobus medial pulmo dekstra

    c. Lobus inferior pulmo dekstra

    Paru kiri, terdiri dari 2 lobus :

    a. Lobus superior pulmo sinister

    b. Lobus inferior pulmo sinister

    Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan yang lebih kecil bernama

    segmen. Paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus

    superior dan 5 buah segment pada inferior. Paru kanan mempunyai 10 segmen

    yaitu 5 buah segmen pada lobus inferior, 2 buah segmen pada lobus mediali, dan

    3 buah segmen pada lobus inferior.

    Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang

    bernama lobulus. Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh

    jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah, pembuluh getah bening dan

    saraf-saraf. Dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam

    lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang menjadi sangat banyak, cabang-cabang

    ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus

    yang diameternya antara 0,2 0,3 mm.

    1. Pernapasan Eksterna

    Fungsi paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada

    pernapasan melalui paru atau pernapasan eksterna, oksigen diambil melalui

    hidung dan mulut, pada waktu pernapasan, oksigen masuk melalui trakea dan

    bronkiolus ke alveoli, dan dapat erat berhubungan dengan darah di dalam kapiler

    pulmonaris.

  • 30

    Hanya satu lapis membran, yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan

    oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan di ambil oleh

    hemoglobin sel darah merah dan di bawa ke jantung. Dari sini dipompa ke

    dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru pada tekanan

    oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh

    oksigen.

    Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner atau

    pernapasan eksterna :

    1) Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli

    dengan udara luar.

    2) Arus darah melalui paru

    3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlah tepat dari

    setiapnya dapat mencapai semua bagian tubuh

    4) Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler. CO2 lebih

    mudah berdifusi dari pada O2.

    Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-

    paru menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan lebih banyak

    darah datang di paru membawa terlalu banyak CO2 dan terlampau sedikit O2,

    jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri

    bertambah. Hal ini merangsang pusat pernapasan dalam otak untuk

    memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan. Penambahan ventilasi yang

    dengan demikian terjadi mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2.

    2. Pernapasan Jaringan atau Pernapasan Interna

    Darah yang telah menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen

    (oksihemoglobin), mengitari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler,

    dimana darah bergerak sangat lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari

    hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung, dan darah menerima,

    sebagai gantinya, hasil buangan oksigenasi, yaitu karbon dioksida. Perubahan-

    perubahan berikut terjadi dalam komposisi udara dalam alveoli, yang disebabkan

    pernapasan eksterna dan pernapasan interna atau pernapasan jaringan.

  • 31

    II.1.5. Mekanisme pertahanan paru

    Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya

    infeksi saluran napas. Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah

    bakteri agar tidak masuk ke dalam paru. Oleh karena itu, meskipun pneumonia

    merupakan penyakit yang relatif umum, pneumonia jarang terjadi pada orang

    yang imunokompeten. Mekanisme pembersihan paru meliputi :

    1) Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar :

    a. Reepitelisasi saluran napas

    b. Aliran lendir pada permukaan epitel

    c. Bakteri alamiah atau epithelial cell binding site analog

    d. Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)

    e. Kompetisi mikroba setempat

    f. Sistem transport mukosilier

    g. Refleks bersin dan batuk

    Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme

    pertahanan melalui barrier anatomi dan mekanisme terhadap masuknya

    mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong mikroorganisme

    keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan. Bila terjadi disfungsi silia seperti

    pada Sindrome Kartagener's, pemakaian pipa nasogastrik dan pipa

    nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran sekret yang telah

    terkontaminasi dengan bakteri patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi

    infeksi nosokomial atau "Hospital Acquired Pneumonia". 2) Mekanisme pembersihan di Respiratory exchange airway :

    a. Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan

    b. Sistem kekebalan humoral lokal (IgG)

    c. Makrofag alveolar dan mediator inflamasi

    d. Penarikan neutrofil

    Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan

    paru (saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung

    (10 % dari total protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki

    resiko untuk terjadi infeksi saluran napas atas yang berulang. Bakteri yang

    sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas atas sering mengeluarkan

    enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri gram negatif (P.aeroginosa,

  • 32

    E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.penumoniae) mempunyai

    kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan setiap komponen

    pertahanan saluran napas atas menyebabkan kolonisasi bakteri patogen

    sebagai fasilitas terjadinya infeksi saluran napas bawah.

    3) Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotis

    Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik,

    mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks

    batuk dari glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari

    orofaring. Bila terjadi gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi

    saluran napas bagian bawah yang dalam keadaan normal steril. Tindakan

    pemasangan pipa nasogastrik, alat trakeostomi memudahkan masuknya

    bakteri patogen secara langsung ke saluran napas bawah. Gangguan fungsi

    mukosiliar dapat memudahkan masuknya bakteri patogen ke saluran napas

    bawah, bahkan infeksi akut oleh M.pneumoniae, H.Influenzae dan virus

    dapat merusak gerakan silia.

    4) Mekanisme pembersihan di "respiratory gas exchange airway" bronkiolus dan

    alveol mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut :

    a. Cairan yang melapisi alveol :

    i. Surfaktan, suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa

    komponen SP-A, SP-B, SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat

    fagositosis dan killing terhadap bakteri oleh makrofag.

    ii. Aktifitas anti bakteri (non spesifik) : FFA, lisozym, iron binding protein.

    b. IgG (IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai opsonin)

    c. Makrofag Alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan pertama

    berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi GNB, P.

    aeruginosa)

    d. Mediator biologi mempunyai kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas

    termasuk C5a, produksi dari makrofag alveolar,sitokin, leukotrien.

    II.1.6. Patogenesis

    Mekanisme pertahanan tubuh dapat terganggu oleh beberapa faktor risiko.

    Patogen paru dapat mencapai paru melalui empat rute (Mcphee dan Ganong,

    2010):

    1) Inhalasi langsung droplet infeksius

  • 33

    2) Aspirasi isi orofaring

    3) Penyebaran langsung di sepanjang permukaan membran mukosa dari

    saluran napas atas ke bawah

    4) Penyebaran hematogen

    Faktor yang mempengaruhi mekanisme pertahanan saluran nafas atas

    (intubasi endotrakeal / nasogastric, nutrisi enteral) meningkatkan risiko aspirasi

    dan mikroaspirasi. Endotracheal Tube (ETT) akan menjadi jalan masuk bakteri

    secara langsung menuju saluran napas bagian bawah. Hal ini mengakibatkan

    adanya bahaya antara saluran napas bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya

    saluran napas bagian atas menyebabkan tersedianya jalan masuk bakteri secara

    langsung.

    Karena terbukanya saluran napas atas akan terjadi penurunan kemampuan

    tubuh untuk menyaring dan menghangatkan udara. Selain itu, refleks batuk

    sering ditekan dan dikurangi dengan adanya pemasangan ETT dan gangguan

    pada pertahanan silia mukosa saluran napas karena adanya cedera pada mukosa

    pada saat intubasi dilakukan, sehingga menjadi tempat bakteri untuk kolonisasi

    pada trakea. Keadaan ini menyebabkan peningkatan produksi dan sekresi sekret.

    Patofisiologi dari VAP, adalah melibatkan dua proses utama yaitu

    kolonisasi pada saluran pernafasan dan saluran pencernaan serta aspirasi sekret

    dari jalan nafas atas dan bawah. Kolonisasi bakteri pada paru dapat disebabkan

    oleh penyebaran organisme dari berbagai sumber, termasuk orofaring, rongga

    sinus, nares, plak gigi, saluran pencernaan, kontak pasien, dan sirkuit ventilator.

    Inhalasi bakteri dari salah satu sumber ini dapat menyebabkan timbulnya gejala,

    dan akhirnya terjadi VAP. Kolonisasi lambung meningkatkan kolonisasi

    retrograd di orofaring dan meningkatkan risiko pneumonia (Vincent et al.,

    2010).

    Kolonisasi mikroorganisme patogen dalam sekret akan membentuk

    biofilm dalam saluran pernapasan. Mulai pada awal 12 jam setelah intubasi,

    biofilm mengandung sejumlah besar bakteri yang dapat disebarluaskan ke dalam

    paru melalui ventilator. Pada keadaan seperti ini, biofilm dapat terlepas oleh

    cairan ke dalam selang endotrakeal, suction, batuk, atau reposisi dari selang

    endotrakeal.

  • 34

    Selang endotrakeal menyebabkan gangguan abnormal antara saluran napas

    bagian atas dan trakea, melewati struktur dalam saluran napas bagian atas dan

    memberikan bakteri akses langsung ke saluran napas bagian bawah. Karena

    saluran napas bagian atas kehilangan fungsi karena terpasang selang endotrakeal,

    kemampuan tubuh untuk menyaring dan melembabkan udara mengalami

    penurunan.

    Selain itu, refleks batuk sering mengalami penurunan bahkan hilang akibat

    pemasangan selang endotrakeal dan aktifitas mukosilier bisa terganggu karena

    cedera mukosa selama intubasi. Selang endotrakeal menjadi tempat bagi bakteri

    untuk melekat di trakea, keadaan ini dapat meningkatkan produksi dan sekresi

    lendir lebih lanjut. Penurunan mekanisme pertahanan diri alami tersebut

    meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri dan aspirasi (Augustyn, 2007)

    dikutip dari Hooser, D.T.V., 2002. Ventilator-Associated Pneumonia

    (VAP) Best Practice Strategies for Caregivers.

    Kolonisasi di orofaring dan lambung berperan penting pada patogenesis

    pneumonia bakteri. Kolonisasi adalah keberadaan mikroorganisme lain selain

    flora normal tanpa menunjukkan tanda infeksi klinis. Bakteri Gram-positif dan

    anaerob normalnya hidup di orofaring, dan hipotesis menyatakan bahwa kedua

    bakteri tersebut menempati area perlekatan bakteri di mukosa orofaring. Saat

    flora normal orofaring musnah, area perlekatan tersebut rentan mengalami

    kolonisasi bakteri patogen. Patogen Gram-negatif atau Gram-positif yang

  • 35

    berkolonisasi di orofaring lebih mudah teraspirasi ke percabangan

    trakeobronkus.

    Bagan 1 : Patogenesis VAP

    Rute utama bakteri memasuki paru adalah melalui aspirasi

    mikroorganisme dari orofaring. Aspirasi sering kali terjadi (>45%) pada individu

    yang sehat ketika tidur. Risiko aspirasi yang signifikan dari segi klinis

    meningkat pada pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran atau

    disfagia, pada pasien yang terpasang slang endotrakea atau slang enteral, atau

    pasien yang mendapat makan secara enteral. Sebagai contoh, aspirasi lebih

  • 36

    sering terjadi (>70%) dan lebih ekstensif pada pasien yag mengalami penurunan

    tingkat kesadaran.

    Kolonisasi orofaring dan trakeobronkial oleh bakteri Gram-negatif dimulai

    saat adanya perlekatan mikroorganisme terhadap sel epitel inang. Perlekatan di

    sebabkan multi faktor yang berhubungan dengan bakteri (adanya phili, silia,

    kapsul, atau produksi elastase atau musinase), sel inang (permukaan protein dan

    polisakarida) dan lingkungan (pH dan sekresi musin). Beberapa faktor seperti

    malnutrisi dan pasca operasi dapat meningkatkan potensi perlekatan oleh bakteri

    Gram-positif (Tablan et al., 2003).

    II.1.7. Faktor risiko VAP

    Sejumlah faktor risiko meningkatkan kemungkinan pneumonia melalui

    satu dari beberapa mekanisme yang teridentifikasi pada model teoritis. Faktor

    risiko untuk VAP dikelompokkan menjadi 3 kategori : faktor risiko terkait-

    pejamu, faktor risiko terkait-pengobatan, dan faktor risiko terkait-infeksi.

    1. Faktor risiko terkait-pejamu

    a. Pertambahan usia (> 65 tahun)

    Pertambahan usia mencerminkan proses penuaan tubuh yang

    mempengaruhi setiap komponen tubuh. Salah satunya pada usia lanjut,

    sistem imun non spesifik dan spesifik mulai tidak efektif lagi sehingga

    memudahkan terjadinya infeksi (Darmadi, 2008).

    b. Perubahan tingkat kesadaran

    c. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

    d. Penyakit berat

    e. Malnutrisi

    Menurunkan immunoglobulin A dan gangguan terhadap fungsi

    makrofag.

    f. Syok

    g. Trauma tumpul

    h. Trauma kepala berat

    i. Trauma dada

    j. Merokok

  • 37

    Mengganggu transport mukosiliar dan sistem pertahanan selular dan

    humoral.

    k. Karang gigi

    2. Faktor risiko terkait-pengobatan

    a. Ventilasi mekanis

    b. Reintubasi atau ekstubasi sendiri

    c. Bronkoskopi

    d. Slang nasogastrik

    e. Adanya alat pemantau tekanan intrakranial (TIK)

    f. Terapi antibiotik sebelumnya

    Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik

    yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di

    saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan

    penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran

    pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora

    normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat

    pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan

    menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi

    bakteri gram negatif di orofaring.

    g. Peningkatan pH lambung

    h. Terapi penyekat reseptor histamin tipe 2 dan antasid

    Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri Gram negatif di lambung

    karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh

    bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang

    mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri

    gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai

    pH netral 6,4 - 7,0.

    i. Pemberian makan enteral

    j. Pembedahan kepala

    k. Pembedahan toraks atau abdomen atas

    l. Posisi telentang

  • 38

    3. Faktor risiko terkait-infeksi

    a. Mencuci tangan kurang bersih

    b. Mengganti slang ventilator kurang dari 48 jam sekali

    c. Peralatan terapi pernapasan

    d. Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas

    aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.

    e. Pasien dengan kuman multi drug resistance (MDR) tidak dirawat di ruang

    isolasi

    Faktor risiko kuman multi drug resistance (MDR) penyebab HAP dan VAP

    (ATS/IDSA 2004)

    a. Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir

    b. Dirawat di rumah sakit 5 hari

    c. Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit

    tersebut

    d. Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi

    e. Ada faktor risiko pneumonia nosokomial

    f. Ada penyakit atau terapi yang bersifat imunosupresif

    II.1.8. Diagnosis

    Tidak ada manifestasi klinis tunggal yang dapat digunakan untuk

    mendiagnosis VAP. Radiologi toraks walaupun sensitif, namun tidak spesifik.

    Metode yang digunakan untuk menegakkan diagnosis VAP masih menjadi

    kontroversi dan belum ada metode yang menjadi gold standard. Guideline

    terakhir yang di publikasikan adalah guideline dari Health and Science Policy

    Committee of the American College of Chest Physicians. Guideline tersebut

    menyebutkan bahwa episode VAP seharusnya dicurigai pada pasien yang

    menerima intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik, jika dua atau lebih gejala

    klinis berikut dijumpai:

    1. Suhu lebih dari 380C atau kurang dari 360C.

    2. Leukositosis atau leukopenia.

    3. Sekresi trakea purulen.

    4. Penurunan PaO2.

  • 39

    Berikut berupa tabel dari beberapa kriteria klinis untuk mendiagnosis

    Ventilator-associated pneumoniae (VAP).

    Tabel 3 : Kriteria klinis untuk diagnosis Ventilator-associated

    pneumoniae (VAP) (Rea-Neto et al., 2008).

    Johanson Radiologi : Infiltrat menetap yang progresif dan baru

    Demam >380C

    Leukositosis atau leukopenia

    Sekret purulen

    Clinical

    Pulmonary

    Infection Score

    (CPIS)

    Temperatur

    0 = 36.50C 38.40C

    1 = 38.50C 38.90C

    2 = < 360C atau > 390C

    Oksigenasi (PaO2/FiO2)

    0 = > 240 atau ARDS

    2 = 11000

    2 = 50% band forms

    Radiologi :

    0 = tidak ada infiltrat

    1= Bercak atau infiltrat

    difus

    2 = Infiltrat terlokalisir

    Sekret trakeal

    0 = Tidak dijumpai sekret

    1 = Ada sekret, tapi tidak

    purulen

    2 =Sekret purulen

    Kultur aspirasi trakeal

    0 = Kultur bakteri

    patogen jarang atau

    tidak menerangi

    kuantitas atau

    pertumbuhan

    1 = Kultur bakteri

    patogen sedang atau

    kuantitas berat

    2 = Kultur bakteri

    patogen sama,

    terlihat Gram stain

    Total skor > 6 menunjukkan VAP

    ARDS = Acute Respiratory Distress Syndrome

  • 40

    Centers for

    Disease Control

    and Prevention

    (CDC)

    Radiologi :

    Dua atau lebih dari serial foto

    rongent toraks paling tidak salah

    satu dari berikut:

    Infiltrat menetap yang progresif

    dan baru

    Konsolidasi

    Ada kavitas

    Tanda/gejala/dan

    laboratorium.

    Paling tidak salah satu dari

    berikut ini:

    Demam(>380C) tanpa ada

    sebab lainnya

    Leukopenia(12,000

    WBC/mL)

    Untuk dewasa usia 70

    tahun atau lebih, adanya

    perubahan status mental

    tanpa ada penyebab pasti

    lainnya.

    Dan paling tidak dua dari berikut ini:

    Onset baru dari sputum yang purulen, atau perubahan dalam

    karakter sputum, atau meningkatnya sekresi respiratori atau

    meningkatnya kebutuhan akan suction.

    Onset baru atau memburuknya batuk, atau sesak nafas, atau

    takikardia.

    Terdapat ronkhi atau suara nafas bronkial

    Memburuknya pertukaran gas (Pa O2/fraksi dari oksigen inspirasi

    [FiO2] 240, meningkatnya kebutuhan peralatan oksigen atau

    meningkatnya kebutuhan ventilator mekanik

    Kriteria mikrobiologis

    Paling tidak satu dari berikut ini:

    Pertumbuhan bakteri positif pada kultur darah yang tidak terkait

    sumber infeksi lain.

    Pertumbuhan positif di kultur dan lapang pleural

    Kultur kuantitatif positif >104 dari bronchoalveolar lavage

    (BAL) , 103 dari sikatan bronkus

    Lebih dari 5% sel ditemukan bakteri intraseluler melalui

    pemeriksaan mikroskopik pewarnaan Gram bronchoalveolar

    lavage (BAL)

    Gambaran histopatologis menunjukkan pneumonia

  • 41

    Sementara itu American Thoracic Society (ATS), kriteria pneumonia

    nosokomial berat adalah:

    1) Dirawat di ruang rawat intensif

    2) Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 % untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %

    3) Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar

    atau kaviti dari infiltrat paru

    4) Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi

    dan atau disfungsi organ yaitu :

    a. Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)

    b. Memerlukan vasopresor > 4 jam

    c. Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam

    d. Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis

    Diagnosis VAP di ICU RSPAD Gatot Soebroto ditegakkan berdasarkan

    kriteria klinis Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) dengan pemeriksaan

    kultur sputum.

    II.1.9. Unit Perawatan Intensif (ICU)

    Unit perawatan intensif adalah suatu tempat atau unit tersendiri di dalam

    rumah sakit yang memiliki staf khusus dan peralatan khusus yang ditujukan

    untuk menanggulangi penderita gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi-

    komplikasi. Infeksi nosokomial dan kematian di unit perawatan intensif

    prevalensinya lebih tinggi dibanding tempat lainnya di rumah sakit. Penyakit

    yang mendasari, gangguan mekanisme pertahanan tubuh, alat invasif,

    pengobatan imunosupresif, penggunaan antibiotik, dan kolonisasi dengan kuman

    yang resisten, menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi nosokomial.

    Lebih dari 20% infeksi nosokomial terjadi di ICU. Terdapat beberapa

    faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial di ICU. Beberapa di

    antaranya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pertahanan tubuh

    pasien. Sistem pertahanan tubuh pasien yang dirawat di ICU dapat terganggu

    karena adanya penyakit yang mendasari atau akibat intervensi medis yang

    dialami pasien. Selain itu beratnya penyakit pasien yang dirawat di ICU, luas

  • 42

    ruangan yang relatif kecil dengan pasien berpenyakit lebih berat serta jumlah

    tenaga medis yang relatif sedikit dibanding jumlah pasien memungkinkan

    terjadinya infeksi secara kontak langsung orang ke orang.

    Semua pasien yang dirawat di ICU pasti akan menggunakan minimal satu,

    atau bahkan beberapa alat kedokteran yang bersifat invasif dan akan

    menyebabkan bagian tubuh pasien yang seharusnya steril terpajan ke lingkungan

    luar. Keberadaan alat-alat kedokteran ini dihubungkan dengan infeksi

    nosokomial, masing-masing dengan kecenderungan menyebabkan jenis infeksi

    tertentu. Selain itu penggunaan H2-blocker atau antasida akan menurunkan

    tingkat keasaman lambung yang merupakan pertahanan alami tubuh dan

    mempermudah terjadinya kolonisasi flora enterik. Mekanisme pembersihan

    organ-organ berongga tubuh juga dapat terganggu oleh adanya intubasi

    endotrakeal, intubasi nasofaring, atau kateter urin.

    Terdapat tujuh faktor risiko independen terjadinya infeksi nosokomial di

    ICU, empat di antaranya berhubungan dengan penggunaan alat kedokteran

    invasif. Ketujuh faktor risiko tersebut adalah penggunaan kateter vena sentral,

    penggunaan kateter arteri pulmonar, penggunaan kateter urin, penggunaan

    ventilator mekanik, pemberian profilaksis ulkus peptikum, adanya trauma saat

    masuk rumah sakit dan lamanya perawatan di ICU. Faktor yang disebutkan

    terakhir adalah yang paling mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial.

    Dikatakan terdapat hubungan linear antara lama perawatan dan insidens infeksi

    nosokomial di ICU.

    Seperti telah disebutkan di atas, penyakit yang mendasari dapat

    mengganggu sistem imun pasien. Contohnya pasien dengan keganasan akan

    cenderung memiliki respon imun yang abnormal sebagai akibat dari penyakit

    atau terapi yang dijalaninya menurunkan jumah sel fagosit. Pasien ICU yang

    berusia sangat tua atau sangat muda juga cenderung mengalami gangguan

    respon imun dan karenanya memiliki risiko yang lebih tinggi terkena infeksi

    nosokomial.

    Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit pada pasien

    yang dirawat di rumah sakit oleh karena sebab penyakit lain selain infeksi yang

    didapat di rumah sakit (World Health Organization, 2002)

  • 43

    Batasan infeksi nosokomial menyangkut dua hal pokok, yaitu (Darmadi,

    2008) :

    1) Penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah

    sakit.

    2) Adanya transmisi mikroba patogen ke penderita yang sedang dalam

    proses asuhan keperawatan tersebut.

    II.1.10. Intubasi Endotrakeal

    Intubasi endotrakeal adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa

    pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi

    endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan

    oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan

    tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas

    anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.

    Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi langsung ke

    trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Ventilasi mekanik adalah alat

    bantu pernapasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan

    ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.

    Pipa endotrakeal terbuat dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan

    cetakan dari bentukan jalan nafas. Bahan dari ETT harus bersifat radioopaq

    untuk mengetahui posisi ujung distal ke karina dan transparan agar dapat dilihat

    sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh adanya pengembungan uap air

    pada lumen pipa selama ekshalasi. Pipa Murphy memiliki lubang (Murphy eye)

  • 44

    untuk menurunkan resiko oklusi bagian bawah pipa yang berbatas langsung

    dengan carina atau trakea.

    Faktor dari pipa endotrakeal seperti ukuran pipa endotrakeal, desain pipa

    endotrakeal, desain kaf pipa endotrakeal, tekanan intrakaf, lubrikasi pipa

    endotrakeal, zat aditif bahan pembuat pipa endotrakeal, pasien batuk saat masih

    memakai pipa endotrakeal, suctioning faring yang berlebihan selama ekstubasi,

    dan insersi pipa lambung (NGT).

    II.1.11. Skor APACHE II

    II.1.11.1. Sejarah Perkembangan Skor APACHE

    Pertama berkembang pada tahun 1981 di George Washington University

    Medical Centre, sistem skoring Acute Physiology Chronic Health Evaluation

    (APACHE) telah didemonstrasikan untuk membuktikan keakuratan dan

    pengukuran yang memungkinkan terhadap beratnya penyakit pada pasien-pasien

    criticall ill. Sistem skoring APACHE yang pertama (APACHE I) mengandung

    34 variabel, nilai variabel terburuk dicatat dan dinilai dalam 32 jam pertama

    masuk ICU dan hasil akhir didapati sebagai skor fisiologik akut.

    APACHE II merupakan suatu sistem klasifikasi perbaikan dari

    APACHE, dimana dasar dari perkembangan APACHE adalah hipotesis bahwa

    dasar dari suatu penyakit dapat diukur secara kuantitatif dari derajat

    abnormalitas beberapa variabel fisiologis. APACHE II dipublikasikan tahun

    1985 (Knaus et al., 1985). Variabel fisiologik yang jarang diperiksa dihilangkan

    sehingga tinggal 12 variabel fisiologik dan yang sudah dapat diperoleh dalam

    waktu 24 jam saat masuk rumah sakit. Skor maksimal APACHE II

    meningkatkan resiko kematian, dimana setiap kenaikan 1 skor menyebabkan

    kenaikan angka kematian sebanyak 2%. Skor APACHE II ini akan lebih

    bermakna apabila dilakukan pada waktu-waktu awal saat pasien masuk unit

    gawat darurat atau ICU, sehingga hasil skoring akan semakin menunjang untuk

    pengambilan keputusan tata laksana.

    Versi yang ketiga, APACHE III, telah mengevaluasi secara prospektif

    terhadap 17440 pasien yang masuk di 40 ICU rumah sakit di Amerika Serikat

    pada tahun 1988 1989. Sistem variabel yang termasuk dalam skoring

  • 45

    APACHE III yaitu berdasarkan pencatatan nilai variabel terburuk dalam 24 jam

    pertama pasien masuk ICU, skor berkisar 0 - 299 terhadap 17 variabel fisiologik,

    Glasgow Coma Score (GCS), untuk nilai skor usia dan tujuh kondisi komorbid

    penyakit kronik. Skor APACHE III adalah skor untuk menilai beratnya penyakit

    critical ill di ICU yang dikalkulasikan terhadap variabel-variabel usia pasien,

    adanya kondisi komorbid penyakit, investigasi laboratorium dan fisiologik yang

    terburuk dalam 24 jam pertama masuk ICU.

    APACHE IV adalah standar sistem penilaian terbaru untuk menilai tingkat

    keparahan penyakit dan prognosis di ICU dan variabel baru telah ditambahkan

    seperti ventilasi mekanik, trombolisis, dampak obat penenang pada Skala Coma

    Glasgow, PaO2: FiO2, dan penyakit-spesifik.

    II.1.11.2. Penggunaan Skor APACHE II Sebagai Sistem Skoring Berat

    Penyakit

    Skor APACHE II mencatat nilai variabel terburuk dalam 24 jam pertama

    masuk ICU terhadap 12 variabel fisiologik, usia, status pembedahan

    (pembedahan emergensi / elektif, bukan pembedahan), status riwayat penyakit

    sebelumnya yang menerangkan penyebab masuknya ke ICU, yang dianalisa

    secara model regresi multipel logistik yang ditransformasikan skornya untuk

    memprediksi kemungkinan kematian. Jumlah skor maksimum adalah 71.

    Sistem skoring ini berkembang dengan cepat digunakan luas di seluruh

    dunia. Telah banyak digunakan dalam bidang administrasi, perencanaan,

    quality assurance, membandingkan diantara ICU bahkan membandingkan

    terhadap grup- grup uji klinik.

    Pentingnya penggunaan skor APACHE II adalah mendapatkan hasil akhir

    prognosis yang lebih akurat dengan menganalisa dan mengukur beratnya

    penyakit pasien-pasien yang dirawat di ICU.

    Alasan penggunaan skor APACHE II dibandingkan dengan skor lainnya

    adalah hasil dari skor APACHE II objektif , penggunaannya mudah dengan

    menggunakan data rumah sakit yang banyak tersedia, hasil terpercaya untuk

    banyak diagnosis penyakit, diindikasikan untuk menilai keparahan penyakit, dan

    tidak tergantung atas pengobatan.

  • 46

    Karakteristik dari sistem skoring prognosis mengandung nilai-nilai angka

    untuk menjelaskan beratnya penyakit pasien. Skor-skor nilai angka tersebut lalu

    dideskripsikan melalui suatu formula matematika sebagai prediksi kematian.

    Cara penghitungan prognosis berdasarkan skor APACHE II adalah :

    Logit = -3,517+( Apache II) * 0,146 Predicted Death Rate =eLogit/(1+eLogit)

    Tabel 4 : Perkiraan Angka Kematian (Hartono, 2009).

    Skor APACHE II Perkiraan Angka Kematian

    0-5

    6 10

    11 - 15

    16 - 20

    21 25

    26 - 30

    31+

    2.3%

    4.3%

    8.6%

    16.4%

    28.6%

    56.4%

    70%

    1. Skor fisiologi akut terdiri dari :

    a. Tingkat kesadaran yang ditentukan dengan menggunakan GCS

    (Glasgow Coma Scale) dan skornya dihitung dengan 15

    dikurangi GCS.

    b. Temperatur rektal dengan rentang skor 0-4.

    c. Tekanan nadi / MAP (Mean Arterial Pressure) dengan rentang

    skor 0-4.

    d. Frekuensi denyut jantung dengan rentang skor 0-4.

    e. Frekuensi pernapasan dengan rentang skor 0-4.

    f. Kadar hematokrit dengan rentang skor 0-4.

    g. Jumlah leukosit dengan rentang skor 0-4.

    h. Kadar natrium serum dengan rentang skor 0-4.

    i. Kadar kalium serum dengan rentang skor 0-4.

    j. Kadar kreatinin serum dengan rentang skor 0-8.

    k. Keasaman / pH darah atau tekanan parsial CO2 (Pa CO2)

    dengan rentang skor 0-4.

  • 47

    l. Tekanan parsial O2 (PaO2) darah dengan rentang skor 0-4.

    Penentuan masing-masing skor dapat dilihat dalam lampiran.

    2. Skor umur terdiri dari :

    Tabel 5 : Klasifikasi Usia dalam skor APACHE II

    USIA (Dalam Tahun) NILAI

    44 0

    45 54 2

    55 64 3

    65 74 5

    75 6

    3. Skor penyakit kronik penyerta (komorbid)

    a. Penyakit Hepar

    Sirosis, hipertensi portal, gagal hepar, ensefalopati, koma

    Hepatikum.

    b. Sistem Kardiovaskuler

    Dekompensasi kordis kelas IV.

    c. Sistem Respirasi

    Obstruksi kronik, restriksi kronik, hipertensi pulmonal,

    hipoksia, hiperkapnia.

    d. Sistem Ginjal

    Gagal ginjal kronik yang perlu hemodialisis

    e. Immunocompromised

    Penderita mendapat terapi yang menekan daya tahan tubuh

    misalnya imunosupresan, kemoterapi, radiasi, steroid,

    leukemia, limfoma, AIDS dalam waktu 8 bulan sebelum

    dirawat.

    Bila didapatkan salah satu di antaranya maka diberi nilai 5.

  • 48

    II.2. Kerangka Teori

    Pasien terpasang ventilator mekanik

    Terbukanya saluran napas atas dan trakea

    Usia Jenis Kelamin

    Derajat Berat Penyakit

    Faktor Risiko Terkait Pejamu

    Skor APACHE II

    Lama Perawatan Faktor Risiko Terkait Pengobatan

    Kolonisasi Orofaring Aspirasi

    Bronkiolitis

    Bronkopneumonia

    Konsolidasi jaringan paru

    VAP Diagnosis

    (CPIS)

    Bagan 2 : Kerangka Teori

  • 49

    II.3. Kerangka Konsep

    Berdasarkan uraian teori dalam rumusan masalah di atas, maka penulis

    mengembangkan kerangka konsep sebagai berikut :

    Kerangka konsep penelitian

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Bagan 3 : Kerangka Konsep

    II.4. Hipotesis Penelitian

    H1 : Terdapat hubungan antara usia pasien terhadap insidensi kasus

    VAP di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode Januari 2012

    Desember 2012.

    H2 : Terdapat hubungan antara jenis kelamin pasien terhadap

    insidensi kasus VAP di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode

    Januari 2012 Desember 2012

    H3 : Terdapat hubungan antara lama rawat terhadap insidensi VAP

    di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode Januari 2012

    Desember 2012.

    H4 : Terdapat hubungan antara Skor APACHE II terhadap insidensi

    kasus VAP di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode Januari 2012

    Desember 2012.

    VAP

    Skor APACHE II

    Lama Perawatan

    Jenis Kelamin

    Usia

  • 50

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN III.1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitik yaitu penelitian

    yang bertujuan untuk menggambarkan hasil dari rekam medik untuk mengetahui

    hubungan antara faktor usia, jenis kelamin, lama perawatan, dan skor APACHE

    II terhadap insidensi ventilator associated pneumoniae di ICU RSPAD Gatot

    Soebroto periode Januari 2012 Desember 2012, dengan pendekatan cross

    sectional.

    III.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta instalasi

    rawat intensif (ICU), waktu penelitian Februari 2013.

    III.3. Subjek Penelitian

    III.3.1. Populasi Penelitian

    Populasi didefinisikan sebagai kelompok orang, kejadian atau segala

    sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu untuk dipelajari dan ditarik

    kesimpulannya (Sastroasmoro, 2011). Populasi penelitian ini adalah pasien yang

    dirawat di ICU RSPAD Gatot Soebroto yang menggunakan intubasi endotrakeal

    dan atau ventilasi mekanik periode Januari 2012 Desember 2012 yang

    berjumlah sebanyak 251 orang.

    III.3.2. Sampel Penelitian

    Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Sastroasmoro,

    2011). Sampel penelitian adalah semua pasien yang dirawat di ICU RSPAD

    Gatot Soebroto yang menggunakan intubasi endotrakeal dan atau ventilasi

    mekanik yang periode Januari 2012 Desember 2012.

    III.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

    1. Kriteria Inklusi

    a. Pasien menggunakan intubasi endotrakeal dan atau ventilasi

    mekanik.

    b. Usia lebih dari sama dengan 18 tahun.

    c. Lama perawatan lebih dari sama dengan dua hari.

    d. Dirawat selama periode Januari 2012 Desember 2012.

  • 51

    e. Pasien dengan rekam medis yang memenuhi variabel usia, jenis

    kelamin, lama perawatan, dan skor APACHE II.

    2. Kriteria Eksklusi

    a. Pasien yang menggunakan intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik

    karena indikasi pneumonia.

    b. Pasien yang tidak memiliki catatan rekam medis lengkap yang

    didalamnya mencakup variabel penelitian yang tertera di kriteria

    inklusi.

    c. Data rekam medis yang tidak terbaca.

    III.5. Besar Sampel

    Karena jumlah populasi sudah diketahui yakni sebanyak 251 orang, dan

    sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi maka saya mengambil seluruh

    populasi menjadi sampel.

    III.6. Cara Pemilihan Sampel

    Pada penelitian ini cara pemilihan sampel adalah dengan menggunakan

    sampel jenuh, yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi

    dijadikan sebagai sampel.

    III.7. Rancangan Penelitian

    Desain studi atau rancangan penelitian yang digunakan adalah cross

    sectional, yang merupakan penelitian analitik observasional, dari mulai bulan

    Januari 2012 Desember 2012, penelitian melakukan pengambilan data rekam

    medik pasien yang dirawat di ICU RSPAD Gatot Soebroto yang menggunakan

    intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanis.

    III.8. Identifikasi Variabel Penelitian

    III.8.1. Variabel Dependen

    Variabel dependen dalam penelitian ini adalah ventilator associated

    pneumoniae.

    III.8.2. Variabel Independen

    Variabel independen dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,

    lama perawatan, dan skor APACHE II.

  • 52

    III.9. Definisi Operasional Variabel

    Tabel 6. Definisi Operasional

    No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil ukur Skala

    1. Usia Rentang

    kehidupan yang

    diukur dengan

    tahun

    Rekam

    Medik

    1.1840

    Tahun

    2. 41-60

    Tahun 3. >60 Tahun

    Ordinal

    2. Jenis

    Kelamin

    Pensifatan atau

    pembagian dua

    jenis kelamin

    manusia yang

    ditentukan secara

    biologis yang

    melekat pada

    jenis kelamin

    tertentu

    Rekam

    Medik

    1. Pria

    2. Wanita

    Nominal

    3. Lama

    Perawatan

    Lama dirawat

    dalam hari

    Rekam

    Medik

    1.2-5 hari

    2. >5 hari

    Ordinal

    4. Skor

    APACHE II

    Sistem klasifikasi

    berdasarkan

    fisiologik untuk

    mengukur gradasi

    penyakit

    penderita gawat.

    Rekam

    Medik

    1. 0-15

    2. 15-19

    3. 20-24

    4. 25-29

    5. >30

    Ordinal

    5. Ventilator-

    associated

    pneumoniae

    (VAP)

    Pneumonia yang

    terjadi lebih dari

    48 jam setelah

    pemasangan

    intubasi

    endotrakeal

    (Dahlan, 2011).

    Rekam

    medik

    1.Ya

    2.Tidak

    Nominal

  • 53

    III.10. Instrumen Penelitian

    Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa observasi data

    rekam medik pasien yang dirawat di ICU RSPAD Gatot Soebroto periode

    Januari 2012 Desember 2012 yang menggunakan intubasi endotrakeal atau

    ventilasi mekanis.

    III.11. Protokol Penelitian

    Bagan 4. Cara Kerja Penelitian

    Identifikasi dan perumusan masalah

    Menentukan Tujuan, Lokasi, dan Waktu Penelitian penelitian

    Rancangan Penelitian

    Menentukan Populasi dan Sampel

    Menentukan Definisi Operasional

    Menentukan dan Menyusun Instrumen Pengumpulan Data

    Pengambilan dan Pengolahan Data

    Hasil dan Kesimpulan

    Menyusun Laporan

  • 54

    III.12. Analisis Data

    1. Analisis univariat

    Digunakan untuk mendeskripsikan distribusi masing-masing variabel

    yang digunakan dalam penelitian yaitu dengan melihat pada distribusi

    frekuensi.

    2. Analisis bivariat

    Digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan

    variabel terikat, yaitu masing-masing faktor resiko terhadap kejadian VAP

    dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kepercayaan 95%

    menggunakan data kategori (nominal dan ordinal) (Dahlan, 2011).

    Rumus Chi Square (X2) :

    X2 =

    Keputusan Uji Chi Square, Ho ditolak apabila p < (0,05), artinya ada

    hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Ho

    gagal ditolak / diterima apabila p > (0,05), artinya tidak ada hubungan

    antara variabel dependen dengan variabel independen.

    III.13. Pengolahan Data

    Data yang sudah terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan

    software SPSS (Statistical Program for Sosial Science) versi 17,0. Dalam

    prosesnya meliputi beberapa tahap sebagai berikut:

    1. Editing

    feeeee

    ( fo fe ) 2

    Keterangan : X2 : Chi Square (Kai Kuadrat)

    fo : Nilai Observasi

    fe : Nilai Harapan

    Df : Degree of freedom

    (Derajat kebebasan)

    k : Jumlah kolom

    b : Jumlah baris

    b : Jumlah Baris

    Df = (k - 1)(b - 1)

  • 55

    Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isi rekam medik apakah

    sudah diisi dengan lengkap, jelas dan relevan dengan data yang dimiliki

    rumah sakit.

    2. Coding

    Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk

    angka/bilangan. Kegunaan coding adalah mempermudah peneliti pada saat

    analisis data dan juga saat entry data.

    3. Processing

    Setelah data di coding maka langkah selanjutnya melakukan entry data dari

    kuesioner ke dalam program komputer, salah satu paket program yang

    digunakan adalah SPSS for Mac.

    4. Cleaning

    Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah

    ada kesalahan atau tidak.

  • 56

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN IV.1 Gambaran Tempat Penelitian

    IV.1.1. Gambaran Umum RSPAD Gatot Soebroto

    Pada tahun 1819 rumah sakit ini bernama Garnisius / Buiten Hospital yang

    selesai dibangun pada tahun 1836 dan merupakan cikal bakal Rumah Sakit Pusat

    Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, yang selain itu merupakan salah satu

    unsur pelayanan Ditkesad dan menjadi salah satu kebanggaan TNI-AD. Pada 22

    April 1985 mulai dilakukan penanaman tiang pancang pertama pembangunan

    gedung poliklinik tahap dua termasuk di dalamnya departemen perawatan

    intensif. Departemen perawatan intensif mampu melaksanakan perawatan secara

    intensif karena di dukung oleh alat-alat canggih.

    RSPAD Gatot Soebroto yang sekarang dikenal sebagai rumah sakit

    modern. Selain itu memiliki fasilitas lengkap dan modern. Selain itu merupakan

    Rumah Sakit Pusat rujukan bagi rumah sakit-rumah sakit Angkatan Darat yang

    ada di Indonesia. RSPAD Gatot Soebroto adalah Rumah Sakit Pusat Angkatan

    Darat Gatot Soebroto yang mempunyai tugas pokok melaksanakan Dukungan

    Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Prajurit TNI dan Pegawai Negeri Sipil

    Dephankam dan TNI yang masih berdinas aktif beserta keluarganya. Beralamat

    di Jl. Abdul Rahman Saleh No. 24, Jakarta Pusat.

  • 57

    IV.2. Hasil Analisis Univariat

    1. Usia Tabel 7 : Distribusi Frekuensi Usia Pasien ICU RSPAD Gatot